• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEKERJA MIGRAN INDONESIA DOMESTIC WORKERS DI NEGARA HONGKONG DAN ARAB SAUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEKERJA MIGRAN INDONESIA DOMESTIC WORKERS DI NEGARA HONGKONG DAN ARAB SAUDI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PEKERJAMIGRANINDONESIA DOMESTIC WORKERS DI NEGARA HONGKONG DAN ARAB SAUDI

Disusun Oleh: Nori Oktadewi, S.Pd.

20161060006

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

xvi ABSTRACT

Since the establishment of the BNP2TKI Crisis Center in 2017, there were 119,143 cases of violence involving Indonesian migran workers. Saudi Arabia and Hong Kong are the main destinations for migran workers. However, Saudi Arabia is classified as the red zone for Indonesian workers due to of the large number of the cases. Forexample, in 2017 alone there were 41,412 cases involving Indonesian migran workers. In contrast to this, cases of violence against Indonesian migran workers in Hong Kong until 2017 were only 6,590 cases. The purpose of this study is to investigate factors that made the level of violence in Hong Kong was low while in Saudi Arabia was high. This is qualitative research using secondary data from several books, articles, journals, websites, etc. This research also supplemented by interviews with Indonesian migran workers and selected respondents. The study found that number of cases involving Indonesian migran workers was high due to Hong Kong has ratified the ILO Convention. Furthermore, Hong Kong also recognized migran workers as professional workers in the public sectors. Conversely, Saudi Arabia perceived migran

workers as “slaver” in the private business because of the Kafalah culture.

In Hong Kong also many NGOs involved compared to Saudi Arabia.

(3)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia selaras dengan pertumbuhan angkatan kerja yang semakin meningkat. Pada tahun 2017 penduduk Indonesia wajib menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) mencapai jumlah kurang lebih 182,5 juta jiwa, dengan jumlah keseluruhan mencapai 260 juta jiwa(www.Tempo.com, 2018). Dari data tersebut jumlah angkatan kerja sebanyak 86 juta jiwa (tempo.com, 2018). Besarnya angkatan kerja tersebut menjadi permasalahan tersendiri, ketika lapangan kerja yang tersedia tidak mampu memberikan solusi dalam hal ketenagakerjaan. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin bertambah. Penyelesaian ketenagakerjaan di Indonesia banyak di dominasi oleh migrasi ketenagakerjaan. Dimana masyarakat Indonesia yang tidak cukup memiliki skill dan tingkat pendidikan rendah memilih untuk bekerja di luar negeri.

(4)

menamakan mereka adalah PMI (Pekerja Migran Indonesia)1, istilah pekerja migran telah diatur di dalam UU Nomor 18 Tahun 2018. Di dalam UU tersebut menjelaskan bahwa calon PMI adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah, kabupaten, kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pekerja Migran Indonesia atau PMI adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah diwilayah republik Indonesia. Di sisi lain, PMI perseorangan adalah PMI yang akan bekerja ke luar negeritanpa melalui pelaksanaan penempatan (UU PPMI, 2017). Adapun JumlahPMI yang dikirim setiap tahunnya dapat dilihat dari table di bawah ini :

Tabel 1 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2013 S.d 2017

(Sumber: Data diambil dari BNP2TKI dari 34 provinsi di Indonesia yang telah dikelola)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, pengiriman PMI ke berbagai negara dari tahun 2013 sd. 2017 sebanyak 1.677.308 orang. Pengiriman

1

(5)

PMI keluar negeri didominasi oleh perempuan atau sering disebut dengan TKW (Tenaga Kerja Wanita), dan sebagian besar PMI bekerja sebagai domestic workers.Dari data di atas dapat diartikan bahwa, sebanyak 76% mayoritas PMI Indonesia adalah perempuan. Dalam menimbang migrasi tenaga kerja tercatat atau resmi pekerjaan rumah tangga merupakan pilihan paling dominan dalam sejarah PMI adalah perempuan Indonesia, terutama di negara-negara Timur Tengah, karena di Timur Tengah lapangan pekerjaan perempuan yang paling tinggi adalah sebagai domestic workers. Adapun 5 negara tujuan terbesar yang dipilih oleh para domestic workers, dapat dilihat dari tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Keberbagai Negara Tahun 2013-2017

No Negara 2013 2014 2015 2016 2017

1 Malaysia 150,248 127,812 97,612 87,616 89,879 2 Taiwan 85,385 82,665 75,304 77,087 75,213 3 Saudi Arabia 45,394 44,325 23,000 13,538 12,181 4 Hongkong 41,769 35,050 15,322 14,434 14,002 5 Singapore 34,566 31,680 20,895 17,700 17,238

(Sumber : Data BNP2TKI yang sudah diolah)

(6)

negara yang sudah lama bekerjasama dengan Indonesia terkait dengan ketenagakerjaan.

Semakin banyak PMI yang dikirim keberbagai negara, maka akan semakin tinggi juga tingkat kekerasan yang dialami oleh PMI. Sejak berdirinya pusat pengaduan Crisis Center BNP2TKI pada 27 Juni 2011 hingga saat ini, pengaduan permasalahanyang dialami oleh PMI yang ada di luar negeri tehadap Pusat Crisis Center BNP2TKI sebanyak 119.143 kekerasanDimana macam-macam masalah yang dihadapiantara lain jumlah pengaduan 119.143, kasus terbanyak adalah gaji tidak dibayar, putus komunikasi, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, PMI ingin dipulangkan, meninggal di negera penempatan, akibat tindakan kekerasan majikan, PMI sakit, PMI gagal berangkat, PMI dalam proses tahan/proses majikan, serta PMI mengalami pelecehan seksual.

Arab Saudi adalah negara yang tingkat kekerasan tertinggi, dimana dari 41.412 kasus pengaduan di pusat crisis center BNP2TKI, sebanyak 14.807 kasus pengaduan PMI yang bekerja di Arab Saudi dan PMI yang mendapatkan tindak kekerasan adalah PMI yang bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga ( PLRT) atau sering disebut dengan domestic workers2, selain Arab Saaudi ada beberapa negara tertinggi yang

2

(7)

menerima TKW dan kekerasan terhadap TKW juga cukup tinggi antara lain adalah Malaysia sebanyak 14.807 kasus, Yordania sebanyak 9.357 kasus, Syriah sebanyak 8.675 kasus, Uni Emirat Arab sebanyak 8.234 kasus, Taiwan sebanyak 8.035 kasus, Kuwait sebanyak sebanyak 7.845, Singapura sebanyak Kasus 7.280, Oman sebanyak 6.908kasus, dan Hogkong sebanyak 6.590 kasus (PPID, 2017).

Dari data-data di atas, Arab Saudi adalah negara ke 3 tujuan terbesar oleh PMIyang mana pekerja nya lebih didominasi oleh domestic workers, dan Arab Saudi adalah negara yang tingkat kekerasan terhadap PMI yang paling tinggi dan Arab Saudi berada diurutan pertama tingkat kekerasan terhadap PMI yang bekerja sebagai domestic workers.Berbanding terbalik dengan Hongkong, Hongkong adalah negara tujuan para PMI terbesar ke 4. Meskipun di Hongkong para PMIjuga mendapatkan kekerasan seperti dinegara-negara Malaysia dan Arab Saudi, namun kekerasan yang dihadapi para PMIyang ada di Hongkong jauh lebih sedikit dibandingkan kekerasan yang didapat oleh para PMIyang ada di Arab dan negara-negara tujuan terbesar lainnya. Dapat dilihat dari kasus yang ada di Arab Saudi dan Hongkong, dimana di Arab Saudi memiliki sebanyak 41.412 kasus sedangkan Hongkong hanya memiliki 6.590 kasus yang dihadapi oleh para PMI.

(8)

Di sisi lain, sebagian besar para PMIyang bekerja di Hongkong menganggap bahwa Hongkong adalah surganya para PMI perempuan, karena kehidupan sosial warga PMI di Hongkong lebih terbuka, sehingga komunikasi diantara pekerja asal Indonesia sangat kental, dimana setiap hari minggu ribuan pekerja wanita asal Indonesia memenuhi Victoria Park, mereka juga tampil tidak seperti domestic workers. Sebaliknya, PMIyang berada di Arab Saudi lebih tertutup karena mereka harus bekerja dalam sebuah lingkungan yang juga tertutup, tidak ada wadah untuk berkumpul dengan para PMIlainnya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka peneliti menemukan masalah untuk penelitian ini yaitu:

“Mengapa kekerasan terhadap PMI di Hongkong lebih rendah, sedangkan

kekerasan PMI yang ada di Arab Saudi lebih tinggi?” C. Fokus Penelitian.

(9)

D. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini , maka tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengimplementalisir faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap PMI yang bekerja sebagai domestic workerdi Hongkong lebih rendah, sedangkan kekerasan PMI yang bekerja sebagai domestic workersyang ada di Arab Saudi tinggi.

2. Untuk membandingkan variable-variable yang menyebabkan kekerasan terhadap PMIdomestic workerdi Hongkong lebih rendah, sedangkan kekerasan PMI domestic workersyang ada di Arab Saudi lebih tinggi

E. Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi Akademik

(10)

faktor apa yang mempengaruhi tingkat kekerasan terhadap PMIyang ada di Hongkong dan Arab dengan menggunakan teori atau konsep. 2. Kontribusi Praktis

Penelitian ini diharapakan bisa menjadi rujukan bagi pemerintah terutama pemerintah Indonesia dalam mengedapan perlindungan terhadap PMI khususnya yang bekerja sebagai domestic workers.Secara praktis kontribusi pada Bab II bisa digunakan untuk meninjau kembali sejarah pengiriman PMI.Bab III dapat digunakan untuk memberikan gambaran faktor-faktor terjadinya tindak kekerasan. Poin utama dalam penelitian ini yang dijelaskan pada Bab IV dapat digunakan untuk mengetahui titik-titik permasalahan tentang tingginya kekerasan yang dihadapi oleh PMIyang bekerja sebagai domestic workersyang ada di Arab Saudi, kemudian dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga tujuan positif untuk mengedepankan perlindungan PMI khususnya yang bekerja sebagai domestic workers.

F. Originalitas Penelitian

(11)

dalam data (data dokumen dan lapangan) menjadi poin pembeda lainnya yang semakin menguatkan originalitas penelitian ini.

G. Studi Pustaka

Untuk menjawab rumusan maka penulis melakukan review terhadap beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, karya-karya ilmiah tersebut antara lain:

Dalam jurnal “Perlindungan Hukum terhadap TKI Indonesia” yang ditulis oleh Nur Hidayati, penulis menjelaskan bahwaa permasalahan utama PMI Indonesia diluar negeri yaitu pola hubungan kerja antara PMI dan majikan, masih dibangun secara sepihak oleh majikan tanpa memperhatikan hak dan suara buruh, serta para buruh juga tidak menggunakan haknya untuk ikut dalam perserikatan buruh Indonesia di negera penempatan, sehingga ketika buruh mempunyai masalah sewaktu-waktu tidak ada dukungan dari yang lain. Sehingga menurut penulis diperlukan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) secara maksimal dan pentingnya membentuk persatuan PMI agar mereka menjadi lebih kuat selama bekerja di negara orang(Hidayati, 2015).

Di sisi lain , dalam penelitian“Perlindungan TKI Perempuan : Kebijakan di negara- negara pengirim dan penerima” yang ditulis oleh

(12)

migrasi, baik ekslpoitasi ekonomi, pelecehan social dan psikolaogi, kekerasan fisik dan kekersan seksual. Di sisi lain, makalah ini juga mengulas kebijakan dari negaraa-negara penerima, salah satu negara yang dibahas dalam tulisan ini adalah negara Hongkong, dimana negara Hongkong adalah negara yang berhasil menerapkan pelaksanaan peraturan perlindungan PMI, serta hubungan kerja antara para pembantu rumah tangga dan majikan tidak diatur oleh undang-undang tenaga kerja di negara penerima, kecuali Hong Kong. Di Hong Kong, pembantu rumah tangga asing dilindungi oleh Labour Ordinance dan berhak atas kontrak kerja baku yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menetapkan persyaratan minimal, antara lain upah minimum, hari libur, hari libur resmi, dan sebagai tuan. Sumber- sumber pendukung bagi para PMI juga sangat bervariasi.Jaringan yang mendukung PMI dengan sangat baik adalah LSM, kelompok-kelompok PMI dan kedutaan telah ada di Hong Kong.Kondisi-kondisi khusus di Hongkong bahkan telah memungkinkan para PMI untuk membentuk jaringan formal seperti perkumpulan- perkumpulan PMI(Sakdaporak, 2002).

(13)

isu sosial, ekonomi dan HAM (Hak Asasi Manusia), serta dalam penelitian inipun penulis melibatkan negara sebagai aktor resolusi konflik, penelitian ini membahas tetang ketenagakerjaan Indonesia di Arab Saudi, karena dapat dilihat bahwa negara Arab Saudi adalah negara yang memiliki pelanggaran HAM terhadap PMI yang paling tinggi, sehingga membuat hubungan Indonesia dan Arab Saudi memburuk. Sehingga untuk membuat hubungan antara kedua negara kembali membaik, maka pemerintah Indonesia mengusulkan pendatanganan MoU Perlindungan dan Penempatan PMI kepada Arab Saudi tahun 2014(Fatmawati, 2016).

Tulisan selanjutnya adalah tulisan yang berjudul “Underpayment 2 Pemerasan Sistem Berkepanjangan pada PMI Indonesia di Hongkong :

Suatu Study Mendalam” yang di tulis oleh Asian Migran Center (AMC),

Indonesian Migran Workers Union(IMWU) dan Koalisi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (KOTKIHO)3. Dalam buku ini memaparkan bahwa Hongkong adalah negara yang menjadi tujuan utama bagi PMI Indonesia, disebabkan beberapa faktor yaitu gaji yang relatif tinggi dan sistem demokrasi yang tinggi untuk para migran disana.Meskipun Hongkong dianggap surganya para PMI namun masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh para PMI yang ada disana, bukan

3

(14)

karena sistem kebijakan namun permasalahan muncul karena meluasnya praktek pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerjai Indonesia). Sehingga dalam buku ini penulis memaparkan dan melakukan analisis tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PJTKI khususnya upah dibawah standar yang disepakati oleh PJTKI dengan PMI yang sebenarnya berbanding terbalik dengankebijakan yang diberikan pemerintah Hongkong terhadap PMI(AMC, 2007).

(15)

bilateral dengan negara tujuan dengan mewujudkan perjanjian tertulis (MoU) baik perjanjian antar pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi maupun perjanjian pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang menggunakan jasa(Geerards, 2008).

Literature selanjutnya adalah literature yang berjudul “A

Development Model Toward Social-Protection Policies fot the

Indonesian Women Migran Contract Workers as PMI PLRT in Hongkong” yang ditulis oleh Hesti R. Wijaya dan teman-teman. Dalam

(16)

dengan perspektif feminis. Temuan menunjukkan bahwa di tempat kerja, masalah yang dialami oleh pekerja rumah tangga perempuan telah berlangsung secara luas. Untuk menyebutkan beberapa dampak agen otoriter sehubungan dengan penempatan dan objektivitas pekerja migran perempuan, hubungan atasan dan karyawan inferior yang lebih rendah menghasilkan kekerasan yang kasar terhadap pekerja perempuan, eksploitasi, pelecehan seksual, pemutusan kontrak sepihak oleh majikan, persalinan yang tidak dibayar dan kurang bayar Sebuah model terhadap kebijakan perlindungan sosial dikonseptualisasikan(Hesti R. Wijaya, 2015).

(17)

meningkatnya jumlah pekerja migran perempuan.Penulis juga mengidentifikasi isu-isu kritis yang menjadi perhatian pekerja migran perempuan, ILO telah menganalisis situasi dibeberapa daerah. Studi ini mengungkapkan praktik dan pola yang menjadi penyebab utama kerentanan perempuan pekerja migran domestik dan menyarankan strategi alternatif. Publikasi ini menyajikan tinjauan regional ILO dan empat studi di negara dari negara-negara Arab: Bahrain, Kuwait, Lebanon danUni Emirat Arab.Hal ini didasarkan pada beberapa tahunkerja sama (2000-2004) antara peneliti di negara, Kantor Regional ILO di negara-negara Arab,Program Migrasi Internasional (MIGRAN) (ILO,2004).

Tulisan terakhir adalah tulisan yang berjudul “Indonesian Female Labour Migrans : Experiences Working Overseas ( A case Study Among Returned Migrans in West Java” yang ditulis oleh Aswatini Raharto.

(18)

bekerja di Arab Saudi. Banyak kasuspenganiayaan danpengalaman yang buruk yang dialami oleh PMI (Raharto, 2002).

Tulisan ini berbeda dengan literatureyang telah direview di atas, yang mana tulisan ini melakukan perbandingan antara dua negara tujuan yaitu Hongkong dan Arab Saudi, didalam tulisan ini melihat dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang membuat kekerasan terhadap PMI yang ada di Hongkong rendah sedangkan kekerasan terhadap PMI yag ada di Arab Saudi sangat Tinggi.

H. Kerangka Pemikiran

Untuk menjawab pertanyaan mengapa kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia di Hongkong rendah dibandingkan tingkat kekerasan pekerja migran yang Indonesia yang ada di Arab Saudi. Maka penulis akan menggunakan teori yang sesuai dengan pembahasan diatas. Adapun teori yang digunakan sebagai berikut:

1. Teori Rezim Internasional

(19)

perspektif yang mewarnai diskusi mengenai rezim yakni Neoliberalisme dengan analisisnya berbasis pada susunan kepentingan (interest), realisme yang memandang hubungan kekuatan (power) sebagai kunci variabel dalam rezim dan kognitivisme yang lebih menekankan pada tingkah laku aktor yang ditentukan oleh persepsi atas pengetahuan norma sosial (knowledge). Tiga perspektif ini masing-masing berbeda mengenai pandangan mereka tentang awal mula, cara kerja, dan stabilitas atas rezim Internasional.

(20)

a. Rezim yang bersifat rekursif, dua dimensi (vertikal, horisontal, dan kadang-kadang diagonal) negosiasi bertujuan untuk menyelesaikan masalah internasional, bukan negosiasi tingkat dua seperti dalam ratifikasi perjanjian

b. Rezim mengatur perilaku pihak yang terkait (negara-negara anggota dan warga negara) dengan memaksakan agenda sekaligus melakukan pembenaran norma dan mengatasi kendala yang ada. c. Pihak-pihak yang berkepentingan akan terus berusaha untuk

menyesuaikan dalam aturan-aturan rezim atau mencari solusi dengan pendekatan mereka untuk menyelesaikan masalah daripada hanya sekedar komplain (atau tidak) terhadap rezim d. Kesenjangan kekuatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam

rezim, perbedaan kepentingan, biaya, akan mempengaruhi jalannya negosiasi dalam post-agreement negotiation.

e. Negosiasi rezim berulang kali fokus pada pertanyaan biaya absolute di dalam ketidakpastian, (apakah biaya yang saat ini kita keluarkan lebih baik daripada biaya yang bisa dikeluarkan terhadap ancaman di masa depan) daripada pertanyaan tentang ketidakpastian kerja sama dan keuntungan relatif.

(21)

negara yang berpartisipasi dan tingkat harmoni norma saat ini dan harapan yang ada. Rezim dinegosiasikan untuk menyelesaikan masalah transaksi, untuk memenuhi kepentingan negara-negara yang berpartisipasi, agar sesuai norma-norma saat ini dan membangun harapan koheren, dan sebagainya untuk mengatasi oposisi yang muncul saat itu, bertujuan untuk menciptakan rezim yang lebih stabil. Perbedaan dalam memandang masalah, norma, dan harapan oleh pihak-pihak yang terkait dalam rezim internasional membuat stabilitas tersebut jarang terjadi, sehingga memerlukan berulang kali (rekursif) negosiasi untuk menstabilkan formula yang memenuhi kriteria rezim yang stabil.

2. Teori Citizenship Migration

(22)

adalah tindakan bergerak dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Dapat dilihat bahwa konsep migrasi memiliki makna yang berbeda tergantung pada pendekatan yang digunakan.Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), migrasi adalah suatu perpindahan tempat tinggal dari satu unit administrasi ke unit administrasi yang lain.

Konsep kewarganegaraan telah menjadi konsep penting dalam konteks wacana ilmu sosial, pendidikan, dan “politik top” sejak akhir

(23)

kebebasan berbicara, dan hak katas keadilan.Hak politik yaitu hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan atau agenda politik.Hak sosial merujuk pada hak atas kesejahteraan ekonomi dan keamanan.

Fokus yang muncul pada kajian kewarganegaraan dalam pembangunan mencerminkan peningkatan minat global terhadap konsep kewarganegaraan. Minat kontemporer dalam kewarganegaraan disebabkan oleh enam faktor, beberapa diantaranya adalah proses kontemporer globalisasi-lokalisasi, dinamika peningkatan migrasi internasional, peningkatan kesadaran politik etnis dan perbedaan budaya di negara-bangsa, dan fragmentasi negara-bangsa terkait perbedaan politik. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain (Heater 1999, dikutip dalam Jones & Gaventa, 2002:1).

(24)

tempat dimana dia dilahirkan. Martasuta mencontohkan jika seseorang yang berasal dari Indonesia melahirkan anaknya di negara yang menerapkan sistem ius soli, maka anak tersebut tetap diakui sebagai warganegara dari negara dimana dia dilahirkan.

Unsur pewarganegaraan atau naturalisasi, menandakan bahwa seseorang berkewenegaraan asing dapat mengajukan permohonan untuk menjadi warganegara dari negara tertentu.

Marsuta juga mengatakan terdapat dua masalah dari kewarganegaraan yaitu bepatride dan apatride. Pertama, jika seseorang yang berasal dari negara yang menerapkan sistem ius sanguinis melahirkan anaknya di negara yang menerapkan sistem ius soli maka anak tersebut dinyatakan sebagai warga negara kedua orang tuanya dan tempat negara dimana dia dilahirkan. Kedua, jika seseorang yang berasal dari negara yang menerapkan sistem ius soli melahirkan di negara yang menerapkan sistem ius sanguins, maka anak tersebut tidak lagi dianggap sebagai warganegara kedua orang tuanya dan tidak dianggap sebagai warga negara dari negara dimana dia dilahirkan atau disebut stateless.

(25)

kewarganegaraan, warga pendatang membuat klaim pada negara atas hak dan pengakuan (Nyers, 2015).Teori ini menekankan bahwa negara memberikan hak-hak terhadap warga pendatang atau bersifat “protektif”. Hal ini berlaku pada para pekerja migran yang bekerja di

Hong Kong. Pemerintah Hong Kong memberikan regulasi ketenagakerjaan luar negeri sesuai dengan kesepakatan ratifikasi dengan ILO. Migrasi kewarganegaraan yang dilakukan oleh pekerja migran Indonesia juga dipayungi oleh faktor hukum yang jelas.

Di Hongkong perundangan untuk ketenaga kerjaan terkait dengan pekerja migran sangat jelas, baik dari segi payung hukum maupun perlindungan akan hak-hak pekerja migran itu sendiri. Kepuasan para pekerja migran Indonesia ketika bekerja di Hong Kong selain kontrak bekerja yang jelas, gaji yang diterima dan perlakuan majikan ketika mereka bekerja juga sudah diatur dalam undang-undang ketenaga kerjaan. Sehingga dalam konteks migrasi kewarganegaraan, warga pendatang membuat klaim pada negara atas hak dan pengakuan. Hal ini lah yang terjadi pada para pekerja migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong.

3. Teori Securititation Migration

(26)

sebagai ancaman eksistensial terhadap keamanan masyarakat untuk menerapkan kontrol perbatasan yang relatif restriktif dan langkah-langkah imigrasi (dikutip dalam Mcgahan, Conference Paper, 2009:4).Dapat dikatakan konsep securititation berkaitan erat dengan fenomena migrasi, dimana para aktor politik melihat migrasi sebagai suatu ancaman terhadap masyarakat.Secara tidak langsung memberi sinyal bahwa keamanan menjadi semakin penting sedangkan hak asasi manusia semakin terbatas, oleh sebab itu kontrol migrasi merupakan kunci kedaulatan (Topulli, EJMS, 2016:3).

Securititation migration adalah meningkatnya suatu fenomena pergerakan orang-orang yang memprovokasi kecemasan diseluruh dunia dan menyebabkan pola identitas budaya, serta kepemilikan dan keamanan yang sudah lama terbentuk menjadi keadaan yang tidak pasti, dimana hal ini menyebabkan retorika migrasi untuk mendapatkan popularitas negara bangsa terutama Negara Barat yang menindak migrasi karena alasan keamanan (Bourbeau, 2011), sebagaimana dikatakan Philippe Bourbeu tentang definisi securititationmigration:

(27)

Adapun definisi lain, menurut Zayzda, securititation migration adalah sebuah konstruksi isu migrasi menjadi isu keamanan, terkait apakah itu merujuk terhadap keamanan sosial-ekonomi, keamanan tradisional negara, ataupun identitas negara (Zayzda, 2017). Zayzda juga mengatakan bahwa konsep ini menekankan pada proses simbolik yang menciptakan atau menegaskan retorika ekslusivitas politik.

Berdasarkan kedua definisi diatas terkait konsepsecurititation migration, dapat disimpulkan bahwa negara dan aktor politiknya memandang fenomena migrasi atau pergerakan para migran sebagai sebuah ancaman yang dapat menganggu stabilitas negara.Para pekerja migran Indonesia di Arab Saudi mengalami fenomena securititation migration, dimana hak-hak mereka dibatasi oleh majikannya. Budaya “kafalah” yang sampai sekarang berlaku membuat Arab Saudi belum

memiliki undang-undang tentang jaminan dan perlindungan pekerja migran.Dimana pemerintah Arab Saudi tidak boleh mencampuri segala urusan privat dari warga negaranya.Termasuk didalamnya adalah urusan yang menyangkut hak-hak pekerja migran yang bekerja sebagai domestic worker.

4. Teori AdvocacyNetwork

(28)

negara dan non-negara saling berinteraksi satu sama lain untuk membentuk pola-pola interaksi yang berkontribusi pada kompleksitas hubungan antar keduanya. Salah satu aktor non-negara prominen dalam interaksi tersebut adalah transnational advocate network atau jaringan advokasi transnasional. Jaringan tersebut memiliki signifikansi transnasional, regional dan domestik serta melibatkan para ahli, ilmuwan serta aktivis. Jaringan advokasi transnasional bekerja sebagai pendorong proses integrasi regional dan internasional dengan membangun relasi antar aktor masyarakat sipil, negara dan organisasi internasional(Sikkink, 1991).

(29)

internasional. Untuk memastikan kelancaran kinerja, maka di dalam jaringan advokasi transnasional terdapat mekanisme komunikasi yang menghadirkan kesempatan negosiasi secara formal maupun informal.

Hal ini untuk memastikan tersampainya informasi dari jaringan kepada rekan kerjasama. Kinerja lembaga NGO Internasional yang terkait dengan pekerja migran Indonesia memberikan kontribusi dalam perlindungan hak-hak pekerja migran.Mereka menjalankan mekanisme dengan lembaga NGO yang berada di tiap-tiap Negara tempat para pekerja migran bekerja. Melalui aktor non pemerintah tersebut, kesepakatan terkait dengan pelindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran Indonesia dapat dipenuhi.

(30)

I. Hipotesa

Kekerasan terhadap PMIdi Hongkong lebih rendah, sedangkan di Arab Saudi tinggi, karena :

1. Pemerintah Hong Kong lebih banyak meratifikasi Konvensi ILO untuk melakukan perlindungan pekerja migran dibandingkan pemerintah Arab Saudi.

2. Hong Kong menempatkan pekerja migran dalam sektor publik sehingga negara masih banyak terlibat, sedangkan di Arab Saudi menempatkan pekerja migran dalam sektor private karena diberlakukanya budaya Kafalah.

3. Tingginya advokasi NGO di Hong Kong dibandingkan di Arab Saudi. J. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

(31)

2. Lokasi Penelitian

Jenis data primer dan sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari objek penelitian, yaitu sebagai berikut:

a. Jakarta, KJRI Hong Kong dan Arab Saudi

b. Data dokumen dan perpustakaan, berupa data dari website resmi, jurnal ilmiah, dan buku-buku literatur lainnya.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini akan menggunakan dua sumber data untuk menyempurnakan analisis yakni sumber data primer dan data sekunder. Data Sekunder akan lebih menitik beratkan pada tela’ah

pustaka atau library research yang akan di peroleh dari berbagai buku, dokumen, jurnal, koran, majalah, website dan literatur lainya yang relevan dengan penelitian ini. Kemudian data primer akan dilakukan observasi lapangan dengan melakukan wawancara langsung kepada aktor-aktor yang relevan dengan kajian dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik untuk melakukan pengumpulan data, yaitu sebagai berikut:

a. Observasi

(32)

pengumpulan yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi terlibat.Menurut prof. Parsudi suparlan, observasi terlibat merupakan teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan dipahami oleh para warga yang ditelitinya.Kegiatan observasi terlibat bukan hanya mengamati gejala yang ada dalam masyarakat yang diteliti, tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, memahami dan dalam batas-batas tertentu mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang diteliti.Dalam penelitian ini peneliti mengobservasi lembaga-lembaga yang berkaitan dengan PMI. b. Wawancara

(33)

yang terbentuk oleh situasi berdasarkan peristiwa-peristiwa interaksional yang khusus.Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara semistruktur (semistructure interview).Tujuan wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan pihak yang diajak wawancara diminta pendapatnya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Peneliti telah membuat struktur wawancara namun tidak menentukan batasan atas jawaban dari responden.Jenis wawancara ini digunakan untuk tujuan mendapatkan hasil wawancara yang sesuai dengan pokok kajian penelitian serta mendapatkan informasi-informasi tambahan yang dibutuhkan dalam penelitian(Denzin, 2005). Peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber terkait dengan PMI yang ada di Arab Saudi dan Hong Kong,yakni :

1) Sring Atin (Ketua KOTKIHO di Hong Kong) 2) Fera (Mantan PMI di Hong Kong)

3) Boby Alwi Ma’arif (Sekjen SBMI)

(34)

5. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Patton (1989) dalam tulisan Moleong (2002), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data berbeda dengan penafsiran data.Analisis data lebih memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian (Moleong, 2002). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dalam analisis kualitatif, langkah-langkah analisis yang sering digunakan untuk memahami komponen-komponen data adalah reduksi data, displaydata, dan penarikan kesimpulan. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini akan dilakukan secara terstruktur dan tersistematis dengan bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam memahami, mendeskripsikan, dan menganalisis terhadap permasalahan yang menjadi pokok penelitian, adalah sebagai berikut:

(35)

Bab II: Bab ini menjelaskan awal pengiriman PMIdari era ke era dan pengiriman PMI ke Arab Saudi dan Hong Kong, serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam perlindungan PMI

Bab III: Bab ini menjelaskan tentang kekerasan terhadap PMI di penempatan.

Bab IV: Bab ini menjadi kunci dari penelitian ini dimana dengan menggunakan Konsep Perlindungan Hukum, Konsep Budaya dan Konsep Organisasi Buruh yang mempengaruhi kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi dan Hong Kong.

(36)

69 BAB III

TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI HONG KONG DAN ARAB SAUDI

Dalam bab ini, membahas angka kekerasan dan jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh para pekerja migran yang ada di Hong Kong dan Arab Saudi khususnya di daerah penempatan atau negara tujuan para PMI.

A. Kekerasan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Indonesia di penempatan

(37)

dalam pemberangkatan, penempatan serta pemulangan ketanah air. Ketika PMI sudah berada di negara penempatan, maka hukum tertinggi adalah hukum yang berlaku yang berada di negara penempatan, sehingga pemerintah Indonesia dan PMI secara legal harus tunduk kepada hukum yang berlaku di negara tujuan (Sejati, 2015).

Kekerasan yang lebih banyak dialami oleh para PMI adalah ketika berada di penempatan.Permasalahan penempatan biasanya terkait dengan diskriminasi dan eksploitasi yang rentan dialami oleh pekerja migran perempuan (BNP2TKI, Laporan Pemantauan HAM pekerja Migran, 2010). Menurut Bobi Alwi Ma’arif selaku ketua SBMI macam-macam bentuk kekerasan yang di alami oleh PMI adalah:

1. Marginalisasi (penyudutan terhadap pekerja dengan cara pemberian upah hanya sebagian).

2. Subordinasi (selalu dianggap lebih lemah).

3. Stereotype (pelecehan terhadap pekerja perempuan).

4. Kekerasan. Kerasan yang di alami oleh PMI sangat banyak antara lain adalah :

(38)

b. Sering mendapatkan perbedaan upah antara pekerja migran laki-laki dan perempuan.

c. Perbedaan perlakukan dan resiko (kekerasan berlapis bagi pekerja perempuan). Dan bagi yang menjadi PRT, tidak boleh memegang paspor sendiri, upah lebih rendah dan tidak mempunyai waktu untuk libur. Sering mendapatkan hinaan dan cibiran.

d. Bekerja lebih dari satu tempat dan tidak sesuai dengan kontrak, serta bekerja dengan overtime (lebih dari 12-20 jam/ hari) namun tidak mendapatkan gaji tambahan. Pemotongan gaji.

e. Tidak mendapatkan tempat tinggal yang memadai dan tidak mendapatkan fasilitas untuk tidur dan idak mendapatkan makanan yang cukup dan tidak memiliki standar gizi.

f. Tidak mendapatkan alat keselamatan dan keamanan bekerja. g. PMI di panggil dengan sebutan budak Indonesia. Sumber :

Wawancara 1

(39)

migran pada setiap negara terdapat perbedaan. Misalnya di Arab Saudi para pekerja migran menjadi hak milik dari majikan sehingga negara tidak dapat mengintervensi wilayah privasi tersebut, karena Arab Saudi adalah negara yang menganut sistem kafalah, dimana pemerintah tidak mempunyai hak untuk ikut campur dengan urusan warga negaranya yang bersifat privat (Fatawati, 2016). Data tabel dibawah ini adalah jumlah kasus kekerasan yang terdapat pada beberapa negara tujuan.

Tabel 6. 10 Negara terbesar tujuan pengiriman pekerja migran Indonesia.

No Negara Kasus Kekerasan

1 Arab Saudi 41.412

2 Malaysia 14.807

3 Yordania 9.357

4 Syiria 8.675

5 Uni Emirat Arab 8.234

6 Taiwan 8.035

7 Kuwait 7.845

8 Singapore 7.280

9 Oman 6.909

10 Hongkong 6.590

(40)

Grafik 1. 10 Negara tujuan terbesar tingkatkekerasan terhadap PMI Sumber: 10 negara terbesar tingkat kekerasan terhadap domestic workers

(PMI) bnp2tki. 2018

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa tingkat kekerasan terhadap PMI yang ada di Hong Kong jauh lebih rendah dibanding tingkat kekersan yang diterima oleh para PMI yang ada di Arab Saudi. Dapat dilihat dalam tabel 7, jumlah kekerasan yang ada di Arab Saudi dari tahun 2011 sd. 2017 mencapai 41.412 kasus/ kekerasan, sedangkan angka kekerasan terhadap PMI yang ada di Hong Kong dari tahun 2011 sd. tahun 2017 mencapai 6.590 kasus/ kekerasan.Adapun kekerasan yang didapat oleh PMI yang ada di Arab Saudi dan Hongkong yakni (BNP2TKI, 2017) :

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

Jumlah kekerasan

(41)

1. Permasalahan dan Tindak kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara yang menjadi tujuan terbesar ketiga para PMI setelah negara Malaysia dan Taiwan.Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa sebanyak 138,438 PMI yang ada di Hong Kong. Semakin banyak PMI yang dikirim ke negara tujuan maka akanada kemungkin tingkat kekerasan di suatu negara tujuan juga akan tinggi. Dan hal ini terbukti dan terjadi pada negara Arab Saudi.Tingkat kekerasan terhadap di negara Arab Saudi berada diurutan pertama.Arab Saudi menjadi negara “Zona Merah” untuk para PMI,

karena tingkat kekerasannya. Dari 2011 hingga 2017 kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi mencapai 41.412 kekerasan. Kekerasan terhadap PMI di Arab Saudi sangat tinggi baik dalam pra penempatan, penempatan dan pasca pemulangan (BNP2TKI, 2017).

Ketika PMI ditempatkan di negara tujuan, tentunya banyak kekerasan yang didapat oleh para PMI yang ada di Arab Saudi. Agus Gia menyatakan bahwa:

(42)

Sehingga,karena masyarakat Arb Saudi menganut sistem kafalah maka PMI sangat rentan mengalami kekerasan dipenempatan yang dilakukan oleh majikan, dimana para pekerja migran yang bekerja di sektor domestic dianggap budak majikan.

Sekjen SBMI, Bobi Alwi Ma’arif menyatakan bahwa kekerasan yang diterima oleh para PMI di Arab Saudi ketika dipenempatan yakni (Wawancara 1):

a. Meninggal ditempat kerja, hal ini biasanya disebabkan karena PMI mendapatkan kekerasan seperti dipukul, disiksa oleh majikan sehingga mengalami sakit yang cukup parah dan bisa mengakibatkan meninggal dunia.

b. Mendapatkan vonis hukuman mati. PMI di tanah air juga sering mendapatkan vonis hukuman mati. Terkadang terjadi misunderstanding antara majikan dengan pekerja, selain itu banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para PMI yang mengakibatkan mereka diberikan vonis hukuman mati, seperti majikan meninggal, mencuri atau membunuh anak majikan. c. PMI sakit. Adapun PMI yang mengalami sakit karena bekerja

(43)

d. PMI tidak dibayar, ketika telah bekerja kekerasan yang didapat oleh para PMI juga terkait dengan gaji, sering kali para PMI tidak dibayar.

e. PMI tidak dibayar sesuai dengan perjanjian kerja/ kontrak.

f. PMI diperkosa. Karena sebagian besar PMI yang ada di Arab Saudi adalah perempuan dan majikan menganggap bahwa setiap yang bekerja sebagai domestic Workers adalah budak.

g. PMI mendapatkan pelecehan seksual. Selain diperkosa oleh majikan, ada juga PMI yang mengalami pelecehan seksual.

h. PMI dihamili majikan.

i. PMI dianiaya, sebagian besar PMI yang ada di Arab Saudi yakni dianaiya oleh majikan, seperti dipukul dan disiksa oleh majikan. j. PMI diPHK sepihak

k. PMI mengalami kecelakaan kerja. Telah diketahui bahwa ketika bekerja sebagai domestic worker tentunya bekerja dibagian 3D, sehingga perlunya safety dalam bekerja, namun terkadang majikan tidak memberikan alat-alat untuk kemanan pekerja, hal inilah yang sering mengakibatkan PMI mengalami kecelakaan.

(44)

ditempat kerabat nya. Sehingga hal ini membuat pekerja harus bekerja diluar perjanjian kerja.

Adapun angka kekerasan yang dididapat oleh para PMI yang ada diArab Saudi dalam penempatan dari 2011s s/d 2017 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Sumber : Pusat Crisis center BNP2TKI 2017 ( https://halotki.bnp2tki.go.id)

(45)

dipenempatan atau negara tujuan. Dari data tabel 8, kekerasan yang dialami oleh para PMI dari 2011 sd. 2017 sebanyak 27.978 kekerasan.Meskipun dari tahun 2011 sd. 2017 kekerasan terhadap PMI di penempatan mengalami penurunan yang sangat signifikan, namun kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi masih berada diurutan pertama terkait dengan kekerasan yang dialami oleh para PMI.

Sebagian besar, kekerasan yang dialami oleh para PMI dipenempatan dari tahun 2011 sd. 2017 adalah PMI diPHK sepihak, dimana angka PMI yang diPHK sepihak oleh majikan sebanyak 8.779 kekerasan, selanjutnya kekerasan kedua yang sering di alami oleh para PMI di Arab Saudi adalah PMI sakit akibat bekerja yang melebihi jam kerja. Dimana kekerasan ini sebanyak 6.578 kekerasan, dan kekerasan yang berada diurutan ketiga yakni gaji yang tidak dibayar, sebanyak 3.336 kekerasan yang dialami oleh para PMI yang ada di Arab Saudi. Angka kekerasan terendah terhadap PMI yang ada di Arab Saudi yakni PMI mendapatkan hukuman mati, dari tahun 2011 sd. 2017 sebanyak 137 PMI yang mendapatkan vonis hukuman mati (HaloTKI.com, 2018).

C. Tindak kekerasan terhadap PMI yang ada di Hong Kong

(46)

juga jarang memuat pemberitaan tentang permasalahan atau tindak kekerasan yang terjadi pada PMI yang ada di Hong Kong karena sangat sedikit media massa memperhatiankan permasalahan di Hong Kong dan pemerintah serta pelayanan Publik lainnya lebih fokus kepada kondisi PMI yang ada di Arab Saudi dan Malaysia dari pada di Hongkong. Namun, pada kenyataannya meskipunHong Kong dianggap surganya para PMI, tindak kekerasan terhadap PMI di Hong Kong tetap terjadi meskipun jumlah kekerasan terhadap PMI yang ada di Hong Kong tidak seperti tindak kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi dan Malaysia (Prabowo, 2014).

(47)

sebagaian dari PMI yang ada di Hong Kong juga mendapatkan kekerasan dipenempatan seperti halnya yang dialami oleh para PMI yang ada dinegara penempatan lainnya.Masih banyak majikan yang melakukan kekerasan terhadap para PMI yang bekerja kepada mereka, biasanya pekerja yang mendapatkan tindak kekerasan adalah PMI yang pertama kali atau baru bekerja di Hong Kong. Kekerasan yang biasa dialami oleh para PMI adalah pelanggaran HAM, contohnya tidak mendapatkan hak libur, penyitaan papor dan lainnya” (Wawancara 3).

Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh para majikan terhadap para PMI di Hongkong yakni (Hesti R. Wijaya, 2015) :

1. Penyitaan paspor dan dokumen-dokumen resmi lainnya oleh agen-agen pekerja. Bentuk kekerasan ini dilakukan oleh agen-agen-agen-agen pekerja terhadap para PMI yang pertama kali berangkat ke Hong Kong. Hal ini membuat para PMI berbahaya ketika tinggal di negara lain, karena tidak memiliki dokumen resmi hal ini juga membuat para PMI tidak berani melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan majikan terhadap mereka ke KJRI. Serta di sisi lain ketika paspor disimpan oleh majikan atau disimpan oleh agen pekerja, maka PMI tidak akan mengetahui kapan Visa kerja nya berakhir.

2. Para PMI tidak mendapatkan hak libur / istirahat 4 kali 24 jam setiap bulan dan tidak mendapatkan hak libur nasional dan harus bekerja dengan jam kerja yang berlebihan.

(48)

tetapi mereka Cuma mendapatkan hak libur selama 10 jam hingga 13 jam.

4. Overcharging, overcharging adalah PMI membayar kepada agen lebih dari yang ditetapkan.

5. Bekerja lebih jam kontrak karena merawat anak kecil dan orang tua. Merawat binatang peliharaan kucing, ajing dan burung.

6. Terkadang PMI juga bekerja di luar kontrak atau dipaksa oleh majikan, seperti halnya bekerja di rumah kerabat majikan atau selain bekerja di rumah para PMI diminta untuk menjaga tokoh atau restoran. Namun mendapatkan gaji dibawah standar.

7. Underpayment, para PMI mendapatkan gaji yang tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan oleh pemerintah Hong Kong.

8. Tidak mendapatkan gaji, karena di potong untuk biaya agen. Terkadang agen melakukan penipuan terhadap PMI yang ada di Hong Kong dengan menahan dokumen-dokumen resmi para PMI. Dan rata-rata mereka mendapatkan potongan dari agen kurang lebih dari 7 bulan.

9. Tidak mendapatkan gaji sesuai kontrak juga salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh para PMI di Hong Kong.

(49)

11.PMI sakit akibat kelelahan dan masih dalam keadaan sakit ketika PMI pulang ketanah air.

12.PMI disekap oleh agen yang ada di Hong Kong

Adapun angka kekerasan yang didapat oleh para PMI yang ada di

(50)

Arab Saudi, kekerasan yang banyak dialami oleh para PMI di Hong Kong yakni ketika mereka berada dipenempatan atau negara tujuan. Dari 6.590 jumlah kekerasan yang dialami oleh para PMI di Hong Kong, sebanyak 5.104 kekerasan berada di penempatan atau negara tujuan. Tingkat kekerasan yang ada di Hong Kong, terbilang sangat sediki dibandingkan 4 negara terbesar tujuan PMI lainnya. Setiap tahunnya kekerasan yang dialami oleh para PMI mengalami penurunan. Dilihat dari tabel 9 pada tahun 2011 jumlah kekerasan di penempatan sebanyak 1.057 kasus dan setiap tahunnya menurun hingga tahun 2017 kekerasan yang dialami oleh para PMI ditempatan atau tempat tujuan sebanyak 587 kasus.Sekertaris KOTKIHO, Ratih menyatakan bahwa:

Sebagian besar kekerasan yang dialami oleh para PMI yang bekerja di Hong Kong mendapatkan kekerasan dari pihak agen dan majikan. Ratih juga mengatakan bahwa pihak agen dan majikan bekerja sama untuk membodohi dan menipu para PMI yang ada di Hong Kong khususnya PMI yang baru pertama kali kerja di Hong Kong.”(Wawancara 6)

(51)

Selain dari overcharging, kekerasan yang tinggi terhadap PMI di penempatan selanjutnya adalah underpayment, sebanyak 1.184 kasus terjadi di Hong Kong. Menurut salah satu pengurus organisasi Lingkar Cinta Indonesia yang ada di Hong Kong yang bernama Ani Mardiani :

kasus kekerasan yang banyak didapat oleh PMI adalah underpayment. Underpayment adalah pembayaran upah minimum terhadap PMI, dan biasanya kekerasan ini juga dilakukan oleh para agen dan majikan kepada PMI yang baru pertama kali kerja di Hong Kong” (Wawancara 5).

Dimana hal ini terjadi karena perjanjian yang dibuat oleh agen dan majikan tanpa sepengetahuan oleh PMI.

Selain overcharging dan underpayment yang menjadi kekerasan berada urutan tertinggi, bentuk-bentuk kekerasan dipenempatan yakni Dokumen disita Agen/ majikan, Tidak mendapat hak libur tahunan,bulanan atau mingguan, PMI sakit, disekap, gaji tidak dibayar atau dipotong oleh agen, mendapatkan pelecehan seksual, bekerja di dua tempat dan dianiya oleh majikan. Dan kekerasan yang paling sedikit ketika di penempatan adalah PMI disekap oleh majikan, kekerasan ini sebanyak 85 kasus dari 2011 sd. 2017. Mantan PMI di Hong Kong yang bernama Fera menyatakan bahwa:

(52)

Adapun perbandingan tindak kekerasan pada kasus penempatan yang ada di Arab Saudi dan Hong Kong setiap tahunnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Grafik 2. Tingkat Kekerasan terhadap PMI (Domestic Worker) di Arab Saudi dan Hong Kong

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan yang sangat signifikan terhadap kekerasan yang di alami oleh para PMI yang ada di Arab Saudi dan Hong Kong. Meskipun dari tahun ketahun adanya pernurunan angka kekerasan yang di alami oleh PMI yang ada di Arab Saudi, namun kekerasan yang di alami oleh para PMI yang ada di Arab Saudi masih dianggap cukup tinggi dan dianggap berada di Zona Merah untuk para PMI.

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Arab Saudi 12909 6459 2826 2019 1847 1317 799

Hong Kong 1057 868 779 697 638 570 495

(53)

86 BAB IV

FAKTOR YANG MENYEBABKAN TINGKAT KEKERASAN TERHADAP PMI DI HONG KONG RENDAH DAN ARAB SAUDI

TINGGI

Dalam bab ini akan membahas faktor yang menyebabkan adanya perbedaan kekerasan terhadap PMI (Pekerja Migran Indonesia) 4yang signifikan di Arab Saudi dan Hong Kong. Faktor-faktor tersebut yakni perlindungan dari negara tujuan, budaya dinegara tujuan dalam memandang migran dan organisasi yang ada dinegara tujuan.

A. Perlindungan

Berkaitan dengan perlindungan untuk para PMI, perlindungan hukum tidak hanya dilakukan oleh negara Indonesia saja, namun kebijakan dalam bentuk perlindungan hukum juga harus ada di negara tujuan. Seperti hal nya, dalam upaya untuk meningkatkan diplomasi perlindungan PMI. Indonesia telah melakukan pengesahan terhadap konvensi PBB Tahun 1990 Perlindungan Hak PMI dan Keluarganya dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2012. Selain itu, Indonesia juga telah membuat perjanjian bilateral dengan beberapa negara penempatan. Perjanjian antar negara ini biasanya mengatur secara khusus masalah penempatan dan perlindungan bagi PMI seperti masalah gaji, libur,

4

(54)

potongan dan lain sebagainya (Sakdaporak, 2002). Namun, kebijakan yang dibuat oleh setiap negara penerima untuk melindungi PMI yang ada di negara mereka terdapat perbedaan. Dari penjabaran konsep di atas dapat kaitkan bahwasanya perlindungan negara penerima PMI juga menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tindak kekerasan terhadap para PMI, dilihat dari Hongkong dan Arab Saudi, kedua negara ini juga mempunyai kebijakan atau bentuk perlindungan hukum yang berbeda.

(55)

1. Peraturan pemerintah Arab Saudi terhadap Pekerja Migran di Arab Saudi

Arab Saudi merupakan sebuah negara yang berbasis kerajaan, dimana negara Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja dari keluarga

Sa’ud. Sebagain besar masyarakat Arab Saudi beragama Islam,

sehingga segala bentuk peraturan di Arab Saudi berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Menurut Josepsh Brand “Islamic Law Serves, and is the expression of God’s will” (Brand, 1986, hal 6 dalam , Fatmawati, 2016). Hukum tertinggi di negara Arab Saudi adalah

Al-Qur’an yang merupakam kumpulan-kumpulan dari wahyu-wahyu

Tuhan (Allah SWT) dan As-Sunnah yang diturunkan kepada Rasulullah (Nabi Muhammad SAW). Hukum dasar yang digunakan oleh pemerintah Arab Saudi dalam menjalankan roda

pemerintahannya adalah Syari’ah yakni hukum yang meliputi seluruh

aspek kehidupan masyarakat yang bersumber dari Al Qur‟an, As

-sunnah, serta ijtihad ulama. Dari hal ini dapat dilihat bahwa secara hirarki, hukum yang tertinggi di Arab Saudi adalah Al-Qur’an dan Al

-Sunnah, adapun hukum dasar pemerintah Arab Saudi yakni Syari’ah,

(56)

Dalam hal sistem ketenaakerjaan, Arab Saudi menggunakan sistem yang dikenal dengan sistem kafalah. Sistem kafalah merupakan:

sponsorship system that regulates residency and employment of the workers in the Gulf Cooperation Council (GCC) countries” atau “a system used to monitorthe construction and domestic migran laborers in the Arab States of the Persian Gulf” (Human Right Watch, 2008 didalam Surwandono, 2017).

Sistem kafalah yang berlaku di Arab Saudi memberikan ketentuan :

“an empolyemer assumes responsibility for a hired migran workers and must grabt explicit permission before the workers can enter Saudi Arabia, transfer employment, or leave the country. The kafala sistem give the employer immense control

over the workers” (Human Right Watch, 2008 didalam Surwandono, 2017).

(57)

adanya sistem kafalah membuat majikan menjadikan pekerja sebagai bagian dari property mereka (Harnas.com, 2018). Di Arab Saudi, privasi warga negaranya sangatlah penting dan tidak boleh diganggu gugat serta negara Arab Saudi tidak akan melanggar apa yang telah menjadi ketentuan sistem kafalah.

Dengan adanya sistem kafalah di Arab Saudi menjadi salah satu alasan sulitnya memberikan pelindungan pekerja migran di negara Arab Saudi, karena sistem ini juga membuat pemerintah Arab Saudi tidak bisa meratifikasi semua konvensi inti ILO dan tidak bergabung menjadi anggota ILO. Hal inilah yang menyebabkan Arab Saudi belum memiliki UU yang secara spesifik membahas tentang migran domestic workers. Pada dasarnya Arab Saudi telah membuat peraturan law labor untuk ketenagakerjaan. Namun Law Labor yang dibuat oleh Arab Saudi berstatus sebagai Royal decree, selain itu Law Labor yang dibuat dan diberlakukan hanya mengatur tentang ketenagakerjaan warga Saudi bukan untuk pekerja migran khususnya migran domestic workers.

(58)

tersebut tidak ada standar perlindungan bagi domestic workers, karena kembali lagi ke budaya yang telah dikonstruksi oleh masyarakat Arab Saudi bahwa peraturan yang terkait untuk domestic workers telah menjadi otoritas majikan, karena hal-hal yang berkaitan dengan hubungan majikan dan pekerja menjadi privasi dalam sebuah rumah tangga. Dan telah di ketahui juga bahwa, pekerja di sektor informal, apabila sudah mendapatkan majikan maka sepenuhnya pekerja tersebut akan menjadi hak majikannya dan dianggap sebagai budak yang telah dibeli (Fatmawati, 2016).

Adapun beberapa peraturan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi yakni peraturan yang diadopsi dari Konvensi ILO dan Konvensi yang di adakan oleh UN (United Nation), serta peraturan yang bersumber dari Dekrir Raja (Royal Decree). Adapun penjelasan tentang ke 3 sumber hukum di atas di jelaskan di bawah ini (Fatmawati, 2016) :

a. International Labor Organization (ILO).

(59)

1) Konvensi No. 105 Tahun 1957 tentang Penghapusan kerja Paksa.

Alasan Arab Saudi meratifikasi konvensi tersebut yakni dengan meratifikasi Konveni No. 105 tahun 1957 tentang Pengahpusan Kerja Paksa maka dapat di artikan bahwa Arab Saudi adalah negara yang tidak menyetujui sefala bentuk kerja Paksa serta Arab Saudi ingin menghapuskan segala bentuk kerja paksa dan perbudakan di dalam negerinya. Di sisi lain pemerintah Arab Saudi menginginkan semua bentuk pekerjaan dan perekrutan kerja harus dilaksankan secara sukarela tanpa ancaman ataupun paksaan dari pihak lain termasuk pemerintah. Dengan diratifikasi konvensi tentang penghapusan Kerja Paksa, hal ini menjadi sejarah panjang di Arab Saudi karena modernisasi dan penegakan HAM terjadi di Arab Saudi.

2) Konvensi No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

(60)

Istilah “diskriminasi‟ meliputi; (a) setiap perbedaan,

pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Pemerintah Arab Saudi membuat peraturan ini bukan hanya untuk pekerja Arab Saudi namun juga untuk tenaga kerja non-Arab Saudi. Namun telah diketahui bahwa konvensi tersebut tidak terimplementasikan dengan baik, karena masih ramai pemberitaan tentang kasus kekerasan terhadap tenaga kerja asing khususnya tenaga kerja sebagai domestic workers.

b. UNITED NATION

Selain mengratifikasi konvensi ILO untuk melindungi tenagakerja yang ada di Arab Saudi, pemerintah Arab Saudi juga meratifikasi beberapa konvensi yang bernaung terhadap UN. Konvensi-konvensi tersebut yakni Konvensi yang dilakukan oleh ONTUC tahun 2000, Konvensi CEDAW tahun 1979 dan Konvensi ICERD Tahun 1965.

c. UNTOC tahun 2000

(61)

Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime). Konvensi ini membahas tentang pencegahan perdagangan manusia terutama anak-anak dan wanita, tentang penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara dan juga membahas tentang penentangan pembuatan dan perdagangan senjata api illegal. Namun sistem Kafalah yang ada di Arab Saudi mengakibatkan konvensi ini tidak dapat di implementasikan dengan baik karena sistem kafalah yang berlaku di Arab Saudi membuat semakin tingginya bisnis perekrutan tenaga kerja asing illegal serta terjadinya human trafficking di negara Arab Saudi.

d. CEDAW tahun 1979

(62)

e. Konvensi ICERD Tahun 1965

Sebelum meratifikasi kedua konvensi di atas, pada tahun 1976 Arab Saudi telah meratifikasi konvensi yang di buat oleh ICERD pada tahun 1965.Konvensi in berisi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination). Karena banyaknya pelarangan tindakan diskriminasi di Arab Saudi, akhirnya pemerintah Arab Saudi mengambil keputusan untuk meratifikasi konvensi ICERD, yakni pelarangan terhadap semua bentuk diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Meskipun terindikasi bahwa Saudi sangat peduli dengan isu-isu HAM seperti kerja paksa dan diskriminasi (terbukti dengan fokusnya terhadap ratifikasi konvensi-konvensi forced labor dan diskriminasi), namun jumlah kekerasan dan penganiayaan tenaga kerja informal yang terjadi di negara ini justru tetap tinggi. f. Dekrit Raja (Royal Decree).

(63)

migran. Dimana perlindungan buruh migran tersebut terdapat pada Part III : Employment of No-Saudi dalam Labour Law : Royal Decree No. M/51 Tahun 2005 yang terdiri dari 10 Artikel. Perlindungan-perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi terhadap PMI non Saudi yakni (Unofficial Translation Saudi Labour Law Issued by Decree M/51, dated 23/8/1426 H, 2015):

1) Pada artikel 32 menjelaskan bahwa pekerja asing bisa bekerja di Arab Saudi apabila telah mendapat persetujuan dari Kementrian Perburuhan.

2) Pada artikel 33 menjelaskan bahwa non-Saudi boleh di ikut sertakan bekerja dan non-Saudi di izinkan diikutsertakan ddalam berbagai pekerjaan namun hal itu boleh dilakukan apabila non-Saudi setlah mendapatkan surat Izin keamanan dari Kementrian sesuai dengan format yang telah disediakn / dibuat oleh Menteri untuk suatu tujuan. Pengesahan atau pengabulan surat izin tersebut harus disertakan dengan beberapa persiapan yakni :

a) Pekerja laki-laki harus legal secara hukum dari negara asal dan harus mendapatkan surat izin untuk bekerja.

(64)

yang tidak banyak di miliki oleh warganegara lain atau pendidikan yang dimiliki sangat jarang dimilki oleh orang pada umumnya atau alternatif lainnya pekerja laki-laki harus menjadi pekerja katagori tetap yang dibutuhkan negara.

c) Dan pekerja laki-laki harus mendapatkan kontrak dari perusahaan dan mendapatkan tanggung jawab dari perusahaan.

Ketentuan-ketentuan yang berada dalam Artikel 33 dalam part III hanya digunakan untuk pekerja yang ingin bekerja dibidang Industri, periklanan atau perdagangan, pertanian, keuangan atau usah-usaha lainnya dan pekerjaan dibidang servis termasuk untuk servis layanan domestik.

1) Pada artikel ke 34 menjelaskan tentang Izin kerja yang disebutkan di artikel 33 tidak akan menganti izin atau lisensi apapun yang mungkin diperlukan oleh agen lain.

(65)

3) Pada artikel 36 menjalaskan bahwa Menteri harus mengeluarkan peraturan atau keputusan yang mengidentifikasi profesi dan pekerjaan bahwa non-Saudi dilarang untuk terlibat. 4) Pada Artikel ke 37 menjelaskan bahwa kontrak kerja untuk warga negara non-Saudi harus dilakukan secara tertulis dan harus istilah spesifik. Jika kontrak kerja tidak menyebutkan istilah yag telah ditentukan oleh Kementrian maka lamanya izin kerja akan dianggap sebagai masa kontrak.

5) Pada artikel ke 38 mejelaskan bahwa majikan tidak akan memperkerjakan pekerja dalam suatu profesi selain yang ditentukan dalam izin kerjanya. Selainitunjuga pekerja dilarang terlibat dalam profesi lain sebelum pekerja non-Saudi menyelesaikan prosedur hukum untuk mengubah profesi. 6) Pada artikel ke 39 membahas tentang ketemtuan-ketentuan

untuk majikan, dimana ketentuan-ketentuan tersebut yakni : a) Majikan tidak boleh membiarkan pekerjanya bekerja untuk

(66)

b) Majikan tidak akan mengizinkan pekerjanya bekerja untuk akunnya sendiri.

7) Pada artikel ke 40 masih membahas tentang ketentuan untuk pengguna pekerja. Dimana ketentuan-ketentuan selanjutnya yakni :

a) Majikan harus membayar atau membiayai biaya rekrutmen, pengadaan dan pembaharuan tempat tinggal, mengurus izin pekerja non-Saudi, membayar denda keterlambatan petugas, biaya perbuahan profesi, biaya pembuatan visa keluar masuk Arab Saudi, baiaya tiket kembali ketanah air ketika telah terjadi pemutusan hubungan kerja antara majikan dan pekerja asing.

b) Namun ada ketentuan didalam artikel ke 40 bahwa jika pekerja non-Saudi tidak layak untuk bekerja atau mereka ingin pulang sebelum kontrak selesai dan tidak mempunyai alasan yang sah, maka biaya kepulangan pekeja di tanggung oleh pekerja.

c) Majikan harus menanggung biaya transfer layanan dari pekerja yang ingin dipekerjakan.

(67)

merekrut, kecuali dimana mayat pekerja mati dimakamkan di Kerajaan dengan persetujuan keluarganya. Majikan harus dibebaskan dari tugas ini jika organisasi umum untuk Asuransi Sosial mengasumsikan kewajiban ini. 8) Pada artikel 41 menjelaskan bahwa peraturan pelaksanaan

harus menetapkan kondisi, control, dan prosedur prekrutan, transfer layanan dan perubahan kondisi.

Dari perlindungan yang dibuat oleh pemerintah Arab Saudi terkait dengan peraturan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi yakni peraturan yang diadopsi dari Konvensi ILO dan Konvensi yang di adakan oleh UN5 dan peraturan yang bersumber dari Dekrit Raja (Royal Decree), tidak ada satupun peraturan yang dibuat secara spesifik untuk PMI yang bekerja sebagai domestic workers. Meskipun didalam Royal Decree yang secara spesifik membuat Part III khusus non-Saudi, namun tidak ada juga pasal-pasal atau artikel didalam Part III tersebut membahas tentang perlindungan dan aturan-aturan tentang domestic workers. Padahal telah di ketahui bahwa pekerja migran yang ada di Arab Saudi sebagain besar bekerja sebagai domestic workers. Hal ini disebabkan Arab Saudi masih dipengaruhi oleh sistem kafalah.

5

(68)

Sitem inilah yang membuat pemerintah Arab Saudi tidak bisa meratifikasi semua Konvensi Inti ILO (Core Convention), karena ada beberapa konvensi tersebut bertentangan dengan sistem kafalah.

2. Peraturan pemerintah Hong Kong terhadap Pekerja Migran di Hong Kong

(69)

Namun, saat ini pekerja migran di Hong Kong yang bekerja sebagai domestic workers mendapatkan perlindungan dari hukum perburuhan Hong Kong sama dengan pekerja setempat. Dengan adanya perlindungan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hong Kong, para PMI mendapatkan Hak dan Kebebasan yang sama dengan pekerja setempat tanpa membeda-bedakan tempat kerja dan asal, hal ini disebabkan Hong Kong menempatkan PMI disektor publik, dimana pemerintah Hong Kong memberikan fasilitas perlindungan untuk para pekerja migran (MFWM,2017). Untuk memberikan fasilitas perlindungan untuk para pekerja dan pekerja migran Hong Kong meratifikasi konvensi ILO sebanyak 46. Khusus untuk pekerja migran, pemerintah Hong Kong meratifikasi ILO CI89 atau Convention on Domestic Workers tentang standar untuk perlakuan yang layak terhadap pekerja yang bekerja di sektor domestik seperti standar upah, hari libur, waktu istirahat dan HAM pekerja migran lainnya (Sakdaporak, 2002).

(70)

Dimana ketentuan tersebut telah tertuang dalam Employmenr Ordiance Chapter 57 untuk penatalaksanaan rumah tangga asing atau sering disebut foreign domestic workershelper (Sakdaporak, 2002).

(71)

sistem kafalah sehingga Arab Saudi tidak bisa meratifikasi konvensi ILO yang bertentangan dengan sistem kafalah, karena hanya meratifikasi sedikit konvensi ILO maka pemerintah Arab Saudi hanya membuat sistem perlindungan terhadap pekerja dalam negeri maupun pekerja migran melalui Royal Decree bukan Undang-Undang. Berbeda dengan Hong Kong, dimana pemerintah Hong Kong mengganggap pekerja migran sebagai sektor publik dan Hong Kong meratifikasi sebanyak 46 konvensi ILO. Sehingga Hong Kong memang mempunyai kebijakan yang megatur tentang ketenaga kerjaan.

B. Faktor Budaya

Faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap PMI yang kedua adalah perbedaan perspektif budaya itu mempengaruhi perlakuan masing-masing negara terhadap PMI, negara Arab Saudi dan Hongkong memilki sudut pandang dan budaya yang berbeda terhadap pekerja migran yang datang ke dua negara ini, Arab Saudi meletekakkan pekerja migran pada posisi securititation migration, sedangkan Hong Kong meletakan posisi pekerja migran pada citizen migration .

1. Budaya Arab Saudi

(72)

adalalah sebuah negara monarki, dimana hukum di negara tersebut berlandaskan hukum Islam. Raja adalah pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus pembuat peraturan dan undang-undang, sehingga hal inilah yang membuat raja di Arab Saudi menjadi pemimpin politik sekaligus menjadi Imam dan pemimpin agama (Purwanti, 20013).

(73)

sponsor (biasanya majikan). Budaya “kafalah” yang sampai sekarang berlaku membuat Arab Saudi belum memiliki undang-undang tentang jaminan dan perlindungan pekerja migran. Dimana pemerintah Arab Saudi tidak boleh mencampuri segala urusan privat dari warga negaranya. (Badawi, 2016 dalam Surwandono, 2017).

Dengan adanya sistem sponsor atau kafeel, pekerja migran tidak bisa masuk negara tujuan, berpindah kerja atau meninggalkan negara tanpa mendapatkan izin tertulis dari kafeel, seorang pekerja migran harus mendapatkan sponsor dari kafeel untuk memasuki negara tujuan dan tetap terikat pada kafeel tempat mereka bekerja sepanjang mereka masih tinggal di negara Arab Saudi. Dan pekerja migran harus mendapatkan persetujuan kafeel ketika ingin pindah pekerjaan atau mendapat izin atau visa keluar (exit visa) ketika ingin meninggalan Arab Saudi, imigran wajib melakukan “exit permit” dan ketika mereka tidak mendapatkan izin dari kafeel namun tetap meninggalkan rumah atau kabur dari majikan, maka kafeel bisa mencabut visa kerjannya dan membuat para pekerja migrannya menjadi illegal (Badawi, 2016 dalam Surwandono, 2017).

(74)

mendapatkan pekerjaan diluar kontrak kerja. Dalam kontek migrasi sistem kafalah adalah salah satu cara pemerintah Arab Saudi dan negara teluk lainya untuk mendelegasikan pengawasan serta tanggung jawab atas penduduk migran kepada penduduk lokal atau perusahan-perusahan. Status migrasi para pekerja lebih banyak diperlakukan sebagai regulasi keamanan (Badawi, 2016 dalam Surwandono, 2017). Adapun larangan-larangan terhadap pekerja migran yang terkait dengan sistem kafalah yakni (Badawi, 2016 dalam Surwandono, 2017) :

b. Pekerja migran tidak boleh mengganti pekerjaan tanpa izin dari sponsor.

c. Pekerja migran tidak bisa keluar dari pekerjaan mereka tanpa izin dari sponsor.

d. Pekerja migran tidak bisa meninggalkan negara tanpa seizing dari sponsor.

Gambar

Tabel 6. 10 Negara terbesar tujuan pengiriman pekerja migran Indonesia.
Grafik 1. 10 Negara tujuan terbesar tingkatkekerasan terhadap PMI
Tabel 7. Kekerasan terhadap PMI yang ada di Arab Saudi dari tahun 2011 s/d 2017
Tabel 8. Kekerasan terhadap PMI yang ada di Hong Kong dari tahun 2011 s/d 2017
+3

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana peranan perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi dalam melindungi warga Negara Indonesia di Jeddah dan upaya-upaya konkrit apa

BAB IV, Bab ini akan memaparkan hasil penelitian dari hubungan antar variabel, yaitu mengenai Faktor yang melatar belakangi TKI bekerja di Arab Saudi, Upaya apa saja

|21 Melihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Arab Saudi sebagai negara Islam dan menggunakan konstitusi Islam sebagai Hukum negara dalam penaganan Covid-19

Sebagian besar anak PMI di Sabah tidak memiliki paspor karena mereka masuk ke Malaysia secara ilegal bersama orang tua mereka tanpa izin perjalanan atau paspor resmi; atau

Hubungan bilateral Indonesia dan Arab Saudi sudah terjalin selama 68 tahun lamanya, dalam berbagai bidang Indonesia dan Arab Saudi telah melakukan kerja sama. Indonesia

Dalam bidang keamanan, Indonesia dan Arab Saudi bekerjasama untuk menanggulangi kejahatan transnasional, khususnya terorisme dengan adanya kesepakatan yang terjalin

Arab Saudi dan Iran adalah dua negara di Timur Tengah yang sejak lama memiliki hubungan yang tidak baik dimana Arab Saudi menganut paham Sunni dan menjadi

Hubungan baik yang dijalin oleh Arab Saudi dengan Iran bukan bermaksud bahwa Arab Saudi akan mendukung program nuklir Iran yang mendapat kecaman dari