SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Anthonius Ade Purnama Putra
NIM : 068114132
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Anthonius Ade Purnama Putra
NIM : 068114132
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2010
Yang diajukan oleh :
Anthonius Ade Purnama Putra
NIM : 068114132
telah disetujui oleh
Pembimbing
Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt Tanggal: 18 Agustus 2010
Oleh :
Anthonius Ade Purnama Putra NIM : 068114132
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 18 Agustus 2010
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Ipang Djunarko, M.Sc., Apt
Pembimbing
Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt
Panitia Penguji :
Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt ____________________
Drs. Sulasmono, Apt ____________________
Ipang Djunarko, M.Sc., Apt ____________________
HE ALWAYS HELP ME WHEN I AM DOWN
THANKS TO MY PARENTS, MY BROTHER n SISTERS, MY LOVELY DOMBAT
ALL OF MY FRIENDS THANKS GUYS
berjudul Evaluasi Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada
Pedagang Besar Farmasi (PBF) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini bukanlah hal yang
mudah, penulis tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang
senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt, selaku dosen pembimbing dan penguji
yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dorongan, semangat, saran,
kritik dan pembelajaran selama selama penyusunan skripsi.
3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt, selaku dosen penguji yang memberikan saran
dan masukan.
4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt, selaku dosen penguji yang memberikan
saran dan masukan.
5. Segenap Dosen dan karyawan yang telah banyak memberikan bimbingan dan
bantuan selama ini.
6. Mama yang selalu mendorongku dan memberi semangat selama penyusunan
skripsi ini.
7. Papa yang selalu memberikan masukan, arahan, dan diskusi selama
penyusunan skripsi.
10. Ibu Titiek, selaku ketua GP Farmasi yang bersedia meluangkan waktu untuk
membantu penulis dalam mencari data selama ini.
11. Dua puluh sembilan Penanggung Jawab PBF di DIY yang bersedia
membantu penulis dalam pengambilan data.
12. Teman-teman FKK B 06, terima kasih atas canda tawa, kebersamaan selama
ini.
13. Teman-teman kelas C, khususnya kelompok praktikum E atas kebersamaan
dan kerjasamanya, canda tawa dan persahabatannya yang indah.
14. Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Farmasi Univesitas Sanata Dharma,
yang telah bersama-sama berjuang.
15. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh
karena itu penulis tidak menutup diri atas koreksi, kritik dan saran dari tulisan ini.
Penulis berharap, karya ini dapat bermanfaat dan mendorong mahasiswa angkatan
berikutnya untuk berkarya lebih baik lagi demi majunya dunia kefarmasian di
Indonesia.
Penulis
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 11 Agustus 2010
Anthonius Ade Purnama Putra
Indonesia jumlah Pedagang Besar Farmasi (PBF) kurang lebih sekitar 2.500 perusahaan (Wanandi, 2009). Ketentuan praktik kefarmasian seorang Apoteker di Pedagang Besar Farmasi sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pasal 15 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pelayanan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri”.Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta profil tenaga kefarmasian di Pedagang Besar Farmasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian ini bersifat deskriptif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Data yang diambil pada tanggal 2-27 Juli 2010 pada 29 PBF di Propinsi DIY dan kemudian di paparkan jumlahnya pada setiap hal yang diteliti.
Dari hasil penelitian diketahui umur dari Penanggung Jawab PBF yang bekerja di PBF paling banyak berumur antara 23 -30 tahun dengan persentase 38%, 48,3% PBF di DIY tidak mempunyai apoteker. Evaluasi Pelaksanaan CDOB ialah Manajemen Mutu 96,6%, Personalia sebesar 79,3%, Bangunan dan Peralatan sebesar 41,4% mempunyai monitoring kelembaban, sebesar 96,6% PBF mempunyai dokumentasi, dan 89,7 % PBF melakukan inspeksi diri.
Kata kunci : Evaluasi, PBF, CDOB, DIY
accordance with the legislation (Anomim, 2009). In Indonesia the number of Pharmaceutical Wholesalers approximately 2500 companies (Wanandi, 2009). Terms of pharmacy practice in a Pharmacist Pharmaceutical Wholesalers have been stipulated in Government Regulation number 51 of 2009 on Pharmaceutical Works. Article 15 of Government Regulation number 51 of 2009 states that "in the Facilities Services Pharmaceutical Distribution Pharmaceutical Preparations Distribution or referred to in Article 14 must meet the requirements of Good Distribution mode set by the Minister". This study wanted to know how the implementation of Good Distribution Practice in the Pharmaceutical Wholesalers in Provinces DIY and pharmacy personnel profile in the Pharmaceutical Wholesalers in Provinces DIY. This research is non-experimental research design was descriptive research. The instrument used in this research is the questionnaire. The data in when collected at 2 – 27 July 2010 at 29 Pharmaceutical Whole saler in DIY and then describe nd th the amount in each case is being investigated. The survey results revealed the age of Responsible working in Pharmaceutical Wholesalers most aged between 23 -30 years with a percentage of 38%, 48.3% of Pharmaceutical Wholesalers in the DIY does not have a pharmacist. Evaluation of Good Distribution Practice are 96,6% Pharmaceutical Wholesalers has Manajemen Mutu, 79,3% Pharmaceutical Wholesalers has the Human Resource, Building and equiptment is 41,4%, 96,6% Pharmaceutical Wholesalers has Documentation, and 89.7% Pharmaceutical Wholesalers has conduct self-inspections.
Keywords : Evaluation, Pharmaceutical Wholesalers, GDP, Yogyakarta
Tabel I. Jumlah PBF yang memiliki monitoring suhu dan kelembaban ... 45
Halaman
Gambar 1. Jalur Distribusi Obat Sebelum Paket Deregulasi Oktober 1993..20
Gambar 2. Jalur Distribusi Obat Setelah Paket Deregulasi Oktober 1993… 21 Gambar 3. Umur Penanggung Jawab PBF ... 28
Gambar 17. Strukur Organisasi PT. Rajawali Nusindo Yogyakarta... 39
Gambar 18. Jenis Pelatihan yang diikuti Penanggung Jawab PBF
Gambar 21. Sistem Distribusi di tempat penyimpanan obat... 43
Gambar 22. Jumlah PBF yang memiliki peralatan pengontrol udara ... 44
Gambar 23. Jenis Dokumentasi pada PBF di Propinsi DIY ... 47
Gambar 24. Cara dokumentasi pada PBF di Propinsi DIY... 48
Gambar 25. Dokumentasi secara Manual pada PBF di Propinsi DIY ... 49
Gambar 26. Dokumentasi secara Komputerisasi pada PBF di Propinsi DIY ... 49
Gambar 27. Inspeksi pada PBF di Propinsi DIY ... 50
Gambar 28. Inspeksi internal pada PBF di Propinsi DIY ... 51
Gambar 29. Penyelenggara inspeksi internal pada PBF di Propinsi DIY ... 51
Gambar 30. Frekuensi diadakan inspeksi internal pada PBF di Propinsi DIY ... 52
Gambar 31. Inspeksi eksternal pada PBF di Propinsi DIY... 52
Gambar 32. Penyelenggara inspeksi eksternal pada PBF di Propinsi DIY ... 53
Gambar 33. Frekuensi diadakan inspeksi eksternal pada PBF di Propinsi DIY ... 53
Halaman
Lampiran 1. Daftar Nama PBF di DIY ... 58
Lampiran 2. Daftar Jenis Sediaan Farmasi di PBF... 60
Lampiran 3. Jenis Laporan yang dibuat di PBF ... 62
Lampiran 4. Waktu Pembuatan Laporan ... 63
Lampiran 5. Jumlah Karyawadi PBF ... 64
Lampiran 6. Jenis SOP yang terdapat di PBF ... 65
Lampiran 7. Jenis Pelatihan yang diikuti Penanggung Jawab PBF ... 66
Lampiran 8. Dokumentasi yang ada di PBF ... 67
Lampiran 9. Dokumentasi yang dilakukan secara manual ... 68
Lampiran 10. Dokumentasi yang dilakukan secara komputerisasi ... 69
Lampiran 11. Inspeksi Internal ... 70
Lampiran 12. Inspeksi Eksternal... 71
Lampiran 13. Penyelenggara Inspeksi Eksternal ... 72
Lampiran 14. Quisioner ... 73
Lampiran 15. Peralatan dan Perlengkapan Lab PBF Bahan Baku... 84
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pedagang Besar Farmasi ( PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum
yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi
dalam jumlah besar sesuai ketentuan perundang-undangan (Anomim, 2009a). Di
Indonesia terdapat 10.365 Apotek dan 1.128 Rumah Sakit. Di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki 325 Apotek dan 106 Rumah Sakit pada tahun 2008
(Hartini, Y.S.dan Sulasmono, 2010). Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
918 tahun 1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi bahwa “ Pedagang Besar Farmasi
dan setiap cabangnya berkewajiban mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
perbekalan farmasi yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan dengan
memperhatikan ketentuan pasal 9“. Pengertian dari sediaan farmasi adalah obat,
bahan baku obat, obat traditional, dan kosmetika (Anonim, 2009a). Di dalam
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK.00.05.3.2522
Tahun 2003 disebutkan bahwa “ PBF dan semua pihak yang terlibat dalam distribusi
obat wajib menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) dalam seluruh aspek
dan rangkaian kegiatan distribusi obat. Penerapan CDOB dengan tujuan untuk
menjamin mutu, khasiat, dan keamanan obat sampai ke tangan konsumen, dan sejauh
ini belum ada evaluasi tentang pelaksanaan CDOB di Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Dalam melaksanakan kewajibannya, Pedagang Besar Farmasi harus memiliki
penanggung jawab seorang Apoteker. Pada Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2009 juga disebutkan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
Praktik kefarmasian di PBF meliputi pengadaan, penyimpanan, penyaluran
perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan peraturan per
undang-undangan.
Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009,
penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang tidak menyalurkan bahan
baku obat tidak harus Apoteker (Asisten Apoteker diperbolehkan). Walaupun semua
PBF wajib melaksanakan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), akan tetapi belum
ada evaluasi tentang sejauh mana pelaksanaan CDOB pada Pedagang Besar Farmasi
(PBF) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), maka perlu diteliti mengenai
“Evaluasi Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada Pedagang Besar
Farmasi (PBF) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) “.
1. Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana profil Tenaga Kefarmasian di Pedagang Besar Farmasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta ?
2. Bagaimana pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) di Pedagang
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran peneliti, belum ada penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada Pedagang Besar Farmasi (PBF) di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang
pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi DIY.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan
kebijakan dalam mendampingi pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi DIY.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pelaksanaan Cara Distibusi Obat yang Baik (CDOB) pada Pedagang
Besar Farmasi (PBF) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
2. Mengetahui profil Tenaga Kefarmasian di Pedagang Besar Farmasi di Daerah
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Praktik Kefarmasian
Pada ayat (1) pasal 108 Undang Undang No.36 tahun 2009 disebutkan bahwa
“Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat traditional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pada ayat (2) pasal 108 UU No.36 tahun 2009 disebutkan bahwa “Ketentuan
mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penyebutan tentang praktik kefarmasian
pada PP No. 51 tahun 2009 masih menggunakan istilah pekerjaan kefarmasian.
Pekerjaan Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1
adalah Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan Farmasi, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional. Definisi dari Standar Prosedur Operasional (SPO) adalah
suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu/standar prosedur operasional memberikan langkah
yang benar dan yang terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi (Anonim, 2004b).
1. Definisi Tenaga Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1, Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker, dan Tenaga Teknis Kefarmasian
2. Tenaga Teknis Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009, tenaga teknis
kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi,
dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian yang
paling banyak ditemui di PBF adalah Asisten Apoteker.
3. Definisi Apoteker
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1, Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.
B. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
Definisi distribusi adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran
atau penyerahan obat baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan atau
pemindah tanganan.Definisi Obat menurut Undang–Undang Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 36 adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Menurut pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 dikatakan bahwa “Pekerjaan kefarmasian dalam
Fasilitas Distribusi atau penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara Distibusi Obat yang Baik yang ditetapkan
oleh Menteri.” Definisi dari Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan
Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi. Sediaan
Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika (Anonim, 2009a).
Di dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor :
HK.00.05.3.2522 Tahun 2003 disebutkan bahwa “ PBF dan semua pihak yang terlibat
dalam distribusi obat wajib menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan distribusi obat. Tujuan utama
pelaksanaan distribusi obat yang baik adalah terselenggaranya suatu sistem jaminan
kualitas oleh distributor, yaitu :
1. Menjamin penyebaran obat secara merata dan teratur agar dapat tersedia pada
saat diperlukan.
2. Terlaksananya pengamanan lalu lintas dan penggunaan obat tepat sampai
kepada pihak yang membutuhkan secara sah untuk melindungi masyarakat dari
3. Menjamin keabsahan dan mutu agar obat yang sampai ke tangan konsumen
adalah obat yang efektif, aman dan dapat digunakan sesuai tujuan
penggunaannya.
4. Menjamin penyimpanan obat aman dan sesuai kondisi yang dipersyaratkan,
termasuk selama transportasi (Anonim, 2007).
Supaya jaringan distribusi obat dapat terlaksana dengan baik, maka harus
diperhatikan beberapa aspek penting yaitu :
1. Manajemen mutu
Dalam suatu organisasi “Jaga Mutu”(Quality Assurance) merupakan
bagian dari manajemen kualitas. Manajemen kualitas meliputi : infrastruktur
atau “Sistem Kualitas” terdiri dari struktur organisasi, prosedur, proses dan
sumber ; dan tindakan sistematis yang menjamin kepercayaan yang ada bahwa
produk baik dari segi pelayanan dan dokumentasinya mendukung kualitas
keseluruhan dari tindakan ini disebut “Jaga Mutu”. Semua pihak yang terlibat
dalam produksi dan distribusi obat harus bertanggung jawab terhadap kualitas
dan keamanan obat sesuai dengan maksud kegunaannya. Harus ada prosedur
untuk menjamin bahwa obat didistribusikan dan diperoleh dari sumber resmi.
Agar pedoman CDOB dilaksanakan sesuai dengan tujuannya, diperlukan pihak
luar atau Badan Independen untuk melakukan sertifikasi terhadap sarana
distribusi dan melakukan inspeksi secara periodik dan berkesinambungan, oleh
karena itu dalam pelaksanaan penerapan CDOB diperlukan Sistem Operasional
prosedur tertulis suatu instruksi operasional tentang hal-hal umum seperti
operasional peralatan, pemeliharaan dan kebersihan, sampling dan inspeksi diri
(Anonim, 2007).
2. Personalia
Struktur organisasi hendaklah dibentuk untuk menunjang pelaksanaan
operasional yang baik bagi suatu distributor. Dengan adanya struktur, setiap
karyawan mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Agar pekerjaan berjalan
dengan efisien dan efektif, maka pemilihan karyawan harus dengan kualifikasi
yang sesuai.
Petugas yang memegang peranan dan wewenang dalam hal penyimpanan
obat-obatan serta penyaluran obat harus mempunyai kualifikasi kemampuan
serta pengalaman untuk menjamin produk-produk tersebut disimpan dan
disalurkan dengan baik. Jumlah karyawan hendaklah cukup dan harus diberikan
pelatihan yang terkait dengan tugasnya sehingga memiliki pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya. Selain itu seluruh
karyawan harus diberi pelatihan tentang sanitasi dan higiene.
