SEBAGAI PRIMING EFFECTS
TERHADAP KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Paulus Anang Wirawan NIM : 049114023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Dan akan semakin kreatif
Jika mau belajar kreatif ”.
v
Saya meny memuat k kutipan da
yatakan den karya atau ba an daftar pu
ngan sesung agian karya ustaka, sebag
vi
gguhnya bah a orang lain,
gaimana lay
hwa skripsi , kecuali yan yaknya kary
Yogyakar Penulis,
Paulus An
yang saya t ng telah dis ya ilmiah.
rta, 28 Juli 2
nang Wiraw
tulis ini tida sebutkan da
2011
wan
vii
Paulus Anang Wirawan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat dampak foto sebagai priming effects terhadap kecenderungan berperilaku agresif. Subjek penelitian ini adalah orang yang berusia 18 hingga 30 tahun. Subjek berjumlah 50 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Subjek pada kelompok eksperimen dengan jumlah 25 orang diberikan perlakuan berupa penyajian foto dengan konten agresif sebagai priming effects. Sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan. Desain penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen (experimentalal design) dengan jenis desain eksperimen ulang (pretest-posttest control group design). Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan independent sample t-test yang dikenakan pada skor perolehan (gain score). Hipotesis yang diajukan adalah Foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan kecenderungan berperilaku agresif. Berdasarkan hasil pengujian dapat diketahui bahwa harga t yang diperoleh adalah -3,170 dengan taraf signifikansi 0,003. Hal ini berarti kelompok eksperimen memiliki perubahan yang signifikan dibanding kelompok kontrol. Hipotesis yang diajukan diterima yaitu foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan kecenderungan berperilaku agresif. Selain itu, mean untuk kelompok kontrol lebih rendah daripada mean kelompok eksperimen (-0,640<4,0). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki perubahan yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
viii
Paulus Anang Wirawan ABSTRACT
This research aims to investigate wheter is a photo impact as priming effects toward the tendency of aggressive behavior. The subject of this research is individuals at 18-30 years of age. 50 individuals are divided into 2 groups: the experimental group and the control group. Those 25 individuals in the experimental group are given a presentation of photographs with aggressive contents as priming effects. Meanwhile, those in the control group do not receive the same treatment. Research design in this research is experimental design, specifically the pretest-posttest control group design. The hypothesis in this research is tested using the independent sample t-test, known as gain score. The hypothesis proposed in this research is that photographs with aggressive contents as priming effects trigger the increase of tendency of aggressive behavior. Based on the result of the test, it is thus recognized that t value obtained is -3,170, with significance degree 0,003. This means that the experimental group experiences significant alteration compared to the control group. The hypothesis of this research – that photographs with aggressive contents as priming effects trigger the increase of the tendency of aggressive behavior – is accepted. In addition, the mean in the control group is lower than that of the experimental group (-0,640<4,0).
Yang bert Nama Nomor M Demi p Perpustak
TE
beserta p memberik menyimp bentuk mempubl akademis kepada sa Demikian Dibuat di Pada tang Yang men (Paulus A tanda tangan Mahasiswa pengembang kaan Univer DAMPA ERHADAP
perangkat y kan kepada an, menga pangkalan ikasikannya tanpa perl aya selama n pernyataan
Yogyakart ggal : 28 Ju
nyatakan,
Anang Wiraw
n di bawah : Paulus : 049114 gan ilmu rsitas Sanata AK FOTO P KECEND yang diper a Perpusta alihkan da n data,
a di Inte lu memint
tetap menc n ini yang s
ta uli 2011
wan)
ix
ini, saya ma s Anang Wi
4023 pengetah a Dharma k
SEBAGAI DERUNGAN
rlukan (bil akaan Univ
alam bentu mendistr ernet atau
a izin dar antumkan n aya buat de
ahasiswa Un rawan
huan, say karya ilmiah
I PRIMMIN
N BERPER
la ada). D versitas Sa uk media ribusikan u media ri saya ma nama saya s engan seben
niversitas S
ya memb h saya yang NG EFFEC
RILAKU A
Dengan d anata Dharm
lain, men secara lain untu aupun mem
ebagai penu narnya. Sanata Dhar berikan ke berjudul : CTS AGRESIF demikian ma hak u ngelolanya d
terbatas, uk kepent mberikan ro
x
Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih karena atas rahmat dan kasih-Nya, skripsi dengan judul “Dampak Foto Sebagai Priming Effects Terhadap Kecenderungan Berperilaku Agresif” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi, Program Studi Psikologi. Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis dengan penuh rasa syukur mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Titik Kristiyani S.Psi, M.Psi. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi.
3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan inspirasi, arahan, dan bimbingan kepada penulis.
4. Ibu Dra. Lusia Darmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak nasehat selama penulis belajar di Fakultas Psikologi.
xi
Carolus Wijoyo Adinugroho, S.Psi., Siswa Widyatmoko, S.Psi., dan Silvia Carolina, S.Psi., M.Si., yang bersedia memilih foto yang akan digunakan dalam penelitian.
7. Drs. Haryanta Mardi Raharja dan Theresia Heni Subekti yang tidak berhenti berharap dan selalu mendukung setiap langkah saya.
8. Petrus Anang Setiawan sebagai adik saya. Pada tanggal 1 Agustus 2011 kita sama-sama Mahasiswa Universitas Sanata Dharma.
9. Bernadheta Vera Setyawati yang selalu menemani dan menyemangati. Terimakasih telah menjadi kekasih yang istimewa.
10.Teman-teman Angkatan 2004 yang berada di ujung tanduk pada tanggal 29 Juli 2011. Terima kasih atas dukungan melewati masa-masa kritis. Tetap semangat.
11.Asisten penelitian eksperimen: Zakarias Andrianto, Pasifikus Christa Wijaya, S.Psi., Timotius Aditya Lodo Ratu, Yohanes Batista, Tristan S, Bramamanto Ranggamukti, Esti Wahyuningrum, S.Psi., Stefanus Guntur Yoga, Yasinta Astin Sokang, S.Psi.
12.Staf Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nanik, dan Pak Gi.
13.Teman-teman TN dan TO; Aconk, Sapi, Windra, Barjo, Kopeto, Broti, Topix, dll. Terimakasih atas semua proses yang telah kita jalani.
Rendr 16.Seluru 17.Seluru 18.Semua penyel Pen kritik dan dengan se
a, Theara, d uh teman-tem uh subjek pe
a pihak yan lesaian skrip nulis menya saran yang nang hati.
dan Mas Wi man angkat enelitian yan ng tidak dap
psi ini. adari bahw membangu xii ira.
tan 2004. Te ng bersedia pat saya seb
wa skripsi in un berkaitan
etap sukses a berpartisip but satu per
ni masih ja n dengan sk
dan semang pasi dalam p
r satu yang
auh dari se kripsi ini aka
Yogyaka
P gat.
