• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS

DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

Oleh :

ISMA OLIVIA LATIFA NIM 061111051

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

UJI AKTIVITAS LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN LUKA INSISI SECARA MAKROSKOPIS

DAN MIKROSKOPIS PADA ULAR SANCA BATIK (Python reticulatus)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Pada

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Oleh

ISMA OLIVIA LATIFA

NIM 061111051

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :

Uji Aktivitas Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Makroskopis dan Mikroskopis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus)

tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surabaya, Agustus 2015

Isma Olivia Latifa

(4)

Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal : 27 Juli 2015

KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN

Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes

Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP

Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si

Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.

(5)

v Telah diuji pada

Tanggal : 11 Agustus 2015

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Djoko Legowo,drh, M. Kes

Sekretaris : Boedi Setiawan, drh, MP

Anggota : Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si

Pembimbing Utama : Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh.

Pembimbing Serta : Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh.

Surabaya, 11 Agustus 2015 Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Dekan,

(6)

ACTIVITIY TEST OF SNAIL MUCUS (Achatina fulica) ON THE HEALING LEVEL OF INCISION WOUND GROSSLY AND

MICROSCOPICALLY IN BATIK PYTHON (Python reticulatus)

Isma Olivia Latifa

ABSTRACT

The aim of this research was to determine the provision of mucus snail (Achatina fulica) can accelerate wound healing incision on the macroscopic and

microscopic batik python (Python reticulatus). This reasearh used 16 batik

pythons are 300 gram of body weight and 2 meters of body long. The samples in this research from Bogor trader and Banten trader. The number of treatment were two groups P1 and P2, each of group was divided into eight snakes were adopted for seven days. Topical treatment was done after 24 hours. Wound showed positive symptoms such as acute inflammation and pus yellowish white. Treatment was done once a day until there is healing wounds and peeling scab. Treatment is done by applying Betadine (iodine-containing povidine 10%). On the day 5 of this research was observed macroscopically and on the day 10 of this research samples dissected and taken to the skin organ preparations. The

macroscopic data obtained were precessed with Chi-Square tests and the

microskopic data obtained were precessed with Mann-Withney test. Statistic

analysis using SPSS. The result showed that mucus snail can reduced damaged of histopatologic snake skin in epitelisation.

(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridhonya sehingga penulis

dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi mengenai Uji Aktivitas

Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Tingkat Kesembuhan Luka Insisi Secara Histopatologis pada Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus).

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini,

antara lain:

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof.

Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D. atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Dr. Iwan Sahrial Hamid, M.Si.drh. selaku dosen pembimbing utama dan

Dr. Thomas V. Widiyatno, Msi.drh. selaku dosen pembimbing serta atas segala

arahan, informasi, bimbingan, dan kesabarannya sampai dengan selesainya

penelitian ini.

Djoko Legowo,drh, M. Kes selaku ketua penilai, Boedi Setiawan, drh, MP

selaku sekretaris penilai dan Dr. Benjamin Chr. Tehupuring, drh, M. Si selaku

anggota penilai atas segala saran dan arahan yang telah diberikan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

memberikan bimbingan selama menempuh kegiatan perkuliahan dan membantu

memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis selama menempuh S1 di

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Seluruh Bapak Ibu Dosen atau Staf Pengajar yang telah banyak memberi

ilmu dan pengalaman selama menempuh kegiatan perkuliahan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Seluruh Bapak Ibu Staf Kependidikan, Bagian Kemahasiswaan, Bagian

Akademik, Bagian Keuangan, Bagian Tata Usaha, dan Bagian Sistem Informasi

yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Kepada Kedua orangtua: Bapak Imam Supriyono, Ibu Siti Asiyah dan adik

Syaifullah Hikmahtiyar atas limpahan doa dan pengorbanan yang tak

henti-hentinya, kasih sayang, ketulusan cinta, kepercayaan, semangat serta kebahagiaan

selama hidup penulis.

Staf Laboratorium Kedokteran Dasar Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga dan Laboratorium Patology Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga.

Teman-teman saya, Megan, Yayan, Hendro, Bagas, Yonatan, Lesty, Nabil,

Arif, Dimas, Kokoh, Ridho, mas Tedy, mas Fajar yang telah membantu penelitian

secara bergantian. Titah, Reynata, Wiwit, Nimas, Karina, Dinda, Lina yang selalu

(9)

ix

membantu menyiapkan hewan coba dan yang selalu menyemangati saya agar

dapat segera menyelesaikan penelitian dan skripsi penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan pada

skripsi ini, untuk itu mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di

masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, 8 Juli 2015

(10)

DAFTAR ISI 2.1 Tinjauan Tentang Ular Sanca Batik ... 7

2.1.1 Klasifikasi Ular Sanca Batik ... 7

2.1.2 Morfologi Ular Sanca Batik ... 8

2.1.3 Anatomi Ular Sanca Batik ... 10

2.1.4 Daerah Penyebaran dan Habitat Ular Sanca Batik ... 11

2.1.5 Perilaku, Makanan dan Perburuan ... 12

2.1.6 Python Sebagai Satwa Eksotik dan Peliharaan ... 13

2.2 Tinjauan Tentang Bekicot ... 14

(11)

xi

2.2.2Tinjauan Tentang Morfologi Bekicot ... 15

2.2.3 Penyebaran Bekicot ... 16

2.2.4 Tentang Kasiat Bekicot ... 16

2.3 Tinjauan Tentang Luka Insisi ... 17

2.3.1Terapi dan Pencegahan ... 18

2.4 Proses Penyembuhan Luka ... 18

BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Materi Penelitian ... 21

3.2.1Hewan percobaan ... 21

3.2.2 Bahan Penelitian ... 21

3.2.3Alat Penelitian ... 21

3.2.4Besar sampel ... 22

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.3.1Jenis penelitian ... 22

3.3.2Variabel Penelitian ... 22

3.3.3Definisi Operasional Variabel ... 23

3.4 Perlakuan ... 24

3.5 Penilaian Penyembuhan Luka ... 25

3.6 Rancangan Penelitian ... 26

3.7 Analisis Data ... 27

3.8 Diagram Alir Penelitian ... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN 5.1 Pengamatan Makroskopis………40

5.1.1 Kemerahan ………...………...40

5.1.2 Bengkak ….………..………...41

5.1.3 Exudate ………...………...41

(12)

5.2.1 Kolagen………...………....42

5.2.2 Epitelisasi………...………….43

5.2.3 Angiogenesis………...………....43

5.2.4 Sel Fibroblas……...……….44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………...46

RINGKASAN………47

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 3.1 Skor penilaian mikroskopis ... 26

Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan ... 30

Tabel 4.2 Nilai persentase bengkak ... 31

Tabel 4.3 Nilai persentase exudate ... 32

Tabel 4.4 Nilai persentase kolagen ... 34

Tabel 4.5 Nilai persentase epitelisasi... 35

Tabel 4.6 Nilai persentase angiogenesis ... 36

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) ... 8

Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular ... 11

Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik ... 12

Gambar 2.4 Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik ... 13

Gambar 2.5 Bekicot (Achatina fulica) ... 14

Gambar 2.6 Morfologi Bekicot ... 15

Gambar 2.7 Luka insisi pada ular sanca batik... 18

Gambar 2.8 Fase Penyembuhan Luka ... 20

Gambar 4.1 Gambaran makroskopis kulit ular normal……….29

Gambar 4.2 Gambaran kemerahan ….……….31

Gambar 4.3 Gambaran bengkak. ……….32

Gambar 4.4 Gambaran exudate ………..33

Gambar 4.5 Gambaran kolagen ………...34

Gambar 4.6 Gambaran epitelisasi ………….………...35

Gambar 4.7 Gambaran angiogenesis ………...36

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Metode pengambilan lendir bekicot………...53

Lampiran 2 Prosedur pembuatan preparat histologi kulit……… …………54

Lampiran 3 Skema pembuatan preparat histologi.……….………57

Lampiran 4 Skema pewarnaan Haematoxylin Eosin………….………58

Lampiran 5 Hasil pemeriksaan histopatologi……….………59

(16)

SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

ECM Extracellular Matrix

EGF Epitelisation Growth Factor

FGF Fibroblast Growth Factor

PDGF Platelet-Derived Growth Factor

HE Haematoksilin Eosin

P1 Perlakuan Satu

P2 Perlakuan Dua

RAL Rancangan Acak Lengkap

SDP Sel Darah Putih

SPSS Statistical Package for the Social Science

TGF-β β-Transforming Growth Factor

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reptil adalah hewan yang saat ini mulai banyak digemari oleh masyarakat

Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini popularitasnya meningkat untuk dijadikan

hewan piaraan bagi manusia. Salah satu reptil yang digemari karena

keeksotikannya adalah ular.

Ular adalah hewan liar yang saat ini masih banyak dijumpai di sekitar kita.

Salah satunya adalah ular sanca batik yang mempunyai nama latin Python

reticulatus. Berbagai upaya untuk merawat ular sanca batik dilakukan mulai dari menyediakan kandang yang ideal dan menjaga kebersihannya, pakan yang sehat,

mengembangbiakkan untuk memperoleh keturunan dengan mengawinkan jenis

ular sanca batik, serta melakukan perawatan kondisi kesehatan, terutama bila

terjadi luka pada tubuh.

Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan

sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat sengaja dibuat untuk tujuan tertentu,

seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat

kecelakaan (Hunt, 2003). Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak

tersebut adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam empat fase yaitu

hemostatis, inflamasi, proliferasi, atau granulasi, dan remodeling (Guo and

DiPietro, 2010).

Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh, tetapi

(18)

luka (Taqwim, 2009). Beberapa obat yang membantu mempercepat proses

penyembuhan saat ini relatif mahal. Selain itu seringkali terjadi kekebalan atau

yang biasa disebut resistensi pada tubuh, terutama pada penggunaan antibotika

yang tidak tepat sesuai aturan. Resistensi tersebut dapat menimbulkan dampak

pada penigkatan aktivitas bakteri pada luka.

Ada beberapa cara yang dilakukan manusia untuk menyembuhkan luka

salah satunya adalah dengan menggunakan obat antiseptic seperti betadine.

Betadine mengandung 10 % povidone iodine. Povidone Iodine harus digunakan

secara hati-hati pada penderita yang alergi terhadap iodine karena dapat

menimbulkan alergi sehingga dapat menghambat penyembuhan luka. Alergi

povidone-iodine dapat menyebabkan dermatitis. Selain itu, alergi povidone juga

berpotensi mengakibatkan syok anafilaksis. Syok Anafilaksis adalah keadaan

alergi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan penurunan tekanan darah

secara tiba-tiba dan penyempitan saluran pernafasan, menyebabkan penderita

jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri (Mawaddatulkarimah, 2014). Povidone

iodine yang memiliki efek antimikroba masih juga menjadi perdebatan karena

menimbulkan efek toksik pada penelitian in vitro tingkat sel, sehingga diperlukan

alternatif pengobatan lain (Muhammad, 2005). Pengobatan alternatife selain

menggunakan obat sintetis adalah menggunakan tanaman atau herbal yang

berkhasiat sebagai obat dan beberapa bahan alam.

Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam yang

sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan fauna

(19)

obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan

obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional secara turun temurun, bahan

alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah

lendir bekicot (Achatina fulica) (Grahacendikia, 2009 dalam Purnasari, 2012)

yang diberikan secara topical pada luka external. Glycosaminoglycan (GAG)

adalah kandungan penting yang terdapat dalam lendir bekicot yang dapat

mengikat senyawa copper peptide di dalamnya. Secara teori, senyawa ini

bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan kelembaban kulit. Glycosaminoglycan

merupakan sejenis karbohidrat yang memegang peran penting dalam menjaga

jaringan penghubung antar sel sehingga kulit selalu tampak lebih kencang.

Senyawa ini juga termasuk komponen penyusun hyalorunat, yakni senyawa yang

menjaga kelembaban kulit. Sementara copper peptide merupakan senyawa yang

merangsang pembentukan kolagen di kulit. Berbagai penelitian

membuktikan, copper peptide memegang peran penting dalam proses

penyembuhan luka yakni merangsang pembentukan sel-sel baru untuk

menggantikan sel yang rusak.

Penyembuhan menggunakan lendir bekicot bisa menjadi salah satu

alternatif karena mudah dalam penggunaan, daya sebarnya pada kulit baik, tidak

menyumbat pori permukaan kulit, juga memiliki efek antibakteri. Lendir bekicot

memberikan reaksi positif terhadap pengujian kandungan asam amino dan enzim.

Protein dapat berfungsi dan berperan dalam pertumbuhan, pertahanan, fungsi

tubuh sebagai fungsi pengganti jaringan dan sel yang rusak. Berdasarkan dari

(20)

mempunyai nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam penyembuhan dan

penghambatan proses inflamasi (Ernawati, 1994 dalam Purnasari, 2012).

Penelitian mengenai lendir bekicot belum banyak dilakkan, sehingga

penelitian ini ingin mengetahui mengenai uji aktivitas lendir bekicot (Achatina

fulica) terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan

mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton reticulatus).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu

apakah pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) berperan di dalam proses

penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca

batik (Phyton reticulatus)?

1.3 Landasan Teori

Segala aktivitas keseharian dapat menimbulkan risiko timbulnya luka pada

tubuh. Luka adalah putusnya kontinuitas kulit dan jaringan di bawah kulit oleh

karena trauma (Sutawijaya,2009). Berbagai rangsangan yang meninduksi

kematian beberapa sel dapat memicu pengaktifan alur replikasi pada sel lainnya;

sel radang yang direkrut tidak hanya membersihkan nekrotik, tetapi juga

menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks extraselular yang baru.

Oleh karena itu pada proses peradangan pemulihan dilakukan sangat dini dan

melibatkan dua proses yang sangat berbeda :

 Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis

(21)

 Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu

jaringan parut.