Seluruh karyawan yang langsung ikut serta dalam kegiatan
pendistribusian obat, mendapat pelatihan CDOB. Pengetahuan tentang
hazardous obat (seperti toksisitas dan produk infectious/sensitif) harus
diberikan selama pelatihan. Harus ada SOP pertolongan pertama dan peralatan
3. Bangunan dan peralatan
Sistem yang digunakan dalam distribusi obat di gudang adalah First
Expired First Out (FEFO) atau menggunakan system First In First Out (FIFO).
Pada FEFO, obat-obat yang tanggal kadaluarsanya lebih dekat dijual atau
didistribusikan terlebih dahulu. Pada FIFO obat yang masuk lebih cepat akan
didistribusikan lebih dahulu.
Bangunan untuk menyimpan obat dibangun dan diperlihara untuk
melindungi obat yang disimpan dari pengaruh temperatur dan kelembaban,
banjir, rembesan melalui tanah, masuk dan bersarangnya binatang kecil, tikus,
burung, serangga dan binatang lain. Mempunyai bangunan yang cukup luas,
tetap kering dan tersedia ruang terpisah untuk penyimpanan produk tertentu
(narkotika, vaksin). Syarat gudang penyimpanan khusus narkotika yaitu
dinding terbuat dari tembok dan hanya mempunyai satu pintu dengan 2 (dua)
buah kunci yang kuat dengan merek yang berlainan, langit-langit dilengkapi
dengan jeruji besi, dilengkapi dengan lemari besi yang tidak kurang dari 150
kilogram dan mempunyai kunci yang kuat (Anonim, 1978). Bangunan harus
memiliki sirkulasi udara yang baik, selalu dalam keadaan bersih, bebas dari
tumpukan sampah dan barang-barang yang tidak diperlukan. Bangunan
mempunyai : penerangan yang cukup untuk dapat melaksanakan kegiatan
dengan aman dan benar, perlengkapan yang memadai untuk memungkinkan
penyimpanan produk yang memerlukan pengamanan maupun kondisi
penyimpanan yang menuntut ketepatan temperature dan kelembaban, dan
diperlukan pula pengamanan fisik khusus baik untuk ruang penyimpanan
maupun untuk seluruh bangunan. (Anonim, 2007).
4. Dokumentasi
Suatu distributor harus mempunyai SOP yang menerangkan secara jelas
bermacam-macam kegiatan operasional yang dapat mempengaruhi kualitas
produk atau aktifitas distribusi seperti, prosedur penerimaan pesanan, prosedur
pengiriman, penyimpanan, pembersihan dan perawatan bangunan (termasuk
pest control), pencatatan kondisi penyimpanan dan pengiriman, pengamanan
stok pada penyimpanan dan transportasi, pengurangan dari stok penjualan,
pencatatan stok termasuk pencatatan produk pelanggan, obat kembalian, cara
penanganan recall dan sebagainya. Semua dokumentasi hendaknya
dilaksanakan dengan baik dengan maksud :
a.Untuk menjamin pelaksanaan pengadaan dan distribusi sesuai
ketentuan perundang-undangan
b.Untuk dapat menjamin penyediaan data dan informasi yang akurat dan
aktual pada pemesanan, penerimaan, keadaan stok, penyaluran, dan
sebangainya
c.Untuk dapat menjaga tingkat stok pada kondisi yang dapat menjamin
kelancaran pelayanan
d.Untuk dapat menjamin penerimaan produk yang benar meliputi
e.Untuk dapat melakukan dokumentasi yang benar dan lengkap serta
mencatat semua kegiatan yang dilaksanakan dalam pengelolaan
pengadaan dan penyaluran obat.
Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap petugas telah
melaksanakan tugas dengan baik dan benar sehingga memperkecil resiko
terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya
mengandalkan komunikasi lisan. Dokumentasi pengelolaan pengadaan dan
penyaluran obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen meliputi
prosedur, metode dan instruksi, catatan, laporan serta jenis dokumentasi lain
yang diperlukan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi
seluruh rangkaian kegiatan pengadaan dan penyaluran obat. Semua
dokumentasi hendaknya disediakan sesuai persyaratan dari institusi yang
berwenang. Sistem dokumentasi hendaklah menggambarkan secara lengkap
dan jelas asal-usul setiap jenis produk, serta tujuan penyaluran sehingga
memungkinkan penelusuran kembali. Sistem dokumentasi digunakan pula
dalam pemantauan dan pengendalian untuk pelaksanaan pengelolaan yang
berdaya guna dan berhasil guna dalam pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran obat. Dokumentasi dapat dilakukan secara manual maupun
komputerisasi dan hendaklah jelas, lengkap serta disimpan sekurang-kurangnya
Dokumentasi di PBF meliputi :
a. Pengadaan Obat, pengadaan obat meliputi kegiatan pemesanan,
penerimaan, dan penyimpanan.
b. Penerimaan Obat, digunakan untuk memastikan bahwa obat yang diterima
dalam keadaan baik, sah , sesuai dengan yang dipesan, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan pada waktu obat diterima dengan menggunakan “checklist”
yang sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk.
c. Penyimpanan Obat, obat-obatan hendaklah disimpan pada kondisi yang
sesuai seperti yang telah ditetapkan oleh pabriknya, misalnya terlindung
dari cahaya, kelembaban, harus dijaga tidak beku dan lain-lain. Apabila
kondisi temperature khusus dipersyaratkan, area penyimpanan hendaknya
dilengkapi dengan alat pencatat suhu yang sensitif, sehingga dapat
memperlihatkan tanda (alarm) apabila terjadi kondisi suhu yang tidak
diinginkan. Monitoring suhu hendaknya dilakukan secara seksama dan
dilakukan pencatatan, produk-produk yang mendekati kadaluwarsa dan
yang telah kadaluwarsa hendaknya dipisahkan penyimpanannya dari stok
produk obat yang akan dijual. Obat-obat yang mengalami kerusakan
kemasan, tutup (seals) atau diduga kemungkinan mengalami kontaminasi
sebaiknya dipisahkan dari produk obat yang akan dijual. Apabila obat
tersebut tidak segera dimusnahkan, obat sebaiknya disimpan dalam area
terpisah dengan penandaan yang jelas, sehingga dapat dicegah terjadinya
d. Penyaluran, kegiatan penyaluran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
penting karena obat harus disalurkan kepada pemesan yang sah dan tepat
meliputi penerimaan pesanan, pengeluaran dari gudang, dan pengiriman
kepada pelanggan. Dokumentasi pelaksanaan penyaluran hendaklah dibuat
lengkap sehingga setiap penyerahan obat dapat dipertanggung jawabkan
setiap saat dilakukan pemeriksaan dan evaluasi. Terhadap pesanan yang
masuk sebaiknya dilakukan pemeriksaan atas keabsahan pemesanan dan
keabsahan surat pesanan. Pengemasan obat untuk pengiriman kepada
pemesanan hendaknya disesuaikan dengan persyaratan yang ditetapkan
untuk tiap jenis obat, bahkan untuk pengemasan produk vaksin supaya
dilakukan suatu validasi, sehingga mutu vaksin selalu terpelihara selama
transportasi. Bagian pengiriman sebaiknya mempunyai prosedur tetap cara
pengemasan yang sesuai untuk obat-obatan atau vaksin, seperti yang
dipersyaratkan oleh produsennya.
e. Penarikan Kembali Obat, penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas
permintaan produsen atau instruksi intansi Pemerintah yang berwenang.
