SKRIPSI
UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS
DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)
Oleh :
ISMA OLIVIA LATIFA NIM 061111051
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
LEMBAR PENGESAHAN
UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS
DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
Pada
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Oleh
ISMA OLIVIA LATIFA
NIM 061111051
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :
Uji Aktivitas Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Makroskopis dan Mikroskopis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus)
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surabaya, Agustus 2015
Isma Olivia Latifa
Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal : 27 Juli 2015
KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN
Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes
Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP
Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si
Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.
v Telah diuji pada
Tanggal : 11 Agustus 2015
KOMISI PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes
Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP
Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si
Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.
Pembimbing Serta : Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh.
Surabaya, 11 Agustus 2015 Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Dekan,
ACTIVITIY TEST OF SNAIL MUCUS (Achatina fulica) ON THE HEALING LEVEL OF INCISION WOUND GROSSLY AND
MICROSCOPICALLY IN BATIK PYTHON (Python reticulatus)
Isma Olivia Latifa
ABSTRACT
The aim of this research was to determine the provision of mucus snail (Achatina fulica) can accelerate wound healing incision on the macroscopic and
microscopic batik python (Python reticulatus). This reasearh used 16 batik
pythons are 300 gram of body weight and 2 meters of body long. The samples in this research from Bogor trader and Banten trader. The number of treatment were two groups P1 and P2, each of group was divided into eight snakes were adopted for seven days. Topical treatment was done after 24 hours. Wound showed positive symptoms such as acute inflammation and pus yellowish white. Treatment was done once a day until there is healing wounds and peeling scab. Treatment is done by applying Betadine (iodine-containing povidine 10%). On the day 5 of this research was observed macroscopically and on the day 10 of this research samples dissected and taken to the skin organ preparations. The
macroscopic data obtained were precessed with Chi-Square tests and the
microskopic data obtained were precessed with Mann-Withney test. Statistic
analysis using SPSS. The result showed that mucus snail can reduced damaged of histopatologic snake skin in epitelisation.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridhonya sehingga penulis
dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi mengenai Uji Aktivitas
Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Histopatologis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus).
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini,
antara lain:
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof.
Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D. atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh. selaku dosen pembimbing utama dan
Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh. selaku dosen pembimbing serta atas segala
arahan, informasi, bimbingan, dan kesabarannya sampai dengan selesainya
penelitian ini.
Djoko Legowo,drh, M. Kes selaku ketua penilai, Boedi Setiawan, drh, MP
selaku sekretaris penilai dan Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si selaku
anggota penilai atas segala saran dan arahan yang telah diberikan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
memberikan bimbingan selama menempuh kegiatan perkuliahan dan membantu
memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis selama menempuh S1 di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Seluruh Bapak Ibu Dosen atau Staf Pengajar yang telah banyak memberi
ilmu dan pengalaman selama menempuh kegiatan perkuliahan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Seluruh Bapak Ibu Staf Kependidikan, Bagian Kemahasiswaan, Bagian
Akademik, Bagian Keuangan, Bagian Tata Usaha, dan Bagian Sistem Informasi
yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Kepada Kedua orangtua: Bapak Imam Supriyono, Ibu Siti Asiyah dan adik
Syaifullah Hikmahtiyar atas limpahan doa dan pengorbanan yang tak
henti-hentinya, kasih sayang, ketulusan cinta, kepercayaan, semangat serta kebahagiaan
selama hidup penulis.
Staf Laboratorium Kedokteran Dasar Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga dan Laboratorium Patology Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga.
Teman-teman saya, Megan, Yayan, Hendro, Bagas, Yonatan, Lesty, Nabil,
Arif, Dimas, Kokoh, Ridho, mas Tedy, mas Fajar yang telah membantu penelitian
secara bergantian. Titah, Reynata, Wiwit, Nimas, Karina, Dinda, Lina yang selalu
ix
membantu menyiapkan hewan coba dan yang selalu menyemangati saya agar
dapat segera menyelesaikan penelitian dan skripsi penulis.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan pada
skripsi ini, untuk itu mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
semua pihak yang membutuhkan.
Surabaya, 8 Juli 2015
DAFTAR ISI 2.1 Tinjauan Tentang Ular Sanca Batik ... 7
2.1.1 Klasifikasi Ular Sanca Batik ... 7
2.1.2 Morfologi Ular Sanca Batik ... 8
2.1.3 Anatomi Ular Sanca Batik ... 10
2.1.4 Daerah Penyebaran dan Habitat Ular Sanca Batik ... 11
2.1.5 Perilaku, Makanan dan Perburuan ... 12
2.1.6 Python Sebagai Satwa Eksotik dan Peliharaan ... 13
2.2 Tinjauan Tentang Bekicot ... 14
xi
2.2.2Tinjauan Tentang Morfologi Bekicot ... 15
2.2.3 Penyebaran Bekicot ... 16
2.2.4 Tentang Kasiat Bekicot ... 16
2.3 Tinjauan Tentang Luka Insisi ... 17
2.3.1Terapi dan Pencegahan ... 18
2.4 Proses Penyembuhan Luka ... 18
BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
3.2 Bahan dan Materi Penelitian ... 21
3.2.1Hewan percobaan ... 21
3.2.2 Bahan Penelitian ... 21
3.2.3Alat Penelitian ... 21
3.2.4Besar sampel ... 22
3.3 Metode Penelitian ... 22
3.3.1Jenis penelitian ... 22
3.3.2Variabel Penelitian ... 22
3.3.3Definisi Operasional Variabel ... 23
3.4 Perlakuan ... 24
3.5 Penilaian Penyembuhan Luka ... 25
3.6 Rancangan Penelitian ... 26
3.7 Analisis Data ... 27
3.8 Diagram Alir Penelitian ... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN 5.1 Pengamatan Makroskopis………40
5.1.1 Kemerahan ………...………...40
5.1.2 Bengkak ….………..………...41
5.1.3 Exudate ………...………...41
5.2.1 Kolagen………...………....42
5.2.2 Epitelisasi………...………….43
5.2.3 Angiogenesis………...………....43
5.2.4 Sel Fibroblas……...……….44
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………...46
RINGKASAN………47
DAFTAR PUSTAKA ... 50
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 3.1 Skor penilaian mikroskopis ... 26
Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan ... 30
Tabel 4.2 Nilai persentase bengkak ... 31
Tabel 4.3 Nilai persentase exudate ... 32
Tabel 4.4 Nilai persentase kolagen ... 34
Tabel 4.5 Nilai persentase epitelisasi... 35
Tabel 4.6 Nilai persentase angiogenesis ... 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) ... 8
Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular ... 11
Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik ... 12
Gambar 2.4 Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik ... 13
Gambar 2.5 Bekicot (Achatina fulica) ... 14
Gambar 2.6 Morfologi Bekicot ... 15
Gambar 2.7 Luka insisi pada ular sanca batik... 18
Gambar 2.8 Fase Penyembuhan Luka ... 20
Gambar 4.1 Gambaran makroskopis kulit ular normal……….29
Gambar 4.2 Gambaran kemerahan ….……….31
Gambar 4.3 Gambaran bengkak. ……….32
Gambar 4.4 Gambaran exudate ………..33
Gambar 4.5 Gambaran kolagen ………...34
Gambar 4.6 Gambaran epitelisasi ………….………...35
Gambar 4.7 Gambaran angiogenesis ………...36
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 Metode pengambilan lendir bekicot………...53
Lampiran 2 Prosedur pembuatan preparat histologi kulit……… …………54
Lampiran 3 Skema pembuatan preparat histologi.……….………57
Lampiran 4 Skema pewarnaan Haematoxylin Eosin………….………58
Lampiran 5 Hasil pemeriksaan histopatologi……….………59
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
ECM Extracellular Matrix
EGF Epitelisation Growth Factor
FGF Fibroblast Growth Factor
PDGF Platelet-Derived Growth Factor
HE Haematoksilin Eosin
P1 Perlakuan Satu
P2 Perlakuan Dua
RAL Rancangan Acak Lengkap
SDP Sel Darah Putih
SPSS Statistical Package for the Social Science
TGF-β β-Transforming Growth Factor
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reptil adalah hewan yang saat ini mulai banyak digemari oleh masyarakat
Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini popularitasnya meningkat untuk dijadikan
hewan piaraan bagi manusia. Salah satu reptil yang digemari karena
keeksotikannya adalah ular.