Beberapa kejadian yang menimbulkan luka salah satunya adalah akibat

benturan seperti yang sering di alami ular sanca batik yang dipelihara dengan cara

dikandangkan. Khusunya pada ular sanca batik yang akan diikut sertakan dalam

kontes sangat berpengaruh terhadap penilaian kecantikan kulit ular. Apabila

terdapat luka atau bekas luka akan mengurangi nilai kecantikannnya. Oleh karena

itu orang ingin obat yang murah, mudah didapat dan tanpa efek samping untuk

kesembuhan luka pada ular sanca batik. Salah satu solusi untuk hal tersebut adalah

dengan lendir bekicot (Achatina fulica) yang mudah didapatkan di sekitar kita

(Dewi, 2010).

Bekicot termasuk golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam

kelas Gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis

hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang lembab (Intergrated

Taxonomic Information System, 2004).

Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu

glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula

sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam urat, dan oligoelemen

(tembaga, seng, kalsium, dan besi). Glikosaminoglikan yang terisolasi dari

bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan heparin sulfat.

Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel,

berperan pada matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi, serta

(22)

utamanya adalah glikosaminoglikan disekresi oleh beberapa granula yang

terdapat dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga

mengikat kation seperti tembaga yang dapat mempercepat proses angiogenesis

yang secara tidak langsung mempengaruhi proses penyembuhan luka (Nuringtyas,

2008 dalam Putra, 2014).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian lendir

bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses penyeembuhan luka

insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton

reticulatus).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang peranan lendir bekicot dalam tingkat

kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular

sanca batik (Python reticulatus).

2. Memberikan informasi pada masyarakat bahwa ada pengobatan

tradisional dengan lendir bekicot dengan mudah, dan murah serta tidak

berisiko tinggi.

1.6 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teori, hipotesis ini adalah

pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat berperan di dalam proses

penyembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca

(23)

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ular Sanca Batik

2.1.1 Klasifikasi Ular Sanca Batik

Ular sanca batik memilki klasifikasi sebagai berikut (Iskandar dan Colijn 2002):

Domain : Eukarya

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Eumetazoa

Superphylum : Deuterostomia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Reptilia

Subclass : Lepidosauria

Ordo : Squamata

Subordo : Serpentes

Infraordo : Alethinophidia

Family : Pythonidae

Subfamily : Pythoninae

Genus : Python

(24)

Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) (dokumentasi pribadi, 2012)

2.1.2 Morfologi Ular Sanca Batik

Reptil pada umumnya mempunyai empat kaki. Tetapi berbeda dengan

ular. Ular tidak memiliki kaki, mereka juga tidak mempunyai pectoral girdle

(tulang bahu) kecuali boids yang mempunyai panggul vestigial dan taji eksternal.

Seperti semua jenis reptil, ular ditutupi oleh sisik halus dan mengkilap yang

berfungsi sebagai perlindungan dari cedera. Ular sanca batik (Python reticulatus)

mempunyai kulit kasar dan kusam seperti ular Hognose. Bagian terluar kulit ular

adalah epidermis yang tebal. Kemudian lapisan di bawahnya adalah dermis.

Dermis terdiri dari kromatofora, beberapa sel pigmen yang memberikan warna

pada kulit ular. Sisik terbentuk sebagian besar dari keratin yang berasal dari

epidermis (Mader, 2006).

Menurut Mader (2006) sebagai ular yang tumbuh, semakin lama

pertumbuhannya mulai melambat ketika usia mereka bertambah. Sepanjang hidup

(25)

tumbuh di bawah sisik lama yang berada di luar tubuh ular. Akhirnya sisik luar

lepas dan proses pelepasan sisik ular biasanya terbalik seperti kaus kaki yang

ditarik dari atas ke bawah. Serangkaian proses pelepasan epidermis ini disebut

shedding.

Ular mempunyai sisik yang melekat satu sama lain dengan kulit tipis yang

pada umumnya tidak terlihat dari luar. Bagian sisik berbentuk lipatan ke dalam

antar sisik saling berdekatan. Sisik tidak dapat meregang tapi ketika ular makan

makanan yang besar, lipatan kulit ditarik keluar langsung untuk memperluas

permukaan (Mader, 2006).

Ular memiliki dua mata, tetapi tidak memiliki kelopak mata. Bagian mata

pada ular berwarna transparan yang sebenarnya adalah bagian dari kulit yang

berfungsi untuk melindungi setiap mata. Ketika ular mengalami shedding, bagian

yang transparan akan ikut mengelupas bersama kulitnya (Mader, 2006).

Ular tidak memiliki telinga external, tetapi mereka memiliki telinga

internal yang mampu mendeteksi suara frekuensi rendah yaitu antara 100-700

hertz (Pendengaran orang normal mampu mendeteksi suara dengan frekuensi

antara 20 dan 20.000 hertz). Telinga internal seekor ular juga memungkinkan

untuk mendeteksi gerakan, posisi statis, dan gelombang suara melalui tanah

(Mader, 2006).

Bagian kepala ular terdiri dari mata, hidung, mulut (dan struktur dalam)

otak, dan struktur sensorik khusus yang disebut vomeronasal atau organ Jacobson.

Organ Jacobson adalah lubang yang berpasangan, terletak di depan moncong ular.

(26)

reptil. Semua ular memiliki lidah bercabang. Ketika mereka menjulurkan lidah

mereka, ujung lidah akan mengambil partikel bau di udara dan menempatkan

partikel tersebut langsung pada organ hidung (Mader, 2006).

Ular mempunyai baris permukaan gigi ular bagian luar dan bagian dalam

tulang rahang atas dan bawah (maxilla dan mandibula). Ular nonvenomous

memiliki empat baris gigi atas ; dua baris yang melekat pada rahang atas (luar)

tulang, dan dua baris melekat pada palatine dan pterygoideus (inner) tulang.

Hanya dua baris berada di rahang bawah ; satu melekat pada setiap rahang. Ular

paling berbisa menggantikan taring untuk gigi rahang atas. Taring tempat bisa

berada di depan mulut misalnya ular Hognose (Mader, 2006).

Ular menggunakan gigi mereka untuk menangkap, tidak untuk mengunyah

makanan mereka. Gigi mereka berbentuk bengkok, sehingga setelah menggigit

mangsa akan langsung diarahkan menuju perut ular (Mader, 2006).

2.1.3 Anatomi Ular Sanca Batik

Ular pada dasarnya mempunyai tubuh berbentuk tabung panjang yang

terbagi menjadi beberapa bagian. Seperempat bagian tubuhnya terdiri dari kepala,

kerongkongan, trakea dan jantung. Bagian tubuh sekitar 26 sampai 50 peren

terdiri dari paru – paru, hati, dan lambung. Bagian tubuh sekitar 51 sampai 75

persen dari tubuh ular merupakan kandung empedu, limpa dan pancreas (atau

splenopancreas, tergantung pada spesies). Setelah serangkaian organ-organ

tersebut akan ditemukan gonad (testis atau ovarium). Diantara struktur usus kecil

yang berdampingan dengan usus halus adalah paru-paru kanan (dalam beberapa

(27)

persen merupakan usus kecil, usus besar, dan sekum (jika ada) ginjal (tepat di

depan sebelah kiri) dan kloaka yang di temukan bersimpangan (Mader, 2006).

Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular (Mader, 2006)

2.1.4 Daerah Penyebaran dan Habitat Ular Sanca Batik

Ular sanca batik memiliki habitat hutan yang lebat rumputnya dan

termasuk hutan tropis, banyak ditemukan di dekat sungai dan area yang dekat

dengan sungai kecil maupun danau (Mehrtens, 1987 dalam Matswapati, 2009).

Ular sanca batik tersebar di wilayah Asia Tenggara dan pulau –pulau di

sekitar laut pasifik antara lain ditemukan di Flipina, Borneo, Jawa, Sumatra,

Timor Timur dan Seram. Ular tersebut terlihat dibeberapa pulau kecil dan

penduduk sekitarnya sering melihat di sungai atau di dermaga urban area

(28)

Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik (Barker et al., 1994; )

2.1.5 Perilaku, Makanan dan Perburuan

Lilitan adalah teknik khusus gigitan dan pegangan yang digunakan oleh

banyak ular untuk menahan atau membunuh mangsanya. Ular menyerang

mangsanya dengan melilitkan tubuhnya di sekitar mangsanya dengan

terus-menerus yang disesuaikan untuk mengurangi lilitan yang tumpang tindih. Mangsa

yang berusaha meloloskan diri akan dililit semakin kuat oleh ular. Lilitan yang

semakin kuat akan terus dilakukan ular untuk menggagalkan peredaran darah

mangsa sehingga menyebabkan kematian karena meningkatkan tekanan dada dan

menghentikan aliran darah ke jantung. Ketika mangsanya sudah mati atau tidak

sadar, ular akan melonggarkan lilitannya dan menempatkan mulutnya pada kepala

mangsa dan mulai menelannya dari kepala hingga ekor mangsa. (Vitt and

(29)

Gambar 2.4 Perilaku membelit pada pola makan ular sanca batik (dokumentasi

pribadi, 2014)

2.1.6 Ular Sebagai Satwa Eksotik dan Peliharaan

Akhir-akhir ini kegemaran terhadap satwa-satwa peliharaan kesayangan

seperti kucing, anjing, kelinci dan yang lainnya mulai bergeser ke satwa-satwa

melata (ular, kadal, biawak), karena mudah memeliharanya dan bersih. Perhatian

dan penelitian terhadap berbagai satwa yang dimiliki Indonesia perlu dilakukan

pemanfaatannya untuk domestik dan dunia internasional (Sihombing, 2002).

Dewasa ini di Indonesia mulai banyak yang memelihara reptil, selain biaya

pakan yang murah, hal ini juga disebabkan memelihara reptil lebih mudah

dipelihara. Dalam memelihara reptil ular adalah salah satu reptil yang digemari.

Jenis ular yang digemari terutama adalah ular sanca batik (Python reticulatus).

Ular ini mempunyai daya tarik tersendiri karena mempunyai pola dan warna tubuh

yang mempunyai daya tarik khas yang belum banyak dikenal umum. Selain itu,

(30)

dan panjang untuk menyergap serta menelan mangsa. Cukup menarik bagi

sebagian orang (Vitt dan Caldwell, 2009).

2.2 Tinjauan Tentang Bekicot

2.2.1 Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)

Menurut Integrated Taxonomic Information System (2004) taksonomi

bekicot adalah sebagai berikut :

Fillum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Ordo : Stylommatophora

Familli : Achatinidae

Sub familli : Achatininae

Genus : Achatina

Subgenus : Lissachatina

Spesies : Achatina fulica

(31)

2.2.2 Tinjauan Tentang Morfologi Bekicot

Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk

kerucut dan terdiri dari tujuh sampai Sembilan ruas lingkaran ketika umurnya

dewasa. Cangkang bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan dengan

corak vertical berwarna kuning tetapi warna spesies tersebut tergantung pada

keadaan lingkungan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa

panjangnya dapat melampaui 20 cm tetapi rerata panjangnya sekitar 5 – 10 cm.

sedangkan berat rerata bekicot kurang lebih adalah 32 gram (Cooling, 2005 dalam

Dewi, 2010). Skema bekicot dapat dilihat di Gambar 2.6.

Bekicot lebih memilih untuk memakan tumbuhan yang busuk, hewan, dan

alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan serius pada tanaman pangan dan

tanaman hias (Neehall, 2004 dalam Dewi, 2010).

(32)

2.2.3 Penyebaran Bekicot

Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raund and Baker, 2002 dalam

Dewi, 2010). Negara dimana terdapat bekicot (Achatina fulica) memiliki iklin

tropis yang hangat, suhu yang sepanjang tahun, dan tingkat kelembaban yang

tinggi (Vennette and Larson, 2004 dalam Dewi, 2010). Spesies ini dapat hidup di

daerah pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar,

dan daerah perkotaan. Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun

diperkebunan atau tempat budidaya (Raut and Barker, 2002 dalam Dewi, 2010).

Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperature di atas titik beku sepanjang

tahun dan kelembaban yang sepanjang tahun. Pada musim kemarau bekicot

menjadi tidak aktif atau dorman untuk mrnghindari sinar matahari (Venette and

Larson,2004 dalam Dewi, 2010). Bekicot (Achatina fulica) tetap aktif pada suhhu

9°C hingga 29°C, bertahan pada suhu 2°C dengan cara hibernasi, dan pada suhu

30°C dengan keadaan dorman (Smith and Flower, 2003 dalam Zaif 2009).

2.2.4 Tentang Kasiat Bekicot

Bekicot mempunyai banyak manfaat, mulai dari dagingnya sampai dengan

lendir bekicot dapat dikonsumsi karena dipercaya terdapat kandungan protein

yang tinggi. Daging bekicot mengandung asam amino esensial yang lengkap di

samping mempunyai kandungan zat besi yang tinggi (Udofia, 2009 dalam Dewi

2010).

Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu

glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul tersebut terutama disusun dari gula

(33)

(tembaga, seng kalsium, dan besi). Glikosaminiglika yang terisoasi dari bekicot

(Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dari heparin sulfat.

Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel,

berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblast, spesialisasi, dan migrasi,

secara efektif mengontrol fenotif seluler. Glikokonjugat utama pada lendir bekicot

yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula yang terdapat di dalam tubuh

bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga meningkatkan kation

divales seperti tembaga yang dapat mempercepat angiogenesis yang secara tidak

langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka (Nuringtyas, 2008; dalam

Putra, 2014).

2.3. Tinjauan Tentang Luka Insisi

Luka atau vulnus adalah putusnya kesinambungan kulit dan jaringan di

berbentukmemanjang, tepi luka berbentuk lurus, akan tetapi jaringan kulit di

sekitar luka tidak mengalami kerusakan (Sutawijaya, 2009).

Luka insisi atau luka sayat pada ular yang dipelihara atau di kandangkan

terjadi akibat gesekan pada kandang yang kotor sehingga menimbulkan luka.

Menurut Indah (2015) luka pada ular yang dikandangkan biasanya terjadi pada

(34)

untuk keluar. Luka juga dapat terjadi akibat gigitan dari binatang lain (mangsa)

atau ular lain jika dikandangkan secara bersamaan. Seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.8

Gambar 2.7 Luka Insisi pada Ular Sanca Batik (Chris Cooke, Animal Attendant,

Reptile Park, NZG, 2011)

2.3.1 Terapi dan Pencegahan

Menurut Indah (2015) pada kasus di atas yaitu luka insisi pada ular sanca

batik yang disebabkan karena kandang yang kotor dapat selalu menjaga

kebersihan kandang ular agar ular tidak menggesekkan tubuhnya ke kandang

karena kotor sehingga terjadi luka.

Pada kasus ular yang di kandangkan secara berkelompok, sebaiknya ular

dipisah agar tidak terjadi kanibalisme saat ular kelaparan dan pemberian pakan

secara teratur misalnya dua minggu sekali (Indah, 2015)

Jika sudah terjadi luka akibat beberapa perlakuan di atas, dapat diberikan

lendir bekicot secara topical. Selain mudah di dapat penggunaannya juga mudah.

2.4 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan

(35)

serangkaian reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator (Med J Indone,

2009)

Fase penyembuhan luka (Guo and DiPietro, 2010):

 Tahap pertama dari hemostasis dimulai setelah terjadinya luka, dengan

penyempitan pembuluh darah dan pembentukan bekuan fibrin. Bekuan dan

sekitarnya melepaskan jaringan luka sitokin pro-inflamasi dan faktor

pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF) -β, faktor

pertumbuhan platelet derived (PDGF), faktor pertumbuhan fibroblast

(FGF), dan faktor pertumbuhan epidermal (EGF). Setelah pendarahan

dikendalikan, sel-sel inflamasi bermigrasi ke luka (kemotaksis) dan

mempromosikan fase inflamasi, yang ditandai oleh infiltrasi berurutan

neutrofil, makrofag, dan limfosit.

 Tahap kedua adalah fase proliferatif umumnya mengikuti dan dilanjutkan

dengan tahap ketiga yaitu fase inflamasi, dan ditandai dengan proliferasi

epitel dan migrasi matriks sementara dalam luka (re-epitelisasi). Dalam

dermis reparatif, fibroblas dan sel endotel adalah jenis sel yang paling

menonjol saat ini dan mendukung pertumbuhan kapiler, pembentukan

kolagen, dan pembentukan jaringan granulasi di lokasi cedera. Dalam

luka, fibroblas memproduksi kolagen serta glikosaminoglikan dan

proteoglikan, yang merupakan komponen utama dari matriks ekstraselular

(ECM). Setelah proliferasi kuat dan ECM sintesis, penyembuhan luka

memasuki fase akhir remodeling, yang dapat bertahan selama

(36)

 Tahap keempat adalah fase remodeling, regresi dari banyak kapiler baru

terbentuk terjadi, sehingga kepadatan pembuluh darah dari luka kembali

normal. Salah satu fitur penting dari fase remodeling adalah renovasi ECM

untuk arsitektur yang mendekati bahwa dari jaringan normal. Luka juga

mengalami kontraksi fisik selama proses penyembuhan luka seluruh, yang

diyakini dimediasi oleh fibroblas kontraktil (myofibroblasts) yang muncul

dalam luka.

(37)

21

BAB III MATERI DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga sebagai tempat pemeliharaan ular dan Laboratorium

Patology Veteriner untuk membuat sediaan preparat mikroskopis luka insisi.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.

3.2 Bahan dan Materi Penelitian

3.2.1 Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah ular sanca

batik (Python reticulatus) berumur enam bulan, berat rerata 300 gram, panjang

rerata dua meter. Hewan coba diperoleh dari pengepul dari Bogor dan Banten.

3.2.2 Bahan Penelitian

Beberapa bahan penelitian yang digunakan adalah Betadine sebagai media

pembanding, dan lendir bekicot sebagai media pengobatan yang diperoleh dengan

cara memecah cangkang bekicot pada bagian ujungnya yang lancip kemudian

ditampung dengan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kapas Alkohol digunakan

untuk membersihkan daerah yang akan diinsisi sebelum diberikan Lidokain untuk

anastesi daerah yang akan diinsisi.

3.2.3 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan coba

berupa kandang kelompok perlakuan yang terbuat dari plastik berbentuk lemari

(38)

tabung reaksi, scalpel, penggaris, spuit, plester luka, pipet, object glass, cover

glass dan mikroskop.

3.2.4 Besar sampel

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus

Federer (1963) dalam Kusriningrum (2008) :

- t = kelompok perlakuan

- n = jumlah sampel

Dengan menggunakan rumus di atas, penelitian ini menggunakan 2

perlakuan sehingga didapatkan jumlah ulangan minimal 8 ekor ular sanca batik

dan secara keseluruhan membutuhkan minimal 16 ekor ular sanca batik.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental

laboratotik. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati uji aktivitas lendir bekicot

(Achatina fulica) terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan

mikroskopis pada ular sanca batik (Python reticulatus).

3.3.2 Variabel Penelitian

- Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah Betadine (mengandung povidone

iodine 10%) dan lendir bekicot.

- Variabel tergantung

Variable tergantung pada penelitian ini adalah skor penilaian kesembuhan

(39)

- Variabel kendali

Variable terkendali pada penelitian ini adalah umur, berat badan ular sanca

batik (Python reticulatus), tatalaksana pemeliharaan, dan pembuatan

hewan coba.

3.3.3 Definisi Operasional Variabel

- Lendir bekicot diperoleh dari memecah bagian ujung cangkang bekicot

yang akan keluar lendir dan ditampung ke dalam tabung reaksi.

- Kesembuhan luka diindikasikan dengan penutupan luka oleh jaringan

epitel sama tingginya dengan kulit sekitar luka dan terkelupasnya jaringan

nekrotik (Pengamatan makroskopis).

- Inflamasi ditandai dengan adanya bengkak dan nanah yang dapat dilihat

padapengamatan makroskopis

- Granulasi ditandai dengan adanya pembentukan pembuluh darah baru dan

pembentukan serabut fibrin pada daerah sekitar luka sehingga luka akan

tampak berwarna merah pada pengamatan makroskopis

- Maturasi merupakan serangkaian proses penyembuhan yang ditandai

dengan menutupnya luka, serta sudah tidak adanya infeksi dan granulasi

- Kolagen merupakan protein terbanyak pada jaringan tubuh, termasuk kulit.

Kolagen dapat dilihat melalui pewarnaan HE sebagai zona rangkaian

serabut berwarna merah muda.

- Epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel baru pada jaringan yang

(40)

- Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang ampak

berupa kapiler dengan sedikit sisa eritrosit. Dapat dilihat melalui

pewarnaan HE sebagai japiler dengan sisa eritrosit yang berwarna merah.

- Sel fibroblas adalah proses pembentukan jaringan ikat. Dapat dilihat

melalui pewarnaan HE sebagai zona sebabut berwana merah.

3.4 Perlakuan

Penelitian ini digunakan hewan coba ular sanca batik betina (Python

reticulatus) sebanyak 16 ekor yang diadaptasikan terlebih dahulu selama seminggu. Selama adaptasi diberikan makanan dan minuman secukupnya, serta

melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan.

Setelah masa adaptasi, ular sanca batik dikelompokkan secara acak secara

terbagi menjadi dua kelompok perlakuan dengan setiap kelompok tiap delapan

replikasi. Hari ke sepuluh akan dilakukan pengamatan makroskopis berdasarkan

skoring makroskopis dan akan dilakukan pembuatan preparat yang kemudian

dilakukan pengamatan mikroskopis berdasarkan skoring mikroskopis.

Sebelum dilakukan insisi untuk pembuatan luka, kapas Alkohol dioleskan

pada bagian kulit yang akan di anastesi, kemudian di berikan Lidokain (100

mg/kg BB) secara intra muscular dan di tunggu selama tiga menit agar ular

tersebut teranastesi. Insisi dilakukan pada sepertiga panjang tubuh dari kepala ular

sepanjang 2 cm dan kedalaman 0,3 cm. Kapas Alkohol diberikan terlebih dahulu

untuk membersihkan daerah muskulus yang akan diinsisi kemudian Scalpel

ditegakkan dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri bertindak sebagai

(41)

pada tangan kanan dan dengan membentuk sudut 30 – 40° dengan kulit. Insisi

dilakukan dengan menarik scalpel ke arah caudal (Asali, 1993).

Pengobatan dilakukan secara topical setelah 24 jam. Luka menunjukkan

gejala positif berupa keradangan akut dan nanah berwarna putih kekuningan.

Pengobatan dilakukan sehari sekali hingga terjadi kesembuhan luka dan

pengelupasan keropeng (Umar dkk., 2012). Pengobatan dilakukan dengan

mengoleskan betadine (mengandung povidone iodine 10%) pada P1 dan lendir

bekicot pada P2.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara kulit ular yang sudah diinsisi

di oleskan kapas alkohol kemudian diberikan Lidokain pada empat sisi yang

dilebihkan 1 cm dari sisi kanan, kiri, atas, dan sisi bawah pada bagian luka insisi

dan ditunggu selama sepuluh menit agar ular teranastesi. Kemudian jaringan kulit

di ambil dengan scalpel pada kedalaman 0,3 cm dan dilebihkan 1 cm dari sisi

kanan, kiri, atas, dan sisi bawah pada bagian luka insisi ular untuk kemudian

dibuat preparat histopatogy.

3.5 Penilaian Penyembuhan Luka

Penilaian penyembuhan luka insisi secara makroskopis pada kedua

perlakuan. Penilaian ini berdasarkan adanya kemerahan, bengkak dan exudat

(Nisbet et al.,2010).

Penilaian penyembuhan luka insisi secara mikroskopis dilakukan pada

daerah penyembuhan (healing center). Penilaian kedua perlakuan dapat di lihat

(42)

Variabel dan Deskripsi Skor

Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

sebanyak tiga perlakuan dengan setiap perlakuan enam ekor yang di amatai

setelah lima hari dan 10 hari. Maka untuk menentukan ulangan dalam penelitian

(43)

t ( n – 1 ) ≥ 15

2 ( n – 1 ) ≥ 15

2n – 2 ≥ 15

2n ≥ 17

n ≥ 8,5

n ≥ 8

3.7 Analisis Data

Data hasil pengamatan uji aktivitas lendir bekicot (Achatina fulica)

terhadap tingkat kesembuhan luka insisi secara makroskopis dan mikroskopis

pada ular sanca batik (Python reticulatus) yang sudah diberi skor kemudian diolah

dengan penilaian peringkat (rank) lalu dianalisis dengan uji statistic

nonparametric dengan Chi-Square Tests untuk mengetahui data penilaian

makroskopis dengan hasil positif atau negatif pada perbandingan kedua perlakuan.

Data penilaian mikroskopis akan dianalisis dengan Mann-Withney Test pada

tingkat signifikasi 5% untuk mngetahui kelompok mana yang memberikan hasil

berbeda nyata. Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan propgram SPSS

(44)

3.8 Diagram Alir Penelitian

8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)

Di beri Lendir bekicot

(Achatina fulica)

Analisis data Koleksi data

16 Ekor ular sanca batik (Python reticulatus)

P.1

8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)

Di beri betadine

P.1

8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)

Di beri betadine

P.2

8 ekor ular sanca batik (Python reticulatus)

Di beri Lendir bekicot

(Achatina fulica)

(45)

29

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Pengamatan Makroskopis

Subyek penelitian ini adalah Ular Sanca Batik (Python reticulatus),

sebanyak 16 ekor dengan berat badan 300 gram dan panjang dua meter. Sebelum

diberikan perlakuan, subyek penelitian dibuat luka sayat kemudian diberikan

perlakuan berupa betadin untuk perlakuan satu (P1) dan lendir bekicot (Achatina

fulica) secara topical untuk perlakuan dua (P2). Setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis.

Pengamatan terhadap perubahan proses penyembuhan ular sanca batik

(Python reticulatus) secara makroskopis dengan menggunakan penilaian

berdasarkan adanya kemerahan, bengkak, dan exudate (Nisbet et al.,2010).

Gambaran kulit ular sanca batik normal secara makroskopis dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 4.1 Gambaran makroskopis kulit ular sanca batik dalam keadaan

(46)

Gambar kulit ular sanca batik yang normal dilihat secara makroskopis

berbentuk sisik ular yang tersusun secara sejajar dan rapi.

4.1.1 Kemerahan

Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses

penyembuhan luka adanya kemerahan dianalisis menggunakan Chi-Square Tests

dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan.

Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Nilai persentase kemerahan pada kulit ular sanca batik dengan hasil

analisis menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan pada kulit ular

Kelompok

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.1 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat adanya perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok

(47)

Gambar 4.2 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan kemerahan yang

seperti yang tampak pada anak panah

4.1.2 Bengkak

Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses

penyembuhan luka yang berupa bengkak dianalisis menggunakan Chi-Square

Tests dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Nilai persen gejala klinis bengkak pada kulit ular sanca batik dengan hasil

analisis menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Nilai persen bengkak kulit ular

Kelompok

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.2 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok

(48)

Gambar 4.3 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan bengkak seperti

yang tampak pada anak panah

4.1.3 Exudate

Hasil pengamatan secara makroskopis terhadap perubahan proses

penyembuhan luka yang berupa exudate dianalisis menggunakan Chi-Square

Tests dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Nilai persentase exudate pada ular sanca batik dengan hasil analisis

menggunakan Chi-Square Tests dapat dijelaskan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Nilai persentase exudate kulit ular

Kelompok

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.3 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pemberian pengobatan terhadap tiap kelompok

(49)

Gambar 4.4 Hasil pengamatan makroskopis yang menunjukkan exudate seperti

yang tampak pada anak panah

4.2 Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan terhadap proses penyembuhan ular sanca batik (Python

reticulatus) secara mikroskopis menggunakan preparat histopatologi dengan menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) dari kulit ular sanca batik.