Tindakan penarikan kembali hendaklah dilakukan segera setelah diterima
permintaan/instruksi untuk penarikan kembali. Pelaksanaan penarikan
kembali dilakukan atas dasar : permintaan produsen atau instruksi
pemerintah yang berwenang; obat yang dimaksud yang ada dalam
persediaan segera dipisahkan dar stok persediaan yang lain, unit yang
tertulis untuk menghentikan penyerahan dan mengembalikan obat
dimaksud; hendaklah dibuat laporan pelaksanaan penarikan, hasil
penarikan dan permintaan penghentian penyerahan atau penggunaan obat
dimaksud kepada instansi pemerintah yang berwenang disertai Laporan
Pengembalian Barang yang Ditarik dari Peredaran.
f. Penanganan produk kembalian, hendaklah dibuat SOP penanganan obat
kembalian. Obat kembalian adalah obat yang telah disalurkan yang
kemudian dikembalikan karena adanya keluhan masalah, kualitas atau atas
dasar permintaan dari institusi yang berwenang, penarikan kembali atas hal
lain.
g. Dokumentasi secara komputerisasi, penggunaaan sistem computer dapat
lebih memudahkan dalam pencatatan, penyimpanan dan pemantauan segala
aspek aktifitas distribusi (Anonim, 2007).
5. Inspeksi diri
Tujuan Inspeksi diri adalah untuk melakukan penilaian apakah seluruh aspek
distribusi dan pengendalian mutu sarana distribusi memenuhi ketentuan CDOB.
Program Inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam
pelaksanaan CDOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan. Inspeksi diri ini
hendaklah dilakukan secara teratur. Seluruh tindakan perbaikan yang disarankan
hendaklah dilaksanakan. Prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri hendaklah
didokumentasikan. Hal-hal yang perlu diinspeksi : karyawan, bangunan termasuk
distributor, anggota tim harus ahli dibidangnya dan mengerti CDOB. Inspeksi diri
secara menyeluruh hendaknya dilakukan sekurang-kurangnya sekali setahun. Tim
inspeksi diri setelah melakukan tugasnya, memberikan laporan kepada manajemen
untuk perbaikan yang diperlukan. Laporan hendaknya didokumentasikan dengan
baik dapat memantau kinerja (Anonim, 2007).
C. Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk
pengadaan , penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai
ketentuan perundang-undangan (Anomim, 2009a). Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 definisi dari PBF adalah Badan
Hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan,
penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai Ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku. Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi Obat,
Pedagang Besar Farmasi adalah Badan Hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi
yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran sediaan farmasi
dalam jumlah besar sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 688/MENKES/PER/VII/1997 tentang
peredaran psikotropika, disebutkan pengertian dari Pedagang Besar Farmasi adalah
perusahaan yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran
bahwa Pedagang Besar Farmasi adalah suatu perusahaan yang memiliki izin untuk
melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran sediaan farmasi termasuk
psikotropika dan alat kesehatan dalam jumlah besar sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Pedagang Besar Farmasi dilarang menjual sediaan farmasi
secara ecaran, baik di tempat kerjanya atau di tempat lain. Pedagang Besar Farmasi
mempunyai kewajiban dalam melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan
dan penyaluran.
1. Penanggung Jawab PBF
Menurut Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/MENKES/PER/X/1993 penanggung jawab teknis di PBF adalah seorang
Apoteker atau Asisten Apoteker yang mempunyai Surat Ijin Kerja, sedangkan bagi
PBF yang menyalurkan bahan baku obat, wajib dipertanggungjawabkan seorang
Apoteker yang mempunyai Surat Ijin Kerja. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/MENKES/PER/X/1993 berlaku hingga muncul Peraturan Pemerintah Nomor 51
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pada pasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 51 tahun 2009 dikatakan bahwa pada setiap fasilitas distribusi atau
penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai
penanggung jawab, dan Apoteker sebagai penanggung jawab dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Bagi PBF yang
penanggung jawabnya belum seorang Apoteker, diberi jangka waktu 3 tahun untuk
2. Dokumentasi
Dokumentasi menurut Pedoman CDOB adalah seluruh prosedur, instruksi dan
catatan tertulis yang berhubungan dengan distribusi obat. Di dalam Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1191/Menkes/SK/IX/2002 dikatakan bahwa Pedagang
Besar Farmasi mempunyai kewajiban dalam melaksanakan dokumentasi pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran secara tertib ditempat usahanya mengikuti pedoman
teknis yang ditetapkan oleh Menteri. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun
2009 pasal 17 juga dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian yang berkaitan dengan
proses distribusi atau penyaluran Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa di PBF harus ada dokumentasi
yang berkaitan dengan seluruh proses distribusi yang dilakukan oleh Tenaga
Kefarmasian.
3. Promosi obat
Pada pasal 6 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 mengatur mengenai Representative Perusahaan yaitu :
a. Medical representative harus mempunyai latar belakang pendidikan yang
sesuai dan telah dilatih secara memadai serta memiliki pengetahuan medis dan
teknis untuk dapat menyajikan informasi tentang obat secara akurat, berimbang,
etis, dan bertanggung jawab.
b. Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi bertanggung jawab atas
c. Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi bertanggung jawab penuh
atas seluruh pernyataan dan aktivitas para Medical representative.
d. Medical representative tidak boleh menawarkan induksi, hadiah/penghargaan,
insentif, donasi, financial, dan bentuk lain yang sejenis kepada profesi
kesehatan Pedagang Besar Farmasi.
4. Peralatan dan perlengkapan yang wajib dimiliki laboratorium PBF Bahan Baku
Farmasi
Menurut Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan RI nomor: PO.01.01.2.02569 tanggal 2 Oktober
1995, Pedagang Besar Farmasi wajib memiliki laboratorium yang mempunyai
kemampuan untuk pengujian mutu bahan baku farmasi yang disalurkan.
D.Sarana Pelayanan Kefarmasian
Menurut PP No. 51 tahun 2009 dikatakan bahwa Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat,
atau apotek bersama. Menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 apotek
adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.
Toko obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat keras dan
obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran (Anonim, 2009a). Instalasi
penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan seorang farmasis dan memenuhi
persyaratan secara hukum untuk mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh
aspek penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan pelayanan
produk yang lengkap dan pelayanan farmasi klinik yang sifat pelayanannya
berorientasi kepada kepentingan penderita (Anonim, 2008a). Rumah sakit adalah
salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan
memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi
dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang
baik (Anonim, 2008b). Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.539/MenKes/SK/VI/1994, disebutkan bawa rumah sakit adalah unit
organisasi di lingkungan departemen kesehatan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada dirjen pelayanan medik, yang dipimpin oleh
seorang kepala rumah sakit dan mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan
dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Menurut UU nomor
44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
Gambar 1. Jalur Distribusi Obat Sebelum Paket Deregulasi Oktober 1993 PRODUSEN
PBF
APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH** **SAKIT**
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa Produsen hanya menyalurkan obat ke
PBF, kemudian PBF menyalurkan obat ke Apotek, Instalasi Rumah Sakit, dan Toko
Obat. Produsen tidak dapat langsung menyalurkan obat ke Apotek, Instalasi Rumah
Sakit maupun toko obat, hal tersebut dapat membuat harga obat menjadi lebih mahal.
