• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI PRIMING EFFECTS

TERHADAP KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Paulus Anang Wirawan NIM : 049114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv   

Dan akan semakin kreatif 

Jika mau belajar kreatif ”.

(5)

v   

(6)

 

Saya meny memuat k kutipan da

yatakan den karya atau ba an daftar pu

ngan sesung agian karya ustaka, sebag

vi 

gguhnya bah a orang lain,

gaimana lay

hwa skripsi , kecuali yan yaknya kary

Yogyakar Penulis,

Paulus An

yang saya t ng telah dis ya ilmiah.

rta, 28 Juli 2

nang Wiraw

tulis ini tida sebutkan da

2011

wan

(7)

vii   

Paulus Anang Wirawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat dampak foto sebagai priming effects terhadap kecenderungan berperilaku agresif. Subjek penelitian ini adalah orang yang berusia 18 hingga 30 tahun. Subjek berjumlah 50 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Subjek pada kelompok eksperimen dengan jumlah 25 orang diberikan perlakuan berupa penyajian foto dengan konten agresif sebagai priming effects. Sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan. Desain penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen (experimentalal design) dengan jenis desain eksperimen ulang (pretest-posttest control group design). Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan independent sample t-test yang dikenakan pada skor perolehan (gain score). Hipotesis yang diajukan adalah Foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan kecenderungan berperilaku agresif. Berdasarkan hasil pengujian dapat diketahui bahwa harga t yang diperoleh adalah -3,170 dengan taraf signifikansi 0,003. Hal ini berarti kelompok eksperimen memiliki perubahan yang signifikan dibanding kelompok kontrol. Hipotesis yang diajukan diterima yaitu foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan kecenderungan berperilaku agresif. Selain itu, mean untuk kelompok kontrol lebih rendah daripada mean kelompok eksperimen (-0,640<4,0). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki perubahan yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.

(8)

viii   

Paulus Anang Wirawan ABSTRACT

This research aims to investigate wheter is a photo impact as priming effects toward the tendency of aggressive behavior. The subject of this research is individuals at 18-30 years of age. 50 individuals are divided into 2 groups: the experimental group and the control group. Those 25 individuals in the experimental group are given a presentation of photographs with aggressive contents as priming effects. Meanwhile, those in the control group do not receive the same treatment. Research design in this research is experimental design, specifically the pretest-posttest control group design. The hypothesis in this research is tested using the independent sample t-test, known as gain score. The hypothesis proposed in this research is that photographs with aggressive contents as priming effects trigger the increase of tendency of aggressive behavior. Based on the result of the test, it is thus recognized that t value obtained is -3,170, with significance degree 0,003. This means that the experimental group experiences significant alteration compared to the control group. The hypothesis of this research – that photographs with aggressive contents as priming effects trigger the increase of the tendency of aggressive behavior – is accepted. In addition, the mean in the control group is lower than that of the experimental group (-0,640<4,0).

(9)

 

Yang bert Nama Nomor M Demi p Perpustak

TE

beserta p memberik menyimp bentuk mempubl akademis kepada sa Demikian Dibuat di Pada tang Yang men (Paulus A tanda tangan Mahasiswa pengembang kaan Univer DAMPA ERHADAP

perangkat y kan kepada an, menga pangkalan ikasikannya tanpa perl aya selama n pernyataan

Yogyakart ggal : 28 Ju

nyatakan,

Anang Wiraw

n di bawah : Paulus : 049114 gan ilmu rsitas Sanata AK FOTO P KECEND yang diper a Perpusta alihkan da n data,

a di Inte lu memint

tetap menc n ini yang s

ta uli 2011

wan)

ix 

ini, saya ma s Anang Wi

4023 pengetah a Dharma k

SEBAGAI DERUNGAN

rlukan (bil akaan Univ

alam bentu mendistr ernet atau

a izin dar antumkan n aya buat de

ahasiswa Un rawan

huan, say karya ilmiah

I PRIMMIN

N BERPER

la ada). D versitas Sa uk media ribusikan u media ri saya ma nama saya s engan seben

niversitas S

ya memb h saya yang NG EFFEC

RILAKU A

Dengan d anata Dharm

lain, men secara lain untu aupun mem

ebagai penu narnya. Sanata Dhar berikan ke berjudul : CTS AGRESIF demikian ma hak u ngelolanya d

terbatas, uk kepent mberikan ro

(10)

x   

Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih karena atas rahmat dan kasih-Nya, skripsi dengan judul “Dampak Foto Sebagai Priming Effects Terhadap Kecenderungan Berperilaku Agresif” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi, Program Studi Psikologi. Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis dengan penuh rasa syukur mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Titik Kristiyani S.Psi, M.Psi. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan inspirasi, arahan, dan bimbingan kepada penulis.

4. Ibu Dra. Lusia Darmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak nasehat selama penulis belajar di Fakultas Psikologi.

(11)

xi   

Carolus Wijoyo Adinugroho, S.Psi., Siswa Widyatmoko, S.Psi., dan Silvia Carolina, S.Psi., M.Si., yang bersedia memilih foto yang akan digunakan dalam penelitian.

7. Drs. Haryanta Mardi Raharja dan Theresia Heni Subekti yang tidak berhenti berharap dan selalu mendukung setiap langkah saya.

8. Petrus Anang Setiawan sebagai adik saya. Pada tanggal 1 Agustus 2011 kita sama-sama Mahasiswa Universitas Sanata Dharma.

9. Bernadheta Vera Setyawati yang selalu menemani dan menyemangati. Terimakasih telah menjadi kekasih yang istimewa.

10.Teman-teman Angkatan 2004 yang berada di ujung tanduk pada tanggal 29 Juli 2011. Terima kasih atas dukungan melewati masa-masa kritis. Tetap semangat.

11.Asisten penelitian eksperimen: Zakarias Andrianto, Pasifikus Christa Wijaya, S.Psi., Timotius Aditya Lodo Ratu, Yohanes Batista, Tristan S, Bramamanto Ranggamukti, Esti Wahyuningrum, S.Psi., Stefanus Guntur Yoga, Yasinta Astin Sokang, S.Psi.

12.Staf Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nanik, dan Pak Gi.

13.Teman-teman TN dan TO; Aconk, Sapi, Windra, Barjo, Kopeto, Broti, Topix, dll. Terimakasih atas semua proses yang telah kita jalani.

(12)

  Rendr 16.Seluru 17.Seluru 18.Semua penyel Pen kritik dan dengan se

a, Theara, d uh teman-tem uh subjek pe

a pihak yan lesaian skrip nulis menya saran yang nang hati.

dan Mas Wi man angkat enelitian yan ng tidak dap

psi ini. adari bahw membangu xii ira.

tan 2004. Te ng bersedia pat saya seb

wa skripsi in un berkaitan

etap sukses a berpartisip but satu per

ni masih ja n dengan sk

dan semang pasi dalam p

r satu yang

auh dari se kripsi ini aka

Yogyaka

P gat.

penelitian in g berperan d

empurna. S an penulis te

rta, 28 Juli

(13)

xiii   

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR GRAFIK ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

