• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758) merupakan salah satu satwa yang banyak digemari masyarakat, karena kepandaiannya dalam menirukan ucapan-ucapan manusia ataupun suara lain yang didengarnya. Hal ini menyebabkan tingginya nilai ekonomis burung beo. Selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, beo mempunyai peranan ekologis yang penting, yaitu menjaga keseimbangan ekosistem di alam dalam hal pengontrol hama, penyebar biji, penyerbuk bunga dan juga indikator lingkungan yang sehat (Welty 1982, Prijono dan Waluyo 1996).

Burung beo tersebar mulai dari India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara sampai Kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan, Jawa) dan Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumbawa, Flores, Bawean), Andaman serta Palawan (Medway & Wells 1976, MacKinnon 1990, Von Frisch 1986). Di seluruh dunia hanya terdapat satu spesies beo, yang terdiri dari beberapa subspesies (Monroe & Sibley 1993). Informasi mengenai jumlah subspesies burung beo di dunia sampai saat ini masih belum jelas dan terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Menurut Peters (1962), di seluruh dunia terdapat 10 subspesies, lima subspesies diantaranya terdapat di Indonesia, sedangkan Weil (1983) dan Von Frisch (1986) berpendapat bahwa di dunia terdapat 11 subspesies burung beo, yaitu G.r. indica, G.r. peninsularis, G.r.intermedia, G.r. palawensis, G.r. ptilogenys, G.r. andamanensis, G.r. robusta, G.r. batuensis, G.r. religiosa, G.r. venerata, dan G.r. mertensi.

Populasi beo di habitat aslinya cenderung menurun karena adanya pengambilan anakan beo secara ilegal yang terus-menerus. Selain itu, pembukaan hutan untuk lahan pertanian, penebangan pohon yang tidak bertanggungjawab serta bencana kebakaran hutan dan bencana alam yang melanda akhir-akhir ini telah mengakibatkan berkurangnya habitat bagi beo. Tahun 1980 populasi beo nias mencapai 5000 ekor di daerah

(2)

Nias bagian selatan (Direktorat PPA 1981), sedangkan pada tahun 1996 hanya tinggal 50-80 ekor (Thohari et al. 1996).

Dari lima subspesies beo (G.r. religiosa (beo medan), G. r. robusta (beo nias), G. r. batuensis (beo lampung), G. r. venerata (beo sumbawa) dan G. r. mertensi (beo flores) yang terdapat di Indonesia, dua subspesies dilindungi undang-undang (SK Mentan no. 742/Kpts/Um/12/1978; Undang-undang No. 5 Tahun 1990; SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992) yaitu G.r.religiosa dan G.r.robusta (Noerdjito dan Maryanto 2001, Sutedja dan Indrabrata 1992, Noerdjito 1987). Sebetulnya yang terancam kelestariannya tidak hanya beo nias (G.r.robusta) dan beo medan (G.r.religiosa) saja, tetapi hampir semua jenis beo telah mengalami penangkapan dari habitat alaminya (Prijono dan Waluyo 1996).

Akhir-akhir ini sudah sulit ditemukan empat subspesies beo lainnya, baik di habitat alaminya maupun di penangkaran, yaitu beo medan (G.r.religiosa), beo lampung (G.r.batuensis), beo flores (G.r.mertensi) dan beo sumbawa (G.r.venerata) (Mardiastuti A. 20 Pebruari 2001, komunikasi pribadi). Selain faktor ekologi dan demografi, variasi genetik, khususnya kuantifikasi dan sebaran variasi genetik merupakan faktor kritis yang penting dalam pengenalan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (Chan dan Archese 2002). Teknologi biologi molekuler merupakan alat yang sangat kuat dalam menentukan sistematika (Campbell et al. 2006). Sibley dan Ahlquist (1991) yakin bahwa setidak-tidaknya beberapa aspek morfologi pasti sejalan dengan bukti yang diperoleh dengan teknik DNA (teknik biologi molekuler).

Kajian filogeni (kekerabatan) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan satwa, terutama untuk mengatur strategi penangkaran agar tidak mengalami kepunahan di alam. Dalam populasi yang terdiri atas sejumlah kecil individu, terdapat resiko biologi yang sangat besar, yaitu berkurangnya variabilitas genetik dan peningkatan silang dalam. Silang dalam yang tinggi akan mengancam kelangsungan hidup populasi, karena akan menghasilkan keturunan-keturunan yang

(3)

mempunyai ketahanan hidup yang rendah, bobot badan yang kurang, ataupun steril (Selander 1983, Ralls et al. 1988, Haig & Nordstrom 1991).

Menurut Haig & Nordstrom (1991) untuk menunda proses kepunahan diperlukan beberapa tindakan antara lain 1) pengelolaan keanekaragaman hayati dalam ekosistem dan 2) pengelolaan keanekaragaman genetik dalam gene pool spesies. Dalam hubungannya dengan upaya melestarikan keanekaragaman hayati, yang mencakup tiga unsur penting yaitu keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetic., Nampaknya masih sedikit sekali informasi mengenai keanekaragaman genetik pada satwa asli Indonesia.

Ketiadaan data mengenai filogeni dari ke empat subspesies beo ini mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi baik mengenaii morfologi, aktivitas harian empat subspesies beo, gambaran darah maupun keragaman genetik serta karakter DNA mitokondrion (Asam deoksiribonukleat) beo di lokasi penangkaran.

DNA mitokondrion memiliki banyak kelebihan sebagai penanda molekular pada tingkatan intraspesies vertebrata karena pola pewarisan melalui garis ibu yang menyebabkan tidak ada rekombinasi dan laju mutasi tinggi (Avise 1994) beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti (Brown et al. 1982). Daerah D-loop mitokondrion pada hewan tidak mengandung runutan DNA penyandi protein, namun mempunyai variasi runutan DNA tertinggi di seluruh genom (Aquadro dan Greenberg 1983) dan D-loop domain I dan domain III mengandung variabilitas nukleotida yang tinggi sedangkan domain II sangat abadi (conserve) pada vertebrata (Baker& Marshall 1997, seperti yang diacu dalam Randi & Lucchini 1998).

Burung beo asal Kalimantan dikelompokkan bersama burung beo asal Medan menjadi satu subspesies yaitu G.r.religiosa, tetapi jika diamati dengan teliti terdapat perbedaan yang menyolok antara beo asal Medan dan asal Kalimantan yaitu bentuk cuping kuduknya yang khas. Pada beo medan, cuping kuduk menyatu dengan cuping di pipi membentuk segitiga, dan pangkal cuping terpisah, sedangkan beo

(4)

kalimantan memiliki cuping kuduk yang terpisah, dan cuping pipi yang tegak, dan terpisah dengan cuping kuduk. Dengan perbedaan khas ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam sampai tingkat molekuler (DNA) sehingga dapat memperjelas dan mempertegas penamaan subspesies bagi beo kalimantan. Penulis juga ingin membandingkannya dengan hasil analisis morfometri, aktivitas harian, dan gambaran darah burung beo dengan menggunakan analisis komponen utama (SPSS), dengan tujuan agar ditemukannya suatu metode yang dapat membedakan subspesies burung beo dengan biaya yang relatif lebih ekonomis.

Perumusan Masalah

Permasalahan utama yang dihadapi dalam rangka konservasi burung beo adalah (1) Akhir-akhir ini sudah sulit ditemukan lima subspesies beo (beo nias (G.r.robusta), beo medan (G.r.religiosa), beo lampung (G.r.batuensis), beo flores (G.r.mertensi) dan beo sumbawa (G.r.venerata), baik di habitat alaminya maupun di penangkaran. Disamping itu sampai saat ini masih belum jelas mengenai jumlah subspesies beo di Indonesia dan diperlukan marker genetik yang handal untuk dapat mengenali secara akurat perbedaan antar subspesies yang ada. Salah satu marker genetik yang handal tersebut adalah fragmen DNA di daerah bukan penyandi protein (D-loop) mtDNA; (2) Klasifikasi subspesies burung beo asal Kalimantan dan asal Medan yang digolongkan dalam 1 subspesies yaitu G.r.religiosa, sedangkan dari pengamatan morfologi cuping kuduk tampak adanya perbedaan yang sangat menyolok diantara keduanya; karenanya perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut mengenai taksonomi berdasarkan analisis morfologi, akivitas harian, gambaran darah serta daerah D-Loop DNA mitokondrion; (3) Belum diketahui secara pasti mengenai tingkat ketepatan analisis hubungan kekerabatan diantara beo berdasarkan identifikasi morfologi, aktivitas harian, gambaran darah serta daerah D-loop DNA mitokondrion ; (4) belum diketahui tingkat kekerabatan antara

(5)

beo asal Indonesia dengan beo asal Thailand berdasarkan analisis daerah D-loop DNA mitokondrion.

Untuk menjawab benarkah beo asal Medan dan asal Kalimantan tergolong dalam satu subspesies maka penelitian mengenai analisis filogeni berdasarkan molekuler perlu segera dilakukan bagi beberapa subspesies burung beo, sebagai dasar bagi pengelolaan populasi beo di habitat alaminya, sehingga terjamin kelestariannya. Analisis morfometri, aktivitas harian dan gambaran darah dari empat subspesies beo di penangkaran perlu dilakukan sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian ini dan diharapkan dapat diperoleh metode yang dapat membedakan subspesies burung beo dengan biaya yang relatif lebih ekonomis.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini terdiri atas dua lingkup yang mendasar yaitu:

1. Biologi empat subspesies burung beo ( G.r. religiosa [beo medan], G.religiosa spp. asal Kalimantan, G.r. robusta [beo nias], dan G.r. mertensi [beo flores]) dari empat lokasi habitat alaminya, yang meliputi: morfologi beo dewasa / variasi morfometri yang bersifat kuantitatif (bobot badan, panjang total, panjang dan lebar cuping kuduk, panjang paruh, panjang tarsus/kaki, panjang sayap, panjang ekor, jumlah bulu primer, bulu sekunder dan bulu ekor), dan data kualitatif (bentuk kepala, warna bulu punggung, warna bulu ekor, warna dan bentuk paruh, warna tarsus/kaki, warna mata dan bentuk serta warna cuping kuduk), aktivitas harian burung beo di penangkaran dan gambaran darah (jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan diferensiasi leukosit). Dari data yang diperoleh dianalisis kekerabatannya berdasarkan morfometri, aktivitas harian, serta gambaran darah burung beo.

(6)

2. Analisis filogeni molekuler dengan menggunakan metode PCR-sekuensing DNA sebagian daerah kontrol D-loop mtDNA. Burung yang dijadikan sampel diperoleh dari habitat aslinya (Nias, Medan, Kalimantan dan Flores) yang dipelihara di Laboratorium Penangkaran Satwaliar, Fakultas Kehutanan IPB, juga empat sampel yang tidak diketahui asalnya. Sebagai pembanding dipakai fragmen D-loop DNA mitokondrion beo thailand dari Genbank, G.r.intermedia (no. akses AF411342) dan G.r.religiosa (no. akses AF465252), urutan nukleotida ayam leghorn (Desjardins & Morais 1990 kode akses NC_001323), Pica pica pica (Magpies, Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode akses AY701166), Pica pica jankowskii (Magpies, Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode akses AY701167), Cyanopica cyanus interposita (Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode akses AY701152).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan kekerabatan dapat dianalisis berdasarkan variasi morfologi, variasi aktivitas harian, serta variasi gambaran darah dari empat subspesies beo sebagai dasar pengelolaan burung beo di penangkaran dan untuk mengetahui dan menganalisis variabilitas genetik, jarak genetik dan hubungan kekerabatan empat subspesies burung beo (G.r. religiosa (beo medan), G.religiosa spp. (beo kalimantan) G.r. robusta (beo nias), G.r. mertensi (beo flores), berdasarkan hasil perunutan sebagian daerah D-loop mtDNA, karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal ini untuk beberapa subspesies beo asal Indonesia. Selain itu penelitian ini bertujuan agar dapat ditemukan suatu metode yang dapat membedakan subspesies burung beo dengan biaya yang relatif lebih ekonomis.

(7)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memperjelas jumlah subspesies beo yang sebenarnya ada di Indonesia sehingga dapat diperoleh strategi konservasi yang tepat bagi pengelolaan burung beo baik secara in-situ maupun eks-situ. Data yang diperoleh diharapkan menjadi data dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan, khususnya di bidang bioteknologi.

Hipotesis

Terdapat variasi morfologi, variasi aktivitas harian, variasi gambaran darah dan terdapat karakter nukleotida yang unik di daerah sebagian D-loop mtDNA diantara empat subspesies burung beo Indonesia (G.r. religiosa [beo medan] dan G.religiosa spp. [asal dari Kalimantan]. G.r. robusta [beo nias], G. r. mertensi [beo flores]. Beo kalimantan merupakan subspesies yang berbeda dengan beo medan.

Referensi

Dokumen terkait

Mandar padi kalung kuning (Gallirallus philippensis) atau Buff bunded rail di Minahasa dikenal sebagai burung weris, dianggap sangat rentan terhadap kepunahan

Permintaan akan kopi Indonesia sendiri terus meningkat, dimana kopi robusta Indonesia memiliki kandungan body yang kuat, sedangkan kopi arabika memiliki cita rasa yang

Program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi komunitas korban melalui LKM/Koperasi dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias di bawah koordinasi Aceh Mikro Finance (AMF), merupakan

Dalam penelitian [2] telah dirancang sebuah aplikasi kamus istilah biologi berbasis android, yang digunakan untuk mengetahui istilah - istilah yang ada pada biologi,

Hal ini menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan lahan sawah, yang salah satunya adalah Kabupaten Hulu Sungai

Beberapa peneliti melaporkan keuntungan penggunaan telur sebagai pabrik bahan biologi adalah : kandungan IgY tinggi dalam telur, mudah diproduksi dalam jumlah besar,

Permasalahan diatas harus segera diatasi dikarenakan dengan berbagai kelebihan dan potensi yang ada usaha kerajinan sangkar burung perkutut dapat

Strategi pemulihan kerusakan mangrove di SMPR yaitu pertama, pada pengendalian dan pemulihan lingkungan fisik baik terhadap habitat maupun vegetasi mangrove, yaitu