penelitian in g berperan d
empurna. S an penulis te
rta, 28 Juli
xiii
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR GRAFIK ... xx
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
xiv
2. Manfaat Teoritis ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 7
A. Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 7
1. Pengertian... 7
2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif... 9
3. Teori-teori Perilaku Agresif ... 12
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif ... 18
B. Foto ... 25
1. Pengertian Foto ... 25
2. Sejarah Foto ... 25
3. Jenis-jenis Foto ... 28
4. Foto dan Obyektivitas ... 28
C. Priming ... 30
1. Pengertian... 30
2. Bentuk-bentuk Priming ... 31
3. Efek Priming pada Agresivitas ... 32
4. Foto Sebagai Efek Priming ... 34
D. Dampak Foto Sebagai Efek Priming Terhadap Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 36
E. Hipotesis ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
xv
C. Definisi Operasional ... 39
1. Efek Priming ... 39
2. Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 40
D. Subyek Penelitian ... 40
E. Desain Eksperimen ... 41
F. Metode Pengumpulan Data dan Alat Penelitian ... 42
1. Metode Pengumpulan Data ... 42
2. Alat Penelitian ... 44
G. Validitas dan Reliabilitas ... 47
1. Ujicoba Alat Ukur Penelitian ... 49
2. Hasil Ujicoba Alat Ukur Penelitian ... 50
3. Uji Korelasional Skor Pretest dan Skor Posttest ... 54
4. Seleksi Alat Eksperimen ... 55
H. Prosedur Eksperimen ... 57
1. Pengantar Penelitian ... 57
2. Pengontrolan Kondisi Awal ... 57
3. Pretest ... 61
4. Pemberian Perlakuan ... 62
5. Posttest ... 63
6. Debriefing dan Relaksasi ... 63
7. Penutup ... 64
xvi
J. Persiapan Penelitian ... 64
1. Perijinan ... 64
2. Persiapan Ruang Eksperimen... 65
3. Persiapan Subjek Penelitian ... 68
4. Jadwal Penelitian... 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 70
A. Pelaksanaan Penelitian ... 70
B. Deskripsi Subyek dan Data Penelitian ... 71
1. Subyek Penelitian ... 71
2. Data Penelitian ... 72
C. Uji Asumsi Statistik ... 74
1. Uji Normalitas ... 74
2. Uji Homogenitas ... 75
D. Uji Hipotesis ... 76
1. Analisis Uji Beda Antar Pretest ... 76
2. Analisis Independent-Samples T Test... 77
3. Analisis Kovarians ... 78
E. Pembahasan ... 79
BAB V PENUTUP ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Keterbatasan Penelitian ... 83
xvii
2. Saran berkait dengan kelanjutan penelitian ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
SUMBER GAMBAR ... 90
xviii
Halaman Tabel 1. Blue Print dan Persebaran Butir Item Skala Kecenderungan
Berperilaku Agresif ... 43
Tabel 2. Persebaran Butir Item Skala Pretest (Skala P1) Pada Saat Ujicoba ... 51
Tabel 3. Persebaran Butir Item Skala Pretest (Skala P2) Pada Saat Ujicoba ... 53
Tabel 4. Hasil Uji Independent-Samples T Test ... 55
Tabel 5. Hasil Seleksi Foto Alat Penelitian ... ... 56
Tabel 6. Jadwal Penelitian ... 69
Tabel 7. Karakteristik Subjek Penelitian ... 71
Tabel 8. Rangkuman Data Pretest Kelompok Kontrol & Eksperimen ... 73
Tabel 9. Rangkuman Data Posttest Kelompok Kontrol & Eksperimen ... 73
Tabel 10. Uji Normalitas ... 75
Tabel 11. Uji Homogenitas ... 76
Tabel 12. Hasil Uji Beda Antar Pretest ... 80
Tabel 13. Hasil Uji Independent-Samples T Test ... 76
xix
Halaman
Gambar 1. Foto yang dipergunakan dalam penelitian ... 44
Gambar 2. Mirror Tracer ... 46
Gambar 3. Tata ruang untuk Ruangan Eksperimen ... 66
Gambar 4. Tata ruang untuk Ruangan Debriefing dan Relaksasi ... 67
xx
xxi
Halaman
Lampiran 1. DATA DAN HASIL ANALISIS SELEKSI FOTO ... 92
Lampiran 2. DATA DAN HASIL ANALISIS UJI COBA ALAT UKUR ... 95
Lampiran 3. DATA DAN HASIL ANALISIS PENELITIAN ... 127
Lampiran 4. SKALA UJICOBA PRETEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 134
Lampiran 5. SKALA UJICOBA POSTTEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 144
Lampiran 6. SKALA PENELITIAN PRETEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 154
Lampiran 7. SKALA PENELITIAN POSTTEST KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF ... 158
Lampiran 8. INFORMED CONSENT DAN SURAT PERNYATAAN KEIKUTSERTAAN DALAM PENELITIAN ... 163
Lampiran 9. ALAT EKSPERIMEN (FOTO) ... 166
Lampiran 10. DOKUMENTASI PELAKSANAAN EKSPERIMEN ... 171
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia kini hidup pada dunia informasi. Setiap orang dapat dengan mudah mengakses informasi yang ditawarkan oleh para penyedia jasa informasi seperti surat kabar, televisi, dan internet. Berbagai berita di pelosok dunia diwartakan dengan beragam pilihan penyajian berita, pilihan sudut pandang foto, pilihan highlight kalimat dan pilihan caption atau catatan gambar.
Beragamnya jenis pemberitaan dalam media massa memberikan beragam pengaruh pada perilaku masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Hakim (2006); “Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukkan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang,” Pendapat tersebut diperkuat dengan munculnya fenomena seperti kasus kekerasan seorang anak pada teman sepermainannya karena meniru perilaku tokoh gulat kesayangannya yang muncul pada acara WWF Smack Down.
Foto adalah hasil proses fotografi berupa citra media visual. Kata foto
dipergunakan untuk merepresentasikan gambaran suatu obyek yang terekam pada
lempengan dua dimensi. Foto dapat dihasilkan dari beragam teknologi fotografi
seperti camera obscura, kamera Single Lens Reflex dan media perekamannya
dapat berupa film, kertas foto maupun sensor digital.
Fotografi dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas
Ajidarma (2002). Asumsi tersebut hingga kini masih diyakini dalam kehidupan
sehari-hari seperti yang disinggung oleh Ajidarma (2002) bahwa foto merupakan
usaha manusia untuk dapat merepresentasikan realitas seobyektif mungkin.
Dengan demikian maka citra foto diyakini sebagai realitas visual itu sendiri.
“Foto seekor kucing adalah kucing dan tiada lain selain kucing”.
Perilaku agresif itu sendiri didefinisikan oleh Baron dan Richardson (1994)
sebagai “….any behaviour that harm or injure other”. Selain itu agresif berarti
juga sebagai sebuah tingkah laku yang mengancam atau melukai integritas
seseorang secara fisik, psikologis atau sosiologis, merusak obyek atau
lingkungan. Dari dua deskripsi tentang perilaku agresif tersebut dapat ditarik
sebuah benang merah yaitu usaha untuk melukai orang lain.
Kecenderungan berperilaku agresif sebagai kawasan afektif khususnya sikap
dapat digambarkan sebagai kesiapan untuk selalu menanggapi dengan cara
tertentu dan menekankan implikasi perilakunya Oskamp (1991). Hal ini berarti,
sikap berimplikasi pada perilaku seseorang atau perilaku merupakan cerminan
melalui sikap seseorang terhadap sebuah kondisi ataupun melalui perilaku
seseorang yang dapat diobservasi.
Berbagai penelitian yang melibatkan kecenderungan berperilaku agresif telah
banyak dilaksanakan oleh para ahli. Penelitian-penelitian tersebut dilaksanakan
dengan mempergunakan berbagai metode dan alat ukur. Bandura (1963)
misalnya, ia meneliti mengenai perilaku belajar sosial berkaitan kecenderungan
berperilaku agresif dengan menggunakan metode eksperimen. Bandura
memperlihatkan kepada sekelompok anak sebuah adegan seseorang memukuli
boneka. Kemudian Bandura melakukan observasi mengenai perilaku anak yang
telah menyaksikan adegan agresif ketika mereka diberi boneka yang sama dengan
yang telah mereka saksikan. Hasil penelitian Bandura menunjukkan bahwa anak
yang menyaksikan adegan pemukulan boneka melakukan adegan yang serupa
terhadap boneka tersebut.
Peneliti lain juga melakukan penelitian agresivitas dengan menggunakan
metode kuantitatif melalui analisis statistik. Saad (2003) melakukan penelitian
mengenai variabel yang mempengaruhi agresivitas. Ia menggunakan skala
psikologi untuk mengukur kecenderungan berperilaku agresif serta berbagai
variabel dalam penelitiannya seperti konsep diri, hubungan orang tua serta
kualitas tempat tinggal. Skala psikologi tersebut ia susun berdasarkan berbagai
aspek yang mempengaruhi variabel-variabel tersebut. Penelitian Saad (2003)
hubungan orang tua, dan kualitas tempat tinggal dengan kecenderungan
berperilaku agresif.
Media diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan munculya
kecenderungan berperilaku agresif. Oleh para ahli komunikasi, pengaruh media
terhadap perilaku dikenal sebagai efek media. Pakar komunikasi Joseph
Straubhaar dan Robert La Rose (2000), misalnya, menjelaskan efek media
sebagai perubahan dalam pengetahuan (kognisi), sikap, emosi, atau perilaku yang
merupakan hasil dari terpaan (eksposure) media massa.
Kecenderungan berperilaku agresif dimungkinkan muncul setelah menerima
informasi dari media karena peningkatan kecenderungan berperilaku agresif
melalui proses Priming Effects atau stimulasi dari ide dan pemikiran agresif.
Media memberikan ide terhadap pemirsanya tentang bentuk perilaku agresivitas
yang ditayangkan pada media tersebut.
Foto sebagai media dua dimensi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
memicu kecenderungan berperilaku agresif daripada film atau gambar bergerak.
Hal tersebut dapat terjadi karena foto diyakini oleh masyarakat sebagai
representasi sebuah realitas obyektif.. Ketika menyaksikan film, seseorang telah
menyadari bahwa itu merupakan rekayasa. Meskipun demikian pada film tetap
terjadi proses imitasi perilaku agresivitas. Dengan demikian foto yang telah
diyakini oleh masyarakat sebagai realitas obyektif memiliki kemungkinan untuk
mempengaruhi kecenderungan berperilaku agresif jauh lebih besar dari pada
Hal tersebut didukung dengan pernyataan Baron dan Byrne (1991), bahwa
dengan melihat perilaku agresif pada media, pemirsanya akan mengasosiasikan
keadaan tersebut pada kondisi sosialnya. Jika media bermuatan agresivitas
tersebut kerap ia jumpai maka ia akan menganalogikan bahwa lingkungan
sosialnya berlaku sama, dengan demikian ia akan menerima atau memaklumkan
perilaku agresif tersebut dan kemudian akan memunculkan perilaku tersebut.
Penelitian oleh Anderson, Benjamin dan Bartholow (1998) tentang efek
priming senjata pada pemburu dan bukan pemburu mengindikasikan bahwa
terdapat peningkatan akses pemikiran agresif pada subjek penelitian yang
mendapatkan perlakuan berupa gambar senjata. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kehadiran gambar senjata dapat meningkatkan kemampuan subjek dalam
mengakses konstruk agresif. Berdasarkan penelitian diatas peneliti mencoba
untuk memberikan sumbangan ilmiah untuk menelaah dampak foto sebagai efek
priming terhadap kecendurungan berperilaku agresif dengan mempergunakan
stimulus berupa foto jurnalistik yang tidak hanya menggunakan gambar senjata
seperti pada penelitian Anderson, Benjamin dan Bartholow (1998), akan tetapi
menggunakan foto yang meliputi beragam aspek seperti alat agresi, pelaku agresi,
korban, dan situasi agresi.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah foto dengan konten agresif dapat memicu peningkatan
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak foto sebagai priming
effects terhadap kecenderungan berperilaku agresif .
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Praktis
a. Memberi pemahaman dan informasi kepada pembaca mengenai dampak
foto terhadap kecenderungan berperilaku agresif.
b. Sebagai suatu wacana dan dasar pembuatan keputusan dalam pemuatan
foto bagi media massa.
2. Manfaat Teoritis
a. Memberi sumbangan teoritis maupun hasil penelitian tentang dampak foto
terhadap kecenderungan berperilaku agresif.
b. Sebagai bahan referensi penelitian lain di bidang psikologi sosial terutama
7
LANDASAN TEORI
A. KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF
1. Pengertian
Menurut Herbert (1978) tingkah laku agresif merupakan suatu bentuk tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial yang menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain atau bersifat merusak benda.
Breakwell (2002) juga memberikan definisi agresi sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang bertentangan dengan kemauan orang itu. Hal ini berarti bahwa menyakiti orang lain secara sengaja bukan disebut sebagai agresi jika di pihak yang dirugikan menghendaki hal itu terjadi. Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau emosional seperti mempermalukan, menakut-nakuti, atau mengancam seseorang.
Johnson dan Medinus (1974) mengatakan bahwa agresi merupakan
segala perilaku atau tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain.
Selain itu perilaku agresif juga disebut sebagai perilaku maladaptif.
Dari berbagai pendapat atau definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
perilaku agresif merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dengan
sengaja dilakukan untuk menyakiti, melukai serta merugikan orang lain juga
dirinya sendiri, selain itu juga tidak dapat diterima secara sosial.
Kecenderungan menurut Chaplin (1995), merupakan suatu set atau
susunan sikap untuk bertingkahlaku dengan cara tertentu. Soekanto (1993)
juga mendefinisikan kecenderungan sebagai suatu dorongan yang muncul dari
dalam diri seseorang secara inheren menuju suatu arah tertentu, untuk
menunjukkan sikap suka atau tidak suka pada suatu objek. Dari kedua
pendapat tersebut disimpulkan bahwa kecenderungan merupakan suatu
potensi yang mengarah pada perilaku tertentu untuk menunjukkan sikap suka
atau tidak sukanya pada objek tertentu seperti perilaku agresif atau agresivitas.
Proses terjadinya kecenderungan berperilaku agresif bermula dari
persepsi. Persepsi yang negatif terhadap sesuatu membuat seseorang memiliki
sikap yang negatif pula terhadap hal tersebut. Sikap negatif yang diyakini
kebenarannya akan mempengaruhi perilaku seseorang. Bila sikap tersebut
berkenaan dengan ketidaksukaan yang mengarah pada suatu tindakan
kekerasan terhadap seseorang atau kelompok, maka sikap tersebut di
Kecenderungan perilaku agresif oleh para ahli ilmu sosial
Apollo,2003 didefinisikan sebagai suatu niat untuk menyakiti diri sendiri,
orang lain atau mahkluk hidup. Kecenderungan ini terdapat disetiap negara
manapun, dilakukan oleh manusia tidak memandang jenis kelamin, usia,
status sosial, ataupun suku bangsa. Kecenderungan agresivitas oleh
masyarakat luas Apollo,2003 sering didefinisikan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pertengkaran, pertikaian, perkelahian, pengrusakan, dan
penganiayaan.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif
Agresi bila dipandang dari jenisnya memiliki keragaman bentuk, di
antaranya seperti yang dikemukakan oleh ahli-ahli berikut ini; Berkowitz
(1993), membedakan agresi ke dalam dua kelompok: pertama, agresi
instrumental, yaitu agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu
sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua agresi benci atau
agresi impulsif, yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan
keinginan untuk melukai atau menyakiti atau regresi tanpa tujuan selain untuk
menimbulkan efek kerusakan kesakitan atau kematian pada sasaran atau
korban.
Jersild (1975) mengemukakan dua bentuk perilaku agresif, yaitu
perilaku agresif terbuka dan tersembunyi. Perilaku agresif yang terbuka
merupakan suatu bentuk perilaku agresif yang tampak dan dapat diamati dan
agresif yang tidak tampak yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang
lain.
Agresi berdasarkan maksud dan tujuannya dibedakan menjadi tiga
hal oleh Sears( 1994 ). Pertama, Agresi antisosial, yaitu perilaku agresi
bertujuan buruk dan dianggap melanggar norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Seperti tindakan kriminal tak beralasan, pembunuhan ataupun
pemukulan oleh sekelompok orang. Kedua, agresi prososial, yaitu perilaku
agresi yang bertujuan baik dan disetujui oleh norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Seperti polisi yang menembak penjahat, dokter yang
mengamputasi pasien, dan sebagainya. Selain agresi anti dan prososial, Sears
(1994) menyatakan bahwa terdapat agresi yang berada di antara agresi anti
dan prososial, yaitu agresi yang disetujui (sanctioned aggression). Ini meliputi
tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial namun masih berada
pada batas yang wajar. Tindakan yang muncul tidak melanggar batas moral
yang telah disepakati.