(14)

xiv   

2. Manfaat Teoritis ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

A. Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 7

1. Pengertian... 7

2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif... 9

3. Teori-teori Perilaku Agresif ... 12

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif ... 18

B. Foto ... 25

1. Pengertian Foto ... 25

2. Sejarah Foto ... 25

3. Jenis-jenis Foto ... 28

4. Foto dan Obyektivitas ... 28

C. Priming ... 30

1. Pengertian... 30

2. Bentuk-bentuk Priming ... 31

3. Efek Priming pada Agresivitas ... 32

4. Foto Sebagai Efek Priming ... 34

D. Dampak Foto Sebagai Efek Priming Terhadap Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 36

E. Hipotesis ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

(15)

xv   

C. Definisi Operasional ... 39

1. Efek Priming ... 39

2. Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 40

D. Subyek Penelitian ... 40

E. Desain Eksperimen ... 41

F. Metode Pengumpulan Data dan Alat Penelitian ... 42

1. Metode Pengumpulan Data ... 42

2. Alat Penelitian ... 44

G. Validitas dan Reliabilitas ... 47

1. Ujicoba Alat Ukur Penelitian ... 49

2. Hasil Ujicoba Alat Ukur Penelitian ... 50

3. Uji Korelasional Skor Pretest dan Skor Posttest ... 54

4. Seleksi Alat Eksperimen ... 55

H. Prosedur Eksperimen ... 57

1. Pengantar Penelitian ... 57

2. Pengontrolan Kondisi Awal ... 57

3. Pretest ... 61

4. Pemberian Perlakuan ... 62

5. Posttest ... 63

6. Debriefing dan Relaksasi ... 63

7. Penutup ... 64

(16)

xvi   

J. Persiapan Penelitian ... 64

1. Perijinan ... 64

2. Persiapan Ruang Eksperimen... 65

3. Persiapan Subjek Penelitian ... 68

4. Jadwal Penelitian... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 70

A. Pelaksanaan Penelitian ... 70

B. Deskripsi Subyek dan Data Penelitian ... 71

1. Subyek Penelitian ... 71

2. Data Penelitian ... 72

C. Uji Asumsi Statistik ... 74

1. Uji Normalitas ... 74

2. Uji Homogenitas ... 75

D. Uji Hipotesis ... 76

1. Analisis Uji Beda Antar Pretest ... 76

2. Analisis Independent-Samples T Test... 77

3. Analisis Kovarians ... 78

E. Pembahasan ... 79

BAB V PENUTUP ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Keterbatasan Penelitian ... 83

(17)

xvii   

2. Saran berkait dengan kelanjutan penelitian ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

SUMBER GAMBAR ... 90

(18)

xviii   

Halaman Tabel 1. Blue Print dan Persebaran Butir Item Skala Kecenderungan

Berperilaku Agresif ... 43

Tabel 2. Persebaran Butir Item Skala Pretest (Skala P1) Pada Saat Ujicoba ... 51

Tabel 3. Persebaran Butir Item Skala Pretest (Skala P2) Pada Saat Ujicoba ... 53

Tabel 4. Hasil Uji Independent-Samples T Test ... 55

Tabel 5. Hasil Seleksi Foto Alat Penelitian ... ... 56

Tabel 6. Jadwal Penelitian ... 69

Tabel 7. Karakteristik Subjek Penelitian ... 71

Tabel 8. Rangkuman Data Pretest Kelompok Kontrol & Eksperimen ... 73

Tabel 9. Rangkuman Data Posttest Kelompok Kontrol & Eksperimen ... 73

Tabel 10. Uji Normalitas ... 75

Tabel 11. Uji Homogenitas ... 76

Tabel 12. Hasil Uji Beda Antar Pretest ... 80

Tabel 13. Hasil Uji Independent-Samples T Test ... 76

(19)

xix   

Halaman

Gambar 1. Foto yang dipergunakan dalam penelitian ... 44

Gambar 2. Mirror Tracer ... 46

Gambar 3. Tata ruang untuk Ruangan Eksperimen ... 66

Gambar 4. Tata ruang untuk Ruangan Debriefing dan Relaksasi ... 67

(20)

xx   

(21)

xxi   

Halaman

Lampiran 1. DATA DAN HASIL ANALISIS SELEKSI FOTO ... 92

Lampiran 2. DATA DAN HASIL ANALISIS UJI COBA ALAT UKUR ... 95

Lampiran 3. DATA DAN HASIL ANALISIS PENELITIAN ... 127

Lampiran 4. SKALA UJICOBA PRETEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 134

Lampiran 5. SKALA UJICOBA POSTTEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 144

Lampiran 6. SKALA PENELITIAN PRETEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 154

Lampiran 7. SKALA PENELITIAN POSTTEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 158

Lampiran 8. INFORMED CONSENT DAN SURAT PERNYATAAN KEIKUTSERTAAN DALAM PENELITIAN ... 163

Lampiran 9. ALAT EKSPERIMEN (FOTO) ... 166

Lampiran 10. DOKUMENTASI PELAKSANAAN EKSPERIMEN ... 171

(22)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia kini hidup pada dunia informasi. Setiap orang dapat dengan mudah mengakses informasi yang ditawarkan oleh para penyedia jasa informasi seperti surat kabar, televisi, dan internet. Berbagai berita di pelosok dunia diwartakan dengan beragam pilihan penyajian berita, pilihan sudut pandang foto, pilihan highlight kalimat dan pilihan caption atau catatan gambar.

Beragamnya jenis pemberitaan dalam media massa memberikan beragam pengaruh pada perilaku masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Hakim (2006); “Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukkan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang,” Pendapat tersebut diperkuat dengan munculnya fenomena seperti kasus kekerasan seorang anak pada teman sepermainannya karena meniru perilaku tokoh gulat kesayangannya yang muncul pada acara WWF Smack Down.

(23)

Foto adalah hasil proses fotografi berupa citra media visual. Kata foto

dipergunakan untuk merepresentasikan gambaran suatu obyek yang terekam pada

lempengan dua dimensi. Foto dapat dihasilkan dari beragam teknologi fotografi

seperti camera obscura, kamera Single Lens Reflex dan media perekamannya

dapat berupa film, kertas foto maupun sensor digital.

Fotografi dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas

Ajidarma (2002). Asumsi tersebut hingga kini masih diyakini dalam kehidupan

sehari-hari seperti yang disinggung oleh Ajidarma (2002) bahwa foto merupakan

usaha manusia untuk dapat merepresentasikan realitas seobyektif mungkin.

Dengan demikian maka citra foto diyakini sebagai realitas visual itu sendiri.

“Foto seekor kucing adalah kucing dan tiada lain selain kucing”.

Perilaku agresif itu sendiri didefinisikan oleh Baron dan Richardson (1994)

sebagai “….any behaviour that harm or injure other”. Selain itu agresif berarti

juga sebagai sebuah tingkah laku yang mengancam atau melukai integritas

seseorang secara fisik, psikologis atau sosiologis, merusak obyek atau

lingkungan. Dari dua deskripsi tentang perilaku agresif tersebut dapat ditarik

sebuah benang merah yaitu usaha untuk melukai orang lain.

Kecenderungan berperilaku agresif sebagai kawasan afektif khususnya sikap

dapat digambarkan sebagai kesiapan untuk selalu menanggapi dengan cara

tertentu dan menekankan implikasi perilakunya Oskamp (1991). Hal ini berarti,

sikap berimplikasi pada perilaku seseorang atau perilaku merupakan cerminan

(24)

melalui sikap seseorang terhadap sebuah kondisi ataupun melalui perilaku

seseorang yang dapat diobservasi.

Berbagai penelitian yang melibatkan kecenderungan berperilaku agresif telah

banyak dilaksanakan oleh para ahli. Penelitian-penelitian tersebut dilaksanakan

dengan mempergunakan berbagai metode dan alat ukur. Bandura (1963)

misalnya, ia meneliti mengenai perilaku belajar sosial berkaitan kecenderungan

berperilaku agresif dengan menggunakan metode eksperimen. Bandura

memperlihatkan kepada sekelompok anak sebuah adegan seseorang memukuli

boneka. Kemudian Bandura melakukan observasi mengenai perilaku anak yang

telah menyaksikan adegan agresif ketika mereka diberi boneka yang sama dengan

yang telah mereka saksikan. Hasil penelitian Bandura menunjukkan bahwa anak

yang menyaksikan adegan pemukulan boneka melakukan adegan yang serupa

terhadap boneka tersebut.

Peneliti lain juga melakukan penelitian agresivitas dengan menggunakan

metode kuantitatif melalui analisis statistik. Saad (2003) melakukan penelitian

mengenai variabel yang mempengaruhi agresivitas. Ia menggunakan skala

psikologi untuk mengukur kecenderungan berperilaku agresif serta berbagai

variabel dalam penelitiannya seperti konsep diri, hubungan orang tua serta

kualitas tempat tinggal. Skala psikologi tersebut ia susun berdasarkan berbagai

aspek yang mempengaruhi variabel-variabel tersebut. Penelitian Saad (2003)

(25)

hubungan orang tua, dan kualitas tempat tinggal dengan kecenderungan

berperilaku agresif.

Media diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan munculya

kecenderungan berperilaku agresif. Oleh para ahli komunikasi, pengaruh media

terhadap perilaku dikenal sebagai efek media. Pakar komunikasi Joseph

Straubhaar dan Robert La Rose (2000), misalnya, menjelaskan efek media

sebagai perubahan dalam pengetahuan (kognisi), sikap, emosi, atau perilaku yang

merupakan hasil dari terpaan (eksposure) media massa.

