• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Persepsi Keluarga tentang Skizofrenia dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Persepsi Keluarga tentang Skizofrenia dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA

DAN EKSPRESI EMOSI KELUARGA DENGAN

FREKUENSI KEKAMBUHAN SKIZOFRENIA

DI IRD RSJ PROVINSI BALI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

NI LUH PUTU YULIASTINI

NIM. 1102105021

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Luh Putu Yuliastini

NIM : 1102105021

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,

(Ni Luh Putu Yuliastini)

(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI

HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA

DAN EKSPRESI EMOSI KELUARGA DENGAN

FREKUENSI KEKAMBUHAN SKIZOFRENIA

DI IRD RSJ PROVINSI BALI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

NI LUH PUTU YULIASTINI

NIM. 1102105021

TELAH MENDAPAT PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

Ns. Ni Made Dian S.,S.Kep,M.Kep.Sp.Kep.J NIP. 19840813 201212 2 001

Pembimbing Pendamping

(4)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA

DAN EKSPRESI EMOSI KELUARGA DENGAN

FREKUENSI KEKAMBUHAN SKIZOFRENIA

DI IRD RSJ PROVINSI BALI

OLEH :

NI LUH PUTU YULIASTINI NIM. 1102105021

TELAH DIUJIKAN DIHADAPAN TIM PENGUJI

PADA HARI : ……….. TANGGAL : ………..

TIM PENGUJI :

DEKAN

FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes NIP. 195530131 198003 1 004

KETUA

PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. Ketut Tirtayasa, MS.AIF NIP. 1950123119800310 Ns. Ni Made Dian S.,S.Kep,M.Kep.Sp.Kep.J

NIP. 198408132012122001

(Ketua) ………...

Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes NIP. 198105102010121003

(Sekretaris) ……….

Ns. Dewa Anom, S.Kep, MM

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Skizofrenia dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan proposal ini. Ucapan terimakasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan pengarahan selama proses pendidikan.

3. Ns. Ni Made Dian S., S.Kep., M.Kep.Sp.Kep.J sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat waktu.

5. Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di instansi yang dipimpin

6. Ayah dan Ibu tercinta, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil, yang selalu memberikan doa yang tulus pada penulis.

(6)

8. Rekan-rekan seperjuangan, PSIK A angkatan 2011 ”Achillesextavortouz”, untuk pertemanan, canda, tawa, tangis, senyuman serta kerjasama selama masa perkuliahan. 9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian proposal ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Denpasar, Juni 2015

(7)

vii

ABSTRAK

Yuliastini, Ni Luh Putu. 2015. Hubungan Persepsi Keluarga tentang Skizofrenia dan Ekspresi Emosi Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di IRD RSJ Provinsi Bali. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Made Dian S., S.Kep, M.Kep.Sp.Kep.J; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes.

Skizofrenia adalah suatu gangguan mental berat dengan kemungkinan sembuh yang tergolong minim. Pasien skizofrenia memiliki kemungkinan sembuh yang kecil. 80% dari penderita skizofrenia mengalami kekambuhan. Perawatan yang memadai dari keluarga baik secara materi, fisik maupun emosional setelah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa sangat diperlukan. Stigma yang negatif dari keluarga akan meningkatkan stress dari pasien sehingga akan memicu kekambuhan. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai skizofrenia menimbulkan persepsi yang negatif serta ekspresi emosi yang buruk dari keluarga sehingga akan memicu kekambuhan skizofrenia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia dan menganalisa hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia. Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah wawasan dan data dasar perawat mengenai skizofrenia yang dapat digunakan untuk menyusun pendidikan kesehatan untuk masyarakat. Penelitian ini merupakan studi Deskritptif-Korelasional dengan desain penelitian Cross Sectional. Sampel terdiri dari 43 orang yang dipilih melalui kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner untuk mengetahui persepsi keluarga dan ekspresi emosi keluarga, serta ceklist yang akan digunakan untuk mengumpulkan data demografi.

Hasil analisis terhadap hubungan antara persepsi keluarga dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan p value sebesar 0,000, dan koefisien korelasi sebesar 0,685. Sedangkan pada analisis hubungan antara ekspresi emosi keluarga dan frekuensi kekambuhan skizofrenia menunjukkan p value sebesar 0,000, dan koefisien korelasi sebesar 0,533. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan baik antara persepsi keluarga maupun ekspresi emosi keluarga terhadap frekuensi kekambuhan skizofrenia.

