• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan tentang efektifitas relaksasi Benson terhadap penurunan skala nyeri dada pada pasien sindrom koroner akut di ruang Intermediate Medikal Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta tahun 2018.

2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut 2.1.1. Pengertian sindrom koroner akut.

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan penyakit yang menyerang pembuluh darah koroner, dimana terbentuk oklusi pada pembuluh darah koroner sehingga membuat otot jantung kekurangan suplai oksigen (iskemia) dan dapat mengakibatkan nekrosis jaringan pada otot jantung (AHA, 2015).

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah (Brunner dan Suddarth, 2010).

SKA adalah spektrum kondisi klinis yang menyebabkan ketidaknyamanan atau gejala lain yang disebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya ( Black& Hawks,2008 ).

(2)

Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa SKA merupakan kondisi patologis pada arteri koroner yang disebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa yang abnormal yang dapat menganggu proses transportasi bahan - bahan energi tubuh sehingga mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan otot jantung.

2.1.2. Patofisiologi sindrom koroner akut.

Sindrom koroner akut terjadi dengan diawali munculnya penyakit arteri koroner yang didefinisikan sebagai penyakit yang menyerang dinding pembuluh darah arteri sehingga terjadi kerusakan.Terdapat dua jenis kerusakan dinding arteri, yaitu arteriosklerosis dan aterosklerosis (Woods, 2008). Arteriosklerosis didefinisikan sebagai “pengerasan arteri”, yang terdiri dari 2 penyebab yaitu:

1. Kalsifikasi medical sklerosis ditandai dengan adanya penumpukan kalsium pada lapisan media arteri yang berukuran sedang.

2. Arteriolar sklerosis, kondisi dimana adanya penebalan dinding hingga mendekati lumen atau arteri kecil/arteriol, dan sering kali dihubungkan dengan hipertensi. Aterosklerosis adalah penyakit degeneratif progresif pada arteri yang menyebabkan oklusi atau sumbatan secara bertahap pembuluh sehingga mengurangi aliran darah yang melaluinya (Sherwood, 2012). Aterosklerosis terbentuk karena adanya ateroma ( pembengkakan sel-sel otot polos/tumor jinak sel otot polos ) dan sklerosis ( pertumbuhan berlebihan jaringan ikat fibrosa ). Aterosklerosis ditandai oleh plak-plak yang terbentuk di bawah lapisan dalam ( media ) pembuluh darah arteri. Plak arterosklerosis bersifat tidak stabil dan dapat terjadi ruptur. Kejadian ruptur ini dianggap penyebab terpenting terjadinya sindrom koroner akut, sehingga tiba-tiba

(3)

terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark pada jaringan otot jantung, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi nyeri dada atau serangan jantung (Trisnohadi, 2009).

Terjadinya vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah juga mempunyai peran penting pada SKA.Vasokonstriksi disebabkan oleh disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet yang berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006). Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan nyeri dada akibat iskemia (Trisnohadi, 2009).

2.1.3. Manifestasi klinik Sindrom koroner akut.

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal ( angina tipikal ) atau atipikal ( angina ekuivalen ). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan berat pada daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI,2015).

(4)

Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat serangan jantung.

2.1.4. Faktor-faktor resiko sindrom koroner akut.

Faktor resiko pada sindrom koroner akut terbagi dua yaitu faktor yang tidak dapat diubah (irreversible) dan faktor yang dapat diubah (reversible). Faktor resiko yang tidak dapat diubah terdiri dari usia, jenis kelaminn, suku bangsa, riwayat penyakit jantung keluarga. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, merokok, dan usia (Little & Merryl, 2010).

1. Hipertensi

Hipertens sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung.

2. Dislipidemia

Tahap awal aterosklerosis ditandai dengan akumulasi lipoprotein berdensitas rendah (low-density lipoprotein/LDL).Kolesterol ini berikatan dengan suatu protein pembawa di bawah endotel. Seiring dengan menumpuknya endotel ini di dalam dinding pembuluh darah, maka kolesterol ini kemudian akan teroksidasi, terutama oleh zat-zat sisa oksidatif yang dihasilkan oleh zat pembuluh darah. Respon tubuh terhadap keberadaan LDL yang teroksidasi ini, sel-sel endotel menghasilkan

(5)

bahan-bahan kimia yang menarik monosit ke lokasi peradangan. Sel-sel imun inilah yang kemudian menimbulkan respon peradangan lokal pada vaskular.

3. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus merupakan faktor resiko mayor untuk penyakit jantung iskemik pada pria maupun wanita. Kelainan metabolisme seperti hiperglikemia dan resistensi menyebabkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Tingginya radikal bebas yang terbentuk dari asam lemak bebas, peningkatan AGE (Advance Glycation End

products), aktivasi protein kinase C, menurunnya ketersediaan NO serta

meningkatnya aktivasi berbagai faktor inflamasi akan menimbulkan kerusakan endotel lebih jauh. Pada penderita DM, terjadi peningkatan kadar fibrinogen, menurunnya aktivitas fibrinolisis, serta peningkatan tissue faktor dan thrombogenicity, terutama pada individu dengan DM yang tidak terkontrol.

4. Merokok

Komponen yang terdapat dalam sebatang rokok seperti nikotin dapat menghambat atau menurunkan ketersediaan nitric oxide (NO) sebagai vasilator fisiologis pada pembuluh darah sehingga meningkatkan resiko terjadi aterosklerosis pada vaskuler. Selain itu, respon inflamasi vaskuler terhadap kandungan asap rokok menjadi pemicu terbentuknya plak aterosklerosis. Rokok juga dihubungkan dengan peningkatan serum kolesterol, trigliserida, dan level LDL, akan tetapi menurunkan HDL. Selain itu, asap rokok juga mencetuskan efek protrombotik, yang mengakibatkan kerusakan fungsi platelet, antitrombotik/faktor protrombotik, dan faktor fibrinolisis.

(6)

5. Usia

Seiring pertambahan usia, terjadi perubahan yang pada pembuluh darah manusia. Terjadinya fenotipe sel endotel dan sel otot polos, endapan kolagen, dan penebalan dinding vaskuler mengakibatkan perubahan struktural dinding pembuluh darah menjadi kaku sehingga membuat resistensi vaskuler meningkat. Hal ini menjadi pemicu meningkatnya tekanan darah pada lansia, sehigga akan berdampak kepada resiko terjadinya sindrom koroner akut.

2.1.5. Klasifikasi sindrom koroner akut.

SKA dapat diklasifikasikan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung. Klasifikasi sindrom koroner akut dapat dibagi menjadi sebagai berikut (PERKI,2015):

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation

myocardial infarction)

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular.Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation

myocardial infarction)

NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat

(7)

keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna.

2.1.6. Penatalaksanaan sindrom koroner akut.

Pengobatan pada sindrom koroner akut tergantung dari jangkauan penyakit dan gejala yang dialami oleh pasien, diantaranya adalah sebagai berikut (PERKI, 2015):

1. Terapi Farmakologi

Berdasarkan Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015), penanganan awal atau gawat darurat pada pasien dengan keluhan angina, sebelum didapatkan hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung, yaitu MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin). Adapun tahapan tatalaksana pasien dengan SKA antara lain tirah baring dan pemberian oksigenasi bagi semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa

(8)

mempertimbangkan saturasi O2. Setelah itu, memberikan aspirin 160-320 mg segera pada semua pasien yang tidak diketahui toleransinya terhadap aspirin, dapat dilanjutkan dosis maintanance 80mg/hari. Pasien juga diberi penghambat reseptor ADP (adenosinediphosphate) dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis maintenance 75 mg/hari, pada pasien yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik. Selain itu, nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual juga diberikan sesaat setelah serangan nyeri muncul jika setelah pemberian pertama nyeri tidak berkurang, maka dapat diulang setiap lima menit selama maksimal tiga kali pemberian. Pertimbangan pemberian nitrogliserin melalui intravena juga dapat dipertimbangkan, jika pasien tidak responsif terhadap pemberian NTG sublingual sebanyak tiga kali. Tahap akhir yaitu morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang 10-30 menit,bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Penatalaksanaan SKA dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk mengurangi kebutuhan oksigen pada otot jantung (misalnya: nitrogliserin, beta blocker, digitalis, diuretik, vasodilator, sedatif, kalsium antagonis) dan meningkatkan suplai oksigen ke otot-otot jantung (pemberian oksigen, nitrogliserin, obat-obatan fibrinolitik dan vasopresor) (PERKI, 2015)

2. Reperfusi Koroner

Penatalaksaan ini dilakukan dengan tindakan yang bertujuan untuk membuka atau melebarkan arteri koroner yang mengalami penyempitan dengan atau tanpa pemasangan stent agar aliran darah dapat kembali menuju otot jantung (Hamm, 2011).