Kecenderungan berperilaku agresif dimungkinkan muncul setelah menerima

informasi dari media karena peningkatan kecenderungan berperilaku agresif

melalui proses Priming Effects atau stimulasi dari ide dan pemikiran agresif.

Media memberikan ide terhadap pemirsanya tentang bentuk perilaku agresivitas

yang ditayangkan pada media tersebut.

Foto sebagai media dua dimensi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk

memicu kecenderungan berperilaku agresif daripada film atau gambar bergerak.

Hal tersebut dapat terjadi karena foto diyakini oleh masyarakat sebagai

representasi sebuah realitas obyektif.. Ketika menyaksikan film, seseorang telah

menyadari bahwa itu merupakan rekayasa. Meskipun demikian pada film tetap

terjadi proses imitasi perilaku agresivitas. Dengan demikian foto yang telah

diyakini oleh masyarakat sebagai realitas obyektif memiliki kemungkinan untuk

mempengaruhi kecenderungan berperilaku agresif jauh lebih besar dari pada

(26)

Hal tersebut didukung dengan pernyataan Baron dan Byrne (1991), bahwa

dengan melihat perilaku agresif pada media, pemirsanya akan mengasosiasikan

keadaan tersebut pada kondisi sosialnya. Jika media bermuatan agresivitas

tersebut kerap ia jumpai maka ia akan menganalogikan bahwa lingkungan

sosialnya berlaku sama, dengan demikian ia akan menerima atau memaklumkan

perilaku agresif tersebut dan kemudian akan memunculkan perilaku tersebut.

Penelitian oleh Anderson, Benjamin dan Bartholow (1998) tentang efek

priming senjata pada pemburu dan bukan pemburu mengindikasikan bahwa

terdapat peningkatan akses pemikiran agresif pada subjek penelitian yang

mendapatkan perlakuan berupa gambar senjata. Penelitian tersebut menunjukkan

bahwa kehadiran gambar senjata dapat meningkatkan kemampuan subjek dalam

mengakses konstruk agresif. Berdasarkan penelitian diatas peneliti mencoba

untuk memberikan sumbangan ilmiah untuk menelaah dampak foto sebagai efek

priming terhadap kecendurungan berperilaku agresif dengan mempergunakan

stimulus berupa foto jurnalistik yang tidak hanya menggunakan gambar senjata

seperti pada penelitian Anderson, Benjamin dan Bartholow (1998), akan tetapi

menggunakan foto yang meliputi beragam aspek seperti alat agresi, pelaku agresi,

korban, dan situasi agresi.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah foto dengan konten agresif dapat memicu peningkatan

(27)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak foto sebagai priming

effects terhadap kecenderungan berperilaku agresif .

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Praktis

a. Memberi pemahaman dan informasi kepada pembaca mengenai dampak

foto terhadap kecenderungan berperilaku agresif.

b. Sebagai suatu wacana dan dasar pembuatan keputusan dalam pemuatan

foto bagi media massa.

2. Manfaat Teoritis

a. Memberi sumbangan teoritis maupun hasil penelitian tentang dampak foto

terhadap kecenderungan berperilaku agresif.

b. Sebagai bahan referensi penelitian lain di bidang psikologi sosial terutama

(28)

7

LANDASAN TEORI

A. KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF

1. Pengertian

Menurut Herbert (1978) tingkah laku agresif merupakan suatu bentuk tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial yang menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain atau bersifat merusak benda.

Breakwell (2002) juga memberikan definisi agresi sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang bertentangan dengan kemauan orang itu. Hal ini berarti bahwa menyakiti orang lain secara sengaja bukan disebut sebagai agresi jika di pihak yang dirugikan menghendaki hal itu terjadi. Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau emosional seperti mempermalukan, menakut-nakuti, atau mengancam seseorang.

(29)

Johnson dan Medinus (1974) mengatakan bahwa agresi merupakan

segala perilaku atau tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain.

Selain itu perilaku agresif juga disebut sebagai perilaku maladaptif.

Dari berbagai pendapat atau definisi diatas dapat disimpulkan bahwa

perilaku agresif merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan

sengaja dilakukan untuk menyakiti, melukai serta merugikan orang lain juga

dirinya sendiri, selain itu juga tidak dapat diterima secara sosial.

Kecenderungan menurut Chaplin (1995), merupakan suatu set atau

susunan sikap untuk bertingkahlaku dengan cara tertentu. Soekanto (1993)

juga mendefinisikan kecenderungan sebagai suatu dorongan yang muncul dari

dalam diri seseorang secara inheren menuju suatu arah tertentu, untuk

menunjukkan sikap suka atau tidak suka pada suatu objek. Dari kedua

pendapat tersebut disimpulkan bahwa kecenderungan merupakan suatu

potensi yang mengarah pada perilaku tertentu untuk menunjukkan sikap suka

atau tidak sukanya pada objek tertentu seperti perilaku agresif atau agresivitas.

Proses terjadinya kecenderungan berperilaku agresif bermula dari

persepsi. Persepsi yang negatif terhadap sesuatu membuat seseorang memiliki

sikap yang negatif pula terhadap hal tersebut. Sikap negatif yang diyakini

kebenarannya akan mempengaruhi perilaku seseorang. Bila sikap tersebut

berkenaan dengan ketidaksukaan yang mengarah pada suatu tindakan

kekerasan terhadap seseorang atau kelompok, maka sikap tersebut di

(30)

Kecenderungan perilaku agresif oleh para ahli ilmu sosial

Apollo,2003 didefinisikan sebagai suatu niat untuk menyakiti diri sendiri,

orang lain atau mahkluk hidup. Kecenderungan ini terdapat disetiap negara

manapun, dilakukan oleh manusia tidak memandang jenis kelamin, usia,

status sosial, ataupun suku bangsa. Kecenderungan agresivitas oleh

masyarakat luas Apollo,2003 sering didefinisikan dengan hal-hal yang

berhubungan dengan pertengkaran, pertikaian, perkelahian, pengrusakan, dan

penganiayaan.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif

Agresi bila dipandang dari jenisnya memiliki keragaman bentuk, di

antaranya seperti yang dikemukakan oleh ahli-ahli berikut ini; Berkowitz

(1993), membedakan agresi ke dalam dua kelompok: pertama, agresi

instrumental, yaitu agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu

sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua agresi benci atau

agresi impulsif, yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan

keinginan untuk melukai atau menyakiti atau regresi tanpa tujuan selain untuk

menimbulkan efek kerusakan kesakitan atau kematian pada sasaran atau

korban.

Jersild (1975) mengemukakan dua bentuk perilaku agresif, yaitu

perilaku agresif terbuka dan tersembunyi. Perilaku agresif yang terbuka

merupakan suatu bentuk perilaku agresif yang tampak dan dapat diamati dan

(31)

agresif yang tidak tampak yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang

lain.

Agresi berdasarkan maksud dan tujuannya dibedakan menjadi tiga

hal oleh Sears( 1994 ). Pertama, Agresi antisosial, yaitu perilaku agresi

bertujuan buruk dan dianggap melanggar norma-norma yang berlaku di

masyarakat. Seperti tindakan kriminal tak beralasan, pembunuhan ataupun

pemukulan oleh sekelompok orang. Kedua, agresi prososial, yaitu perilaku

agresi yang bertujuan baik dan disetujui oleh norma-norma yang berlaku

dalam masyarakat. Seperti polisi yang menembak penjahat, dokter yang

mengamputasi pasien, dan sebagainya. Selain agresi anti dan prososial, Sears

(1994) menyatakan bahwa terdapat agresi yang berada di antara agresi anti

dan prososial, yaitu agresi yang disetujui (sanctioned aggression). Ini meliputi

tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial namun masih berada

pada batas yang wajar. Tindakan yang muncul tidak melanggar batas moral

yang telah disepakati.

Buss (1961) juga mengelompokkan agresi dalam delapan bentuk,

yaitu: pertama, agresi fisik langsung, merupakan tindaan agresi fisik yang

dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan secara

langsung dengan individu/kelompok lain, seperti: mendorong, melukai,

menembak. Kedua, agresi fisik pasif langsung, yaitu tindakan agresi fisik

yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan

(32)

langsung, seperti: demonstrasi, aksi mogok (aksi diam). Ketiga, agresi fisik

aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh

individu/kelompok dengan cara tidak berhadap-hadapan secara langsung

dengan individu/kelompok lain, seperti: merusak harta korban, membakar

rumah, menyewa tukang pukul. Keempat, agresi fisik pasif tidak langsung,

yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan

cara tidak berhadap-hadapan dengan inividu/kelompok lain dan tidak terjadi

kontak fisik secara langsung, seperti: tidak peduli, apatis, masa bodoh.

Kelima, agresi verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang

diakukan oleh individu/kelompok lain, seperti: menghina, memaki, marah,

mengumpat. Keenam, agresi verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi

verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan

dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara

langsung, seperti: menolak bicara, bungkam. Ketujuh, agresi verbal aktif tidak

langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok

dengan cara tidak berhadap-hadapan secara langsung dengan

individu/keompok lain seperti: menyebar fitnah, mengadu domba. Kedelapan,

agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan

oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadap-hadapan dengan

individu/kelompok lain dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung,

seperti: tidak memberi dukungan pada kelompok, tidak menggunakan hak

(33)

3. Teori-teori Perilaku Agresif

Perilaku agresif yang bersifat merugikan dan mudah menyebar di

masyarakat, membuat para ahli berusaha mencari penjelasan mengenai

perilaku ini. Usaha pencarian tersebut melahirkan beragam teori yang berasal

dari berbagai macam pendekatan teoritis. Akan tetapi keberagaman tersebut

dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu penjelasan biologis

dan penjelasan psikologis.

a. Penjelasan Biologis

Menurut Krahé (2001), terdapat tiga model yang mengacu pada

prinsip-prinsip biologis dalam menjelaskan agresi yaitu: pendekatan

etologis, pendekatan sosiobiologis, dan pendekatan genetika perilaku.

Ketiga pendekatan ini memiliki asumsi dasar yang sama, yaitu bahwa akar

perilaku agresif terletak pada sifat biologis, bukan pada fungsi psikologis

manusia.

1) Pendekatan Etologis

Pendekatan ini bersumber pada penelitian komparatif antara

perilaku hewan dengan perilaku manusia. Lorenz (1974) menawarkan

model agresi yang berdasar pada asumsi bahwa organisme secara

terus-menerus mengembangkan energi agresif. Energi agresif tersebut

akan termanifestasikan sebagai perilaku agresif apabila energi agresif

telah terakumulasi hingga ambang batas tertentu serta mendapatkan

(34)

Apabila stimulus eksternal besar maka tidak dibutuhkan energi agresif

yang banyak untuk memunculkan perilaku agresif, demikian pula

sebaliknya. Energi agresif yang telah terakumulasi dalam organisme

dan telah melewati ambang batas sangat potensial untuk memunculkan

adanya agresi spontan. Agresi spontan muncul sebagai akibat dari

ketiadaan stimulus eksternal yang memicu munculnya perilaku agresi

sehingga energi agresif yang terlampau banyak akan disalurkan dalam

bentuk agresi spontan.

Teori ini mendapatkan beragam kritik dari para ahli yang lain.

Para ahli psikologi mempermasalahkan landasan konseptual dan

empiris yang digunakan Lorenz (1974). Kritik yang lain

mempertanyakan mengenai ketiadaan definisi operasional mengenai

energi agresif.

2) Pendekatan Sosiobiologis

Pendekatan sosiobiologis ini didasarkan pada pendekatan teori

evolusioner yang menekankan pada perilaku adaptif. Menurut teori

evolusioner, perilaku dianggap adaptif apabila perilaku tersebut dapat

meningkatkan peluang suatu spesies untuk bertahan hidup. Dalam hal

ini, perilaku agresif yang diarahkan untuk melawan penyerang maupun

lawan dalam perkembangbiakan dianggap adaptif dalam arti

(35)

3) Pendekatan Genetika Perilaku

Pendekatan ini menekankan bahwa kecenderungan berperilaku

agresif merupakan bagian sifat bawaan genetik individu. Sifat bawaan

genetic tersebut dianggap sebagai sumber penting bagi variansi

individual dalam agresi. Pendekatan ini mengeksplorasi kesamaan

genetic dalam menjelaskan karakteristik dan perilaku personal.

b. Penjelasan Psikologis

Menurut Krahé (2001), terdapat tujuh pendekatan psikologis

yang dapat diterapkan dalam mengurai perilaku agresif. Teori-teori ini

berfokus pada mekanisme-mekanisme psikologis yang terlibat dalam

perilaku agresif. Akan tetapi, di dalam teori psikoanalisis freudian,

terdapat pula konstruk biologis yang mendasari pendekatan mekanisme

psikologis.

1) Psikoanalisis Freudian

Dalam teori insting ganda, Freud (1920) mengusulkan bahwa

perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi

bagian tak terpisahkan dari sifat manusiawi: insting kehidupan (eros)

dan insting kematian (thanatos). Eros merupakan dorongan ke arah

pencapaian kesenangan dan pemenuhan keinginan. Sedangkan

thanatos merupakan dorongan ke arah destruksi diri. Sebagai dua

(36)

menjadi sumber munculnya konflik dalam diri manusia. Sehingga

berperilaku agresif merupakan mekanisme untuk melepaskan energi

destruktif untuk melindungi diri dari ketidakstabilan konflik dalam

diri. Menurut pandangan ini, agresi merupakan hal yang tak

terhindarkan dari perilaku manusia dan berada di luar kontrol individu.

2) Hipotesis Frustrasi-Agresi

Dollard (1939,dalam Krahé,2001) menjelaskan bahwa agresi

merupakan hasil suatu dorongan yang dimaksudkan untuk mengakhiri

keadaan deprivasi, sedangkan frustrasi didefinisikan sebagai

interferensi eksternal terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan.

Jadi, pengalaman frustrasi membuat seseorang memunculkan

keinginan bertindak agresif terhadap penyebab frustrasi,yang akhirnya

memicu munculnya perilaku agresif.

3) Neo-asosianisme Kognitif

Pandangan ini menekankan pada peran persepsi kognitif yang

diasosiasikan terhadap pikiran, ingatan dan respon fisiologis. Menurut

Krahé (2001), frustrasi menyebabkan agresi hanya bila frustrasi itu

merangsang munculnya keadaan afektif negatif. Afektif negatif yang

muncul kemudian diasosiasikan menjadi dua reaksi impulsif yaitu

melawan dan menghindar. Melawan berkaitan dengan pikiran, ingatan,

dan respon fisiologis yang berhubungan dengan agresi, sedangkan

(37)

yang berhubungan dengan melarikan diri. Teori ini memberi

penekanan bahwa respon agresif merupakan salah satu respon yang

mungkin terhadap stimulasi yang tidak menyenangkan. Penekanan ini

menegaskan bahwa agresi bukanlah tidak dapat dihindari, tetapi

merupakan potensi perilaku manusia yang bersifat potensial, yang

dapat dibangkitkan atau ditekan.

4) Teori Pengalihan Rangsangan

Model pengalihan rangsangan ini dibangun berdasarkan teori

emosi dua-faktor, Schachter (1964), Zillman (1979) berpendapat

bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua

komponen, yaitu (1) kekuatan rangsangan fisiologis yang dibangkitkan

oleh kejadian yang tidak menyenangkan dan (2) cara rangsangan itu

dijelaskan dan diberi label. Model pengalihan rangsangan ini

khususnya berhubungan dengan kombinasi antara rangsangan

fisiologis dan penilaian kognitif yang terlibat dalam pengalaman

emosional mengenai kemarahan. Dengan mempengaruhi atribusi

terhadap rangsangan fisiologis, kecenderungan respon agresif dapat

diperkuat ataupun diperlemah.

5) Pendekatan Sosial Kognitif

Pendekatan ini mengeksplorasi 2 hal yaitu perkembangan

(38)

cara-cara pemrosesan informasi sosial yang khas yang membedakan

antara individu yang agresif dan yang non agresif.

Skemata kognitif yang mengacu pada situasi dan kejadian

disebut skrip. Skrip terdiri atas struktur pengetahuan yang

mendeskripsikan tentang “urutan kejadian yang sesuai untuk konteks

tertentu” (Schank dan Abelson,1977). Struktur pengetahuan ini

diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun pengalaman secara

tidak langsung seperti melalui media. Seseorang dapat membentuk

skrip agresif setelah ia menerima berbagai pengalaman agresi dalam

perjalanan hidupnya. Misalnya seorang anak yang melihat dalam

kesehariannya bahwa penyelesaian konflik adalah melalui agresi maka

anak tersebut akan membangun skrip agresif yang akan mengarahkan

anak tersebut berperilaku agresif apabila berada dalam sebuah konflik.

6) Belajar Menjadi Agresif

Pendekatan ini berpusat pada dua prinsip umum belajar, yaitu

pengkondisian instrumental dan meniru. Menurut Bandura (1983),

perilaku agresif bukanlah bawaan dari karakter manusia melainkan

hasil dari proses belajar seperti kebanyakan perilaku sosial lainnya.

Perilaku agresif merupakan wujud dari pengamatan dan penguatan

dari pihak lain. Misalnya seorang anak yang memenangkan

(39)

yang lebih besar untuk mengulangi perilakunya karena perilaku

agresifnya menghasilkan hal yang positif untuknya.

7) Model Interaksi Sosial

Model pendekatan ini diusulkan oleh Tedeschi dan Felson

(1994). Mereka memilih fokus pada tindakan koersif dan agresi

merupakan salah satu bentuk tindakan koersif khusus. Model ini

merumuskan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh pelaku untuk

menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntutan

pelaku berdasarkan tiga tujuan utama yaitu mengontrol perilaku orang

lain, menegakkan keadilan, atau mempertahankan atau melindungi

identitas positif.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif

Ada beberapa faktor yang mendasari atau menyebabkan munculnya

berbagai bentuk perilaku agresif. Dalam penelitian ini penulis mengambil

beberapa penyebab munculnya perilaku agresif, yaitu stimulus agresif, faktor

biologis, jenis kelamin, urutan kelahiran, dan lingkungan.

a. Stimulus Agresif

Stimulus agresif diyakini dapat memicu munculnya

respon-respon agresi. Berdasarkan pada hipotesa frustrasi-agresi, Berkowitz dan

LePage (1967) mengadakan penelitian untuk menyoroti pentingnya

stimulus agresif dalam memunculkan respon-respon agresif. Mereka

(40)

memiliki kemungkinan bertindak agresif terhadap penyebab frustrasinya

dengan adanya gambar senjata (objek agresi) daripada dengan adanya

gambar raket badminton (objek netral). Stimulus agresif dalam sebuah

situasi mengaktifkan skema kognitif yang berhubungan dengan agresi

sebagai pilihan respon yang menonjol.

b. Faktor Biologis

Menurut Davidoff (1991) ada 3 faktor biologis yang

mempengaruhi perilaku agresi, yaitu gen, sistem otak dan kimia darah.

1) Gen

Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural

otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan

terhadap binatang menunjukkan bahwa faktor keturunan tampaknya

membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah

marah dibandingkan betinanya.

2) Sistem Otak

Sistem otak juga dapat memperkuat atau menghambat sirkuit

neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat

dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbic (daerah

yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul

hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott

menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan

(41)

mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk

melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott (dalam

Davidoff, 1991) yakin bahwa keinginan yang kuat untuk

menghancurkan disebabkan cedera otak karena kurangnya rangsang

sewaktu bayi.

3) Kimia Darah

Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan

oleh faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.

Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikkan hormon testosterone

pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon

androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka

tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu

testosterone dikurangi, hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan

menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri

(dipotong anak kelaminnya) akan menjadi jinak, sedangkan pada

wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan

yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak

wanita menyatakan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung,

gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang

melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan agresi pada

(42)

c. Jenis Kelamin

Bjorkquists, dkk (dalam Pidada, 2003) mengatakan bahwa agresi

antara laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki bersifat lebih agresif

daripada perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki lebih sering terlibat agresi

fisik dan perempuan lebih sering terlibat dalam berbagai jenis agresi tidak

langsung yang bentuknya sulit diidentifikasikan oleh korbannya. Atau si

korban sering tidak menyadari bahwa ia menjadi sasaran dari suatu tindak

agresi. Sebagai contoh, salah satu bentuk perilaku agresi seperi ini pada

anak-anak adalah berbohong atau menyebarkan rumor dibelakang orang

yang menjadi sasaran, hal itu telah ditemukan sejak anak berusia 8 tahun

dan terus berkembang atau meningkat hingga usia 15 tahun dan terus

bertahan hingga dewasa.

d. Lingkungan

Ada beberapa bentuk faktor lingkungan yang mempengaruhi

munculnya perilaku agresif, yaitu kemiskinan, anominitas, dan

temperatur.

1) Kemiskinan

McCandless (dalam Davidoff, 1991) mengatakan bahwa jika

seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku

agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Bila terjadi

perkelahian di pemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang

(43)

maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model

agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak

sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam

situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan

ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak

seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara

memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh.

2) Anonimitas

Keadaan dimana terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif

yang membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu

orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui

secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi

anonim (tidak mempunyai identitas diri). Seseorang yang merasa

anonim akan cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia

merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang

bersimpati pada orang lain.

3) Urutan Kelahiran

Menurut Alder (dalam Alwisol, 2004) urutan kelahiran

mempunyai pengaruh yang penting dalam pembentukan kepribadian,

artinya anak yang mempunyai status tertentu dalam keluarga akan

cenderung berbeda kepribadiannya. Johnson dan Medinus (1974) juga

(44)

susunan urutan kelahiran anak dalam keluarga. Santrock (2003)

menggambarkan individu yang lahir lebih dahulu atau anak sulung

sebagai individu yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah,

lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif

dibandingkan dengan saudara kandungnya. Santrock (2003) juga

menggambarkan anak bungsu sebagai sebuah bayi di dalam keluarga

walaupun sudah bukan bayi lagi, karena dalam menghadapi resiko

menjadi terlalu tergantung. Hurlock (1978) kemudian mengatakan

bahwa anak kedua mempunyai sifat tergantung, ekstrovert, mudah

berkawan atau bergaul, dapat dipercaya, senang bergurau, mempunyai

penyesuaian diri yang baik dan agresif.

Berdasarkan pendapat Hurlock (1978) tersebut terlihat bahwa

anak urutan kelahiran kedua memang unik, mereka memiliki sifat-sifat

posesif tetapi juga ada sifat negatifnya yaitu mereka disebut agresif.

Hal tersebut terjadi karena dalam keluarga anak kedua merasa

orangtuanya telah mengabaikan dirinya, mereka dituntut untuk dapat

mandiri sedangkan orangtuanya terlalu sibuk dengan

saudara-saudaranya yang lain. Hal itulah yang kemudian membuat anak kedua

ini melakukan perilaku-perilaku menyimpang untuk mencari perhatian

dari keluarganya, mereka akan lebih mudah untuk menjadi anak yang

nakal dan tidak berprestasi (Verauli, 2005). Verauli (2005) kemudian

(45)

justru mudah mencari teman karena proses adaptasinya berjalan lebih

cepat. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena mereka merasa di

dalam rumah tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari

keluarganya, sehingga saat mereka keluar dari rumah mereka berusaha

untuk mendapat perhatian dari lingkungan sosialnya khususnya

teman-temannya, dengan cara menjadi teman yang menyenangkan.

4) Temperatur

Temuan-temuan empiris dari berbagai penelitian menunjukkan

bahwa temperatur udara yang tinggi berpengaruh pada peningkatan

agresi. Temperatur udara yang tinggi menimbulkan ketidaknyamanan

dalam diri seseorang. Ketidaknyamanan tersebut menimbulkan afektif

negatif yang pada akhirnya memicu munculnya perilaku agresif.

Sehingga temperatur udara merupakan salah satu variabel input yang

(46)

B. FOTO

1. Pengertian Foto

Menurut Wikipedia, foto adalah sebuah gambar yang diciptakan oleh

cahaya yang jatuh pada permukaan yang peka cahaya, pada umumnya

permukaan yang peka cahaya adalah film foto atau sensor elektronis seperti

CMOS dan CCD.