Pada Gambar 2 merupakan bagan jalur distribusi setelah paket deregulasi,
dapat dilihat bahwa Produsen dapat langsung mendistribusikan obat ke Apotek dan
Toko Obat, yang kemudian dari Apotek dan Toko Obat dapat didistribusikan
langsung ke konsumen. Hal tersebut dapat menyebabkan harga obat yang diterima
oleh konsumen lebih murah dibandingkan ketika belum ada paket deregulasi pada
Gambar 2. Jalur Distribusi Obat Setelah Paket Deregulasi Oktober 1993 Keterangan: * : tidak ada apoteker penanggung jawab
PRODUSEN (INDUSTRI FARMASI) DALAM DAN LUAR NEGERI
PBF
APOTEK INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT** TOKO OBAT
DOKTER RUMAH SAKIT*
PUSKESMAS*
PASIEN
** : ada apoteker penanggung jawab
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918 tahun 1993 pasal 3
disebutkan bahwa ”Pabrik Farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung ke
Pedagang Besar Farmasi, Toko Obat, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya”. Di
Indonesia pada tahun 2008 terdapat 10.365 Apotek dan 1.128 Rumah Sakit. Di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 325 Apotek dan 106 Rumah Sakit
(Hartini, Y.S.dan Sulasmono, 2010). Jumlah Pedagang Besar Farmasi seluruh
Indonesia berdasarkan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan per
Juli 2010 sebanyak 3.395 PBF, sedangkan di Propinsi DIY sebanyak 44 PBF. Peneliti
sebesar 45 PBF, dan 9 PBF dapat dihubungi, oleh karena itu peneliti mencari sumber
lain mengenai jumlah dan keberadaan PBF di Propinsi DIY. Sumber lain yang
ditemukan peneliti adalah dari GP Farmasi. Peneliti mendapatkan data jumlah dan
alamat PBF di Propinsi DIY sebanyak 49 PBF dan kemudian yang bersedia mengisi
sebanyak 29 PBF.
E. Landasan Teori
Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009,
penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang tidak menyalurkan bahan
baku obat tidak harus Apoteker (Asisten Apoteker diperbolehkan). Pedagang Besar
Farmasi yang mempunyai Penanggung Jawab bukan seorang Apoteker diberi jangka
waktu 3 tahun sejak diberlakukan PP 51 tahun 2009 untuk mengganti Penanggung
Jawabnya menjadi seorang Apoteker.
Pedagang Besar Farmasi wajib menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik
(CDOB) di dalam seluruh rangkaian kegiatan dalam pendistribusian obat. Pedoman
CDOB sesuai Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor :
HK.00.05.3.2522 disahkan pada tahun 2003, dan sekarang sudah tahun 2010
sehingga CDOB sudah dipublikasikan ke semua PBF di Indonesia. Sudah 7 tahun
sejak disahkan pedoman CDOB yang terbaru diharapkan PBF dapat melaksanakan
CDOB sesuai pedoman CDOB yang berlaku. Suatu PBF dikatakan baik atau buruk
dalam menerapkan CDOB apabila dapat menerapkan aspek-aspek yang ada di dalam
CDOB yaitu : manajemen mutu, personalia, bangunan dan peralatan, dokumentasi,
F. Hipotesis
Pedagang Besar Farmasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental karena tidak ada
perlakukan pada subyek uji. Rancangan penelitian ini bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan dan mengungkapkan suatu masalah, keadaan, peristiwa mengenai
pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi DIY.
B. Definisi Operasional
1. Pedagang Besar Farmasi adalah suatu perusahaan yang mempunyai ijin dalam
mendistribusikan sediaan farmasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
2. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) adalah suatu pedoman yang digunakan
dalam proses distribusi di fasilitas distribusi yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF)
berdasar cetakan ketiga tahun 2007 sesuai Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor : HK.00.05.3.2522 Tahun 2003.
3. Profil tenaga kefarmasian meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan
lama bekerja penanggung jawab PBF.
4. Evaluasi pelaksanaan CDOB adalah mengevaluasi pelakasanaan proses distribusi
berdasarkan pedoman CDOB cetakan ketiga tahun 2007.
5. Sistem Operasional Prosedur (SOP) atau sering disebut dengan Protap adalah
prosedur tertulis suatu instruksi operasional tentang hal-hal umum.
C. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, responden yang diteliti
adalah Pedagang Besar Farmasi yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kuisioner dan
interview terkait dengan struktur organisasi.
D. Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Pedagang Besar Farmasi yang berada di
wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Populasi dari penelitian ini adalah
PBF pada nomor 1-49, sedangkan sampel dari penelitian ini pada nomor 1-29
(Lampiran 1). Dari 49 PBF ini ada 1 PBF yang alamatnya tidak ditemukan, sehingga
peneliti hanya menemukan keberadaan 48 PBF di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Subyek penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu kriteria eksklusi dan
inklusi. Kriteria eksklusi adalah PBF yang tidak ditemukan alamatnya dan
penanggung jawab PBF yang tidak bersedia mengisi kuisioner yaitu berjumlah 20
PBF. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah penanggung jawab PBF yang
bersedia mengisi kuisioner yaitu berjumlah 29 PBF. Sebanyak 19 PBF lainnya tidak
bersedia mengisi dengan alasan: tidak ditemukan alamatnya, PBF sudah tutup, tidak
diperbolehkan dari pusat, dan tidak ada waktu untuk mengisi karena terlalu sibuk.
Oleh karena itu, penulis akan membahas data yang didapat dari 29 PBF tersebut.
Apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka pengambilan sampel
sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi (Imron TA dan Munif, 2009). Populasi dari
berjumlah 29 PBF sehingga jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sesuai dengan teori yang ada.
E. Tata Cara Penelitian 1. Studi pustaka
Penelitian ini dimulai dengan membaca literatur yang ada mengenai pedoman
CDOB, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan distribusi sediaan
farmasi, cara pembuatan kuisioner, metode penelitian, dan perhitungan yang
digunakan dalam penelitian ini.
2. Pembuatan instrumen penelitian
Dalam pembuatan instrument penelitian ada 2 tahapan, yaitu : uji pemahaman
bahasa dan uji validitas.
a. Uji pemahaman bahasa
Uji pemahaman bahasa dilakukan supaya kuisioner yang dibuat dapat dipahami
oleh responden atau tidak. Uji pemahaman bahasa dalam kuisioner dilakukan
kepada seorang ahli bahasa, yang kemudian mengoreksi bahasa dari kuisioner
tersebut apakah mudah dipahami atau tidak.
b. Uji validitas
Uji validitas perlu dilakukan supaya diperoleh hasil sesuai dengan yang hal yang
akan diperoleh pada penelitian ini. Uji validitas dilakukan kepada seorang
penanggung jawab PBF yang bekerja di luar Propinsi DIY. Uji validitas yang
3. Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode angket
menggunakan kuesioner dan interview. Langkah-langkah mengumpulkan data
yaitu menyebar angket, mengumpulkan angket, mengelompokkan angket. Proses
pengumpulan datanya dilakukan dengan cara peneliti datang langsung ke
Pedagang Besar Farmasi. Peneliti (responden) menyampaikan angket kepada
penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi dan menjelaskan tata cara pengisian
angket, setelah responden mengisi, angket kemudian dikumpulkan.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Peneliti melakukan penelitian pada tanggal 2 Juli – 27 Juli 2010 dan dilakukan
Pedagang Besar Farmasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
G. Analisis Data
Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kemudian di paparkan
jumlahnya pada setiap hal yang diteliti. Hal-hal yang dianalisis adalah aspek-aspek
yang ada di dalam CDOB yaitu manajemen mutu, personalia, bangunan dan
peralatan, dokumentasi, dan inspeksi diri berdasarkan Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor : HK.00.05.3.2522 Tahun 2003.
H. Keterbatasan Penelitian
1. Ada beberapa penanggung jawab PBF yang tidak bersedia menjadi responden.
2. Belum ditemukan pedoman CDOB terbaru (tahun 2010), sehingga digunakan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Profil Tenaga Kefarmasian pada PBF di Propinsi DIY 1. Umur
Gambar 3. Umur Penanggung Jawab PBF di Propinsi DIY
Penanggung Jawab yang paling banyak berumur 23-30 tahun sebesar 38 %.
2. Jenis kelamin
Gambar 4. Jenis Kelamin Penanggung Jawab PBF di Propinsi DIY
Penanggung Jawab PBF di Propinsi DIY 83% adalah wanita.