(9)

a. PCI (Percutaneous Coronary Intervention)

PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh koroner yang menyempit dengan balon atau

stent.Stent arteri koroner berupa perangkat berbentuk kawat tabung jala kecil yang

digunakan untuk melebarkan arteri yang sempit atau lemah.Sebuah stent ditempatkan di arteri koroner yang mensuplai darah ke jantung, untuk menjaga arteri terbuka dalam pengobatan SKA.Tanpa stent sekitar 30-40% pasien mengalami kekambuhan kembali akibat restenosis (Sudoyo, 2010).

Tindakan PCI diindikasikan pada STEMI akut onset <12 jam disebut PCI primer (Primary PCI). PPCI menghasilkan patensi arteri dan aliran yang lebih tinggi, menurunkan angka iskemia dan infark berulang, menurunkan prosedur revaskulerisasi berulang, serta menurunkan perdarahan intra kranial dan menurunkan angka kematian (Hamm, 2011).

b. Terapi fibrinolitik atau trombolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama untuk kondisi dimana PPCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI sesuai kondisi yang direkomendasikan.Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk mendapatkan patensi awal, memperluas area penyelamatan miokardium, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan mortalitas.Penurunan mortalitas dapat dicapai secara dramatis jika terapi dicapai dalam jam pertama (golden first hour) (Hamm, 2011).

Berbagai agen trombolitik mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membentuk plasmin yang melisiskan bekuan. Salah satu jenis trombolitik yang tersedia adalah

(10)

aktivator plasminogen yang bekerja dengan menghidrolisis plasminogen inaktif menjadi plasmin aktif. Plasmin ini bekerja dalam degradasi fibrin. Generasi pertama agen trombolitik yang tidak bersifat selektif terhadap fibrin antara lain

streptokinase (SK), urokinase (UK), dan APSAC (Anisoylated Plasminogen Streptokinase Activator Complex). Generasi kedua dan berikutnya bersifat selektif

terhadap fibrin antara lain t-PA (tissue Plasminogen Activator), scu-PA, staphylokinase, dan TNK t-PA (AHA, 2015).

3. Intervensi Bedah

Tindakan bedah yang dilakukan pada pasien Coronary Artery Disease (CAD) adalah dengan melakukan Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG adalah teknik yang menggunakan pembuluh darah bagian tubuh yang lain untuk memintas arteri yang menghalangi pemasokkan darah ke jantung. CABG bertujuan untuk membuat rute dan saluran baru pada arteri yang terbendung sehingga oksigen dan nutrisi dapat mencapai otot jantung (Huon Gray et all, 2011).

2.2. Konsep Nyeri

2.2.1. Pengertian nyeri.

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman

(11)

perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Sedangkan menurut Engel (2010) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada.

Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah keadaan yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan perubahan terhadap fungsi tubuh.

2.2.2. Faktor yang mempengaruhi nyeri.

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi nyeri, yaitu : a. Usia

Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani.

b. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten.

(12)

Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2013).

c. Keluarga dan suport sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2013).

d. Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus pasienkehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Seorang pasien mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2010).

2.2.3. Klasifikasi nyeri.

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan proses

(13)

penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan (Brunner & Suddarth, 2006).Berger (2012) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan.Secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer 2011). Menurut Taylor (2013) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.

2.2.4. Fisiologi nyeri.

Menurut Torrance & Serginson (2007), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon

(14)

terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak.

Menurut Smeltzer & Bare (2013) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Disinilah terjadi interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden.Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalisyang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.

2.2.5. Patofisiologi nyeri.

Nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Rangsangan berbahaya seperti adanya ischemia, infark miokard akan mengaktifkan saraf parasimpatis sehingga menimbulkan nyeri. Stimulus nyeri dada akan diubah menjadi impuls listrik. Perubahan energy ini dinamakan transduksi. Transduksi dimulai ketika stimulus terjadinya nyeri dada mengirimkan impuls yang melewati nosiseptor (saraf panca indera yang menghantarkan stimulus nyeri dada ke otak), maka

(15)

akan menimbulkan potensial aksi. Setelah proses transduksi selesai transmisi impuls dimulai. Proses transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris setelah terjadi proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A Delta dan serabut C dari perifer ke system saraf spinotalamik. Ketika stimulus nyeri dada sampai ke korteks serebral maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dada dan memproses dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan serta budaya kemudian diterjemahkan sebagai persepsi nyeri dada dimana seseorang sadar akan timbulnya nyeri dada (MC Cafferi & Pasero, 1999 dalam Potter & Perry, 2010).

2.2.6. Pengukuran skala nyeri.

Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) Skala intensitas nyeri deskriptif

(16)

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Atau bisa juga mmenggunakan sketsa wajah sebagai berikut :

Perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu menerangkan bagaimana intensitas nyerinya.Nyeri yang ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney, 2010).

(17)

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapatmengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagiberkomunikasi, memukul. Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan

(18)

jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik, apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Keuntungan menggunakan VASyaitu : merupakan metode pengukuran intensitas nyeri yang sensitif, murah dan mudah dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam mengukur nyeri dibandingkan dengan pengukuran deskriptif, mempunyai korelasi yang baik dengan pengukuran yang lain, dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun dan VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Adapun kekurangannya

(19)

adalah :VAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk memberikan penilaian, pasien harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan kognitif mampu melakukan pengukuran.

VAS sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi / penjelasan terapis / pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat dibutuhkan. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

2.3. Manajemen nyeri.

2.3.1. Farmakologi.

Beberapa agen farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Jenis terapi farmakologi yang biasa diberikan diantaranya : non-narkotik, obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, obat tambahan (adjuvan). Obat analgetik non narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang. Obat analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan untuk nyeri sedang sampai berat.

Morfin sulfat merupakan derivat opium yang memiliki karakteristik efek analgetik seperti meningkatkan ambang nyeri sehingga menurunkan persepsi nyeri, mengurangi kecemasan dan ketakutan yang merupakan komponen reaksi terhadap nyeri,

(20)

menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri berat. Bahaya analgetik narkotik adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf dan vital juga bisa menyebabkan depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di batang otak.

Adjuvan atau obat tambahan seperti sedatif, anti cemas dan relaksan otot, meningkatkan kontrol nyeri atau gejala lain yang menyangkut nyeri seperti depresi. Obat - obatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, keputusasaan dan kewaspadaan mental.

2.3.2. Non farmakologi.

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan berdasarkan :

a. Stimulasi fisik, seperti :

1) Stimulasi kulit

Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan massage otot ini dipercaya akanmerangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.

2) Stimulasi electric (TENS)

TENS atau disebuttranscutaneus electrical nerve stimulation merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

(21)

3) Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.

b. Intervensi perilaku kognitif, seperti :

1) Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.

2) Gate kontrol dan massage kutaneus

Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang menstransmisikan sensasi tidak nyeri, memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Massage tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Massage dapat membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot.

(22)

3) Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.

4) Imaginasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya.Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jam setelah imajinasi digunakan.

2.4. Konsep Relaksasi Benson

Relaksasi adalah terapi atau latihan untuk membawa seseorang pada keadaan relaks pada otot-otot. Jika seseorang berada pada keadaan santai akan terjadi pengurangan timbulnya reaksi emosi yang menggelora, baik pada susunan syaraf pusat maupun susunan syaraf otonom yang lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Selanjutnya pasien tidak lagi tergantung pada terapisnya, tetapi

(23)

melalui tehnik sugesti diri (Auto Suggestion Tehnique) seorang dapat perubahan untuk mengatur emosi yang dikehendaki.

Relaksasi adalah salah satu teknik dalam perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpe untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dikutip Goldfried dan Davidson, (1976). Relaksasi dapat menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan dengan kecemasan yaitu, kecepatan denyut jantung yang lambat, peningkatan darah perifer dan stabilitas neuro muskular.

Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan otot skeletol sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot. Dasar terapi relaksasi otot adalah didalam sistem syaraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardio vaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom terdiri dari subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis memacu kerja-kerja organ tubuh seperti memacu meningkatnya denyut jantung, pernafasan dan menimbulkan penyempitan pembulu darah tepi (Peripheral) serta pembesaran darah pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis.

Manfaat relaksasi, menurut Burn dalam buku Konseling dan Psikoterapi (2007) beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi antara lain :

a) Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stress.

(24)

b) Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia, dapat dikurangi dan diobati dengan relaksasi.

c) Mengurangi tingkat kecemasan. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa individu dengan tingkat kecemasanyang tinggi dapat menunjukkan efek fisiologis positif melalui latihan relaksasi.

d) Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stress dan mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan seperti pertemuan penting, wawancara dan sebagainya.

e) Mengurangi perilaku tertentu yang sering terjadi selama periode stress seperti mengurangi jumlah rokok yang dihisap, konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan dan makan yang berlebihan.

f) Meningkatkan penampilan kerja sosial dan ketrampilan fisik. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan.

g) Kelelahan aktifitas mental dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih cepat dengan menggunakan latihan relaksasi.

h) Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil latihan relaksasi sehingga kemungkinan individu untuk menggunakan keterampilan relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.

i) Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tetentu dan operasi. j) Konsekwensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri

dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil control meningkat terhadap reaksi stress.

(25)

Berbagai metode relaksasi telah banyak dikembangkan seperti relaksasi progresif, relaksasi otot, relaksasi meditasi. Namun pengembangan teknik relaksasi yang berkaitan dengan keyakinan seseorang (faith factor) belum dikaji secara mendalam apalagi yang mengarah pada keyakinan religi tertentu. Relaksasi dengan memasukkan unsur keyakinan dapat dilakukan oleh siapa saja yang yakin terhadap sesuatu dan dapat dipraktekkan oleh agama apa saja (Benson,2000).

Relaksasi benson merupakan teknik relaksasi pasif dengan tidak menggunakan tegangan otot yang digabungkan dengan keyakinan yang dianut oleh pasien sehingga sangat tepat untuk mengurangi nyeri dada pada kasus sindroma koroner akut. Kata atau kalimat tertentu yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keimanan dan keyakinan. Ungkapan yang dipakai dapat berupa nama tuhan atau kata-kata lain yang memiliki makna yang dapat menenangkan sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2000 dalam Purwanto, 2006).

Relaksasi Benson merupakan konsep relaksasi sebagai bagian dari pengembangan “self

care theory” yang dikemukakan oleh Orem, dimana perawat dapat membantu kebutuhan

self care pasien dan berperan sebagai supportive – educative, sehingga pasien dapat menggunakan relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri (Tommey & All Good, 2006). Relaksasi Benson juga termasuk terapi alternative dan komplementer yang dikembangkan oleh national center for complimentary and alternative medicine (NCCAM) (Cushman & Hoffman, 2004).

(26)

Relaksasi Benson efektif juga untuk mengatasi kekhawatiran atau kecemasan atau stress melalui pengenduran otot-otot dan saraf. Dalam keadaan relaksasi seluruh tubuh dalam keadaan homeostatis atau seimbang, dalam keadaan tenang tapi tidak tertidur, dan seluruh otot-otot dalam keadaan rileks dengan posisi tubuh yang nyaman (Benson & Proctor, 2000 dalam Roykulcharoen, 2003).

Dalam relaksasi Benson mekanisme gerbang yang berlokasi disepanjang system saraf pusat dapat mengatur atau bahkan menghambat impuls-impuls nyeri. Penutupan gerbang merupakan dasar terhadap intervensi non farmakologis dalam penanganan nyeri (Benson, 2010).

Respon relaksasi yang melibatkan keyakinan yang dianut akan mempercepat terjadinya keadaan relaks, dengan kata lain kombinasi respon relaksasi dengan melibatkan keyakinan akan melipatgandakan manfaat yang didapat dari respon relaksasi (Benson, 2000). Penggunaan frase yang bermakna dapat digunakan sebagai fokus keyakinan, sehingga dipilih kata yang memiliki kedalaman keyakinan. Dengan menggunakan kata atau frase dengan makna khusus akan mendorong efek plasebo yang menyehatkan. Semakin kuat keyakinan seseorang berpadu dengan respon relaksasi maka semakin besar pula efek relaksasi yang didapat. Pilihan frase yang dipilih sebaiknya singkat untuk diucapkan dalam hati saat mengambil dan menghembuskan napas secara normal. Kedua kata tersebut mudah diucapkan dan mudah diingat. Fokus dari relaksasi ini tidak pada pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur disertai sikap pasrah kepada objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna menenangkan.

(27)

Sangkan (2002) menyebutkan pengulangan kata atau frase secara ritmis dapat menimbulkan tubuh menjadi rileks. Pengulangan tersebut harus disertai dengan sikap pasif terhadap rangsang baik dari luar maupun dari dalam.Sikap pasif dalam konsep religius dapat diidentikan dengan sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap pasrah inilah yang dapat melipatgandakan respon relaksasi yang muncul. Keuntungan dari relaksasi religius ini selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan dari penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan, dan kemungkinan akan mendapatkan pengalaman-pengalaman transendensi. Dzikir sebagai salah satu bentuk ibadah dalam agama Islam merupakan relaksasi religius, dengan mengucapkan lafadz Allah atau Ahad secara terus menerus dengan pelan dan ritmis akan dapat menimbulkan respon relaksasi (Benson, 2000. Sangkan 2002).

Pengulangan lafadz tersebut disertai dengan keyakinan terhadap kasih sayang-Nya, perlindungan-Nya dan sifat-sifat baikNya yang lain akan menimbulkan rasa tenang dan rasa aman. Hubungan antara komitmen religius atau keimanan dengan penyembuhan telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh David B. Larson dan Mr. Constance P.B. menemukan bukti bahwa faktor keimanan memiliki pengaruh yang luas dan kuat terhadap kesehatan. Di dalam sintesisnya, The Faith Factor : An annotated

Bioliography of Chemical Research on Spiritual Subject, mereka menemukan bahwa

faktor religius terlibat dalam peningkatan kemungkinan tambahnya usia harapan hidup, penurunan pemakaian alkohol, rokok, dan obat, penurunan kecemasan, depresi, dan kemarahan, penurunan tekanan darah, dan perbaikan kualitas hidup bagi pasien kanker dan penyakit jantung (sholeh, 2002).

(28)

Pasien dengan keimanan yang kuat mampu untuk berjalan lebih jauh secara bermakna dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami depresi. Kemudian ia menyimpulkan bahwa komitmen religius yang konsisten akan memperkecil gangguan psikologis, semakin baik kesehatannya, semakin normal tekanan darahnya, dan semakin panjang harapan hidupnya. Dua hal yang dilakukan untuk menimbulkan respon relakasi adalah: (1) mengulang kata, frase atau mengulang aktivitas otot-otot. (2) bersikap pasif ketika berbagai gangguan menyerang seperti rasa penat, rasa capek, dan gangguan pikiran (Benson, 2000).

Sangkan (2002) menggambarkan bahwa sikap pasrah dalam bahasan yang lebih luas bukan malas dan tidak melakukan apa, sikap pasrah sempurna seperti sebuah pohon yang bergoyang ke kanan dan ke kiri karena mengikuti tiupan angin, jika pohon ini menentang angin yang menerpa (tidak pasrah) maka pohon akan tumbang. Bergeraknya pohon ke kanan dan ke kiri itulah sikap pasrah yang sebenarnya. Dalam pelaksanaan relaksasi ketika pengendoran secara fisik sudah dilakukan langkah selanjutnya adalah mengucapkan frase yaa Allah yang diikuti dengan sikap penyerahan diri secara total baik tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Penyerahan dengan mengulang frase dipertahankan hingga sesi latihan berakhir. Tidak ada batasan waktu dalam melatih relaksasi ini, namun menurut Benson (2000) latihan relaksasi sebaiknya dilakukan sebelum makan sehingga proses relaksasi tidak terganggu oleh kerja pencernaan. Dari pendapat tersebut bila digabungkan dengan ritual keislaman sebaiknya dilakukan setelah sholat subuh dan magrib. Diharapkan dengan latihan yang rutin sehari 2 kali ini respon relaksasi dapat dimunculkan setiap saat sesuai kebutuhan.

(29)

Langkah-langkah relaksasi dzikir ini merupakan modifikasi dari teknik relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan dari Benson (2000), yaitu:

1) Memilih frase yang sesuai dengan keyakinan Frase atau kata ini digunakan sebagai fokus atau pengantar meditasi, dan pemilihan kata sebaiknya memiliki arti khusus terutama frase yang dapat menimbulkan munculnya kondisi transen-densi, sehingga diharapkan dengan frase sebagai fokus yang digunakan akan meningkatkan kekuatan respon relaksasi dengan memberi kesempatan faktor keyakinan untuk memberi pengaruh. Pemilihan frase sebaiknya cukup singkat agar dapat diucapkan dalam hati ketika menghembuskan nafas secara normal. Dalam metode ini yang akan digunakan adalah frase “yaa Allah” karena frase ini singkat dan langsung menuju kepada objek transendensi.

2) Atur posisi tubuh yang nyaman Sebelum memulai relaksasi carilah posisi duduk yang nyaman sehingga posisi tidak mengganggu pikiran. Posisi dapat dilakukan misalnya dengan bersila atau duduk di sofa. Lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses relaksasi misalnya suhu, kebisingan, pakaian yang terlalu ketat dan bau-bauan yang tidak enak.

3) Memejamkan mata. Pejamkan mata secara perlahan dan pejamkan dengan wajar tidak perlu memicingkan mata kuat-kuat. Karena pemaksaan untuk memejamkan akan membuat otot-otot mata tidak rileks.

4) Lemaskan otot-otot Mulailah melemaskan otot dari kaki, kemudian betis, paha, dan perut seterusnya hingga kepala. Caranyadengan merasakan otot yang akan dirilekskan kemudian otot tersebut diperintahkan untuk rileks misalnya akan melemaskan otot

(30)

kaki; dengan memerintahkan pada kaki “lemas..lemas..” sambil merasakan dan membiarkan otot-otot kaki untuk lemas.

5) Perhatikan napas dan mulailah menggunakan kata fokus yang berakar dari keyakinan. Bernapaslah perlahan-lahan dan wajar, tanpa memaksakan iramanya. Pada tahap ini mulailah mengulang-ulang dalam hati kata atau frase yang dipilih sambil mengambil dan mengeluarkan napas. Karena teknik ini menggunakan frase yaa Allah maka ketika mengambil napas disertai dengan membaca dalam hati kata yaa…kemudian ketika mengeluarkan napas diikuti pula membaca dalam hati kata Allah….

6) Pertahankan sikap pasif Selain pengulangan kata atau frase, sikap pasif adalah aspek penting untuk membangkitkan respon relaksasi. Saat mulai duduk dan mengulang-ulang frase berbagai macam pikiran akan bermunculan yang akan mengalihkan perhatian frase yang diulang-ulang.

Contoh kata atau frase yang memfokuskan sesuai dengan keyakinan :

1. Islam

Allah atau nama-nama-Nya dalam Asmaul Husna, kalimat – kalimat untuk berdzikir seperti Alhamdulillah, Subhanallah, Allahu Akbar dan lain – lain.

2. Katholik

“ Tuhan Yesus Kristus, Kasihanilah aku, Bapa Kami yang di surga : Salam Maria yang penuh rahmat, Aku percaya akan Roh Kudus”.

(31)

3. Protestan

“ Tuhan datanglah ya Roh Kudus : Tuhan adalah gembalaku, Damai Sejahtera Allah, yang melampaui Aku”.

4. Hindu

“ Kebahagiaan ada di dalam Hati, Engkau ada dimana – mana, Engkau adalah tanpa bentuk”.

5. Budha

“ Aku Pasrahkan diri sepenuhnya, hidup adalah sebuah perjalanan”.

2.5. Penelitian Yang Terkait

Adapun penelitian – penelitian yang terkait :

1. Menurut Ramdhani (2015) penelitian dengan judul perbedaan skala nyeri dada sebelum dan sesudah pemberian relaksasi benson pada pasien sindroma koroner akut di RSUD KRT Setjonegoro dan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo dengan menggunakan metode penelitian pre experiment dengan one group pre-test dan post

testdesign pada 15 pasien SKA yang diambil dengan metode purposive sampling

menggunakan instrumen numeric pain scale untuk mengukur skala nyeri sebelum dan sesudah relaksasi benson yang dilakukan selama 10 menit, 1 kali sebelum sarapan pagi dengan uji statistic wilcoxon test menunjukan bahwa relaksasi benson dapat membuktikan adanya perbedaan bermakna skala nyeri sebelum dan sesudah relaksasi benson. (p value = 0,000 dan α = 0,05).

(32)

terhadap penurunan skala nyeri dada kiri pada pasien acute miocard infark di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014 menunjukkan bahwa Terapi kombinasi Analgetik dan Relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala nyeri pada pasien Acute Myocardial Infarc (P value = 0,000), sehingga bila dibandingkan dengan kelompok responden yang hanya mendapatkan terapi analgetik (P value=0,004) maka dapat disimpulkan bahwa relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala nyeri pada pasien Acute Myocardial Infarc.

3. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Datak Gad (2008) tentang penurunan nyeri pasca bedah pasien TUR Prostat melalui relaksasi Benson menunjukkan bahwa kombinasi Relaksasi Benson dan terapi analgetik efektif menurunkan rasa nyeri pasca bedah pada pasien TUR Prostat (p = 0,019 dan α = 0,05).

4. Menurut Jumaiyah (2014), penelitian dengan judul relaksasi benson terhadap nyeri

paska bedah pasien CABG (coronary artery bypass grafting) di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta didapatkan hasil bahwa relaksasi benson efektif terhadap penurunan nyeri paska bedah pada pasien CABG. Metode penelitian ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test design with

control group dengan jumlah sampel 20 responden. Hasil penelitian terdapat

penurunan skor nyeri pada kelompok intervensi (p=0,001;α = 0,05) lebih bermakna dibandingkan dengan skor nyeri pada kelompok control (p=0,019;α = 0,05).

5. Menurut Rasubala,dkk(2017), penelitian dengan judul Pengaruh tekhnik relaksasi

benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi Appendicitis di RSUP.Prof.DR.R.D. Kandaou dan RS TK.III R.W.Mongisidi Teling Manado didapatkan tingkat kepercayaan 95%(α = 0,05) dan diperoleh p value 0,000 < 0,05.

(33)

Metode penelitian ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test

design with control group dengan jumlah sampel 16 responden. Tekhnik relaksasi

benson dilakukan setelah pemberian analgesic dengan durasi 30 menit setiap hari selama tiga hari. Sebelum dan sesudah diberikan tekhnik relaksasi benson dilakukan pengukuran skala nyeri dengan Numeric Rating Scale ( NRS ).

Table 2.1

Kerangka Konsep Teori SINDROM KORONER AKUT

Penyempitan lumen arteri,ruptur plak, trombosis, dan spasme arteri

Aterosklerosis Ketidakseimbanga n kebutuhan ooOooksigen Nyeri Metabolisme anaerob: pH sel

Penurunan aliran darah arteri koronaria

Iskemia miokardium Gangguan suplai oksigen ke miokard

STEMI, NSTEMI, UAP Iskemik >30 menit

Infark miokardium Infark transmural Infark subendokardial

Sindrom koroner akut EKG : T terbalik dan ST segmen

Kerusakan otot miokardium

Produksi asam laktat Pelepasan enzim

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian dan hasil analisa yang telah dilakukan selama pengembangan Aplikasi Deteksi Kemiripan Source Code Pada Bahasa Pemrograman Java Menggunakan Metode

Analisis pengelolaan linen kotor di Instalasi Laundry BLUD RS Sekarwangi memiliki Karakteristik SDM sebanyak 100% sesuai dengan standar manajemen linen, Sarana dan

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa rendemen ekstrak yang dihasilkan untuk berbagai macam konsentrasi pelarut dan tahap jumlah ekstraksi cenderung meningkat dengan

Maksud penerbitan buku-buku bahasa Sunda, bukan untuk mengedit karya-karya tertulis dalam bentuk naskah yang ada di masyarakat, yang kiranya punya potensi nilai kesusastraan

Perbedaan komposisi pakan menghasilkan substrat yang berbeda.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi hijauan yang berbeda dalam ransum pada neraca N

7 Pada komunitas jual beli online yang ada di lingkungan Universitas Telkom yang ditunjukan oleh tabel 1.2, FORUM JUAL BELI PENDIDIKAN TELKOM adalah yang paling

DDUPB PP Evaluasi  Penyerapan  BLM 12 SULAWESI TENGGARA 3 Kota Bau‐Bau 3

Dari analisis statistik terhadap data rendemen memberikan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara Spirulina sp dan Chlorella sp (p&gt;0,05), sedangkan untuk