Ular adalah hewan liar yang saat ini masih banyak dijumpai di sekitar kita.
Salah satunya adalah ular sanca batik yang mempunyai nama latin Python
reticulatus. Berbagai upaya untuk merawat ular sanca batik dilakukan mulai dari menyediakan kandang yang ideal dan menjaga kebersihannya, pakan yang sehat,
mengembangbiakkan untuk memperoleh keturunan dengan mengawinkan jenis
ular sanca batik, serta melakukan perawatan kondisi kesehatan, terutama bila
terjadi luka pada tubuh.
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan
sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat sengaja dibuat untuk tujuan tertentu,
seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat
kecelakaan (Hunt, 2003). Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak
tersebut adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam empat fase yaitu
hemostatis, inflamasi, proliferasi, atau granulasi, dan remodeling (Guo and
DiPietro, 2010).
Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh, tetapi
luka (Taqwim, 2009). Beberapa obat yang membantu mempercepat proses
penyembuhan saat ini relatif mahal. Selain itu seringkali terjadi kekebalan atau
yang biasa disebut resistensi pada tubuh, terutama pada penggunaan antibotika
yang tidak tepat sesuai aturan. Resistensi tersebut dapat menimbulkan dampak
pada penigkatan aktivitas bakteri pada luka.
Ada beberapa cara yang dilakukan manusia untuk menyembuhkan luka
salah satunya adalah dengan menggunakan obat antiseptic seperti betadine.
Betadine mengandung 10 % povidone iodine. Povidone Iodine harus digunakan
secara hati-hati pada penderita yang alergi terhadap iodine karena dapat
menimbulkan alergi sehingga dapat menghambat penyembuhan luka. Alergi
povidone-iodine dapat menyebabkan dermatitis. Selain itu, alergi povidone juga
berpotensi mengakibatkan syok anafilaksis. Syok Anafilaksis adalah keadaan
alergi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan penurunan tekanan darah
secara tiba-tiba dan penyempitan saluran pernafasan, menyebabkan penderita
jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri (Mawaddatulkarimah, 2014). Povidone
iodine yang memiliki efek antimikroba masih juga menjadi perdebatan karena
menimbulkan efek toksik pada penelitian in vitro tingkat sel, sehingga diperlukan
alternatif pengobatan lain (Muhammad, 2005). Pengobatan alternatife selain
menggunakan obat sintetis adalah menggunakan tanaman atau herbal yang
berkhasiat sebagai obat dan beberapa bahan alam.
Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam yang
sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan fauna
obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan
obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional secara turun temurun, bahan
alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah
lendir bekicot (Achatina fulica) (Grahacendikia, 2009 dalam Purnasari, 2012)
yang diberikan secara topical pada luka external. Glycosaminoglycan (GAG)
adalah kandungan penting yang terdapat dalam lendir bekicot yang dapat
mengikat senyawa copper peptide di dalamnya. Secara teori, senyawa ini
bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan kelembaban kulit. Glycosaminoglycan
merupakan sejenis karbohidrat yang memegang peran penting dalam menjaga
jaringan penghubung antar sel sehingga kulit selalu tampak lebih kencang.
Senyawa ini juga termasuk komponen penyusun hyalorunat, yakni senyawa yang
menjaga kelembaban kulit. Sementara copper peptide merupakan senyawa yang
merangsang pembentukan kolagen di kulit. Berbagai penelitian
membuktikan, copper peptide memegang peran penting dalam proses
penyembuhan luka yakni merangsang pembentukan sel-sel baru untuk
menggantikan sel yang rusak.
Penyembuhan menggunakan lendir bekicot bisa menjadi salah satu
alternatif karena mudah dalam penggunaan, daya sebarnya pada kulit baik, tidak
menyumbat pori permukaan kulit, juga memiliki efek antibakteri. Lendir bekicot
memberikan reaksi positif terhadap pengujian kandungan asam amino dan enzim.
Protein dapat berfungsi dan berperan dalam pertumbuhan, pertahanan, fungsi
tubuh sebagai fungsi pengganti jaringan dan sel yang rusak. Berdasarkan dari
mempunyai nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam penyembuhan dan
penghambatan proses inflamasi (Ernawati, 1994 dalam Purnasari, 2012).
Penelitian mengenai lendir bekicot belum banyak dilakkan, sehingga
penelitian ini ingin mengetahui mengenai uji aktivitas lendir bekicot (Achatina
fulica) terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan
mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu
apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) berperan di dalam proses
penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca
batik (Phyton reticulatus)?
