• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.

Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.

Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha

(2)

untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum yang melindungi belum memadai.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.1

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UUPK disebutkan bahwa tujuan dibentuknya UUPK ini adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.2

1 AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei,

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7

2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.

(3)

Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui kepada konsumen itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen.

Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.3

Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 UUPK disebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa.

3 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra

(4)

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 45 UUPK ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa melalui Pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) dan tidak bertentangan dengan UUPK ini.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan kepada pilihan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.

Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.4

Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberikan keputusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa.5

4 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 242

(5)

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 (untuk selanjutnya disebut Kepmen No 350/2001) tentang pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen menentukan bahwa konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota majelis, demikian juga pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter yang akan menjadi anggota majelis. Selanjutnya arbiter ketiga yang berasal dari unsur pemerintah yang akan menjadi Ketua Majelis.

Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK

(6)

menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

Dalam pelaksanaannya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK ini menimbulkan dampak yang mengganggu eksistensi BPSK dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap keberadaan lembaga BPSK, jika akhirnya kepengadilan juga.

Pelaku usaha yang tidak puas terhadap putusan BPSK cenderung melanjutkan perkaranya ke pengadilan, bahkan apabila perlu hingga di Mahkamah Agung, sehingga keberadaan BPSK sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, tidak formal dan biaya murah tidak tercapai.6

Permasalahan lainnya juga timbul jika pelaku usaha setelah menerima pemberitahuan atas putusan BPSK tidak setuju atau berkeberatan terhadap putusan tersebut dan mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri. Timbulnya permasalahan dikarenakan UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini sangat membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi dan interpretasi, terutama bagi para hakim dan

6 Widijantoro, J dan Wisnubroto, Al, Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(7)

lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan maksud suatu undang-undang.

Hal ini disebabkan terminologi keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum acara yang ada. Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan, perlawanan, atau permohonan dan perlu tidaknya BPSK turut digugat agar dapat secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan permasalahan sendiri, karena pengajuan keberatan ini akan didaftarkan pada register apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus keberatan.

Dalam proses pemeriksaan keberatan di pengadilan negeri terhadap putusan BPSK apakah majelis hakim pengadilan negeri yang mengadili keberatan tersebut mengulang kembali proses pemeriksaan penyelesaian sengketa konsumen dari awal lagi? Jika mengulang kembali proses pemeriksaannya dari awal, maka terjadi pelemahan terhadap lembaga BPSK dan yang menjadi pertanyaan adalah reputasi dan keahlian sumber daya manusia arbiter BPSK patut untuk dipertanyakan lagi.

Dari ketentuan tersebut diatas, maka menarik perhatian peneliti bahwa alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia, khususnya perkara sengketa konsumen, hingga saat ini masih belum terdapat suatu keseragaman, baik mengenai kekuatan mengikat putusan BPSK maupun putusan Pengadilan Negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen maupun ketaatan para pihak dalam melaksanakan putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai kekuatan mengikat putusan lembaga alternatif penyelesaian

(8)

sengketa, dalam hal ini BPSK didalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara konsumen dengan pelaku usaha.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka melalui penelitian ini terdapat dua permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen?

2. Bagaimanakah putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian penulisan tesis ini, maka dapatlah dikemukakan beberapa tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul “Kekuatan Mengikat Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” yaitu:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan mengikat dari putusan BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen karena adanya norma yang konflik.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan ke Pengadilan Negeri.

(9)

Selain tujuan penelitian seperti tersebut diatas, dalam penelitian inipun diharapkan dapat mencapai hasil guna sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Yaitu untuk memberikan manfaat berupa informasi dalam pemahaman teori dan kepustakaan mengenai perlindungan hukum menyangkut penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam hal ini adalah BPSK.

2. Kegunaan Praktis

Yaitu sebagai sumbangan pemikiran bagi para Ahli Hukum, Praktisi, Pelaku Usaha dan Pengadilan serta BPSK berupa gambaran yang jelas secara langsung dari praktek tentang seluk beluk suatu putusan BPSK dalam suatu sengketa konsumen yang meliputi peraturan-peraturannya, kekuatan hukumnya, cara pelaksanaannya dan permasalahan yang timbul termasuk hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan BPSK dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah tersebut.

