• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo - USD Repository"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004

DI APOTEK -APOTEK KABUPATEN KULON PROGO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Ignasius Totok Tri Prasetyo NIM : 038114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Ojo

rumongso

,

ning

ngrumangsanono

…!!!

Semuanya aku serahkan ke dalam tanganMu,

semoga menjadi berkat melimpah bagiku.

Kupersembahkan buat : Jesus Christ Keluargaku (Ibu-Bapak, mas Didik, Danu) No’e almamaterku

(5)
(6)
(7)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek – Apotek Kabupaten Kulon

Progo”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(8)

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji. Terima kasih atas

kritik dan saran yang telah diberikan.

6. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Seluruh Apoteker Kabupaten Kulon Progo yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Ibu dan Bapak, inilah anakmu!

9. Mefta, terima kasih Tuhan atas kasih yang Kau berikan melalui dia. You are the best I ever had.

10.Rm. Ant. Budi Wihandono, Pr., atas segala doa dan Berkah Dalem.

11.Teman – teman kost: Adit dan Yuda, kebersamaan selama kost; Basil, cartride dan printernya; Mamat, ayo wisuda; Fetzo, atas servis virusnya.

12.Sahabat terbaik: Ratih, Wati, Nella, Tina, Bambang, Bangun; kita bukan gerombolan yang tidak berpendidikan!

13.Rekan seperjuangan : Monika, atas semangatnya; Adi, revisiannya, Bambang dan Bangun, akhirnya kita lulus.

14.Teman - teman senasib : Vian, Rosa, Tata, Syu, Ratih, Andi, Vera; terima kasih atas solidaritas, sharing dan kebersamaannya.

15.Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A terutama kelompok B; Nella, Mita, Bambang, Vera, Ana, Angger, Sari, Obe, Rosa, Andika; kapan kita ngrumpi sambil praktikum lagi?

(9)

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 31 November 2007

Penulis

(10)

INTISARI

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) bekerjasama dengan Departemen kesehatan Republik Indonesia mencoba menanggapi hal tersebut dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.

(11)

ABSTRACT

Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. Indonesian Pharmacist Graduated Assosiation( ISFI) work along with Health Department of Indonesia try to answer the mentioned by the way of formulating an pharmaceutical care in dispensary like included in Kepmenkes RI number 1027/MENKES/SK/IX/2004. The standard is expected serve the purpose of guidance of Pharmacist’s practice in implementing profession, to protect public from unprofessional service, and protect profession in implementing practice of pharmacy

This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.

Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Kulon Progo.

Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………...…... i

HALAMAN PERSETUJUAN………...…... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... v

PRAKATA………...………. vi

INTISARI………...………... ix

ABSTRACT………...………. x

DAFTAR ISI………...……….. xi

DAFTAR TABEL………...………….. xv

DAFTAR GAMBAR………...………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………...……….. xix

BAB I PENGANTAR………...……...……… 1

A. Latar Belakang………...……….. 1

1. Rumusan Masalah………...……… 4

2. Keaslian penelitian……….. 4

3. Manfaat Penelitian……….. 6

B. Tujuan Penelitian……….. 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………...……... 8

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek……….………… 8

B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker………...………... 10

(13)

1. Menurut Peraturan Perundang – undangan………... 10

2.Apoteker Sebagai Profesi dan Perannya………..… 13

C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek………... 17

D. Sumpah Apoteker………... 21

E. Kode Etik Apoteker……….. 22

F. Etika Bisnis………... 22

G. Keterangan Empiris……….. 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………... 26

B. Definisi Operasional Penelitian……… 26

C. Instrumen Penelitian……….... 27

D. Populasi dan Sampel……….... 27

1. Popoulasi………. 27

2. Sampel………... 28

E. Tata Cara Penelitian……….. 29

1. Pembuatan kuisioner………... 29

2. Pengujian kuisioner………. 29

3. Penyebaran kuisioner……….. 31

4. Pengumpulan kuisioner………... 32

5. Wawancara……….. 32

F. Tata Cara Analisis Data……….... 32

G. Kesulitan Penelitian………. 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………..……... 34

(14)

