1
Pokok-Pokok Pikiran tentang
RUU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERSPEKTIF HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)
Jakarta, Juni 2013
BAB I PENDAHULUAN Pengantar
1. Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia sesuai dengan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk melaksanakan fungsi pada Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dimana Komnas HAM berwenang melakukan penelitian/ pengkajian peraturan dan kebijakan terkait Hak Asasi Manusia untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.
2. Pokok-pokok pikiran ini merupakan lanjutan dari kajian tentang pembaruan RUU KUHAP yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan posisi Komnas HAM atas RUU KUHAP yaitu terhadap draf RUU KUHAP DPR RI edisi terakhir desember 2012. Komnas HAM memberi pandangan dari sudut pandang hak asasi manusia dalam hal ini hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum serta hak atas rasa aman terutama pada proses praajudikasi karena sebagian besar perlindungan HAM berada pada proses ini.
3. KUHAP yang ada sekarang dianggap belum mampu mensinergikan sejumlah ketentuan pidana materil yang hadir bersamaan dengan munculnya sejumlah peraturan baru. Dan yang paling penting adalah lemahnya jaminan hak asasi manusia yang kemudian berakibat pada kasus kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam setiap proses pidana, khususnya mereka pelaku kejahatan yang tidak mendapatkan bantuan hukum dan masih banyaknya cara penyelidikan yang dilakukan dengan cara mengancam, menakuti, dan sebagainya agar mendapatkan pengakuan dari tersangka
2 yang dilakukan dalam bentuk kekerasaan berupa penyiksaan secara fisik yang dilakukan oleh penyidik. Tidak adanya jaminan hukum yang jelas bagi saksi dan korban, juga berakibat pada lemahnya posisi saksi dan korban dalam proses pidana.
4. Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan tuntutannya dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diiinginkan harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas hukum dan HAM yang terkandung sebelumnya.
Kewajiban Negara atas Hak Asasi Manusia
5. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban
untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28I menjamin adanya peradilan yang adil. Dalam pasal 24 ayat (1) yang menyatakan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta pasal 28D ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
6. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang serta hak untuk tidak dihilangkan secara paksa merupakan perlindungan yang harus dijamin oleh negara. Hak ini tak bisa dikurangi dalam keadaan
apapaun (non derogable rights) termasuk dalam keadaan perang, bahkan hak untuk
hidup diakui sebagai hak asasi manusia yang paling fundamental dan paling tinggi
tingkatannya (the supreme human rights). Hak-hak ini diatur dalam beberapa kovenan
internasional yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2006, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yang disahkan PBB pada 10 Desember 1984, Prinsip bagi perlindungan semua orang dalam segala bentuk penahanan atau pemenjaraan yang disyahkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 Desember 1988.
Konsep Crime Control Model dan Due Process Model
7. Perubahan KUHAP saat ini tidak merujuk pada satu teori tertentu, namun hanya berdasarkan kepentingan aktor tertentu (Polisi, Jaksa dan hakim), pendekatan perubahan KUHAP ini memang tidak menggunakan pendekatan konseptual namun lebih banyak merupakan hasil study banding di beberapa negara.1
8. Dalam sistem hukum dikenal adanya 2 konsep utama dalam penegakan hukum pidana, yaitu pertama, Crime Control Model adalah sebuah model penegakan hukum yang tidak mementingkan proses dan sedikit banyak mengabaikan hak asasi manusia. Konsep ini harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Indonesia saat ini. Sistem yang mendasari crime Control Model adalah bahwa keberhasilan penyelesaian kejahatan didasarkan pada proposisi penindakan tindak pidana. Kegagalan penegakan hukum dipandang bisa menyebabkan runtuhnya ketertiban umum dan hilangnya suatu kondisi penting dari kebebasan manusia. Jika tidak bisa menangkap dan menghukum pelaku tindak pidana maka hukum tidak ditegakkan, hal ini menyebabkan
3 warga yang taat hukum kemudian menjadi korban, yang akhirnya mengurangi kebebasan seseorang sebagai anggota masyarakat. Crime Control Model mensyaratkan bahwa efisiensi dalam proses pidana beroperasi saat tersangka ditentukan bersalah. Seseorang yang telah ditangkap, diselidiki tanpa ditemukan cukup bukti namun sudah dianggap bersalah. Azas praduga tidak bersalah menjadi tidak berlaku disini, hal Ini berbeda dengan konsep Due Process Model. 2
9. Jika dilihat dari perspektif HIR, Negara masih sangat ingin berkuasa dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang. Begitu juga yang dianut dalam KUHAP dan draft perubahan KUHAP yang ada sekarang. Inquisisi selalu terkait dengan kekuasaan, dengan kata lain, sistem aquisator merujuk bahwa peran negara tidak boleh lebih dari 50% dan tekanannya pada proses bukan pada hasil. Sedangkan saat ini KUHAP berorientasi pada hasil sehingga menyebabkan penjara menjadi penuh, sehingga perlu dilihat dimana negara diletakkan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang ada di Negara ini?3
10. Crime control model menempatkan ketergantungan pada kemampuan petugas dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, dimana mereka diberi kekuasaan penuh, untuk
membuktikan tentang apa yang dituduhkan, sedangkan Due Process Model menolak
ketentuan ini, due proses model memiliki pandangan nonadjudicative pencarian fakta
yang menekankan kemungkinan kesalahan dan bisa melepaskan setiap upaya untuk memningkatkan kemampuan dalam proses pencarian fakta.4 Due Process Model adalah
model penegakan hukum yang menuntut adanya hearing, counsel, defense, evidence,
fair dan impartial court (Mardjono Reksodiputro, 1997). Dalam konsep ini yang tercakup di dalamnya adalah: (1) hak tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi; (2) dalam pemeriksaan terhadapnya diberi hak didampingi oleh penasihat hukum; (3) hak mengajukan pembelaannnya dan Penuntut Umum harus membuktikan kesalahan terdakwa di muka persidangan; dan (3) peradilan yang bebas dan tidak memihak (Mardjono Reksodiputro, 1997).5
11. Due process model tidak terlalu mempercayai kemampuan penyidik dan penuntut umum dalam penyidikan suatu kasus karena adanya pemahaman bahwa kemampuan manusia terbatas dalam merekonstruksi sebuah peristiwa dan seringkali dipengaruhi oleh emosi. Keterangan yang diberikan oleh saksi maupun tersangka seringkali didapat melaui tekanan-tekanan fisik maupun tekanan mental. Hal ini menyebabkan due process model menolak alat bukti yang didapat secara informal, sebaliknya menghendaki alat-alat bukti yang didapat, diproses secara formal, secara yudikatif. Due process model menghendaki agar si terdakwa diberi kesempatan yang penuh untuk didengar oleh sebuah badan peradilan yang independen, kesimpulan baru diambil setelah si terdakwa diberikan kesempatan untuk menantang alat-alat bukti yang diajukan untuk membuktikan kesalahannya.6
Prinsip dalam Hak Asasi Manusia
12. Peradilan yang fair adalah peradilan yang harus mengakui adanya azas praduga tak bersalah (presumption of innocence), ketentuan ini diatur di dalam Pasal 11 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusi yang berbunyi : Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan pelanggaran pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya. Pasal ini memiliki makna, bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya berdasarkan undang-undang yang berlaku dan pembuktian adanya
2 Herbert L. Packer, Two Models of the Criminal Process, www.hhs.csus.edu/.../Packer%20-%20Two%20M, diakses pada hari sabtu, 8 Juni 2013
3 Luhut M Pangaribuan, Op.Cit, 2013 4 Herbert L Packer, Op.Cit
5http://hukumformil.wordpress.com/2011/10/05/penggunan-konsep-crime-control-model-dalam-penyidikan/ yang diakses pada hari Sabtu, 08 Juni 2013
4 kesalahan harus dilakukan oleh peradilan yang terbuka dan merdeka, yang memberikan kemungkinan kepada terdakwa untuk membela diri, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh penasehat hukum.7
13. Pasal 7 African Charter on Human and People’s Rights, Pasal 8 American Convention on Human Rights dan Pasal 6 European Charter on Human Rights menjamin prinsip fair trial yang tercermin dalam sistem peradilan sejak proses investigasi sampai dengan putusan akhir. Fair trial tercakup di dalamnya:
a. Hak atas persamaan di depan pengadilan dan akses ke pengadilan b. Hak atas peradilan yang terbuka
c. Hak atas untuk diperiksa oleh independensi, kompetensi dan imparsialitas pengadilan yang dibentuk berdasarkan hukum
d. Hak atas praduga tidak bersalah
e. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan hak untuk bebas dari penyiksaan f. Hak untuk tidak menunda persidangan;
g. Hak untuk diberitahukan tuduhan/dakwaan secara cepat di dalam bahasa yang jelas dan dimengerti oleh terdakwa/tersangka
h. Hak untuk mempunyai waktu dan fasilitas layak untuk mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacara
i. Hak untuk memperoleh bantuan penerjemah j. Hak untuk mendapatkan pendampingan hukum
k. Hak untuk membela secara mandiri di persidangan atau melaui pengacara yang dipilihnya sendiri
l. Hak untuk tidak dipaksa mengatakan yang akan menjerat dirinya/ hak untuk diam m. Hak untuk menguji saksi yang memberatkan terdakwa/tersangka, hak untuk
menghadirkan saksi di depan persidangan n. Hak untuk banding (right to appeal)
o. Hak untuk tidak memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya. p. Hak atas didengar dengan adil (fair hearing)
q. Hak Untuk Dihormati Kehidupan Pribadi, Tempat Tinggal dan Korespondensi r. Hak Untuk Diperlakukan Manusiawi dan Bebas Dari Penyiksaan
s. Hak Atas Diberitahu Tuduhan Dalam Bahasa Yang Dimengerti t. Hak Atas Pendampingan Hukum
u. Hak Untuk Diam/Hak Untuk Tidak Dipaksa Mengakui Perbuatannya
v. Hak Untuk Menjaga Berkas Pemeriksaan (Tetap Rahasia) /The duty to keep records of interrogation
w. Hak Untuk Mempersiapkan Pembelaan dalam waktu dan fasilitas yang cukup/layak. x. Right to equality of arms and adversarial proceedings
14. Prinsip kemandirian peradilan merupakan salah satu ciri negara konstitusional yang modern yang diturunkan dari teori pemisahan kekuasaan. Diimana eksekutif, legislatif
dan yudikatif membentuk tiga pemisahan pemerintahan sebagai sebuah sistem check
and balances yang ditujukan untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan. Kemandirian ini berarti bahwa peradilan baik sebagai lembaga dan juga hakim-hakim dalam memutuskan kasus-kasus tertentu harus mampu melaksanakan tanggungjawab profesionalnya tanpa dipengaruhi oleh eksekutif, legislatif atau pihak-pihak lain yang tidak semestinya. Hanya peradilan yang mandirilah akan mampu membuat keadilan yang tidak memihak dan juga melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar setiap individu.
7 Mohammad Busjro Muqoddas, Radikalisme Islam dan Peradilan: Pengakomodasian Hak-Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Komando Jihad di Indonesia, http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/12%20Busyro%20M.pdf, diakses pada hari Sabtu, 08 Juni 2013
5 15. Prinsip kemandirian para hakim tidak dibangun untuk keuntungan personal dari para hakim itu sendiri, namun diciptakan untuk melindungi manusia dari kewenangan. Hal ini mengharuskan bahwa para hakim tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan kemauannya sendiri, tetapi kewajiban mereka adalah menerapkan hukum. Suatu sistem hukum yang berdasarkan
pada penghormatan rule of law juga membutuhkan jaksa-jaksa yang kuat, mandiri dan
tidak memihak, yang akan mampu menyidik atau menunut para pelaku kejahatan meskipun kejahatan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam jabatan resmi.
16. Konstitusi Indonesia juga menegaskan tentang prinsip negara hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Prinsip negara hukum ini mensyaratkan adanya keadilan dalam penerapan hukum (fairness in the application of the law) dan adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Ketentuan lebih lanjut mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman ini terdapat dalam pasal 24 UUD 1945 sesudah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Ayat (2) mengatakan: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." 17. Untuk mencapai kemandirian dan independensi kekuasaan kehakiman dan peradilan
salah satunya adalah adanya kemandirian dan Imparsialitas penegak hukumnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kemandirian dan imparsialitas pada dasarnya dikaitkan dengan peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Kemandirian dan imparsialitas penegak hukum ditunjukkan dengan sterilnya keputusan dan kebijakan yang dihasilkan oleh penegak hukum dari kepentingan-kepentingan politik yang berasal dari pemerintah maupun dewan perwakilan rakyat. Melalui kegiatan ini, peserta diajak untuk memahami kemandirian dan imparsialitas penegak hukum dalam kerangka sistem peradilan yang terpadu, mengingat sistem peradilan itu memiliki sub sistem-sub sistem tersebut memiliki fungsi-fungsi masing-masing sesuai dengan kewenangannya untuk saling menjaga/ mengontrol agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang/ melampaui kewenanganan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
18. Pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman dan kemandirian aparat penegak hukum dalam menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia ini kemudia memunculkan berbagai prinsip dan standar yang dibangun dalam sistem hukum hak asasi manusia internasional, Beberapa instrumen penting yang patut untuk dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah instrumen-instrumen
yang dikategorikan sebagai soft law, seperti Kode Etik bagi Aparatur Penegak Hukum,
Prinsip-prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Peradilan, Prinsip-prinsip Dasar Peranan Jaksa, dan Prinsip-prinsip Dasar Peranan Pengacara. Keempat instrumen tersebut terkait erat dengan fungsi badan-badan peradilan terkait dalam menjalankan kewenangannya untuk penanganan suatu perkara yang melalui proses peradilan.
19. Pasal 8 DUHAM menyebutkan ” Setiap orang berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional yang kompeten, terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak mendasar yang diberikanpadanya oleh konstitusi atau oleh hukum. Pasal 2 Ayat 3 ICCPR menyatakan Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji:
(a) menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat negara;
(b) menjamin agar setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan haknya oleh lembaga peradilan, administratif atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga yang berwenang lainnya, yang diatur oleh sistem
6 hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum;
(c) menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan upaya pemulihan tersebut apabila dikabulkan.
Tentang Hak atas keadilan
20. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum serta badan peradilan tanpa adanya diskriminasi ras, suku, agama, politik dan status sosial. Melalui UU No. 12 tahun 2005, pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) yang juga memuat tentang prinsip-prinsip penting yang tegaknya sebuah sistem peradilan yang adil. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
21. Sistem hak asasi manusia memuat prinsip hak atas peradilan yang adil (fair trial rights) dikandung dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak-hak pra-peradilan dalam kovenan ini termuat dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dimana bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum, setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya dan wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum dan berhak untuk mendapat ganti kerugian.