3. Pendidikan terakhir
Penanggung Jawab PBF dengan pendidikan terakhir paling banyak adalah SMF
sebanyak 57%, sedangkan dengan pendidikan terakhir Profesi Apoteker sebanyak
30%. Setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009,
penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus seorang Apoteker, akan
tetapi sampai sekarang penanggung jawab PBF belum semuanya seorang Apoteker
karena pada pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 dikatakan bahwa
“Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang Besar
Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.” PT. Tri Tunggal
tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor.
918/MENKES/PER/X/1993 karena tidak memiliki Apoteker maupun Asisten
Apoteker, sehingga harus dilakukan peninjauan lagi oleh Balai Besar POM dan Dinas
Kesehatan Propinsi mengenai izin PBF PT. Tri Tunggal.
4. Lama bekerja
Penanggung Jawab dapat diketahui bahwa paling banyak yang bekerja di
PBF tersebut sebagai penanggung jawab < 1 tahun sebesar 35 %.
Gambar 6. Lama Bekerja Penanggung Jawab di PBF tempat bekerja di Propinsi DIY
Sebesar 82,8 % penanggung jawab PBF di DIY sudah pernah bekerja di tempat
lain. Sebesar 17,2 % belum pernah bekerja di tempat lain.
Penanggung jawab PBF di DIY sebagian besar bukan berasal dari PBF lain
melainkan dari Apotek sebanyak 44,8%, sedangkan yang pernah bekerja di PBF lain
sebesar 27,6 %, dan lainnya pernah bekerja di Rumah Sakit dan Pabrik.
B. Pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi DIY
Peran tenaga kefarmasian di PBF ialah mengelola proses distribusi sediaan
farmasi. Terdapat 28 PBF di Propinsi DIY mengelola Obat Bebas, 27 PBF mengelola
Obat Bebas Terbatas, 25 PBF mengelola Obat Keras, 1 PBF mengelola Narkotika, 1
PBF mengelola Bahan Baku Farmasi, dan lainnya dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Jenis Sediaan yang dikelola PBF di Propinsi DIY
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 918/MENKES/PER/X/1993 pasal VI
ayat (2) disebutkan bahwa” Pedagang Besar Farmasi yang menyalurkan narkotika
dan psikotropika wajib menyampaikan laporan penyaluran narkotika dan psikotropika
sesua perundang-undangan yang berlaku disamping laporan berkala seperti disebut
dalam ayat (1)”. Menurut Keptusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
199/MENKES/SK/III/1996 Pedagang Besar Farmasi yang melaksanakan impor,
produksi, dan distribusi Narkotika di Indonesia hanya PT. Kimia Farma saja,
Menurut pasal 15 UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan bahwa
Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik
negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan impor narkotika. Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa
tidak ada PBF di Propinsi DIY yang mengelola Narkotika karena penanggung jawab
PT. Kimia Farma cabang Yogyakarta tidak bersedia mengisi kuisioner. Pedagang
Besar Farmasi di Propinsi DIY yang mengelola psikotropik tetapi tidak membuat
laporan psikotropik adalah PT. Bina San Prima, PT. Dos Ni Roha, PT. Kebayoran
Farma, PT. Tempo, PT. United Dico Citas (Lampiran 2 dan 3).
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 918/MENKES/PER/X/1993 pasal VI
ayat (1) dikatakan bahwa ”Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya wajib
menyampaikan laporan secara berkala sekali 3 (tiga) bulan mengenai usahanya
meliputi jumlah penerimaan dan penyaluran masing-masing jenis obat kepada
Direktur Jenderal dan tembusan Kepala Kantor Wilayah setempat, dengan
menggunakan contoh Formulir Model POM-9”, sedangkan dari data didapatkan hasil
bahwa penanggung jawab PBF yang membuat laporan berkala tiap 3 bulan sekali
Gambar 9. Waktu Pembuatan Laporan Berkala pada PBF di Propinsi DIY
Di DIY 52 % PBF memiliki Apoteker dan tidak semua Apoteker di PBF
menjadi Penanggung Jawab PBF melainkan menjadi asisten Penanggung Jawab PBF.
Gambar 10. Jumlah Apoteker pada PBF di Propinsi DIY
Jumlah tenaga kefarmasian yang ada di PBF sebanyak 1 orang sebesar 55 %,
Gambar 11. Jumlah Tenaga Kefarmasian pada PBF di Propinsi DIY
Perbandingan antara jumlah apoteker dengan jumlah total karyawan dapat
digunakan untuk melihat seberapa besar peran Apoteker dalam proses distribusi di
PBF tersebut. Semakin kecil hasil perbandingan antara jumlah karyawan dengan
jumlah total karyawan maka semakin kecil pula peran apoteker dalam proses
distribusi di PBF tersebut. Sebagai contoh pada PBF nomor 1 mempunyai jumlah
apoteker 2-3 orang dan mempunyai jumlah total karyawan > 30 orang, jika diambil
nilai paling kecil pada jumlah apoteker dan jumlah total karyawan sehingga diperoleh
hasil 1:15. Contoh yang kedua pada PBF nomor 2 mempunyai jumlah Apoteker 1
orang sedangkan mempunyai jumlah total karyawan > 30 orang, jika dibandingkan
antara jumlah apoteker dengan jumlah total karyawan diperoleh hasil 1:30. Dari 2
contoh diatas dapat disimpulkan bahwa Apoteker pada PBF nomor 1 mempunyai
Di dalam pedoman CDOB akan dilihat pelaksanaannya di PBF di DIY, yaitu :
1. Manajemen mutu
Di dalam Pedoman CDOB dikatakan bahwa dalam penerapan CDOB harus
mempunya Sistem Operasional Prosedur (SOP). Dari 29 PBF ada 1 PBF yang tidak
mempunyai SOP, 28 lainnya mempunyai SOP. Sebanyak 20 PBF mempunyai SOP
mengenai CDOB, 26 PBF mempunyai SOP mengenai penerimaan dan pengiriman
barang, 27 PBF mempunyai SOP mengenai tempat penyimpanan.
Gambar 12. Jenis SOP yang ada di PBF di Propinsi DIY
SOP yang terdapat di PBF paling banyak dibuat oleh kantor pusat, sehingga
PBF-PBF cabang hanya tinggal menerapkan SOP yang sudah diberikan dari kantor
Gambar 13. Pembuat SOP
2. Personalia
Suatu PBF yang baik harus mempunyai struktur organisasi. Terdapat 79,3 %
PBF yang mempunyai struktur organisasi.
Contoh Struktur Organisasi di PBF di DIY :
BM
Gambar 14. Struktur Organisasi PT. Brataco
Dari struktur organisasi di atas Penanggung Jawab yang merupakan Apoteker
mempunyai garis koordinasi dengan Branch Manager, sedangkan Supervisor
Logistik, Supervisor Administrasi, Supervisor Sales bertanggung jawab langsung
dengan Branch Manager bukan dengan Penanggung Jawab. Tugas Penanggung
Jawab di sini sebagai penanggung jawab terhadap segala hal-hal ekstern misalnya :
BM
SALESMAN SALESMAN Aqua, pupuk,SALESMAN pestisida
SALESMAN Kertas
Gambar 15. Struktur Organisasi PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia
(Persero)
Pada strukur organisasi di atas dapat dilihat bahwa tidak terdapat Apoteker di
Perusahaan tersebut, penanggung jawab PBF tersebut adalah seorang Asisten
PIMPINAN
FAKTURIS, ADMINISTRASI
PENJUALAN
PEMBUKUAN
SALESMAN PENANGGUNG
JAWAB
Bagian gudang
Ekspedisi Pesuruh
Gambar 16. Strukur Organisasi PT. Salasa Barokah Farma
Dari struktur organisasi di atas dapat dilihat bahwa Penanggung Jawab saling
berkoordinasi dengan bagian fakturis dan salesman, membawahi bagian gudang,
ekspedisi dan pesuruh. Pada perusahaan ini dilihat dari strukur organisasinya, praktek
kefarmasian dapat terlaksana dengan baik karena penanggung jawabnya dapat
berkoordinasi dengan bagian fakturis dan salesman, dan bertanggung jawab dalam
distribusi sediaan farmasi pada bagian gudang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
penanggung jawab di perusahaan ini mengetahui distribusi keluar masuknya sediaan
Dari Gambar 17 di atas dapat dilihat bahwa Penanggung Jawab PBF merupakan
seorang Asisten Apoteker bukan seorang Apoteker. Penanggung jawab di perusahaan
ini membawahi bagian administrasi penjualan dan kepala gudang. Penanggung jawab
di perusahaan ini apabila dilihat dari struktur organisasinya dapat diketahui bahwa
penanggung jawab mengetahui dan bertanggung jawab dalam keluar masuknya
sediaan farmasi di perusahaan tersebut.