Buss (1961) juga mengelompokkan agresi dalam delapan bentuk,
yaitu: pertama, agresi fisik langsung, merupakan tindaan agresi fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan secara
langsung dengan individu/kelompok lain, seperti: mendorong, melukai,
menembak. Kedua, agresi fisik pasif langsung, yaitu tindakan agresi fisik
yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan
langsung, seperti: demonstrasi, aksi mogok (aksi diam). Ketiga, agresi fisik
aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh
individu/kelompok dengan cara tidak berhadap-hadapan secara langsung
dengan individu/kelompok lain, seperti: merusak harta korban, membakar
rumah, menyewa tukang pukul. Keempat, agresi fisik pasif tidak langsung,
yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara tidak berhadap-hadapan dengan inividu/kelompok lain dan tidak terjadi
kontak fisik secara langsung, seperti: tidak peduli, apatis, masa bodoh.
Kelima, agresi verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
diakukan oleh individu/kelompok lain, seperti: menghina, memaki, marah,
mengumpat. Keenam, agresi verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi
verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadap-hadapan
dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara
langsung, seperti: menolak bicara, bungkam. Ketujuh, agresi verbal aktif tidak
langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok
dengan cara tidak berhadap-hadapan secara langsung dengan
individu/keompok lain seperti: menyebar fitnah, mengadu domba. Kedelapan,
agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan
oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadap-hadapan dengan
individu/kelompok lain dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung,
seperti: tidak memberi dukungan pada kelompok, tidak menggunakan hak
3. Teori-teori Perilaku Agresif
Perilaku agresif yang bersifat merugikan dan mudah menyebar di
masyarakat, membuat para ahli berusaha mencari penjelasan mengenai
perilaku ini. Usaha pencarian tersebut melahirkan beragam teori yang berasal
dari berbagai macam pendekatan teoritis. Akan tetapi keberagaman tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu penjelasan biologis
dan penjelasan psikologis.
a. Penjelasan Biologis
Menurut Krahé (2001), terdapat tiga model yang mengacu pada
prinsip-prinsip biologis dalam menjelaskan agresi yaitu: pendekatan
etologis, pendekatan sosiobiologis, dan pendekatan genetika perilaku.
Ketiga pendekatan ini memiliki asumsi dasar yang sama, yaitu bahwa akar
perilaku agresif terletak pada sifat biologis, bukan pada fungsi psikologis
manusia.
1) Pendekatan Etologis
Pendekatan ini bersumber pada penelitian komparatif antara
perilaku hewan dengan perilaku manusia. Lorenz (1974) menawarkan
model agresi yang berdasar pada asumsi bahwa organisme secara
terus-menerus mengembangkan energi agresif. Energi agresif tersebut
akan termanifestasikan sebagai perilaku agresif apabila energi agresif
telah terakumulasi hingga ambang batas tertentu serta mendapatkan
Apabila stimulus eksternal besar maka tidak dibutuhkan energi agresif
yang banyak untuk memunculkan perilaku agresif, demikian pula
sebaliknya. Energi agresif yang telah terakumulasi dalam organisme
dan telah melewati ambang batas sangat potensial untuk memunculkan
adanya agresi spontan. Agresi spontan muncul sebagai akibat dari
ketiadaan stimulus eksternal yang memicu munculnya perilaku agresi
sehingga energi agresif yang terlampau banyak akan disalurkan dalam
bentuk agresi spontan.
Teori ini mendapatkan beragam kritik dari para ahli yang lain.
Para ahli psikologi mempermasalahkan landasan konseptual dan
empiris yang digunakan Lorenz (1974). Kritik yang lain
mempertanyakan mengenai ketiadaan definisi operasional mengenai
energi agresif.
2) Pendekatan Sosiobiologis
Pendekatan sosiobiologis ini didasarkan pada pendekatan teori
evolusioner yang menekankan pada perilaku adaptif. Menurut teori
evolusioner, perilaku dianggap adaptif apabila perilaku tersebut dapat
meningkatkan peluang suatu spesies untuk bertahan hidup. Dalam hal
ini, perilaku agresif yang diarahkan untuk melawan penyerang maupun
lawan dalam perkembangbiakan dianggap adaptif dalam arti
3) Pendekatan Genetika Perilaku
Pendekatan ini menekankan bahwa kecenderungan berperilaku
agresif merupakan bagian sifat bawaan genetik individu. Sifat bawaan
genetic tersebut dianggap sebagai sumber penting bagi variansi
individual dalam agresi. Pendekatan ini mengeksplorasi kesamaan
genetic dalam menjelaskan karakteristik dan perilaku personal.
b. Penjelasan Psikologis
Menurut Krahé (2001), terdapat tujuh pendekatan psikologis
yang dapat diterapkan dalam mengurai perilaku agresif. Teori-teori ini
berfokus pada mekanisme-mekanisme psikologis yang terlibat dalam
perilaku agresif. Akan tetapi, di dalam teori psikoanalisis freudian,
terdapat pula konstruk biologis yang mendasari pendekatan mekanisme
psikologis.
1) Psikoanalisis Freudian
Dalam teori insting ganda, Freud (1920) mengusulkan bahwa
perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari sifat manusiawi: insting kehidupan (eros)
dan insting kematian (thanatos). Eros merupakan dorongan ke arah
pencapaian kesenangan dan pemenuhan keinginan. Sedangkan
thanatos merupakan dorongan ke arah destruksi diri. Sebagai dua
menjadi sumber munculnya konflik dalam diri manusia. Sehingga
berperilaku agresif merupakan mekanisme untuk melepaskan energi
destruktif untuk melindungi diri dari ketidakstabilan konflik dalam
diri. Menurut pandangan ini, agresi merupakan hal yang tak
terhindarkan dari perilaku manusia dan berada di luar kontrol individu.
2) Hipotesis Frustrasi-Agresi
Dollard (1939,dalam Krahé,2001) menjelaskan bahwa agresi
merupakan hasil suatu dorongan yang dimaksudkan untuk mengakhiri
keadaan deprivasi, sedangkan frustrasi didefinisikan sebagai
interferensi eksternal terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan.
Jadi, pengalaman frustrasi membuat seseorang memunculkan
keinginan bertindak agresif terhadap penyebab frustrasi,yang akhirnya
memicu munculnya perilaku agresif.
3) Neo-asosianisme Kognitif
Pandangan ini menekankan pada peran persepsi kognitif yang
diasosiasikan terhadap pikiran, ingatan dan respon fisiologis. Menurut
Krahé (2001), frustrasi menyebabkan agresi hanya bila frustrasi itu
merangsang munculnya keadaan afektif negatif. Afektif negatif yang
muncul kemudian diasosiasikan menjadi dua reaksi impulsif yaitu
melawan dan menghindar. Melawan berkaitan dengan pikiran, ingatan,
dan respon fisiologis yang berhubungan dengan agresi, sedangkan
yang berhubungan dengan melarikan diri. Teori ini memberi
penekanan bahwa respon agresif merupakan salah satu respon yang
mungkin terhadap stimulasi yang tidak menyenangkan. Penekanan ini
menegaskan bahwa agresi bukanlah tidak dapat dihindari, tetapi
merupakan potensi perilaku manusia yang bersifat potensial, yang
dapat dibangkitkan atau ditekan.
4) Teori Pengalihan Rangsangan
Model pengalihan rangsangan ini dibangun berdasarkan teori
emosi dua-faktor, Schachter (1964), Zillman (1979) berpendapat
bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua
komponen, yaitu (1) kekuatan rangsangan fisiologis yang dibangkitkan
oleh kejadian yang tidak menyenangkan dan (2) cara rangsangan itu
dijelaskan dan diberi label. Model pengalihan rangsangan ini
khususnya berhubungan dengan kombinasi antara rangsangan
fisiologis dan penilaian kognitif yang terlibat dalam pengalaman
emosional mengenai kemarahan. Dengan mempengaruhi atribusi
terhadap rangsangan fisiologis, kecenderungan respon agresif dapat
diperkuat ataupun diperlemah.
5) Pendekatan Sosial Kognitif
Pendekatan ini mengeksplorasi 2 hal yaitu perkembangan
cara-cara pemrosesan informasi sosial yang khas yang membedakan
antara individu yang agresif dan yang non agresif.
Skemata kognitif yang mengacu pada situasi dan kejadian
disebut skrip. Skrip terdiri atas struktur pengetahuan yang
mendeskripsikan tentang “urutan kejadian yang sesuai untuk konteks
tertentu” (Schank dan Abelson,1977). Struktur pengetahuan ini
diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun pengalaman secara
tidak langsung seperti melalui media. Seseorang dapat membentuk
skrip agresif setelah ia menerima berbagai pengalaman agresi dalam
perjalanan hidupnya. Misalnya seorang anak yang melihat dalam
kesehariannya bahwa penyelesaian konflik adalah melalui agresi maka
anak tersebut akan membangun skrip agresif yang akan mengarahkan
anak tersebut berperilaku agresif apabila berada dalam sebuah konflik.
6) Belajar Menjadi Agresif
Pendekatan ini berpusat pada dua prinsip umum belajar, yaitu
pengkondisian instrumental dan meniru. Menurut Bandura (1983),
perilaku agresif bukanlah bawaan dari karakter manusia melainkan
hasil dari proses belajar seperti kebanyakan perilaku sosial lainnya.
Perilaku agresif merupakan wujud dari pengamatan dan penguatan
dari pihak lain. Misalnya seorang anak yang memenangkan
yang lebih besar untuk mengulangi perilakunya karena perilaku
agresifnya menghasilkan hal yang positif untuknya.
7) Model Interaksi Sosial
Model pendekatan ini diusulkan oleh Tedeschi dan Felson
(1994). Mereka memilih fokus pada tindakan koersif dan agresi
merupakan salah satu bentuk tindakan koersif khusus. Model ini
merumuskan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh pelaku untuk
menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntutan
pelaku berdasarkan tiga tujuan utama yaitu mengontrol perilaku orang
lain, menegakkan keadilan, atau mempertahankan atau melindungi
identitas positif.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif
Ada beberapa faktor yang mendasari atau menyebabkan munculnya
berbagai bentuk perilaku agresif. Dalam penelitian ini penulis mengambil
beberapa penyebab munculnya perilaku agresif, yaitu stimulus agresif, faktor
biologis, jenis kelamin, urutan kelahiran, dan lingkungan.
a. Stimulus Agresif
Stimulus agresif diyakini dapat memicu munculnya
respon-respon agresi. Berdasarkan pada hipotesa frustrasi-agresi, Berkowitz dan
LePage (1967) mengadakan penelitian untuk menyoroti pentingnya
stimulus agresif dalam memunculkan respon-respon agresif. Mereka
memiliki kemungkinan bertindak agresif terhadap penyebab frustrasinya
dengan adanya gambar senjata (objek agresi) daripada dengan adanya
gambar raket badminton (objek netral). Stimulus agresif dalam sebuah
situasi mengaktifkan skema kognitif yang berhubungan dengan agresi
sebagai pilihan respon yang menonjol.
b. Faktor Biologis
Menurut Davidoff (1991) ada 3 faktor biologis yang
mempengaruhi perilaku agresi, yaitu gen, sistem otak dan kimia darah.
1) Gen
Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural
otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan
terhadap binatang menunjukkan bahwa faktor keturunan tampaknya
membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah
marah dibandingkan betinanya.
2) Sistem Otak
Sistem otak juga dapat memperkuat atau menghambat sirkuit
neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat
dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbic (daerah
yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul
hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott
menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan
mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk
melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott (dalam
Davidoff, 1991) yakin bahwa keinginan yang kuat untuk
menghancurkan disebabkan cedera otak karena kurangnya rangsang
sewaktu bayi.
3) Kimia Darah
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan
oleh faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikkan hormon testosterone
pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon
androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka
tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu
testosterone dikurangi, hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan
menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri
(dipotong anak kelaminnya) akan menjadi jinak, sedangkan pada
wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan
yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak
wanita menyatakan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung,
gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang
melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan agresi pada
c. Jenis Kelamin
Bjorkquists, dkk (dalam Pidada, 2003) mengatakan bahwa agresi
antara laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki bersifat lebih agresif
daripada perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki lebih sering terlibat agresi
fisik dan perempuan lebih sering terlibat dalam berbagai jenis agresi tidak
langsung yang bentuknya sulit diidentifikasikan oleh korbannya. Atau si
korban sering tidak menyadari bahwa ia menjadi sasaran dari suatu tindak
agresi. Sebagai contoh, salah satu bentuk perilaku agresi seperi ini pada
anak-anak adalah berbohong atau menyebarkan rumor dibelakang orang
yang menjadi sasaran, hal itu telah ditemukan sejak anak berusia 8 tahun
dan terus berkembang atau meningkat hingga usia 15 tahun dan terus
bertahan hingga dewasa.
d. Lingkungan
Ada beberapa bentuk faktor lingkungan yang mempengaruhi
munculnya perilaku agresif, yaitu kemiskinan, anominitas, dan
temperatur.
1) Kemiskinan
McCandless (dalam Davidoff, 1991) mengatakan bahwa jika
seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku
agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Bila terjadi
perkelahian di pemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang
maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model
agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak
sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam
situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan
ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak
seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara
memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh.
2) Anonimitas
Keadaan dimana terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif
yang membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu
orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui
secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Seseorang yang merasa
anonim akan cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia
merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang
bersimpati pada orang lain.
3) Urutan Kelahiran
Menurut Alder (dalam Alwisol, 2004) urutan kelahiran
mempunyai pengaruh yang penting dalam pembentukan kepribadian,
artinya anak yang mempunyai status tertentu dalam keluarga akan
cenderung berbeda kepribadiannya. Johnson dan Medinus (1974) juga
susunan urutan kelahiran anak dalam keluarga. Santrock (2003)
menggambarkan individu yang lahir lebih dahulu atau anak sulung
sebagai individu yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah,
lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif
dibandingkan dengan saudara kandungnya. Santrock (2003) juga
menggambarkan anak bungsu sebagai sebuah bayi di dalam keluarga
walaupun sudah bukan bayi lagi, karena dalam menghadapi resiko
menjadi terlalu tergantung. Hurlock (1978) kemudian mengatakan
bahwa anak kedua mempunyai sifat tergantung, ekstrovert, mudah
berkawan atau bergaul, dapat dipercaya, senang bergurau, mempunyai
penyesuaian diri yang baik dan agresif.
Berdasarkan pendapat Hurlock (1978) tersebut terlihat bahwa
anak urutan kelahiran kedua memang unik, mereka memiliki sifat-sifat
posesif tetapi juga ada sifat negatifnya yaitu mereka disebut agresif.
Hal tersebut terjadi karena dalam keluarga anak kedua merasa
orangtuanya telah mengabaikan dirinya, mereka dituntut untuk dapat
mandiri sedangkan orangtuanya terlalu sibuk dengan
saudara-saudaranya yang lain. Hal itulah yang kemudian membuat anak kedua
ini melakukan perilaku-perilaku menyimpang untuk mencari perhatian
dari keluarganya, mereka akan lebih mudah untuk menjadi anak yang
nakal dan tidak berprestasi (Verauli, 2005). Verauli (2005) kemudian
justru mudah mencari teman karena proses adaptasinya berjalan lebih
cepat. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena mereka merasa di
dalam rumah tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari
keluarganya, sehingga saat mereka keluar dari rumah mereka berusaha
untuk mendapat perhatian dari lingkungan sosialnya khususnya
teman-temannya, dengan cara menjadi teman yang menyenangkan.
4) Temperatur
Temuan-temuan empiris dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa temperatur udara yang tinggi berpengaruh pada peningkatan
agresi. Temperatur udara yang tinggi menimbulkan ketidaknyamanan
dalam diri seseorang. Ketidaknyamanan tersebut menimbulkan afektif
negatif yang pada akhirnya memicu munculnya perilaku agresif.
Sehingga temperatur udara merupakan salah satu variabel input yang
B. FOTO
1. Pengertian Foto
Menurut Wikipedia, foto adalah sebuah gambar yang diciptakan oleh
cahaya yang jatuh pada permukaan yang peka cahaya, pada umumnya
permukaan yang peka cahaya adalah film foto atau sensor elektronis seperti
CMOS dan CCD.
