• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. A. Tinjauan tentang Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. dengan Hak Milik adalah: Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. A. Tinjauan tentang Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. dengan Hak Milik adalah: Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

AKIBAT HUKUM KEDUDUKAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DALAM PROSES PENDAFTARAN GANTI NAMA TERHADAP PERUBAHAN DARI PERUSAHAAN DAERAH MENJADI PERSEROAN

TERBATAS PADA BANK SUMUT

A. Tinjauan tentang Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai 1. Hak Milik (HM)

a. Pengertian dan Sifat Hak Milik

Menurut Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yan dimaksud dengan Hak Milik adalah: “Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :53

1) Turun-temurun; Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 2) Terkuat; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara

Hak-hak atas tanah yang lain.

53

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Sertipikat Dan Permasalahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), Hal 5-6

(2)

3) Terpenuh; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.

4) Dapat beralih dan dialihkan;

5) Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan; 6) Jangka waktu tidak terbatas

b. Subyek dan Obyek Hak Milik

Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah :

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang meliputi :

1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;

2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;

3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;

4. Badan Hukum Sosial

Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), menentukan bahwa;

(3)

“Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.

Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa:

“selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini”.

Dengan demikian yang berhak memilik hak atas tanah dengan Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.

c. Terjadinya Hak Milik

Menurut Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan

Pemerintah”. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana

diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena:

a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

(4)

Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas peraturan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan Perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama”.

d. Pembatasan Hak Milik

Betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik”, yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapa pun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi.

Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 antara lain terdapat dalam Pasal-Pasal sebagai berikut:

Pasal 6 :

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apabila jika itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.

(5)

Pasal 7 :

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan, tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 17 :

Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

Pasal 18 :

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diaur dengan Undang-Undang.

Pasal 21 ayat (1)

Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

Mengenai keabsahan dan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama atas

“Nemo plus juris tranfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun

dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua,asas “Nemo sibi ipse causam

(6)

possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya

atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.54

e. Hapusnya Hak Milik

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus oleh karena sesuatu hal, meliputi:

1) Tanahnya jatuh kepada Negara oleh karena:

a. Pencabutan Hak; (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya;

b. Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; (KEPPRES Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum)

c. Diterlantarkan; (Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar);

d. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). 2) Tanahnya musnah

2. Hak Guna Bangunan (HGB)

a. Pengertian Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi: “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan

54

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 8-9

(7)

mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.

Pernyataan Pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang HGB bukanlah pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan.55Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi terhadap tanah Negara yang dikarenakan Penetapan Pemerintah. Selain itu HGB dapat terjadi di atas sebidang tanah Hak Milik yang dikarenakan adanya perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.56 Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan adalah:57

1) Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam arti dapat diatas Tanah Negara ataupun milik orang lain. 2) Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.

3) Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain;

4) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

55

Ibid Hal 31

56

Ibid Hal 190

57

(8)

b. Subyek dan Obyek Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa:

“Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini, dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat”.

Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pihak lain yang memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan telah diatur dalam UUPA dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. Bila melihat pada Pasal 37 UUPA, maka dapat dimengerti bahwa HGB dapat diberikan diatas Tanah Negara yang didasari Penetapan dari Pemerintah. Selain itu HGB juga dapat diberikan diatas tanah Hak Milik berdasar pada adanya kesepakatan

(9)

yang berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan pihak yang bermaksud menimbulkan atau memperoleh HGB tersebut.

Melihat pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengolahan; dan Tanah Hak Milik. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa obyek dari HGB adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengolahan dan Tanah Hak Milik dari seseorang.

Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengolahan, diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, dan pada dasarnya HGB yang diberikan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengolahan diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

c. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UUPA, Hak Guna Bangunan diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, selain itu HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Mengenai jangka waktu pemberian HGB juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996, pada Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa :

(10)

“Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun”. Sedangkan pada ayat (2) menyatakan bahwa: “Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama”. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 29, disebutkan bahwa:

(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.

Maksud dari ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 tersebut yaitu bahwa HGB yang diberikan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengolahan dapat diperpanjang melainkan hanya diperbaharui setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya tersebut.

Adapun syarat-syarat untuk dapat diperpanjang maupun diperbaharui Hak Guna Bangunan tersebut antara lain yaitu:

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;

b. Syarat-syarat pemebrian hak, dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;

d. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

(11)

2.4 Hapusnya Hak Guna Bangunan

Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 40 UUPA, yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena:

a. Jangka waktunya telah berakhir;

b. Dihentikan sebelum waktu berakhir karena salah satu syarat tidak terpenuhi; c. Dilepaskan oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir;

d. Dicabut untuk kepentingan umum; e. Tanah tersebut ditelantarkan; f. Tanah itu musnah;

g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut selanjutnya juga diatur dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menyebutkan:

1. Hak Guna Bangunan hapus karena:

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;

b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena:

1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan/atau Pasal 14;

(12)

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,

d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. Ditelantarkan;

f. Tanahnya musnah;

g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2).

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

3. Hak Pakai (HP)

a. Pengertian Hak Pakai

Pengertian yang diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah :

“hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasi langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang”.

b. Subyek dan Obyek Hak Pakai

Hak Pakai dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing termasuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga badan hukum asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 UUPA.

(13)

Pengaturan subyek Hak Pakai diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yaitu “Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah:58

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial;

e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, khususnya ketentuan Pasal 41 yang menyatakan: “Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah :

a. Tanah Negara;

b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak Milik.

Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Hak Pakai dapat diberikan atas :

(1) Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Hak Pakai atas Hak Pengolahan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai

atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

58

(14)

c. Jangka Waktu Hak Pakai

Mengenai jangka waktu pemberian Hak Pakai juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996, pada Pasal 45 menyebutkan bahwa:

(1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

(2) Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama.

(3) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada:

a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; b. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional;

c. Badan Keagamaan dan Badan Sosial.

B. Sertipikat Hak Milik

1. Pengertian Sertipikat Hak Milik

PT. Bank Sumut memiliki sertipikat hak milik digunakan sebagai surat tanda bukti hak atas tanah bagi PT. Bank Sumut untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat lahan tanahnya secara terus-menerus, terkuat, terpenuhi karena dengan

(15)

memiliki sertipikat hak milik berarti tanah yang dimiliki oleh PT. Bank Sumut memiliki unsur turunan, terkuat dan terpenuh dibandingkan hak lainnya, namun dalam penggunaannya PT. Bank Sumut harus diartikan dengan fungsi sosial tanah.

Sesuai dengan amanat Pasal 19 UUPA maka setiap tanah harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. Diadakannya pendaftaran tanah akan membawa akibat hukum yaitu diberikannya surat tanda bukti ha katas tanah yang lazim disebut sebagai sertipikat tanah kepada pemegang ha katas tanah yang bersangkutan yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan (Pasal 32 ayat 91 Peraturan Pemerintah 24/1997).

2. Subyek Hukum Sertipikat Hak Milik

Menurut ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 bahwa Hak Milik dapat dipunyai oleh setiap Warga Negara Indonesia tanpa menyebutkan perbedaan suku atau etnis, ketentuan selanjutnya sebagai berikut:

a. Sertipikat Hak Milik hanya dapat diperoleh oleh Warga Negara Indonesia dan oleh badan hukum yang ditetapkan berdsarkan Peraturan Pemerintah (lihat juga Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria).

(16)

b. Warga Negara Indonesia dapat memperoleh sertipikat ha katas tanah berdasarkan: penegasan hak/pengakuan hak/pemberian hak/penggabungan hak/peningkatan hak/perpanjangan hak/pemecahan hak/pemisahan hak/pemindahan hak atau peralihan hak (lihat juga Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria).

c. Warga Negara Asing dapat memperoleh sertipikat hak milik berdasarkan; peralihan hak karena warisan tanpa wasiat dan harta bersama dalam perkawinan, dengan catatan bahwa ia harus melepaskan haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak ia memperoleh hak (lihat juga Pasal 21 Ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria). d. Badan Hukum dapat memperoleh sertipikat hak milik sebagaimana ketentuan Pasal

21 Ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 serta Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960, berdasarkan Penetapan Pemerintah, antara lain sebagai berikut:

1) Bank-bank milik Negara: BI, BIN, BTN, BNI, BUN, BDN, BRI, BPI. 2) Badan Keagamaan dan sosial, yakni:

a) Gereja Roma Katolik di Indonesia (Kep. DDA dan Trans. Nomor 1/DDAT/Agr/1967);

b) Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (SK Mendagri Nomor 22/DDA/1969);

c) Gereja Pantekosta di Indonesia (SK. Mendagri Nomor 3/DDA/1972); d) Persyarikatan Muhammadiyah di Indonesia (SK. Nomor 14/DDA/1972).

PT. Bank Sumut memang bukanlah salah satu dari nama Bank yang ada dalam ketentuan Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan

(17)

Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, tetapi berdasarkan Peraturan Pemerintah inilah PT. Bank Sumut dapat memiliki Sertipikat hak Miliknya.

3. Jenis Sertipikat

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, khususnya dalam Pasal 17, maka diadakan lalu lintas hukum, dikenai beberapa macam sertipikat sebagai berikut:

a. Sertipikat adalah Surat Tanda Bukti Hak, yang terdiri dari Salinan Buku Tanah, dan Surat Ukur, diberi sampul dan dijilid menjadi satu, menurut Peraturan Menteri sertipikat ini diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada surat ukurnya, ataupun tanah-tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa, karenanya sertipikat ini merupakan pembuktian yang kuat baik subjek dan objek dari hak katas tanah. Kemudian ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tertanggal 8 Juli 1997, khususnya Pasal 1 ayat 2 ditentukan:

“Sertipikat adalah Surat Tanda Bukti Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2, huruf C UUPA, untuk hak atas tanah. Hak Pengelolaan Tanah Wakaf, Hak Milik oleh satuan rumah susun dan Hak Tanggungan yang masing-masing dibukukan dalam Buku Tanah yang bersangkutan.

b. Sertipikat Sementara adalah Surat Tanda Bukti Hak, yang terdiri Salinan Buku Tanah dan Gambar Situasi. Dari hak atas tanah tersebut, diberi sampul dan dijilid menurut Peraturan Menteri. Sertipikat Sementara ini, diberikan bagi tanah-tanah yang belum ada surat ukur, ataupun tanah-tanah di desa-desa yang belum

(18)

diselenggarakan pengukuran desa demi desa. Sertipikat Sementara ini merupakan alat pembuktian mengenai macam hak dan siapa yang punya, jadi tidak membuktikan mengenai luas dan batas-batas tanah. Untuk diketahui bahwa baik untuk sertipikat maupun Sertipikat Sementara berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sepanjang tanah yang dimaksud dalam keadaan tidak sengketa, sedang untuk sertipikat sementara ini mempunyai arti yang penting dan praktis bagi daerah-daerah desa yang belum lengkap.

c. Sertipikat Hak Tanggungan adalah Surat Tanda Bukti Hak yang terdiri dari Salinan Buku tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan diberi sampul yang bentuknya khusus untuk dijilid menjadi satu, menurut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dari uraian diatas sudah dapat ditangkap bahwa makna Sertipikat tanah dalam konstruksi yuridisnya merupakan suatu dokumen formal yang dipergunakan sebagai tanda dan atau instrument yuridis bukti hak kepemilikan atas tanah yang dikeluarkan oleh BPN RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) lembaga/institusi Negara yang ditunjuk dan diberikan wewenang oleh Negara untuk menerbitkannya. Sertipikat sebagai tanda dan atau sekaligus alat bukti hak kepemilikan atas tanah merupakan produk hukum yang diterbitkan oleh BPNRI didalamnya memuat data fisik dan yuridis.

4. Fungsi Sertipikat Hak Milik

Konstruksi hukum sertipikat hak atas tanah dan kekuatan pembuktiannya dapat dicermati dalam beberapa ketentuan perundangan. Didalam Undang-Undang

(19)

Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) didalam Pasal 19 ayat 1 dan 2, disebutkan:59

a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pendaftaran tersebut sesuai dalam ayat 1 Pasal ini meliputi: 1) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dari Pasal tersebut diatas, memberikan gambaran bahwa prinsip Negara akan memberikan jaminan hukum dan kepastian hak terhadap hak atas yang sudah terdaftar melalui sertipikat, bahwa jaminan bukti adanya tanah yang sudah terdaftar dengan memberikan “surat tanda bukti hak” yang berlaku sebagai alat pembuktian yang “kuat”. Sebagai catatan bahwa ketentuan tersebut belum menyebutkan kata “sertipikat” sebagai surat tanda bukti hak.

Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi sertipikat hak milik menurut UUPA merupakan alat bukti yang kuat bagi pemiliknya artinya bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya, harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu, dan fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Dengan demikian sertipikat sebagai

59

(20)

akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi pemiliknya, dimana hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertipikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.60

C. Kedudukan Sertipikat Hak Milik Akibat Perubahan Badan Hukum dari Perusahaan Daerah Menjadi Perseroan Terbatas

1. Perubahan Hak (Peningkatan atau Penurunan Hak atas Tanah)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo. Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perubahan hak atas tanah adalah Penetapan Pemerintah mengenai bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan suatu hak atas tanah tertentu, permohonan pemegang haknya, menjadi tanah Negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan ha katas tanah jenis lainnya.

Perubahan hak ini terdiri dari Penurunan dan Peningkatan Hak yaitu: a. Penurunan Hak

Penurunan Hak terjadi atas tanah yang lebih tinggi statusnya menjadi hak atas tanah yang lebih rendah, dilihat dari jangka waktu berlakunya. Misalnya Penurunan Hak Milik (tanpa jangka waktu) menjadi Hak Guna Bangunan (jangka waktunya maksimal 30 tahun) atau Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai (dalam jangka waktunya maksimal 25 tahun), atau Hak Guna Usaha (jangka waktunya maksimal 35

60

Syamsul Bahri, 1981, Hukum Agraria Indonesia Dulu dan Kini, Peneribit Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Andalas, Padang, hal 22

(21)

tahun) diubah menjadi Hak Pakai (jangka waktunya maksimal 25 tahun). Pada dasarnya perubahan hak yang masuk kategori penurunan hak atas tanah menjadi hak atas tanah jenis lainnya terdiri dari proses pelepasan hak atas tanah semula diikuti dengan penetapan pemberian hak atas tanah yang baru. Subyek hak dan Obyek tanah dari perubahan hak ini tidak berubah atau tetap sama, yang berubah hanya status haknya.61

Peubahan Hak dapat juga terjadi karena subyek haknya berubah misalnya suatu Badan Hukum menang dalam suatu perlelangan umum dengan obyek tanah berstatus hak milik, menurut peraturan perundang-undangan pada umumnya Badan Hukum tidak diperkenankan menjadi pemegang hak milik atas tanah, oleh karena itu apabila ada Badan Hukum yang memperoleh hak milik maka hak itu dengan sendirinya menjadi gugur dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam hal ini Badan Hukum yang bersangkutan kemudian dapat memohon hak baru yang sesuai dengan penggunaan dan peruntukan haknya, dalam hal ini Badan Hukum yang bersangkutan tidak perlu lagi secara formal mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan, atau hak pakai melainkan cukup mengajukan pendaftaran saja.62

Jika dilihat dari pengertian diatas maka pada PT. Bank Sumut dapat mengalami penurunan hak jika dalam kurun waktu 25 tahun habis masa hak guna bangunannya maka haknya akan berubah menjadi hak pakai, begitu juga jika dilihat

61

Muhammad Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008) hal 301

62

(22)

dari peraturan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 bahwa suatu Perseroan Terbatas tidak dapat memiliki sertipikat hak milik.

Sertipikat Penurunan Hak, yaitu merupakan sertipikat hak yang jenis haknya diturunkan, yang dimohon oleh pemegangnya kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui prosedur perolehan sertipikat ha katas tanah di kantor Pertanahan, dengan pemenuhan persyaratan permohonan sebagai berikut :

1. surat permohonan; 2. sertipikat hak atas tanah;

3. persetujuan kreditur, jika dibebani hak tanggungan; 4. fotokopi KTP atau identitas diri pemohon;

5. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa disertai dengan surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan;

6. Bukti pelunasan BPHTB, jika terutang;

7. Bukti Pelunasan uang pemasukan Negara, jika terutang.

Persyaratan permohonan tersebut diatas disamapaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan sebagai berikut:63

a. Penurunan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau menjadi Hak Pakai, tanpa dikenakan uang pemasukan kepada Negara.

63

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Kaharuddin, Ketua Administrasi BPN Kota Medan Pada Tanggal 25 juni 2013

(23)

b. Penurunan Hak Guna Bangunan menjadi Hak pakai, dikenakan uang pemasukan kepada Negara, dengan pengurangan sebesar uang pemasukan yang dibayar pemohon ketika memperoleh Hak Guna Bangunan. Apabila pemohon badan hukum, harus mendapat persetujuan sesuai Anggaran Dasar yang dilampirkan bersama akta pendirian perusahaan yang disahkan Menteri.

c. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Dasar hukum yang berkaitan dengan persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah pada procedural perolehan seripikat Penurunan Hak dikantor Pertahanan, yakni :

1). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; 2). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; 3). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002;

4). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala. Badan Pertahanan Nasional Nomor; 5). Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala, Badan Pertahanan Nasional Nomor

16 Tahun 1997;

6). Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 60.01.900 Tanggal 31 Juli 2003.

b. Peningkatan Hak

Peningkatan Hak adalah perubahan hak dari statusnya yang lebih rendah (misalnya dengan melihat jangka waktunya) menjadi hak atas tanah yang lebih tinggi,

(24)

misalnya dari Hak pakai menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.64

Dalam katagori perubahan dari peningkatan hak dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik terdiri dari beberapa obyek antara lain yang berasal dari tanah Rumah Susun Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) yang berasal dari tanah untuk rumah tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari pemerintah.

2. Perubahan Ganti Nama

Dalam perubahan ganti nama pemegang hak yang ganti nama adalah pemegang hak yang sama tetapi namanya yang berganti. Pergantian nama yang berganti dapat terjadi mengenai perseorangan ataupun Badan Hukum. Pada PT. Bank Sumut yang mengalami perubahan adalah bentuk Badan Hukumnya tetapi para pemegang sahamnya tetap sama, dalam hal ini seharusnya PT. Bank Sumut melakukan permohonan ganti nama, Berdasarkan Pasal 129 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor Tahun 1997 ditentukan bahwa permohonan pendaftaran perubahan nama pemegang suatu hak, karena yang bersangkutan berganti nama diajukan oleh yang berkepentingan dengan melampirkan bukti adanya perubahan nama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Persyaratan permohonan tersebut diatas disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan dengan ketentuan sebagai berikut.65

64

(25)

a. Perobahan nama bagi orang perseorangan Warga Negara Indonesia asli dan turunan timur asing lainnya yang tunduk kepada hukum adat dibuktikan dengan surat pernyataan yang disaksikan pemuka adatnya dan diketahui oleh Lurah/Kepala Desa serta Camat bersangkutan;

1) Perubahan nama bagi orang perseorangan Warga Negara Indonesia asli dan turunan Timur Asing lainnya yang tunduk kepada hukum adat dibuktikan dengan surat pernyataan yang disaksikan pemuka adatnya dan diketahui oleh Lurah/Kepala Desa serta Camat bersangkutan;

2) Perobahan nama bagi orang perseorangan turunan Tionghoa dibuktikan berdsarkan Penetapan Pengadilan;

3) Perobahan nama bagi Badan Hukum Privat dibuktikan dengan akta otentik dari Notaris yang sudah mendapat pengesahan dari Menteri;

4) Perobahan Nama, bagi Badan Hukum Publik dibuktikan dengan keputusan pejabat instansi berwenang.

b. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.

Dasar Hukum terkait persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah melalui prosedural perolehan sertipikat hak karena ganti nama, yakni:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997;

65

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Chandra, Pegawai Badan Pertanahan Kota Medan pada Tanggal 25 Juni 2013

(26)

c. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002;

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997;

e. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal 13 Juli 2003.

3. Pembebanan Hak Atas Tanah (Hak Tanggungan)

Dasar hukum mengenai Hak Tanggungan terdapat dalam Pasal 51 UUPA jo. Pasal 57, 25, 33 dan 39 UUPA, ketentuan pelaksanaanya diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (Lembaran Negara Nomor 42 Tanggal 9 April 1996)66

Pembebanan hak atas tanah (Hak Tanggungan) merupakan hak jaminan pembayaran utama tertentu yang dibebankan atas ha katas tanah dari debitor kepada kreditor, menggunakan akta, PPAT yang dimohon oleh kreditor kepada Kepala, Kantor Pertanahan setempat melalui prosedur perolehan sertipikat hak tanggungan dengan pemenuhan persyaratan permohonan sebagai berikut:67

a. Surat permohonan;

b. Surat permohonan dari kreditor;

c. Surat pengantar akta, pembebanan hak tanggungan dari pejabat pembuat akta, tanah;

d. Akta, surat kuasa membebankan hak tanggungan, jika pembebanannya dikuasakan; e. Akta pembebanan hak tanggungan.

66

Opcit Muhammad Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, hal 334

67

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Chandra, Pegawai Badan Pertanahan Kota Medan pada Tanggal 25 Juni 2013

(27)

f. Salinan akta, pembebanan hak tanggungan yang diparaf oleh pejabat pembuat akta tanah;

g. Sertipikat ha katas tanah;

h. Fotokopi KTP atau identitas diri kreditor dan debitor;

i. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima, kuasa yang disertai surat kuasa jika, permohonannya dikuasakan.

Persyaratan permohonan tersebut diatas disampaikan oleh pemohon kepada Kepala, Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Subyek penerima hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang dibolehkan sebagai penerima hak tanggungan.

b. Pemberi hak tanggungan harus mendapat persetujuan dari yang punya wewenang terhadap harta bersama atau harta persekutuan atau harta kekayaan badan hukum. c. Apabila ada para pihak yang berbadan hukum dibuktikan dengan melampirkan

Anggaran Dasar dan akta pendirian perusahaan yang disahkan oleh Menteri.

d. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.

Dasar hukum persyaratan perolehan sertipikat hak atas tanah melalui perolehan sertipikat hak tanggungan berdasarkan akta pembebanan hak tanggungan: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960;

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; c. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002;

(28)

d. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996;

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997;

f. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1039 Tanggal 18 April 1996;

g. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1900 Tanggal 13 Juli 2003.

Hak tanggungan dapat hapus apabila hutang yang dijaminkan telah lunas, dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri (terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan agar dibersihkan dari pemegang hak tanggungan, hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijaminkan)68

2. Pengalihan Hak Tanggapan (Cessie)

Dengan beralihnya status badan hukum BPDSU dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan, pegawai serta usaha-usaha Bank pembangunan Daerah Sumatera Utara beralih kepada Bank, maka pengalihan hak tanggungan (cessie) terhadap sertipikat hak milik tidak mengalami 68

(29)

perubahan karena krediturnya masih tetap Bank SUMUT dan yang menjadi pemilik sahamnya masih sama yaitu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Sumatera Utara.

Pengalihan hak tanggungan (cessie) merupakan balik nama pemegang hak tanggungan atas hak jaminan karena pembayaran utang tertentu yang dibebankan atas hak atas tanah dari kreditor penjual kepada kreditor pembeli, menggunakan akta

cessie atau akta otentik yang dimohon oleh kreditor pembeli kepada Kepala Kantor.

Pertanahan setempat melalui prosedur perolehan sertipikat hak tanggungan dengan pemenuhan persyaratan permohonan sebagai berikut:

a. surat permohonan; b. sertipikat hak atas tanah; c. sertipikat hak tanggungan;

d. bukti pengalihan piutang kepada pemohon (cessie) atau bukti pengalihan hak kreditor kepada pemohon (subrogatie) dalam bentuk akta otentik yang menunjuk obyek hak atas tanah;

e. Fotokopi KTP atau identitas diri pemohon;

f. Fotokopi KTP atau identitas dari penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika permohonannya dikuasakan.

D. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Perubahan Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas pada Bank Sumut

(30)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah adalah:

1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara)

2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1968.

3. Badan-Badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama.

4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahtraan Sosial.

Berdasarkan Pasal 49 (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) PMA Nomor 2/1960 jo, PMA, Nomor 5/1960 adalah:69

1. Indonenesische Maatschappij op Aandelen (I.M.A atau M.A -.1939-569) 2. Indonesische Verenigingen (S.1939-670)

3. Bank Negara Indonesia (UU.2/Drt-1955) 4. Bank Industri Negara (UU.2/-1952)

5. Badan Perusahaan Produksi bahan Makanan Pembukaan Tanah (BMPT) (UU.16/1959)

6. Bank Umum Negara (Undang-Undang 1/prp-1959) 7. Bank Dagang Negara (Undang-Undang 1/prp-1960)

8. Bank Rakyat Indonesia (Undang-Undang 12/1951 yo.UU.14/-prp-1960)

69

John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Sinar Grafika: Ujung Pandang, 1987) hal 165

(31)

9. Bank Pembangunan Indonesia (Uundang-Undang 21/prp-1960) 10. Bank Indonesia (Undang-Undang 11/1953)

Khusus mengenai nomor I.M.A, Indonesische Vereningingen, dan Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan pembukaan Tanah yang tidak menunjukkannya sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak milik dengan adanya Peraturan Pemerintah.Nomor 38/1963 maka pada hakekatnya hanya dapat diberikan Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan bukan Hak Milik.

2. Jenis Hak atas Tanah yang dapat dimiliki oleh Bank Pemerintah

Khusus untuk Bank Pemerintah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik, yaitu :

(1) Bank Negara dapat mempunyai hak milik atas tanah:

a. Untuk tempat bangunan-bangunan yang diperlukan guna menunaikan tugasnya serta untuk perumahan bagi pegawai-pegawainya. Pembatasan yang diadakan ini sesuai dengan tujuan penunjukan bank-bank itu sebagai badan yang mempunyai hak milik atas tanah. Pada umumnya bank-bank tersebut dalam rangka menunaikan tugasnya, tidaklah membutuhkan tanah untuk keperluan lain.

b. Yang berasal dari pembelian dalam pelelangan umum sebagai eksekusi dari hak bank yang bersangkutan, dengan ketentuan, bahwa jika bank sendiri tidak memerlukannya untuk keperluan tersebut pada huruf a, didalam waktu satu tahun sejak diperolehnya tanah itu harus dialihkan kepada pihak lain yang dapat mempunyai hak milik. Untuk dapat tetap mempunyai tanahnya guna keperluan tersebut pada huruf a, diperlukan izin Menteri Pertanian/Agraria. Jangka waktu satu tahun tersebut diatas, jika perlu atas permintaan bank yang bersangkutan dapat diperpanjang oleh Menteri Pertanian/Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya. Ketentuan pada ayat (1) huruf b bermaksud untuk

(32)

memungkinkan bank mengadakan eksekusi hak hipotek, atau credietverband, yang dipunyai atas tanah milik yang bersangkutan, dengan hasil yang baik. (2) Pembatasan tersebut pada ayat (1) Pasal ini berlaku pula bagi Bank-bank Negara

tersebut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 (Tambahan Lembaran Negara Nomor 2149).

Bank-bank yang dimaksudkan pada ayat (2) ialah Bank-bank Negara yang atas dasar ketentuan didalam Undang-Undang pembentukannya, Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini Bank-bank tersebut diatas dianggap sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

3. Akibat Hukum kedudukan sertipikat hak milik dari perubahan badan hukum Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang penunjukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Perusahaan Daerah Bank Pemerintah Daerah Sumatera Utara dapat memiliki sertipikat hak milik atas tanah namun dengan perubahan badan hukumnya maka dasar kepemilikannya dengan meminta izin Departemen Menteri Dalam Negeri dan atas penunjukan izin Departemen Menteri Dalam Negeri inilah Bank Sumut dapat memiliki Sertipikat hak milik.70

Setelah perubahan badan hukum dari Perusahaan Daerah Bank Pemerintah Daerah Sumatera Utara menjadi Perseroan Terbatas, kedudukan sertipikat tidak mengalami perubahan, hal ini berdasarkan permohonan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara Nomor 520.2.667/5/98 pada tanggal 5 Mei 1998, maka berdasarkan permohonan ini Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Putusan Tanggal 7 Juni 1979

70

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Chandra, Pegawai Badan Pertanahan Kota Medan pada Tanggal 25 Juni 2013

(33)

Nomor SK 61/DJA/1979 tentang Penunjukan Bank Pembangunan Daerah sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka kepada Bank Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara dapat diberikan hak milik, dengan persyaratan sebagai berikut :71

a. Bahwa Bank Pembangunan Daerah tersebut adalah bank Pemerintah (Pemerintah Daerah yang didirikan dengan Peraturan Daerah atas kuasa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah

b. Tanah yang dimohon dipergunakan untuk menunaikan tugas (Perkantoran) dan untuk Rumah Dinas bagi pegawai Bank Pembangunan Daerah. Berdasarkan peraturan diatas, PT. Bank Sumut memiliki sertipikat hak milik setelah berubah badan hukumnya menjadi Persero, dan dapat menaikkan kedudukan Sertipikat Hak Guna Bangunannya menjadi sertipikat Hak Milik.

Kedudukan sertipikat hak milik Bank SUMUT yang telah berubah badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas tidak mengalami perubahan dalam perubahan nama ataupun kedudukannya turun menjadi Hak Guna Bangunan, tetapi Bank SUMUT tetap dapat memiliki sertipikat hak milik.72

Berdasarkan permohonan Bank SUMUT kepada Menteri Dalam Negeri dan ata permohonan itu Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Putusan Tanggal 7 Juni

71

Putusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 61/DJA/1979 tentang Penunjukan Bank Pembangunan Daerah sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah

72

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Zulkarnaen, Pimpinan Bidang Devisi Umum Bank Sumut Pusat Kota Medan Jalan Imam Bonjol pada Tanggal 19 Juli 2013

(34)

1979 Nomor SK 61/DJA/1979 tentang Penunjukan Bank Pembangunan Daerah sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, seperti yang diatur dalam huruf (a) yaitu bahwa Bank Pembangunan Daerah tersebut adalah Bank Pemerintah (Pemerintah Daerah) yang didirikan dengan Peraturan Daerah atas kuasa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pemerintah yang didirikan dengan Peraturan Daerah atas kuasa Undang-Undang Nomor 13 Tahun1962, sedangkan dengan adanya perubahan badan hukum maka Bank SUMUT sekarang harus tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007

Jika dilihat permohonan Bank SUMUT Nomor 520.2.667/5/98 pada tanggal 5 Mei 1998 maka jelas terlihat bahwa permohonan ini dibuat pada saat Bank SUMUT masih berbadan hukum sebagai Bank Daerah yang berbentuk Perusahaan Daerah karena Bank SUMUT berubah sebagai Perseroan Terbatas sesuai dengan akta Pendirian Perseroannya yaitu pada Tanggal 16 April 1999 Nomor 38 yang dibuat dihadapan Notaris Alina Hanum Nasution di Medan.

Referensi

Dokumen terkait

1. Kecemasan keluarga pedagang pasar terhadap belajar daring di era covid- 19 di Desa arungkeke pallantikang Kab Jeneponto yakni, 1) Kurangnya pemahaman dan minat belajar

Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru, LFB), yang berhenti pada tinggian Kemum pada daerah Kepala Burung.. Tubuh

diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain.. Sikap positif terhadap

dan mereka itu tidak nampak yang ia adalah satu gerakan atau pertubuhan

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

Dalam makalah ini akan dibahas definisi institutional repository ; jenis-jenis repository selain institutional repository dan masing-masing karakteristiknya; hubungan

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Tolak ukur dari prestasi belajar adalah pada nilai atau angka yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, umumnya nilai yang dilihat dari sisi kognitif, karena