Kriteria struktur organisasi PBF yang baik menurut peneliti adalah mempunyai
penanggung jawab seorang Apoteker, penanggung jawab mengetahui proses keluar
masuknya sediaan obat meliputi stok obat, penyimpanan obat, dan penjualan obat.
Dari beberapa contoh organisasi di atas dapat disimpulkan bahwa struktur organisasi
yang paling baik adalah struktur organisasi di PT. Salasa Barokah Farma karena
penanggung jawabnya adalah seorang Apoteker dan penanggung jawabnya dapat
mengetahui distribusi keluar masuknya sediaan obat dan stok yang ada di perusahaan
tersebut dilihat dari struktur organisasi yang membawahi bagian gudang dan
ekspedisi. Untuk pembuatan laporan, PT. Salasa Barokah Farma sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku yaitu membuat laporan tiap 3(tiga) bulan, tidak
membuat laporan psikotropik dan narkotika karena tidak mengelola psikotropik dan
narkotika.
Dengan adanya struktur organisasi, setiap karyawan dapat mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan
efisien. Jumlah karyawan haruslah memadai sehingga pekerjaan yang dilakukan
Propinsi DIY mempunyai jumlah karyawan yang belum memadai (menurut pendapat
penanggung jawab di masing-masing PBF di Propinsi DIY).
Gambar 18. Jenis Pelatihan yang diikuti Penanggung Jawab PBF di Propinsi DIY
Di dalam pedoman CDOB dikatakan bahwa seluruh karyawan yang terlibat
dalam pendistribusian obat, hendaknya diberikan pelatihan mengenai CDOB
sehingga CDOB dapat berjalan dengan benar. Terdapat 48,3 % penanggung jawab
yang pernah mengikuti pelatihan mengenai CDOB. Apabila penanggung jawabnya
saja belum pernah diberikan pelatihan bagaimana dapat menerapkan CDOB dengan
benar.
Pelatihan dapat diselenggarakan dari pihak luar PBF dan dari pihak intern PBF.
Penanggung jawab PBF yang pernah mengikuti pelatihan dari pihak luar PBF sebesar
lainnya tidak pernah mengikuti pelatihan. Penyelenggara pelatihan dari luar PBF
berasal dari :
Gambar 19. Instansi Penyelenggara Pelatihan dari pihak luar PBF
Sedangkan penyelenggara dari pihak intern PBF berasal dari Pusat.
Penanggung jawab yang menerima pelatihan dari intern PBF yang diselenggarakan
oleh Pusat sebanyak 6 PBF. Setahun terakhir ini penanggung jawab PBF di Propinsi
DIY jarang sekali mendapat pelatihan baik dari pihak luar maupun intern PBF.
Penanggung jawab yang mendapat pelatihan 1 kali dalam setahun terakhir dengan
persentase sebesar 63 %.
Dari data sistem distribusi obat di tempat penyimpanan obat yang digunakan ,
penanggung jawab PBF sebesar 45 % menggunakan sistem gabungan antara sistem
First In First Out(FIFO) dan First Expired First Out (FEFO) dan lainnya
menggunakan sistem FIFO saja, FEFO saja, dan berdasarkan nomor batch dari
masing-masing obat. Sistem gabungan antara FIFO dan FEFO adalah barang yang
datang lebih awal dan mendekati expired date maka barang tersebut didistribusikan
lebih dahulu.
Gambar 21. Sistem Distribusi di tempat penyimpanan obat pada PBF di Propinsi DIY
3. Bangunan dan peralatan
Khusus untuk PBF yang mengelola vaksin, penyimpanan vaksin, narkotika dan
psikotropika harus disimpan diruang khusus. Dari diperoleh bahwa penyimpanan
vaksin, narkotika dan psikotropika di semua PBF yang mengelola vaksin, narkotika
dan psikotropika sesuai dengan CDOB yaitu disimpan diruang khusus.
Di dalam pedoman CDOB dikatakan bahwa bangunan harus mempunyai
sirkulasi udara yang baik. Salah satu indikator sirkulasi udara yang baik ialah dengan
jendela sebaiknya tempat penyimpanan obat terdapat alat untuk mengontrol
temperatur dan kelembaban.
Gambar 22 . Jumlah PBF yang memiliki peralatan pengontrol udara
Pedagang Besar Farmasi yang mempunyai alat untuk mengontrol suhu di tempat
penyimpanan obat sebanyak 25 PBF, PBF yang mempunyai alat untuk mengontrol
kelembaban di tempat penyimpanan obat sebanyak 15 PBF. Dengan adanya sirkulasi
udara yang baik maka kualitas obat dapat terjaga dengan baik pula. Ada beberapa
obat yang dalam penyimpanannya mempunyai kondisi kelembaban dan suhu tertentu.
Alat pengontrol suhu dan kelembaban digunakan untuk mengontrol kondisi tersebut
supaya terjaga, sehingga sediaan obat dapat terjaga kualitasnya.
Di dalam pedoman CDOB juga dikatakan bahwa bangunan harus dalam keadaan
bersih dan bebas dari sampah dan tumpukan. Penulis mengasumsikan bahwa kalau di
PBF ada petugas yang membersihkan sampah berarti kebersihan di PBF dapat terjaga
dan sangat sulit untuk menjaga kebersihan dan sampah apabila tidak ada petugas
khusus yang membersihkan bangunan dan sampah.
Terdapat 28 PBF mempunyai petugas yang membersihkan bangunan dan
sampah. Adanya petugas yang membersihkan sampah maka kebersihan di PBF dapat
terjamin dan bagi orang yang bekerja di dalam PBF tersebut juga dapat merasa
nyaman.
Penerangan di tempat penyimpanan obat juga harus memadai supaya dalam
proses pendistribusiannya tidak terjadi kesalahan. Dari data yang diperoleh dapat
disimpulkan bahwa semua PBF di DIY mempunyai penerangan yang memadai.
Untuk menjaga kualitas obat yang kondisinya dipersyaratkan oleh pabrik
misalnya harus ada monitoring kelembaban dan suhu. Terdapat 17 PBF tidak
mempunyai monitoring suhu, 10 PBF tidak mempunyai monitoring kelembaban. Alat
yang digunakan untuk monitoring kelembaban adalah higrometer. Alat untuk
monitoring kelembaban selain higrometer adalah dehumidifier. Dehumidifier adalah
biasanya sebuah alat yang digunakan untuk mengurangi tingkat kelembaban di udara
(Wikipedia, 2010). Alat yang biasa digunakan untuk monitoring suhu adalah
termometer. Padahal monitoring suhu dan kelembaban itu penting pada penyimpanan
obat yang mempunyai kondisi khusus dalam penyimpanan, apabila kondisi suhu dan
kelembaban tidak sesuai maka dapat menyebabkan kerusakan pada komponen yang
Tabel I. Jumlah PBF yang memiliki monitoring suhu dan kelembaban
Jenis monitoring Ada Tidak
Monitoring Suhu 12 17
Monitoring Kelembaban 19 10
Penyimpanan produk yang mendekati kadaluarsa dan yang sudah kadaluarsa
sangatlah penting supaya tidak tercampur dengan produk lain yang akan dijual.