Menurut Chambers 20th century Dictionary (1983), foto didefinisikan
sebagai gambar yang dihasilkan melalui proses fotografi. Proses fotografi
didefinisikan sebagai sebuah seni atau proses menciptakan gambar permanen
dengan bantuan cahaya atau energi radian pada permukaan kimiawi.
Foto adalah hasil proses fotografi berupa citra media visual atau
gambar. Kata foto dipergunakan untuk merepresentasikan gambaran suatu
obyek yang terekam pada lempengan dua dimensi. Foto dapat dihasilkan dari
beragam teknologi fotografi seperti camera obscura, kamera Single Lens
Reflex dan media perekamannya dapat berupa film, kertas foto maupun sensor
digital.
2. Sejarah Foto
Foto permanen pertama kali dibuat oleh penemu Prancis Joseph
Nicéphore Niépce pada tahun 1826. Pembuatan foto ini didasarkan pada
penemuan Johann Heinrich Schultz (1724) yang menyatakan bahwa sebuah
campuran kapur dan perak akan berubah menjadi gelap apabila terekspos
Daguerre. Daguerre menemukan bahwa permukaan perak yang telah diberi
perlakuan kimiawi berupa pemberian uap iodin, sebelum ekspos cahaya
dilakukan, dan pemberian uap merkuri setelah ekspos cahaya dilakukan, dapat
memunculkan gambar pada permukaan perak, kemudian permukaan perak
dicuci dengan menggunakan air garam untuk membuat gambar yang muncul
menjadi permanen. Proses ini menghasilkan gambar yang populer disebut
sebagai daguerreotype. Keberhasilan metode ini membuat munculnya peluang
baru dalam pendokumentasian gambar. Daguerre mendokumentasikan
berbagai tempat di Prancis dengan menggunakan metode ini.
Ketidak-praktisan daguerreotype membuat peneliti lain mencoba
berbagai metode untuk menghasilkan foto dengan cara yang lebih praktis.
Pada tahun 1848 diperkenalkan metode collodion process, metode ini
menggunakan gelas kaca yang telah diberi cairan collodion. Metode ini dapat
menghasilkan gambar negatif yang dapat dicetak pada kertas albumen.
Kemudian pada tahun 1871 ditemukan proses gelatin yang menggunakan
permukaan film. Metode ini memiliki kepekaan cahaya yang sangat baik
sehingga mampu merekam gerakan yang berlangsung dalam sepersekian
detik. Oleh karena kemampuan metode ini untuk merekam gerak, maka
metode ini diterapkan untuk membuat dokumentasi mengenai aktivitas
manusia dan mulai diaplikasikan pada berbagai aspek kehidupan manusia
seperti jurnalisme, forensik, maupun foto potrait. Adaptasi dari metode ini
Pada tahun 1842, foto berwarna juga mulai dikembangkan oleh John
Herschel. Akan tetapi, foto berwarna baru populer pada tahun 1903 dengan
diperkenalkannya metode Lumière. Metode ini memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi dalam menghasilkan gambar. Kesulitan dalam menghasilkan
gambar berwarna membuat perkembangan foto berwarna berjalan lambat.
Foto berwarna yang mudah dipergunakan muncul pada tahun 1932 dengan
diperkenalkannya film berwarna Agfa dan pada tahun 1935 dengan
diperkenalkannya Kodachorme. Meskipun penemuan film berwarna telah
membaik, penggunaan foto berwarna baru mulai diterapkan secara
menyeluruh pada tahun 60-an.
Penemuan media digital membawa pengaruh terhadap perkembangan
foto. Para peneliti tertarik untuk menyimpan foto pada media digital. Pada
awalnya foto digital diciptakan dengan memindai foto non-digital dengan
menggunakan scanner. Kemudian perusahaan elektronik Sony
memperkenalkan kamera digital Sony Mavica yang mempergunakan sensor
digital untuk menghasilkan gambar. Pada tahun 1990 Kodak memperkenalkan
DSC 100,kamera digital pertama yang diperdagangkan secara komersial.
Perkembangan fotografi digital yang cepat dan efisien membuat penggunaan
fotografi digital semakin diminati. Selain karena tidak mempergunakan film
dan cepat dalam pengiriman data, foto digital dapat dengan mudah dicetak di
dipergunakan oleh kalangan fotografer profesional karena film memiliki
kualitas ketajaman foto yang lebih baik daripada film digital.
3. Jenis-jenis Foto
Menurut media penyimpanan yang dipergunakan, foto dibagi menjadi
dua kelompok yaitu:
a. Foto Non-Digital
Foto non-digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses
kimiawi dengan medium berupa film negatif maupun positif dan dicetak
dengan medium kertas foto (kertas yang memiliki lapisan kimiawi).
b. Foto Digital
Foto digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses digital
yaitu menterjemahkan cahaya yang diterima sensor CMOS atau CCD
menjadi data digital yang berupa gambar digital dalam format JPEG,
TIFF, RAW dan dicetak menggunakan metode pencetakan digital
menggunakan inkjet printers, dye-sublimation printer, laser printers, dan
thermal printers.
4. Foto dan Obyektivitas
Foto memiliki kemampuan untuk merepresentasikan objek dengan
tingkat presisi yang tinggi. Apa yang dilihat oleh mata manusia akan direkam
dalam bentuk yang sama persis di dalam foto. Seperti yang diungkapkan oleh
Seno Gumira Ajidarma: “…Foto seekor kucing adalah kucing dan tiada lain
merekam kejadian melainkan juga sebagai sebuah metode untuk menangkap
realitas.
Pernyataan Ajidarma (2002) itu diperkuat pula oleh pernyataan
Atkins (dalam Johnson, 1989) yang menyebut sebuah foto sebagai
representasi sempurna dari obyeknya.
Menurut pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa foto
menghadirkan gambar secara obyektif. Obyektif dalam hal ini adalah
menghadirkan gambar sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan apa adanya.
Obyektivitas foto ini membuat foto sebagai alat yang handal untuk
melaporkan kondisi sebuah peristiwa atau obyek dalam kondisi yang
sesungguhnya.
Keobyektifan foto memberikan kontribusi yang penting terutama
terkait dengan jurnalisme dan forensik. Dunia jurnalisme yang memiliki etika
untuk menyampaikan berita seobyektif mungkin sangat terbantu dengan
kemampuan foto untuk merepresentasikan peristiwa atau obyek dalam presisi
yang tinggi. Sedangkan dalam dunia forensik, foto dipergunakan sebagai
bukti otentik yang mencatat realitas yang terjadi dalam suatu peristiwa seperti
pembunuhan dan kecelakaan. Foto dalam forensik dipergunakan sebagai alat
yang mencatat realitas visual yang nantinya akan dipergunakan dalam proses
C. Priming
1. Pengertian
Kata priming yang dipergunakan dalam psikologi merujuk pada ragam
fenomena yang muncul pada sebuah mekanisme identik. Jika seseorang
menerima suatu stimulus tertentu, maka stimulus tersebut akan meningkatkan
akses ke arah informasi tertentu yang telah ada di dalam ingatan seseorang.
(Mandel dan Johnson,2002)
Menurut Kolb & Whishaw (2003) priming di dalam psikologi muncul
ketika stimulus awal mempengaruhi respon pada stimulus selanjutnya.
Stimulus awal tersebut mengaktifkan bagian tertentu dari representasi atau
asosiasi di dalam ingatan sebelum seseorang melaksanakan aksi atau tugas.
Representasi tersebut telah aktif saat stimulus kedua diterima, yang kemudian
akan mempengaruhi bentuk perilaku atau sikap kepada stimulus kedua.
Priming didefinisikan pula sebagai sebuah mekanisme dimana sebuah
stimulus eksternal tertentu, seperti perilaku agresif, mengarahkan perhatian
individu ke konstruk mental yang kongruen seperti kognisi agresif.
Menurut Bushman (1998), Priming didefinisikan sebagai peningkatan
sementara dalam kemampuan mengakses sebuah konstruk. Konstruk dalam
hal ini adalah struktur pengetahuan yang dibangun dari pengetahuan atau
pengalaman dimasa lampau yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
terhadap keterkaitan antar objek dan situasi. Struktur pengetahuan ini dibagi
fenomena seperti benda-benda (kursi, meja, batu), dan peristiwa sosial
(tawuran, perang) (Anderson & Huesmann, 2003).
Efek priming, dalam kaitannya dengan interpretasi ambigu dari sebuah
informasi, adalah sebuah fenomena dimana sebuah konsep tertentu
dipengaruhi oleh informasi awal yang mempengaruhi interpretasi terhadap
informasi yang diterima setelahnya. Berdasarkan pada penelitian mengenai
efek priming, interpretasi terhadap stimulus ambigu dipengaruhi oleh jenis
stimulus yang diterima sebelumnya. (Sung-A, 1998)
Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
priming adalah sebuah fenomena atau mekanisme yang berkaitan dengan
pengaruh stimulus awal yang diterima individu terhadap interpretasi stimulus
lanjutan dimana stimulus awal mengaktifkan konstruk mental yang kongruen
atau berkaitan dengan stimulus awal dan dijadikan dasar dalam membangun
interpretasi terhadap stimulus lanjutan.
2. Bentuk-bentuk Priming
Menuru Vaidya (1999), berdasarkan jenis keterkaitan antara stimulus
awal dengan stimulus lanjutan, priming dibedakan menjadi 2 kategori yaitu:
a. Perseptual
Priming perseptual terjadi ketika terdapat kesamaan bentuk
antara stimulus awal dengan stimulus lanjutannya. Priming perseptual ini
b. Konseptual
Konseptual priming didasarkan pada makna yang melekat pada
stimulus dan diperkuat oleh makna semantiknya. Stimulus awal akan
mempengaruhi stimulus lanjutan berkaitan dengan kelekatan atau
kedekatan makna.
Menurut Se-Jun (1997), priming juga dibedakan menjadi dua bentuk
yaitu:
a. Semantik
Dalam priming semantik, prima dan target berasal dari kategori
semantik yang sama dan saling berbagi fitur.
b. Asosiatif
Priming asosiatif adalah priming yang targetnya memiliki
kemungkinan yang besar untuk muncul bersamaan dengan primanya, dan
diasosiasikan dengan prima meskipun tidak berkaitan dengan fitur
semantik.
3. Efek Priming pada Agresivitas
Stimulus agresi diyakini oleh para ahli sosial sebagai salah satu
pengaruh situasional terhadap agresi. Rangsangan negatif berkemungkinan
menimbulkan perilaku agresif.
Berkaitan dengan efek priming yang didefinisikan sebagai sebuah
fenomena atau mekanisme yang berkaitan dengan pengaruh stimulus awal
dapat ditingkatkan melalui kehadiran stimulus awal yang memiliki konten
agresif. Stimulus awal tersebut akan mengaktifkan konstruk mental yang
berkaitan dengan agresi dalam ingatan individu.
Penelitian tentang efek priming yang dikenal secara luas adalah
penelitian Berkowitz (1993). Penelitian Berkowitz tersebut memunculkan
sebuah istilah “efek senjata” yang merujuk pada peningkatan kecenderungan
berperilaku agresif setelah pemberian stimulus berupa gambar senjata.
Penelitian eksperimen Berkowitz menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan
antara efek priming dengan agresivitas.
Mekanisme efek priming pada agresivitas dimulai ketika seseorang
dalam kondisi frustrasi-agresi mendapatkan stimulus eksternal berupa
perilaku agresif ataupun benda yang memiliki makna, konten, atau asosiasi
agresif. Stimulus eksternal itu kemudian memicu munculnya pemikiran dan
perasaan agresif yang didapatkan dari meningkatnya kemampuan mengakses
konstruk mental agresif atau skema agresif atau skrip agresif. Sehingga ketika
individu dihadapkan pada stimulus lanjutan yang secara ambigu memiliki
kesamaan makna, konten, atau asosiasi agresif, maka individu tersebut akan
mengasosiasikan, mengevaluasi dan merepresentasikan konstruk mental
4. Foto Sebagai Efek Priming
Peran media yang memiliki konten kekerasan dalam memunculkan
priming agresif adalah relevan berkaitan dengan pengaktifan konstruk mental
agresif. Seperti yang diungkapkan oleh Baron dan Byrne (1991), bahwa
ekspos media yang memiliki konten kekerasan akan mampu memunculkan
pemikiran dan perasaan agresif dalam individu. Media dengan konten
agresivitas merupakan stimulus yang mengaktifkan konstruk mental agresif
dalam diri individu.
Menurut Baron dan Richardson (1994), orang-orang yang
berhubungan dengan berbagai kejadian agresif, misalnya karena mereka pada
situasi agresi tertentu atau menonton film agresif tertentu, bisa meningkatkan
kemenonjolan pikiran-pikiran agresif hanya melalui keberadaan
kejadian-kejadian agresif tersebut semata.
Foto sebagai salah satu media rekam yang menyampaikan situasi atau
kondisi dalam bentuk gambar dua dimensi memiliki potensi untuk berperan
sebagai priming dalam agresivitas. Hal yang membuat foto potensial sebagai
priming agresivitas adalah tingkat obyektivitas foto yang tinggi. Menurut
Atkins (dalam Johnson, 1989), foto adalah sebuah representasi sempurna dari
obyeknya. Berdasarkan pada pernyataan Atkins tersebut, dapat disimpulkan
bahwa foto merekam gambar sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan apa
adanya. Obyektivitas foto tersebut membuat foto dapat memuat beragam
agresif yang memiliki aspek yang kompleks seperti keberadaan korban,
pelaku, konteks, situasi, dan alat agresi, maka foto tersebut akan menjadi
sebuah stimulus visual yang memiliki konten agresivitas yang sama persis
dengan kondisi pada kenyataannya. Kemudian apabila foto dengan konten
agresivitas tersebut dikenakan kepada individu sebagai stimulus priming maka
foto akan mengaktifkan konstruk mental agresif yang telah dimiliki oleh
individu. Konten dalam foto seperti korban, pelaku, konteks, situasi, dan alat
agresi, memberikan petunjuk akan pengalaman agresif yang telah dimiliki
oleh individu tersebut. Jadi obyektivitas foto meningkatkan pula tingkat
kongruensi stimulus dengan konstruk mental individu.
Selain itu obyektivitas foto membuat seseorang percaya dan meyakini
bahwa foto adalah tanpa rekayasa, sehingga seseorang akan mempercayai
bahwa peristiwa agresi yang terjadi dalam foto adalah nyata dan benar-benar
terjadi di lingkungannya. Menurut Baron dan Byrne (1991), bahwa dengan
melihat perilaku agresif pada media pemirsanya akan mengasosiasikan
keadaan tersebut pada kondisi sosialnya. Jika media bermuatan agresivitas
tersebut kerap ia jumpai maka ia akan menganalogikan bahwa lingkungan
sosialnya berlaku sama, dengan demikian ia akan menerima atau
memaklumkan perilaku agresif tersebut dan kemudian akan memunculkan
perilaku tersebut. Dengan berdasar pada pernyataan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa foto dapat berfungsi sebagai stimulus priming yang
D. Dampak Foto Sebagai Efek Priming Terhadap Kecenderungan Berperilaku
Agresif
Menurut Dollard (1936), keberadaan frustrasi mengarahkan individu
kepada munculnya perilaku agresif. Kondisi frustrasi individu dapat muncul ketika
invidu mengalami hambatan dalam pencapaian tujuannya. Pengalaman frustrasi
tersebut membuat individu memunculkan keinginan untuk bertindak agresif.
Ketika seseorang merasa frustrasi, ia akan mudah mengalami afektif
negatif yang akan diasosiasikan menjadi dua reaksi impulsif yaitu melawan atau
menghindar. Melawan berkaitan dengan pikiran, ingatan, dan respon fisiologis
yang berhubungan dengan agresi, sedangkan menghindar berkaitan dengan dengan
pikiran, ingatan, dan respon fisiologis yang berhubungan dengan melarikan diri.