1.3 Landasan Teori
Segala aktivitas keseharian dapat menimbulkan risiko timbulnya luka pada
tubuh. Luka adalah putusnya kontinuitas kulit dan jaringan di bawah kulit oleh
karena trauma (Sutawijaya,2009). Berbagai rangsangan yang meninduksi
kematian beberapa sel dapat memicu pengaktifan alur replikasi pada sel lainnya;
sel radang yang direkrut tidak hanya membersihkan nekrotik, tetapi juga
menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks extraselular yang baru.
Oleh karena itu pada proses peradangan pemulihan dilakukan sangat dini dan
melibatkan dua proses yang sangat berbeda :
Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis
Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu
jaringan parut.
Beberapa kejadian yang menimbulkan luka salah satunya adalah akibat
benturan seperti yang sering di alami ular sanca batik yang dipelihara dengan cara
dikandangkan. Khusunya pada ular sanca batik yang akan diikut sertakan dalam
kontes sangat berpengaruh terhadap penilaian kecantikan kulit ular. Apabila
terdapat luka atau bekas luka akan mengurangi nilai kecantikannnya. Oleh karena
itu orang ingin obat yang murah, mudah didapat dan tanpa efek samping untuk
kesembuhan luka pada ular sanca batik. Salah satu solusi untuk hal tersebut adalah
dengan lendir bekicot (Achatina fulica) yang mudah didapatkan di sekitar kita
(Dewi, 2010).
Bekicot termasuk golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam
kelas Gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis
hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang lembab (Intergrated
Taxonomic Information System, 2004).
Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu
glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula
sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam urat, dan oligoelemen
(tembaga, seng, kalsium, dan besi). Glikosaminoglikan yang terisolasi dari
bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan heparin sulfat.
Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel,
berperan pada matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi, serta
utamanya adalah glikosaminoglikan disekresi oleh beberapa granula yang
terdapat dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga
mengikat kation seperti tembaga yang dapat mempercepat proses angiogenesis
yang secara tidak langsung mempengaruhi proses penyembuhan luka (Nuringtyas,
2008 dalam Putra, 2014).
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian lendir
bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses penyeembuhan luka
insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton
reticulatus).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi tentang peranan lendir bekicot dalam tingkat
kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular
sanca batik (Python reticulatus).
2. Memberikan informasi pada masyarakat bahwa ada pengobatan
tradisional dengan lendir bekicot dengan mudah, dan murah serta tidak
berisiko tinggi.
1.6 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teori, hipotesis ini adalah
pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses
penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Ular Sanca Batik
2.1.1 Klasifikasi Ular Sanca Batik
Ular sanca batik memilki klasifikasi sebagai berikut (Iskandar dan Colijn 2002):
Domain : Eukarya
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Eumetazoa
Superphylum : Deuterostomia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Subclass : Lepidosauria
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Infraordo : Alethinophidia
Family : Pythonidae
Subfamily : Pythoninae
Genus : Python
Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) (dokumentasi pribadi, 2012)
2.1.2 Morfologi Ular Sanca Batik
Reptil pada umumnya mempunyai empat kaki. Tetapi berbeda dengan
ular. Ular tidak memiliki kaki, mereka juga tidak mempunyai pectoral girdle
(tulang bahu) kecuali boids yang mempunyai panggul vestigial dan taji eksternal.
Seperti semua jenis reptil, ular ditutupi oleh sisik halus dan mengkilap yang
berfungsi sebagai perlindungan dari cedera. Ular sanca batik (Python reticulatus)
mempunyai kulit kasar dan kusam seperti ular Hognose. Bagian terluar kulit ular
adalah epidermis yang tebal. Kemudian lapisan di bawahnya adalah dermis.
Dermis terdiri dari kromatofora, beberapa sel pigmen yang memberikan warna
pada kulit ular. Sisik terbentuk sebagian besar dari keratin yang berasal dari
epidermis (Mader, 2006).
Menurut Mader (2006) sebagai ular yang tumbuh, semakin lama
pertumbuhannya mulai melambat ketika usia mereka bertambah. Sepanjang hidup
tumbuh di bawah sisik lama yang berada di luar tubuh ular. Akhirnya sisik luar
lepas dan proses pelepasan sisik ular biasanya terbalik seperti kaus kaki yang
ditarik dari atas ke bawah. Serangkaian proses pelepasan epidermis ini disebut
shedding.
Ular mempunyai sisik yang melekat satu sama lain dengan kulit tipis yang
pada umumnya tidak terlihat dari luar. Bagian sisik berbentuk lipatan ke dalam
antar sisik saling berdekatan. Sisik tidak dapat meregang tapi ketika ular makan
makanan yang besar, lipatan kulit ditarik keluar langsung untuk memperluas
permukaan (Mader, 2006).
Ular memiliki dua mata, tetapi tidak memiliki kelopak mata. Bagian mata
pada ular berwarna transparan yang sebenarnya adalah bagian dari kulit yang
berfungsi untuk melindungi setiap mata. Ketika ular mengalami shedding, bagian
yang transparan akan ikut mengelupas bersama kulitnya (Mader, 2006).
Ular tidak memiliki telinga external, tetapi mereka memiliki telinga
internal yang mampu mendeteksi suara frekuensi rendah yaitu antara 100-700
hertz (Pendengaran orang normal mampu mendeteksi suara dengan frekuensi
antara 20 dan 20.000 hertz). Telinga internal seekor ular juga memungkinkan
untuk mendeteksi gerakan, posisi statis, dan gelombang suara melalui tanah
(Mader, 2006).
Bagian kepala ular terdiri dari mata, hidung, mulut (dan struktur dalam)
otak, dan struktur sensorik khusus yang disebut vomeronasal atau organ Jacobson.
Organ Jacobson adalah lubang yang berpasangan, terletak di depan moncong ular.
reptil. Semua ular memiliki lidah bercabang. Ketika mereka menjulurkan lidah
mereka, ujung lidah akan mengambil partikel bau di udara dan menempatkan
partikel tersebut langsung pada organ hidung (Mader, 2006).
Ular mempunyai baris permukaan gigi ular bagian luar dan bagian dalam
tulang rahang atas dan bawah (maxilla dan mandibula). Ular nonvenomous
memiliki empat baris gigi atas ; dua baris yang melekat pada rahang atas (luar)
tulang, dan dua baris melekat pada palatine dan pterygoideus (inner) tulang.
Hanya dua baris berada di rahang bawah ; satu melekat pada setiap rahang. Ular
paling berbisa menggantikan taring untuk gigi rahang atas. Taring tempat bisa
berada di depan mulut misalnya ular Hognose (Mader, 2006).