A. Data Deskripsi Responden………... 34

1. Umur responden………...………... 34

2. Posisi responden di apotek..……… 35

3. Pengalaman kerja responden di apotek………...…… 35

4. Adanya pekerjaan lain dari responden……… 36

5. Waktu kerja responden……… 37

B. Pengelolaan Sumber Daya……… 38

1. Sumber daya manusia………. 38

2. Sarana dan prasarana………... 44

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya………. 50

4. Administrasi……….... 56

C. Pelayanan………...…... 61

1. Skrining resep………. 61

2. Penyiapan obat……… 63

3. Promosi, Edukasi dan Tindak lnajut Terapi……… 69

D. Evaluasi Mutu Pelayanan………... 71

1. Tingkat kepuasan konsumen………... 71

2. Dimensi waktu……….... 72

3. Prosedur tetap……….. 73

E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo……….... 75

F. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Karakteristik Responden……….. 77

(15)

1. Umur responden……….. 77

2. Pengalaman kerja sebagai apoteker……… 80

3. Adanya pekerjaan lain………. 83

4. Waktu kerja responden selama satu minggu………... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..……… 89

A. Kesimpulan………..… 89

B. Saran………...…….. 90

DAFTAR PUSTAKA………...………...… 91

LAMPIRAN…………...………..… 95

BIOGRAFI PENULIS……… 111

(16)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel I Posisi Responden di Apotek……….. 35 Tabel II Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu……... 38 Tabel III Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan

Persetujuan APA………... 39 Tabel IV Informasi Obat yang Diberikan Apoteker………... 41 Tabel V Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi…….. 46 Tabel VI Adanya Ruang Racikan di Apotek………... 47 Tabel VII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien…… 48 Tabel VIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi

di Apotek………... 51 Tabel IX Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah

Lain……… 52

Tabel X Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ………... 53 Tabel XI Apoteker yang Memberikan Konseling Secara

Berkelanjutan……… 67 Tabel XII Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi ………… 70 Tabel XIII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan……… 72

(17)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Umur Responden………...……… 34 Gambar 2. Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek

. 36

Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden……….………. 36 Gambar 4. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter

Apabila Ada Ketidakjelasan pada Resep………... 42 Gambar 5. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek bagian Sumber Daya Manusia……….. 43 Gambar 6. Adanya Ruang Tunggu bagi Pasien………….……….. 45 Gambar 7. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek bagian Sumber Daya Manusia……….. 49 Gambar 8. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek bagian Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Sediaan Lainnya……… 55 Gambar 9. Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur atatu Nota

Penjualan……… 57

Gambar 10. Apotek Yang Selalu Melakukan Pengisian Medication

Record……….. 58

Gambar 11. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Administrasi…..………. 60

(18)

Gambar 12. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Skrining Resep…….……… 63 Gambar 13. Apotek yang Pernah Menerima keluhan Tentang Etiket…... 64 Gambar 14. Apoteker yang Selalu Menyediakan jam Konseling Setiap

Hari di

Apotek……….………... 67

Gambar 15. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Penyiapan Obat….….……… 68 Gambar 16. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi

Obat……… 69

Gambat 17. Penatalaksanaan Promosi, Edukasi, dan Tidak Lanjut

Terapi………. 71

Gambar 18. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap……. 73 Gambar 19. Penatalaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan………... 74 Gambar 20. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kabupaten Kulon Progo………...….… 75 Gambar 21 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur Responden..………...….… 78 Gambar 22 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur

Responden..………..………...….… 79

(19)

Gambar 23 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden…..……...….… 80 Gambar 24 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman

Kerja Responden …………..……….…………...….… 82 Gambar 25 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden…... 83 Gambar 26 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden..………..…………....….… 85 Gambar 27 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu. 87 Gambar 28 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu ………...….… 88

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………. 95

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……….. 96

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……….. 102

Lampiran 4. Tabulasi Data………. 103

Lampiran 5. Sumpah/Janji Apoteker Indonesia………..…… 106

Lampiran 6. Kode Etik Apoteker …... 107

Lampiran 7. Contoh Alur Pelayanan Resep ……….. 109

Lampiran 8. Hasil Wawancara……….………. 110

(21)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama – sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat. Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, dalam bentuk pelayanan kesehatan perorangan atau pelayanan kesehatan masyarakat (Sirait, 2001)

Dimensi pelayanan farmasi sebagai bagian dari sebagian pelayanan kesehatan terdiri dari 2 kegiatan utama, yaitu dimensi pelayanan kefarmasian oleh Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, yaitu tenaga kefarmasian dan dimensi pengelolaan obat sebagai produk barang kesehatan (Anief, 1995). Pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker.

Saat ini terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented. Apoteker yang semula hanya berfokus pada

(22)

pengobatan (medication error). Disamping itu juga Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung pengobatan yang rasional (Anonim, 2004a). Dengan demikian terjadi pelayanan informasi obat dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi tentang obat yang merupakan salah satu fungsi pekerjaan kefarmasian.

Meningkatnya arus globalisasi, semakin canggihnya teknologi farmasi dan kedokteran, pasar terbuka, perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian di apotek yang tidak lagi hanya berorientasi pada obat tetapi lebih berorientasi kepada pasien, sehingga apotek diharapkan memberi pelayanan sesuai standar pelayanan kefarmasian.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) sebagai satu – satunya organisasi profesi Apoteker di Indonesia bersama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia mencoba untuk menanggapi perubahan peran apoteker dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).

(23)

Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1996 pasal 21, yang dimaksud standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di apotek dibutuhkan Apoteker yang profesional. Dengan ditetapkannya Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek ini diharapkan tujuan pelayanan kefarmasian dapat dicapai secara maksimal (Anonim, 2004a).

Demikian juga, konsumen mendapatkan perlindungan dari pelaku usaha yang bekerja tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

(24)

dan menyusui 26,9 % dan juga masih tingginya angka KLB seperti demam berdarah dan malaria ditambah problem sanitasi yang masih buruk.

Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan status kesehatan. Apotek akan memberi pengarahan kepada masyarakat tentang pemilihan obat, konseling kesehatan dan sanitasi lingkungan.

Melihat hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelayanan kefarmasian Apoteker di apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, terutama apotek - apotek di Kabupaten Kulon Progo, yang disesuaikan dengan perlindungan konsumen.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 ?

b. Parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah terlaksana dengan baik, cukup dan kurang sesuai dengan persentase masing - masing ?

(25)

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu : a. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta (Sukmajati, 2007)

Perbedaan penelitian Sukmajati dengan penelitian ini adalah :

1) Daerah penelitian Sukmajati (2007) berada di Kota Yogyakarta dengan periode September-November 2006, sedangkan pada penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan periode Juli-November 2007.

(26)

b. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman (Soedarsono, 2007)

Perbedaan penelitian Soedarsono dengan penelitian ini adalah :

1) Daerah penelitian Soedarsono (2007) berada di Kabupaten Sleman dengan periode Oktober-Desember 2006, sedangkan pada penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan periode Juli-November 2007.

2) Penelitian Soedarsono (2007) tidak mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden, sedangkan penelitian ini mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden berikut dengan pembahasanannya.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoritis

(27)

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :

1) Bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek

2) Bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekkan.

3) Bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

(28)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek

Peraturan perundang-undangan yang penting mengenai apotek adalah Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1980. Apabila Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1980 ditelaah secara seksama, maka apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat (pasal 1). Tugas dan fungsi apotek (pasal 2) adalah

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;

b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Anonim, 1980)

Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka izin apotek diberikan oleh Menteri. Menteri melimpahkaan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan (pasal 4).

Persyaratan apotik menurut KepMenKes di atas adalah (pasal 6) :

(29)

perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain

(2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi

(3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. (Anonim,2002)

Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/1993 pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Selanjutnya pengelolaannya adalah pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi merupakan juga pengelolaan apotik. Kemudian pasal 11 menyebutkan yang dimaksud dengan pelayanan informasi , meliputi :

a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat, danperbekalan farmasi lainnya.

(30)

B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker

1. Menurut peraturan perundang-undangan

Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 1 menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia (Anonim, 2002).

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993 menyebutkan syarat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker (pasal 5) adalah :

a.Ijazah telah terdaftar pada Departemen kesehatan. b.Telah mengucapkan Sumpah/Janji sebagai Apoteker. c.Memiliki Surat Ijin Kerja dari Menteri.

d.Memenuhi syarat-sayarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksakan tugasnya, sebagai Apoteker.

e.Tidak bekerja di suatu Perusahaan farmasi dan tidak menjadi apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain.

Menurut KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a).

(31)

a. apoteker yang berkepentingan melakukan atau telah melakukan suatu perbuatan pidana

b. melakukan atau telah melakukan perbuatan yang melanggar susila kefarmasian

c. kesehatan fisik maupun mental terganggu sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik

d. membuat kesalahan-kesalahan teknis dalm bidang tugas/pekerjaan yang berbahaya

e. melakukan hal-hal yang membahayakan kepentingan umum. (Anonim, 1981a) Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sedian farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Sediaan Farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau, dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan Apotek. (Anonim, 2002)

(32)

apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002).

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi (pasal 15) :

a.yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.

b.penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam Kode Etik apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa seorang apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.

(33)

2. Apoteker sebagai profesi dan perannya

Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau kliennya (Harding, 1993).

Menurut ISFI (2004) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.

2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian.

6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup.

8. mendapat jasa profesi.

(34)

Berdasarkan Kepmenkes no. 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merupakan satu – satunya organisasi sarjana farmasi / apoteker yang bersifat otonom yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana dibidang farmasi.

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi. Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker. Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka proses pembelajaran seumur hidup merupakan tuntutan bagi Apoteker, hal ini mendukung ciri profesi yang pertama dan kedua sehingga tujuan profesionalnya dapat tercapai karena tanpa belajar terus menerus maka tidak akan dapat memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

(35)

masih bekerja sebagai seorang yang bekerja bagi kehidupan apotek untuk mendapatkan imbal baliknya (Hartini dan Sulasmono,2006).

Di tingkat dunia, International Pharmaceutical Federation mengidentifikasi bahwa profesi adalah kemauan individu farmasis untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimun yang berlaku serta mematuhi standar profesi dan etik kefarmasian. Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “Seven Stars of Pharmacist” meliputi :

1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,

keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam

(36)

karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan.

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi

pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan

semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan

melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.

(37)

C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun dengan tujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional serta melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefamasian (Anonim, 2004a)

Adapun Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek menurut KepMenKes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain:

a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2) Sarana dan prasarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

Apotek harus memiliki :

1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi.

(38)

4. Ruang racikan.

5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)

3.1 Perencanaan.

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan :

a. Pola penyakit.

b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan.

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

3.3 Penyimpanan.

1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.

4) Administrasi.

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

4.1. Administrasi umum.

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.2. Administrasi pelayanan.

(39)

b. Pelayanan

1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.

- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi obat.

(40)

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3) Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

c. Evaluasi mutu pelayanan

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket

atau wawancara langsung.

2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; • Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; • Membantu proses audit.

(41)

• Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. • Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk

penerapan standar.

• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.

(Anonim, 2004a)

D. Sumpah Apoteker

Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Selain terikat secara horizontal dengan masyarakat, Profesi Apoteker terikat pula secara vertikal dengan Tuhan.

(42)

E. Kode Etik Apoteker

Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya (Anonim, 2003). Kode etik merupakan salah satu pedoman untuk membatasi, mengatur dan sebagai petunjuk bagi profesi secara baik dan benar serta tidak melakukan perbuatan tercela dan juiga sebagai aturan – aturan norma yang menjadi ikatan moral profesi..

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).

F. Etika Bisnis

(43)

Etika bisnis mengajari para pelaku bisnis untuk melakukan refleksi tentang dunia bisnis dari sudut etika karena keberhasilan suatu bisnis tidak semata – mata dilihat dari sudut keuntungan yang dapat diraih tetapi dari nilai – nilai luhur yang dilakukan para pelaku bisnis. Ciri – ciri bisnis beretika adalah:

a. memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen untuk mendapatkan laba yang wajar dan tidak meneksploitasi konsumen.

b. memberikan barang dan jasa kepada konsumen dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur.

c. peduli pada kepentingan pekerjaannya, pemegang saham dan pihak – pihak lain yang terlibat didalamnya.

d. berproduksi dengan cara yang paling aman.

e. memberi sumbangan terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, berperan aktif dalam membentuk kepuasan dan kesejahteraan masyarakat.

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah :

(44)

2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain.

4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.

(45)

G. Keterangan Empiris

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. 2. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan

(47)

3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan.

4. Apotek adalah delapan apotek yang berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

5. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner.

6. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan Juli 2007.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. Karakteristik responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

(48)

suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kabupaten Kulon Progo.

Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Juni 2007 berdasarkan data terakhir bulan Agustus 2006 adalah sebanyak 8 apotek. Sampel

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk, 1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).

(49)

E. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subjek penelitian) (Adi, 2004).

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa

Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

(50)

tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).

Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai.

c. Uji reliabilitas

(51)

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subjek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Peneliti harus bertemu langsung dengan responden untuk memastikan bahwa yang menerima kuisioner adalah apoteker. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan Juli 2007.

(52)

4. Pengumpulan kuesioner

Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak tujuh apotek.

5. Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling, pengertian medication record dan alasan tidak adanya ruang konseling. Wawancara

dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk diwawancarai, hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8.

F. Tata Cara Analisis Data

(53)

Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.

G. Kesulitan Penelitian

Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Peneliti dan responden sulit menentukan waktu bertatap muka secara langsung dalam pengisian kuisioner.

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek, pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam sehari.

1. Usia responden

Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

UMUR RESPONDEN

21-35 th 57% > 50 th

29%

36-50 th 14%

Gambar 1. Diagram Umur Respoden

Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 57% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang. Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih baik.

(55)

2. Posisi responden di apotek

Tabel I. Posisi Responden di Apotek

No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Apoteker Pengelola Apotek 6 86

2 Apoteker Pendamping 1 14

Total 7 100

Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan peneliti karena apoteker sangat paham mengenai semua sistem dan pengelolaan kinerja apotek dibandingkan dengan staf lainnya.

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun sebesar 14%, 1-5 tahun sebesar 43%, 6-10 tahun sebesar 14% dan yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 29%.

LAMA BEKERJA DI APOTEK

< 1 t h 14%

1-5 t h 43% > 10 t h

29%

6-10 t h 14%

(56)

Dari data tersebut, yang telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sebesar 86%, di diharapkan bahwa responden telah memahami sistem dan pengelolaan kinerja apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik sehingga dapat diketahui mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mereka.

4. Adanya pekerjaan lain dari responden

Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

A D A T ID A KN Y A P E KE R J A A N LA IN

TIDA K 71%

YA 29%

Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden

(57)

Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Demikian juga dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya.

5. Waktu kerja responden di apotek

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden bekerja di apotek selama 4 – 6 jam dalam sehari, sedangkan waktu kerja dalam seminggu ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Tabel II. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu

No Waktu kerja di apotek

dalam seminggu Jumlah

Persentase (%) n = 7

1 < 40 jam 7 100

2 40 jam 0 0

3 > 40 jam 0 0

Total 7 100

(58)

belum sesuai dengan Undang – Undang Ketenagakerjaan. Hasil yang sama didapatkan dari perhitungan waktu kerja dalam satu minggu disesuaikan dengan jam kerja dalam satu hari.

Bila apotek buka dari pukul 8.00 sampai 22.00 (Permenkes nomer 244 tahun 1990), maka untuk enam hari kerja dalam seminggu apotek buka 84 jam; sehingga setiap apotek harus mempunyai lebih dari dua apoteker.

B. Pengelolaan Sumber Daya

1. a. Sumber daya manusia

Sumber daya manusia di apotek meliputi apoteker, asisten apoteker, pemilik sarana apotek dan juru resep. Dalam struktur organisasi apotek, Apoteker Pengelola Apotek menempati posisi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja Asisten Apoteker dan karyawan lainnya (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai leader, dimana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi

(59)

mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner. Karena itulah sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

Tabel III menunjukkan persentase pengambilan keputusan di Apotek berdasarkan persetujuan APA. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

Tabel III. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA

No Berdasarkan persetujuan APA Jumlah Persentase (%) n = 7

1 Ya 5 71

2 Tidak 2 29

Total 7 100

b. Penyerahan obat dan informasi obat

(60)

profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien, yang berinteraksi secara langsung dengan pasien untuk memberikan bentuk pelayanan klinis, analitis sesuai peraturan perundangan, untuk mewujudkan salah satu perannya yaitu sebagai care

giver. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 juga menyebutkan

bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Namun dari hasil penelitian tidak ada satupun apoteker yang selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien. Selama peneliti mengamati, yang menyerahkan obat ke pasien adalah karyawan apotek selain Apoteker. Sehingga dalam hal ini apoteker tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien.

(61)

Tabel IV. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker

No Informasi Obat yang diberikan Jumlah Persentase (%) n = 7 1

Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan

4 43

2

Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus

dihindari+aktivitas yang harus dihindari

3 57

Total 7 100

Tabel IV menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 57%, selebihnya belum memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien.

Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat.

c. Konsultasi dengan dokter penulis resep

(62)

terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan pasal 13 Kode Etik Apoteker Indonesia dan juga perannya sebagai communicator antara pasien dengan profesi kesehatan lainnya.

KONSULTASI DOKTER

TIDAK 14%

YA 86%

(63)

d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia.

71.00%

57.00%

86.00%

0.00% 0%

50% 100%

Pengambilan keputusan di apotek selalu berdasarkan persetujuan APA

Informasi obat yang diberikan

Konsultasi dengan dokter penulis resep

Penyerahan obat

Gambar 5. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Bagian Sumber Daya Manusia

(64)

2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek

Dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pemudahan akses ini ditunjukkan dengan adanya papan nama. Peraturan lebih detail mengenai papan nama disebutkan dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 antara lain bahwa papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan nomor telepon, kalau ada.

Namun penelitian ini mengacu pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya seperti yang tersebut diatas.

(65)

b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Contoh produk noin kefarmasian yang dijual diapotek adalah makanan bayi, susu, alat kesehatan dan food supplement.

Hasil penelitian menunjukkan bahawa tidak ada satupun apotek (0%) yang menempatkan produk kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

c. Ruang tunggu bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 yang pada salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu.

Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini:

RUANG TUNGGU

YA 57% TIDAK

43%

(66)

d. Tempat untuk display informasi bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini contohnya berupa brosur, leaflet atau poster.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) menyediakan informasi mengenai kesehatan kepada pasien. Namun demikian tidak semua apotek menyediakan tempat khusus untuk display informasi.

Tabel V. Ketersediaan Tempat Khusus untuk Display Informasi

No Tempat khusus untuk display Jumlah Persentase (%) n = 7

1 Ada 6 86

2 Tidak Ada 1 14

Total 7 100

Tabel V menunjukkan persentase dari apotek yang menyediakan dan tidak menyediakan tempat khusus untuk display informasi.

e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien.

(67)

selama konseling berlangsung sehingga konseling dapat berjalan dengan baik.

Dari hasil wawancara, diperoleh alasan mengapa mereka tidak menyediakan ruang konseling. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa ruang konseling yang telah mereka sediakan sebelumnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan tidak ada pasien yang konseling dalam kurun waktu tertentu. Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya mereka mengubah ruangan tersebut menjadi ruang lain yang lebih berfungsi. Salah satu dari responden mengubah ruang konseling menjadi ruang kerja pribadi dan juga ruang konseling.

f. Ruang racikan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan.

Hasil penelitian ditunjukkan dalam tabel VI:

Tabel VI. Ketersediaan Ruang Racikan di Apotek

No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 7

1 Kering saja 2 28

2 Basah saja 1 14

3 Kering+Basah 3 42

4 Tidak punya 1 14

(68)

g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Persyaratan lain tercantum dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga dengan baik.

Hasil penelitian untuk tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien ditunjukkan dalam tabel VII berikut ini:

Tabel VII. Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien

No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 7

1 Staf saja 4 57

2 Pasien saja 1 14

3 Staf +pasien 2 28

(69)

h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana

100%

tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu

tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan

keranjang sampah untuk staf+pasien

Gambar 7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (57%), tersedianya tempat display informasi (86%), dan tersedianya keranjang sampah untuk staf dan

(70)

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat. a) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit

yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut. b) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di

sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-obatan.

c) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-obatan khususnya obat-obat tanpa resep.

(71)

Hasil penelitian mengenai latar belakang apotek dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang memperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat ditunjukkan dalam tabel VIII berikut ini:

Tabel VIII. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek

No Latar Belakang Perencanaan Jumlah Persentase (%) n = 7

1 Pola penyakit 0 0

2 Pola penyakit dan kemampuan

masyarakat 0 0

3 Kemampuan masyarakat dan

budaya masyarakat 2 28

4

Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat

5 72

Total 7 100

b. Pengadaan

Persediaan barang di apotek diadakan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

(72)

3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain. Bagan jalur distribusi dapat dilihat pada lampiran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) dalam pengadaan sediaan farmasi melalui jalur resmi dan tidak ada satupun apotek yang membeli di swalayan (tidak resmi).

c. Penyimpanan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Tabel IX. Pemindahkan Isi Obat ke Wadah Lain

No Pernah memindahkan isi ke

wadah lain Jumlah

Persentase (%) n = 7

1 Ya 4 57

2 Tidak 3 43

Total 7 100

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

Gambar

Gambar 23 Rata – Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan
Tabel I. Posisi Responden di Apotek
Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden
Tabel II. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Belajar dengan menggunakan flash card dapat meningkatkan perkembangan kognitif pada anak prasekolah, karena permainan flash card merupakan metode belajar sambil

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Mengetahui Pengaruh Reward terhadap Kinerja Karyawan Bank BNI Syariah Kantor Cabang Semarang 2) Mengetahui Pengaruh Efikasi

Begitu juga dengan amanat yang terkandung dalam legenda-legenda yang terdapat dalam buku “Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Nusantara 33 Provinsi” karya Dea Rosa

Hal ini artinya, ada pengaruh pemberian aromaterapi inhalasi terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Wangaya

- apabila Kartu Ternak yang diterima kurang dari jumlah populasi ternak yang diregistrasi, maka Petugas Kecamatan dapat meminta tambahan Kartu Ternak di Dinas Kabupaten

Figure 8 Segment centres classified as collapsed buildings for rule based classification (green star), MaxEnt approach (red circle) and reference data (blue box).. For both

[r]