(8)

ABSTRACT

Yuliastini, Ni Luh Putu. 2015. Correlation Family’s Perception aboun Scizophrenia and Family’s Emosional Expression with Relapse Frequency in IRD RSJ Provinsi Bali. Skripsi. Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Supervisors (1) Ns. Ni Made Dian S., S.Kep, M.Kep.Sp.Kep.J; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep, M.Kes

Schizophrenia is a severe mental disorder with relatively minimal possibility of recovering. Patients with schizophrenia have a small chance of recovery. 80% of patients experienced a relapse of schizophrenia. People with schizophrenia require repeated treatments. Adequate care of families both materially, physically and emotionally after undergoing treatment in a mental hospital is needed. Negative stigma of the family will increase the stress on the patient and it will increase the possibility to relapse. Lack of knowledge and awareness about schizophrenia cause a negative perception and expression of emotions that bad of a family that will cause the relapse of schizophrenia. This study aims to analyze the relationship between the perception of schizophrenia families with schizophrenia relapse frequency and analyze the relationship between the expression of emotion families with schizophrenia relapse frequency. The benefits of this research is to broaden and nurses basic data about schizophrenia that can be used to prepare for public health education. This research is a Deskritptif-correlations study with cross sectional study design. The sample consisted of 43 people who have been through the inclusion and exclusion criteria. Data was collected through a questionnaire to determine the perception of family and family emotional expression, as well as a checklist to be used to collect demographic data.

Analysis of the correlation between the family’s perception with the frequency of relapse of schizophrenia showed p value is 0.000, and the correlation coefficient is 0.685. While the analysis of the relationship between emotional expression family and frequency of relapse of schizophrenia showed p value is 0.000, and the correlation coefficient is 0.533. So it can be concluded that there is a significant correlation between both of the family’s peception and family’s emotional expression to the frequency of relapse of schizophrenia.

(9)

ix

4.3Tempat dan Waktu Penelitian ...45

4.4Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ...45

4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...48

(10)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Hasil Penelitian ...63 5.2Pembahasan...71

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1Simpulan ...86 6.2Saran ...87

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ...41 Tabel 5.1 Karakteristik Keluarga Berdasarkan Umur di Ruang IRD Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali Tahun 2015 ...63 Tabel 5.2 Karakteristik Keluarga Berdasarkan Pendidikan di Ruang IRD Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali Tahun 2015 ...64 Tabel 5.3 Karakteristik Keluarga Berdasarkan Pekerjaan di Ruang IRD Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali Tahun 2015 ...64 Tabel 5.4 Karakteristik Keluarga Berdasarkan Hubungan dengan Klien di Ruang IRD

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ...65 Tabel 5.5 Karakteristik Klien Berdasarkan Jumlah Dirawat di Ruang IRD Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali ...65 Tabel 5.6 Persepsi Keluarga tentang Skizofrenia di Ruang IRD Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali Tahun 2015 ...66 Tabel 5.7 Ekspresi Emosi Keluarga dengan Skizofrenia di Ruang IRD Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali Tahun 2015 ...66 Tabel 5.8 Dristribusi Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Ruang IRD Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2015 ...67 Tabel 5.8 Hasil Analisis Hubungan Persepsi Keluarga tentang Skizofrenia dengan

Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia di Ruang IRD Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali Tahun 2015 ...68 Tabel 5.9 Hasil Analisis Hubungan Ekspresi Emosi dengan Frekuensi Kekambuhan

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Penelitian Lampiran 2 Rencana Anggaran Penelitian Lampiran 3 Penjelasan penelitian

Lampiran 4 Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 6 Kuesioner Penelitian

Lampiran 7 Master Tabel

Lampiran 8 Hasil Analisis Univariat Lampiran 9 Hasil Analisis Bivariat

(14)

DAFTAR SINGKATAN

APA : American Psychiatric Association CC : Critical Comments

EOI : Emotional Over Involvement FQ : Family Questionnaire

H : Hostility

HE : Health Education IRD : Instalasi Rawat Darurat PR : Positive Remarks RSJ : Rumah Sakit Jiwa RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

W : Warmth

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang mengganggu fungsi mental sehingga menempatkan seseorang dalam kategori tidak sejahtera. Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stressor dari lingkungan eksternal maupun internal, dan dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma local atau budaya setempat, dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik (Townsend, 2005 ; Caturini dan Handayani, 2014).

(16)

2

Data American Psychiatric Association (APA) tahun 2010 menyebutkan bahwa 1 % penduduk dunia (rata-rata 0,85 %) menderita skizofrenia. Data lain didapatkan dari Schizophrenia Information and Treatment Introduction yang menyebutkan bahwa di Amerika skizofrenia menimpa kurang lebih 1 % dari jumlah penduduk. Lebih dari dua juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu (Pitoyo, 2012).

Menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat pertama dari seluruh negara di dunia dengan penderita gangguan jiwa terbanyak (Lestari dan Kartinah, 2012). Di Indonesia, angka prevalensi skizofrenia adalah 0,3-1 %, terjadi sebagian besar pada usia 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang berusia 11-12 tahun. Apabila penduduk Indonesia berjumlah 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar dua juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di rumah sakit jiwa adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari satu juta jiwa di Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi tertinggi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (2,03%), lalu Nanggroe Aceh Darussalam (1,9%), dan Sumatera Barat (1,6%).

(17)

3

skizofrenia diantaranya. Data bulan September dari 86 pasien yang mengunjungi IRD sebanyak 79 pasien (91,86%) yang menderita skizofrenia. (RekamMedik RSJ Provinsi Bali, 2014).

Beberapa sumber menyebutkan pasien skizofrenia memiliki kemungkinan yang kecil untuk sembuh secara total. Menurut Arif (2006), 80% pasien skizofrenia mengalami kekambuhan. Sekitar 25% pasien dinyatakan pulih dari episode awal dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik seperti pada kondisi sebelum munculnya gangguan. Sekitar 25% pasien tidak menunjukkan perjalanan penyakit yang membaik, sehingga pasien dinyatakan tidak pernah pulih. Sekitar 50% pasien lainnya mengalami kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif dalam jangka waktu yang lama.

Pasien skizofrenia memerlukan perawatan yang berulang (recurrent). Pasien skizofrenia harus mendapatkan perawatan yang memadai dari keluarga, baik secara materi, fisik maupun emosional setelah menjalani perawatan di rumah sakit (Gunarsa, 2000). Sikap baik yang ditunjukkan keluarga dan dukungan sosial keluarga merupakan salah satu cara untuk menurunkan stress dan secara langsung mengokohkan kesehatan mental individu.

(18)

4

bahkan diasingkan. Kebanyakan keluarga memiliki pandangan bahwa pasien skizofenia dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan sekitarnya.

Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai skizofrenia serta penanganannya menimbulkan persepsi yang negatif di masyarakat. Onset skizofrenia yang muncul sejak masa remaja maupun dewasa muda, dan kemudian menjadi sebuah perjalanan penyakit yang kronis dan tidak sembuh menimbulkan beban sendiri bagi keluarga. Biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung untuk membeli obat-obatan maupun biaya yang secara tidak langsung dikeluarkan saat menjalani perawatan, waktu yang harus digunakan untuk menjalani perawatan, disertai dengan hilangnya pendapatan pasien skizofrenia menjadikan pasien skizofrenia diposisikan sebagai beban baik secara materiil maupun beban sosial keluarga (Amelia dan Anwar 2014).

(19)

5

perawatan di rumah sakit maka pasien akan mendapat perawatan dan pengobatan yang tepat.

Menurut Amelia dan Anwar (2014) adanya stigma, rasa malu, penyalahan lingkungan sosial serta persepsi negatif keluarga menimbulkan sikap dan perilaku yang mencerminkan ekspresi emosi keluarga. Pada umumnya, keluarga yang memiliki persepsi negatif dan perasaan terbebani oleh keberadaan anggota keluarga yang menderita skizofrenia memiliki tingkat emosi yang lebih tinggi. Rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial serta perasaan terbebani akan menunjukkan emosi yang lebih tinggi. Biasanya keluarga mengekspresikan emosi secara berlebihan terhadap pasien skizofrenia, sehingga timbul perlakuan maupun perkataan kasar dari keluarga. Pengungkapan ekspresi yang berlebihan dari keluarga biasanya akan berakhir dengan pelampiasan emosi kepada pasien skizofrenia, hal ini tentu saja akan menimbulkan stress yang berlebih pada pasien skizofrenia, sehingga tanda dan gejala skizofrenia akan terlihat kembali dan kemudian disebut dengan kekambuhan atau relaps.

(20)

6

penanggulangan secara komprehensif. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak RSJ Provinsi Bali untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap pasien dilakukan dengan melakukan home visit, contohnya adalah kunjungan yang dilakukan oleh perawat dan tim dokter ke tempat tinggal pasien (memberi obat, mengevaliuasi kondisi pasien, memberikan HE (Health Education) pada keluarga pasien tentang cara merawat pasien dengan gangguan jiwa), akan tetapi keluarga terkesan masih kurang peka dengan keadaan pasien.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Diny Rezki Amelia dan Zainul Anwar (2014) yang berjudul “Relaps pada Pasien Skizofrenia” menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah ekspresi emosi yang ditunjukkan keluarga. Selain itu, terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Fitri Sri Leastari dan Kartinah (2012) yang berjudul “Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Gangguan Jiwa dengan Sikap Keluarga Kepada Anggota Keluarga yang Mengalami

Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta” menyatakan bahwa terdapat hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan sikap keluarga terhadap anggota keluarganya yang menderita skizofrenia.

(21)

7

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditentukan rumusan masalah yaitu :

1) “Apakah ada hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?”

2) “Apakah ada hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?”

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi persepsi keluarga mengenai skizofrenia pada pasien skizofrenia di Ruang Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

2. Mengidentifikasi ekspresi emosi keluarga pada pasien skizofrenia di Ruang Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 3. Mengidentifikasi frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di

(22)

8

4. Menganalisis hubungan antara persepsi keluarga tentang skizofrenia dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

5. Menganalisis hubungan antara ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang ilmu keperawatan jiwa khususnya hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi pengembangan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hubungan persepsi keluarga tentang skizofrenia dan ekspresi emosi keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.4.2 Manfaat praktis

(23)

9

dan ekspresi emosi sehingga dapat meminimalisir angka kekambuhan skizofrenia

(24)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia 2.1.1 Pengertian

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “Skizo” yang artinya retak atau

pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang

menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2009).

Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala. Sebelum Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang dinamakan skizofrenia, (Kaplan dan Sadock, 2003). Gangguan skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan beperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2004). Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox

(muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2010).

(25)

11

kognitif yang disertai halusinasi dan waham, afek datar, disorganisasi perilaku dan memburuknya hubungan sosial.

2.1.2 Tanda dan Gejala

Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Fase prodromal

Biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal

semakin buruk prognosisnya. 2. Fase aktif

Gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.

3. Fase residual

(26)

12

berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Luana, 2007).

Sedangkan menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1) Gejala primer.

Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan emosi, gangguan kemauan serta autisme.

2) Gejala sekunder.

Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.

2.1.3 Jenis Skizofrenia

1) Skizofrenia simpleks

(27)

13

2) Skizofrenia hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.

3) Skizofrenia katatonik

Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

a. Stupor katatonik

Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.

b. Gaduh gelisah katatonik

(28)

14

4) Skizofrenia Paranoid

Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan (Maramis, 2008).

5) Episode skizofrenia akut

Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya (Maramis, 2008).

6) Skizofrenia residual

Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia (Maramis, 2008).

7) Skizofrenia skizoafektif

(29)

15

2.1.4 Penatalaksanaan Skizofrenia

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari, 2009).

WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan seperti puskesmas dan rumah sakit.

1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga

2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat 3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas

4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas

Penerapan nyata yang dilakukan oleh pihak RSJ melalui 4 level tersebut yaitu:

1) Level 4 : melakukan home visit, namun tidak ke semua pasien (hanya yang bermasalah). Contohnya pasien yang jarang dikunjungi pihak keluarga, pasien yang sering mengalami kekambuhan, dan pasien dengan riwayat pemasungan.

2) Level 3 : memberikan penyuluhan/pengobatan gratis melalui program bansos.

(30)

16

puskesmas, memberikan pengobatan secara rutin, melatih tenaga puskesmas (dokter & perawat) untuk mampu memberikan penanganan pertama pada pasien.

4) Level 1 : RSJ setiap tahunnya melakukan bakti sosial dan program komunitas yaitu penanganan & penyuluhan.

2.2 Konsep Keluarga 2.2.1 Pengertian

Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial individu-individu yang didalamnya dilihat dari interaksi yang regular dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum (Achjar, 2010). Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaaan saling ketergantungan (Ali. Z, 2008).

2.2.2 Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga secara umum menurut Friedman M. (1998) dalam Achjar, (2010) sebagai berikut :

(31)

17

Yaitu yang berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran dirinya yang positif, peranan yang dimiliki dengan baik dan penuh rasa kasih sayang.

2) Fungsi Sosial (Sosialization And Placement Function)

Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melakukan sosialisasi dimana anggota keluarga belajar disiplin norma keluarga, prilaku melalui interaksi dalam keluarga. Selanjutnya individu maupun keluarga berperan didalam masyarakat.

3) Fungsi Reproduksi (The Reproduction Function)

Fungsi reproduksi keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

4) Fungsi Ekonomi (The Economic Function)

Fungsi ekonomi keluarga adalah untukmemenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain.

5) Fungsi Perawatan dan Pemeliharaan Kesehatan (The Health Care Function)

(32)

18

2.2.3 Tipe Keluarga

Menurut Achjar (2010) secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1) Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. 2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota

keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, paman, bibi).

2.2.4 Lima Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan

Lima tugas keluarga dalam bidang Kesehatan menurut Friedman (1998) dalam Achjar (2010) adalah :

1) Mengenal gangguan perkembangan Kesehatan setiap anggotanya

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan. Karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang di alami anggota keluarga, secara tidak langsung menjadi perhatian orang tua/keluarga. Apabila menyadari adanya perubahan pada anggota keluarga perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.

(33)

19

siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga.

3) Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda.

Anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah, apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.

4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

Keluarga mengetahui sumber – sumber keluarga yang dimiliki, melihat keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan, mengetahui pentingnya hygiene sanitasi, mengetahui upaya pencegahan penyakit, sikap atau pandangan keluarga terhadap hygiene sanitasi, kekompakan antara anggota keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas Kesehatan yang ada.

(34)

20

2.3 Persepsi 2.3.1 Pengertian

Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya stimulus

(rangsangan) yang diterima melalui lima indera sehingga seseorang dapat menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan dan hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang ada pada diri yang bersangkutan. Persepsi dapat dinyatakan pula sebagai proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi stimuli yang diterima pancaindera, ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh (Setiadi, 2010).

Persepsi adalah penafsiran suatu obyek, peristiwa atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu (Rahmat, 2010)

Menurut Sunaryo (2004) persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indera dengan didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang di amati, baik yang ada diluar maupun di dalam diri individu.

(35)

21

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah pengenalan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.

2.3.2 Proses Pembentukan Persepsi

(36)

22

Menurut Setiadi (2010) sesungguhnya persepsi dibentuk oleh tiga pengaruh yakni :

a. Karakteristik dari stimuli (rangsangan) dimana stimulus merupakan hal diluar individu yang dapat berbentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi tanggapan individu.

b. Hubungan stimuli dengan sekelilingnya. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif, hal tersebut berarti bahwa setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu objek yang sama.

c. Kondisi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Rahmat (2010) faktor-faktor yang menentukan persepsi dibagi menjadi dua yaitu : faktor fungsional dan faktor struktural.

1) Faktor fungsional

Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. 2) Faktor struktural

(37)

23

teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan stimulus dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor internal (kebiasaan, minat, emosi dan keadaan biologis) dan faktor eksternal (intensitas, gerakan, dan pengulangan stimulus). 1) Faktor eksternal

a. Gerakan, seperti organisme lain, bahwa manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. Contohnya kita senang melihat huruf dalam

display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan.

b. Intensitas stimuli, dimana kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain.

c. Kebaruan, bahwa hal-hal baru, yang luar biasa, yang berbeda akan lebih menarik perhatian.

d. Perulangan, hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Disini unsur “familiarity” (yang sudah

kita kenal) berpadu dengan unsur-unsur “novelty” (yang baru kita kenal).

Perulangan juga mengandung unsur sugesti yang mempengaruhi bawah sadar kita.

2) Faktor internal

(38)

24

b. Minat, suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhannya sendiri.

c. Emosi, sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi, walaupun emosi bukan hambatan utama. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi akan mengakibatkan stress, yang menyebabkan sulit berpikir efisien.

d. Keadaan biologis, misalnya keadaan lapar, maka seluruh pikiran didominasi oleh makanan. Sedangkan bagi orang yang kenyang akan menaruh perhatian pada halhal lain. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi yang berbeda.

Secara umum terdapat 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang (Notoatmojo, 2010 ) yaitu :

1) Diri orang yang bersangkutan, apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihat itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual juga turut berpengaruh, serta sikap, motif, kepentinagan, minat, pengalaman dan harapannya.

2) Sasaran dan persepsi tersebut, sasaran itu mungkin berupa ruang benda atau peristiwa, sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.

(39)

25

pertumbuhan persepsi seseorang. Pengembangan persepsi seserang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

a. Psikologi, persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi.

b. Keluarga, pengaruhnya yang paling besar terhadap anak-anak adalah keluarganya. Orang tua telah mengembangkan suatu cara yang khusus didalam memahami dan melihat kenyataan didunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka diturunkan kepada anak-anak

c. Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

2.3.4 Jenis Persepsi

Ada dua macam persepsi, yaitu :

1) External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu.

(40)

26

2.3.5 Persepsi Keluarga Tentang Skizofrenia

Keluarga merupakan sumber pengobatan yang paling berperan bagi anggota keluarganya yang sakit. Sikap yang baik oleh keluarga serta dukungan sosial dapat melemahkan dampak stress dan secara langsung akan menimbulkan dampak positif bagi kesehatan mental individu. Sikap positif keluarga juga secara langsung akan menurunkan angka kejadian stress individu serta konsekuensi negatifnya (Lestari dan Kartinah, 2012).

Persepsi keluarga terhadap skizofrenia tidak tergantung terhadap status sosial-ekonomi keluarga. Persepsi negatif juga sering terjadi pada keluarga dengan status sosial-ekonomi yang tinggi. Persepsi negatif ini, biasanya disikapi keluarga dengan menyerahkan pengobatan sepenuhnya pada pihak rumah sakit, mereka berkeyakinan bahwa dengan perawatan dan pengobatan di rumah sakit jiwa kesempatan untuk sembuh akan menjadi lebih besar (Amelia dan Anwar, 2013).

(41)

27

2.3.6 Pengukuran Persepsi

Pengukuran persepsi keluarga dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi keluarga mengenai penyakit skizofrenia yang diderita oleh anggota keluarganya. Penilaian terhadap persepsi keluarga didasarkan pada pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Menurut Rahmat (2010), persepsi dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang kemudian ditafsirkan menjadi sebuah gagasan oleh pelakunya. Berdasarkan dari pengalaman keluarga, persepsi dapat dinilai dengan aspek bagaimana persepsi keluarga tentang gejala penyakit skizofrenia, beratnya penyakit skizofrenia, resiko penyakit skizofrenia dan pencegahan penyakit skizofrenia.

Persepsi keluarga terhadap skizofrenia dapat digolongkan menjadi persepsi negatif dan persepsi positif. Persepsi keluarga dikatakan negatif apabila skor yang didapatkan kurang dari rata-rata kelas, dan dikatakan positif apabila lebih besar dari rata-rata kelas (Lestari dan Kartinah, 2002).

2.4 Ekspresi Emosi 2.4.1 Pengertian Emosi

(42)

28

dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.

Chaplin (2002) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah atau menyingkir terhadap sesuatu. Perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.

2.4.2 Ekspresi Emosi

Ekspresi emosi merupakan kesatuan dari emosi, sikap dan perilaku yang diekspresikan oleh seseorang (Nurtanti, 2005). Ekspresi seseorang merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam menilai kemunculan ekspresi seseorang. Ekspresi tersebut muncul secara spontan dan seringkali sulit dikontrol. Ekspresi emosi seseorang dipengaruhi oleh genetis seseorang. Charles Darwin, pada abad ke-19 mengatakan bahwa dasar dari ekspresi wajah dari emosi-emosi tertentu merupakan bawaan lahir.

2.4.3 Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi

(43)

29

1) Ekspresi Wajah

Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum yang tampak. Wajah pucat, merah, mengerut, berseri-seri, atau murung merupakan sederet bentuk ekspresi emosi yang ditunjukkan. Menurut Davidoff (1999), ekspresi wajah bersifat hereditas, karena fakta membuktikan bahwa bayi yang terlahir buta-tuli sekalipun dapat menunjukkan emosi dengan ekspresi-ekspresi yang khas. 2) Ekspresi Suara

Ekspresi suara yang sering tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah tawa, bersenandung, berteriak, memaki atau tiba-tiba terenyak dengan tatapan kosong. Namun, mengetahui ekspresi seseorang dengan ekspresi suara tidak mudah dilakukan, karena terkadang suara yang dibuat oleh seseorang tidak mewakili emosi yang mereka rasakan. Akan tetapi, bila dikolaborasikan dengan ekspresi wajah, kedua bentuk ekpresi ini akan lebih menunjukkan emosi yang sedang dirasakan oleh seseorang.

3) Ekspresi Sikap dan Tingkah Laku

(44)

30

4) Ekspresi Lain-lain

Pada kasus emosi berat, sering dijumpai adanya orang yang mengalami syok berat atau bahkan sampai tidak sadarkan diri (pingsan). Emosi yang menyebabkan pengsan ataupun syok berat ini tidak selalu emosi negatif, namun juga dapat terjadi pada emosi senang yang berlebihan.

Selain ekspresi tersebut, ada juga bentuk ekspresi emosi lain seperti mual dan muntah ketika merasa jijik, bergerak tak menentu (linglung) atau perilaku-perilaku tidak lazim pada saat keterbangkitan emosi yang intensitasnya luar biasa.

2.4.4 Skala Ekspresi Emosi

Menurut Atkinson (1995) dalam penelitian Nurtantri (2005), ekspresi emosi dapat dinilai melalui beberapa skala, yaitu :

1) Kritik/Critical Comments (CC)

kritik didasari oleh intonasi suara. Kata-kata yang menyatakan kritik apabila keluarga tidak menyukai, tidak menyetujui atau sikap/perilaku yang menampakkan kemarahan. Ketidakpuasan diekspresikan dengan amarah yang sangat hebat. Kata-kata yang diucapkan oleh keluarga, seperti : “dia mengganggu saya” atau “saya tidak menyukainya”. Aspek vokal untuk

mengidentifikasi kritik dinilai dari nada bicara yang tinggi, berbicara cepat, perubahan nada suara dan kekerasan suara.

2) Keterlibatan emosi yang berlebihan/Emotional Over Involment (EOI)

(45)

31

sayang/setia yang berlebihan, atau memberikan perlindungan yang sangat berlebihan.

3) Hostilitas/Hostility (H)

Hostilitas didasari oleh penyerangan terhadap penderita karena keadaan penyakitnya, bukan karena apa yang penderita lakukan.

4) Kehangatan/Warmth (W)

Berdasarkan simpati, keprihatinan, empati yang diperlihatkan oleh keluarga. Menunjukkan minat dan antusiasme terhadap kegiatan penderita, pernyataan kasih sayang secara spontan dan nada suara yang lebut sewaktu membicarakan penderita.

5) Komentar yang positif/Positive Remarks (PR)

Pernyataan yang mengungkapkan pujian, persetujuan atau penghargaan terhadap tingkah laku penderita.

2.5 Konsep Kekambuhan 2.5.1 Pengertian

(46)

32

antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).

Kekambuhan pasien skizofrenia adalah munculnya kembali gejala-gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial (Akbar, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan kekambuhan pasien skizofrenia adalah kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda. Kekambuhan menunjukkan kembalinya gejala-gejala penyakit yang sebelumnya cukup parah dan menganggu aktifitas sehari-hari dan memerlukan rawat inap dan rawat jalan yang tidak terjadwal.

2.5.2 Frekuensi Kekambuhan Skizofrenia

(47)

33

Menurut Nurdiana (2007) dalam Nifu (2012) kejadian kekambuhan skizofrenia dapat dikategorikan menjadi kategori rendah, tinggi dan sedang. Dikatakan kategori rendah apabila klien tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun, sedang apabila klien kambuh satu kali dalam waktu kurang dari satu tahun dan tinggi apabila klien kambuh lebih dari dua kali dalam satu tahun.

2.5.3 Tanda dan Gejala Kekambuhan

Menurut Samsara (2010), beberapa tanda dan gejala awal kekambuhan yang perlu dikenali oleh anggota keluarga :

1. Mulai menarik diri dari lingkungan : tidak mau bergaul, mengurung diri di dalam kamar, asyik dengan kegiatan pribadi

2. Mengabaikan perawatan diri, tidak mau mandi, membiarkan rambut kotor dan kuku tidak kotor dan tidak dirawat

3. Perilaku aneh dan tidak biasanya seperti bicara dan tertawa sendiri

4. Mendengar suara yang tidak ada sumbernya, adanya idea tau pikiran yang aneh-aneh

5. Susah tidur, malam lebih banyak terjaga, mondar-mandir dan mengerjakan sesuatu yang tidak jelas

6. Emosi berubah, mudah marah, ketakutan dan gelisah 7. Susah untuk konsentrasi

8. Mudah lupa

(48)

34

10.Perasaan takut kepada orang lain, barang dan tempat yang biasaanya serta curiga yang terlau berlebihan

11.Merasakan orang lain membicarakan dan mentertawakan dirinya

2.5.4 Tahap-Tahap Kekambuhan

Menurut Stuart dan Sundeen (2005), relaps dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Overextension

Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Pasien mengeluh perasaannya terbebani. Gejala dari cemas makin intensif dan energi yang besar digunakan untuk mengatasi hal ini.

2. Restricted Consciousnes

Tahap ini menunjukkan pada kesadaran yang terbatas. Gejala yang sebelumnya cemas digantikan oleh depresi

3. Disinhibition

(49)

35

4. Psikotic Disorganization

Pada saat ini gejala psikotik sangat jelas dilihat. Tahap ini diuraikan sebagai berikut :

a. Pasien tak lagi mengenal lingkungan/orang yang familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi yang ekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai penghancuran dari dunia luar.

b. Pasien kehilangan identitas dan mungkin melihat dirinya sendiri sebagai pihak orang ke-3. Fase ini menunjukkan kehancuran pada diri.

c. Total Fragmentation adalah kehilangan kemampuan untuk membedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan dikenal sebagai loudly psychotic

d. Psychotic Resolution

Tahap ini terjadi di rumah sakit. pasien diobati dan masih mengalami psikosis tetapi gejala berhenti atau diam.

2.5.5 Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan

Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress (Akbar, 2008).

(50)

36

kepercayaan pasien terhadap pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan merupakan satu hal yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kekambuhan, karena hal ini akan berdampak terhadap kepatuhan klien dalam menjalani pengobatan (Chi Mei dalam Inneke, 2011). Faktor terapi yang dimaksud adalah faktor yang berasal dari terapis. Dokter berperan dalam pengobatan klien, memberikan obat dengan efek samping merugikan yang minimal. Efek samping yang umum dan penting adalah efek samping pada ekstrapiramidal, gangguan seksual, dan penambahan berat badan. Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatannya kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan (Loebis dalam Inneke, 2011). Selain itu, tenaga kesehatan seharusnya membangun hubungan terapeutik dengan pasien. Pasien dan keluarga harus diberi informasi tentang penyakitnya. Faktor terakhir adalah faktor lingkungan, yang termasuk di dalamnya adalah keluarga, teman dan masyarakat luas. Penerimaan lingkungan sosial terhadap keberadaan pasien skizofrenia secara langsung akan mempengaruhi kesehatan mental pasien. Sebaliknya stigma negatif serta isolasi dari lingkungan sosial akan memicu stress pasien yang akan berujung pada kambuhnya skizofrenia.

2.5.6 Peran Keluarga dalam Mencegah Kekambuhan

Menurut Samsara (2010), beberapa hal yang perlu diperhatikan keluarga untuk mencegah kekambuhan antara lain :

(51)

37

2) Memotivasi dan membawa anggota keluarganya yang menderita skizofrenia untuk kontrol ke dokter secara teratur

3) Memberikan dukungan dan rasa aman serta kehangatan

4) Menerima orang dengan skizofrenia apa adanya, tidak menyalahkan, mengkritik, membanding-bandingkan atau mengucilkan

5) Melibatkan anggota keluarganya yang menderita skizofrenia pada berbagai kegiatan atau pekerjaan yang seusia dengan kemampuannya

Referensi

Dokumen terkait

· Pembuatan tabel distribusi frekuensi dapat dimulai dengan menyusun data mentah ke dalam urutan yang sistematis ( dari nilai terkecil ke nilai yang lebih besar atau

Wheare, konstitusi dapat diklasifikasikan atas konstitusi tertulis dan tidak tertulis; konstitusi fleksibel (luwes) dan konstitusi rigid (tegaslkaku); konstitusi

Salah satunya metode yang dilakukan untuk mengetahui prinsip kerja dari anemometer jenis cup , seperti penelitian yang dilakukan oleh (Siswoko dkk., 2014) yaitu

Setiap Pemegang saham public DVLA yang secara tegas memberikan suara tidak setuju atas rencana Penggabungan Usaha pada saat RUPSLB DVLA dan bermaksud untuk menjual saham

Jika active voice dalam past future perfect tense, maka ‘be’ passive voice-nya adalah been yang diletakkan setelah auxiliary would have, sehingga menjadi ‘would have

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, serta memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menye lesaikan

Sehubungan dengan pelelangan pekerjaan paket tersebut diatas, maka Pokja memerlukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Dokumen Penawaran dan Kualifikasi saudara

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas. Teknik pengumpulan data pada penelitian adalah observasi dan wawancara. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus. Subyek