• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Diri Pemuda Untuk Meningkatkan Kemampuan Kepemimpinan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kompetensi Diri Pemuda Untuk Meningkatkan Kemampuan Kepemimpinan."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA ILMIAH

KOMPETENSI DIRI PEMUDA

UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KEPEMIMPINAN

MAKALAH PENGANTAR DISKUSI

DISAMPAIKAN PADA SEMINAR KEPEMUDAAN DALAM RANGKA PERINGATAN HARI SUMPAH PEMUDA TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN BANDUNG

OLEH:

Dr. H. OBSATAR SINAGA, SIP, MSi

FAKULTAS ILMU SOSIALDAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

karuniaNya saya dapat menyusun makalah ini sebagai bahan pengantar dalam SEMINAR

KEPEMUDAAN DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI SUMPAH PEMUDA 2009

yang diselenggarakan DINAS PEMUDA, OLAHRAGA DA PARIWISATA Kabupaten

BANDUNG. Terima kasih tak terhingga kepada Panitia yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk menjadi pembicara dalam kesempatan tersebut.

Pasca reformasi, muncul berbagai konflik kepentingan yang berkembang sebagai akibat

dari munculnya eforia kekuasaan partai politik. Pemahaman yang dangkal tentang ilmu politik

semakin mengarahkan pemahaman di masyarakat awan bahwa peran politik pemuda untuk

membawa harapan perubahan baru.

Menarik untuk disimak bagaimana bagaimana profil pemuda kreatif, mandiri dan

inovatif dalam suasana demokrasi. Bagaimana pula makna demokrasi dalam kondisi globalisasi

dan perubahan (reformasi) dalam negara kita tercinta..

Demikian Makalah ini saya buat semoga bermanfaat dan terimakasih

Jatinangor,

(3)

PENDAHULUAN

Leadership merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki oleh politisi handal. Aspek

kepemimpinan dalam dunia politik merupakan hal penting untuk dimiliki oleh seorang politisi

karena adanya distribusi, pengelolaan, dan perebutan kekuasaan merupakan kunci dalam dunia

politik.

Paul M Sniderman menyatakan bahwa politisi aktif harus juga mempunyai sense of

efficacy yang kuat, less anxiety, more self-assurance, more self-assertiveness, dan self-esteem

yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak aktif dalam politik.1) Dalam penelitian ini varibel self-efficacy menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut. Di dalam self-efficacy terdapat

belief(keyakinan) yang mendasari aktivitas berpolitik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

itu.Self-efficacydalam politik merupakanbeliefyang mendasari proses kognisi, afeksi, motivasi,

dan seleksi pada diri politisi dalam beraktivitas politik. Nunung K. Rukmana memaparkan

bahwa kompetensi yang paling dini harus dibangun adalah keyakinan diri (self-efficacy) untuk

memiliki kemampuan melakukan partisipasi politik. Maka politisi aktif yang ingin berhasil perlu

memiliki self-efficacy. Karena itu self-efficacy menjadi hal yang perlu mendapat perhatian dan

diangkat menjadi variabel penelitian ini. Dalam self-efficacy, politisi diharapkan memiliki

keyakinan bahwa mereka punya daya kendali terhadap ruang lingkup publik. Keyakinan diri

inilah yang nantinya dapat mengarahkan keterampilan berpolitik dari seorang politisi termasuk

antara lain dalam menjalankan kepemimpinan politiknya.

Keyakinan akan kompetensi dan keefektifan diri dirumuskan lebih jauh oleh Bandura

(1977) dalam konsepsi mengenai self-efficacy yang berhubungan dengan bagaimana penilaian

individu terhadap kemampuan mereka untuk bereaksi atau menghadapi suatu tugas atau situasi

(4)

yang spesifik. Keyakinan diri akan kompetensi diri akan menghasilkan penyelesaian tugas yang

baik, tetapi ketidak yakinan diri umumnya membawa pada kegagalan.

Hubungan dimensi-dimensi pembentuk self-efficacydengan variabelpolitical leadership

pada kelompok sampel penelitian ini, maka urutan pertama yaitu pengaruh dari dimensi

physiological and emotional state (pengendalian/pengelolaan fisik dan emosi), artinya

pengelolaan dan pengendalian fisik serta emosi dalam menghadapi situasi sulit, akan

berpengaruh dalam memberikan peranan untuk meningkatkan kepemimpinan politik. Urutan

kedua adalah dimensi enactive mastery experiences (pemaknaan pengalaman), artinya

pengalaman-pengalaman responden berdampak pada peningkatan kemampuan kepemimpinan

politik. Urutan ketiga adalah dimensi vicarious experiences(modelisasi pengalaman orang lain),

artinya para responden pada dasarnya cenderung tidak dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman orang lain yang seharusnya dapat dijadikan modal (contoh) bagi pelaksanaan

tugas-tugasnya dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinan politiknya. Dan yang terakhir adalah

dimensi verbal persuasion (tanggapan verbal dari lingkungan), artinya pengakuan secara verbal

dari orang lain atau lingkungan sosialnya kurang memberikan kontribusi terhadap peningkatan

kemampuan kepemimpinan politik. Dimensi-dimensi ini berada dalam taraf sedang, artinya

self-efficacy yang cukup tinggi pada anggota DPR terbentuk dari dimensi-dimensi yang cukup kuat

pula. Padahal, seorang wakil rakyat diharapkan memiliki kondisiself-efficacyberada dalam taraf

tinggi dengan ditunjang oleh kondisi dimensi-dimensi yang berada dalam taraf tinggi pula.

Tingkat political leadership sebagian besar responden penelitian berada pada taraf

sedang (63,64%) dan hanya sebagian sisanya pada taraf tinggi (36,36%). Ini berarti, sebagian

besar responden penelitian ini masih belum cukup mampu menguasai keahlian-keahlian dasar

yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Kemampuan sebagian besar responden dalam

berkomunikasi, mengarahkan diri, membentuk dan mengarahkan tim, mengatasi konflik-konflik

(5)

taraf sedang. Keahlian kepemimpinan ini merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh

anggota DPR berkaitan dengan kompleksitas peran wakil rakyat dalam dunia politik yang

mensyaratkan adanya peran kepemimpinan yang berkualitas. Karenanya, diharapkan

kemampuan political leadership anggota DPR berada pada taraf tinggi dan bukan pada taraf

sedang.

Peluang Pemuda di Alam Demokrasi

Sebelum kita membahas peluang tersebut berarti kita harus mengkaji lebih dalam tentang

demokrasi. Pemahaman tentang demokrasi bagi warga negara merupakan hal yang substansial

agar ia dapat berkompetisi secara jujur dan adil dalam pemilu maupun dalam merebut simpati

rakyat melalui pilkada khususnya. Dalam kerangka itu, maka implementasi demokrasi

merupakan salah satu elemen penting untuk keberhasilan pembudayaan dan pemberdayaan sikap

dan prilaku demokrasi di dalam masyarakat khususnya kaum perempuan Oleh sebab itu,

pemahaman tentang makna demokrasi harus terlebih dahulu diketahui, selanjutnya dijadikan

sumber etika dan moral, karena jika itu yang dilakukan maka kematangan politik (political

maturity)akan lebih cepat tercapai.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa sebagai suatu faham, demokrasi bersifat netral.

Dengan demikian, keberadaannya sangat bergantung pada terpenuhinya indikator-indikator

demokrasi yang standar, baik pada tataran kebijakan, tataran implementasi, maupun pada tataran

kultural yang selalu mensyaratkan adanya mekanisme check and balances (saling kontrol dan

saling mengimbangi) di antara suprastruktur dan antara suprastruktur dengan infrastruktur

politik. Sebagai ajaran universal, demokrasi paling tidak ditunjukkan oleh lima prinsip utama,

yakni: pertama, adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang perempuan

maupun rakyat laki-laki. Hak tersebut diatur dalam suatu undang-undang dan peraturan–

(6)

yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk

mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil. Dengan demikian,

harus ada ruang yang memperkenankan warga negara untuk mengekspresikan

kehendak-kehendaknya. Ketiga, adanya enlightened understanding yang menunjukkan bahwa warga

negara mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil. Pemahaman tersebut

menunjukkan pada adanya efektivitas sosialisasi keputusan-keputusan pemerintah dan

memberikan kesempatan yang sama untuk mengkritisinya. Artinya, warga negara dapat

menerima keputusan pemerintah sebagai keputusan yang paling adil, dalam hal ini peran LSM

dan partai politik selaku infrastruktur politik yang memoderatori.Keempat,adanya kontrol akhir

yang diagendakan oleh rakyat (final control on the agenda by the demos), yang menunjukkan

bahwa warganegara melalui perwakilannya memiliki kesempatan istimewa untuk membuat

keputusan, membatasi materi, atau memperluas materi yang akan diputuskan dan dilakukan

melalui proses-proses politik, yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak. Kelima,

inclusiveness, yakni yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat, yaitu,

semua anggota masyarakat dewasa terkecuali orang-orang yang terganggu mentalnya (diadaptasi

dari Dahl, l985).

Kelima prinsip di atas menunjukkan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses

yang sistemik. Ia melibatkan berbagai potensi yang saling berpengaruh serta mempunyai

kekuatan yang seimbang. Dengan kata lain, demokrasi membutuhkan suatu keseimbangan

kekuatan di antara infrastruktur politik dan suprastruktur agar tidak terjadi dominasi elit terhadap

rakyat, sehingga berbagai kebijakan negara dapat merepresentasikan semua potensi yang ada

pada rakyat. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa koridor demokrasi adalah kesetaraan

yang dicerminkan dari sikap dan prilaku warga negara yang memandang suatu perbedaan

(7)

lebih dianggap sebagai “bunga-bunga” demokrasi menuju kematangan politik (political

maturity).

Untuk mencapai koridor demokrasi demikian, dibutuhkan suatu mekanisme

pemerintahan yang dapat memfasilitasi berlangsungnya proses-proses politik yang sistemik.

Dengan demikian, terjadi penguatan politik rakyat, yang juga dapat diartikan sebagai penguatan

ekonomi, sosial, sekaligus budaya rakyat, sebagai dasar dari model sistem politik yang

demokratis. Hal itu dapat terjadi apabila adanya sikap saling percaya antara suprastruktur dan

infrastruktur politik, karena kepercayaan yang merupakan modal bagi demokrasi. Dalam

kerangka ini, demokrasi jelas mensyaratkan suatu pemerintahan yang memiliki kemampuan

untuk menyerap kepentingan-kepentingan publik.

Hal ini tentunya membutuhkan prasyarat-prasyarat institusional, baik menyangkut

prasyarat politik, ekonomi, sosial, maupun prasyarat relasi (koneksi) yang memungkinkan

dinamika demokrasi berjalan utuh. Pandangan-pandangan tersebut antara lain adalah: pertama,

bahwa demokrasi dipandang identik dengan satu bentuk pemerintahan bersama, Akan tetapi

sejalan masyarakat yang banyak, maka muncul gagasan pada demokrasi perwakilan. Dalam hal

ini, individu rakyat menyerahkan hak politiknya kepada orang lain untuk mewujudkan

cita-citanya. Orang lain tersebut harus dipilih secara terbuka. Gagasan ini terbukti efektif digunakan

untuk menyelenggarakan pemerintahan, karena kedaulatan rakyat diimplementasikan pada

keterwakilan rakyat dan kesetaraan lembaga wakil rakyat dengan Pemerintah.

Pandangan kedua, menyebutkan bahwa demokrasi pada dasarnya menunjuk pada hak berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan satu keputusan, terutama yang

menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat. Sementara diketahui bahwa partisipasi

dapat terjadi apabila terdapat prosesempowermentoleh suatu kekuatan yang memiliki hak untuk

menentukan maupun untuk membentuk sesuatu. Empowerment dapat berlangsung dengan baik

(8)

berbagai kegiatan rakyat, antara lainvoters turnout, newspaper readership, social organizations,

Non Governmental Organization (NGO), dan keterlibatan lembaga-lembaga lainnya. Hal ini

dikemukakan oleh Putnam sebagai social capital, who refers to features of social organization

such as networks, norms, and social trust that fasilitate coordination and cooperation for mutual

benefit(Putnam, 1995:67).

Pandangan ketiga menunjuk pada prasyarat ekonomi bagi berkembangnya sistem

demokrasi yang demokratis. Proposisi yang dikemukakan adalah “semakin sejahtera suatu

bangsa atau negara, maka semakin besar kemungkinannya untuk menopang sistem politik yang

demokratis”. Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara meningkatnya kesejahteraan

dalam bidang ekonomi dengan terbentuknya rezim politik yang demokratis” (Lipset, 1959:53).

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa faktor ekonomi menentukan apakah suatu sistem

demokrasi berjalan demokratis. Gagasan teori ini juga dikenal sebagai “wealth democracy

theory”.

Pandangan keempat menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang demokratis ditentukan

oleh kelompok sosial yang sifatnya “intermediaries” antara negara dan masyarakat (Dahl,

1982:59). Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat Juan J. Linz di atas. Dengan kata berbeda

dapat dikemukakan bahwa adanya kelompok sosial yang sifatnya “intermediaries” antara negara

dan masyarakat, maka kecil kemungkinan akan munculnya pemerintahan yang otoriter, monarki

absolut dan diktator totaliter.

Pandangan kelima, adalah pandangan yang dikemukakan oleh Huntington yang

menyatakan bahwa pendorong utama bagi tumbuhnya demokrasi di suatu negara adalah

dorongan eksternal (teori “eksternal democracy”). Sejauh pengaruh luar tersebut lebih dominan

daripada pengaruh internal masyarakat bersangkutan.

Pandangan keenam, adalah pandangan yang menyatakan bahwa pendorong utama

(9)

budaya politik” (Verba, 1965:513). Hal itu didasari pemikiran bahwa konteks budaya politik,

yang meliputi sistem relasi antar individu, keyakinan keagamaan, nilai-nilai yang tumbuh dalam

masyarakat menentukan terbentuk tidaknya institusi demokrasi dalam suatu masyarakat.

Pemahaman terhadap makna demokrasi di atas yang menyebabkan masyarakat perlu

terlibat dalam dunia politik, tidak terkecuali perempuan. Oleh sebab itu, setiap warga negara

tidak dapat sembunyi dari dunia politik. Sementara pemilihan umum merupakan elemen penting

dari demokrasi sebagaimana gambaran di atas dan berangkat dari teori demokrasi di atas, uraian

teoritik pemilu berikut diharapkan dapat memperjelas pemaknaan dimaksud, sebagaimana

diungkapkan Huntington (1993), Dahl (1989), Almond (1974), Liddle (1992) yang menyatakan

bahwa pemilihan umum yang bebas, teratur dan tanpa paksaan merupakan inti dari demokrasi.

Pemilihan umum oleh publik itu sendiri diartikan sebagai“ the occasions when citizens choose

their officials and decide what they want the government to do in making these decisions,

citizens detemine what rights they want to have and keep” (Waren, 1997: 3). Jadi pemilihan

umum merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah dan

memutuskan apa yang mereka ingin untuk dikerjakan oleh pemerintah dan apa yang ingin

mereka miliki. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk

menentukan pelaksanaan roda pemerintahan. Anggapan demikian menunjukkan bahwa

pemilihan umum merupakan sarana penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dengan

penyelenggaraan pemerintahan oleh sejumlah elit politik. Dari sinilah muncul konsep partisipasi

politik yang dapat diartikan sebagai “kegiatan warganegara biasa untuk mempengaruhi

pengambilan keputusan”, karena keterlibatan rakyat dalam wacana politik merupakan salah satu

fenomena yang menunjukkan makna pemilihan bagi individu ataupun kelompok rakyat.

Dengan demikian peluang bagi pemuda untuk berkiprah di alam demokrasi akan sangat

(10)

kerangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin di masa mendatang. Pendidikan politik harus

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, Albert. 1997. Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company.

Diniaty F, Yulia. 2006. “Studi Korelasional Mengenai Hubungan Antara Rasa Keyakinan Akan Kompetensi Diri (Self-Efficacy) Dengan Kepemimpinan Politik Pada Perempuan Anggota DPR RI Masa Jabatan 2004-2009” hal. 1-15 dalam Jurnal PsikologiVol. 17 No. 1 Maret 2006. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Harrison, Lisa. 2001.Political Research: An Introduction. London: Routledge.

Kerlinger, Fred N (diterjemahkan oleh Landung Simatupang). 1964. Asas-Asas Penelitian Behavioral Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kirkpatrick, Jeane J. 1974.Political Woman. New York: Basic Book, Inc. Publishers.

Kressel, Neil J. 1993. Political Psychology: Classic and Contemporary Readings, 1st Edition. New York: Paragon House Publishers.

Peterson, Steven A. 1990. Political Behavior: Patterns in Everyday Life. California: SAGE Publications, Inc.

Sekretariat Jenderal DPR RI. 2005. Buku Panduan 2005 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Mekanisme Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Dewan. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.

Siagian, Sondang P. 2003.Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.

Siegel, Sidney, & Castellan Jr., N. John. .Nonparametric Statistics for The Behavioral Sciences 2nd ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Silalahi, Ulber. 2006.Metode Penelitian Sosial. Bandung: Universitas Parahyangan Press. Simandjuntak, Riado, dkk. 2008. Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam

Mensosialisasikan Kegiatan Dewan. Jakarta: Bagian Humas, Biro Humas dan Pemberitaan.

Rujukan Elektronik

Albanik, Hatta, Tufan Dedy Nurtanto http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/ 2010/08/ correlation_ and_description_between_self_efficacy_and_political_leadership.pdf

Rukmana, Nunung K. 2003. “Berpolitik Cara Perempuan” dalamPikiran Rakyat edisi Rabu, 29 Oktober 2003. Retrieved January 5, 2008 (22.20). http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/29/0802.htm

Referensi

Dokumen terkait

Pola regangan yang terjadi untuk kayu Sengon, Meranti dan Kamper mulai dari keluar oven hingga tercapai Kadar Air Keseimbangan memiliki pola yang serupa yaitu bagian

Dalam Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru atau dosen sebagai bagian dari masyarakat

Bahan –bahan yang digunakan untuk pembuatan mesin ini ada yang dibeli dan ada juga yang dibuat, beberapa contoh bahan yang dibeli seperti bantalan, sabuk, puli, motor

Guru menugaskan peserta didik supaya memperlihatkan rubrik “Insya Allah Aku Bisa” dalam buku teks kepada orang tuanya dengan memberikan komentar dan paraf (halaman terakhir

Permasalahannya meliputi tidak tersedianya ruang konseling individu dan ruang konseling kelompok, tidak tersedianya jam khusus BK masuk kelas untuk bimbingan

(New York: Springer, 2010), 93.. melibatkan emosi, perasaan, imajinasi dan persepsi atas kenyataan yang ada. Kreativitas, inovasi dan kesungguhan dalam mengonseptualisasi semua

rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi

Berikut adalah peran yang dijalankan oleh Kelompok Tani Manunggal sebagai kelas belajar, sebagai wadah kerjasama dan sebagai unit produksi dalam pengembangan pertanian