Terdapat 28 PBF di DIY memisahkan produk yang mendekati kadaluarsa dan yang
kadaluarsa tidak tercampur dengan obat lain yang akan dijual.
Untuk obat yang mengalami kerusakan pada kemasan, di pedoman CDOB
disebutkan bahwa obat tersebut hendaknya dipisahkan dengan obat lain yang akan
dijual. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 27 PBF di DIY memisahkan
obat yang mengalami kerusakan pada kemasan dengan obat-obat lain, sedangkan
sebesar 2 PBF selain dipisahkan, obat yang mengalami kerusakan kemasan tersebut
diretur jika masih bisa dikembalikan.
4. Dokumentasi
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1191/Menkes/SK/IX/2002
dikatakan bahwa Pedagang Besar Farmasi mempunyai kewajiban dalam
melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan dan penyaluran secara tertib
ditempat usahanya mengikuti pedoman teknis yang ditetapkan oleh Menteri.
Terdapat 1 PBF yang tidak mempunyai dokumentasi. Dokumentasi pengadaan
penyaluran obat meliputi : penerimaan pesanan, pengeluaran dari gudang, dan
pengiriman kepada pelanggan. Terdapat 27 PBF mempunyai dokumentasi
pengeluaran dari gudang, 26 PBF mempunyai dokumentasi pengiriman obat kepada
pelanggan, 25 PBF mempunyai dokumentasi dokumentasi penerimaan pesanan dari
pelanggan dan pengurangan barang dari stok penjualan, 28 PBF mempunyai
dokumentasi stok barang, kegiatan pemesanan sediaan farmasi, penerimaan sediaan
farmasi.
Gambar 23 . Jenis Dokumentasi pada PBF di Propinsi DIY
Di dalam Pedoman CDOB dikatakan bahwa dokumentasi itu hendaknya
a. Untuk menjamin pelaksanaan pengadaan dan distribusi sesuai ketentuan
perundang-undangan
b. Untuk dapat menjamin penyediaan data dan informasi yang akurat dan aktual
pada pemesanan, penerimaan, keadaan stok, penyaluran, dan sebangainya
c. Untuk dapat menjaga tingkat stok pada kondisi yang dapat menjamin
kelancaran pelayanan
d. Untuk dapat menjamin penerimaan produk yang benar meliputi jumlah,
identitas, kualitas
e. Untuk dapat melakukan dokumentasi yang benar dan lengkap serta mencatat
semua kegiatan yang dilaksanakan dalam pengelolaan pengadaan dan
penyaluran obat.
Prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri hendaklah didokumentasikan
(Anonim, 2007). PBF yang mendokumentasikan Inspeksi diri sebanyak 9 Perusahaan.
Dokumentasi di PBF ada 3 yaitu dokumentasi yaitu dilakukan secara manual,
secara komputerisasi, dan gabungan antara manual dan komputerisasi.
Dokumentasi di PBF di DIY sebagian besar dilakukan secara gabungan antara
manual dan komputerisasi sebesar 90 %. Sebagian besar PBF menggunakan sistem
gabungan manual dan komputerisasi supaya mempunyai back up data apabila terjadi
mati lampu, maka masih dokumen yang dapat digunakan untuk proses distribusi.
Semua PBF di Propinsi DIY yang mempunyai dokumentasi menyimpan
dokumennya.
Gambar 26. Dokumentasi Secara Komputerisasi pada PBF di Propinsi DIY
5. Inspeksi diri
Tujuan dari Inspeksi diri adalah untuk melakukan penilaian apakah seluruh aspek
distribusi dan pengendalian mutu sarana distribusi memenuhi ketentuan CDOB.
Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam
pelaksanaan CDOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan (Anonim, 2007).
Di PBF dilakukan Inspeksi diri baik dilakukan oleh PBF sendiri ataupun oleh
pihak luar PBF, misalnya Balai Besar POM, dan Dinas Kesehatan Propinsi. Dari 29
PBF yang melakukan inspeksi diri sebesar 89,7 % PBF, 10,3 % lainnya tidak ada
inspeksi diri.
Pada PBF di Propinsi DIY ada yang melakukan inspeksi internal ,inspeksi
Gambar 27. Inspeksi pada PBF di Propinsi DIY
Gambar 28. Inspeksi Internal pada PBF di Propinsi DIY
Sebanyak 21 PBF menginspeksi dokumentasi yang ada di dalam perusahaan
tersebut. Sebanyak 19 PBF menginspeksi karyawan, untuk melihat bagaimana kinerja
karyawan. Tidak semua PBF melakukan inspeksi pada karyawan, bangunan termasuk
fasilitas, peralatan, dan dokumentasi. Di dalam Pedoman CDOB dikatakan bahwa”.
Untuk mendapatkan standar inspeksi diri yang minimal dan seragam, dibuat daftar
periksa yang meliputi: karyawan, bangunan termasuk fasilitas, peralatan, dan
Gambar 29. Penyelenggara inspeksi internal pada PBF di Propinsi DIY
Inspeksi internal di PBF sebagiaan besar dilakukan minimal 1 kali setahun dengan
persentase 69 %.
Gambar 31. Inspeksi Eksternal pada PBF di Propinsi DIY
Sebanyak 23 PBF yang terdapat inspeksi eksternal yang diinspeksi adalah
dokumentasi. Sebanyak 15 PBF oleh penyelenggara inpeksi eksternal menginspeksi
bangunan termasuk fasilitas yang ada di PBF. Terdapat 23 PBF pernah diinspeksi
oleh Balai Besar POM, sedangkan 6 PBF lainnnya tidak pernah diinspeksi oleh Balai
Besar POM .
Gambar 32. Penyelenggara inspeksi eksternal pada PBF di Propinsi DIY
Inspeksi eksternal sebesar 95,8% dilakukan minimal 1 kali setahun, sebesar 4,2%
dilakukan 2 kali dalam setahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Profil tenaga kefarmasian pada 29 PBF di DIY adalah Penanggung Jawab PBF
yang berumur 23-30 tahun sebesar 38 %, 83 % Penanggung Jawab PBF adalah
wanita, dan 30 % Penanggung Jawab PBF merupakan Apoteker. Terdapat PBF di
Propinsi DIY yang tidak memiliki Apoteker maupun Asisten Apoteker yaitu PT.
Tri Tunggal.
2. Pelaksanaan CDOB pada PBF di Propinsi DIY adalah Dari hasil penelitian
diketahui umur dari Penanggung Jawab PBF yang bekerja di PBF paling banyak
berumur antara 23 -30 tahun dengan persentase 38%, 48,3% PBF di DIY tidak
mempunyai apoteker. Evaluasi Pelaksanaan CDOB ialah Manajemen Mutu
96,6%, Personalia sebesar 79,3%, Bangunan dan Peralatan sebesar 58,6% tidak
mempunyai monitoring kelembaban, Dokumentasi sebesar 96,6% PBF
mempunyai dokumentasi, dan 89,7 % PBF melakukan inspeksi diri.
B. Saran
1. Diadakan evaluasi tiap tahun mengenai pelaksanaan CDOB di PBF di
Propinsi DIY, sehingga pelaksanaan CDOB dapat terlaksana dengan baik
pada setiap PBF di Propinsi DIY.
2. Diadakan pelatihan mengenai CDOB bagi setiap Penanggung Jawab PBF