• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. anak usia sekolah (Amin et al., 2011) bahkan dikatakan. merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. anak usia sekolah (Amin et al., 2011) bahkan dikatakan. merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

I.1 Latar Belakang

Penyakit kulit sering dijumpai pada anak, terutama anak usia sekolah (Amin et al., 2011) bahkan dikatakan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang. Insidensi penyakit kulit pada anak sebesar 6– 24% dari kasus yang dikonsultasikan kepada dokter anak (Del Pozzo-Magaña et al., 2012), dan bervariasi pada setiap negara. Namun, kasus penyakit kulit ini, yang masih lebih sering terjadi di negara berkembang, sampai saat ini belum dianggap sebagai masalah kesehatan yang penting dalam perencanaan strategi kesehatan masyarakat; meskipun pola penyakit kulit merupakan salah satu di antara parameter lain sebagai tolok ukur perkembangan kesehatan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan (Ij et al., 2010).

Meskipun penyakit kulit pada anak jarang bersifat letal, namun penyakit ini dapat memberikan dampak yang signifikan pada biaya pengobatan, kehadiran di kelas, dan

(2)

stress psikologis. Untuk menilai faktor risiko penyakit kulit banyak hal yang harus dipertimbangkan antara lain ekologi dan lingkungan. Anak sangat sering terpapar oleh kondisi iklim dan kondisi sosial yang menjadi predisposisi bagi mereka untuk menderita infeksi kulit dan penyakit kulit lainnya (Amin et al., 2011). Faktor risiko yang dapat meningkatkan prevalensi kelainan kulit adalah status sosio-ekonomi rendah, malnutrisi, wilayah padat penduduk, dan tingkat kebersihan yang rendah (Rao and Rao, 2012). Penyakit kulit pada anak dapat memberikan efek pada kualitas kehidupan, mengganggu hubungan antara keluarga dan hubungan sosial, mengganggu kegiatan seperti bermain, olahraga, dan sekolah, serta memberikan dampak pada perkembangan anak. Gangguan tidur mayor juga dapat disebabkan oleh penyakit kulit inflamasi seperti ekzema (Lewisijones and Finlay, 1995).

Studi epidemiologi dapat memberikan informasi mengenai prevalensi, umur, predileksi seks, dan distribusi regional dari penyakit kulit (Rao and Rao, 2012). Namun, studi epidemiologi mengenai penyakit kulit di Indonesia masih terbatas. Data yang didapatkan dari beberapa studi

(3)

dengan tema prevalensi penyakit kulit berbasis komunitas di negara berkembang mengindikasikan bahwa penyakit kulit di negara berkembang sering ditemukan, yaitu sekitar 20-80%, dan yang paling sering adalah infeksi, misalnya mikosis superfisial, pioderma, dan infestasi skabies (Al-Hoqail, 2013). Demikian pula halnya pada penyakit kulit anak, sayangnya hanya terdapat sedikit studi epidemiologi berbasis populasi yang mengukur prevalensi penyakit kulit pada anak sekolah (Amin et al., 2011). Sekolah dapat menjadi arena untuk penelitian dan intervensi kesehatan masyarakat yang sangat baik (Rao and Rao, 2012). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa di negara berkembang, terdapat angka prevalensi penyakit kulit yang tinggi pada anak sekolah (Rao and Rao, 2012).

Sekitar 15% dari populasi di dunia memiliki disabilitas (Brakel et al., 2012). Gangguan intelegensi/retardasi mental adalah disabilitas yang berlangsung seumur hidup yang memberikan dampak yang besar pada kehidupan penderita dan keluarganya. Prevalensi terjadinya gangguan intelegensi adalah 2-3% pada populasi umum, dan penyebabnya belum diketahui pada 65–80% pasien

(4)

(Gijsbers et al., 2009). Gangguan intelegensi merupakan salah satu diagnosis yang ditandai dengan abnormalitas keterampilan kognitif dan adaptif (Galasso et al., 2010).

Di Indonesia, data secara nasional maupun masing-masing provinsi mengenai jumlah orang dengan disabilitas belum tersedia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2007, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000, sedangkan pada tahun 2003, menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% diantaranya adalah anak usia 0-18 tahun dan 21,42% usia sekolah (5-18 tahun) (Kementerian Kesehatan, 2010).

Orang dengan disabilitas mental termasuk golongan yang rentan, tidak hanya karena keterbatasan yang mereka miliki, namun karena adanya sebuah pembatasan yang dibuat oleh masyarakat. Biasanya mereka terasingkan dengan akses dan kualifikasi terbatas untuk pelayanan kesehatan dan edukasi untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri (Cristina Gaio et al., 2010).

(5)

Pasien dengan retardasi mental biasanya memiliki komplikasi masalah kesehatan (Prater et al., 2006). Menurut Fathy et al., (2004) anak dengan disabilitas dapat menjadi rentan terkena kelainan kulit, yang dapat disebabkan akibat hubungan langsung dengan disabilitas mereka atau akibat kurangnya kebersihan lingkungan dan personal mereka (Rao and Rao, 2012).