22. Merujuk Pasal 14 ayat (3f) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan. Pasal 14 ayat (3d) menyatakan untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya. Pasal 14 ayat (2) ICCPR
menyatakan, ”Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum”. Selanjutnya, Pasal 14 ayat (3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh. Begitupun, Pasal 14 ayat (1): Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
7 23. Pasal 14 ayat (6) ICCPR menyatakan: Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. Pasal 14 ayat (7) ICCPR menyatakan, “Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara”. Pasal 14 ayat (5)
ICCPR menyatakan, “Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan
kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum”. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 14 secara rinci menjabarkan pentingnya prinsip–prinsip fair trial untuk pengadilan yang adil dan tidak memihak dengan menyatakan bahwa:
“…setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum…”.
Prinsip ini tidak hanya berlaku untuk peradilan umum namun juga peradilan khusus, termasuk di dalamnya peradilan militer, sebagaimana dinyatakan oleh Komentar Umum Nomor 13 dan Pasal 10 DUHAM menyebutkan, “Setiap orang berhak, dalam persamaan yang penuh, atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak, dalam penentuan atas hak dan kewajibannya serta dalam setiap tuduhan pidana terhadapnya”.
Hak Atas Rasa Aman
23. Hak atas rasa aman dalam Konsep ICCPR yaitu, “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Hak rasa aman dalam ICCPR masuk ke dalam Pasal 9, yang berbunyi: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun
dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya. 3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera
dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. 4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau
penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. 5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak
sah, berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.
24. Komentar Umum Hak Sipil Politik No. 8 Pasal 9 Paragraf 1 menyatakan bahwa Pasal 9 yang mengatur mengenai hak atas kebebasan dan keamanan pribadi orang-orang seringkali dipahami secara sempit dalam laporan Negara-negara Pihak, dan oleh
8 mengidentifikasikan bahwa ayat (1) berlaku bagi semua perampasan kebebasan, baik dalam kasus-kasus pidana maupun dalam kasus-kasus lain seperti, misalnya, sakit jiwa, vagrancy, ketergantungan obat-obatan, tujuan-tujuan pendidikan, kontrol imigrasi, dan lain-lain. Adalah benar bahwa beberapa dari ketentuan Pasal 9 (sebagian dari ayat (2) dan keseluruhan ayat (3)) hanya berlaku bagi orang-orang yang dikenai dakwaan pidana. Tetapi selebihnya, dan secara khusus pentingnya jaminan yang ditetapkan di ayat (4), misalnya hak atas kontrol oleh pengadilan atas legalitas (sah atau tidaknya) suatu penahanan, berlaku bagi semua orang yang dirampas kemerdekaannya melalui penangkapan atau penahanan. Kemudian, Negara-negara Pihak, sesuai dengan pasal 2 ayat (3), juga harus menjamin bahwa suatu upaya pemulihan (remedy) yang efektif diberikan dalam kasus-kasus lain di mana seorang individu menyatakan bahwa dirinya telah dirampas kemerdekaannya yang merupakan pelanggaran terhadap Kovenan. 25. Paragraf 1 tersebut mengatur persoalan jaminan keamanan atas hilangnya kebebasan
bagi terpidana dalam menjalani pemeriksaan dan hukuman. Selanjutnya Paragraf 2 menyatakan Pasal 9 ayat (3) menentukan bahwa dalam kasus-kasus pidana, setiap orang yang ditangkap atau ditahan harus “segera” dibawa ke hadapan hakim atau petugas lain yang diberikan kewenangan oleh hukum untuk melaksanakan kekuasaan yudisial. Batasan waktu yang lebih ketat ditentukan oleh hukum di kebanyakan Negara Pihak dan, menurut Komite, penundaan tidak boleh lebih dari beberapa hari. Banyak Negara tidak memberikan informasi yang cukup mengenai praktik-praktik aktual berkaitan dengan hal tersebut. Komentar umum ini menjelaskan bahwa setiap pelaku/terpidana harus diberikan informasi dan penjelasan atas kasusnya yang dapat memberikan jaminan rasa aman terhadap kondisi kasusnya.
26. Paragraf 3 berpendapat bahwa Persoalan lain adalah mengenai total jangka waktu penahanan sebelum pengadilan. Dalam beberapa kategori kasus pidana di beberapa negara, persoalan ini telah menimbulkan beberapa persoalan bagi Komite, dan para anggota Komite mempertanyakan apakah praktik-praktik tersebut telah sesuai dengan hak “untuk diadili atau dibebaskan dalam jangka waktu yang selayaknya” berdasarkan ayat (3). Penahanan sebelum pengadilan harus menjadi pengecualian dan harus sesingkat mungkin. Komite mengundang adanya informasi mengenai mekanisme yang ada dan langkah-langkah yang telah diambil yang bertujuan untuk mengurangi jangka waktu penahanan semacam itu. Paragraf ini menjelaskan bahwa terpidana harus mendapatkan rasa aman atas status hukum (kepastian hukum) untuk kasusnya dalam waktu yang tidak lama.
27. Paragraf 4 berbunyi “Kemudian, jika yang dinamakan penahanan pencegahan (preventive detention) dilakukan untuk alasan-alasan keamanan umum, maka penahanan tersebut harus diawasi oleh ketentuan-ketentuan yang sama, misalnya bahwa penahanan tersebut tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan harus didasarkan pada alasan-alasan dan prosedur-prosedur yang dibentuk oleh hukum (ayat (1)), informasi mengenai alasan-alasan tersebut harus diberikan (ayat (2)), serta harus tersedia pengawasan pengadilan terhadap penahanan tersebut (ayat (4)) dan juga harus tersedia kompensasi jika terjadi pelanggaran (ayat (5)). Selain itu, jika terjadi tuduhan-tuduhan pidana terhadap kasuskasus semacam itu, maka harus diberikan perlindungan penuh berdasarkan pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 14.
28. prinsip-priinsip dasar yang wajib diberikan dalam menjamin hak atas rasa aman terhadap narapidana dan korban. Prinsip-prinsip dasar tersebut diadopsi dari Resolusi Nomor 45/111 pada 14 Desember 1990 yang telah diadopsi oleh majelis umum PBB tentang Prinsip-prinsip dasar tentang perlakukan terhadap tahanan, yaitu:
1. Semua tahanan harus diperlakukan dengan hormat karena martabat mereka yang inheren dan karena penghargaan mereka sebagai manusia.
2. tidak boleh terdapat diskriminasi berdasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau pandangan, asal usul kewarganegaraan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
9 3. Meskipun demikian, diperlukan penghormatan terhadap keyakinan religius dan kepercayaan kultural dari suatu kelompok yang diikuti oleh para tahanan, kapanpun kondisi lokal diperlukan.
4. Penjara bertanggung jawab atas pemeliharaan para tahanan dan atas perlindungan terhadap masyarakat dari kejahatan harus dilaksanakan untuk memelihara tujuan sosial negara yang lainnya dan tanggung jawabnya yang fundamental dalam memajukan kesejahteraan dan perkembangan seluruh anggota masyarakat.
5. kecuali terhadap batasan-batasan yang dapat ditunjukkan kebenarannya melalui pemenjaraan, seluruh tahanan harus mempertahankan hak asasi dan kebebasan dasar seperti yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM, dan dimana negara yang bersangkutan merupakan negara pihak Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsionalnya. Demikian juga dengan hak-hak lainnya yang diatur dalam kovenan PBB yang lainnya.
6. Seluruh tahanan harus memiliki hak untuk mengambil bagian dalam aktivitas kulturalnya dan kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk pengembangan kepribadian manusia seutuhnya.
7. Upaya-upaya yang ditujukan untuk penghapusan pengurungan tersendiri sebgai sebuah bentuk hukuman, atau untuk membatasi penggunaannya harus dilakukan dan didukung.
8. Kondisi-kondisi harus didiciptakan untuk memungkinkan para tahanan untuk melakukan pekerjaan yang dibayar secara layak, yang dapat memudahkan proses integrasi mereka kembali ke pasar tenaga kerja di negara tersebut, dan memungkinkan mereka untuk memperoleh dukungan finansial mereka dan bagi keluarganya.
9. seluruh tahanan harus memiliki akses pada sarana layanan kesehatan yang tersedia di negara tersebut tanpa diskriminasi yang didasarkan pada status hukum mereka.
10. dengan partisipasi dan bantuan dari masyarkat dan lembaga-lemabga sosial, dan dengan tetap menghormati kepentingan para korban, kondisi yang baik harus dicipatakan untuk proses reintegrasi dari bekas tahanan tersebut ke masyarakat pada situasi-situasi yang paling mungkin.
11. Prinsip-prinsip tersebut diatas harus diterapkan secara imparsial.
29. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tanggal 17 Desember 1979 tentang Code of Conduct bagi penegak hukum, Pasal 1 menyatakan bahwa ”Para penegak hukum, setiap saat dalam tugasnya yang diatur dengan undang-undang, wajib melayani masyarakat dan melindungi setiap orang dari dari tindakan-tindakan yang ilegal dan bertindak secara profesional”. Pasal ini tidak membatasi siapapun orang-orang yang ditahan yang melakukan tindak pidana.
30. Penghormatan terhadap hak para tersangka atau orang yang bermasalah dengan hukum
diatur dalam Pasal selanjutnya (Pasal 2) dimana, ”Dalam menjalankan tugasnya, para
penegak hukum wajib menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia setiap orang”. Pasal ini sejalan dengan sejumlah instrumen utama HAM internasional seperti DUHAM, ICCPR, CAT dan lain-lain. Pelarangan penggunaan kekerasan oleh para penegak hukum diatur
dalam Pasal 3, dimana disebutkan, ”Aparat penegak hukum dapat menggunakan
kekerasan hanya jika sangat diperlukan dan sejauh yang dibutuhkan untuk kinerja tugas mereka”. Ketentuan ini menjelaskan penggunaan kekerasan oleh para penegak hukum merupakan pengecualian dimana dilakukan untuk mencegah kejahatan atau dalam membantu penangkapan pelaku kejahatan yang disahkan oleh aturan hukum yang berlaku dan tidak ada satu tindakanpun yang dibenarkan diluar itu. Dalam konteks ini, penggunaan senjata api pun merupakan pengecualian khususnya ditujukan bagi pelaku anak-anak. Secara prinsip, penggunaan senjata api oleh para penegak hukum dilarang kecuali ada dugaan bahwa pelaku melakukan perlawanan bersenjata atau membahayakan kehidupan orang lain.
10
31. Pasal 4 Resolusi ini menyatakan, ”Tidak seorang penegak hukum dapat menimbulkan
atau mentolerir setiap tindak penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan...”. Hal ini sejalan dengan Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) dimana istilah “penyiksaan” dalam konvensi ini berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
32. Resolusi Nomor 45/110 tentang peraturan standar minimum untuk tindak non-penahanan atau yang dikenal dengan nama Peraturan Tokyo. Peraturan ini mengatur seperangkat prinsip dasar (standar minimum) bagi penggunaan tindakan non-penahanan dan pengamanan bagi tersangka sebagai alternatif dari tindakan pemenjaraan. Ruang lingkup peraturan ini dijelaskan secara tegas yakni dimaksudkan sebagai gerakan kearah depenalisasi dan dekriminalisasi serta bukan dimaksudkan untuk mencampuri atau memperlambat proses hukum yang sedang berlangsung.
33. Resolusi 43/173 mengenai Kumpulan Prinsip Bagi Perlindungan Semua Orang Dalam Segala bentuk Penahanan atau Pemenjaraan. Resolusi ini menjamin hak-hak
orang-orang yang ditahan sebagaimana bunyi Pasal 1 dari resolusi ini menyatakan, ”Semua
orang yang ditahan atau dipenjarakan dalam bentuk yang bagaimanapun harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan penghormatan atas martabat yang ada pada manusia”. Lebih tegas lagi, Pasal 3 menyatakan, ”Tidak boleh ada pembatasan atau pengurangan atas hak asasi dari orang-orang yang ditahan atau dipenjarakan dalam bentuk apapun..” Pasal 6 resolusi ini melarang tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi terhadap para tahanan apapun alasannya.
11
BAB II
PANDANGAN TENTANG RUU KUHAP
34. Berdasarkan hal diatas terdapat beberapa isu yang penting
35. Seperti yang telah diungkapkan bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dianggap belum mampu mensinergikan sejumlah ketentuan pidana materil yang hadir bersamaan dengan munculnya sejumlah peraturan baru, dan yang paling penting adalah lemahnya jaminan hak asasi manusia. RUU KUHAP harus melihat pengaturan tentang hak-hak tersangka yang telah diatur dalam ICCPR dan Pasal 19, 20, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia. Meskipun tersangka merupakan orang yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana, pada dirinya melekat hak-hak yang harus dipenuhi dalam setiap tahap pemeriksaan. Dalam prakteknya pemenuhan hak-hak tersangka masih tahap yang rendah, mulai dari tidak adanya kejelasan tentang tindak pidana yang disangkakan, jaminan mendatapkan akses bantuan hukum, hak untuk segera disidangkan, hak untuk menghadirkan saksi dan ahli yang meringankan, dll.
Beberapa hak dasar yang harus diatur dalam RUU KUHAP sebagai implementasi jaminan minimum hak-hak tersangka yang diatur dalam Pasal 14 ayat (3) ICCPR adalah: 1. Hak Untuk Diberitahukan tentang Kejahatan yang Dituduhkan dan Adanya Juru
Bahasa. Pasal 14 ayat (3) huruf a dan f memberikan jaminan bahwa jika seseorang dinyatakan sebagai tersangka maka dirinya harus saat itu juga diberitahukan tentang kejahatan apa yang diduga dilakukan olehnya. Tersangka harus diberitahukan tentang perbuatan yang dituduhkan, kapan, siapa korbannya, dimana dan alasan dia dijadikan tersangka. Hak Untuk mendapatkan informasi. Hal lain yang harus diberikan adalah hak untuk mendapat informasi dan penjelasan tentang semua hal itu dengan bahasa yang dimengerti. Dengan demikian, bantuan penterjemah tidak hanya kepada tersangka yang berkewarganegaraan asing akan tetapi penduduk Indonesia yang tidak bisa berbicara, tidak mengerti atau hanya mengetahui dan berkomunikasi dengan bahasa daerahnya sendiri.
2. Hak Mendapat Bantuan Penasihat Hukum. Tidak semua orang yang berperkara dan didjadikan tersangka mengerti dengan tuduhan yang disangkakan/ didakwakan terhadap dirinya. Belum lagi dalam proses pemeriksaan oleh Penyidik seringkali mendapatkan perlakukan yang bersifat intimidasi atau pemaksaan untuk mengakui sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan hal itu maka perlunya bantuan Penasihat Hukum untuk memberikan pendampingan agar memberikan kontrol terhadap Aparat Penegak Hukum lainnya dalam proses pemeriksaan untuk menemukan kebenaran materiil. Maka untuk kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum, selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Ketentuan ini jelas merupakan hak asasi paling mendasar bagi tersangka yang dijamin dalam Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR. Bagaimana jika tersangka/ terdakwa tidak memiliki sumber daya yang dapat mengakses bantuan hukum, maka Negara bertanggungjawab untuk menyediakan bantuan penasihat hukum yang diberikan tidak saja kepada tersangka yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun atau dihukum mati, akan tetapi bagi seluruh tersangka yang tidak mampu. Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang Bantuan Hukum seharusnya menjadi dasar bagi penyusun RUU KUHAP untuk memasukan kewajiban Negera untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma melalui penasihat hukum kepada tersangka/terdakwa dalam setiap tahap pemeriksaan, khususnya bagi tersangka/terdakwa yang tingkat perekonomiannya rendah.
12 3. Hak untuk tetap Berkomunikasi. Meskipun status hukum telah ditetapkan sebagai tersangka, akan tetapi hak-hak dasar untuk berhubungan atau berkomunikasi tetap harus diberikan akses, khususnya komunikasi dengan keluarga, penasihat hukum, dokter dan rohaniawan (ustad, pendeta, dll). Komunikasi ini dapat berlangsung baik melalui tatap muka dan surat menyurat. Sebagai contoh, Komnas HAM juga melakukan korespondensi dengan salah dua orang terpidana hukuman mati di Lapas Klas IA Pontianak untuk menyampaikan perkembangan penanganan Grasi yang dimohonkan kepada Presiden RI dan Ketua Mahkamah Agung RI. Untuk menjamin kerahasiaan atau privasi tersangka, maka surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau dengan sanak keluarganya tidak boleh diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau pejabat Rumah Tahanan Negara.
4. Hak untuk Meminta Dihadirkan Saksi atau Ahli yang Meringankan. Dalam penyidikan,
tersangka berhak mengajukan permohonan dihadirkan saksi atau ahli yang meringankannya. Misalnya, seseorang yang dituduh telah melakukan tindak pidana pembunuhan maka dirinya berhak meminta sesorang yang melihat, mendengar atau mengetahui secara langsung untuk memberikan keterangan, sehingga terjadinya pembunuhan karena alasan untuk membela diri, misalnya akibat pemerkosaan ataupun pelecehan seksual. Sedangkan ahli yang dihadirkan karena keahliannya akan memberikan keterangan yang relevan dengan peristiwa atau tindak pidana yang disangkakan yang akan mewarnai pemikiran/ pertimbangan Penyidik untuk meneruskan atau menghentikan perkara yang sedang diproses. Hak tersebut dengan jelas dijamin dalam Pasal 14 ayat (3) huruf d dan e ICCPR, sehingga pemenuhannya menjadi kewajiban dari Penegak Hukum, terutama Penyidik.
5. Hak untuk Menuntut Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Dalam hal seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau kesalahan mengenai penerapan hukumnya, maka ia berhak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Jaminan pemenuhan atas Hak tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 9 ayat (5) ICCPR. Dengan demikian, diharapkan Penyidik tidak akan sembarang dalam melakukan pemeriksaan atau menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa minimal alat bukti.
Pemeriksaan Pendahuluan
29. Upaya paksa adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
penyadapan, dan membawa secara fisik tersangka ke hakim pemeriksaan pendahuluan. Upaya paksa merupakan perampasan kemerdekaan. Meskipun demikian harus dipastikan agar tidak menjadi kesewenang-wenangan yang terselubung, pengawasan tidak bisa hanya menjadi kekuasaan internal dengan sebutan diskresi.
30. Tertangkap tangan atau heterdaad (ontdeking op heterdaad) dalam RUU KUHAP masih mengadposi ketentuan dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Unsur yang harus dipenuhi jika seseorang dinyatakan tertangkap tangan adalah jika seseorang sedang melakukan, atau segera sesudah melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana, atau apabila padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau hasil
tindak pidana. Pengertian istilah “dengan segera” bisa menimbulkan kesulitan dalam
praktek dan bisa mengundang ekses negatif dalam pelaksanaan. Petugas dapat memberi penafsiran sendiri-sendiri mengenai batas waktu jika dalam undang-undang
tidak mengatur dengan tegas8. Pengaturan jangka waktu harus bersifat jelas karena
menyangkut penggunaan upaya paksa diantaranya penangkapan dan penahanan. Tersangka yang diduga tertangkap tangan harus segera diberitahukan tentang kesalahan yang dituduhkan kepadanya, diberikan salinan surat perintah penangkapan
13 kepada tersangka dan keluarganya dan diberikan sepenuhnya jaminan atas hak-haknya9.
31. Perlu disambut baik adalah penyusun RUU KUHAP yang telah merumuskan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (5) yang mengatur bahwa 1 (satu) hari setelah penangkapan (dalam hal tertangkap tangan) maka Penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan memberikan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarganya. Kata kunci dari rumusan ini adalah tentang jangka waktu yang tegas sehingga memberikan jaminan bahwa tidak ada seorang yang ditahan dengan cara sewenang-wenang dan tanpa tanpa alasan-alasan yang sah sesuai prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Untuk itu, Penyidik wajib memberitahukan tuduhan yang dikenakan pada saat penangkapannya atau segera setelahnya paling lama 1 (satu) hari. Meskipun demikian yang perlu mendapat perhatian adalah tindakan-tindakan penyidik yang “menyimpang” di lapangan untuk menangkap seseorang misalnya dalam razia, baik terorisme atau narkotika, dll jangan sampai justru Penyidik menaruh sesuatu sebagai alat bukti, misalnya dalam mobil agar dapat diproses pidana. Bagaimana prosedur dan mekanisme dalam proses razia yang perlu dipertegas melalui Keputusan Kapolri.
32. Selama konsep pemeriksaan pendahuluan masih sama dengan yang ada seperti saat ini, maka rekening polisi akan semakin gendut. Standart dari pemeriksaan pendahuluan
adalah bukti permulaan yang cukup yang dapat mendasarkan seseorang menjadi
tersangka. Kemudian untuk bisa ditahan digunakan terminology bukti yang cukup, dalam hal hanya satu yang dijadikan dasar yaitu adanya ‘kekhawatiran’ baik untuk menghilangkan barang bukti ataupun melarikan diri. Sehingga sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka terlebih dahulu harus ditetapkan bukti permulaan yang cukup. Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak adanya keterbukaan terkait dengan penetapan bukti permulaan yang cukup. Dalam konsep KUHAP yang berlaku sekarang, keterbukaan ini baru dapat terlihat saat penyitaan dimana seseorang telah ditahan. Dari sudut pandang HAM ini tidak dapat diterima, dikarenakan kebebasan seseorang tidak dapat disandingkan dengan benda. Orang harusnya lebih dihargai daripada benda. Padahal untuk menyita benda harus izin pengadilan sedangkan untuk menahan seseorang tidak diperlukan.10 Definisi bukti permulaan yang cukup semakin tidak jelas. Di draft KUHAP sudah ada definisi bukti permulaan yang cukup, tetapi tidak sama antara Pasal 13 dengan Pasal 55.11
Penyidikan
33. Pasal 20 ayat (1) berbunyi “Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan melihat dan mendengar pemeriksaan” dan pasal penjelasannya menyatakan bahwa “Penasihat hukum dalam ketentuan ini mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif”.Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Rumusan kata “dapat” tidak memberikan kepastian sehingga perlu dirubah menjadi
berhak dalam setiap tingkat pemeriksaan termasuk penyidikan maka tersangka atau
terdakwa berhak untuk didampingi penasihat hukum. Demikian halnya dalam penjelasan seharusnya posisi Penasihat Hukum bukan hanya benar-benar “pasif” akan tetapi dapat memberikan masukan atau komentar jika Penyidik melakukan tindakan yang bersifat
intimidasi atau pertanyaan yang menjerat.Pasal 9 kovenan sipil dan politik berhubungan
erat dengan Pasal 14 ayat (3d) menyatakan untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki
9 Ibid
10 Luhut M Pangaribuan, Op.Cit, 2013
14 dana yang cukup untuk membayarnya. Jadi ketentuan mengenai pembelaan ini harus disediakan dan tidak dapat dibatasi.
34. Setiap orang, apapun kewarganegaraannya, jenis kelaminnya, agamanya, rasnya memiliki hak untuk bebas dan tidak ditahan secara sewenang-wenang. Penahanan yang dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku merupakan bentuk perampasan terhadap kebebasan seseorang yang kemudian akan bermuara pada pelanggaran terhadap HAM. Sebaliknya, penahanan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku merupakan salah satu cara yang sah (legitimate) dalam rangka
penegakan hukum. Setelah adanya bukti permulaan adalah penangkapan terhadap
tersangka namun seringkali penangkapan dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak tersangka yaitu penangkapan dilakukan tanpa adanya surat perintah seharusnya keluarga mendapatkan salinan/ tembusan dari surat penangkapan/ penahanan, hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran dari aparat penegak hukum bahwa tersangka akan kabur atau menghilangkan barang bukti. Dalam setiap penangkapan harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan tetap membacakan hak-hak tersangka karena jika tidak dilakukan maka penangkapan dinilai tidak sah dan dapat di praperadilankan.
35. Pasal 55 RUU KUHAP dinyatakan bahwa perintah penahanan dilakukan
berdasarkan bukti yang cukup, jadi bukan lagi bukti permulaan yang cukup dengan kekuatiran (bukan keyakinan) tersangka/ terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Jadi jelas bahwa dalam RUU ini hanya diperlukan bukti yang cukup bukanlah bukti permulaan yang cukup dan adanya kekhawatiran bukanlah suatu keyakinan bahwa tersangka/ terdakwa akan
melarikan diri. Penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh kepolisian
akhirnya akan membuka peluang bagi pelanggaran lainnya seperti penyiksaan seperti kekerasan yang dilakukan secara fisik maupun kekerasan yang dilakukan dengan cara intimidasi agar tersangka mengakui kejahatan yang dilakukannya. Hukum Internasional Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjamin bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh Negara. landasan hukum yang telah dimiliki indonesia yang turut mengecam tindak penyiksaan dan/ atau menjatuhkan sanksi pada pelakunya, misalnya dalam Ketetapan MPR No.XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (khususnya pasal 351-358 dan 422), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Namun, definisi tentang penyiksaan yang digunakan masih sempit dan perlu mengadopsi definisi penyiksaan berdasarkan isi dari konvensi menentang
penyiksaan/ CAT.
36. Penahanan adalah bentuk dari pengingkaran HAM karena dilakukan sebelum adanya putusan hukum yang final dan berkekuatan hukum tetap. Pembatasan atas hak tersebut harus secara jelas dinyatakan dalam RUU KUHAP. adanya kewenangan yang penuh kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk menentukan apakah tersangka/terdakwa ditahan atau tidak dengan pertimbangan alasan subyektif karena adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran. Syarat subyektif tersebut haruslah melihat fakta-fakta yang ada mengenai pentingnya penentuan tersangka dapat ditahan atau tidak. Penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh kepolisian akhirnya akan membuka peluang bagi pelanggaran lainnya seperti penyiksaan seperti kekerasan yang dilakukan secara fisik maupun kekerasan yang dilakukan dengan cara intimidasi agar tersangka mengakui kejahatan yang dilakukannya. Hukum Internasional Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjamin bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh Negara.
37. Jangka waktu penahanan dalam masa penyidikan yang tidak secara jelas diatur antara proses penyelidikan dan penyidikan. Penahanan dalam pemeriksaan kasasi sering dilakukan tanpa alasan jadi seringkali ada penahanan tanpa alasan, hal ini memerlukan tindakan yang lebih profesional dari para penegak hukum khususnya penyidik yang
15 mengacu pada Kuhap. Lamanya masa penahanan juga menjadi masalah karena jika pemeriksaan hanya dilakukan satu kali kenapa harus dilakukan penahanan selama 20 hari, Hal ini akan menyebabkan tahanan menumpuk. Penahanan dengan perpanjangan waktu bisa dilakukan hanya untuk kasus-kasus yang sulit dan memerlukan pembuktian yang lama misalnya korupsi dan terorisme.
38. Penahanan terhadap anak dibawah umur seringkali terjadi, anak yang berurusan dengan hokum seringkali mengalami penyiksaan dan ditahan bersama-sama dengan orang dewasa serta seringkali tidak bisa dijenguk oleh keluarganya dan tanpa pendampingan hokum. Seharusnya perlakuan terhadap anak yang berurusan dengan hokum ini mendapatkan perlakuan khusus dan upaya penahanan hanya merupakan upaya paling akhir dalam proses penyidikan dan harus disesuaikan dengan pasal 16 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dimana setiap anak harus memperoleh perlindungan dari penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dari tindakan hokum, hal ini seyogyanya diatur lebih lanjut dalam RUU KUHAP. Yang paling rentan terhadap kasus penahanan yang mengalami kekerasan selain anak adalah perempuan, seringkali perempuan menjadi obyek penderita seperti pada saat memperoleh keterangan seringkali mengalami pelecehan seksual dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian dan tidak jarang mengakibatkan korban menjadi depresi berat serta kesulitan bukti untuk melaporkan kasus pelecehan ini karena menyangkut institusi kepolisian yang akhirnya tahanan perempuan mengalami penderitaan ganda. Perlu ditambahkan pengaturan dalam pasal 59 mengenai “Penahanan terhadap anak dan perempuan harus merupakan upaya akhir dari proses hokum dan harus bebas dari intimidasi dan penyiksaan”.
39. Lamanya masa penahanan juga menjadi masalah karena jika pemeriksaan hanya dilakukan satu kali kenapa harus dilakukan penahanan selama 20 hari, Hal ini akan menyebabkan tahanan menumpuk. Penahanan dengan perpanjangan waktu bisa dilakukan hanya untuk kasus-kasus yang sulit dan memerlukan pembuktian yang lama misalnya korupsi dan terorisme. Namun dalam RUU KUHAP Pasal 60 dinyatakan bahwa masa penahanan oleh penyidik dibatasi selama-lamanya 5 (lima) hari dan selanjutnya dihadapkan pada hakim pemeriksa pendahuluan untuk ditentukan apakah masa penahanannya dapat diperpanjang atau tidak, apabila diperpanjang selama-lamanya adalah 25 (dua puluh lima) hari. Untuk kejahatan yang sifatnya biasa lebih baik tidak dilakukan penahanan dan hanya dengan memberikan jaminan berupa jaminan orang/ uang. Menurut Nowak, masa penahanan yang sangat lama akan menyebabkan terjadinya praktek penyiksaan dan dapat memperburuk kondisi tersangka, praktek internasional yang hanya membolehkan polisi menahan tersangka selama 2x24 jam.12 40. Prosedur perpanjangan dan pengawasan penahanan dapat memperpanjang birokrasi
dan administrasi peradilan pidana, hal ini didasarkan pada kewenangan penahanan yang tidak perlu diawasi melalui perpanjangan hakim pemeriksa pendahuluan. Jadi diberikan kebebasan kepada tersangka/ terdakwa untuk menentukan sendiri apakah upaya paksa berupa penahanan itu dianggap tidak sah atau merugikan dan diberikan hak untuk mengajukannya kepada hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim pra peradilan.13 41. Banyaknya penahanan yang dilakukan tidak sebanding dengan ancaman yang
dijatuhkan dimana seharusnya yang ditahan adalah tersangka/terdakwa yang mengalami ancaman hukuman diatas lima tahun namun kenyataannya sekarang ini hanya karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman satu tahun bisa ditahan yang akan mengakibatkan tahanan membludak. Dalam Pasal 64 RUU KUHAP, penahanan hanya dilakukan dalam rumah tahanan Negara dan sudah tidak diatur lagi mengenai penahanan kota dan rumah karena tidak memenuhi tujuan penahanan yaitu agar tersangka/ terdakwa tidak melarikan diri, tidak merusak barang bukti, dan tidak
12 Lihat Manfred Nowak
13 M. Arif Setiawan, Bahan masukan revisi RUU KUHAP, disampaikan sebagai bahan masukan kepada KOMNAS HAM RI, Yogyakarta, 19 November 2011
16 mengulangi tindak pidana14. Bagaimana dengan kapasitas rumah tahanan yang hanya sedikit di Indonesia? Dan jika dititipkan di tahanan kepolisian akan sangat rentan mengalami penyiksaan, pemerasan dan intimidasi, Hal ini dapat diatasi dengan dikembangkannya mekanisme pengawasan dan pelaporan barang bukti yang telah dilakukan dengan penyitaan oleh penegak hokum.
42. Pasal 67 RUU KUHAP membolehkan adanya perubahan status penahanan. Untuk itu disyaratkan adanya jaminan baik berupa orang maupun uang. Namun dalam prakteknya jaminan berupa orang seringkali akhirnya menimbulkan masalah jika tersangka/ terdakwa melarikan diri kadangkala tidak ada yang bisa bertanggungjawab, sedangkan jaminan berupa uang seringkali dijadikan sebagai alasan bagi penegak hokum untuk meminta uang jaminan kepada setiap tersangka hanya untuk kepentingan pribadi dan tidak jelas uang jaminan tersebut masuk kemana? Hal ini perlu pengaturan yang jelas. 43. Penangkapan dan penahanan terhadap anak dibawah umur seringkali terjadi, anak yang
berurusan dengan hokum seringkali mengalami penyiksaan dan ditahan bersama-sama dengan orang dewasa serta seringkali tidak bisa dijenguk oleh keluarganya dan tanpa pendampingan hokum. Seharusnya perlakuan terhadap anak yang berurusan dengan hokum ini mendapatkan perlakuan khusus dan upaya penahanan hanya merupakan upaya paling akhir dalam proses penyidikan dan harus disesuaikan dengan pasal 16 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dimana setiap anak harus memperoleh perlindungan dari penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dari tindakan hukum, hal ini seyogyanya diatur lebih lanjut dalam RUU KUHAP. Yang paling rentan terhadap kasus penahanan yang mengalami kekerasan selain anak adalah perempuan, seringkali perempuan menjadi obyek penderita seperti pada saat memperoleh keterangan seringkali mengalami pelecehan seksual dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian dan tidak jarang mengakibatkan korban menjadi depresi berat serta kesulitan bukti untuk melaporkan kasus pelecehan ini karena menyangkut institusi kepolisian yang akhirnya tahanan perempuan mengalami penderitaan ganda karena merupakan delik aduan yang harus dilaporkan sendiri oleh korban sedangkan korban ini sendiri berada dalam tahanan yang bersama-sama dengan pelaku. Penahanan yang dilakukan bagi anak dan perempuan seharusnya merupakan upaya terakhir yang dilakukan karena perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan, dampak buruk pertama akibat penahanan anak yang bermasalah dengan hokum ditahan adalah anak akan mendapat ancaman kekerasan di tahanan baik oleh petugas atau tahanan lain. Perlu ditambahkan pengaturan dalam pasal 59 mengenai “Penahanan terhadap anak dan perempuan harus merupakan upaya akhir dari proses hokum dan harus bebas dari intimidasi dan penyiksaan”.
44. RUU KUHAP mengatur tentang aturan baru yang tidak pernah ada dalam KUHAP yaitu mengenai pengaturan intersepsi atau penyadapan. Dalam hal penyadapan, yang dimuat dalam Pasal 83 dan 84 RUU KUHAP telah memperkenalkan upaya paksa penyadapan sebagai upaya yang sangat efektif untuk mengatasi kesulitan dalam pengungkapan kejahatan yang umumnya dilakukan sangat rahasia dan tersembunyi namun hanya diperkenankan untuk kasus tertentu yang dipandang serius seperti tindak pidana terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyelundupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran HAM berat, psikotropika dan narkotika, serta pemerkosaan, yang hanya didasarkan pada keperluan.
45. Masalah penyadapan ini akan menimbulkan suatu masalah baru yaitu terjadinya konflik hak seseorang yang dapat mengganggu hak asasinya khususnya terkait dengan kebebasan pribadi. Sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan penyadapan karena aturannya belum jelas dan harus merupakan kepentingan yang mendesak dan dilaksanakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak
17 dilakukan secara sewenang-wenang oleh penegak hokum karena akan melanggar hak privasi orang lain, dalam penyadapan mengandung prinsip velox et exactus yang artinya bahwa informasi yang disadap haruslah mengandung informasi terkini dan akurat. Dan harus mengandung kepentingan khusus yang dilakukan dengan cepat.
46. Dalam Pasal 28F UUD 1945 telah memberikan jaminan terhadap hak pribadi yang tidak dapat dilanggar dengan cara apapun karena merupakan hak asasi yang dilindungi oleh negara. Jaminan terhadap kerahasiaan pribadi seseorang merupakan hak asasi yang bersifat universal dan telah diakui secara internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 17 Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. Berarti, hak pribadi yang telah dijamin oleh Pasal 17 ICCPR sama dengan makna Pasal 28F UUD 1945 yang memberikan jaminan terhadap hak konstitusional warga negara untuk berkomunikasi tanpa adanya gangguan. Menjadi sebuah permasalahan ketika penyadapan yang dianggap sebuah intervensi dari hak atas privasi berkomunikasi digunakan oleh aparatur negara dalam penegakan hokum, oleh karenanya harus ada pengaturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan dengan pembatasan penyadapan hanya dapat dilakukan bagi orang yang benar-benar dicurigai atau disangkakan mengenai kejahatan tertentu dan tidak bisa dilakukan terhadap sembarang orang, hasil informasi dan pengumpulan data yang didapat hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan sebuah kejahatan dan tidak untuk dikonsumsi public dan hanya dapat diungkap dalam lembaga peradilan serta hanya hal-hal yang terkait saja yang boleh diungkapkan yang berhubungan langsung dengan kejahatan hal ini berhubungan dengan hak privat yang berlaku bagi semua orang. Dan sebaiknya diatur secara jelas dalam kuhap yang baru mengenai ketentuan pembatasan pengungkapan informasi hasil penyadapan, sehingga perlu penambahan rumusan mengenai “Hasil penyadapan hanya dapat diungkap di lembaga peradilan dan yang diperdengarkan hanya mencakup tentang obyek perkara saja”.
Alat Bukti
47. Dalam RUU KUHAP telah memperkenalkan wajah baru terhadap bukti yang merupakan perluasan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dengan tidak membedakan alat bukti dengan barang bukti (real
evidence, physical evidence atau material evidence). Alat bukti yang sah dalam Pasal 175 RUU KUHAP mencakup: barang bukti; surat-surat; bukti elektronik; keterangan
seorang ahli; keterangan seorang saksi; keterangan terdakwa; dan pengamatan hakim15.
Dengan telah dirumuskannya ketentuan bahwa Penyidik dan JPU berkewajiban untuk mengumpulkan alat bukti dengan cara-cara yang tidak melawan hukum dan hanya alat bukti yang diperoleh secara sah menurut hukum yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa di hadapan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 175 ayat (2) RUU KUHAP, maka doktrin pembuktian yang bersifat the exclutionary rule sebagaimana diatas dan upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi tersangka/terdakwa dalam proses pengumpulan alat bukti untuk tidak dipaksa (disiksa, rekayasa, dll) agar mengakui kesalahannya sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR telah diadopsi dalam RUU KUHAP ini. Terdapat beberapa hal yang harus dirumuskan dalam proses pengumpulan atas bukti, yaitu:
a. Bagaimana mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Hakim pemeriksa pendahuluan dalam memutuskan atau menetapkan kebasahan tentang bukti yang
diperoleh secara melawan hukum. Jika proses pre trial ini dapat berjalan dengan
baik, maka fungsi Majelis Hakim dalam persidangan selanjutnya khususnya agenda pemeriksaan bukti akan lebih efisien sesuai asas peradilan cepat dan sederhana, sehingga kepastian hukum bagi terdakwa menjadi jelas apakah dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Kedepannya dalam proses pembuktian maka Hakim hanya akan melakukan tindakan: pertama, mendengar penyebutan alat-alat bukti apa saja yang
15 Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagaimana civil law secara limitatif menentukan alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa/tersangka.
18 dapat dipakai untuk mendapat gambaran dari peristiwa pidana yang sedang diadili; kedua, memeriksa penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan; ketiga, menilai bagaimana kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu.16 b. Perlunya perumusan tentang sanksi bagi Penyidik dan JPU yang terbukti telah
melakukan tindakan secara melawan hukum dalam proses pengumpulan alat bukti, misalnya melakukan penyiksaan ataupun merekayasa perkara, sebab perbuatan mereka tidak saja hanya melanggar kode etik dan profesi akan tetapi juga sering berupa tindak pidana yang diancam dalam KUHP.
48. Perlunya rumusan yang lebih jelas mengatur tentang pencarian alat bukti dalam tindak
pidana yang bersifat extra ordinary crime dan harus tetap dijaga rambu-rambunya
sebagai contoh dalam penyadapan. Penyadapan terhadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain pada dasarnya harus dilarang, kecuali penyadapan tersebut terpaksa harus dilakukan karena untuk mengungkap suatu tindak pidana. Untuk menjamin hak asasi manusia, maka pembatasan hak individual seseorang melalui penyadapan ini harus terlebih dahulu mendapat ijin dari Pengadilan (Hakim) dan benar-benar dilakukan terhadap orang yang terindikasi pelaku tindak pidana serta jangka waktunya jelas, sehingga Penyidik tidak bertindak sewenang-wenang. Artinya, harus ada minimal satu alat bukti yang dapat menjadi dasar Penyidik untuk meminta izin.
49. Pelaksanaan asas peradilan yang bersifat cepat, sederhana dan biaya murah sebenarnya merupakan implementasi ketentuan Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 14 ayat (3) huruf c IICPR yang mengatur bahwa seseorang yang disangka melakukan tindak pidana untuk diadili dengan segera untuk menentukan apakah dirinya dinyatakan bersalah atau tidak. Memang tidak ada rumusan limitasi waktu yang tegas, akan tetapi haruslah tetap berada pada kepatutan seberapa lama sebenarnya pengumpulan alat bukti ini diperlukan sehingga penyidik tidak berlarut-larut. Belarut-larutnya proses penyidikan, selain merugikan kepentingan korban sekaligus juga merugikan terhadap tersangka yang menyandang status tersebut tanpa ada kepastian hukum. Andaikan dinyatakan bersalah, maka tersangka memiliki hak untuk dilakukan pembinaan di Lapas. Pasal 88 RUU KUHAP mengatur bahwa 1 (satu) hari sejak ditahan atau ditangkap harus sudah dilakukan pemeriksaan, dalam waktu 60 (enam puluh) hari berkasnya harus sudah diserahkan kepada JPU, akan tetapi jika tersangka tidak ditahan maka paling lama 90 (sembilan puluh) hari sudah harus diserahkan kepada JPU. Jika masih diperlukan untuk kepentingan penyidikan maka dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari dan 30 (tiga puluh) hari perpanjangan. Dengan demikian total sebanyak 150 (seratus lima puluh) hari diperlukan dalam proses penyidikan sebelum diserahkan berkas perkara dan tersangkanya kepada JPU.
50. Terhadap tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime pengaturan jangka waktu
sejak seseorang dinyatakan sebagai tersangka dan/atau dilakukan penahanan sampai dengan penyerahan tersangka dan berkas perkaranya ke Jaksa Penunut Umum memerlukan waktu yang cukup lama, sebagaimana ketentuan di atas dapat diterima alasannya. Akan tetapi, dalam tindak pidana yang pembuktiannya relatif sederhana jangka waktu tersebut sangat panjang, tidak memberikan kepastian hukum dan
berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) karena interkasi
dengan Penyidik. Berdasarkan hal tersebut, kiranya dipikirkan oleh penyusun RUU agar jangka waktu pemeriksaan dalam tahap penyidikan perlu diatur berbeda, sehingga Pasal 88 RUU KUHAP bisa membedakan jangka waktu penyidikan atas tindak pidana yang bersifat sederhana dan tindak pidana yang berat atau bersifat extra ordinary crime seperti korupsi, terorisme, pencucian uang, dll. Semangat ini mengadopsi tindakan serupa dalam pemeriksaan di Pengadilan yaitu pemeriksaan dengan acara singkat/cepat dan pemeriksaan dengan acara biasa sehingga kepastian hukum terhadap seseorang yang berstatus tersangka menjadi jelas
51. Pasal 93 ayat (3) yang menyatakan bahwa
16 Dr. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, dalam Peradi, Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial, Jakarta, 2010, hal. 37.