Menurut Chambers 20th century Dictionary (1983), foto didefinisikan

sebagai gambar yang dihasilkan melalui proses fotografi. Proses fotografi

didefinisikan sebagai sebuah seni atau proses menciptakan gambar permanen

dengan bantuan cahaya atau energi radian pada permukaan kimiawi.

Foto adalah hasil proses fotografi berupa citra media visual atau

gambar. Kata foto dipergunakan untuk merepresentasikan gambaran suatu

obyek yang terekam pada lempengan dua dimensi. Foto dapat dihasilkan dari

beragam teknologi fotografi seperti camera obscura, kamera Single Lens

Reflex dan media perekamannya dapat berupa film, kertas foto maupun sensor

digital.

2. Sejarah Foto

Foto permanen pertama kali dibuat oleh penemu Prancis Joseph

Nicéphore Niépce pada tahun 1826. Pembuatan foto ini didasarkan pada

penemuan Johann Heinrich Schultz (1724) yang menyatakan bahwa sebuah

campuran kapur dan perak akan berubah menjadi gelap apabila terekspos

(47)

Daguerre. Daguerre menemukan bahwa permukaan perak yang telah diberi

perlakuan kimiawi berupa pemberian uap iodin, sebelum ekspos cahaya

dilakukan, dan pemberian uap merkuri setelah ekspos cahaya dilakukan, dapat

memunculkan gambar pada permukaan perak, kemudian permukaan perak

dicuci dengan menggunakan air garam untuk membuat gambar yang muncul

menjadi permanen. Proses ini menghasilkan gambar yang populer disebut

sebagai daguerreotype. Keberhasilan metode ini membuat munculnya peluang

baru dalam pendokumentasian gambar. Daguerre mendokumentasikan

berbagai tempat di Prancis dengan menggunakan metode ini.

Ketidak-praktisan daguerreotype membuat peneliti lain mencoba

berbagai metode untuk menghasilkan foto dengan cara yang lebih praktis.

Pada tahun 1848 diperkenalkan metode collodion process, metode ini

menggunakan gelas kaca yang telah diberi cairan collodion. Metode ini dapat

menghasilkan gambar negatif yang dapat dicetak pada kertas albumen.

Kemudian pada tahun 1871 ditemukan proses gelatin yang menggunakan

permukaan film. Metode ini memiliki kepekaan cahaya yang sangat baik

sehingga mampu merekam gerakan yang berlangsung dalam sepersekian

detik. Oleh karena kemampuan metode ini untuk merekam gerak, maka

metode ini diterapkan untuk membuat dokumentasi mengenai aktivitas

manusia dan mulai diaplikasikan pada berbagai aspek kehidupan manusia

seperti jurnalisme, forensik, maupun foto potrait. Adaptasi dari metode ini

(48)

Pada tahun 1842, foto berwarna juga mulai dikembangkan oleh John

Herschel. Akan tetapi, foto berwarna baru populer pada tahun 1903 dengan

diperkenalkannya metode Lumière. Metode ini memiliki tingkat kesulitan

yang tinggi dalam menghasilkan gambar. Kesulitan dalam menghasilkan

gambar berwarna membuat perkembangan foto berwarna berjalan lambat.

Foto berwarna yang mudah dipergunakan muncul pada tahun 1932 dengan

diperkenalkannya film berwarna Agfa dan pada tahun 1935 dengan

diperkenalkannya Kodachorme. Meskipun penemuan film berwarna telah

membaik, penggunaan foto berwarna baru mulai diterapkan secara

menyeluruh pada tahun 60-an.

Penemuan media digital membawa pengaruh terhadap perkembangan

foto. Para peneliti tertarik untuk menyimpan foto pada media digital. Pada

awalnya foto digital diciptakan dengan memindai foto non-digital dengan

menggunakan scanner. Kemudian perusahaan elektronik Sony

memperkenalkan kamera digital Sony Mavica yang mempergunakan sensor

digital untuk menghasilkan gambar. Pada tahun 1990 Kodak memperkenalkan

DSC 100,kamera digital pertama yang diperdagangkan secara komersial.

Perkembangan fotografi digital yang cepat dan efisien membuat penggunaan

fotografi digital semakin diminati. Selain karena tidak mempergunakan film

dan cepat dalam pengiriman data, foto digital dapat dengan mudah dicetak di

(49)

dipergunakan oleh kalangan fotografer profesional karena film memiliki

kualitas ketajaman foto yang lebih baik daripada film digital.

3. Jenis-jenis Foto

Menurut media penyimpanan yang dipergunakan, foto dibagi menjadi

dua kelompok yaitu:

a. Foto Non-Digital

Foto non-digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses

kimiawi dengan medium berupa film negatif maupun positif dan dicetak

dengan medium kertas foto (kertas yang memiliki lapisan kimiawi).

b. Foto Digital

Foto digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses digital

yaitu menterjemahkan cahaya yang diterima sensor CMOS atau CCD

menjadi data digital yang berupa gambar digital dalam format JPEG,

TIFF, RAW dan dicetak menggunakan metode pencetakan digital

menggunakan inkjet printers, dye-sublimation printer, laser printers, dan

thermal printers.

4. Foto dan Obyektivitas

Foto memiliki kemampuan untuk merepresentasikan objek dengan

tingkat presisi yang tinggi. Apa yang dilihat oleh mata manusia akan direkam

dalam bentuk yang sama persis di dalam foto. Seperti yang diungkapkan oleh

Seno Gumira Ajidarma: “…Foto seekor kucing adalah kucing dan tiada lain

(50)

merekam kejadian melainkan juga sebagai sebuah metode untuk menangkap

realitas.

Pernyataan Ajidarma (2002) itu diperkuat pula oleh pernyataan

Atkins (dalam Johnson, 1989) yang menyebut sebuah foto sebagai

representasi sempurna dari obyeknya.

Menurut pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa foto

menghadirkan gambar secara obyektif. Obyektif dalam hal ini adalah

menghadirkan gambar sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan apa adanya.

Obyektivitas foto ini membuat foto sebagai alat yang handal untuk

melaporkan kondisi sebuah peristiwa atau obyek dalam kondisi yang

sesungguhnya.

Keobyektifan foto memberikan kontribusi yang penting terutama

terkait dengan jurnalisme dan forensik. Dunia jurnalisme yang memiliki etika

untuk menyampaikan berita seobyektif mungkin sangat terbantu dengan

kemampuan foto untuk merepresentasikan peristiwa atau obyek dalam presisi

yang tinggi. Sedangkan dalam dunia forensik, foto dipergunakan sebagai

bukti otentik yang mencatat realitas yang terjadi dalam suatu peristiwa seperti

pembunuhan dan kecelakaan. Foto dalam forensik dipergunakan sebagai alat

yang mencatat realitas visual yang nantinya akan dipergunakan dalam proses

(51)

C. Priming

1. Pengertian

Kata priming yang dipergunakan dalam psikologi merujuk pada ragam

fenomena yang muncul pada sebuah mekanisme identik. Jika seseorang

menerima suatu stimulus tertentu, maka stimulus tersebut akan meningkatkan

akses ke arah informasi tertentu yang telah ada di dalam ingatan seseorang.

(Mandel dan Johnson,2002)

Menurut Kolb & Whishaw (2003) priming di dalam psikologi muncul

ketika stimulus awal mempengaruhi respon pada stimulus selanjutnya.

Stimulus awal tersebut mengaktifkan bagian tertentu dari representasi atau

asosiasi di dalam ingatan sebelum seseorang melaksanakan aksi atau tugas.

Representasi tersebut telah aktif saat stimulus kedua diterima, yang kemudian

akan mempengaruhi bentuk perilaku atau sikap kepada stimulus kedua.

Priming didefinisikan pula sebagai sebuah mekanisme dimana sebuah

stimulus eksternal tertentu, seperti perilaku agresif, mengarahkan perhatian

individu ke konstruk mental yang kongruen seperti kognisi agresif.

