• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Air limbah. Karbohidrat ( 25 %) Gambar 2. Skema pengelompokan zat-zat yang terdapat dalam air limbah (Sugiharto, 1987)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Air limbah. Karbohidrat ( 25 %) Gambar 2. Skema pengelompokan zat-zat yang terdapat dalam air limbah (Sugiharto, 1987)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Air Limbah Secara Umum

Air limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dan sekitar 0,1 % dari padanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari zat organik dan bukan organik. Kotoran-kotoran itu merupakan campuran dari zat-zat mineral dan organik dalam banyak bentuk, seperti partikel-partikel besar dan kecil benda padat, sisa-sisa bahan larutan dalam keadaan terapung, koloid dan setengah koloid (Mahida, 1981).

Menurut Sugiharto (1987), zat-zat yang terdapat dalam air limbah secara garis besar dapat dikelompokkan seperti pada Gambar 2.

Protein (65 %) Butiran Karbohidrat ( 25 %) Garam Lemak (10 %) Metal

Gambar 2. Skema pengelompokan zat-zat yang terdapat dalam air limbah (Sugiharto, 1987)

2.2. Karakteristik Air limbah tekstil

Widyanto dan Soerjani (1983) in Rachmawati (1994), menyatakan bahwa bahan-bahan yang mungkin mengkontaminasi air limbah industri tekstil melalui proses dyeing/finishing, antara lain adalah NaOH, Na2CO3, deterjen, coloring, substances, starch, wax, pectines, alkohol dan acids.

Air limbah industri tekstil (rayon) mungkin akan mengandung bahan-bahan pembantu yang digunakan sebagai bahan-bahan koagulasi (Na2SO4, ZnSO4, H2SO4),

Air (99,9 %) Anorganik Organik Bahan padat (0,1 %) Air limbah

(2)

5

5

bahan yang dipakai dalam proses dulling, finishing, bleaching, water treatment, effluent treatment dan zat untuk pembebas sulfur. Sedangkan limbah padat terdiri dari bahan pengotor (debu, pasir, dan lain sebagainya), bahan dari pulp yang tidak larut, selulosa dan serat rayon yang lolos (Suratmo,1991).

Air limbah dari proses pemerseran mengandung soda kaustik sebanyak lebih kurang 5%. Air limbah ini bersifat alkali, mengandung banyak zat padat terlarut (TDS) dengan nilai BOD tinggi. Secara umum air limbah yang dihasilkan dari proses basah mempunyai sifat basa, BOD tinggi, berwarna, berbusa, berbau dan memiliki suhu tinggi (BAPEDAL, 1994)

Menurut Jorgensen (1979) in Rachmawati (1994), pencemaran akibat limbah industri tekstil sangatlah bervariasi dan tergantung pada jenis tekstil yang diproduksi. Komposisi air limbah tekstil jenis katun pada umumnya seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi air limbah industri tekstil jenis katun (Jorgensen, 1979)

Parameter Satuan Nilai

pH - 6 – 10

Total dissolved matter mg/l 500 – 3000

Volatile dissolved matter mg/l 300 – 2500

Permanganate value mg/l 100 – 2000

BOD mg/l 300 – 1200

Chloride mg/l 100 – 300

Organic Nitrogen mg/l 10 – 30

Ammonium Nitrogen mg/l Hanya sedikit *)

Warna - Kuning muda

Kecoklatan * tidak ada keterangan lebih lanjut

2.3. Sumber Pencemar Air Limbah Pada Industri Tekstil

Secara umum proses produksi industri tekstil terdiri dari proses pemintalan, penenunan, perajutan, penyempurnaan, dan konveksi. Pemintalan, penenunan, perajutan dan konveksi hanya memerlukan sedikit air, sedangkan penyempurnaan untuk proses basah memerlukan air dalam jumlah besar dan menghasilkan air limbah yang besar pula.

Menurut BPPI (1986) in Rachmawati (1994), kebutuhan air pada proses penyempurnaan tergantung dari proses basah yang dilakukan. Untuk setiap

(3)

6

kilogram bahan tekstil yang diproses, air yang dibutuhkan dapat mencapai 300-400 liter. Sedangkan bahan pewarna, zat kimia dan bahan pembantu penyempurnaan diperlukan 5 % dari berat tekstil yang diproses. Bahan-bahan ini sebagian kecil terserap oleh bahan tekstil dan tetap berada dalam bahan tekstil sampai proses selesai, sedangkan sisanya akan terbuang sebagai air limbah.

Sumber pencemar air limbah pada industri tekstil dibagi menjadi 2, yaitu yang berasal dari proses produksi dan limbah domestik. Proses produksi tekstil yang menghasilkan air limbah adalah proses penghilangan kanji (desizing), pemerseran (mercerizing), pengelantangan (bleaching), pencelupan (dyeing), pencapan (printing) dan penyempurnaan (finishing). Dari semua proses ini, pencelupan (dyeing) dan pembilasan kanji (desizing) memerlukan air dalam jumlah besar, sehingga jumlah limbah cair yang dihasilkan relatif tinggi. Semakin besar kapasitas produksi, maka akan semakin besar pula limbah yang akan dihasilkan. Banyaknya limbah tersebut seringkali menyebabkan peningkatan debit air limbah yang masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) (Andalusia, 2006).

Sumber bahan pencemar air limbah yang lain adalah limbah domestik. Limbah domestik berasal dari toilet dan air limbah kantin. Limbah dari toilet akan dikumpulkan dalam septic tank, kemudian dipisahkan limbah padat dan cair. Limbah padat akan diendapkan dalam septic tank, sedangkan limbah cair akan dialirkan menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

2.4. Proses Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil

Menurut Sugiharto (1987), tujuan pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tersuspensi, serta membunuh organisme patogen. Selain itu, pengolahan bertujuan pula untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasikan agar konsentrasi yang ada menjadi rendah.

Pada umumnya terdapat empat tahapan perlakuan dalam pengolahan limbah konvensional yaitu : pengolahan pendahuluan atau pretreatment, pengolahan pertama yaitu pengolahan fisik (sedimentasi) atau primary treatment, pengolahan kedua yaitu pengolahan biologi (filtrasi biologi atau lumpur aktif) atau secondary treatment dan pengolahan lumpur atau sludge treatment (pelapukan

(4)

7

7

anaerobik dari lumpur yang dihasilkan pengolahan pertama dan pengolahan kedua) (Mara 1976 in Rachmawati 1994).

Odum (1971) menyebutkan bahwa ada tiga tahap pengolahan air limbah yang umum dilakukan yaitu : pengolahan pertama (primary treatment), pengolahan kedua (secondary treatment) dan pengolahan ketiga (tertiary treatment). Pengolahan pertama akan memisahkan benda-benda yang mengapung atau yang akan mengendap dari air limbah. Semua proses untuk mengurangi kadar polutan dikerjakan secara fisika yang sering disebut sebagai tahap pengolahan mekanik yang meliputi pengambilan pasir (grit removal), penyaringan (screening), penyortiran (sorting) benda kasar (griding) dan pengendapan (sedimentation). Dalam hal ini Odum (1971) menggabungkan antara pre-treatment dan primary treatment sebagai pengolahan pertama. Pengolahan kedua mencakup proses oksidasi biologi dengan tujuan utama untuk menghilangkan BOD. Terdapat tiga metode yang sering dipakai, yaitu : penggunaan lumpur aktif (activated sludge), penyaringan dengan tetesan (tricking filter) atau kolam oksidasi (oxidation ponds). Pengolahan ketiga yang sering disebut pengolahan lanjutan (advanced treatment) adalah pengolahan secara kimiawi meliputi koagulasi dan flokulasi.

Dari berbagai litelatur dan kenyataan di lapang, urutan-urutan pengolahan limbah dapat saja berbeda. Misalnya pengolahan kimia (koagulasi dan flokulasi) ditempatkan pada urutan pertama (sebagai primary treatment), yaitu setelah penyaringan, pengambilan pasir dan pemisahan minyak (pretreatment), selanjutnya diikuti oleh tahap pengolahan kedua atau secondary treatment (misalnya dengan metode biologi). Bagan alir pengolahan air limbah PT. UNITEX secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengolahan air limbah PT. UNITEX dilakukan dalam rangka mengendalikan atau membatasi terbuangnya bahan-bahan pencemar ke lingkungan perairan di sekitarnya. Meskipun bahan-bahan pencemar ini tidak sepenuhnya dapat dihilangkan dari air limbah, namun diharapkan dapat memenuhi ambang baku mutu air buangan yang ditetapkan pemerintah. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang terdapat di PT. UNITEX melakukan penanganan air limbah secara berkesinambungan selama 24 jam dengan kapasitas pengolahan maksimum sebesar 3000 m3 per hari. Proses penanganan air limbah PT. UNITEX dilakukan dengan cara fisika, kimia dan biologi (Irawan, 2006).

(5)

8

2.4.1 Pengolahan pendahuluan (Pre Treatment)

Pengolahan pendahuluan yang dilakukan berupa penyaringan air limbah, baik menggunakan saringan kasar maupun halus. Saringan kasar berupa rangka berjeruji (iron bars) dengan jarak antar jeruji 50 mm, 20 mm dan 10 mm. Penyaringan ini bertujuan untuk menyaring sisa-sisa benang atau kain yang terbawa dalam air limbah pada saat proses, sedangkan saringan halus berfungsi untuk menyaring padatan tersuspensi lainnya (Jamhari, 2006).

Pada awal berdirinya IPAL PT. UNITEX tahun 1988, PT. UNITEX memisahkan air limbah berwarna dengan air umum (tidak berwarna), namun sejak Maret 2001 kedua macam air tersebut dicampurkan menjadi satu tangki melalui pipa yang saling berhubungan. Hal ini dilakukan untuk menghomogenkan karakteristik air limbah (mengencerkan bahan pencemar yang terdapat pada salah satu air limbah tersebut) sehingga lebih mudah dalam proses pengolahan selanjutnya.

2.4.2. Pengolahan pertama (Primary Treatment)

Proses pengolahan pertama air limbah PT. UNITEX adalah proses kimia, yaitu : koagulasi, flokulasi dan sedimentasi, bertujuan agar zat padat terlarut maupun tersuspensi dapat dihilangkan. Menurut (Irawan, 2006) air limbah yang terdapat pada tangki ekualisasi dialirkan ke tangki koagulasi 1 (volume 14,2 m3) untuk penambahan bahan kimia SPT atau ferro sulfat sebagai bahan koagulan untuk mengikat zat warna terlarut maupun yang tersuspensi. Koagulan ini hanya bisa bekerja pada pH diatas 8, sehingga penambahan pH increase dibutuhkan pada saat pH inlet air limbah kurang dari 8, serta penambahan flokulan (polymer) untuk memperbesar pembentukan gumpalan/flok sehingga mudah untuk diendapkan. Air limbah dengan gumpalan-gumpalan/flok kemudian dialirkan ke tangki sedimentasi pertama (primary clarifier, volume 407 m3) untuk diendapkan. Endapan ini lalu dialirkan menuju belt filter press (pengepresan lumpur) untuk dipisahkan airnya. Lumpur hasil pengepresan selanjutnya ditangani sebagai limbah padat,

(6)
(7)

sedangkan airnya dikembalikan ke dalam tangki ekualisasi. Air (supernatant) yang terpisahkan dari tangki sedimentasi di atas lalu dialirkan ke tangki aerasi untuk selanjutnya mengalami pengolahan tahap kedua secara biologi (disebut juga Secondary Treatment). Dimensi masing-masing unit pengolahan air limbah PT. UNITEX dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi unit-unit pengolahan air limbah PT. UNITEX

Unit Pengolahan Jumlah Volume

(m3) Total volume (m3) Debit Air * (m3/hari) Waktu Retensi

Pengolahan pertama (Primary Treatment)

Tangki air limbah 2 650+100 750 2160 8,3 jam

Tangki Ekualisasi 1 2000 2000 2160 22,2 jam

Tangki Koagulasi 1 Tangki Sedimentasi 1 1 1 14,2 407 14,2 407 2160 2160 9,4 menit 4,5 jam

Tangki Intermediet 2 3,6+57 60,6 2160 40,4menit

Pengolahan Kedua (Secondary Treatment)

Tangki Aerasi 3 1250+925 2175 2160 24,2 jam

Tangki Sedimentasi 2 1 407 407 2160 4,5 jam

Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)

Tangki Koagulasi 2 1 12 12 2160 8 menit

Tangki Sedimentasi 3 1 207 207 2160 2,3 jam

Kolam Ikan 1 15 15 2160 10 menit

* Debit air limbah maksimum PT. UNITEX

2.4.3. Pengolahan kedua (Secondary Treatment)

Pengolahan kedua adalah pengolahan biologi dengan metode lumpur aktif, yang memanfaatkan aktivitas metabolisme organisme dalam menguraikan bahan organik dan mengurangi padatan tersuspensi. Proses lumpur aktif merupakan teknik penanganan limbah dengan cara mencampurkan lumpur biologis (mikroorganisme) pada limbah cair yang diaerasi dan diaduk secara teratur (Metcalf & Eddy 2003).

(8)

11

Menurut CRS Group Engineers (1978) mekanisme penghilangan (Removal) bahan organik dalam air limbah (Gambar 4) dengan menggunakan metode lumpur aktif dapat dijelaskan melalui tiga tahapan penting, yaitu :

1. Transfer

Bahan organik terlarut secara langsung akan masuk atau terserap ke dalam sel bakteri melalui dinding sel atau membran bakteri. Langkah transfer ini sebagai suatu usaha bakteri untuk mengubah bahan organik karbon dalam air limbah menjadi karbondioksida, air, amonia, dan energi (katabolisme). Mekanisme transfer dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologi berlangsung pada tangki aerasi dan untuk menciptakan kondisi aerobik, oksigen dapat ditambahkan melalui aerator.

2. Konversi

Merupakan suatu perubahan dari kesediaan bahan makanan (BOD) dalam air limbah menjadi sel – sel bakteri baru dengan menggunakan energi yang diperoleh sebelumnya (anabolisme).

3. Flokulasi

Langkah yang menggambarkan, apabila bakteri sudah kenyang dan aktivitasnya menurun maka mereka akan tenggelam atau mengendap di dasar pada kondisi air yang tenang. Pada instalasi pengolahan limbah secara biologi konvensional yang menggunakan lumpur aktif, peristiwa pengendapan bakteri berlangsung pada tangki sedimentasi (clarifier).

Gambar 4. Mekanisme penghilangan BOD dalam air limbah (CRS Group Engineers, 1978)

(9)

Sistem lumpur aktif PT. UNITEX merupakan sistem aerobik yang terdiri atas: tangki aerasi, tangki penjernih (tangki sedimentasi 2 atau secondary clarifier dengan volume 407 m3), sistem pemompaan untuk mengembalikan lumpur (Return Activated Sludge) yang terendapkan dalam tangki sedimentasi 2 dan untuk membuang kelebihan lumpur (Wasting Sludge) ke belt filter press serta sistem pemompaan udara (aerasi). PT. UNITEX memiliki 3 tangki aerasi yang saling berhubungan dengan total kapasitas 2175 m3, 7 buah pengaduk (surface aerator) dengan kecepatan pengadukan 1440 rpm dan blower yang berfungsi sebagai alat pemasok udara ke dalam air. Pengaduk dan blower juga berfungsi untuk mencegah timbulnya gumpalan, serta penggerak laju aliran limbah (Jamhari, 2006). Proses pengolahan biologi air limbah berlangsung pada tangki aerasi 1 (tangki berbentuk oval), tangki aerasi 2 dan 3 (berbentuk empat persegi panjang). Dalam tangki aerasi, air limbah bercampur dengan massa mikroorganisme (lumpur aktif) dan terjadi penguraian bahan organik serta pembentukan sel-sel mikroorganisme baru. Pada proses penguraian bahan organik oleh lumpur aktif diperlukan suplai oksigen yang memadai. Konsentrasi oksigen tidak boleh terlalu tinggi ataupun rendah, berkisar antara 1-2 mg/l. Jika konsentrasi oksigen terlalu tinggi serta debit air yang masuk besar maka flok-flok di tangki sedimentasi 2 akan sulit diendapkan, kondisi seperti ini menimbulkan adanya lumpur mumbul (rising sludge) yang disebut carry over. Untuk mengatasi hal ini dilakukan penanganan dengan cara mengurangi jumlah kerja pengaduk (surface aerator) pada tangki aerasi agar lumpur yang terbawa ke tangki sedimentasi 2 lebih kecil, memperbesar konsentrasi koagulan (polymer) agar flok-flok yang terbentuk lebih cepat diendapkan serta penambahan Alum (Al2(SO4)3) yang membantu dalam proses penjernihan dan mampu menurunkan kekeruhan air, karena jika terjadi carry over kekeruhan air akan meningkat tinggi.

Proses selanjutnya berlangsung dalam tangki sedimentasi 2, disini terjadi pemisahan antara air yang telah ’bersih’ (berkurang nilai BOD nya) dengan lumpur aktif dari tangki aerasi. Lumpur dalam tangki sedimentasi 2 sebagian (atau sekitar 90 m3/jam) dikembalikan (sebagai return activated suldge) ke tangki aerasi 1 untuk regenerasi mikroorganisme serta untuk menjaga keseimbangan sistem biologi, sedangkan sebagian lagi akan dialirkan ke dalam belt filter press sebagai lumpur buangan (wasting activated sludge).

(10)

13

2.5.4. Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)

Pengolahan ketiga merupakan pengolahan lanjutan setelah pengolahan biologi dengan lumpur aktif dalam tangki aerasi (pengolahan kedua), bertujuan untuk mengikat partikel tersuspensi (partikel mikroorganisme dan koloid) yang masih lolos dari pengolahan sebelumnya, meliputi proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi (Rachmawati, 1994).

Air limbah hasil pengolahan biologi pada tangki aerasi akan mengalir menuju tangki sedimentasi 2 untuk dilakukan pengendapan. Kemudian air limbah yang telah diendapkan tersebut akan mengalir menuju tangki koagulasi 2, untuk proses penghilangan padatan tersuspensi dan penjernihan air dengan menggunakan Al2(SO4)3 dan polymer. Selanjutnya, air limbah akan dialirkan ke tangki sedimentasi 3 (volume 207 m3) dan ditambahkan antifoam untuk menghilangkan busa yang timbul pada effluent. Tangki sedimentasi 3 merupakan tahapan akhir dari proses pengolahan air limbah PT. UNITEX Air limbah pada tangki sedimentasi 3 telah melalui tahapan proses penjernihan dan telah melalui pengukuran uji seperti pH, temperatur, dan warna. Kualitas air limbah pada tangki sedimentasi 3 telah sesuai dengan baku mutu lingkungan sebelum dibuang ke badan air. Sebelum dialirkan ke saluran akhir, sebagian air limbah olahan dialirkan ke kolam ikan, untuk menguji apakah air tersebut sudah layak untuk dibuang ke badan air serta tidak berbahaya bagi makhluk hidup di lingkungan sekitar.

2.6. Efisiensi Sistem Pengolahan Air Limbah

Menurut Clark et al. (1977), pengolahan biologi dengan lumpur aktif menunjukkan efisiensi terbaik (sekitar 91 %) dalam menghilangkan BOD. Sedangkan tricking filter memiliki efisiensi terbaik sekitar 83 % dan pengolahan pertama sekitar 40 %. Pada pengolahan biologi, efisiensi penghilangan BOD akan menurun bila pH bergeser keluar dari kisaran 6-9. Pada proses sedimentasi, efisiensi penghilangan padatan tersuspensi adalah 60 % dan penghilangan BOD sekitar 40 % (Imhoff, 1940 in Rachmawati 1994).

Efisiensi proses pengolahan biologi dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu :

(11)

Rasio F/M (Food to microorganism)

F/M (satuan per hari) adalah rasio keseimbangan antara ketersediaan bahan organik (BOD5, COD, TOC) sebagai bahan makanan (F=Food) dengan massa organime (M atau MLVSS= mixed liquor volatile suspended solid) dalam tangki aerasi (Clark, 1977). Menurut CRS Group Engineers (1978), nilai rasio F/M antara 0,2 – 0,4 per hari menunjukkan lumpur aktif yang bekerja pada kondisi terbaik dimana tergantung pada sifat limbah dan berbagai faktor lain. Nilai F/M ini dikontrol oleh kegiatan wasting, yaitu kegiatan pembuangan bagian lumpur biologi dari tangki aerasi atau dari tangki pengendap kedua. Jika laju wasting-nya tinggi maka nilai F/M akan meningkat, yang akan mengakibatkan mikroorganisme jenuh dengan makanan, hasilnya berupa efisiensi pengolahan rendah. Sebaliknya, jika laju wasting-nya rendah maka nilai F/M rendah dan mikroorganismenya menjadi kelaparan, yang mengakibatkan efisiensi pengolahannya juga menurun. Oleh karenanya nilai F/M diupayakan berada dalam kisaran yang optimum, yaitu 0,2 – 0,4 /hari (Suryadiputra, 1995).

SVI (Sludge Volume Index)

SVI adalah tes pengendapan untuk mengetahui kondisi lumpur aktif atau rasio antara sludge volume dan mixed liquor suspended solids. SVI berguna sebagai ukuran yang digunakan untuk mengendalikan sludge return ke dalam reaktor kolam aerasi. Oleh karena itu SVI akan mempengaruhi laju pengembalian lumpur aktif dan nilai konsentrasi MLSS di dalam kolam aerasi. Nilai khas untuk SVI dengan MLSS antara 2000 – 3500 mg/l adalah sekitar 80 – 150 ml/g (Suryadiputra, 1995). Menurut CRS Group Engineers (1978) SVI dengan kisaran antara 80 – 120 ml/g menunjukkan kondisi lumpur yang baik. Nilai SVI 200 ml/g menunjukkan kondisi lumpur yang jelek dengan sifat lumpur sulit mengendap atau karena terdapatnya mikroorganisme berbentuk filament, sehingga sistem tidak berjalan efisien (Siregar, 2005). Sedangkan untuk nilai MLSS yang dirancang tidak perlu melampaui jumlah yang diinginkan, karena pada nilai MLSS yang tinggi akan menyebabkan efektifitas kerja dari tangki pengendap (Secondary Clarifier) menjadi kritis. Konsentrasi MLSS merupakan fungsi dari SVI dan rasio lumpur balik (V) (lihat Gambar 5).

(12)

15

Gambar 5. Grafik Hubungan MLSS, SVI dan Return Sludge Ratio (Joint Committee of the Water Pollution Control Federation and the American Society of Civil Enggineers in

Suryadiputra,1995)

CRT (Cell Retention Time)

CRT adalah waktu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk melakukan metabolisme makanan (BOD). Nilai BOD pada air hasil olahan (effluent) yang masih tinggi berarti CRT terlalu pendek sehingga tidak cukup waktu bagi mikroorganisme untuk melakukan metabolisme bahan organik di air limbah (Clark et al., 1977).

RAS (Return Activated Sludge)

RAS adalah konsentrasi lumpur aktif yang dikembalikan ke tangki aerasi guna mencukupi kebutuhan lumpur aktif (lihat Gambar 6). RAS dipengaruhi oleh CRT dan konsentrasi MLSS (CRS Group Engineers, 1978).

WAS (Wasting Activated Sludge)

WAS adalah konsentrasi lumpur yang harus dibuang dari clarifier (lihat Gambar 6). Pembuangan lumpur dapat dilakukan bila terdapat kelebihan lumpur aktif dalam tangki aerasi selama peningkatan beban bahan organik. Menurut

(13)

Suryadiputra (1995), apabila jumlah lumpur aktif yang dibuang (WAS) terlalu banyak maka nilai MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) di dalam tangki aerasi akan berkurang, selanjutnya turunnya nilai MLSS akan meningkatkan nilai F/M rasio dan menurunkan nilai CRT. Jadi untuk mempertahankan nilai F/M rasio dan CRT yang memadai maka pelaksanaan WAS harus tepat.

Influent

Effluent

RAS

WAS

Tangki Aerasi Tangki

Pengendapan

Gambar 6. Skema pengolahan air limbah konvensional yang memperlihatkan adanya WAS dan RAS (MetCalf dan Eddy, 2003)

Populasi protozoa

Dengan mengetahui populasi protozoa yang terdapat dalam lumpur aktif, maka kita dapat mengetahui kondisi dalam proses lumpur aktif. Aktifitas operasional dari lumpur aktif tergantung pada mikroorganisme yang terkandung di dalamnya, seperti bakteri, alga dan protozoa. Protozoa adalah hewan multisellular yang terdiri dari 3 kelompok utama yaitu amuba, ciliata dan flagellate. Dari ketiga kelompok ini, yang terpenting dalam pengolahan air limbah adalah kelompok ciliata. Ciliata tertentu mampu mengkonsumsi sejumlah besar bakteri. Jumlah ciliata yang terdapat dalam pengolahan air limbah berkisar 103 sampai 104 per ml (Mara 1976 in Rachmawati 1994). Kehadiran sejumlah besar flagellata menunjukkan kondisi kekurangan oksigen dan usia lumpur aktif yang masih muda. Jika gumpalan berukuran kecil dan terdapat sejumlah besar rotifer, menunjukkan bahwa gumpalan lumpur aktif berusia tua. Kehadiran dari bebagai jenis dan jumlah mikroorganisme, seperti protozoa menunjukkan suatu proses yang seimbang (CRS Group Engineers, 1978). Dengan demikian, keberadaan protozoa dari jenis-jenis tertentu dapat dijadikan indikator akan sehat tidaknya kondisi lumpur aktif dan indikator akan keberadaan bakteri di dalam lumpur aktif.

(14)

17

2.7. Standar Mutu Air Limbah Industri Tekstil

Pencemaran air merupakan gejala pengotoran atau perubahan kualitas dari air oleh zat-zat lain sehingga mencapai tingkat yang menggangu pemanfaatan atau kelayakan peruntukan dan kelestarian lingkungan perairan tersebut. Pencemaran air dapat berupa pencemaran fisika, kimia dan biologi. Besarnya beban pencemaran yang ditampung oleh suatu perairan dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah polutan yang berasal dari berbagai sumber aktifitas yang meliputi air limbah dari berbagai proses (Sutamihardja, 1978).

Menurut Sugiharto (1987), parameter yang perlu diperhatikan dalam air limbah industri tekstil adalah : BOD5, COD, pH, Total Padatan Tersuspensi, suhu, Total Padatan Terlarut, minyak dan lemak, warna, bahan beracun, fenol, sulfida.

Tabel 3. Baku mutu air limbah cair untuk industri tekstil

Parameter Baku Mutu

KepMen LH No. 51 Tahun 1995

SK.Gub. Jabar No.6 Tahun 1999 BOD-5 (mg/L) 60 60 COD (mg/L) 150 150 TSS (mg/L) 50 50 Fenol Total (mg/L) 0,5 0,5 Krom Total (Cr) (mg/L) 1,0 1,0 Amonia Total (NH3-N) (mg/L) 8,0 8,0 Sulfida (mg/L) 0,3 0,3

Minyak dan Lemak (mg/L) 3 3

pH

Debit limbah maksimum (m3/ton produk)

6 – 9 150

6 – 9 100

Sumber : KepMen LH No.51 Tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair kegiatan industri dan SK.Gub. Jabar No.6 tahun 1999 tentang baku mutu limbah cair kegiatan industri di Jawa Barat

2.7.1. Parameter fisika Suhu

Suhu air merupakan pengatur utama proses alami dalam lingkungan perairan. Suhu air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam air dan organime hidup di dalamnya. Suhu merupakan parameter kualitas air yang kritis, karena langsung mempengaruhi jumlah oksigen terlarut (DO) di

(15)

dalam air, dimana oksigen ini dibutuhkan oleh mikroorganisme yang hidup dalam air (Siregar, 2005).

Clark et al. (1977) menegaskan bahwa suhu air limbah yang tinggi akan meningkatkan aktifitas biologi dari mikroorganisme, sedangkan pada suhu yang rendah akan menyebabkan turunnya efisiensi pengambilan (removal) BOD dari air limbah.

Suhu air limbah tekstil berkisar antara 30o – 70o C, suhu tinggi diperoleh dari proses pencucian kain setelah dicetak dan proses pencelupan (dyeing) pada bagian heat setting (Rachmawati, 1994).

Padatan Tersuspensi Total

Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45µm (Effendi, 2003). Pengendapan dan pembusukan air limbah yang mengandung padatan tersuspensi tinggi dapat menggangu organisme air. Menurut Clark (1977), padatan tersuspensi setara dengan MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) yang terdapat dalam pengolahan biologi.

2.7.2 . Parameter kimia pH

Pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif mensyaratkan pH optimum berkisar antara 6 – 8 (Mahida, 1992). Oleh karena itu pengaturan pH sangat penting pada air limbah sebelum masuk sistem pengolahan.

Air limbah industri tekstil pada umumnya bersifat alkali, karena dalam proses pengolahannya banyak menggunakan senyawa alkali. Air limbah bersifat alkalis apabila konsentrasi ion hidroksil lebih besar daripada ion hidrogen dengan satuan pH lebih besar dari 7 sampai 14 (BPPI, 1986 in Rachmawati 1994).

Oksigen Terlarut

Oksigen yang terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen terlarut di dalam air yang diukur dalam satuan milligram per liter (mg/l).

(16)

19

Komponen ini merupakan parameter yang sangat penting bagi berbagai organisme yang ada di dalam air, seperti ikan. Besarnya oksigen yang terlarut dalam suatu cairan dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air akan semakin rendah kelarutannya di dalam air dan demikian pula sebaliknya

Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya dalam respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup di dalamnya (Umaly and Cuvin, 1988 in Effendi, 2003).

BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (termasuk proses respirasi) pada keadaan aerob. Pada umumnya, lebih tinggi jumlah material organik ditemukan di air maka semakin besar oksigen yang digunakan untuk oksidasi aerobik (Siregar, 2004).

Nilai BOD digunakan untuk menduga jumlah bahan organik di dalam air limbah yang dapat dioksidasi dan nantinya akan diuraikan oleh mikroorganisme melalui proses biologi (Sugiharto, 1987). Semakin banyak kandungan bahan organik maka akan semakin tinggi nilai BOD yang diperoleh.

COD (Chemical Oxygen Demand)

Penentuan nilai COD diperlukan untuk mengukur kadar bahan organik yang terkandung dalam limbah industri yang berisi komponen-komponen yang bersifat racun bagi kehidupan biologis. Karena materi yang dapat dioksidasi secara kimia lebih banyak daripada yang dapat dioksidasi secara biologis maka nilai COD secara umum akan lebih besar daripada nilai BOD5 (Metclaft dan Eddy, 2003).

Menurut Gaudy dan Gaudy (1980), delta COD (∆ COD) yang merupakan selisih antara nilai COD air limbah sebelum masuk ke dalam sistem pengolah

(17)

limbah dan nilai COD pada saat air limbah sudah diolah merupakan suatu pendekatan pengukuran yang baik tentang jumlah bahan organik yang terambil (remove) .

Unsur Hara

Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan organisme adalah nitrogen dan fosfat. Dalam sistem pengolahan biologi, N dan P merupakan unsur hara terbesar yang dibutuhkan sebagai elemen dasar pembentukan protein, enzim dan nucleid acids. Perbandingan antara BOD dengan unsur N dan P dalam pengolahan air limbah dengan metode biologi adalah BOD : N : P = 100 : 5 : 1. Dalam sistem aerobik, N terdapat dalam bentuk amonia, nitrat dan nitrit. Sedangkan P terlarut dalam berbagai bentuk dapat dimanfaatkan dalam sistem aerobik (Azad, 1978).

Gambar

Gambar 2. Skema pengelompokan zat-zat yang terdapat dalam air limbah  (Sugiharto, 1987)
Tabel 1. Komposisi air limbah industri tekstil jenis katun (Jorgensen, 1979)
Tabel 2. Dimensi unit-unit pengolahan air limbah PT. UNITEX
Gambar 4. Mekanisme penghilangan BOD dalam air limbah                                          (CRS Group Engineers, 1978)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Segala Hormat, puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih serta kekuatan yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan dan penelitian

Hasil uji stabilitas menunjukkan ketiga formula tetap homogen dan tidak mengalami inversi fase dengan tipe emulsi minyak dalam air setelah cycling test.. Aroma khas minyak

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap jamu keliling yang di jual di Kelurahan Simpang Baru Panam Pekanbaru, diperoleh kesimpulan bahwa pada

Begitu juga bobot basah akar (g) yang relatif besar pada pemberian media tanam kompos kulit buah kakao dengan subsoil Ultisol pada M2 yang berbeda tidak nyata

Serat dalam saluran pencernaan ayam berguna untuk mengikat sebagian besar garam empedu untuk dikeluarkan melalui ekskreta, karena sebagian besar garam empedu dikeluarkan,

(3) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan peserta Program Pelayanan Karawang Sehat di fasilitas kesehatan

sin cos