Oleh karena itu, kondisi frustasi dapat diarahkan menjadi perilaku agresif apabila
seseorang memiliki pikiran, ingatan, dan respon fisiologis.
Ketika individu yang berada dalam kondisi frustasi dan dihadapkan pada
sebuah stimulus agresi maka individu tersebut akan melihat agresi sebagai sebuah
pilihan respon yang menonjol. Hal tersebut terjadi karena individu tersebut
memiliki akses yang lebih besar kepada pikiran dan ingatan tentang agresi.
Mekanisme efek priming pada agresivitas dimulai ketika seseorang dalam
kondisi frustrasi-agresi mendapatkan stimulus eksternal berupa foto yang memiliki
makna, konten, atau asosiasi agresif. Foto dengan konten agresif kemudian
memicu munculnya pemikiran dan perasaan agresif yang didapatkan dari
atau skrip agresif. Sehingga ketika individu dihadapkan pada stimulus lanjutan
yaitu skala posttest kecenderungan berperilaku agresif, maka individu tersebut
akan mengasosiasikan, mengevaluasi dan merepresentasikan konstruk mental
agresif dalam bentuk respon terhadap stimulus lanjutan tersebut.
Apabila foto merekam suatu peristiwa agresif yang memiliki aspek yang
kompleks seperti keberadaan korban, pelaku, konteks, situasi, dan alat agresi,
maka foto tersebut akan menjadi sebuah stimulus visual yang memiliki konten
agresivitas yang sama persis dengan kondisi pada kenyataannya. Kemudian
apabila foto dengan konten agresivitas tersebut dikenakan kepada individu sebagai
stimulus priming maka foto akan mengaktifkan konstruk mental agresif yang telah
dimiliki oleh individu. Konten dalam foto seperti korban, pelaku, konteks, situasi,
dan alat agresi, memberikan petunjuk akan pengalaman agresif yang telah dimiliki
oleh individu tersebut. Jadi obyektivitas foto meningkatkan pula tingkat
kongruensi stimulus dengan konstruk mental individu.
E. Hipotesis
Foto dengan konten agresif sebagai priming effects memicu peningkatan
38
METODE PENELITIAN
Penelitian sebagai rangkaian penelitian ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah. Hasil penelitian merupakan bagian dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar. Dengan penelitian diharapkan diperoleh informasi yang jalas dan akurat. Namun hal tersebut hanya akan diperoleh jika metode yang digunakan juga jelas. Berikut ini uraian tentang jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, desain eksperimen, metode pengumpulan data dan alat penelitian, uji validitas dan reliabilitas, dan analisis data penelitian.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku individu yang diamati.
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:
1. Variabel eksperimen : efek priming
2. Variabel terikat : kecenderungan berperilaku agresif
C. Definisi Operasional
Variabel-variabel di atas mempunyai definisi operasional sebagai
berikut:
1. Efek Priming
Efek priming pada penelitian ini adalah pemberian stimulus eksternal
berupa foto yang memiliki makna, konten, atau asosiasi agresif. Konten
agresif tersebut dibagi ke dalam 2 aspek besar yaitu aspek umum dan aspek
khusus. Aspek umum yang dipergunakan adalah foto jurnalistik yang
memiliki aspek keberadaan korban, pelaku, alat agresi, dan situasi.
Aspek-aspek tersebut dapat berdiri sendiri maupun dalam satu. Aspek khusus yang
dipergunakan adalah teori agresivitas yang mencantumkan contoh konkrit
perilaku agresi. Teori yang pertama adalah teori Breakwell (2002); agresi
melibatkan setiap bentuk penyiksaan psikologis atau emosional seperti
menakut-nakuti, mempermalukan, atau mengancam seseorang. Teori yang
kedua adalah menurut Apollo (2003); kecenderungan agresivitas oleh
masyarakat luas sering didefinisikan dengan hal-hal yang berhubungan
penganiayaan. Kemudian, teori ketiga yang dipergunakan adalah teori Sears
(1994); agresi antisosial seperti tindakan kriminal tak beralasan, pembunuhan,
ataupun pemukulan oleh sekelompok orang. Teori keempat adalah klasifikasi
bentuk perilaku agresif menurut Buss (1961). 10 Foto dengan konten agresif
diperlihatkan kepada subjek untuk diperhatikan selama 30 detik untuk tiap
fotonya.
2. Kecenderungan Berperilaku Agresif
Kecenderungan berperilaku agresif dalam penelitian ini dapat diartikan
sebagai respon subjek penelitian terhadap skala pengukuran kecenderungan
berperilaku agresif yang dibangun berdasarkan 8 klasifikasi bentuk perilaku
agresif menurut Buss (1961).
D. Subyek Penelitian
Pemilihan subjek atau sampel penelitian dalam penelitian ini
menggunakan teknik non-random berjenis sampling strata atau stratified
sampling. Teknik ini menentukan sampel berdasarkan tingkatan ciri
populasinya. Ciri populasi sampel dalam penelitian ini adalah usia. Usia subjek
yang dapat turut serta dalam penelitian adalah subjek yang berusia antara
18-30 tahun.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang. Kelimapuluh
orang tersebut ditempatkan pada dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan
Teknik penempatan subjek (assignment) dalam kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan menggunakan teknik random assignment melalui bantuan
program komputer berbasis java script (math.random).
E. Desain Eksperimen
Desain eksperimen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
desain eksperimen (experimental design) dengan jenis desain eksperimen
ulang (pretest-posttest control group design).
Dengan demikian akan diperoleh empat macam kelompok variabel test
tercoba, dua hasil test awal (T1 dan T2) dan dua hasil test akhir (T3 dan T4).
Penelitian ini menggunakan random assignment dalam penempatan
subjek/sampel sehingga tipe desain dapat digambarkan sebagai berikut :
R (M) T1 (X) T2
R (M) T3 (-) T4
Keterangan:
M : Matching
R : Random assignment
T : Test
X : Perlakuan
F. Metode Pengumpulan Data dan Alat Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala yang
stimulusnya (itemnya) berupa pernyataan yang tidak secara langsung
mengungkap atribut yang bersangkutan (Azwar, 1999). Subjek penelitian diminta
untuk mengisi pernyataan-pernyataan yang dirangkai dalam bentuk skala. Skala
yang dipakai dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan berperilaku agresif.
Skala kecenderungan berperilaku agresif akan dipaparkan dengan
menggunakan metode rating yang dijumlahkan (summated rating) atau lebih
dikenal dengan penskalaan Likert. Metode penskalaan ini menggunakan distribusi
respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Pernyataan-pernyataan ini
nantinya akan meggunakan tiga alternatif jawaban yaitu S (Sesuai), KS (Kurang
Sesuai), dan TS (Tidak Sesuai). Item-item diberi skor S = 2, KS = 1, TS = 0. Skor
total diperoleh dari menjumlahkan semua skor item yang diperoleh responden.
Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat
kecenderungan berperilaku agresif pada subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor
yang diperoleh, semakin rendah pula kecenderungan berperilaku agresif pada
subjek.
Sebagai langkah selanjutnya dalam penelitian, peneliti menyusun blue
menjadi acuan serta pedoman untuk tetap berada dalam lingkup ukur yang benar
(Azwar, 1999).
Tabel 1
Blue Print dan Persebaran Butir Item Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif
Dimensi Sifat Obyek Jumlah Item Prosentase
Fisik
Aktif Langsung 7 17,5%
Aktif Tak Langsung 6 15%
Pasif Langsung 2 5%
Pasif Tak Langsung 6 15%
Verbal
Aktif Langsung 7 17,5%
Aktif Tak Langsung 5 12,5%
Pasif Langsung 5 12,5%
Pasif Tak Langsung 2 5%
TOTAL 40 100%
Mengingat desain penelitian yang dipergunakan adalah pretest-posttest
design maka penelitian ini menggunakan dua alat test yang memiliki karakteristik
yang sama namun memiliki item yang berbeda. Langkah ini diambil untuk
menghindari munculnya kesalahan penelitian berupa munculnya jawaban subjek