ABSTRAK
PERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Oleh
HENDRA DWI GUNANDA
Anak adalah karunia yang sangat penting karena anak adalah generasi yang harus dilindungi, mereka yang nantinya berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Menurut data dari Departemen Sosial, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2008 terdapat setidaknya 6.500 kasus anak berhadapan dengan hukum, dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 6.704 kasus. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang melatar belakangi adanya konsep Diversi pada Undang undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimanakah perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan berdasarkan prinsip-prinsip Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
pada nilai-nilai Yuridis, filosofis serta sosiologis. Nilai Yuridis terdapat pada instrumen hukum HAM internasional seperti Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Peraturan-peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (Beijing Rules) dan Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (The Riyadh Guidelines). Nilai filosofis konsep diversi ini digambarkan berdasarkan Pancasila yaitu moral Ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan dan moral keadilan sosial. nilai sosiologis digambarkan dengan keadaan masyarakat yang religius, humanis, utuh dan bersatu, kekeluargaan serta adil. Sedangkan Perspektif Penerapan Diversi Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Perkosaan Pada Tahap Penyidikan Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diterapkan berdasarkan kriteria penerapan diversi diantaranya masih tergolong pidana ringan dan ancaman dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Penerapan diversi juga harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, serta dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Konsep diversi juga harus memperhatikan asas perlindungan anak diantaranya keadilan dalam suatu masyarakat, usaha bersama melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif. Memperhatikan mental, fisik, dan sosial, hal ini berarti bahwa pemahaman, pendekatan, dan penanganan anak dilakukan secara integratif, interdisipliner, intersektoral, dan interdepartementel.
Adapun saran penulis yaitu agar konsep diversi dilakukan sedini mungkin walaupun Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut belum berlaku karena konsep diversi tersebut dapat melindungi kepentingan hak anak juga dapat terwujudnya rasa keadilan terhadap korban dan masyarakat.
PERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
( Skripsi )
Oleh :
HENDRA DWI GUNANDA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Halaman
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diversi dan Restoratif Justice ... 18
B. Tindak Pidana Perkosaan ... 22
C. Penyidikan ...26
D. Konsep Diversi Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan PidanaAnak ... 35
E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakuan Tindak Pidana ... 37
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ...39
B. Sumber dan Jenis Data ... 40
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 42
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43
B. Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Adanya Konsep Diversi Pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 50
C. Perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan bagi anak yang melakukan tindak pidana perkosaan berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang
No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak... 57
V.PENUTUP
A. Simpulan ... 68
B. Saran ... 69
M O T T O
Anak terlahir ke dunia dengan kebutuhan untuk disayangi tanpa
kekerasan, bawaan hidup ini jangan sekalipun didustakan.
~ Widodo Judarwanto
Anak membutuhkan cinta, terutama ketika mereka tidak layak
mendapatkannya.
~Harold Hulbert
Jangan pernah memberikan kesusahan pada orang lain ketika kita bisa
memberikan kebahagiaan pada orang tersebut.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...
Sekretaris/Anggota : Maya Syafira, S.H., M.H. ...
Penguji Utama : Tri Andrisman., S.H., M.H ...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP. 19621109 198703 1 003
Persembahan
Bismillaahirrahmaanirrahim
Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Nabi Besar
Muhammad SAW dan Dengan kerendahan dan ketulusan hati,
kupersembahkan skripsi ini untuk Orang yang ku sayangi, kasihi,
serta orang yang menjadi panutan dalam hidupku, sosok wanita
yang tangguh yaitu Ibuku Hernawati. Kakakku Oktavia, Onida,
Oltina, Media Herdarita dan hana adikku, serta seseorang yang
teramat special didalam hidupku Sari Pratiwi yang telah
memberikan kasih sayang dan dukungan yang tiada hentinya
Sahabat
–
sahabatku yang selama ini selalu menemani dan
memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Viva Justicia and Salam Sukses untuk kita semua...!!!
Judul Skripsi : PERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP PRINSIP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTAN SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK
Nama Mahasiswa : Hendra Dwi Gunanda
No. Pokok Mahasiswa : 0912011158
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Maroni, S.H., M.H. Maya Syafira, S.H., M.H.
NIP. 19600310 198703 1 002 NIP. 19770601 200501 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
RIWAYAT HIDUP
Penulis terlahir sebagai putra kelima dari tujuh bersaudara.
Dilahirkan pada tanggal 02 juni 1989 di Bandar Jaya,
Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung
Tengah, dari pasangan Bapak Gunawan (Alm) dan Ibu
Hernawati.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal pada Sekolah Dasar Negeri 7 Terbanggi
Besar pada tahun 2002; Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Terbanggi Besar
pada tahun 2005; kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Seputih Agung pada tahun 2008.
Penulis pernah bekerja di PT Matahari Graha Fantasi sabagai INC Kasir pada
tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selanjutnya, pada tahun
2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di desa Toba
Kecamatan Sekampung Udik Lampung Timur.
SANWACANA
Dengan nama Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha penyayang. Segala puji
bagi Allah SWT yang tak henti-hentinya melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinantikan syafaatnya di
yaumul akhir nanti.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas pula peran serta dan bantuan dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati,
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak DR. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Maroni, S.H,.M.H., selaku pembimbing utama pada penulisan
skripsi ini. Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar
terdahulu sampai menuju ujian akhir.
4. Ibu Maya Syafira, S.H,. M.H., selaku Pembimbing Pembantu yang telah
memberikan masukan dan mengarahkan demi terselesaikannya skripsi ini.
5. Bapak Tri Andrisman, S.H,. M.H., selaku penguji yang telah banyak
memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun.
6. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Pidana Unila. Terimakasih atas bimbingan dan
maupun pengetahuanya.
8. Bapak Zulkifli T.H., S.H selaku Kepala Susbsi Bimb. Klien Anak BAPAS
yang dengan kesabaran serta loyalitasnya memberikan pengetahuan serta
watunya untuk penulis.
9. Bang Lukman selaku Divisi Penanganan Kasus dan Pengorganisasian LADA.
10. Mbak Sri, Mbak Yanti dan juga Babe terimakasih atas bantuannya selama ini
dalam menyelesaikan segala keperluan administrasi kami.
11. Keluargaku tercinta : Ibuku tercinta Hernawati yang tak henti-hentinya
menyayangiku, memberikan do’a, dukungan, semangat serta menantikan
keberhasilanku. Serta Acik yang telah banyak berkorban dan membantuku
selama menyelesaikan studi, terimakasih untuk do’a dan semangat yang
selalu terucap untukku. Untuk Dati, Ayuk Tina, Mbak Ita, Hana Serta kelima
keponakanku yang selalu memberikan keceriaan dalam hari-hariku.
12. Khususnya untuk Adex (Sari Pratiwi) terima kasih atas cinta, pengertian,
waktu, kesabaran dan kasih sayang yang sudah dengan setia selalu bersamaku
baik suka maupun duka.
13. Saudaraku : Harmawan Prana, Hernadi Susanto (Acil), Hari Saputra R
(Jenggot), Yoga (Botak), Handi Alifta, Handy Sihotang, Indah Puspitarani,
Candra Evita tak ada kegembiraan yang menyamai perjumpaan dengan
kalian, dan tak ada kesedihan yang menyamai perpisahan dengan kalian.
14. Sahabat-sahabatku : Dian Pakde, Eko PK, Uje, Atak, Kiki bersama dengan
kalian memberikan warna tersendiri dalam menjalani hari-hariku, bersama
kalian pula ku yakin akan mencapai kesuksesan karena kita selalu bersama
untuk berusaha menggapai apa yang kita inginkan.
15. Teman KKN desa Toba” : Fuad, Tomi, Hengki, Aris, Wawan, Lele, Putri,
serta Tina
16. Teman teman serta sahabatku Hukum unila angkatan 2009, yang selalu
Dll.
18. Semua yang mengisi dan mewarnai hidupku, terimakasih atas kasih sayang,
kebaikan dan dukungannya yang telah memberikan pelajaran buatku. Serta
semua pihak yang telah memberi hikmah dan membantu dalam penulisan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.
Bandar Lampung, Mei 2013
Penulis,
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah karunia yang sangat penting karena anak merupakan potensi nasib
manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa
sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Kedudukan anak
sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon
pemimpin bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi
terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Konsep diversi
merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai
kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan
bangsa dikemudian hari.
Setiap anak dalam dirinya terdapat suatu harkat dan martabat yang dimiliki oleh
orang dewasa pada umumnya, maka anak juga harus mendapatkan suatu
perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
karena anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin
kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri. Agar setiap anak
kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai penerus bangsa maka anak perlu
optimal, baik mental maupun fisik serta sosial maka perlu dilakukan upaya
Konsep diversiterhadap pemenuhan anak tanpa ada diskriminasi.
Menurut data dari Departemen Sosial, jumlah kasus anak berhadapan dengan
hukum cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2008 terdapat setidaknya
6.500 kasus ANAK berhadapan dengan hukum, dan meningkat pada tahun 2009
menjadi 6.704 kasus. Namun, baru sedikit sekali jumlah anak berhadapan dengan
hukum yang dapat tertangani secara baik dan sesuai dengan kebijakan
perlindungan anak. Menurut Komisioner Bidang Anak berhadapan dengan hukum
Komisi Konsep diversi Indonesia (KPAI), Apong Herlina, seperti dikutip
Gatranews, di Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 7.000 anak berhadapan dengan proses peradilan setiap tahun. Yang menguatirkan adalah dari jumlah itu,
sekitar 90 persen diproses dan berakhir secara hukum formal, dengan vonis
kurungan penjara. Berarti, hanya sekitar 10 persen saja kasus anak berhadapan
dengan hukum telah diselesaikan secara pantas sesuai dengan norma konsep
diversi yang berhadapan dengan hukum.1
Sementara data Komisi Nasional konsep diversi (Komnas PA) untuk kasus anak berhadapan dengan hukum dimana anak sebagai pelaku, selama tahun 2011
jumlah kasus pengaduan yang sampai pada Komnas PA sebanyak 1.851 kasus,
meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus. Dari kasus-kasus di tahun
2011 itu, terbanyak adalah kasus pencurian (50 %), kemudian kasus kekerasan,
pemerkosaan, narkoba, dan penganiayaan. Hampir sama seperti temuan KPAI,
dari kasus-kasus yang diadukan ke Komnas PA sejumlah 89,8 persen kasus
berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana. Data dari KPAI dan Komnas PA
di atas menunjukkan masih sangat besarnya kecenderungan penanganan kasus
anak berhadapan dengan hukum kepada proses hukum formal hingga ke
persidangan dan vonis pidana, sebagaimana perlakuan pada kasus pelanggaran
hukum pada orang dewasa. Padahal kerangka kebijakan konsep diversi
mengamanatkan bahwa proses dan tindakan hukum sedapat mungkin dijauhkan
dari kasus anak berhadapan dengan hukum.2
Anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya dilindungi, sedangkan
berdasarkan fakta yang ada konsep diversi yang di berikan bertolak belakang dengan semua peraturan tentang anak. Contohnya saja Kasus „sandal jepit‟ di
Palu, Sulawesi Tengah. Kasus yang melibatkan anggota Brigade Mobil (Brimob)
Polda Sulteng, Briptu Ahmad Rusdi dan siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, AAL,
merupakan contoh kurangnya perlindungan hukum yang diberikan dan kasus
seperti ini adalah sesuatu yang berlebihan dan tidak layak untuk diteruskan.
Sebagai generasi penerus bangsa, anak merupakan tunas bangsa yang akan
melanjutkan eksistensi suatu bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Anak
yang cenderung melakukan perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana
bermula dari kenakalan anak, kenakalan anak tersebut contohnya adalah
berkelahi, membolos sekolah, menindas teman-teman sebayanya. Dari kenakalan
anak tersebut mendorong anak untuk melakukan kenakalan yang mengarah
kepada perbuatan pidana seperti pencurian, penodongan, bahkan perbuatan yang
tergolong tindakan asusila seperti pencabulan atau pemerkosaan.
Tindak pidana pemerkosaan tersebut dilakukan anak tidak lain dikarenakan
kemajuan teknologi yang sangat pesat, hal ini justru disalah gunakan oleh anak,
misalkan akses internet yang telah berkembang dimana hal ini justru disalah gunakan oleh sebagian anak untuk membuka situs-situs porno di mana hal
tersebut berpengaruh terhadap perilaku seorang anak.
Pesatnya perkembangan teknologi dengan tidak diimbangi oleh bimbingan dari
orang tua, sekolah, serta lingungan sekitar menyebabkan adanya kenakalan anak,
istilah kenakalan anak pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan di Ameria
dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di
negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang menekankan pada
sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau
belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian
kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Menurut Fuad Hasan, yang dikatakan Juvenil Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.3
Pengertian anak nakal juga terdapat pada Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak
Nakal Adalah : (a) Anak yang melakukan tindak pidana, atau (b) Anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Tim Proyek Juvenil Delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Desember 1967, memberikan perumusan mengenai Juvenil Delinquency sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh anak yang dianggap
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara
dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan
yang tercela.
Kenakalan anak yang terbiasa mengakses situs-situs porno dapat mengakibatkan
terjadinya perilaku seks anak sangat labil, dikarenakan kurangnya pengetahuannya
terhadap seks itu sendiri dan hanya berpikiran untuk mencobanya saja. Berawal
dari rasa penasaran dan ingin mencoba seks tersebut anak ingin mempraktekkan
apa yang di lihatnya dalam situs porno di internet tersebut dan biasanya karena takut diketahui oleh orang tua maka anak yang telah terpengaruh oleh perilaku
seks yang terlalu dini ini maka coba-coba melakukan terhadap teman-teman
dekatnya atau bahkan teman adiknya yang berumur lebih muda dari dirinya.
Indonesia sendiri sudah ada Undang-undang yang mengatur mengenai masalah
anak yang berhadapan dengan hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Serta di dukung
pula dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang kesejahteraan anak,
Prostitusion and Child Pornography ( Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak ),
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dimana didalam undang-undang tersebut terdapat
perlindungan bagi anak, baik anak sebagai korban, maupun anak sebagai pelaku.
Kasus perkosaan yang pelakunya sendiri adalah anak, dalam kasus ini anak yang
melaukan tindak pidana perkosaan tersebut dikarenakan anak tidak dapat
menyaring sisi positif maupun negatif dari kemajuan teknologi, dengan pesatnya
teknologi tersebut anak dengan mudahnya mengakses situs-situs porno yang
kemudian mendorong anak tersebut untuk mencoba apa yang anak tersebut lihat,
tentu saja dengan keterbatasan anak ia akan melakukan perbuatan tersebut dengan
teman sebayanya.
Kasus perkosaan yang dilakukan oleh anak juga terjadi di Lampung Tengah,
Kelurahan Bandarjaya Timur yang pelaku dan korbannya adalah anak dimana
perbuatan tindak pidana tersebut tergolong kedalam tindak pidana kesusilaan.
Perkosaan tersebut dilakukan oleh ARI (Nama samaran) seorang siswa SMP
Negeri 4 Terbanggi Besar yang memperkosan Yuli (Nama Samaran) siswi kelas 2
SD Negeri 6 Terbanggi Besar yang terjadi pada hari selasa tanggal 21 Agustus
Tahun 2012. ARI yang dibantu oleh teman-temannya BUDI, FIRMAN, TAUFIK,
dan ARDI (Nama Samaran) menculik YULI pada saat pulang solat terawih
kemudian membawa korban ke kebun singkong, kemudian teman-teman ARI
tersebut memegangi Korban dan ARI membuka pakaian korban serta pakaiannya
sendiri dan memperkosanya. Perkara perkosaan yang di lakukan oleh anak diatas
Anak yang terbukti melakukan tindak pidana perkosaan pasti akan dilakukan
penyidikan baik bagi pelaku maupun korban. Penyidikan yang merupakan
pemeriksaan oleh penyidik (polisi) dalam kasus tersebut berupaya melakukan
pemeriksaan terhadap pelaku perkosaan anak berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia, yaitu berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Pemberlakuan tata cara penyidikan terhadap pelaku oleh
penyidik dilakukan berdasarkan KUHAP. Tidak dapat disanggah juga apabila
dalam suatu penyidikan terdapat contoh kasus dimana seorang pelaku
diperlakukan secara kasar dan bahkan cenderung dianiaya oleh penyidik agar mau
mengakui perbuatan yang dilakukannya, yang seharusnya hal tesebut tidak dapat
dibenarkan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia karena proses
penyidikan yang seperti ini merupakan bentuk kelam tata cara penyidikan yang
terjadi selama ini di Indonesia.
Penyelesaian perkara tindak pidana perkosaan oleh anak harus diselesaikan secara
profesional oleh penyidik agar kasus tersebut terungkap dan dapat diselesaikan
secara tuntas dengan keadilan tanpa mengesampingkan proses penyidikan yang
berdasarkan KUHAP. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik utuk
melakukan penelitian mengenai salah satu proses dalam peradilan yaitu
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap pelaku yang diketahui adalah
anak . Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini penulis mengambil judul
penulisan : ” Perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan bagi anak yang
melakukan tindak pidana perkosaan berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
a. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya konsep diversi
pada Undang undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak?
b. Bagaimanakah perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan bagi anak yang melakukan tindak pidana perkosaan berdasarkan
prinsip-prinsip undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak?
2. Ruang Lingkup
Agar penulisan ini tidak terlalu meluas, maka penulis membatasi ruang
lingkup penulisan ini pada ruang lingkup hukum pidana, dengan substansi
perlindungan hukum bagi anak dalam tahap penyidikan dalam sistem
peradilan pidana yang studinya dilakukan pada wilayah Polres Lampung
Tengah.
C. Tujuan dan Kugunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui yang melatarbelakangi adanya konsep Diversi
pada UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
b. Untuk mengetahui Perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan bagi anak yang melakukan tindak pidana perkosaan
berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Bagi ilmu pengetahuan Hukum Pidana, hasil penilitan ini
diharapkan memberikan masukkan dalam perkembangan Hukum
Pidana nantinya, khususnya yang mempelajari tentang upaya
perlindungan hukum bagi anak melalui upaya diversi pada proses penyidikan.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
pada praktisi hukum terutama penyidik yang menangani kasus
anak dan bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi lebih dalam
D. Kerangka Teoritis dan konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4
Negara maju adalah negara yang memberikan perhatian serius terhadap anak,
sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Karena anak adalah penerus
masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan
agar dapat berkembang baik fisik, mental, dan spiritualnya secara maksimal.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur
bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber
harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas luasnya untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial.5
Konsep diversi merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi
nusa bangsa di kemudian hari.6
Pengertian diversi dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep diversi merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian konsep
diversi diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
4 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1986. Hlm 124
5 Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, RefikaAditama, Bandung, 2006. Hlm 33
bermasyarakat. Kegiatan konsep diversi membawa akibat hukum, baik dalam kaitanya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Penelitian ini akan membahas perspektif penerapan diversi yang akan terjadi pada saat penyidikan. Penyidikan sendiri merupakan serangkaian tindakan penyidik
selama pemeriksaan pendahuluan, untuk mencari bukti-bukti tentang tindak
pidana.7 Dalam usaha penyidikan anak, di usahakan dilakukan oleh polisi wanita,
dan jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik anak juga harus mempunyai
pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi, juga
harus memiliki rasa cinta terhadap anak dan berdedikasi, dapat menyelami jiwa
anak dan mengerti kemauan anak. Perlindungan hukum terhadap anak juga harus
di barengi dengan penegakan hukum agar anak juga mendapat efek jera sehingga
tidak terjadi lagi anak melakukan tindak pidana baik kesusilaan maupun tindak
pidana yang lain.
Penerapan diversi juga harus mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Serta di dukung
pula dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang kesejahteraan anak,
Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protocol to The Convention on The Right Of The Child on The Sale of Children, Child Prostitusion and Child Pornography ( Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak ),
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Serta konsep divesi juga terlahir dari
nilai-nilai yuridis, filosofis, serta nilai sosiologis. Nilai nilai Yuridis dari konsep
diversi ini terdapat pada beberapa instrumen hukum HAM internasional, Nilai Filosofis dari konsep diversi ini digambarkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai sosiologis masyarakat didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang
mengacu pada beragam suku adat masyarakat indonesia. Pertimbangan dilakukan
diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana.Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang
membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di
Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem peradilan pidana formal.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan diteliti.8
Kerangka konseptual ini menjelaskan tentang pengertian-pengertian pokok yang
dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga mempunyai batasan-batasan yang
tepat dalam penafsiran beberapa istilah. Maksudnya tidak lain untuk menghindari
kesalahpahaman dalam melaukan penelitian.
Istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Diversi dan Restoratif justice
Pengertian diversi dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Sedangkan restorative justice adalah proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut bermusyawarah untuk
memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi masalah
tersebut serta akibat yang akan terjadi pada masa yang akan datang.9
b. Anak
Anak adalah seorang yang belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.10
c. Perlindungan Anak
Konsep Diversi adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhannya secara wajar baik fisik, mental, dan
sosial.11
9 http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/ diakses pada hari rabu tanggal 24 april 2013 pada pukul 11:45
10 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
d. Penyidikan
Penyidikkan adalah serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan
pendahuluan, untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana.12
Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk
menemukan, mencari, serta menyelidiki suatu peristiwa yang diduga
sebagai peristiwa pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan dengan cara yang di atur dalam undang-undang ( KUHP ).13
e. Tindak Pidana Perkosaan
Tindak Pidana Perkosaan adalah perbuatan persetubuhan atau hubungan
suami istri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan tanpa
kehendak bersama yang di barengi dengan paksaan secara yang melanggar
undang-undang serta aturan-aturan yang berlaku di indonesia.
f. Sistem Peradilan Pidana
sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini
harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
bencana berupa ketidakadilan.14
12 Gultom, Maidin. Op.cit Hlm 101 13Ibid
g. Tindak Pidana Perkosaan
Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP
adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman
memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena
perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas
tahun”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari
kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa
berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar
(menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa; melanggar dengan
kekerasan.15
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta
penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistimatika penulisan
hukum ini sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Pada awal bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal tentang penelitian
yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk memberikan
pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang diversi dan restoratif justice, tinjauan umum tindak pidana perkosaan , tinjauan umum tentang penyidikan,
tinjaun umum tentang anak dalam Undang-undang anak, tinjauan umum tentang
Faktor-faktor yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana.
III. METODE PENELITIAN
Berisikan metode penelitian yang digunakan yang meliputi pendekatan masalah,
sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel penelitian serta analisis
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan tentang
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, faktor-faktor yang
melatar belakangi adanya konsep diversi pada UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kedua, perspektif penerapan diversi pada tahap penyidikan bagi anak yang melakukan tindak pidana perkosaan berdasarkan
prinsip-prinsip undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan simpulan yang
diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diversi dan Restorative Justice
a. Pengertian
Pengertian diversi dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sedangkan Restorative Justice adalah proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut bermusyawarah untuk memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi masalah tersebut serta akibat yang akan terjadi pada masa
yang akan datang.1
Konsep diversi tertuang dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Konsep Diversi serta konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian
perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan Restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama
untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada
masa yang akan dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
(kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui
musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di
Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua
perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative,
hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap,
ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak
menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian
hari. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh
masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh
kepala sekolah atau guru.2
Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan
dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban
untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan
baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan
adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh
aparat penegak huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah
anak dan telah mengikuti pelatihan Restorative Justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi
tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang
perlindungan anak.3
Hukum menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto adalah
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib.4
Peraturan perundang-undangan indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas
tentang kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 ( dua puluh
satu ) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.5
Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia, anak merupakan
suatu titipan kepada orang yang telah menikah dan berkeluarga, sehingga anak
harus dijaga dan dilindungi oleh orang tuannya hingga anak dapat melindungi
dirinya sendiri dari bahaya yang ada dan juga dapat berpikir secara sehat untuk
menentukan pilihan hidupnya kelak. Dalam kehidupan bernegara, anak
merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan generasi muda yang nantinya
sebagai penerus cita-cita bangsa. Definisi anak sendiri terdapat banyak
pengertiannya, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di
Indonesia, diantaranya yaitu :
3 http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/ diakses pada hari rabu tanggal 24 april 2013 pada pukul 11:51
4 http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-menurut-para-ahli.html diakses pada hari senin tanggal 10 desember 2012 jam 06.37
1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang ini anak didefinisikan sebagai
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin.6
2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Definisi
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berumur 8
(delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1) ) Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan umur anak nakal yang
dapat diajukan ke sidang anak adalah anak yang sekurangkurangnya 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 butir 1 undang-undang ini pengertian anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan
masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah
mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak,
dalam undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak
yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan
anak asuh.
4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam
undang-undang ini pengertian anak tidak di artikan secara lebih jelas,
namun pengertian dari Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang berisi
mengenai pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di
bawah perwalian sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun dapat
diartiakn bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun.
5) Undang-undang republik indonesia Nomor11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak dalam undang-undang ini juga terdapat pengertian
anak yang termuat pada Bab 1 Pasal (1) ayat (3) yang berisi mengenai usia
anak yang berkonflik dengan hukum.
6) Konvensi PBB (perserikatan bangsa bangsa) dalam konvensi PBB yang di
tanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1990 di katakan
batasan umur anak adalah di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
7) Menurut KUHP Seperti halnya dalam undang-undang tentang perkawinan, dalam KUHP pengertian dari anak tidak dia artikan secara lebih lanjut,
namun berdasarkan Pasal 45 KUHP dapat di simpulkan mengenai
pengertian anak yaitu seseorang yang belum cukup umur, dimana batasan
umurnya adalah 16 (enam belas) tahun. Namun seiring perkembangan
zaman, maka ketentuan dari Pasal 45 KUHP ini sudah tidak berlaku lagi
dan sebagai gantinya digunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1
B. Tindak Pidana Perkosaan
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan paling umum untuk istilah
strafbaarfeit atau delict dalam Bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan untuk strafbaarfeit.7 namun dalam perkembangan hukum istilah
strafbaarfeit atau delict memiliki banyak definisi yang berbeda-beda, sehingga untuk memperoleh pendefinisian tentang tindak pidana secara lebih tepat
sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian mengenai tindak pidana itu
sendiri.
Terdapat beberapa pendefinisian tindak pidana oleh para sarjana hukum, dimana
pendefinisian tersebut digolongakan dalam dua kelompok, yaitu kelompok
pertama yang merumuskan tindak pidana sebagai satu kesatuan yang utuh dan
bulat yang lebih dikekenal dengan kelompok yang berpandangan monistis,
sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok dengan aliran dualistis yang
memisahkan antar perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diacam
pidana disatu pihak dan pertanggungjawaban dilain pihak. Pengertian mengenai
strafbaarfeit menurut sarjana sangatlah banyak, pengertian tersebut antara lain berasal dari :
1) Simons
Merumuskan pengertian strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melanggara hak yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum.8
2) Pompe
Menurut hukum positif Pompe mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan
diancam pidana.9
3) Moeljanto
Memberikan pengertian yaitu perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
diacam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.10
4) Vos
Merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.11
5) Van Hamel
Merumuskan “stafbaarfeit” itu sebagian “suatu serangan atau ancaman
terhadap hak –hak orang lain”.12
b. Pengertian Perkosaan
Tidak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak
pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan
tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289-296
KUHP. Sedangkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak tindak pidana
9 Efendi, Erdianto. Op.cit. Hlm 97 10Ibid Hlm 98
kesusilaan yang melibatkan anak didalamnya diatur dalam Pasal 82 dan Pasal 88
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemerkosaan adalah "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis,
anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda dengan cara pemaksaan baik fisik
atau Non-fisik.13 " Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998
merumuskan pemerkosaan sebagai "invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan
kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif". Acaman
hukumannya berdasarkan Pasal 288 KUHP ialah penjara selamalamanya 4 tahun,
jika mengakibatkan luka berat maka anacaman hukumannya 8 tahun dan jika
mengakibatkan mati ancaman hukumannya 12 tahun.14
Perkosaan adalah bentuk hubungan seksual yang dilangsungkan bukan
berdasarkan kehendak bersama. Karena bukan berdasarkan kehendak bersama,
hubungan seksual didahului oleh ancaman dan kekerasan fisik atau dilakukan
terhadap korban yang tidak berdaya, di bawah umur, atau yang mengalami
keterbelakangan mental.15
Perkosaan dengan wanita yang belum cukup umur ialah perkosaan dengan wanita
bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 tahun. Berdasarkan Pasal 287
KUHP, jika umur wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika
umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk delik
aduan. Sedangkan yang dimaksud perkosaan dengan wanita tidak berdaya
13 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pemerkosaan&action=edit di akses pada hari senin tanggal 10 desember 2012 pada jam 13.34
14 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan di akses pada hari senin tanggal 10 desember 2012 pada jam 13.34
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 286 KUHP ialah perkosaan dengan wanita
bukan istrinya yang keadaan kesehatan jiwanya tidak memungkinkan wanita itu
dapat diminta persetujuannya ataupun izinnya. Wanita tak sadar, gila, atau idiot
tidak mungkin dapat diminta persetujuan ataupun izinnya untuk disetubuhi,
kalaupun ia memberikan persetujuan ataupun izinnya maka persetujuan tersebut
harus dianggap tidak sah, begitu juga wanita yang pingsan, dengan catatan
pingsannya itu bukan karena perbuatan laki-laki yang menyetubuhinya, namun
jika pingsannya itu akibat perbuatan laki-laki itu maka tindak pidana tersebut
termasuk pemerkosaan, bukan perkosaan dengan wanita yang tidak berdaya.16
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan arti dari Tindak Pidana
Perkosaan merupakan perbuatan persetubuhan atau hubungan suami istri yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan tanpa kehendak bersama yang di
barengi dengan paksaan secara yang melanggar undang-undang serta
aturan-aturan yang berlaku di indonesia.
C. Penyidikan
a. Pengertian
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang serta mengumpulkan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
pelakunya. Menurut M. Yahya Harapan pengertian penyidikan adalah suatu
tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan
pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan
bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana.17
Negara Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut
Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat
yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan
apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu
pelanggaran hukum.18
Berdasarkan beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa penyidikan
merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap
pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena
17 Gultom, Maidin. Op.cit. Hlm 99-100
apabila dalam proses penyidikan pelaku tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu
tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan
penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada
pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam
persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting
dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk
menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari
tindakan yang seharuskan dibebankan padanya.19 Oleh karena sering kali proses
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung
lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan
dari penghentian penyidikan.
Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah
Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi
penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya
suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik
dapat melakukan tugas dan wewenagnnya dengan menggunakan taktik dan teknik
penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar
serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai
proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin
memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.20
Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum
nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah
lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan
kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat
belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau
penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu
empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.
b. Penyidik
Proses penyidikan diperlukan suatu teknik dan taktik untuk memperoleh
keterangan dari pelaku, dan seorang penyidik berwenang untuk mengadakan
pemanggilan-pemanggilan secara resmi terhadap pelaku yang dianggap perlu
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan surat panggilan
yang sah. Menurut Pasal 1 ayat (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP di tentukan dua macam badan yang dibebani wewenang
penyidikan adalah Pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, selain
dalam ayat (1) undangundang tersebut dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat
kepangkatan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik
Peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai kepangkatan penyidik
yang memeriksa perkara maka berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 27
tahun 1983 Pasal 2 ayat (1) ditetapkan pangkatan pejabat polisi menjadi penyidik
yaitu sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua polisi, sedangkan bagi pegawai
sipil yang dibebani wewenang penyidkan adalah berpangkat sekurang-kurangnya
Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau disamakan dengan itu.
Pengangkatan penyidik itu sendiri dilakukan oleh instansi pemerintah yang
berbeda-beda, untuk penyidik Pejabat polisi Negara diangkat oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut
kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik pegawai sipil diangkat oleh
Menteri Kehakiman atas usuldepartemen yang membawahi pegawai tersebut.
Wewenag pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Mneteri
Kehakiman, dimana sebelum pengangkatan Menteri Kehakiman terlebih dahulu
meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.21
Pasal 10 KUHAP menjelaskan tentang penyidik pembantu. Penydik pembantu
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) Pasal ini disebutkan bahwa syarat
kepangkatan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang
dimaksud adalah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu pada Pasal 3 yang memuat bahwa
yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisi Republik Indonesia yang
berpangkat sersan dua dan pejabat Pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan
Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.22
Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku seantero dunia.
Kekuasaan dan wewenang ( power and authority ) polisi sebagai penyidik sangatlah penting dan sulit. Di Indonesia sendiri penyidik sangatlah penting
peranannya karena polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP)
yang berbeda dengan negara-negara lainya dimana hal ini dapat terjadi karena
masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai adat istiadat
yang berbeda.23
Perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang berdasarkan
undang-undang pengadilan anak disebut dengan anak nakal penyidik yang
melakukan penyidikan adalah penyidik Polri (Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Meskipun penyidiknya penyidik Polri,
akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan tersebut,
penyidik terhadap anak di angkat oleh Kapolri dengan surat keputusan tersendiri
dan disebut sebagai penyidik anak. Menjadi penyidik anak memang tidak cukup
hanya kepangkatan yang memadai, tetapi juga dibutuhkn pengalaman seseorang
dalam melakukan penyidikan, sehingga sangat menunjang dari teknis penyidikan.
Disamping itu yang tidak kalah pentingnya, adalah mengenai minat, perhatian,
dedikasi dan pemahaman masalah anak, akan mendorong penyidik anak dalam
menimba pengetahuan tentang masalah anak, sehingga dalam melaksanakan
tugasnya penyidik akan memperhatukan kepentingan anak.24
c. Tugas dan Wewenang Penyidik
Pasal 1 ayat (2) KUHAP memuat tugas pokok dari seorang penyidik, yaitu untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan pelakunya.Wewenang polisi
untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite beleid: police disrection)
sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan apa yang akan diambil dalam
saat yang sangat singkat pada penaggapan pertama suatu delik.25 Berdasarkan
tugas utama penyidik agar dapat berjalan dengan lancar maka sesuai Pasal 7 ayat
(1) penyidik polisi negara Republik Indonesia mempunyai wewenang, antara lain:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
3) Menyuruh berhenti seseorang pelaku dan memeriksa tanda pengenal pelaku
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, dsb.
Kewajiban penyidik polisi yang sebagaimana ditetapkan pada Pasal 8 KUHAP
antara lain yaitu :
1) Membuat berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakan penyidikan tersebut.
2) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan perkara dilakukan dengan dua tahap yaitu penyidik hanya menyerahkan kasus perkara dan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas pelaku dan barang bukti kepada penuntut umum. Untuk tugas dan wewenang penyidik pembantu sendiri pengaturannya berbeda dari penyidik polisi.Penyidik pembantu berdasarkan Pasal 11 KUHAP dijelaskan bahwa wewenangnya adalah
seperti dengan wewenang penyidik dalam Pasal 7 KUHAP di atas,kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik, sedangkan untuk tugasnya berdasarkan Pasal 12 KUHAP penyidik pembantu mempunyai tugas yaitu membuat berita acara den menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum
d. Tindakan Penyidik dalam melaksanakan proses penyidikan
1) Penangkapan
Penangkapan anak nakal pada dasarnya masih diberlakukan ketentuan
KUHAP. Namun demikian yang patut diperhatikan dalam masalah
penangkapan itu dimungkinkan Anak Nakal adalah kapan dan bilamana
penangkapan itu dimungkinkan menurut Undang-undang.26 Dalam Hal ini
terdapat dua hal, yaitu :
a. Dalam hal tertangkap tangan;
b. Dalam hal bukan tertangkap tangan
Langkah pertama untuk melakukan penyidikan adalah dengan melakukan
penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan pelaku atau terdakwa apabila terdaapt cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dan
dalam hal penangkapan, dilakukan oleh petugas Kepolisian Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas pelaku serta
menyebutkan alasan penangkapan tersebut, serta surat perintah
penangkapan tersebut tembusannya harus diberikan kepada keluarganya
dengan segera setelah penangkapan dilakukan. Penangkapan terhadap
pelaku anak sendiri dalam Undangundang pengadilan anak tidak diatur
lebih lanjut, sehingga tindakan penangkapan terhadap pelaku anak di
bawah umur berlaku ketentuan KUHAP sebagai peraturan pada umumnya
(Lex generalis derogat lex spesialis).27
2) Penahanan
Pengertian Penahanan berdasarkan Pasal 1 butir 21 adalah penempatan
pelaku atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang.28 Penahanan merupakan salah satu bentuk
perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.Jadi disini terdapat
pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak dan
kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang harus dipertahankan untuk
orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat pelaku.29
Perintah penahan yang dialakukan terhadap pelaku atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti yang cukup
dimaksudkan karena timbulnya kekhawatiran bahwa pelaku atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana serta penahanannya dapat dilakukan apabila
perbuatan pelaku diancam pidana penjara lima tahun ke atas. Dalam
proses penahanan dengan pelaku anak di bawah umur Undang-undang
Pengadilan Anak memberikan syarat, agar penahanan dilakukan setelah
dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau
kepentingan masyarakat karena menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial anak. Untuk
penahanan seorang anak, jangka waktu penahanan untuk kepentingan
penyidik paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10
(sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari tersebut penyidik
harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum,
selisihnya maksimal 30 hari.30 Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak
terlalu lama berada di dalam tahanan, sehingga akan mengganggu
pertumbuhan fisik dan mentalnya.
D. Konsep Diversi Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang undang ini membahas mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara
Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Pengertian diversi dalam Undang-undang ini terdapat dalam pasal 1 ayat 7 serta Tujuan dibuatnya konsep diversi ini terdapat dalam pasal 6 yang menyebutkan bahwa Diversi bertujuan untuk mencapai
perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses
peradilan, menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Upaya Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang-undang No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempunyai kriteria dimana perbuatan
yang dilakukan pelaku masih tergolong pidana ringan dan ancaman dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Upaya diversi dalam hal baik penyidikan, penuntutan umum seperti yang termuat
dalam Pasal 9 harus mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana
b. Umur anak
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam undang-undang ini juga terdapat berbagai macam pengertian anak yang
1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana
2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana
3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak
Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana
4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak
Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri
Undang-undang sistem peradilan pidana anak ini juga sudah tercantum semua
hak-hak anak dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani pidana. Upaya yang di berikan untuk melindungi anak di berikan dalam
bentuk hak-hak yang dalam undang-undang ini termuat pada Pasal 3 dan Pasal 4;
Pasal 3 Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 :
1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana;
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakuan Tindak Pidana
Romli Atmasasmita, mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi intrinsik
dan ekstrinsik dari terjadinya tindak pidana yang di lakukan oleh anak yaitu31 :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari perilaku yang menyebabkan
timbulnya tindak pidana pada anak adalah :
a. Faktor Intelegentia;
Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.32
Paul W. Tappan mengemukakan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.34
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga;