• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori-teori yang relevan merupakan teori yang berhubungan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori-teori yang relevan merupakan teori yang berhubungan dengan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori-teori yang Relevan

Teori-teori yang relevan merupakan teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Teori ini mengenai naskah kuno yang terdiri dari pengadaan dan tujuan pengadaan naskah kuno, alih media yang terdiri dari prioritas utama alih media, tujuan dan manfaat alih media, transformasi digital yang terdiri dari digitalisasi, prosedur sebelum melakukan digitalisasi, proses digitalisasi, dan proses transformasi digital naskah kuno serta perangkat keras untuk mengoperasikan naskah kuno digital.

2.2 Naskah Kuno

Naskah kuno dapat dikategorikan dalam manuskrip tetapi tidak semua manuskrip dikategorikan naskah kuno. Manuskrip merupakan hasil tulisan tangan yang ditulis atau diketik oleh seseorang yang tidak dicetak dan juga tidak dipublikasikan. Naskah kuno terdiri dari dua arti kata yaitu “naskah” artinya karangan yang masih ditulis dengan tangan atau karangan seseorang yang belum diterbitkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, 776) dan kata “kuno” berarti lama atau dahulu kala (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, 614). Naskah kuno adalah karangan seseorang pada masa lalu yang kandungan isinya mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat dan belum diterbitkan.

(2)

Pengertian naskah kuno yang tercantum pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan Bab 1 pasal 1 ayat 4 adalah:

Semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan. Sedangkan Pudjiastuti (2006, 9) menyatakan bahwa “naskah kuno merupakan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan rasa dan pikiran hasil budaya masa lampau yang mengandung nilai historis.” Selanjutnya Suprihati (2004, 2) menyatakan bahwa “naskah kuno terdiri dari berbagai aksara dan bahasa daerah yang ditulis pada daun lontar, bambu, rotan, daun nipah, kulit kayu, tulang binatang, lurang, kertas Eropa, kain dan lain-lain.”

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa naskah kuno adalah semua dokumen hasil tulisan tangan dari berbagai aksara dan bahasa daerah yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun yang berisi berbagai pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, adat istiadat atau budaya masa lampau yang mengandung nilai historis baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.

2.2.1 Pengadaan Naskah Kuno

Pengadaan koleksi bahan pustaka adalah proses menghimpun bahan pustaka yang akan dijadikan koleksi diperpustakaan. Menurut Soeatminah (1992, 71) pengadaan bahan pustaka berasal dari berbagai sumber yaitu:

(3)

1. Pembelian

Pengadaan bahan pustaka dengan cara pembelian merupakan kegiatan penambahan koleksi yang paling banyak dilakukan oleh perpustakaan. Dengan cara ini dapat dilakukan pemilihan koleksi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengguna dan dana yang tersedia. Sebelum melakukan pembelian, setiap judul buku harus diperiksa kembali untuk mengetahui apakah buku tersebut sudah dimiliki oleh perpustakaan atau sedang dipesan. Pembelian bahan pustaka dapat dilakukan melalui penerbit, toko buku dan agen buku.

2. Tukar menukar

Tukar menukar bahan pustaka dapat dilakukan apabila perpustakaan memiliki jumlah bahan pustaka yang tidak dibutuhkan lagi atau jumlah bahan pustaka yang terlalu banyak, atau hadiah yang tidak diinginkan. Pada proses tukar menukar dibutuhkan kesepakatan yang lazimnya memiliki perbandingan 1:1 tidak memandang berat, tebal atau tipis publikasi dan harga. Tujuan dari tukar menukar bahan pustaka yaitu untuk memperoleh bahan pustaka tertentu yang tidak dapat dibeli, untuk memanfaatkan bahan pustaka yang duplikasi atau penerimaan hadiah yang tidak sesuai dan untuk mengembangkan kerjasama yang baim antar perpustakaan.

3. Hadiah

Sebagian bahan pustaka yang terdapat di perpustakaan ada juga diperoleh melalui hadiah. Bahan pustaka yang diperoleh lewat hadiah sangat penting untuk mengembangkan koleksi perpustakaan. Perpustakaan yang menerima bahan pustaka berupa hadiah dapat menghemat biaya pembelian. Ada dua cara teknik yang ditempuh unutk mendapatkan bahan pustaka melalui hadiah yaitu hadiah atas permintaan dan hadiah tidak atas permintaan.

4. Titipan

Pengadaan bahan pustaka melalui titipan biasanya dilaksanakan oleh pecinta buku yang menitipkan koleksinya diperpustakaan agar dibaca oleh pengguna.

Sedangkan Windi (2013, 5) mengemukakan cara pengadaan naskah kuno adalah sebagai berikut:

1. Hibah

Hibah dari pemilik naskah atau kolektor naskah kuno ialah para pemilik naskah dengan senang hati menitipkan naskah kuno yang ada pada mereka kepada Perpustakaan. Apabila naskah kuno yang ada pada pemilik naskah tidak sanggup untuk merawatnya, maka pihak Perpustakaan meminta persetujuan pewaris naskah agar naskah kuno yang ada pada mereka disimpan pada Perpustakaan.

(4)

2. Pembelian Naskah secara Pribadi

Museum atau perpustakaan membeli benda-benda kuno, termasuk naskah, yang ditawarkan pemilik benda kuno atau naskah itu. Dalam hal ini Perpustakaan hanya sedikit ingin membeli naskah kuno dari pewaris naskah, kurangnya dana mengakibatkan sulitnya membeli naskah kuno dari pewaris naskah. Naskah yang di jual dengan sangat mahal maupun ketertutupan informasi dari masyarakat.

3. Salinan dari Naskah Induk

Naskah kuno yang tersimpan kebanyakan berupa kopiian naskah, alih media naskah maupun salinan naskah dari naskah induk.

4. Pengembalian atau Penyerahan

Perpustakaan atau museum suatu negara yang menyimpan naskah kuno untuk dikembalikan ke negara asal naskah kuno. Pada saat ini perpustakaan belum pernah menerima foto copy maupun salinan naskah asli dikembalikan atau diserahkan kepada perpustakaan.

Selain pendapat di atas Sutarno (2006, 177) mengemukakan koleksi bahan pustaka dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:

1. Pembelian baik langsung maupun melalui pihak ketiga; 2. Melakukan tukar menukar;

3. Mendapatkan bantuan atau sumbangan;

4. Menggandakan seperti membuat foto kopi, membuat duplikasi, membuat CD dan lain sebagainya; dan

5. Menerbitkan termasuk didalamnya membuat kliping koran.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa cara pengadaan naskah kuno hampir sama dengan pengadaan bahan pustaka. pengadaan bahan pustaka dapat dilakukan melalui pembelian, tukar menukar, hadiah dan titipan sedangkan pengadaan naskah kuno dapat dilakukan melalui hibah, pembelian secara pribadi, salinan naskah induk dan penyerahan atau pengembalian dari perpustakaan lain yang memiliki naskah kuno.

2.2.2 Tujuan Pengadaan Naskah Kuno

Pengadaan bahan pustaka dimaksudkan agar koleksi sesuai dengan kebutuhan pengguna. Dengan adanya pengadaan bahan pustaka maka koleksi

(5)

perpustakaan dapat dibina sebaik mungkin sehingga tujuan perpustakaan tercapai. Menurut Sutarno (2006, 174) “tujuan pengadaan bahan pustaka menambah dan melengkapi koleksi yang sudah ada serta menjadi titik tolak kegiatan pembinaan dan pengembangan koleksi selanjutnya.” Sedangkan dalam Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Perguruan Tinggi (2002, 6) dinyatakan tujuan pengadaan bahan pustaka adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan kebijakan pada rencana pengadaan bahan pustaka; 2. Menetapkan metode yang sesuai dan terbaik untuk pengadaan;

3. Mengadakan pemeriksaan langsung pada bahan pustaka yang dikembangkan;

4. Menetapkan skala prioritas pada bahan pustaka yang dikembangkan; 5. Mengadakan kerjasama antara perpustakaan pada pengadaan bahan

pustaka dan pelayanan setiap unit perpustakaan; serta

6. Melakukan evaluasi pada koleksi yang dimiliki perpustakaan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan pengadaan bahan pustaka dapat menambah koleksi yang sudah ada. Dapat juga dijadikan sebagai metode serta skala prioritas dalam pengembangan koleksi. Selain itu dapat dilakukan evaluasi pada koleksi yang telah dimiliki perpustakaan.

2.3 Alih Media

Alih media pada saat ini menjadi suatu fenomena baru yang mulai banyak diperhatikan dan dibutuhkan penyebaran informasi maupun pelestarian informasi yang terkandung didalamnya, sehingga akses informasi menjadi cepat dan efisien. Menurut Hartinah (2009, 15) “alih media adalah merubah bentuk dari bahan tercetak ke dalam bentuk digital seperti mikrofice, pita magnetik, CD, DVD dan lain-lain.” Alih media biasanya dilakukan pada bahan pustaka yang bernilai sejarah seperti naskah kuno, buku langka atau bahan pustaka yang memiliki

(6)

kondisi fisik yang sudah rapuh. Sedangkan Kosasih (2008, 12) mengemukakan bahwa “alih media juga merupakan alternatif untuk melestarikan kandungan informasi bahan pustaka, karena formatnya dapat disimpan pada media penyimpanan yang relatif besar kapasitasnya dan tahan lama.” Selanjutnya, Husna (2013, 2) mengemukakan bahwa:

Alih media digital artinya suatu proses pengalihan bentuk ke dalam format digital dari bentuk analog yang sebelumnya hanya satu buah menjadi file digital yang dapat dibaca pada komputer dan dapat dibuatkan kopi digitalnya, sehingga ada dua versi yaitu versi asli dan kopiannya dalam bentuk digital.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa alih media adalah merubah bentuk tercetak ke dalam bentuk digital atau alternatif untuk melestarikan kandungan informasi bahan pustaka. Format penyimpanan yang relatif besar kapasitasnya dan tahan lama sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas serta digunakan kapan saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, dapat juga dibuatkan kopi digitalnya yang memiliki versi asli dan versi kopiannya dalam bentuk digital.

2.3.1 Prioritas Utama Alih Media

Langkah pertama dalam melestarikan isi kandungan naskah kuno adalah dengan membuat suatu prioritas. Prioritas ini diperlukan untuk menyelamatkan nilai historis dan isi kandungan dalam naskah kuno. Menurut survey yang dilakukan oleh Gould dan Ebdon yang dikutip oleh Lee (2001, 4) mencatat bahwa “hampir dua pertiga perpustakaan telah melakukan program kegiatan alih media bahan pustaka yang terjadi sekitar tahun 1995-1996, tetapi tidak semua perpustakaan mengalihmediakan setiap koleksinya dalam bentuk digital.” Alasan

(7)

utama banyaknya perpustakaan dan museum melakukan alih media bahan pustaka ialah untuk meningkatkan penggunaan koleksi, mengusahakan agar bahan pustaka asli tidak cepat mengalami kerusakan, menjaga dan melestarikan nilai yang terkandung dalam naskah kuno seperti nilai historisnya.

Dalam Petunjuk Teknis Pelestarian Bahan Pustaka (1995, 7) dinyatakan bahwa:

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu bahan pustaka perlu dilakukan alih media, diantaranya, faktor lingkungan (temperatur dan kelembapan udara, cahaya, pencemaran udara, faktor biota, dan bencana alam seperti kebanjiran, gempa bumi, kebakaran dan kerusuhan) dan faktor manusia. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kualitas kertas yang baik dan keterbatasan dana yang ada serta pentingnya peranan bahan pustaka sebagai media informasi di masa mendatang, mengakibatkan sering ditemukan bahan pustaka sudah dalam kondisi rusak, kertasnya rapuh dan berubah warna menjadi kuning kecoklatan, bahkan ada juga yang telah hancur. Dengan hancurnya kertas tersebut, berakibat hancur juga informasi yang terkandung di dalamnya dan hal ini merupakan kerugian yang tak ternilai.

Sedangkan Seadle (2004, 119) mengemukakan kriteria yang harus menjadi prioritas penting untuk mengalihmediakan bahan pustaka, adalah:

1. Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan berharga;

2. Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka sesuai dengan standar yang ada; dan

3. Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan penelitian.

Selanjutnya menurut Hendrawati (2014, 11) kriteria dalam penyeleksian materi yang akan didigitalisasi meliputi:

1. Prioritas: koleksi naskah nusantara, buku langka, peta kuno, gambar, foto bersejarah, majalah, surat kabar;

2. Koleksi dengan permintaan yang tinggi atau sedang;

3. Koleksi yang relatif tidka dikenal, karena diakses lewat digital diharapkan meningkatkan permintaan; dan

(8)

4. Kriteria: Tema: yang menajdi prioritas adalah sejaran terbentuknya zaman kolonial, kemerdekaan dan lain-lain serta tingkat keterpakaian. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mengalihmediakan bahan pustaka terlebih dahulu harus membuat suatu prioritas utama dilakukannya kegiatan alih media. Selain itu, dalam melakukan alih media juga harus memperhatikan kriteria penting dalam mengalihmediakan bahan pustaka seperti bahan pustaka yang berharga, prosedur dan standar digitalisasi bahan pustaka serta hak cipta untuk mengaksesnya.

2.3.2 Tujuan Alih Media

Tujuan dilakukannya kegiatan alih media naskah kuno yaitu untuk menyelamatkan nilai informasi yang terkandung didalamnya dan mengurangi intensitas penggunaan naskah secara langsung karena naskah rentan mengalami kerusakan. Hartinah (2009, 15) mengemukakan bahwa:

Kegiatan alih media bertujuan untuk untuk melestarikan nilai informasi termasuk koleksi informasi langka, efisiensi ruang simpan, memperbanyak jumlah dan keragaman koleksi informasi, kecepatan temu kembali informasi, tukar menukar informasi antar perpustakaan, penggunaan koleksi bersama, dan memudahkan diseminasi informasi kepada pengguna dan bisa juga dikatakan agar koleksi tersebut selalu tersedia dan siap pakai untuk jangka waktu yang lama.

Sedangkan Lee (2002, 93) mengemukakan bahwa “tujuan dilakukan kegiatan alih media agar koleksi tersebut selalu tersedia dan siap pakai untuk jangka waktu yang lama.” Selanjutnya, Yulia (2009, 9.3) menyatakan bahwa “tujuan alih media adalah melestarikan kandungan informasi bahan pustaka atau melestarikan bentuk aslinya selengkap mungsin untuk dapat digunakan secara optimal dalam jangka waktu yang cukup lama.”

(9)

Selanjutnya Hendrawati (2014, 11) mengemukakan lebih rinci tujuan alih media digital adalah:

1. Kemudahan Akses, memungkinkan orang ataupun pemustaka untuk dapat mengakses informasi tanpa harus datang ke perpustakaan dapat diakses secara online;

2. Layanan jarak jauh (long distance service), artinya pengguna dapat menikmati layanan sepuasnya, kapanpun, tanpa dihalangi ruang dan waktu;

3. Melestarikan serta mempertahankan koleksi-koleksi yang bersifat langka, usang dan perlu penanganan, karena bentuk asli koleksi yang perlu pelestarian dapat digantikan dengan format digitalnya;

4. Melestarikan khasanah budaya bangsa, dengan mendokumentasikan naskah-naskah yang ada di Nusantara ke dalam format digital sebagai kepentingan, penelitian, pendidikan pengguna, penerbitan serta program-program pameran;

5. Membangun komunitas sosial baru yang tersimpan dalam media portal Perpustakaan Digital Nasional Indonesia dapat digunakan oleh masyarakat yang berbeda termasuk mereka yang menggunakan jaringan sosial dan teknologi baru lainnya;

6. Tujuan pembangunan perpustakaan digital untuk mempromosikan pemahaman dan kesadaran antar budaya dalam lingkup nasional, menyediakan sumber belajar, mendorong ketersediaan bahan pustaka dan informasi yang mengandung nilai budaya setempat (local content) serta mendukung penelitian ilmiah; dan

7. Serta memungkinkan kerja sama antar lembaga atau instansi yang terkait dalam pemanfaatan sumber informasi bersama (e-resources). Selain pendapat di atas Zulfitri (2014, 83) mengemukakan tujuan alih media naskah kuno sebagai berikut:

1. Menyelamatkan nilai informasinya; 2. Menyelamatkan fisiknya;

3. Mengatasi masalah kekurangan ruang;

4. Mempercepat perolehan informasi, seperti dokumen yang tersimpan dalam CD (Compact Disk) sangat mudah diakses, baik dalam jarak jauh maupun dekat. Hal ini dilakukan untuk melestarikan informasi yang terkandung dalam koleksi dengan mengalih mediakan atau melestarikan kedua-duanya (bentuk fisik maupun kandungan informasinya).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dilakukan kegiatan mengalihmediakan bentuk cetak ke dalam bentuk digital yaitu agar informasi

(10)

yang terkandung dalam koleksi tersebut bisa dilestarikan dan selalu tersedia serta bisa digunakan kapan saja dalam jangka waktu yang cukup lama serta mengurangi intensitas penggunaan naskah kuno secara langsung karena rentan mengalami kerusakan.

2.3.3 Manfaat Alih Media

Kegiatan alih media naskah kuno memiliki banyak manfaat. Selain menghemat tempat penyimpanan manfaat alih media juga bisa menyelamatkan nilai informasi yang terkandung didalam naskah kuno tersebut. Menurut Restinaningsih manfaat alih media yaitu:

1. Mengamankan isi naskah dari kepunahan agar generasi seterusnya tetap mendapatkan informasi dari ilmu-ilmu yang terkandung dari naskah tersebut;

2. Mudah digandakan berkali-kali untuk dijadikan cadangan (back up data);

3. Mudah untuk digali informasinya oleh para peneliti jika di-upload ke sebuah alamat web; dan

4. Dapat dijadikan sebagai objek promosi terhadap kekayaan bangsa. Sedangkan Hartinah (2009, 16) mengemukakan manfaat alih media adalah sebagai berikut:

1. Melestarikan nilai atau kandungan informasi;

2. Meningkatkan akses pada informasi dan pengetahuan yang tersembunyi;

3. Mempromosikan sumber daya yang pernah ada seperti sejarah, budaya, pengetahuan dan lain sebagainya; serta

4. Mempromosikan instansi atau lembaga sumber dokumen.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa manfaat alih media naskah kuno dapat menyelamatkan, mengamankan dan melestarikan kandungan informasi yang terkandung didalamnya. Tidak hanya itu saja, alih media dapat juga meningkatkan akses pada informasi dan pengetahuan yang tersembunyi. Selain itu, dapat juga

(11)

sebagai media untuk mempromosikan lembaga atau instansi sumber dokumen tersebut.

2.4 Digitalisasi

Digitalisasi ialah bagian dari pelestarian yang berupaya untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno dengan memanfaatkan teknologi digital seperti soft file, foto digital, mikrofilm serta mengupayakan agar naskah asli atau naskah duplikatnya dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Menurut Restinaningsih (2009, 24) “digitalisasi manuskrip adalah proses pengalihan manuskrip dari bentuk aslinya ke dalam bentuk digital atau menyalinnya dengan melakukan proses scanning atau memfotonya dengan kamera digital.” Digitalisasi naskah kuno dilakukan agar isi kandungan informasi dari naskah tetap terjaga jika sewaktu-waktu fisik naskah tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Sedangkan menurut Chowdhury yang dikutip oleh Husna (2013, 1) menyatakan bahwa:

“Digitization is the proses of taking a physical item, such as a book, manuscript or photograph, and making a digital copy of it. Digitization entails creating a digital copy of an analogue object”. Maksud dari ahli tersebut yaitu digitalisasi merupakan suatu proses mengalihmediakan bentuk cetak bahan pustaka seperti manuskrip atau naskah kuno ke dalam bentuk digital yang mencakup pembuatan salinan file yang berbentuk analog.

Selain pendapat di atas, Gardjito (2002, 13) mengemukakan bahwa:

Kelebihan bentuk digital dibandingkan dengan bentuk media lain yaitu informasi digital ikut membentuk sebagian besar peningkatan budaya dan warisan intelektual bangsa serta memberikan manfaat yang penting bagi penggunanya. Salah satu contoh dari kelebihan produk digital ialah

(12)

dikemas dalam bentuk CD-ROM yang cara penelusurannya berbeda dari cara pengaksesan informasi melalui jaringan internet.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa digitalisasi adalah suatu proses mengalihkan bentuk asli bahan pustaka seperti buku dan naskah kuno kedalam bentuk digital yang mencakup pembuatan salinan dalam bentuk analog dengan melakukan scanning atau memfotonya dengan menggunakan kamera digital.

2.4.1 Prosedur Sebelum Melakukan Digitalisasi

Ada beberapa tahapan sebelum melakukan proses digitalisasi. Prosedur digitalisasi ini dilakukan agar memudahkan dalam proses temu kembali dan penyimpanannya. Gardjito (2002, 1-20) mengemukakan mengenai prosedur digitalisasi sebagai berikut:

1. Identifikasi Kategori

Penetapan kategori dari pemilihan informasi harus dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan yang dapat mewakili kepentingan berbagai sektor. Setelah penetapan kategori dipilih langkah selanjutnya yaitu harus mengetahui apakah koleksi dilindungi oleh hak cipta. Jika bahan pustaka dilindungi oleh hak cipta, maka proses pelaksanaanya tidak dapat dilanjutkan tanpa izin dari pemilik hak cipta tersebut.

2. Menghimpun atau Mengumpulkan Koleksi

Langkah selanjutnya adalah menghimpun dan mengumpulkan koleksi. Dalam mengumpulkan koleksi dapat dilakukan oleh setiap pusdokinfo melalui pemilik atau pengelola informasi. Setiap melakukan pemilihan koleksi, topiknya terbatas begitu juga dengan waktu pemilihan, penghimpunan dan pemrosesannya harus disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

3. Proses Digitalisasi

Tahap selanjutnya yaitu melakukan digitalisasi atau proses digital. Pengalihmediaan informasi berbagai jenis media dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam alat perekam. Proses yang paling sederhana dalam pengalihmediaan bentuk digital dapat dilakukan dengan bantuan alat perekam (scanner) atau kamera digital untuk menghasilkan gambar elektronik (bitmap images).

4. Pembuatan Metadata

Agar informasi yang telah direkam dapat ditelusuri kembali maka diperlukan metadata. Metadata diartikan sebagai data tentang data

(13)

yang mempunyai kemampuan dalam menentukan suatu sumber, menunjukkan lokasi data atau dokumen serta memberikan ringkasan tentang apa yang perlu dimanfaatkan. Ada tiga kemampuan yang sangat diperlukan dalam pembuatan metadata untuk sebuah paket informasi yaitu: penyandian (encoding),pembuatan deskripsi untuk informasi dan preservasi, dan penyediaan akses untuk deskripsi tersebut.

5. Pengelolaan

Setelah melakukan pembuatan metadata tahapan selanjutnya yaitu pengelolaan informasi digital. Pengelolaan informasi digital ini dilakukan oleh pihak yang terkait didalamnya agar pemustaka atau pengguna lebih mudah dalam mencari bahan pustaka yang dibutuhkannya. Tahap pengelolaan informasi digital dapat dilakukan oleh pemrakarsa, pembuat peraturan, pembuat atau pencipta, pemilik hak cipta, penyandang dana, pendukung, pembaca dan konservator. 6. Pendistribusian

Tahap terakhir dari proses ini yaitu tahap pendistribusian. Sistem pendistribusian informasi digital dapat dilakukan melalui situs web masing-masing perwakilan atau dari badan asosiasi yang menjadi pengelolaan kandungan informasi naskah lokal atau naskah kuno. Informasi yang dapat dilayankan berupa teks dan gambar.

Sedangkan Najiah (2015, 26) mengemukakan tahapan dalam alih media digital adalah:

1. Pengumpulan dan Seleksi Bahan Pustaka

Untuk pengumpulan dan seleksi bahan pustaka dapat diperoleh melaui intern dan ekstern instansi.

2. Pengecekan Kondisi Fisik Bahan Pustaka

Bahan pustaka yang akan dialihmediakan sebelumnya dilakukan pengecekan kondisi fisik, apabila tingkat kerusakan bahan pustaka tersebut tinggi maka terlebih dahulu perlu dilakukan perbaikan. Setelah dilakukan perbaikan, bahan pustaka tersebut dapat dialihmediakan. 3. Pencatatan Deskripsi Bibliografis

Selanjutnya dilakukan pencatatan data-data bibliografisnya dicatat dan metadata dari file-file elektronik yang telah dialihmediakan. Hal ini dilakukan agar koleksi yang telah dialihmediakan dapat ditelusur kembali dengan menggunakan data bibliografisnya serta data-data tersbut disimpan di dalam pangkalan data sebagai arsip Bidang Transformasi Digital.

4. Proses Pengambilan Objek yang akan Dialihmediakan ke Bentuk Digital.

Proses pengambilan objek dapat dilakukan melalui scanning, proses pengambilan tiga dimensi dengan kamera digital, proses peliputan peristiwa dan proses konversi.

(14)

5. Proses Editing

Setelah pengambilan objek tahap berikutnya adalah proses penyuntingan dokumen yang telah dialihmediakan.

6. Konversi File

Proses pembuatan file-file turunan dari file master (file TIFF, MPEG, mp3, RAW, dan lain-lain).

7. Pengemasan Dokumen

Proses pengemasan dokumen ini dilakukan agar bahan pustaka yang telah dialihmediakan dapat dibaca seperti dokumen aslinya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa prosedur digitalisasi dimulai dari identifikasi kategori berdasarkan informasi yang dipilih, menghimpun atau mengumpulkan koleksi berdasarkan wilayah terdapatnya naskah kuno, pengecekan kondisi fisik bahan pustaka, pencatatan deskripsi bibliografisnya, digitalisasi atau alih media informasi yang menggunakan alat perekam, pengatalogan agar mudah ditelusuri, pengelolaan dan dukungan dari berbagai pihak agar prosesnya berjalan lancar serta pendistribusian atau penyebaran informasi naskah kuno digital melalui situs website perpustakaan.

2.4.2 Proses Digitalisasi

Proses digitalisasi adalah proses mengubah dokumen tercetak menjadi dokumen digital. Menurut Pendit (2007, 103) “proses digitalisasi dapat dilakukan terhadap berbagai bentuk bahan pustaka seperti peta, naskah kuno, foto, karya seni patung, lukisan dan sebagainya.” Sedangkan menurut Restinaningsih (2009, 24) mengemukakan bahwa:

Proses digitalisasi naskah kuno dengan kamera menggunakan jenis kamera tertentu dengan tipe yang dapat menghasilkan gambar atau foto dengan tingkat piksel tinggi. Sehingga naskah dapat dibaca jika di-zoom in. Kamera tersebut dihubungkan ke perangkat komputer atau laptop yang sudah diinstal perangkat lunak yang kompatibel untuk mengolah gambar yang diambil.

(15)

Selanjutnya Pendit (2007, 241-242) mengemukakan proses digitalisasi bertujuan untuk:

1. Pendidikan;

2. Penyebaran ilmu pengetahuan; dan

3. Tujuan konversi yaitu melestarikan peninggalan bersejarah dari bangsa.

Selain pendapat di atas menurut Syamsuddin yang disitir oleh Hartinah (2009, 15) mengemukakan bahwa kegiatan alih media koleksi perpustakaan sebagai berikut:

1. Pembuatan daftar dan pengelompokkan koleksi yang akan dilakukan alih media;

2. Pengambilan koleksi dari ruang koleksi;

3. Melakukan scan menggunakan scanner terhadap koleksi sesuai urutan dalam daftar dan kelompok koleksi;

4. Pengecekan dan pencocokan kelengkapan hasil scan dan koleksi yang di scan;

5. Pengembalian koleksi ke ruang koleksi;

6. Hasil scan koleksi disimpan ke dalam database dan server termasuk membuat backup data, pemberian nama khusus terhadap file-file untuk memudahkan proses temu kembali;

7. Hasil scan koleksi disiapkan dalam bentuk CD-ROM atau DVD untuk disimpan dalam ruang koleksi atau untuk kebutuhan diseminasi informasi;

8. File-file hasil scan koleksi dihubungkan ke dalam website perpustakaan digital agar bisa diakses oleh pengguna melalui jaringan LAN (Local Area Network) atau WAN (Wide Area Network) atau Internet;

9. Membuat buku petunjuk bagi pengguna tentang cara melakukan temu kembali atau akses informasi dan peraturan-peraturan terhadap hak kekayaan intelektual (HaKI) terhadap koleksi bentuk digital.

Sedangkan Hendrawati (2014, 29-31) mengemukakan ada 3 (tiga) tahapan utama proses digitalisasi, yaitu:

1. Tahapan pra digitalisasi (prosedur awal) merupakan tahap persiapan sebelum dilaksanakannya proses pengambilan objek digital.

Kegiatan pertama yang dipersiapkan adalah lebih bersifat persiapan asministrasi, diantaranya: inventarisasi dan seleksi bahan pustaka, survey kondisi fisik bahan pustaka, evaluasi dan analisis metadata serta

(16)

penentuan format file digital dan pemilihan metode pengambilan objek digital (capture);

2. Tahapan digitalisasi merupakan tindakan pengalihan format suatu media ke format digital yang dimulai dengan proses pengambilan objek digital.

Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan kalibrasi peralatan yang akan digunakan, pengambilan objek digital baik menggunakan kamera digital, scanner atau alat konversi lainnya, editing, konversi, upload dan menyimpan data dalam cakram padat (CD); dan

3. Tahapan pasca (setelah) digitalisasi. tahapan ini lebih menitik beratkan pada bagaimana objek digital ini disajikan serta dapat diakses oleh pengguna.

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah lebih kepada pengecekkan serta pengontrolan kualitas berkas digital, kelengkapan serta urutan dari berkas digital.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa proses digitalisasi adalah suatu proses mengubah dokumen tercetak ke dalam bentuk digital melalui tahapan pra digitalisasi, tahapan digitalisasi dan pasca digitalisasi agar naskah kuno dapat digunakan oleh pengguna. Melalui digitalisasi, perpustakaan dapat menyimpan ribuan bahkan jutaan karya tulis maupun karya seni tanpa dibatasi ruang dan waktu.

2.4.3 Proses Alih Media Naskah Kuno

Proses alih media bahan pustaka elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan bahan pustaka tercetak. Menurut Syachrulramdhani (2011, 38) mengemukakan bahwa:

Proses alih media bahan pustaka dimulai dari konversi yang dilakukan untuk menyamakan format dan mengatur penamaan file, pembuatan metadata untuk keperluan penelusuran berbasis web. Kemudian proses penyimpanan dokumen adalah proses penyimpanan dimana termasuk di dalamnya adalah pemasukan data (data entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen dan proses pengaksesan dan pencarian kembali dokumen adalah proses bagaimana melakukan pencarian kembali dokumen-dokumen yang telah disimpan. Terakhir proses pendistribusian dokumen adalah proses penyebarluasan hasil

(17)

penyimpanan dokumen ke masyarakat pengguna sesuai bentuk penyimpanannya.

Selain pendapat di atas Sulendra (2014, 4) mengemukakan bahwa alur kerja alih media naskah kuno adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan dan seleksi bahan pustaka

Bahan pustaka yang akan dialihmediakan diperoleh dari intern lingkungan perpustakaan sendiri atau melalui kerjasama dengan instansi pemerintah maupun non pemerintah lainnya.

2. Pengecekan Kondisi Fisik Bahan Pustaka

Sebelum bahan pustaka akan dialih mediakan maka dilakukan pengecekan kondisi fisik. Bila kondisi fisik bahan pustaka tidak rusak dapat langsung dialihmediakan, tetapi bila tingkat kerusakannya sudah tinggi, dilakukan konservasi terlebih dahulu sebelum dialihmediakan.

3. Scanning atau Capturing File

Proses scanning dokumen asli direkomendasikan untuk menggunakan resolusi minimum 300 dpi (dot per inch) dan disimpan dalam bentuk dokumen elektronik dalam format tertentu (TIFF, GIF, JPEG dll. untuk file gambar). Dokumen elektronik tersebut memiliki informasi yang sama dengan dokumen aslinya dalam rangka memberikan versi digital yang berumur panjang dan berkualitas tinggi.

4. Editing dan Compiling

Proses ini mencakup pengeditan dokumen yang sudah scan atau di-capture dan pembuatan file-file turunan (File JPEG 300 dpi atau File JPEG 100 dpi untukpengemasan dan penerbitan ke Web). Dilanjutkan dengan proses penyatuan file-file yang sebelumnya terpisah pada saat pengeditan. Proses compilling ini biasanya disatukan kedalam format PDF (Portable Document Format).

5. Pengemasan Akhir

Adalah pengemasan dokumen ke dalam bentuk multi media sehingga dokumen itu bisa dibaca seperti layaknya dokumen aslinya. Pengemasan hasil akhir alih media terdiri menjadi dua: dalam bentuk EXE dan bentuk HTML (Hyper Text Markup Languange).

Sedangkan dalam Standar Operasional Prosedur Digitalisasi Bahan Pustaka Perpustakaan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (2008, 4), langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengalihan bahan pustaka atau naskah kuno tercetak ke dalam bentuk digital, yaitu:

(18)

1. Seleksi dan pengumpulan bahan yang akan dibuat koleksi digital. Bahan-bahan yang akan dialihmediakan dari tercetak ke dalam bentuk digital perlu diseleksi terlebih dahulu agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan digitalisasi koleksi perpustakaan. Bahan-bahan yang akan digitalisasi adalah bahan-bahan yang mengandung informasi spesifik, seperti bahan pustaka yang sudah lama seperti naskah kuno. Setelah dilakukan seleksi akan dilanjutkan kepada tahap selanjutnya dalam mengalihmediakan.

2. Pembongkaran jilid koleksi agar bisa dibaca oleh alat pemindai (scanner).

Proses ini dilakukan untuk memudahkan dalam pemindaian lembar demi lembar bahan tersebut. Untuk penggunaan mesin pemindai atau scanner, maka pembongkaran dokumen tercetak dari jilidnya sudah menjadi keharusan.

3. Pembacaan halaman demi halaman dokumen menggunakan scanner kemudian disimpan dalam format file PDF (Portable Document Format).

Operator hanya tinggal memasukkan sejumlah lembar (misalnya 30 atau 50 lembar atau lebih sesuai kemampuan alat pemindai) kedalam bak kertas. Mesin pemindai secara otomatis akan mengambil lembar demi lembar sampai persediaan lembaran di bak kertas habis. Hasil dari proses ini adalah dokumen dalam bentuk eletronik atau file komputer. 4. Pengeditan.

Hasil pemindaian yang sudah dalam bentuk elektronik masih perlu juga dilakukan pengeditan. Editing dilakukan seperti pemotongan pinggiran halaman, pembalikan halam dan lain-lain sehingga hasilnya menjadi lebih bagus dan mudah dibaca. Selain itu, perlu dilakukan penggabungan halaman dan bookmarking agar halaman-halaman dokumen dapat diakses dengan cepat.

5. Pembuatan serta pengelolaan metadata.

Pembuatan serta pengelolaan metadata (basisdata) dilakukan agar dokumen tersebut dapat diakses dengan cepat. Pembuatan basisdata dapat menggunakan perangkat lunak apa saja dan bisa digunakan oleh semua pustakawan dan pengguna perpustakaan.

6. Melengkapi basis data dokumen dengan abstrak jika diperlukan.

Terutama untuk dokumen-dokumen yang berisi informasi ilmiah serta monograf lainnya. Sedangkan untuk dokumen yang berisi informasi singkat dan semacamnya, cukup ditambahkan keterangan atau anotasi. 7. Pemindahan atau penyimpanan (upload) ke server.

Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan dokumen tersebut, menata serta mengkopinya dalam CD-ROM (Compact Disc Read-Only Memory) dan DVD (Digital Video Disc).

8. Penjilidan kembali dikumen yang sudah dibongkar.

Dokumen yang telah dibongkar, jika masih diperlukan bentuk tercetaknya maka harus dilakukan penjilidan kembali. Setelah

(19)

dilakukan penjilidan naskah tersebut dapat dikembalikan ke rak atau tempat penyimpanan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengalihan naskah kuno tercetak ke dalam bentuk digital yaitu melakukan pembongkaran pada naskah untuk di scanning dan editing naskah agar mudah dibaca, tahap terakhir upload naskah agar bisa dilayankan kepada pengguna. Setelah ketiga proses itu selesai, naskah yang telah dibongkar dijilid kembali untuk dikembalikan pada tempat penyimpanannya.

2.5 Perangkat keras untuk Mengoperasikan Naskah Kuno Digital

Naskah kuno yang telah dialihmediakan disimpan dalam bentuk Compact Disc Read-Only Memory (CD-ROM). Untuk mengoperasikannya harus memiliki perangkat keras untuk mengoperasikannya agar bisa digunakan oleh pengguna. Menurut Stallings (2004, 166) “CD-ROM suatu disk yang tidak dapat dihapus digunakan untuk penyimpanan data komputer yang menggunakan sistem standar disk 12 cm dan dapat menampung lebih dari 650 MB atau kira-kira 300000 halaman teks.” Sedangkan Sutarman (2009, 137) menyatakan bahwa “CD-ROM adalah jenis piringan optic yang mempunyai sifat hanya bisa dibaca.”

Selanjutnya Hamacher (2004, 286) mengemukakan “tingkat kepentingan CD-ROM bagi sistem komputer muncul karena kapasitas penyimpanan yang besar dan waktu akses yang cepat dibandingkan dengan media portable lainnya seperti floppy disc dan tape magnetic.” Selain pendapat di atas, Khihanta (2014, 8.4) menyatakan bahwa “data yang terekam dalam CD bisa dibaca melalui

(20)

CD-ROM player yang menggunakan sinar laser berisi cahaya warna merah melewati putaran CD melalui sistem prisma dan kaca.”

Sedangkan Stallings (2004, 168) mengemukakan keuntungan dan kekurangan CD-ROM sebagai media penyimpanan adalah:

Keuntungan:

1. Data yang tersimpan pada disk optik bisa diperbanyak dengan biaya yang murah tetapi pada disk magnetik basis datanya harus direproduksi untuk menyalin data kedalam disk dengan mengunakan dua buah disk drive;

2. Disk optik dapat dipindah-pindahkan informasi yang terdapat didalamnya tetapi sebagian disk magnetik tidak dapt dipindahkan informasinya.

Kekurangan:

1. CD-ROM hanya dapat dibaca saja (read-only) dan tidak dapat di-update;

2. CD-ROM mempunyai waktu akses yang lebih lama dibandingkan dengan waktu akses disk drive magnetik sebanyak setengah detik. Tidak hanya CD-ROM saja media penyimpanan naskah kuno yang telah dialihmediakan tetapi DVD juga dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan naskah kuno digital. Menurut Hamacher (2004, 287) “ukuran fisik disk DVD sama dengan CD yang memiliki ketebalan 1,2mm dan diameter 120mm.” Sedangkan Sutarman (2009, 139) menyatakan bahwa “Digital Video Disc atau Digital Versatile Disc atau DVD merupakan teknologi piringan optik yang memiliki kapasitas penyimpanan data yang lebih besar.” DVD dapat membaca data lebih cepat dengan muatan video berkualitas setara sinema. DVD memiliki kualitas yang lebih baik dibanding piringan penyimpanan data untuk keperluan audio maupun komputer PC. Sutarman mengemukakan kemampuan DVD dapat dilihat dari jenisnya yaitu:

(21)

2. Double-sided, single layer kapasitas 8,5 GB; 3. Single-sided, double layer kapasitas 9,4 GB; dan 4. Double-sided, double layer kapasitas 17 GB.

Selain itu, Simarmata (2006, 146-147) mengemukakan bahwa DVD memiliki kapasitas tinggi yang mampu menyimpan 4.7 GB sampai 17 GB dan harus mempunyai driver DVD-ROM untuk membaca dan menyimpan basisdata, perangkat lunak kompleks dan gambar hidup. Sedangkan Stallings (2004, 170) mengemukakan bahwa:

Ada 3 perbedaan DVD dengan CD yang berkaitan dengan kapasitas penyimpanannya yaitu:

1. Bit dikemas lebih lekat pada DVD.

Pengaturan jarak minimun dan maksimum antara bintik sepanjang pilinan sekitar 1,6 µm sampai 0,834 µm serta penggunaan laser dengan panjang gelombang antara 0,74 µm sampai 0,4 µm. Hasil dari kedua peningkatan itu adalah meningkatkan kapasitas sekitar tujuh kali lipat atau sekitar 4,7 GB.

2. DVD memiliki lapisan kedua bintik dan daratan di atas lapisan pertama. Sebuah DVD mempunyai lapisan semireflective diatas lapisan yang memantulkan cahaya dan menyesuaikan fokus, laser pada drive DVD dapat membaca masing-masing secara terpisah. Teknik ini bisa menggandakan kapasitas disk sekitar 8,5 GB. Reflectifas yang lebih rendah dari lapisan kedua dapat membatasi kapasitas penyimpanan sehingga penggandaan penuh tidak mudah dicapai.

3. DVD-ROM dapat menjadi dua sisi sedangkan data direkam hanya pada satu sisi CD. Hal ini menjadikan kapasitasnya hingga 17 GB.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa CD-ROM dan DVD dapat digunakan sebagai media penyimpanan naskah kuno yang telah dialimediakan. Sebelum melakukan penyimpanan kedalam format tersebut terlebih dahulu perhatikan kualitas dan kapasitas penyimpanannya. CD-ROM dan DVD sifatnya hanya bisa dibaca saja, oleh karena itu harus menyediakan perangkat keras untuk dapat mengoperasikan naskah kuno digital.

(22)

2.6 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Rujukan penelitian pertama yaitu skripsi Andri Priyatna mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2008 dengan judul Transformasi Digital sebagai Proses Pelestarian Kandungan Informasi Intelektual (Studi Kasus di Perpustakaan Nasional RI). Metode penelitian yang digunakan peneliti yaitu pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling serta dengan melakukan kajian pustaka terhadap literatur yang terkait dengan proses digital di Perpustakaan Nasional RI.

Hasil wawancara dengan informan Perpustakaan nasional RI melakukan pelestarian bahan pustaka dengan cara mengalihmediakan kandungan informasi bahan pustaka dengan melalui tiga tahapan utama, yaitu pertama proses pemindaian (scanning), kedua proses penyuntingaan (editing) dan ketiga proses pengemasan (packaging). Kendala yang dihadapi antara lain adalah masalah peralatan yang sudah elektronik dan terkomputerisasi lebih membutuhkan keahlian khusus dalam penggunaannya. Kurangnya anggaran dan pengembangan pelatihan dan pendidikan sumber daya manusia juga mempengaruhi dalam kinerja pelaksanaan kegiatan tersebut.

Rujukan penelitian kedua yaitu skripsi Yusika Putriani mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2012 dengan judul Kebijakan Digitalisasi Naskah Kuno di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan peneliti yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara,

(23)

observasi dan dokumentasi. Untuk menganalisis data dilakukan dengan tiga langkah yang didasarkan pada Teori Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil wawancara dengan informan dapat disimpulkan bahwa kebijakan digitalisasi di Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta ada yang berbentuk tertulis dan lisan. Hal ini dijadikan sebagai pedoman dalam digitalisasi naskah kuno di Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta yang pada saat ini masih mengambil dari berbagai sumber baik dari lembaga dan Museum. Proses digitalisasi yang dilakukan dengan cara pengumpulan, pendataan, scan, edit, dan penyimpanan. Kendala yang dihadapi di Perpustakaan Museum Negari Sonobudoyo Yogyakarta adalah masih kurangnya sumber daya manusia, peralatan yang digunakan dan waktu yang sangat terbatas.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu untuk mengetahui bagaimana proses alih media naskah kuno dalam bentuk digital yang dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat dan perangkat keras apa yang digunakan untuk mengoperasikannya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling, observasi dan dokumentasi.

Referensi

Dokumen terkait

BAB IV, Setelah melihat dari latar belakang pada bab I, mengumpulkan teori-teori konflik yang dianggap relevan pada bab II dan mengumpulkan ayat-ayat yang akan menjadi bahan untuk

Tidak adanya hubungan antara keterikatan teman sebaya dengan perilaku konsumsi rokok remaja kemungkinan dapat dijelaskan dengan tingginya persentase keterikatan

Dengan kuasa resmi untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama (nama perusahaan/Joint Operation) dan setelah memeriksa serta memahami sepenuhnya seluruh isi

Departemen Agama Repub lik Indonesia , selanjutnya di sebut sebagai DEPAG, Dan Yayasan Makkah Almukarramah yang didi rikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri

Karena pada penelitian ini tidak terbukti adanya korelasi antara ucOC dengan resistensi insulin (HOMA-IR) pada pasien Ob-Ab diharapkan penelitian ini dapat memberikan acuan awal

2 Mata kuliah ini berfokus pada memahami berbagai perangkat lunak yang digunakan dalam bidang rekayasa transportasi, memilih perangkat lunak yang sesuai dengan kebutuhan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Menurt Solomon dan Rothblum (Rachmahana, 2001, h.135) individu yang kurang asertif tidak mau mencari bantuan ( seeking for help) kepada orang lain untuk membantu