Ular menggunakan gigi mereka untuk menangkap, tidak untuk mengunyah
makanan mereka. Gigi mereka berbentuk bengkok, sehingga setelah menggigit
mangsa akan langsung diarahkan menuju perut ular (Mader, 2006).
2.1.3 Anatomi Ular Sanca Batik
Ular pada dasarnya mempunyai tubuh berbentuk tabung panjang yang
terbagi menjadi beberapa bagian. Seperempat bagian tubuhnya terdiri dari kepala,
kerongkongan, trakea dan jantung. Bagian tubuh sekitar 26 sampai 50 peren
terdiri dari paru – paru, hati, dan lambung. Bagian tubuh sekitar 51 sampai 75
persen dari tubuh ular merupakan kandung empedu, limpa dan pancreas (atau
splenopancreas, tergantung pada spesies). Setelah serangkaian organ-organ
tersebut akan ditemukan gonad (testis atau ovarium). Diantara struktur usus kecil
yang berdampingan dengan usus halus adalah paru-paru kanan (dalam beberapa
persen merupakan usus kecil, usus besar, dan sekum (jika ada) ginjal (tepat di
depan sebelah kiri) dan kloaka yang di temukan bersimpangan (Mader, 2006).
Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular (Mader, 2006)
2.1.4 Daerah Penyebaran dan Habitat Ular Sanca Batik
Ular sanca batik memiliki habitat hutan yang lebat rumputnya dan
termasuk hutan tropis, banyak ditemukan di dekat sungai dan area yang dekat
dengan sungai kecil maupun danau (Mehrtens, 1987 dalam Matswapati, 2009).
Ular sanca batik tersebar di wilayah Asia Tenggara dan pulau –pulau di
sekitar laut pasifik antara lain ditemukan di Flipina, Borneo, Jawa, Sumatra,
Timor Timur dan Seram. Ular tersebut terlihat dibeberapa pulau kecil dan
penduduk sekitarnya sering melihat di sungai atau di dermaga urban area
Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik (Barker et al., 1994; )
2.1.5 Perilaku, Makanan dan Perburuan
Lilitan adalah teknik khusus gigitan dan pegangan yang digunakan oleh
banyak ular untuk menahan atau membunuh mangsanya. Ular menyerang
mangsanya dengan melilitkan tubuhnya di sekitar mangsanya dengan
terus-menerus yang disesuaikan untuk mengurangi lilitan yang tumpang tindih. Mangsa
yang berusaha meloloskan diri akan dililit semakin kuat oleh ular. Lilitan yang
semakin kuat akan terus dilakukan ular untuk menggagalkan peredaran darah
mangsa sehingga menyebabkan kematian karena meningkatkan tekanan dada dan
menghentikan aliran darah ke jantung. Ketika mangsanya sudah mati atau tidak
sadar, ular akan melonggarkan lilitannya dan menempatkan mulutnya pada kepala
mangsa dan mulai menelannya dari kepala hingga ekor mangsa. (Vitt and
Gambar 2.4 Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik (dokumentasi
pribadi, 2014)
2.1.6 Ular Sebagai Satwa Eksotik dan Peliharaan
Akhir-akhir ini kegemaran terhadap satwa-satwa peliharaan kesayangan
seperti kucing, anjing, kelinci dan yang lainnya mulai bergeser ke satwa-satwa
melata (ular, kadal, biawak), karena mudah memeliharanya dan bersih. Perhatian
dan penelitian terhadap berbagai satwa yang dimiliki Indonesia perlu dilakukan
pemanfaatannya untuk domestik dan dunia internasional (Sihombing, 2002).
Dewasa ini di Indonesia mulai banyak yang memelihara reptil, selain biaya
pakan yang murah, hal ini juga disebabkan memelihara reptil lebih mudah
dipelihara. Dalam memelihara reptil ular adalah salah satu reptil yang digemari.
Jenis ular yang digemari terutama adalah ular sanca batik (Python reticulatus).
Ular ini mempunyai daya tarik tersendiri karena mempunyai pola dan warna tubuh
yang mempunyai daya tarik khas yang belum banyak dikenal umum. Selain itu,
dan panjang untuk menyergap serta menelan mangsa. Cukup menarik bagi
sebagian orang (Vitt dan Caldwell, 2009).
2.2 Tinjauan Tentang Bekicot
2.2.1 Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)
Menurut Integrated Taxonomic Information System (2004) taksonomi
bekicot adalah sebagai berikut :
Fillum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Stylommatophora
Familli : Achatinidae
Sub familli : Achatininae
Genus : Achatina
Subgenus : Lissachatina
Spesies : Achatina fulica
2.2.2 Tinjauan Tentang Morfologi Bekicot
Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk
kerucut dan terdiri dari tujuh sampai Sembilan ruas lingkaran ketika umurnya
dewasa. Cangkang bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan dengan
corak vertical berwarna kuning tetapi warna spesies tersebut tergantung pada
keadaan lingkungan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa
panjangnya dapat melampaui 20 cm tetapi rerata panjangnya sekitar 5 – 10 cm.
sedangkan berat rerata bekicot kurang lebih adalah 32 gram (Cooling, 2005 dalam
Dewi, 2010). Skema bekicot dapat dilihat di Gambar 2.6.
Bekicot lebih memilih untuk memakan tumbuhan yang busuk, hewan, dan
alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan serius pada tanaman pangan dan
tanaman hias (Neehall, 2004 dalam Dewi, 2010).
2.2.3 Penyebaran Bekicot
Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raund and Baker, 2002 dalam
Dewi, 2010). Negara dimana terdapat bekicot (Achatina fulica) memiliki iklin
tropis yang hangat, suhu yang sepanjang tahun, dan tingkat kelembaban yang
tinggi (Vennette and Larson, 2004 dalam Dewi, 2010). Spesies ini dapat hidup di
daerah pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar,
dan daerah perkotaan. Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun
diperkebunan atau tempat budidaya (Raut and Barker, 2002 dalam Dewi, 2010).
Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperature di atas titik beku sepanjang
tahun dan kelembaban yang sepanjang tahun. Pada musim kemarau bekicot
menjadi tidak aktif atau dorman untuk mrnghindari sinar matahari (Venette and
Larson,2004 dalam Dewi, 2010). Bekicot (Achatina fulica) tetap aktif pada suhhu
9°C hingga 29°C, bertahan pada suhu 2°C dengan cara hibernasi, dan pada suhu
30°C dengan keadaan dorman (Smith and Flower, 2003 dalam Zaif 2009).
2.2.4 Tentang Kasiat Bekicot
Bekicot mempunyai banyak manfaat, mulai dari dagingnya sampai dengan
lendir bekicot dapat dikonsumsi karena dipercaya terdapat kandungan protein
yang tinggi. Daging bekicot mengandung asam amino esensial yang lengkap di
samping mempunyai kandungan zat besi yang tinggi (Udofia, 2009 dalam Dewi
2010).
Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu
glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula
(tembaga, seng kalsium, dan besi). Glikosaminiglika yang terisoasi dari bekicot
(Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dari heparin sulfat.
Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel,
berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi,
secara efektif mengontrol fenotif seluler. Glikokonjugat utama pada lendir bekicot
yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula yang terdapat di dalam tubuh
bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga meningkatkan kation
divales seperti tembaga yang dapat mempercepat angiogenesis yang secara tidak
langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka (Nuringtyas, 2008; dalam
Putra, 2014).
2.3. Tinjauan Tentang Luka Insisi
Luka atau vulnus adalah putusnya kesinambungan kulit dan jaringan di
berbentukmemanjang, tepi luka berbentuk lurus, akan tetapi jaringan kulit di
sekitar luka tidak mengalami kerusakan (Sutawijaya, 2009).
Luka insisi atau luka sayat pada ular yang dipelihara atau di kandangkan
terjadi akibat gesekan pada kandang yang kotor sehingga menimbulkan luka.
Menurut Indah (2015) luka pada ular yang dikandangkan biasanya terjadi pada
untuk keluar. Luka juga dapat terjadi akibat gigitan dari binatang lain (mangsa)
atau ular lain jika dikandangkan secara bersamaan. Seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.8
Gambar 2.7 Luka Insisi pada Ular Sanca Batik (Chris Cooke, Animal Attendant,
Reptile Park, NZG, 2011)
2.3.1 Terapi dan Pencegahan
Menurut Indah (2015) pada kasus di atas yaitu luka insisi pada ular sanca
batik yang disebabkan karena kandang yang kotor dapat selalu menjaga
kebersihan kandang ular agar ular tidak menggesekkan tubuhnya ke kandang
karena kotor sehingga terjadi luka.
Pada kasus ular yang di kandangkan secara berkelompok, sebaiknya ular
dipisah agar tidak terjadi kanibalisme saat ular kelaparan dan pemberian pakan
secara teratur misalnya dua minggu sekali (Indah, 2015)
Jika sudah terjadi luka akibat beberapa perlakuan di atas, dapat diberikan
lendir bekicot secara topical. Selain mudah di dapat penggunaannya juga mudah.
2.4 Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan
serangkaian reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator (Med J Indone,
2009)
Fase penyembuhan luka (Guo and DiPietro, 2010):
Tahap pertama dari hemostasis dimulai setelah terjadinya luka, dengan
penyempitan pembuluh darah dan pembentukan bekuan fibrin. Bekuan dan
sekitarnya melepaskan jaringan luka sitokin pro-inflamasi dan faktor
pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF) -β, faktor
pertumbuhan platelet derived (PDGF), faktor pertumbuhan fibroblast
(FGF), dan faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Setelah pendarahan
dikendalikan, sel-sel inflamasi bermigrasi ke luka (kemotaksis) dan
mempromosikan fase inflamasi, yang ditandai oleh infiltrasi berurutan
neutrofil, makrofag, dan limfosit.
Tahap kedua adalah fase proliferatif umumnya mengikuti dan dilanjutkan
dengan tahap ketiga yaitu fase inflamasi, dan ditandai dengan proliferasi
epitel dan migrasi matriks sementara dalam luka (re-epitelisasi). Dalam
dermis reparatif, fibroblas dan sel endotel adalah jenis sel yang paling
menonjol saat ini dan mendukung pertumbuhan kapiler, pembentukan
kolagen, dan pembentukan jaringan granulasi di lokasi cedera. Dalam
luka, fibroblas memproduksi kolagen serta glikosaminoglikan dan
proteoglikan, yang merupakan komponen utama dari matriks ekstraselular
(ECM). Setelah proliferasi kuat dan ECM sintesis, penyembuhan luka
memasuki fase akhir remodeling, yang dapat bertahan selama
Tahap keempat adalah fase remodeling, regresi dari banyak kapiler baru
terbentuk terjadi, sehingga kepadatan pembuluh darah dari luka kembali
normal. Salah satu fitur penting dari fase remodeling adalah renovasi ECM
untuk arsitektur yang mendekati bahwa dari jaringan normal. Luka juga
mengalami kontraksi fisik selama proses penyembuhan luka seluruh, yang
diyakini dimediasi oleh fibroblas kontraktil (myofibroblasts) yang muncul
dalam luka.
21
BAB III MATERI DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga sebagai tempat pemeliharaan ular dan Laboratorium
Patology Veteriner untuk membuat sediaan preparat mikroskopis luka insisi.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.
3.2 Bahan dan Materi Penelitian
3.2.1 Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah ular sanca
batik (Python reticulatus) berumur enam bulan, berat rerata 300 gram, panjang
rerata dua meter. Hewan coba diperoleh dari pengepul dari Bogor dan Banten.
3.2.2 Bahan Penelitian
Beberapa bahan penelitian yang digunakan adalah Betadine sebagai media
pembanding, dan lendir bekicot sebagai media pengobatan yang diperoleh dengan
cara memecah cangkang bekicot pada bagian ujungnya yang lancip kemudian
ditampung dengan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kapas Alkohol digunakan
untuk membersihkan daerah yang akan diinsisi sebelum diberikan Lidokain untuk
anastesi daerah yang akan diinsisi.
3.2.3 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan coba
berupa kandang kelompok perlakuan yang terbuat dari plastik berbentuk lemari
tabung reaksi, scalpel, penggaris, spuit, plester luka, pipet, object glass, cover
glass dan mikroskop.
3.2.4 Besar sampel
Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus
Federer (1963) dalam Kusriningrum (2008) :
- t = kelompok perlakuan
- n = jumlah sampel
Dengan menggunakan rumus di atas, penelitian ini menggunakan 2
perlakuan sehingga didapatkan jumlah ulangan minimal 8 ekor ular sanca batik
dan secara keseluruhan membutuhkan minimal 16 ekor ular sanca batik.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental
laboratotik. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati uji aktivitas lendir bekicot
(Achatina fulica) terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan
mikroskopis pada ular sanca batik (Python reticulatus).
3.3.2 Variabel Penelitian
- Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah Betadine (mengandung povidone
iodine 10%) dan lendir bekicot.
- Variabel tergantung
Variable tergantung pada penelitian ini adalah skor penilaian kesembuhan
- Variabel kendali
Variable terkendali pada penelitian ini adalah umur, berat badan ular sanca
batik (Python reticulatus), tatalaksana pemeliharaan, dan pembuatan
hewan coba.
3.3.3 Definisi Operasional Variabel
- Lendir bekicot diperoleh dari memecah bagian ujung cangkang bekicot
yang akan keluar lendir dan ditampung ke dalam tabung reaksi.
- Kesembuhan luka diindikasikan dengan penutupan luka oleh jaringan
epitel sama tingginya dengan kulit sekitar luka dan terkelupasnya jaringan
nekrotik (Pengamatan makroskopis).
- Inflamasi ditandai dengan adanya bengkak dan nanah yang dapat dilihat
padapengamatan makroskopis
- Granulasi ditandai dengan adanya pembentukan pembuluh darah baru dan
pembentukan serabut fibrin pada daerah sekitar luka sehingga luka akan
tampak berwarna merah pada pengamatan makroskopis
- Maturasi merupakan serangkaian proses penyembuhan yang ditandai
dengan menutupnya luka, serta sudah tidak adanya infeksi dan granulasi
- Kolagen merupakan protein terbanyak pada jaringan tubuh, termasuk kulit.
Kolagen dapat dilihat melalui pewarnaan HE sebagai zona rangkaian
serabut berwarna merah muda.
- Epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel baru pada jaringan yang
- Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang ampak
berupa kapiler dengan sedikit sisa eritrosit. Dapat dilihat melalui
pewarnaan HE sebagai japiler dengan sisa eritrosit yang berwarna merah.
- Sel fibroblas adalah proses pembentukan jaringan ikat. Dapat dilihat
melalui pewarnaan HE sebagai zona sebabut berwana merah.
3.4 Perlakuan
Penelitian ini digunakan hewan coba ular sanca batik betina (Python
reticulatus) sebanyak 16 ekor yang diadaptasikan terlebih dahulu selama seminggu. Selama adaptasi diberikan makanan dan minuman secukupnya, serta
melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan.
Setelah masa adaptasi, ular sanca batik dikelompokkan secara acak secara
terbagi menjadi dua kelompok perlakuan dengan setiap kelompok tiap delapan
replikasi. Hari ke sepuluh akan dilakukan pengamatan makroskopis berdasarkan
skoring makroskopis dan akan dilakukan pembuatan preparat yang kemudian
dilakukan pengamatan mikroskopis berdasarkan skoring mikroskopis.
Sebelum dilakukan insisi untuk pembuatan luka, kapas Alkohol dioleskan
pada bagian kulit yang akan di anastesi, kemudian di berikan Lidokain (100
mg/kg BB) secara intra muscular dan di tunggu selama tiga menit agar ular
tersebut teranastesi. Insisi dilakukan pada sepertiga panjang tubuh dari kepala ular
sepanjang 2 cm dan kedalaman 0,3 cm. Kapas Alkohol diberikan terlebih dahulu
untuk membersihkan daerah muskulus yang akan diinsisi kemudian Scalpel
ditegakkan dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri bertindak sebagai
pada tangan kanan dan dengan membentuk sudut 30 – 40° dengan kulit. Insisi
dilakukan dengan menarik scalpel ke arah caudal (Asali, 1993).
Pengobatan dilakukan secara topical setelah 24 jam. Luka menunjukkan
gejala positif berupa keradangan akut dan nanah berwarna putih kekuningan.
Pengobatan dilakukan sehari sekali hingga terjadi kesembuhan luka dan
pengelupasan keropeng (Umar dkk., 2012). Pengobatan dilakukan dengan
mengoleskan betadine (mengandung povidone iodine 10%) pada P1 dan lendir
bekicot pada P2.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara kulit ular yang sudah diinsisi
di oleskan kapas alkohol kemudian diberikan Lidokain pada empat sisi yang
dilebihkan 1 cm dari sisi kanan, kiri, atas, dan sisi bawah pada bagian luka insisi
dan ditunggu selama sepuluh menit agar ular teranastesi. Kemudian jaringan kulit
di ambil dengan scalpel pada kedalaman 0,3 cm dan dilebihkan 1 cm dari sisi
kanan, kiri, atas, dan sisi bawah pada bagian luka insisi ular untuk kemudian
dibuat preparat histopatogy.
3.5 Penilaian Penyembuhan Luka
Penilaian penyembuhan luka insisi secara makroskopis pada kedua
perlakuan. Penilaian ini berdasarkan adanya kemerahan, bengkak dan exudat
(Nisbet et al.,2010).
Penilaian penyembuhan luka insisi secara mikroskopis dilakukan pada
daerah penyembuhan (healing center). Penilaian kedua perlakuan dapat di lihat
Variabel dan Deskripsi Skor
Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
sebanyak tiga perlakuan dengan setiap perlakuan enam ekor yang di amatai
setelah lima hari dan 10 hari. Maka untuk menentukan ulangan dalam penelitian
t ( n – 1 ) ≥ 15
2 ( n – 1 ) ≥ 15
2n – 2 ≥ 15
2n ≥ 17
n ≥ 8,5
n ≥ 8
3.7 Analisis Data
Data hasil pengamatan uji aktivitas lendir bekicot (Achatina fulica)
terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis
pada ular sanca batik (Python reticulatus) yang sudah diberi skor kemudian diolah
dengan penilaian peringkat (rank) lalu dianalisis dengan uji statistic
nonparametric dengan Chi-Square Tests untuk mengetahui data penilaian
makroskopis dengan hasil positif atau negatif pada perbandingan kedua perlakuan.
Data penilaian mikroskopis akan dianalisis dengan Mann-Withney Test pada
tingkat signifikasi 5% untuk mngetahui kelompok mana yang memberikan hasil
berbeda nyata. Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan propgram SPSS
3.8 Diagram Alir Penelitian
8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)
Di beri Lendir bekicot
(Achatina fulica)
Analisis data Koleksi data
16 Ekor ular sanca batik (Python reticulatus)
P.1
8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)
Di beri betadine
P.1
8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)
Di beri betadine
P.2
8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)
Di beri Lendir bekicot
(Achatina fulica)
29
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Pengamatan Makroskopis
Subyek penelitian ini adalah Ular Sanca Batik (Python reticulatus),
sebanyak 16 ekor dengan berat badan 300 gram dan panjang dua meter. Sebelum
diberikan perlakuan, subyek penelitian dibuat luka sayat kemudian diberikan
perlakuan berupa betadin untuk perlakuan satu (P1) dan lendir bekicot (Achatina
fulica) secara topical untuk perlakuan dua (P2). Setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis.
Pengamatan terhadap perubahan proses penyembuhan ular sanca batik
(Python reticulatus) secara makroskopis dengan menggunakan penilaian
berdasarkan adanya kemerahan, bengkak, dan exudate (Nisbet et al.,2010).
Gambaran kulit ular sanca batik normal secara makroskopis dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 4.1 Gambaran makroskopis kulit ular sanca batik dalam keadaan
Gambar kulit ular sanca batik yang normal dilihat secara makroskopis
berbentuk sisik ular yang tersusun secara sejajar dan rapi.
4.1.1 Kemerahan
Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses
penyembuhan luka adanya kemerahan dianalisis menggunakan Chi-Square Tests
dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan.
Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Nilai persentase kemerahan pada kulit ular sanca batik dengan hasil
analisis menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan pada kulit ular
Kelompok
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.1 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat adanya perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok
Gambar 4.2 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan kemerahan yang
seperti yang tampak pada anak panah
4.1.2 Bengkak
Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses
penyembuhan luka yang berupa bengkak dianalisis menggunakan Chi-Square
Tests dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Nilai persen gejala klinis bengkak pada kulit ular sanca batik dengan hasil
analisis menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Nilai persen bengkak kulit ular
Kelompok
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.2 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok
Gambar 4.3 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan bengkak seperti
yang tampak pada anak panah
4.1.3 Exudate
Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses
penyembuhan luka yang berupa exudate dianalisis menggunakan Chi-Square
Tests dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Nilai persentase exudate pada ular sanca batik dengan hasil analisis
menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Nilai persentase exudate kulit ular
Kelompok
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.3 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok
Gambar 4.4 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan exudate seperti
yang tampak pada anak panah
4.2 Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan terhadap proses penyembuhan ular sanca batik (Python
reticulatus) secara mikroskopis menggunakan preparat histopatologi dengan menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) dari kulit ular sanca batik.
Penilaian dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x. Data yang
diperoleh berupa data semikuantitatif atau skor (Lampiran 5). Proses
penyembuhan luka pada ular sanca batik yang diamati secara mikroskopis adalah
kolagen, epitelisasi, angiogenesis, dan fibrosis.
4.2.1 Kolagen
Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka
yang berupa pembentukan kolagen dianalisis menggunakan Mann-Withney Test
dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan
(P>0,05). Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil penilaian terhadap pembentukan kolagen pada kulit ular sanca batik
dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan pada
Tabel 4.4 Nilai rerata kolagen kulit ular
Kelompok Kolagen
P1
P2 9,567,44ᵇᵇ± ± 0,81 0,81
Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)
Keterangan :
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan
diberikan secara topical.
Gambar 4.5 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya
pembentukan kolagen (serangkaian serabut berwarna merah muda) seperti yang tampak pada anak panah (Pewarnaan H.E perbesaran 400x)
4.2.2 Epitelisasi
Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka
yang berupa adanya proses epitalisasi dianalisis menggunakan Mann-Withney Test
dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P<0,05).
Hasil penilaian terhadap adanya proses epitalisasi pada kulit ular sanca
batik dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Nilai rerata epitelisasi kulit ular
Kelompok Epitelisasi
P1
P2 11,315,69ᵇᵅ±± 0,80 0,80
Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05)
Keterangan :
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.5 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan terlihat
perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan kelompok
perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan diberikan
secara topical.
Gambar 4.6 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya proses
epitalisasi (berwarna kemerahan) seperti yang tampak pada anak panah (Pewarnaan H.E perbesaran 400x)
4.2.3 Angiogenesis
Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka
Test dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P>0,05) . Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil penilaian terhadap adanya proses angiogenesis pada kulit ular sanca
batik dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Nilai rerata angiogenesis kulit ular
Kelompok Angiogenesis
P1
P2 9,757,25ᵇᵇ± ± 0,88 0,88
Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)
Keterangan :
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.6 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan
diberikan secara topical.
Gambar 4.7 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya proses
4.2.4 Sel Fibroblas
Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka
yang berupa adanya sel fibroblas dianalisis menggunakan Mann-Withney Test dan
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P>0,05).
Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Hasil penilaian terhadap adanya sel fibroblas pada kulit ular sanca batik
dengan hasil analisis Mann-Withney Test dapat dijelaskan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Nilai rerata sel fibroblas kulit ular
Kelompok Sel Fibroblas
P1
P2 8,758,25ᵇᵇ± ± 0,51 0,51
Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)
Keterangan :
P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)
P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Tabel 4.7 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak
terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan
kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan
Gambar 4.8 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya sel
BAB V PEMBAHASAN
Luka adalah masalah yang sering timbul pada ular piaraan. Pada akhir
tahun ini semakin banyak komunitas pencinta ular yang mempunyai kasus
perlukaan pada ular yang menyebabkan menurunnya kesehatan dan kecantikan
ular sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemiliknya.
Luka sayat sering terjadi pada ular sanca batik karena kurangnya
kebersihan kandang. Luka ini biasanya terjadi pada sekitar hidung, mulut dan
sering terjadi pada kulit. Hal yang dilakukan para pecinta reptil khususnya ular
untuk menyembuhkan luka tersebut sering menggunakan bahan kimia terutama
povidine iodin yang terdapat pada betadin. Menurut Muhammad, (2005) bahwa
betadin mengandung 10 % povidine iodine yang memiliki efek antimikroba dan
masih menjadi perdebatan karena menimbulkan efek toksik pada penelitian in
vitro tingkat sel.
Efek toksik yang ditimbulakan oleh betadin memicu masyarakat untuk
mencari alternatif pengobatan luka dengan bahan alami. Bekicot selama ini
dianggap sebagai hewan hama bagi petani yang dapat menimbulkan kerugian.
Pada kenyataannya bekicot mempunyai manfaat yaitu untuk proses penyembuhan
luka. Menurut Grahacendikia, (2009) lendir bekicot mengandung
glycosaminoglycan dan proteoglycan yang dapat mengikat senyawa copper
peptide di dalamnya. Secara teori, kedua senyawa ini memang bermanfaat untuk
5.1 Pengamatan Makroskopis
5.1.1 Kemerahan
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
proses penyembuhan luka yang berupa bengkak pada gambaran makroskopis. Hal
ini sesuai dengan tabel 4.1 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan
dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua
perlakuan.
Kemerahan terjadi akibat dari proses penyembyhan tahap inflamsi terjadi
setelah adanya luka. Proses ini terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga yang
ditandai dengan dua proses yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis atau
yang biasa disebut penghentian perdarahan adalah akibat dari fase kontriksi
pembuluh darah besar ke daerah luka, reaksi pembuluh darah, endapan fibrin yang
menghubungkan jaringan dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Proses
ini ditandai dengan adanya pembentukan pembuluh darah baru dan serabut fibrin
sehingga terlihat kemerahan. Pembentukan pembuluh darah dibantu oleh
makrofag untuk mengeluarkan factor angiogenesis yang merangsang
pembentukan ujung epitel di akhir pembuluh. Makrofag bersama factor
angiogenesis mempercepat proses penyembuhan luka seiring dengan
pembentukan pembuluh darah ke daerah sekitar luka akan membawa fibrin.
Seiring dengan perkembangan kapilarisasi jaringan, serabut fibrin akan berubah
makroskopisProses Inflamasi sangat penting karena berperan melawan infeksi
pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi (Morris,1990 dalam
Erwin, 2012).
5.1.2 Bengkak
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
proses penyembuhan luka yang berupa bengkak pada gambaran makroskopis. Hal
ini sesuai dengan tabel 4.2 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan
dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua
perlakuan.
Proses penyembuhan luka berupa bengkak pada kedua perlakuan
disebabkan oleh suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan dan
nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Selain nutrisi yang berkumpul
menjadi satu dipermukaan, protein memasuki ruang interstisial sehingga ruang
interstisial menjadi penuh. Bengkak yang terjadi pada proses penyembuhan ini
juga dapat disebabkan oleh infiltrasi neutrophil, makrofag, dan limfosit yang
berperan melawan bakteri pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi
(Morris,1990 dalam Erwin, 2012).
5.1.3 Exudate
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
proses penyembuhan luka yang berupa exudate pada gambaran makroskopis. Hal
ini sesuai dengan tabel 4.3 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan
dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua
perlakuan.
Exudate yang terbentu pada kedua perlakuan disebabkan adanya
akumulasi cairan dan jaringan mati serta sel darah putih (SDP) membentuk
exudate pada daerah inflamasi. Exudate yang terbentuk dapat berupa cairan yang
berisi serosa yaitu cairan jernih seperti sel plasma, sanguinosa yang mengandung
sel darah merah atau purulent yang mengandung sel darah putih dan bakteri.
Akhrinya exudate akan dibersihkan oleh drainase limfatik. Trombosit dan protein
plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada tempat
inflamasi untuk mencegah penyebaran exudate (Oswari, 1993 dalam Erwin 2012).
5.2. Pengamatan Mikroskopis
5.2.1 Kolagen
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
proses penyembuhan luka yang berupa pembentukan kolagen pada gambaran
mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.4 bahwa kelompok perlakuan satu (P1)
dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara
kedua perlakuan.
Pembentukan kolagen pada proses penyembuhan luka terjadi pada fase
disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi
protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Menurut Oswari E,
(1993) dalam Erwin (2012), jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu
sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi
tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan
nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
5.2.2 Epitelisasi
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
proses epitalisasi pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.5
bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan
hasil yang berbeda nyata antara kedua perlakuan.
Epitelisasi atau proses pembentukan epitel yang terjadi pada proses
penyembuhan luka. Menurut Med J Indone (2009) epitelisasi terjadi pada hari ke
delapan setelah luka terbentuk. Epitelisasi terbentuk karena peranan scab
(keropeng) yang membantu hesmostatis sehingga mencegah masuknya
mikroorganisme sehingga epitel dapat terbentuk dengan sempurna (Morris,1990
dalam Erwin, 2012).
5.2.3 Angiogenesis
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
proses angiogesis pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.6
bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua perlakuan.
Angiogenesis atau yang biasa disebut dengan pembentukan pembuluh
darah. Proses angiogenesis dimulai dari beberapa aliran pembuluh darah kecil
disekitar luka yang berkumpul menjadi satu untuk membentuk aliran darah baru
yang lebih besar. Banyak terdapat sel yang mempengaruhi proses tersebut salah
satu di antaranya adalah makrofag. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel
debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan
faktor angiogenesis yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh
darah. Makrofag dan factor angiogenesis bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan (Morris,1990 dalam Erwin, 2012).
5.2.4 Sel Fibroblas
Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan
dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok
pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya
sel fibroblas pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.7 bahwa
kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata antara kedua perlakuan.
Proses pembentukan sel fibroblas terjadi pada fase terakhir. Hal ini
disebabkan proses pembentukan fibrin pada fase proliferasi sampai dengan proses
epitelisasi dan angiogenesis. Proses ini dimulai dengan fibroblast yang berpindah
dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi
jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan yang berwarna merah disebut
granulasi. Granulasi mempunyai sifat jaringan yang lunak dan mudah pecah.
Setelah granulasi pecah, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena
pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk
memperkuat jaringan ikat (Morris,1990 dalam Erwin, 2012).
Pengaruh proses di atas berkaitan dengan pengobatan yang diberikan pada
perlakuan. Perlakuan dua yang menggunakan lendir bekicot hasilnya lebih efektif
cepat menyembuhkan luka jika dilihat secara mikroskopis. Hal ini disebabkan
glycosaminoglycan dan proteoglycan yang terkandung dalam lendir bekicot
secara umum berfungsi untuk mencegah pembekuan darah. Mekanisme kerja
glycosaminoglycan dan proteoglycans adalah dengan meningkatkan pelepeasan
protein spesifik, seperti tissue plasminogen dan tissue factor pathway inhibitor
(TFPI) ke dalam darah untuk menghambat pembekuan darah. Hal ini juga dapat
meningkatkan aktivitas dari protein. Glycosaminoglycan dan proteoglycans
menambah aktivitas factor pembekuan yang selanjutnya akan menghambat zat
yang dapat menyebabkan angiogenesis (proses pembentukan pembuluh darah
baru) termasuk pertumbuhan endotel vascular, factor jaringan, dan
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan yaitu
pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat mempercepat kesembuhan luka
insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton
reticulatus).
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat, maka saran yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Dapat digunaan sebagai acuan untuk menangani kasus ular yang
mengalami perlukaan.
2. Dapat digunakan sebagai literatur bagi para peneliti lendir bekicot.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh mengenai lendir bekicot sebagai