Menurut Bushman (1998), Priming didefinisikan sebagai peningkatan

sementara dalam kemampuan mengakses sebuah konstruk. Konstruk dalam

hal ini adalah struktur pengetahuan yang dibangun dari pengetahuan atau

pengalaman dimasa lampau yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

terhadap keterkaitan antar objek dan situasi. Struktur pengetahuan ini dibagi

(52)

fenomena seperti benda-benda (kursi, meja, batu), dan peristiwa sosial

(tawuran, perang) (Anderson & Huesmann, 2003).

Efek priming, dalam kaitannya dengan interpretasi ambigu dari sebuah

informasi, adalah sebuah fenomena dimana sebuah konsep tertentu

dipengaruhi oleh informasi awal yang mempengaruhi interpretasi terhadap

informasi yang diterima setelahnya. Berdasarkan pada penelitian mengenai

efek priming, interpretasi terhadap stimulus ambigu dipengaruhi oleh jenis

stimulus yang diterima sebelumnya. (Sung-A, 1998)

Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

priming adalah sebuah fenomena atau mekanisme yang berkaitan dengan

pengaruh stimulus awal yang diterima individu terhadap interpretasi stimulus

lanjutan dimana stimulus awal mengaktifkan konstruk mental yang kongruen

atau berkaitan dengan stimulus awal dan dijadikan dasar dalam membangun

interpretasi terhadap stimulus lanjutan.

2. Bentuk-bentuk Priming

Menuru Vaidya (1999), berdasarkan jenis keterkaitan antara stimulus

awal dengan stimulus lanjutan, priming dibedakan menjadi 2 kategori yaitu:

a. Perseptual

Priming perseptual terjadi ketika terdapat kesamaan bentuk

antara stimulus awal dengan stimulus lanjutannya. Priming perseptual ini

(53)

b. Konseptual

Konseptual priming didasarkan pada makna yang melekat pada

stimulus dan diperkuat oleh makna semantiknya. Stimulus awal akan

mempengaruhi stimulus lanjutan berkaitan dengan kelekatan atau

kedekatan makna.

Menurut Se-Jun (1997), priming juga dibedakan menjadi dua bentuk

yaitu:

a. Semantik

Dalam priming semantik, prima dan target berasal dari kategori

semantik yang sama dan saling berbagi fitur.

b. Asosiatif

Priming asosiatif adalah priming yang targetnya memiliki

kemungkinan yang besar untuk muncul bersamaan dengan primanya, dan

diasosiasikan dengan prima meskipun tidak berkaitan dengan fitur

semantik.

3. Efek Priming pada Agresivitas

Stimulus agresi diyakini oleh para ahli sosial sebagai salah satu

pengaruh situasional terhadap agresi. Rangsangan negatif berkemungkinan

menimbulkan perilaku agresif.

Berkaitan dengan efek priming yang didefinisikan sebagai sebuah

fenomena atau mekanisme yang berkaitan dengan pengaruh stimulus awal

(54)

dapat ditingkatkan melalui kehadiran stimulus awal yang memiliki konten

agresif. Stimulus awal tersebut akan mengaktifkan konstruk mental yang

berkaitan dengan agresi dalam ingatan individu.

Penelitian tentang efek priming yang dikenal secara luas adalah

penelitian Berkowitz (1993). Penelitian Berkowitz tersebut memunculkan

sebuah istilah “efek senjata” yang merujuk pada peningkatan kecenderungan

berperilaku agresif setelah pemberian stimulus berupa gambar senjata.

Penelitian eksperimen Berkowitz menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan

antara efek priming dengan agresivitas.

Mekanisme efek priming pada agresivitas dimulai ketika seseorang

dalam kondisi frustrasi-agresi mendapatkan stimulus eksternal berupa

perilaku agresif ataupun benda yang memiliki makna, konten, atau asosiasi

agresif. Stimulus eksternal itu kemudian memicu munculnya pemikiran dan

perasaan agresif yang didapatkan dari meningkatnya kemampuan mengakses

konstruk mental agresif atau skema agresif atau skrip agresif. Sehingga ketika

individu dihadapkan pada stimulus lanjutan yang secara ambigu memiliki

kesamaan makna, konten, atau asosiasi agresif, maka individu tersebut akan

mengasosiasikan, mengevaluasi dan merepresentasikan konstruk mental

(55)

4. Foto Sebagai Efek Priming

Peran media yang memiliki konten kekerasan dalam memunculkan

priming agresif adalah relevan berkaitan dengan pengaktifan konstruk mental

agresif. Seperti yang diungkapkan oleh Baron dan Byrne (1991), bahwa

ekspos media yang memiliki konten kekerasan akan mampu memunculkan

pemikiran dan perasaan agresif dalam individu. Media dengan konten

agresivitas merupakan stimulus yang mengaktifkan konstruk mental agresif

dalam diri individu.

Menurut Baron dan Richardson (1994), orang-orang yang

berhubungan dengan berbagai kejadian agresif, misalnya karena mereka pada

situasi agresi tertentu atau menonton film agresif tertentu, bisa meningkatkan

kemenonjolan pikiran-pikiran agresif hanya melalui keberadaan

kejadian-kejadian agresif tersebut semata.

Foto sebagai salah satu media rekam yang menyampaikan situasi atau

kondisi dalam bentuk gambar dua dimensi memiliki potensi untuk berperan

sebagai priming dalam agresivitas. Hal yang membuat foto potensial sebagai

priming agresivitas adalah tingkat obyektivitas foto yang tinggi. Menurut

Atkins (dalam Johnson, 1989), foto adalah sebuah representasi sempurna dari

obyeknya. Berdasarkan pada pernyataan Atkins tersebut, dapat disimpulkan

bahwa foto merekam gambar sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan apa

adanya. Obyektivitas foto tersebut membuat foto dapat memuat beragam

(56)

agresif yang memiliki aspek yang kompleks seperti keberadaan korban,

pelaku, konteks, situasi, dan alat agresi, maka foto tersebut akan menjadi

sebuah stimulus visual yang memiliki konten agresivitas yang sama persis

dengan kondisi pada kenyataannya. Kemudian apabila foto dengan konten

agresivitas tersebut dikenakan kepada individu sebagai stimulus priming maka

foto akan mengaktifkan konstruk mental agresif yang telah dimiliki oleh

individu. Konten dalam foto seperti korban, pelaku, konteks, situasi, dan alat

agresi, memberikan petunjuk akan pengalaman agresif yang telah dimiliki

oleh individu tersebut. Jadi obyektivitas foto meningkatkan pula tingkat

kongruensi stimulus dengan konstruk mental individu.

Selain itu obyektivitas foto membuat seseorang percaya dan meyakini

bahwa foto adalah tanpa rekayasa, sehingga seseorang akan mempercayai

bahwa peristiwa agresi yang terjadi dalam foto adalah nyata dan benar-benar

terjadi di lingkungannya. Menurut Baron dan Byrne (1991), bahwa dengan

melihat perilaku agresif pada media pemirsanya akan mengasosiasikan

keadaan tersebut pada kondisi sosialnya. Jika media bermuatan agresivitas

tersebut kerap ia jumpai maka ia akan menganalogikan bahwa lingkungan

sosialnya berlaku sama, dengan demikian ia akan menerima atau

memaklumkan perilaku agresif tersebut dan kemudian akan memunculkan

perilaku tersebut. Dengan berdasar pada pernyataan diatas maka dapat

disimpulkan bahwa foto dapat berfungsi sebagai stimulus priming yang

(57)

D. Dampak Foto Sebagai Efek Priming Terhadap Kecenderungan Berperilaku

Agresif

Menurut Dollard (1936), keberadaan frustrasi mengarahkan individu

kepada munculnya perilaku agresif. Kondisi frustrasi individu dapat muncul ketika

invidu mengalami hambatan dalam pencapaian tujuannya. Pengalaman frustrasi

tersebut membuat individu memunculkan keinginan untuk bertindak agresif.

Ketika seseorang merasa frustrasi, ia akan mudah mengalami afektif

negatif yang akan diasosiasikan menjadi dua reaksi impulsif yaitu melawan atau

menghindar. Melawan berkaitan dengan pikiran, ingatan, dan respon fisiologis

yang berhubungan dengan agresi, sedangkan menghindar berkaitan dengan dengan

pikiran, ingatan, dan respon fisiologis yang berhubungan dengan melarikan diri.

Oleh karena itu, kondisi frustasi dapat diarahkan menjadi perilaku agresif apabila

seseorang memiliki pikiran, ingatan, dan respon fisiologis.

Ketika individu yang berada dalam kondisi frustasi dan dihadapkan pada

sebuah stimulus agresi maka individu tersebut akan melihat agresi sebagai sebuah

pilihan respon yang menonjol. Hal tersebut terjadi karena individu tersebut

memiliki akses yang lebih besar kepada pikiran dan ingatan tentang agresi.

Mekanisme efek priming pada agresivitas dimulai ketika seseorang dalam

kondisi frustrasi-agresi mendapatkan stimulus eksternal berupa foto yang memiliki

makna, konten, atau asosiasi agresif. Foto dengan konten agresif kemudian

memicu munculnya pemikiran dan perasaan agresif yang didapatkan dari

(58)

atau skrip agresif. Sehingga ketika individu dihadapkan pada stimulus lanjutan

yaitu skala posttest kecenderungan berperilaku agresif, maka individu tersebut

akan mengasosiasikan, mengevaluasi dan merepresentasikan konstruk mental

agresif dalam bentuk respon terhadap stimulus lanjutan tersebut.

Apabila foto merekam suatu peristiwa agresif yang memiliki aspek yang

kompleks seperti keberadaan korban, pelaku, konteks, situasi, dan alat agresi,

maka foto tersebut akan menjadi sebuah stimulus visual yang memiliki konten

agresivitas yang sama persis dengan kondisi pada kenyataannya. Kemudian

apabila foto dengan konten agresivitas tersebut dikenakan kepada individu sebagai

stimulus priming maka foto akan mengaktifkan konstruk mental agresif yang telah

dimiliki oleh individu. Konten dalam foto seperti korban, pelaku, konteks, situasi,

dan alat agresi, memberikan petunjuk akan pengalaman agresif yang telah dimiliki

oleh individu tersebut. Jadi obyektivitas foto meningkatkan pula tingkat

kongruensi stimulus dengan konstruk mental individu.

E. Hipotesis

Foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan

(59)

38

METODE PENELITIAN

Penelitian sebagai rangkaian penelitian ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah. Hasil penelitian merupakan bagian dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar. Dengan penelitian diharapkan diperoleh informasi yang jalas dan akurat. Namun hal tersebut hanya akan diperoleh jika metode yang digunakan juga jelas. Berikut ini uraian tentang jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, desain eksperimen, metode pengumpulan data dan alat penelitian, uji validitas dan reliabilitas, dan analisis data penelitian.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku individu yang diamati.

(60)

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:

1. Variabel eksperimen : efek priming

2. Variabel terikat : kecenderungan berperilaku agresif

C. Definisi Operasional

Variabel-variabel di atas mempunyai definisi operasional sebagai

berikut:

1. Efek Priming

Efek priming pada penelitian ini adalah pemberian stimulus eksternal

berupa foto yang memiliki makna, konten, atau asosiasi agresif. Konten

agresif tersebut dibagi ke dalam 2 aspek besar yaitu aspek umum dan aspek

khusus. Aspek umum yang dipergunakan adalah foto jurnalistik yang

memiliki aspek keberadaan korban, pelaku, alat agresi, dan situasi.

Aspek-aspek tersebut dapat berdiri sendiri maupun dalam satu. Aspek khusus yang

dipergunakan adalah teori agresivitas yang mencantumkan contoh konkrit

perilaku agresi. Teori yang pertama adalah teori Breakwell (2002); agresi

melibatkan setiap bentuk penyiksaan psikologis atau emosional seperti

menakut-nakuti, mempermalukan, atau mengancam seseorang. Teori yang

kedua adalah menurut Apollo (2003); kecenderungan agresivitas oleh

masyarakat luas sering didefinisikan dengan hal-hal yang berhubungan

(61)

penganiayaan. Kemudian, teori ketiga yang dipergunakan adalah teori Sears

(1994); agresi antisosial seperti tindakan kriminal tak beralasan, pembunuhan,

ataupun pemukulan oleh sekelompok orang. Teori keempat adalah klasifikasi

bentuk perilaku agresif menurut Buss (1961). 10 Foto dengan konten agresif

diperlihatkan kepada subjek untuk diperhatikan selama 30 detik untuk tiap

fotonya.

2. Kecenderungan Berperilaku Agresif

Kecenderungan berperilaku agresif dalam penelitian ini dapat diartikan

sebagai respon subjek penelitian terhadap skala pengukuran kecenderungan

berperilaku agresif yang dibangun berdasarkan 8 klasifikasi bentuk perilaku

agresif menurut Buss (1961).

D. Subyek Penelitian

Pemilihan subjek atau sampel penelitian dalam penelitian ini

menggunakan teknik non-random berjenis sampling strata atau stratified

sampling. Teknik ini menentukan sampel berdasarkan tingkatan ciri

populasinya. Ciri populasi sampel dalam penelitian ini adalah usia. Usia subjek

yang dapat turut serta dalam penelitian adalah subjek yang berusia antara

18-30 tahun.

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang. Kelimapuluh

orang tersebut ditempatkan pada dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan

(62)

Teknik penempatan subjek (assignment) dalam kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan menggunakan teknik random assignment melalui bantuan

program komputer berbasis java script (math.random).

E. Desain Eksperimen

Desain eksperimen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

desain eksperimen (experimental design) dengan jenis desain eksperimen

ulang (pretest-posttest control group design).

Dengan demikian akan diperoleh empat macam kelompok variabel test

tercoba, dua hasil test awal (T1 dan T2) dan dua hasil test akhir (T3 dan T4).

Penelitian ini menggunakan random assignment dalam penempatan

subjek/sampel sehingga tipe desain dapat digambarkan sebagai berikut :

R (M) T1 (X)  T2

R (M) T3 (-)  T4

Keterangan:

M : Matching

R : Random assignment

T : Test

X : Perlakuan

(63)

F. Metode Pengumpulan Data dan Alat Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala yang

stimulusnya (itemnya) berupa pernyataan yang tidak secara langsung

mengungkap atribut yang bersangkutan (Azwar, 1999). Subjek penelitian diminta

untuk mengisi pernyataan-pernyataan yang dirangkai dalam bentuk skala. Skala

yang dipakai dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan berperilaku agresif.

Skala kecenderungan berperilaku agresif akan dipaparkan dengan

menggunakan metode rating yang dijumlahkan (summated rating) atau lebih

dikenal dengan penskalaan Likert. Metode penskalaan ini menggunakan distribusi

respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Pernyataan-pernyataan ini

nantinya akan meggunakan tiga alternatif jawaban yaitu S (Sesuai), KS (Kurang

Sesuai), dan TS (Tidak Sesuai). Item-item diberi skor S = 2, KS = 1, TS = 0. Skor

total diperoleh dari menjumlahkan semua skor item yang diperoleh responden.

Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat

kecenderungan berperilaku agresif pada subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor

yang diperoleh, semakin rendah pula kecenderungan berperilaku agresif pada

subjek.

Sebagai langkah selanjutnya dalam penelitian, peneliti menyusun blue

(64)

menjadi acuan serta pedoman untuk tetap berada dalam lingkup ukur yang benar

(Azwar, 1999).

Tabel 1

Blue Print dan Persebaran Butir Item Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif

Dimensi Sifat Obyek Jumlah Item Prosentase

Fisik

Aktif Langsung 7 17,5%

Aktif Tak Langsung 6 15%

Pasif Langsung 2 5%

Pasif Tak Langsung 6 15%

Verbal

Aktif Langsung 7 17,5%

Aktif Tak Langsung 5 12,5%

Pasif Langsung 5 12,5%

Pasif Tak Langsung 2 5%

TOTAL 40 100%

Mengingat desain penelitian yang dipergunakan adalah pretest-posttest

design maka penelitian ini menggunakan dua alat test yang memiliki karakteristik

yang sama namun memiliki item yang berbeda. Langkah ini diambil untuk

menghindari munculnya kesalahan penelitian berupa munculnya jawaban subjek

(65)

Gambar

Gambar 1. Foto yang dipergunakan dalam penelitian ....................................
Grafik 1. Perbandingan Mean Empiris dan mean Teoritis  ..............................
gambar. Beragamnya jenis pemberitaan dalam media massa memberikan beragam
gambar bergerak.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah