BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman 2.1.1 Pengertian Hakim
Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.7
Pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
2.1.2 Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
1) Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
hakim mempunyai kewajiban: Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1)).
2) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).
7
3) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 ayat (2)).
4) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(Pasal 5 ayat (3)).
5) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2)).
6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 14 ayat (2)).
7) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3)).
8) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)).
9) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5)).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan tanggung jawab hakim, yaitu:
1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1)).
2) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan
dan putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1)).
Hakim secara garis besar tugasnya mengadili suatu perkara di pengadilan. Dalam mengadili suaatu perkara di pengadilan. Dalam mengadili suatu perkara di pengadilan tersebut, maka hakim melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Menerapkan hukum, jika undang-undang terebut sudah ada dengan jelas;
2. Melakukan penemuan hukum, jika undang-undang kurang jelas;
3. Menafsirkan hukum, jika undang-undang tersebut masih kabur;
4. Membuat hukum, jika undang-undang belum ada sama sekali.8
Sementara tugas hakim dalam menyelesaiakan sengketa pada umumnya adalah sebagai berikut :
1. Memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa,
sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan harmonis;
2. Menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai, sehingga tidak ada pihak yang
merasa kalah dan menang.
3. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak.9
8 Fence M. Wantu, 2011, Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan(Implementasi dalam
Proses Peradilan Perdata) cetakan pertama. Pustaka Pelajar,Yogyakarta, hlm.44 9
2.1.3 Kekuasaan Kehakiman
Pasal 1 Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menerangkan bahwa kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.10 Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2.2 Tinjauan Tentang Putusan Hakim 2.2.1.Pengertian Putusan Hakim
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di siding pengadilan.
2.2.2.Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik
10
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia No.14 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Fokusmedia, Bandung, 2010, hlm.110
adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan. Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.
Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakuan setelah masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah atau mufakat. Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian disidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah
dan di dukung oleh keyakinan hakim.11
2.2.3. Jenis-Jenis Putusan
1. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP).
2. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum (Pasal 153 ayat(4)
KUHAP).
3. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
4. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum
5. Putusan bebas.
6. Putusan pemidanaan pada terdakwa12
11
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,2012, hlm. 54 12
2.3 Tindak Pidana
2.3.1.Pengertian Tindak Pidana
Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya. Masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Tindak pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, tetapi perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Tindak pidana juga sering disebut delik.
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing
memberi definisi berbeda-beda. Menurut Vos delik adalah feit yang dinyatakan dapat
dihukum berdasarkan undang-undang. Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Simons, delik merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.13
2.3.2.Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur subyektif tindak pidana meliputi :
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa)
b) Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat dalam tindak
pidana pencurian.
d) Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedang unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi :
a) Sifat melanggar hukum
b) Kualitas dari si pelaku
c) Kasualitas yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
kenyataan sebagai akibat.14
2.4 Teori Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :15
1. Teori Absolut
Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (qia pccatum est). pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
13 Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 8 14
A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Jakarta, 2002, hlm 17 15
kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andreas tujuan utama ( primair) dari pidana menurut teori
absolute adalah “ untuk memuaskan tuntutan keadilan“ jadi, pidana bukan merupakan
suatu alat untuk mencapai suatu tujuan melainkan mencerminkan keadilan.16
2. Teori relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeanaes berpendapat teori ini
dapat disebut teori perlindungan masyarakat.17
3. Teori Gabungan ( vereniging theorie )
Teori ini diajukan pertama kali oleh Paligrino Rossi (1787-1884). Teori ini menjabarkan bahwa tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Namun, teori ini berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain pebaikan suatu yang rusak
dalam masyarakat dan prevensi general.
2.5 Sistem Pemidanaan
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana tela merinci jenis – jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana
dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. 18
Pidana pokok terdiri dari :
16
Ibid hlm 60 17 Ibid hlm 61 18
Adami Chajawi, Pelajaran Hukum Pidana (bagian 1), Rajagrafindo Persada,Jakarta, 2010, hlm. 25-26
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
4) Pidna denda
5) Pidana tutupan ( ditambahkan berdasarkan UU No 20 Tahun 1946)
Pidana tambahan terdiri dari :
1) Pidana pencabutan hak – hak tertentu
2) Pidana perampasan barang – barang tertentu
3) Pidana pengumuman keputusan hakim
2.6 Tinjauan Umum Tindak Pidana Perkosaan 2.6.1 Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Perkosaan sendiri menurut Pasal 285 KUHP adalah : Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.19
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP termyata hanya
mempunyai unsur-unsur obyektif, masing-masing yakni :20
a) barang siapa
b) dengan kekerasan atau
c) dengan ancaman akan memakai kekerasan
d) memaksa
e) seorang wanita
f) mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan
19 Moeljanto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,Bumi Aksara, Jakarta, 2003, hlm 105 20
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik khusus : kejahatan melanggar norma kesusilaan dan norma kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 97
g) dengan dirinya.
Berdasarkan bunyi pasal diatas, dapat dikemukakan bahwa unsur pokok dari perkosaan adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam melakukan persetubuhan dengan seorang wanita. Wanita adalah korban dari tindak pidana perkosaan, wanita yang disetubuhi tersebut juga harus bukan muhrimnya, artinya tidak terikat perkawinan dengan pelaku.
Perkosaan artinya melakukan kekerasan dan dengan ancaman memaksa seorang
perempuan bersetubuh dengan dia.21 Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, perkosaan
adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Sedangkan menurut PAF Lamintang dan Djisman Samosir, perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
untuk melakukan persetubuhan diluar ikatan perkawinan dengan dirinya.22
Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang memiliki implikasi negatif jangka panjang terhadap para korban (baik dari segi fisik maupun psikologis). Kerugian juga dialami secara signifikan baik terhadap korban maupun masyarakat secara keseluruhan, misalnya menurunnya persepsi wanita terhadap keamanan pribadi di ruang publik. Dengan demikian, dari sudut pandang manapun, kejahatan pemerkosaan tidak bisa dianggap remeh. Oleh karena itu, negara maupun masyarakat seharusnya memberikan perhatian yang lebih besar dalam menanggulangi kejahatan itu.
21 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009,hlm 501-502 22
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm 40-41
2.6.2 Faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya. Berikut ini berbagai macam pendapat para ahli mengenai faktor terjadinya tindak pidana perkosaan :
a. Menurut Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani bahwa perkosaan dapat terjadi karena
berbagai macam sebab, seperti adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seorang wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan atau stress pelaku atas berbagai permasalahan yang dihadapinya, karena pengaruh rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena keinginan pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya, juga didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukan perkosaan.
b. Psikolog Kartini Kartono mendeskripsikan latar belakang perkosaan, “ pada peristiwa
perkosaan, sang pemerkosa selalu didorong oleh nafsu-nafsu seks sangat kuat, dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis”.
c. Anton Tabah, “ meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek
sosial-budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang, dan kadang-kadang dengan
berbagai perhiasan mahal, kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan. Belum lagi mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum lagi vonis hakim
terhadap pelaku perkosaan yang tak setimpal.23
2.6.3 Penggolongan Perkosaan
Berikut ini adalah jenis-jenis perkosaan :24
1. Sadistice rape
Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresi berpadu dalam
bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesengan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2. Angea rape
Yakni penganiayaan yang menjadikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. Dononation rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan sperioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, Namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
23 Ibid, hlm 66, 70,71 24
Rena Yulia, Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan), Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 18-19
4. Seduktive rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mungkin rasa bersalah yang menyangkut seks.
5. Viktim precipitation rape
Yakni perkosaan yang terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. 6. Exploitation rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumaah tangga yang diperkosa oleh majikannya sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
2.6.4 Karakteristik Perkosaan
Karakteristik utama tindak pidana perkosaan :
1) Agresifitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan
2) Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual
semata-mata,
3) Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol
4) Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan kedalam tiga bentuk, yaitu ; anger rape, power rape dan sadist rape,. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis,
5) Ciri pelaku perkosaan : mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman
buruk, khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidak seimbangan emosional.
6) Korban perkosaan adalah parsitipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4- 19% tindak
pidana perkosaan terjadi karena kelalaian(partisipasi) korban.
7) tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.25
Untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa yang didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP terbukti mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan, di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang :
a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan
b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancan akan memakai kekerasan.
c. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa
d. adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksa adalah seorang wanita yang
bukan istrinya.
e. adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh
wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya diluar
perkawinan.26
25
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm 48
26
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik khusus : kejahatan melanggar norma kesusilaan dan norma kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 97.