Penilaian dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400x. Data yang

diperoleh berupa data semikuantitatif atau skor (Lampiran 5). Proses

penyembuhan luka pada ular sanca batik yang diamati secara mikroskopis adalah

kolagen, epitelisasi, angiogenesis, dan fibrosis.

4.2.1 Kolagen

Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka

yang berupa pembentukan kolagen dianalisis menggunakan Mann-Withney Test

dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan

(P>0,05). Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil penilaian terhadap pembentukan kolagen pada kulit ular sanca batik

dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan pada

(50)

Tabel 4.4 Nilai rerata kolagen kulit ular

Kelompok Kolagen

P1

P2 9,567,44ᵇᵇ± ± 0,81 0,81

Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)

Keterangan :

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.4 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan

diberikan secara topical.

Gambar 4.5 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya

pembentukan kolagen (serangkaian serabut berwarna merah muda) seperti yang tampak pada anak panah (Pewarnaan H.E perbesaran 400x)

4.2.2 Epitelisasi

Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka

yang berupa adanya proses epitalisasi dianalisis menggunakan Mann-Withney Test

dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P<0,05).

(51)

Hasil penilaian terhadap adanya proses epitalisasi pada kulit ular sanca

batik dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan

pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Nilai rerata epitelisasi kulit ular

Kelompok Epitelisasi

P1

P2 11,315,69ᵇᵅ±± 0,80 0,80

Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05)

Keterangan :

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.5 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan terlihat

perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan kelompok

perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan diberikan

secara topical.

Gambar 4.6 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya proses

epitalisasi (berwarna kemerahan) seperti yang tampak pada anak panah (Pewarnaan H.E perbesaran 400x)

4.2.3 Angiogenesis

Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka

(52)

Test dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P>0,05) . Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil penilaian terhadap adanya proses angiogenesis pada kulit ular sanca

batik dengan hasil analisis menggunakan Mann-Withney Test dapat dijelaskan

pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Nilai rerata angiogenesis kulit ular

Kelompok Angiogenesis

P1

P2 9,757,25ᵇᵇ± ± 0,88 0,88

Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)

Keterangan :

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.6 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan

diberikan secara topical.

Gambar 4.7 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya proses

(53)

4.2.4 Sel Fibroblas

Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap proses penyembuhan luka

yang berupa adanya sel fibroblas dianalisis menggunakan Mann-Withney Test dan

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan (P>0,05).

Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil penilaian terhadap adanya sel fibroblas pada kulit ular sanca batik

dengan hasil analisis Mann-Withney Test dapat dijelaskan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Nilai rerata sel fibroblas kulit ular

Kelompok Sel Fibroblas

P1

P2 8,758,25ᵇᵇ± ± 0,51 0,51

Superkrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan (P>0,05)

Keterangan :

P1 : Diberi Betadin (mengandung 10% povidone iodine)

P2 : Diberi Lendir Bekicot (Achatina fulica)

Tabel 4.7 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak

terlihat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan satu (P1) dengan

kelompok perlakuan dua (P2). Pengobatan terhadap tiap kelompok perlakuan

(54)

Gambar 4.8 Hasil pengamatan mikroskopis yang menunjukkan adanya sel

(55)

BAB V PEMBAHASAN

Luka adalah masalah yang sering timbul pada ular piaraan. Pada akhir

tahun ini semakin banyak komunitas pencinta ular yang mempunyai kasus

perlukaan pada ular yang menyebabkan menurunnya kesehatan dan kecantikan

ular sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemiliknya.

Luka sayat sering terjadi pada ular sanca batik karena kurangnya

kebersihan kandang. Luka ini biasanya terjadi pada sekitar hidung, mulut dan

sering terjadi pada kulit. Hal yang dilakukan para pecinta reptil khususnya ular

untuk menyembuhkan luka tersebut sering menggunakan bahan kimia terutama

povidine iodin yang terdapat pada betadin. Menurut Muhammad, (2005) bahwa

betadin mengandung 10 % povidine iodine yang memiliki efek antimikroba dan

masih menjadi perdebatan karena menimbulkan efek toksik pada penelitian in

vitro tingkat sel.

Efek toksik yang ditimbulakan oleh betadin memicu masyarakat untuk

mencari alternatif pengobatan luka dengan bahan alami. Bekicot selama ini

dianggap sebagai hewan hama bagi petani yang dapat menimbulkan kerugian.

Pada kenyataannya bekicot mempunyai manfaat yaitu untuk proses penyembuhan

luka. Menurut Grahacendikia, (2009) lendir bekicot mengandung

glycosaminoglycan dan proteoglycan yang dapat mengikat senyawa copper

peptide di dalamnya. Secara teori, kedua senyawa ini memang bermanfaat untuk

(56)

5.1 Pengamatan Makroskopis

5.1.1 Kemerahan

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

proses penyembuhan luka yang berupa bengkak pada gambaran makroskopis. Hal

ini sesuai dengan tabel 4.1 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan

dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua

perlakuan.

Kemerahan terjadi akibat dari proses penyembyhan tahap inflamsi terjadi

setelah adanya luka. Proses ini terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga yang

ditandai dengan dua proses yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis atau

yang biasa disebut penghentian perdarahan adalah akibat dari fase kontriksi

pembuluh darah besar ke daerah luka, reaksi pembuluh darah, endapan fibrin yang

menghubungkan jaringan dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Proses

ini ditandai dengan adanya pembentukan pembuluh darah baru dan serabut fibrin

sehingga terlihat kemerahan. Pembentukan pembuluh darah dibantu oleh

makrofag untuk mengeluarkan factor angiogenesis yang merangsang

pembentukan ujung epitel di akhir pembuluh. Makrofag bersama factor

angiogenesis mempercepat proses penyembuhan luka seiring dengan

pembentukan pembuluh darah ke daerah sekitar luka akan membawa fibrin.

Seiring dengan perkembangan kapilarisasi jaringan, serabut fibrin akan berubah

(57)

makroskopisProses Inflamasi sangat penting karena berperan melawan infeksi

pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi (Morris,1990 dalam

Erwin, 2012).

5.1.2 Bengkak

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

proses penyembuhan luka yang berupa bengkak pada gambaran makroskopis. Hal

ini sesuai dengan tabel 4.2 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan

dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua

perlakuan.

Proses penyembuhan luka berupa bengkak pada kedua perlakuan

disebabkan oleh suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan dan

nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Selain nutrisi yang berkumpul

menjadi satu dipermukaan, protein memasuki ruang interstisial sehingga ruang

interstisial menjadi penuh. Bengkak yang terjadi pada proses penyembuhan ini

juga dapat disebabkan oleh infiltrasi neutrophil, makrofag, dan limfosit yang

berperan melawan bakteri pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi

(Morris,1990 dalam Erwin, 2012).

5.1.3 Exudate

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

(58)

proses penyembuhan luka yang berupa exudate pada gambaran makroskopis. Hal

ini sesuai dengan tabel 4.3 bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan

dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua

perlakuan.

Exudate yang terbentu pada kedua perlakuan disebabkan adanya

akumulasi cairan dan jaringan mati serta sel darah putih (SDP) membentuk

exudate pada daerah inflamasi. Exudate yang terbentuk dapat berupa cairan yang

berisi serosa yaitu cairan jernih seperti sel plasma, sanguinosa yang mengandung

sel darah merah atau purulent yang mengandung sel darah putih dan bakteri.

Akhrinya exudate akan dibersihkan oleh drainase limfatik. Trombosit dan protein

plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada tempat

inflamasi untuk mencegah penyebaran exudate (Oswari, 1993 dalam Erwin 2012).

5.2. Pengamatan Mikroskopis

5.2.1 Kolagen

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

proses penyembuhan luka yang berupa pembentukan kolagen pada gambaran

mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.4 bahwa kelompok perlakuan satu (P1)

dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara

kedua perlakuan.

Pembentukan kolagen pada proses penyembuhan luka terjadi pada fase

(59)

disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi

protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Menurut Oswari E,

(1993) dalam Erwin (2012), jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan

permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu

sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi

tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan

nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

5.2.2 Epitelisasi

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

proses epitalisasi pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.5

bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan

hasil yang berbeda nyata antara kedua perlakuan.

Epitelisasi atau proses pembentukan epitel yang terjadi pada proses

penyembuhan luka. Menurut Med J Indone (2009) epitelisasi terjadi pada hari ke

delapan setelah luka terbentuk. Epitelisasi terbentuk karena peranan scab

(keropeng) yang membantu hesmostatis sehingga mencegah masuknya

mikroorganisme sehingga epitel dapat terbentuk dengan sempurna (Morris,1990

dalam Erwin, 2012).

5.2.3 Angiogenesis

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

(60)

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

proses angiogesis pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.6

bahwa kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata antara kedua perlakuan.

Angiogenesis atau yang biasa disebut dengan pembentukan pembuluh

darah. Proses angiogenesis dimulai dari beberapa aliran pembuluh darah kecil

disekitar luka yang berkumpul menjadi satu untuk membentuk aliran darah baru

yang lebih besar. Banyak terdapat sel yang mempengaruhi proses tersebut salah

satu di antaranya adalah makrofag. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel

debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan

faktor angiogenesis yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh

darah. Makrofag dan factor angiogenesis bersama-sama mempercepat proses

penyembuhan (Morris,1990 dalam Erwin, 2012).

5.2.4 Sel Fibroblas

Kelompok perlakuan satu (P1) yang merupakan kelompok perlakuan

dengan pengobatan betadin serta kelompok dua (P2) yang merupakan kelompok

pengobatan lendir bekicot (Achatina fulica) secara topical menunjukkan adanya

sel fibroblas pada gambaran mikroskopis. Hal ini sesuai dengan tabel 4.7 bahwa

kelompok perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) yang menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata antara kedua perlakuan.

Proses pembentukan sel fibroblas terjadi pada fase terakhir. Hal ini

disebabkan proses pembentukan fibrin pada fase proliferasi sampai dengan proses

(61)

epitelisasi dan angiogenesis. Proses ini dimulai dengan fibroblast yang berpindah

dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi

jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan yang berwarna merah disebut

granulasi. Granulasi mempunyai sifat jaringan yang lunak dan mudah pecah.

Setelah granulasi pecah, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena

pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk

memperkuat jaringan ikat (Morris,1990 dalam Erwin, 2012).

Pengaruh proses di atas berkaitan dengan pengobatan yang diberikan pada

perlakuan. Perlakuan dua yang menggunakan lendir bekicot hasilnya lebih efektif

cepat menyembuhkan luka jika dilihat secara mikroskopis. Hal ini disebabkan

glycosaminoglycan dan proteoglycan yang terkandung dalam lendir bekicot

secara umum berfungsi untuk mencegah pembekuan darah. Mekanisme kerja

glycosaminoglycan dan proteoglycans adalah dengan meningkatkan pelepeasan

protein spesifik, seperti tissue plasminogen dan tissue factor pathway inhibitor

(TFPI) ke dalam darah untuk menghambat pembekuan darah. Hal ini juga dapat

meningkatkan aktivitas dari protein. Glycosaminoglycan dan proteoglycans

menambah aktivitas factor pembekuan yang selanjutnya akan menghambat zat

yang dapat menyebabkan angiogenesis (proses pembentukan pembuluh darah

baru) termasuk pertumbuhan endotel vascular, factor jaringan, dan

(62)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan yaitu

pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dapat mempercepat kesembuhan luka

insisi secara makroskopis dan mikroskopis pada ular sanca batik (Phyton

reticulatus).

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat, maka saran yang dapat

diajukan adalah sebagai berikut:

1. Dapat digunaan sebagai acuan untuk menangani kasus ular yang

mengalami perlukaan.

2. Dapat digunakan sebagai literatur bagi para peneliti lendir bekicot.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh mengenai lendir bekicot sebagai

Gambar

Tabel 4.1 Nilai persentase kemerahan ................................................
Gambar 2.1 Ular sanca batik (Python reticulatus) (dokumentasi pribadi, 2012)
Gambar 2.2 Gambaran anatomi tubuh ular (Mader, 2006)
Gambar 2.3 Peta penyebaran ular sanca batik (Barker et al., 1994; )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Membuktikan pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica) topikal terhadap kecepatan penyembuhan luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus Norvegicus)

Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi gelling agent CMC-Na terhadap viskositas dalam formulasi sediaan gel lendir bekicot (Achatina fulica) dan kecepatan penyembuhan luka bakar

Penelitian tugas akhir ini berjudul “Pengaruh Pemberian Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Luas Permukaan Luka Bakar Derajat II(B) pada Tikus Putih Strain Wistar

Lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki efektivitas terhadap peningkatan jumlah sel fibroblas pada luka pasca pencabutan gigi tikus wistar Jumlah sel fibroblast pada tikus

Hasil pengujian daya hambat pada masing-masing formula lendir bekicot (Achatina fulica) dengan variasi konsentrasi yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan

Penelitian yang dilakukan oleh Purnasari (2012) menyimpulkan bahwa Lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh yang bermakna terhadap jumlah fibroblas pada

Penelitian mengenai formulasi gel dari lendir bekicot (Achatina fulica) serta uji aktivitas pada bakteri Propionibacterium acnes dikerjakan dalam beberapa tahapan yaitu

Stabilitas masker gel peel-off lendir bekicot (Achatina fulica Bowdicth) dan ekstrak etanol daun binahong (Andredera cordifolia (Ten.) Steenis) variasi konsentrasi PVA 5% dan