SLB Negeri Pembina merupakan lembaga pendidikan yang pada awalnya menyelenggarakan pendidikan untuk anak yang mengalami cacat mental, baik yang mampu didik maupun mampu latih. SLB Negeri Pembina didirikan melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 051/O/1083 tentang organisasi dan tata kerja sekolah luar biasa Pembina Tingkat Propinsi dengan nama SLB-C Pembina Tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. SLB Pembina dipilih menjadi tempat penelitian karena SLB Pembina merupakan SLB-C Negeri dengan standar yang baik dan memiliki sarana dan prasarana untuk dapat meningkatkan kualitas hidup para siswa. Selain itu, sekolah ini juga mengadakan pemeriksaan rutin untuk siswa-siswanya. Di sekolah ini juga didirikan klinik dan unit kesehatan siswa

(6)

yang sering digunakan sehingga peneliti dapat bekerjasama dengan baik selama masa penelitian.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah yang diangkat adalah:

Bagaimanakah prevalensi kelainan kulit pada siswa SDLB Pembina Yogyakarta?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit kulit pada anak dengan retardasi mental di Sekolah Luar Biasa Pembina Yogyakarta.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai jenis dan jumlah penyakit kulit yang sering terjadi pada kelompok anak dengan retardasi mental, terutama penyakit kulit pada siswa Sekolah Luar Biasa Pembina Yogyakarta. Dengan mengetahui prevalensinya, dapat ditindaklanjuti tindakan pencegahan dan penanganan dari

(7)

penyakit kulit tersebut ataupun untuk penelitian lebih lanjut.

I.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran jurnal kedokteran melalui internet yang dilakukan oleh penulis pada situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed (Pubmed) http://search.ebscohost.com/ (EBSCO Host) dan http://www.sciencedirect.com/ (Science Direct) dengan menggunakan beberapa kata kunci “skin (disease OR disorder) AND children AND (mental retardation OR intellectual disability)”, “mental retardation AND children”, dan “skin disease AND children”. Tabel 1.1 menunjukkan beberapa penelitian tentang prevalensi penyakit kulit pada anak:

(8)

Tabel 1.1 Penelitian berkaitan dengan prevalensi penyakit kulit pada anak.

Peneli ti, Tahun Judul Penelitian Subyek Penelitian Hasil Perbedaan Rao & Rao, 2012 A cross-sectional study of dermatological problems among differently-abled children N= 122  studi potong lintang Lebih dari setengah subyek (53,2%) mengalami permasalahan kulit. Infeksi dan infestasi, akne, dan dermatitis merupakan kelainan kulit yang umum ditemui. Tidak membandingkan perbedaan kulit kongenital dan dapatan. Penelitian dilakukan di India. Hanya membahas penyakit kulit. Ij et al., 2010 Skin diseases among children attending the out patient clinic of the University of Nigeria teaching hospital, Enug N= 16,377  studi potong lintang Sebanyak 1,3% anak yang datang pada klinik rawat jalan mengalami kelainan kulit. Kondisi kulit paling umum adalah pioderma (29,81%) dan skabies (13,55%). Penelitian menggunakan rekam medis. Tidak membedakan penyakit kulit kongenital dan dapatan. Bukan pada anak dengan retardasi mental. Okafor et al., 2011 Prevalence of dermatological lesions in hospitalized children at the UCH, Ibadan N= 402  studi potong lintang Sebanyak 96% anak memiliki setidaknya 1 kelainan kulit. Kelainan kulit yang paling sering ditemui adalah Hiperpigmentasi pasca inflamasi (49,5%), BCG scar (28,4%), Mongolian spot (27,1%), junctional nevi (20,2%), dan café-au-lait macules (18,4%). Penelitian dengan seting rawat inap rumah sakit. Bukan pada anak dengan retardasi mental.

(9)

Penelitian yang dilakukan penulis saat ini memiliki tujuan yang berbeda dengan penelitian pada tabel di atas, yaitu untuk mengetahui prevalensi kelainan kulit pada anak dengan retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Pembina Yogyakarta. Penelitian ini juga lebih fokus melihat prevalensi kelainan kulit secara umum dan mengkategorikan menjadi kelainan kulit kongenital dan dapatan.

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian berkaitan dengan prevalensi penyakit  kulit pada anak.

Referensi

Dokumen terkait

kali ini adalah efisiensi removal rata-rata optimum untuk ammonia terdapat pada reaktor 0,5 mg/l dengan sistem pengadukan menggunakan aerasi yaitu sebesar 84%.. Reaktor dengan

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur bahwa perlindungan hukum hak atas karya Desain Industri diberikan pada seorang pendesain berdasarkan

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

(1) Seksi Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, memiliki ikhtisar jabatan memimpin dan melaksanakan tugas seksi perencanaan dan

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar