• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG: KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SEBAGAI SOLUSI?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG: KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SEBAGAI SOLUSI?"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG: KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SEBAGAI SOLUSI?1

Oleh:

Bramasto Nugroho2

I. PENDAHULUAN

Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan dan lahan. Penelitian UNDP (2013) menunjukkan bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan untuk tingkat kabupaten hanya 1,98 dari nilai sempurna 5, untuk tingkat provinsi 2,36, pusat 2,71 dan rataan nasional 2,33. Ada 4 persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2) Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi pengusahaan hutan. Dari data-data statistik kehutanan maupun kajian-kajian yang telah dilakukan, ke-4 persoalan utama tersebut dapat dirunut kebenarannya. FWI (2014) melaporkan bahwa sampai dengan tahun 2013 terdapat 41 juta ha luas tutupan hutan alam yang berada di Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Area Penggunaan Lain yang belum memiliki lembaga yang bertanggung jawab sebagai pengelola di lapangan. Dari seluruh kawasan hutan Negara (130,68 juta ha) baru sekitar 12,68% (14,24 juta ha) yang telah dikukuhkan, walaupun telah ditata batas sepanjang 222.452 km (74,67%) dari proyeksi panjang tata batas 281.873 km (RKTN 2011-2030).

Ketiadaan pengelola di tingkat tapak dan rendahnya kepastian kawasan yang telah dikukuhkan menyebabkan areal hutan yang dikuasai oleh Negara berisiko menjadi sumberdaya dengan akses terbuka (open access resources), akibatnya illegal logging dan deforestasi masih ditengarai tinggi di Indonesia. FWI (2014) melaporkan bahwa kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi) di Indonesia pada periode 2009-2013 adalah sekitar 4,50 juta hektar dan laju kehilangan hutan alam Indonesia adalah sekitar 1,13 juta hektar per tahun lebih tinggi dari laporan Badan Planologi Kehutanan (2008) untuk kurun waktu 2000 – 2005 yang menyebutkan konversi hutan mencapai 1,09 juta ha per tahun.

1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan”. Bandar

Lampung, 11 Agustus 2015.

(2)

Lahan kritis hingga 2013 mencapai luasan 27.294.842 ha terdiri 22.025.581 ha berkategori kritis dan 5.269.260 ha berkategori sangat kritis, sementara kemampuan pemerintah untuk merehabilitasinya sangat terbatas yaitu 119.095 ha pada tahun 2013 (Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013) yang tampaknya untuk tahun-tahun sebelumnya tidak akan berbeda siginifikan dengan realisasi tahun 2013 tersebut. Belum lagi apabila dilacak tingkat keberhasilannya menjadi pohon yang dapat berfungsi baik sebagai penyuplai kayu maupun pendukung kehidupan. Tampaknya basis spasial dan pendataan yang kontinyu terhadap hasil-hasil rehabilitasi masih perlu diperkuat.

Pada pengusahaan hutan, Litbang KPK juga menengarai adanya biaya transaksi tinggi, baik pada pelaksanaan perizinan, perencanaan hutan, produksi hasil hutan, dan penataan usaha hasil hutan (Litbang KPK 2013). Tingginya biaya transaksi tersebut menyebabkan usaha di bidang kehutanan menjadi tidak atraktif. Apabila tahun 2008 masih ada 212 unit pemegang IUPHHK-HA, pada tahun 2012 jumlah tersebut tinggal 115 unit.

Dari penjelasan fakta statistik tersebut di atas dapat disarikan bahwa tampaknya pengelolaan hutan Negara pada umumnya menghadapi berbagai persoalan:

1. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat 1 mengindikasikan bahwa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest) merupakan sumberdaya milik bersama (Common-pool Resources – CPRs) yanga selalu dihadapkan pada dilema-dilema pemanfaatan, di mana semua orang ingin memperoleh manfaatnya, namun tidak semua orang bersedia menjaga (bertanggung jawab terhadap) kelestariannya.

2. Sebagai sumberdaya milik bersama (common-poll resources – CPRs) cenderung/berisiko menjadi sumberdaya dengan akses terbuka (open access resources) secara de facto, terlebih kelembagaan yang efektif di tingkat tapak tidak mampu dihadirkan. Tanpa kelembagaan yang efektif akan menyebabkan sumberdaya milik bersama dimanfaatkan secara berlebihan (over exploitation) yang mengakibatkan rusaknya (tidak lestarinya) sumberdaya tersebut (Ostrom, 2008). Fenomena-fenomena perambahan hutan, illegal logging dan deforestasi terjadi karena sebab-sebab tersebut, sebagai akibat tidak terkendalinya kompetisi

(3)

klaim (competing claims) para aktor. Kompetisi klaim tersebut tidak saja melibatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, melainkan melibatkan pula para aktor yang memiliki kewenangan dalam perizinan pemanfaatan sumberdaya milik bersama tersebut.

3. Kepastian hukum atas areal hutan Negara masih lemah. Pengukuhan hutan yang menjadi pra-syarat kepastian hukum (legalitas) kawasan hutan pada kenyataannya masih dalam proses penetapan. Areal yang telah dikukuhkanpun tidak seluruhnya dihormati oleh masyarakat (legitimate) yang menyebabkan tingginya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan Negara.

4. Investasi-investasi publik (pemerintah) tidak dapat dipastikan keberhasilannya, karena “penjaga” dari investasi tersebut tidak ada di level tapak. Investasi public tersebut dapat meliputi pal batas, hasil rehabilitasi hutan dan lahan, dan lain sebagainya.

5. Pemerintah sebagai penguasa kawasan hutan Negara pada kenyataannya tidak memiliki informasi yang komplit terhadap sumberdaya yang dikuasainya. Kepemilikan informasi justru berada pada pemegang izin. Pada situasi demikian pada dasarnya akan mendorong pemegang izin dan petugas pengawas usaha pemegang izin akan berperilaku moral hazard dalam pengelolaan hutan. Fenomena rusaknya konsesi hutan sebelum masa konsesi habis merupakan akibat dari situasi ketidaksepadanan informasi yang dimiliki antara pemegang izin dan pemerintah. Begitu pula dengan fenomena biaya transaksi tinggi pada pengusahaan hutan di Indonesia. Sesungguhnya dengan mekanisme pemberian izin bagi swasta yang ingin terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah memiliki kesempatan untuk mengendalikan perilaku pemegang izin. Pada kenyataannya mekanisme izin yang dikembangkan belum mampu dijadikan alat pengendali perilaku lestari bagi pemegang izin.

Kondisi demikian jelas akan menurunkan produktivitas hutan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) produktivitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Apabila dikaitkan dengan hutan memiliki arti kemampuan hutan untuk menghasilkan tegakan dan tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) yang pada akhirnya akan mempengaruhi aliran manfaat (flow) dari hutan tersebut. Deforestasi tinggi, luasnya lahan kritis, terbatasnya kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi dan tidak menariknya investasi di sektor kehutanan

(4)

akan mengurangi sediaan (stock) sumberdaya hutan dan akhirnya akan mengurangi kemampuannya untuk menyediakan aliran manfaat (flow).

Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu bukan merupakan persoalan teknis semata. Oleh karenanya untuk meningkatkan produktivitas hutan yang hanya berorientasi teknis seperti ketepatan jenis dengan tempat tumbuh (soil species matching), bibit unggul, teknik silvikultur, dls akan berisiko tinggi menemui kegagalan, karena persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak juga perlu disediakan sebagai faktor pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Hal ini sejalan dengan sinyalemen Mayers et al. (2002) yang menyatakan bahwa banyak persoalan pencapaian pengelolaan hutan lestari (PHL) seringkali berakar pada masalah yang jauh dari SDH itu sendiri.

Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak, karena program-program pemerintah untuk peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-program, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-kelemahan implementasi program, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut sangat diperlukan. Dalam kerangka peraturan dan perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (UU 41/1999; PP 6/2007 jo PP 3/2008; PP 44/2004).

II. KPH SEBAGAI ARUS UTAMA PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA

Kebijakan pembangunan KPH

Hingga Februari 2014, terdapat 121,68 juta ha wilayah yang telah ditetapkan menteri sebagai KPH terdiri dari 37,73 juta ha KPHK, 24,14 juta ha KPHL dan 59,81 juta ha KPHP (Direktorat WP3H, 2014) yang keseluruhan pembangunannya akan

(5)

diselesaikan 2019. Dari keseluruhan wilayah yang telah ditetapkan tersebut terdapat 120 unit KPH Model dengan luasan 16,44 juta ha yang terdiri dari 3,55 juta ha (40 unit) KPHL dan 12,89 juta ha (80 unit) KPHP (Direktorat WP3H, 2014). Dengan demikian, antara 2015 – 2019 akan diperlukan pembangunan KPH baru seluas 105,24 juta ha.

Sementara itu perkembangan untuk 120 unit KPH model dapat dijelaskan sebagai berikut: KPH model yang telah terbentuk organisasinya berjumlah 115 unit terdiri dari 102 unit berbentuk UPTD dan 13 unit berbentuk SKPD. Dari 115 unit KPH model yang telah terbentuk organisasinya, baru 94 orang yang memiliki KKPH definitif dengan jumlah pegawai (SDM) 1.100 orang. Hingga Februari 2014 terdapat 38 unit KPH yang telah memiliki RPHJP selebihnya masih dalam proses pengesahan. Dalam kaitannya dengan 9 cita-cita (Nawa Cita) pemerintahan Jokowi-JK saat ini, pembangunan KPH dapat diartikan sebagai pewujudan cita-cita pertama yaitu Negara harus hadir, cita-cita kedua yaitu pemerintah tidak absen dan cita-cita ketiga yaitu membangun dari pinggiran (daerah dan desa). Kemudian dijabarkan oleh Tim Transisi pemerintahan Jokowi-JK ke dalam “quick win reforma agrarian” yang menyebutkan bahwa untuk 3 bulan pertama akan merencanakan pembentukan KPH untuk seluruh wilayah Indonesia sebagai penjaga ekosistem hutan berbasis tapak. Selain itu dalam rangka pencegahan korupsi, KPK telah pula menyusun 5 agenda NKB-KPK untuk Provinsi yang mana agenda ke-empatnya menekankan pada operasionalisasi KPH. Bahkan di dalam Rancangan RPJMN 2015 – 2019 untuk bidang kehutanan, pemerintah menargetkan terbangunnya 480 KPH dan operasionalisasi 120 KPH model di seluruh Indonesia, sehingga pada 2019 ditargetkan telah terbangun 600 KPH di seluruh Indonesia. Untuk akselerasinya Bappenas telah mensepakati bahwa pembangunan kehutanan akan dilakukan pada KPH yang diistilahkan “no KPH, no budget”.

Dari penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa KPH merupakan arus utama pembangunan kehutanan di Indonesia di masa datang. Persoalannya adalah mengapa pembangunan KPH hingga kini masih lambat dan yang telah terbangun belum beroperasi sesuai yang diharapkan?

Peran KPH

Seluruh kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan

(6)

hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota (PP 6/2007 ps 3(3)). KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (PP No.6/2007). Istilah KPH sendiri sesungguhnya telah dikenal sejak diterbitkannya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, kemudian ditegaskan kembali di dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan mendapat dorongan kuat melalui PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Dengan ketentuan tersebut, maka pada dasarnya KPH merupakan unit organisasi yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan Negara sesuai fungsinya yaitu hutan produksi (KPHP), hutan lindung (KPHL) dan hutan konservasi (KPHK).

Mengingat posisi yang cukup strategis tersebut, maka KPH perlu diberi tugas dan fungsi yang cukup luas. Tugas dan fungsi tersebut meliputi (PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008):

1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam. 2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang

kehutanan untuk diimplementasikan di level tapak.

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.

5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

Dengan demikian kehadiran KPH di tingkat tapak secara potensial dapat diperankan sebagai berikut:

1. Kawasan hutan yang berdasarkan UU dikuasai oleh negara memerlukan lembaga dan kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dan merupakan wakil pemerintah di tingkat tapak untuk meminimalisir risiko bermutasinya kawasan hutan yang dikuasai oleh negara menjadi open access resources.

2. Kompetisi klaim atas sumberdaya hutan (termasuk lahan) dapat lebih diatur dengan adanya organisasi KPH di tingkat tapak. Ketika ada masyarakat yang memerlukan ruang untuk penguatan mata penchariannya dapat dicarikan solusi

(7)

yang tidak bertentangan dengan regulasi yang ada baik melalui fasilitasi perolehan izin HTR, HKm dan Hutan Desa maupun melalui kemitraan (Permenhut P.39/2013) dan kerjasama bagi hasil pada wilayah tertentu (Permenhut P.47/2013). Begitu pula ketika ada pemberian izin kepada swasta, KPH dapat memberikan masukan atas rekomendasi perizinan.

3. Pengelolaan (terutama pemanfaatan SDH) yang dipercayakan kepada swasta melalui mekanisme pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) memiliki keterbatasan waktu dan apabila telah berakhir masa konsesinya kawasan tersebut menjadi tidak berpengelola. Selain itu sifat pemindahan hak (transfer of right) yang diberikan kepada pemegang ijin adalah sementara (temporary transfer of rights) seperti halnya sewa-menyewa, maka diperlukan pula pengawasan yang ketat dari pemerintah atas perilaku pemegang ijin dalam pemanfaatan hutan di tingkat tapak.

4. Dengan kehadiran KPH, maka kemampuan pemerintah untuk memperkuat kepemilikan informasi SDH di tingkat tapak dapat ditingkatkan. Dengan informasi yang kuat, maka bentuk-bentuk intervensi dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, selain untuk melindungi dan mengamankan asset Negara berupa hutan. 5. Banyak investasi kehutanan seperti halnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan

lahan (RHL) yang telah diimplementasikan di lapangan sering gagal yang dikarenakan ketiadaan pengelola atas investasi tersebut. Pelaksana proyek hanya berorientasi pada penanaman, tanpa memikirkan pemeliharaan dan pengelolaan atas pohon yang ditanam. Investasi kehutanan tidak hanya terbatas pada RHL saja melainkan juga meliputi pal batas, jalan inspeksi, program-program pengayaan dan perlindungan biodiversitas, program-program REDD+, dls. Selain menjaga dan mengelola investasi kehutanan tersebut, KPH dapat pula diperankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengukuran, monitoring, evaluasi dan pelaporan serta penjamin bahwa program-program kehutanan yang diimplementasikan tidak menyebabkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat menurun.

6. Program-program pemberian akses kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mengelola hutan dan peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seperti Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan lambat terealisasi karena ketiadaan pendamping di level pengusulan dan implementasi. Melalui pelayanan publik yang mestinya menjadi orientasi penyelenggaraan KPH,

(8)

maka penguatan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan SDH dapat dilakukan baik melalui jalinan kemitraan maupun pelibatan masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan hutan oleh KPH. Dalam jangka panjang kondisi demikian akan meningkatkan legitimasi pengelolaan hutan oleh KPH.

7. Dalam batas-batas kewenangannya, KPH dapat membantu operasionalisasi penyelesaian konflik tenurial di lapangan setelah pihak-pihak yang berweweng menyelesaikannya secara yuridis formal atas sengketa tersebut. Disadari bahwa konflik tenurial bukan saja persoalan teknis semata melainkan melibatkan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya persoalan sosial dan politik konflik perlu diselesaikan oleh lembaga lain seperti Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (Tim IP4T) sebagaimana diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Kehutanan, Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perma No 70/2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014 dan 8/SKB/X/2014), sedangkan persoalan operasional teknis dapat diselesaikan oleh KPH.

8. Program-program peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seringkali ditetapkan melalui proses “top down” baik tentang penetapan jenis, metode dan system penanaman, maupun tata waktu pelaksanaannya akibat kurangnya informasi yang dimiliki pengambil keputusan di pusat. Dengan adanya KPH informasi-informasi tersebut dapat diperkuat, sehingga penetapan jenis, metode dan system penanaman, maupun tata waktu pelaksanaannya dapat lebih disesuaikan dengan kondisi lapangan.

III. PENGUATAN KAPASITAS KPH

Dari sudut pandang teori hak atas properti/kekayaan (property rights theory), pembangunan KPH dapat dimaknai sebagai penguatan kapasitas pemerintah di tingkat tapak dalam penegakan hak-hak Negara untuk menjamin kelestarian SDH bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, KPH dibangun untuk menyempurnakan klaim hak menguasai oleh Negara c.q Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kedudukannya) agar SDH terkelola secara lestari dan mendatangkan sebesar-besar kemanfaatan bagi rakyat.

Ada 3 syarat yang perlu disediakan agar klaim tersebut menjadi efektif.

Pertama, klaim atas sumberdaya tersebut harus memperoleh perlindungan Negara.

(9)

bagi orang atau kelompok lain untuk menghormati klaim tersebut. Tanpa adanya penghormatan atas klaim tersebut, maka klaim akan sia-sia dan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang diklaim tersebut tidak dapat ditegakkan secara efektif. Ketiga, klaim atas sumberdaya akan memerlukan biaya pengelolaan dan penegakan atas hak-hak (management and enforcement costs), karena pada dasarnya tidak ada klaim yang gratis. Syarat pertama merujuk pada legalitas, syarat kedua merujuk pada legitimasi dan syarat ketiga merujuk pada kemampuan pendanaan dan penyediaan sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Kemampuan pendanaan dan penyediaan SDM akan dapat diperoleh apabila KPH mampu menghasilkan dana sendiri untuk membiayai sebagian atau bahkan seluruh kegiatan pengelolaan KPH. Hal terakhir yang disebutkan ini merujuk pada kemandirian pengelolaan KPH.

Legalitas, legitimasi dan kemandirian pengelolaan KPH tersebut perlu ada pada berbagai aspek yang mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan. Aspek-aspek tersebut meliputi kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana dan SDM. Selain itu perlu pula disediakan faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.

Merujuk pada pemikiran tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam rangka penguatan KPH dapat dirinci pada Tabel 1.

(10)

Tabel 1. Dukungan Kegiatan untuk Penguatan Kapasitas KPH

Aspek LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN PENGELOLAAN

KAWASAN • Pengukuhan

kawasan KPH (penunjukan, tata batas, pemetaan, penetapan)

• Dukungan stakeholder melalui penguatan Forum-forum Multipihak

• Identifikasi dan penyelesaian konflik tenurial

• Pengakuan atas hak-hak yang ada

• Clear and clean (bebas konflik, minimal konflik dapat dikelola)

• Jaminan keamanan investasi publik dan privat

KELEMBAGAAN • Lobby Gubernur untuk percepatan penetapan pejabat KKPH • Proses-proses politik percepatan penetapan dan pengisian personil KPH • Kejelasan posisi KPH terkait implementasi UU

• Penguatan kapasitas resolusi konflik dan pengkomunikasian keberadaan KPH

• Pembangunan organisasi hingga tingkat resort beserta infrastrukturnya

• Membangun upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap APBN/D

• Membangun kerjasama dengan masyarakat, donor, stakeholders, swasta

• Penguatan kapasitas organisasi KPH melalui pendampingan pusat dan provinsi

(11)

Aspek LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN PENGELOLAAN 23/2014 PROGRAM/ KEGIATAN • Review RPHJP dan/atau Business Plan menuju pengelolaan KPH lestari • Mainstreaming RPHJP KPH ke RPJM dan Renstra Dishut Provinsi • Penjabaran kebijakan Nas/ Prov/Kab/Kot

• Membangun tata kelola KPH yang transparan, akuntabel dan partisipatif (Good Forest Governance)

• Pelibatan CSO

• Mendorong perencanaan tahunan KPH berdasar permasalahan yang berkembang di masyarakat

• Penguatan koordinasi dengan pemegang izin

• Mendorong berjalannya layanan publik KPH

• Penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari (tata hutan, RPH, pemanfaatan, penggunaan, rehabilitasi, perlindungan dan konservasi).

• Pemantauan dan penilaian pemegang izin.

• Penguatan kapasitas untuk pemanfaatan wilayah tertentu, khususnya dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon

SDM • Penyediaan SDM yang handal dan memberikan layanan prima kepada klien

• Menjajagi kemungkinan perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sesuai UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk KKPH

(12)

Aspek LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN PENGELOLAAN DANA • Membangun peluang investasi dan kemitraan sesuai ketentuan-ketentuan yang ada (P.47/2013 dan

P.39/2013)

• Penerapan PPK-BLUD (sesuai Permendagri 61/2007) atau Perda Retribusi khususnya Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (sesuai UU 28/2009)

• Menjalin kerjasama dengan donor dan/atau pihak-pihak terkait lainnya FAKTOR

PEMUNGKIN

• Mendorong ditetapkannya kejelasan kewenangan KPH dalam satu peraturan (level nasional – jangka panjang) dan mengkompilasi kewenangan KPH yang tersebar di berbagai peraturan (level KPH – jangka pendek).

• Review kebijakan dan peraturan penghambat pembangunan dan operasionalisasi KPH (izin, pasar, pemanfaatan hasil RHL, mobilisasi SDM, dls) (level nasional – jangka panjang).

• Membangun kesepahaman bersama untuk kejelasan Tahubja KPH dengan pemegang izin dan Dinas Kehutanan Provinsi melalui pendekatan intensif dengan Kepala Daerah dan stakeholders lainnya

(13)

IV. TANTANGAN-TANTANGAN

Pembangunan KPH sudah dimanatkan oleh UU sejak tahun 1999, namun baru diimplementasikan secara efektif mulai 2007 setelah PP 6/2007 diterbitkan (8 Januari 2007). Dari target sekitar 600 unit KPH, hingga kini baru terbangun 120 KPH Model. Kekurangan dari target tersebut (± 480 unit) akan diselesaikan oleh Kemenhut pada tahun 2019, dengan rencana akan dibangun ± 100 unit tiap tahunnya mulai dari 2015. Walapun hingga Januari 2014 telah terbangun 120 KPH Model, tetapi belum semuanya operasional.

Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai persoalan dalam pembangunan dan operasionalisasi KPH. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan KPH dan proses operasionalisasinya antara lain: 1. Lingkup kewenangan KPH. Kewenangan yang dimiliki KPH sesungguhnya sudah

cukup kuat, namun kewenangan-kewenangan tersebut menyebar di berbagai peraturan yang umumnya tidak semua peraturan tersebut dibaca oleh penyelenggara KPH. Sebagai contoh, menurut PP 6/2007 Pasal 71 s/d 78 RKT pemegang izin disahkan oleh KPH apabila KPH telah terbentuk, namun hingga kini tidak satupun KPH yang berani mengesahkan RKT tersebut. Bahkan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi pemegang izin seperti dimandatkan oleh Tupoksi KPH tidak berani untuk dijalankan. Oleh karenanya mengkompilasi seluruh kewenangan yang tersebar di berbagai peraturan dalam satu perturan menjadi strategis untuk dilakukan dalam waktu dekat ini.

2. Pemahaman stakeholders dan dukungan Pemerintah Daerah (yang menurut UU 23/2014 adalah Pemerintah Propinsi) masih belum merata. Dinamika politik lokal sangat berpengaruh terhadap konsistensi komitmen daerah.

3. Implikasi diundangkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana urusan kehutanan (termasuk di dalamnya urusan KPHP dan KPHL) merupakan urusan konkuren yang bersifat pilihan yang penyelenggaraannya dibagi antara Pempus dan Provinsi (Ps 14(1)), akan menyebabkan peran Kabupaten menjadi berkurang sementara tapak KPH berada di wilayah Kabupaten. Kurangnya peran kabupaten tersebut dikhawatirkan akan menghambat akselerasi pembangunan KPH.

(14)

4. Masih banyak KPH yang sudah memiliki SK Menhut namun belum memiliki organisasi di tingkat tapak (8 unit dari 120 unit) dan yang telah memiliki SK dan orgaisasi belum dapat beroperasi secara efektif.

5. Masih adanya hambatan regulasi terutama terkait dengan perizinan pemanfaatan hutan termasuk pemanfaatan hasil tanaman kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan tata hubungan kerja KPH dengan pemegang izin.

6. Prospek kemandirian finansial KPH belum terlihat. Untuk mencapai kemandirian finansial, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya hutan yang dapat dijadikan pendapatan oleh KPH. Selanjutnya untuk mengaktualisasikan potensi tersebut menjadi pendapatan riil, KPH perlu payung hukum agar dapat menghasilkan pendapatan. Sesungguhnya telah ada beberapa peraturan yang berpotensi untuk mendukung kemandirian tersebut, seperti misalnya penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah atau menggunakan mekanisme retribusi daerah, khususnya pada jenis retribusi jasa usaha yang mana salah satu jenis retribusi pada obyek retribusi jasa usaha adalah retribusi penjualan produksi usaha daerah (UU 28/2009 pasal 127 huruf k). 7. Kurangnya dukungan sumberdaya manusia (SDM) dan dana. Dukungan BP2SDM

dengan skema “Bhakti Rimbawan” masih dikeluhkan ketepatan rekruitmennya oleh KPH. Umumnya SDM yang dikirim merupakan sarjana baru yang masih perlu ditingkatkan pemahamannya tentang KPH, sementara tuntutan di lapangan memerlukan sarjana kehutanan yang sudah berpengalaman atau paling tidak pengetahuan tentang KPHnya sudah memadai.

8. Komunikasi kebijakan KPH oleh pemerintah pusat belum menyasar pada pengambil keputusan strategis di level daerah. Komunikasi kebijakan dilakukan hanya sebatas sosialisasi kepada SKPD-SKPD terkait yang pada kenyataannya tidak memiliki power untuk memutuskan.

9. Konflik penguasaan lahan (Land tenure conflict) sebagai konsekuensi kebijakan alokasi areal yang tidak dibebani hak untuk KPH, dimana areal-areal demikian umumnya telah dikuasai oleh masyarakat yang bila dilihat dari sisi kekuatan klaim atas lahan yang ada pada Masyarakat dan Kementerian Kehutanan, umumnya masyarakat memiliki legitimasi yang kuat di lapangan namun legalitasnya lemah

(15)

sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki legalitas kuat namun legitimasinya lemah.

10.Kurangnya “leadership” dan “entrepreneurship” Kepala KPH yang umumnya berasal dari PNS.

KESIMPULAN DAN SARAN

Peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-program, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-kelemahan implementasi, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut sangat diperlukan.

Pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh KPH. Selain KPH telah menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional, kehadirannya juga diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common-pool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest). Namun perlu disadari bahwa KPH sebagai alternative yang paling mungkin dari serangkaian alternative lainnya, hingga saat ini masih mengalami kendala implementasi dan operasionalisasinya di tingkat tapak. Untuk itu diperlukan serangkaian kegiatan untuk mendukung penguatan legalitas, legitimasi dan kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana, SDM dan faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Forest Watch Indonesia (FWI). 2014. POTRET KEADAAN HUTAN INDONESIA PERIODE 2009-2013. Forest Watch Indonesia. Bogor. Indonesia.

Kementerian Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Indonesia.

Litbang KPK. 2013. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA): Studi Kasus Sektor Kehutanan. Litbang KPK. Jakarta. Indonesia.

Mayers J., S. Bass and D. Macqueen. 2002. The Pyramid: A diagnostic and planning tool for good forest governance. International Institute for Environment and Development (IIED). June 2002.

Ostrom E. 2008. Institutions and the Environment. Journal of Institute of Economic Affairs. (September 2008): 24-31.

UNDP. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ Indonesia 2013. UNDP. Jakarta. Indonesia.

Gambar

Tabel 1. Dukungan Kegiatan untuk Penguatan Kapasitas KPH

Referensi

Dokumen terkait

VALIDITAS PEMERIKSAAN BASIL TAHAN ASAM SPUTUM PASIEN TERSANGKA TUBERKULOSIS PARU DENGAN PEWARNAAN ZIEHL NEELSEN TERHADAP KULTUR M.tuberculosis PADA MEDIA OGAWA.. Emil E,

Tahap prasiklus dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran awal hasil dari aktivitas dan kompetensi belajar siswa dalam pembelajaran installasi sistem

Dengan keimanan diharapkan setiap peserta didik dapat membina dirinya menjadi manusia yang berbudi luhur; (2) Ketakwaan sebaiknya ditanamkan sejak dini kepada

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyunigsih (2008) menunjukkan bahwa penurunan bond rating berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap

Pembangunan Sistem Pengurusan Makmal yang meliputi tempahan dan inventori ini adalah penting sebagai satu cara untuk menjadikan pengurusan makmal sains sekolah menjadi lebih

Dari analisis regresi linear berganda diperoleh model regresi linear berganda Log Ó -21,194 + 4,672LogX1 + 0,284LogX 2 + 3,237LogX 3 yang telah diuji asumsi klasik

Model kajian tindakan yang diperluaskan oleh Kemmis dan McTaggart (1988) digunakan untuk mengkaji keberkesanan teknik Teater Forum dalam mengembangkan aspek penaakulan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak wajib pajak badan pada UMKM di Kota Malang. Sampel dalam penelitian