1.5 Landasan Teoritis

Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.

Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi

(10)

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.7 Teori juga sangat diperlukan dalam

penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit.8 Hal ini sesuai

dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke ”Eendegelijk inzicht in deze rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het voorwoord beschouwd als een noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie van een konkreet positief rechtsstelsel”9 (dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang

merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif).

Prinsip dasar teori yang dikutip dalam penelitian ini berpedoman pada objek penelitian yang diteliti, hal ini dilakukan agar penggunaan teori dalam landasan berfikir akan tetap sesuai dengan judul yang ditentukan. Pengutipan teori dalam penyusunan laporan penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran pengembangan teori tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam hal penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karenanya pengembangan pikiran dalam penulisan laporan penelitian ini dilakukan sesuai dengan pengertian-pengertian perlindungan konsumen yang ada pada literatur-literatur atau buku-buku yang membahas tentang hukum perlindungan konsumen.

Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak terlepas dari sistem hukum yang yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan

7 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 19

8 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung,

hal 43

(11)

demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945.

Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System atau tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau budaya.10 Sistem hukum mempunyai struktur yang di ibaratkan seperti mesin,

yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas jumlah serta ukuran Pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Substansi hukum diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Subtansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law) bukan hanya pada aturan yang ada dalam buku-buku hukum (law in books). Kultur atau budaya hukum diibaratkan apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin tersebut digunakan yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

10 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel

(12)

Demikian pula menurut pendapat Eugen Ehrlich, hukum positif hanya akan berlaku selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). “The “living law” that dominated society’s life even thought it had not always been reduced to formal, legal, proposition. It reflected the values of society”11

Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yang dimaksud dengan hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara. Selanjutnya ideal hukum menurut Donald Balack adalah kaidah hukum yang dirumuskan dalam Undang-Undang atau keputusan hakim (law in books).12

Hukum merupakan produk dari budaya manusia yang mempunyai makna bagi masyarakat tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu upaya masyarakat didalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Tujuan hukum adalah menetapkan aturan bagi suatu masyarakat dalam kerangka keadilan.13

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tidak hanya kaidah hukum, atau peraturan hukum tetapi juga lembaga atau institusi dan proses, mempunyai andil yang besar dalam menunjang tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan.14

11 Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ, hal 145 12 Lawrence M. Friedman, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York, selanjutnya

disebut Friedman II, hal 293

13 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

hal 76

14 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta,

(13)

Soerjono Soekanto menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi proses implementasi suatu produk hukum:15

1. Kaidah hukum dan peraturannya sendiri. 2. Petugas yang menegakkannya.

3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan kaidah hukum. 4. Masyarakat yang masuk kedalam ruang lingkup peraturan tersebut.

Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan tujuan pengaturan perlindungan konsumen adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesadaran konsumen akan hak-haknya, yang secara tidak langsung juga mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggungjawab.

1.5.1 Asas Perlindungan Konsumen Dalam UUPK

Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional diantaranya:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

15 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdulah, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, CV

(14)

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.

Bila diperhatikan substansinya, Achmad Ali menyatakan bahwa hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu: 16

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan.

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan. 3. Asas kepastian hukum.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia.

1.5.2 Asas Kekuatan Mengikat Dalam Putusan BPSK

16 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, selanjutnya disebut

(15)

Sebelum menguraikan kekuatan mengikat dari putusan BPSK, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian asas kekuatan mengikat dalam sebuah perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata. Kekuatan mengikat diartikan bahwa para pihak diharuskan memenuhi apa yang mereka sepakati.17

Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui didalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.

Di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang mutlak, karena dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara lain oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pembatasan kebebasan berkontrak ditemukan didalam UUPK pembatasan ini dinyatakan dalam pasal yang mengatur persyaratan dalam kontrak kerja sama.

Berdasarkan penjelasan didalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa kesepakatan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK

17 Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi Minyak &

(16)

diselenggarakan semata-mata untuk mencapai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 butir (a) UUPK disebutkan bahwa BPSK dalam menangani penyelesaian sengketa konsumen, melalui 3 (tiga) alternatif penyelesaian sengketa konsumen yaitu dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Salah satu dari mekanisme ini harus disepakati para pihak untuk sampai pada putusan.

Apabila para pihak yang telah sepakat memilih salah satu mekanisme penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih. Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No. 350 / 2001.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan kepada pilihan para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa

(17)

konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.

Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.

Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution, dijamin kerahasiaan para pihak, dapat menghindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dengan tetap menjaga hubungan baik.

Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral yaitu BPSK dan memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa.

1.5.3 Teori Keadilan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila, yang salah satu silanya

(18)

mengatur mengenai “kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”, dalam arti memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, tepat kiranya jika grand theory dari penelitian ini adalah “teori keadilan”, yang semula dikemukakan oleh filsuf Aristoteles, karena tujuan semula dibentuknya UUPK adalah untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat konsumen.

Ada beberapa pengertian tentang keadilan yang dikemukakan oleh pakar hukum, yang masing-masing mengartikan “keadilan” sesuai dengan versinya sendiri. Menurut Aristoteles, problem esensial keadilan yang disebutkan diatas, dapat dibedakan antara keadilan distributif dan keadilan korektif.18

1. Keadilan distributif adalah keadilan yang menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula dihadapan hukum.

2. Keadilan korektif atau remedial adalah keadilan yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari harus mempunyai standar umum.

John Rawls yang mengembangkan teori keadilan sebagai Justice as Fairness (keadilan sebagai kejujuran). Jadi, prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls, ada 2 (dua) prinsip dasar keadilan, yaitu:19

1. Keadilan formal (formal justice, legal justice) yaitu menerapkan keadilan yang sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan.

18 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 270

19John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Chapter II The Principle of Justice, Publisher: The

Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, hal 54

(19)

2. Keadilan substantif (substancial justice) yaitu menerapkan hukum itu berarti mencari keadilan yang hakiki dan didukung oleh rasa keadilan sosial.

Achmad Ali menyatakan bahwa hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial, sehingga ketiga tujuan hukum tersebut yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dapat diwujudkan secara seimbang.20

Mengacu pada pandangan para pakar filsuf tersebut, maka UUPK memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya secara seimbang, karena kepastian hukum dalam konteks penelitian ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

1.5.4 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, ditentukan terdapat 3 (tiga) tingkatan pengadilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum, yaitu:21

1. Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berada di setiap Pemerintahan Daerah Tingkat II bertugas memeriksa dan memutus semua perkara, baik pidana dan perdata yang berada di dalam wilayah hukumnya, tanpa memandang kebangsaan atau golongan penduduk atau pihak-pihak yang berperkara;

2. Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang berada di setiap Provinsi Daerah Tingkat I yang merupakan pengadilan tingkat kedua. 20 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 81

21 Muhamad Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

(20)

Dikatakan pengadilan tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama;

3. Mahkamah Agung yang merupakan organ yudikatif tertinggi dalam wilayah hukumnya yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia bertugas memeriksa dan memutus perkara pidana dan perdata pada tingkat kasasi.

Gugatan melalui pengadilan hanya dapat di tempuh jika upaya di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar Pengadilan.22

Namun demikian, mengingat kedudukan konsumen yang tidak seimbang dengan pelaku usaha, maka pemerintah menganggap perlu diadakannya suatu penyederhanaan (lex specialis) terhadap prinsip-prinsip beracara yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen. Proses beracara yang dikenal dalam hukum perlindungan konsumen, antara lain:

1. Small Claim

Small Claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun apabila dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Di dalam hukum perlindungan kosumen di berbagai Negara, proses beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas. Di luar Negeri ada lembaga resmi Pemerintah yang khusus dibentuk untuk membantu Konsumen yang merasa dirugikan oleh suatu produsen tertentu yang beritikad tidak baik. Di Australia, misalnya, badan ini diberi nama Australian Competition and Consumer Commision (ACCC).

22 Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen, dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal 16

(21)

Dalam UUPK Indonesia juga dibentuk satu unit yang disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) namun tidak memiliki kewenangan untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Di berbagai Negara kasus-kasus serupa diselesaikan oleh lembaga yang disebut sebagai Small Claims Court atau Small Claims Tribunal. Perkara sengketa konsumen umumnya berskala kecil, tetapi sengketa konsumen yang merugikan hak konsumen tidak boleh dibiarkan, karena akibatnya bisa berdampak serius bagi masyarakat luas. Di Singapura gugatan yang dapat diajukan ke Small Claims Tribunal tidak lebih dari Sin$ 2,000,-23

Di Amerika Serikat, salah satu model penyelesaian sengketa konsumen yang cukup populer adalah penyelesaian melalui model Small Claims Court dengan sistem penyelesaian yang sederhana yaitu hakim tunggal, tanpa juri dan tidak memakai jasa penasehat hukum serta pembuktian yang sederhana.24

Perbedaan mendasar antara court dengan tribunal adalah court bersifat tetap sedangkan tribunal bersifat ad hoc. Yang bertindak sebagai hakim pada Small Claims Court adalah seorang hakim (presiding judge) pada

23 Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Publisher:

Times Book International Singapore, Singapore, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 109

24 Journal of Dispute Resolution, Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Edisi 1 tahun

(22)

court tersebut, sedangkan Small Claims Tribunal yang bertindak sebagai hakim adalah seorang Barrister atau Solicitor sebagai referee. 25

2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Gugatan perwakilan kelompok atau class action adalah pranata hukum yang berasal dari sistem common law. Walaupun demikian, banyak negara penganut civil law system telah mengadopsi prinsip tersebut, termasuk Indonesia, yaitu di dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b) yang memungkinkan diajukannya suatu gugatan atas pelanggaran Pelaku Usaha yang dilakukan oleh sekelompok Konsumen yang memiliki kepentingan bersama.

3. Gugatan Legal Standing

Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK juga ditentukan beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO’s Standing. Untuk memiliki legal standing tersebut, LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan pokok antara gugatan class action dengan NGO’s Standing.

1.5.5 Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Merupakan suatu kekeliruan apabila seseorang menganggap bahwa di dalam suatu masyarakat modern, hanya pranata pengadilanlah merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa. Masih terdapat cara-cara lain untuk menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan, seperti Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase. Pada tahun 1850, Abraham Lincoln menghimbau rakyat Amerika

(23)

Serikat untuk memperkecil peran pengadilan dan sedapat mungkin menghindari litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa.26

Untuk mengatasi keberlikuan proses berperkara di pengadilan, Pasal 45 ayat (2) UUPK membuka peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Penjelasan Pasal 45 ayat (2) memberikan pengertian penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui Pengadilan Negeri atau BPSK dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BPSK adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (Pasal 1 Nomor 8 Kepmen No.350/2001). Melihat pada Kepmen tersebut, maka BPSK didirikan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase.

Adapun perbedaan dari beberapa alternatif penyelesaian sengketa dan penggunaannya dijelaskan sebagai berikut:

1. Konsiliasi (Consiliation)

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (9) dari Kepmen No. 350/2001 dinyatakan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

26 Achmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP. IBLAM,

(24)

Conciliation: The adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner, used in court before trial with a view towards avoiding trial and in labor disputes before arbitration.27

Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif.

2. Mediasi (Mediation)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (10) Kepmen No. 350/2001, dinyatakan bahwa Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. BPSK selaku mediator tidak berwenang memaksakan suatu keputusan. Keputusan akhir tetap didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari mediasi ini adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan.

Mediation: Private informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decition on the parties.28

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak.

3. Arbitrase (Arbitration).

27 Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn West

Publishing Co, hal 289

(25)

Pengertian arbitrase menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Kepmen No. 350/2001, dinyatakan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.

A Process of dispute resolution in which a neutral third party renders a decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard. Where arbitrase is voluntary, the disputing party select the arbitrator who has the power to render a binding decision.29

Selanjutnya, guna menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, berikut ini di uraikan ketentuan umum sesuai dengan Pasal 1 UUPK sebagai berikut :

a. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

c. Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.

d. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat

(26)

dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.

e. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

f. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh non-Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.

g. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

h. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. i. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk

membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris.30 Penelitian Hukum

Normatif ciri-cirinya adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan landasan teoritis dan

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(27)

menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.31

Dalam penelitian ini digunakan penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian, baik norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, norma hukum yang bersumber dari suatu undang-undang yang kemudian dituangkan dalam sebuah putusan pengadilan atau putusan BPSK.

Penelitian dilakukan berkenaan dengan adanya norma konflik didalam Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder. Jenis pendekatan penelitian ini dipilih pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

31 Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program

(28)

1) Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu dengan meneliti kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia seperti KUHPerdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2) Pendekatan analisis konsep hukum yaitu dengan meneliti pendapat-pendapat, pernyataan-pernyataan, komentar-komentar dalam muatan hukum yang berkaitan dengan pemahaman tentang kekuatan mengikat dari putusan BPSK dan putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen.

3) Pendekatan Studi Kasus yaitu suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap sehingga diperoleh informasi yang disampaikan pihak-pihak terkait berkaitan dengan kasus-kasus sengketa konsumen.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Pada Penelitian Hukum Normatif, bahan hukum yang dipergunakan yaitu pertama bahan hukum primer dan kedua bahan hukum sekunder.32

Data sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi:

1) Bahan Hukum Primer:

(29)

Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini berupa peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan, peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan Pengadilan. Dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang dipergunakan diantaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

2) Bahan Hukum Sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa, kamus dan ensiklopedia hukum, internet dengan menyebut nama situsnya. Di dalam penelitian ini, buku-buku hukum yang dipergunakan diantaranya buku tentang proses penyelesaian sengketa konsumen, buku tentang konsumen dan hukum, buku tentang hukum perlindungan konsumen.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi, dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan-bahan hukum

(30)

primer dan bahan hukum sekunder, dan kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan sistem kartu. Masing-masing kartu diberikan identitas sumber bahan hukum yang dikutip, dan halaman dari sumber kutipan. Disamping diklasifikasikan menurut sistematika tesis, sehingga ada kartu untuk bahan-bahan untuk BAB I, BAB II, dan seterusnya kecuali untuk bagian Penutup. Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum.33

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara analisis kualitatif dan komprehensif. Analisis kualitatif artinya menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahann hukum dan pemahaman hasil analisa. Komprehensif artinya dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik deskriptif, kontruksi hukum dan argumentasi yang selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yaitu dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada kaitannya dengan permasalahan.

33 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni,

(31)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Adi Nugroho, Susanti, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.

__________, 2004, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. BP. IBLAM, Jakarta.

Burhan, Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Hukum Perdata Buku III dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Penerbit Times Book International Singapore , Singapore.

Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ Friedman, Lawrence, Meir, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York. _____________________, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive,

Russel Sage Foundation, New York.

Fuady, Munir, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 2000, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. ________________, 2004, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

(32)

Hondius, E.H., 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta.

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Inosentius, Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.

Kartodijo, Sartono, 1984, Modern Indonesia: Tradition and Transformation (A Socio-Historical Perspective), Yogyakarta.

Lev, Daniel S., 1990, Hukum dan Politik Di Indonesia, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mertokusurno, Sudikno, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Nasution, AZ, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.

Prinst, Darwan, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, dalam Chapter II The Principle of Justice, Publisher: the Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.

Samudra, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung

Santosa, Mas Ahmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.

Sastrawidjaja, Man Suparman, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Makalah Tidak Bertanggal.

(33)

Sedarmayanti & Hidayat, Syarifudin, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

Situmorang, Victor, 1993, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, & Mahmudji, Sri, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, & Abdulah, Mustafa, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.

Shofie, Yusuf, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

____________, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shofie, Yusuf & Awan, Somi, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta.

_____________, 2004, Sosok Peradilan Konsumen, Piramedia, Jakarta.

Subekti, R., 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Sutantio, Retnowulan & Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung.

Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008, Denpasar.

Usman, Rachmadi, 2003, Pihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

ARTIKEL, MAKALAH, JURNAL, KAMUS, INTERNET, PUTUSAN:

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan. Putusan Perkara antara P. Silalahi vs. Pasar Swalayan Macan Yaohan, 24 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 01 / BPSK / MDN / 2003.

(34)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Palembang. Putusan Perkara antara Syamsurizon vs. PT. Coca Cola Distribution Indonesia, 06 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 18 / BPSK.Plg. /2003.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan antara Dadang Rukmana vs. PT. Telkom Indonesia Terbuka, 08 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 02 / P3K / BPSK / IV/ 2003.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Drs. Didi vs. Mochamad Sidik, 02 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 03/ P3K / BPSK / IV/ 2003

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Tomson Panjaitan vs. Rudi Sanjaya, 1 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 04 / P3K / BPSK / IV / 2003

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 1 Juni 2006, Putusan BPSK Kota Medan No.7/PEN/BPSK/2006/Mdn.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 30 Juni 2009, No. 43.1/Pts.BPSK/VI/2009.

Black, Henry Campbell M.A. 1990, Black’s Law Dictionary sixth edition. Minesota: St. Paul Minn West Publishing Co.

Bisri, Hasan, 2008, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor.

Consumer Dispute Resolution In Missouri, 1992, Missouri’s Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Journal of Dispute Resolution Vol. 1, Singapore. Hasan, Madjedi, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi

Minyak & Gas Bumi, Edisi 1,

http://www.iatmi.or.id/beta/_stock/attachments/JTMGB/JTMGB_1_2009, Bandung.

Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.

Nasution, AZ. 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Volume Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 15 Januari 1998, Putusan PN Jaksel No. 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.

(35)

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dkk vs PT Djarum Kudus Tbk.dkk, 22 Oktober 2002, No. 278/Pdt/G/2002/PN.Jak.Sel.

Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 10 Nopember 2009, No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo vs. Pertamina, 09 Oktober 2001, Putusan PN Jakpus No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (KAKAK) vs PT BAT Indonesia.dkk, 2 April 2000, No. 550/Pdt/G/2000/PN. Jak.Pst.

Pengadilan Negeri Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 2 Agustus 2006, Putusan Pengadilan Negeri No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 21 Juli 1998, Putusan PT DKI Jakarta No. 221/Pdt/1998/PT. DKI. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn

H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 8 Oktober 2007, No.01/K/PER/KONS/2007.

Sinaga, Aman, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah.

Sukmaningsih, Indah, 2000, Harapan Segar Dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Sumber:Kumpulan Kliping Kompas Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tanggal 20 April 2000, Jakarta

Sularsi, 2001, Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Penerbit:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan UU. Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN No. 68 tahun 1997.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 tahun 1999.

(36)

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Perma No. 1 Tahun 2006.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2008.

Keputusan Menteri Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

(37)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil uji usabilitas menyimpulkan bahwa aplikasi berjalan sesuai dengan requirement yang telah ditetapkan, dan tingkat kesuksesan responden dalam menyelesaikan 5 task

Contoh kasus kemunculan MCC di perbatasan wilayah perbatasan antara Sumatera Barat dan Riau dengan intesitas curah hujan yang cukup tinggi pada saat kejadian

Hasil penelitian ini diharapkan dapatdimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkenaan dalam mengembangan kurikulum tingkat satuan

Setelah mengikuti penyuluhan tentang teknik pengukuran kadar gula darah menggunakan glucometer, maka kader posyandu lansia diharapkan mampu memahami

Jika didefinisikan sebagai arus lalu- lintas yang mengalir keluar meninggalkan link dalam satuan kendaraan/satuan waktu, sebagai arus lalu-lintas yang mengalir masuk link

Walaupun beberapa metode kontrol tegangan dapat digunakan, teori ini difokuskan pada kapasitor bank (kapasitor shunt) sebagai parameter variabelnya. Metode

Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan perubahan akses PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 melalui pemberitahuan secara tertulis kepada Anggota

Hasil analisa dengan menggunakan metode RULA adalah untuk sisi kanan dan kiri masih dapat diterima namun, perlu diadakan perubahan karena dapat menimbulkan