• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Prancis ( ), Kriminologi berasal dari kata Crimen yang berarti Kejahatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Prancis ( ), Kriminologi berasal dari kata Crimen yang berarti Kejahatan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Kriminologi

Istilah kriminologi ditemukan oleh P. Topinard seorang ahli antropologi Prancis (1830-1911), Kriminologi berasal dari kata Crimen yang berarti Kejahatan atau penjahat dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.5

Definisi para ahli hukum terhadap kriminologi sesuai dengan sudut pandang dan perspektif masing-masing :

a) Edwin H. Sutherland Kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial.

b) W.A Bonger Kriminologi sebagai ilmu yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi murni dan kriminologi terapan).

c) Wood Istilah Kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang berkaitan dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan penjahat

Disamping dari definisi kriminologi itu sendiri, W.A Bonger membagi kriminologi murni dan terapan.

1) Ruang lingkup kriminologi murni, berupa:

a) Antropologi Kriminal Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya memiliki tanda-tanda

5 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, Cetakan ke-12, hlm. 9

(2)

14

seperti apa? apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.

b) Sosiologi Kriminal Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

c) Psikologi Kriminal Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

d) Penologi Ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya pelaksanaan hukuman

e) Psikopatlogi dan Neuropatologi Kriminal Ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

2) Ruang lingkup Kriminologi terapan, berupa:

a) Higiene kriminal, usaha yang mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha yang dilakukan pemerintah untuk menerapkan undang-undang yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b) Politik kriminal, usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan sudah terjadi. Dilihat sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Apabila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan ketrampilan atau membuka lapangan pekerjaan, jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.

c) Kriminalistik (policie scientific) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

(3)

15

Selain W.A Bonger, Edwin H. Sutherland membagi kriminologi menjadi tiga cabang ilmu utama, meliputi :

a) Sosiologi hukum, memandang Kejahatan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum dan diancam dengan sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu kejahatan adalah hukum. Maka dari itu mencari sebab-sebab kejahatan harus pula melihat faktor-faktor apa yang menyebabkan hukum pidana.

b) Etiologi Kriminal, cabang ilmu dari kriminologi yang mencari sebab- sebab dari kejahatan.

c) Penology, pada dasarnya ilmu yang mempelajari tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.

2.2 Tinjauan umum tentang Kejahatan

Secara etimologi, kejahatan merupakan suatu perbuatan manusia yang mempunyai sifat jahat sebagaimana bila orang membunuh, mencuri, menipu, korupsi dan lain-lain. R.soesilo menyebutkan bahwa: Kejahatan secara yuridis adalah kejahatan untuk semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan dan unsur yang disebutkan dalam KUHP.

A.S Alam menyebutkan bahwa Ada dua sudut pandang untuk mendefinisikan kejahatan, yaitu: Sudut pandang Hukum, kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana.

Bagaimanapun buruknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di perundang-undangan pidana maka perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang

(4)

16

bukan kejahatan. Sudut pandang masyarakat, Kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.

2.2.1 Teori Faktor Penyebab Kejahatan

Kejahatan harus diteliti dan memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif maupun pendekatan kausa. Sebagaimana telah dikemukakan, kejahatan merupakan problem bagi manusia karena meskipun telah ditetapkan sanksi yang berat. Abdul Syani mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan faktor yang berada dalam individu (intern) dan faktor yang bersumber dari luar individu sendiri (ekstern) yaitu6 :

1) Faktor internal

Faktor yang berasal dari dalam diri sendiri atau individu yang meliputi : a. Sifat khusus dari individu, seperti halnya tingkat emosional, keadaan

mental, anomi dan psikologis (kesadaran, ketidak matangan emosi) b. Sifat umum dari individu, seperti halnya (usia,gender,kedudukan dalam

masyarakat, pendidikan) 2) Faktor eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor yang bersumber pada lingkungan diluar diri manusia, terutama hal-hal yang mempunyai hubungan terhadap timbulnya kriminalitas yang meliputi:

a. Faktor ekonomi, yang dipengaruhi karena kondisi dan keadaan ekonomi yang sangat rendah dapat timbulnya suatu kejahatan.

6 Abdul Syani, Sosiologi Kriminologi. Raja Grafindo; Jakarta. 1987. Hlm 37.

(5)

17

b. Faktor agama, dipengaruhi oleh rendah atau kurangnya pengetahuan agama

c. Faktor lingkungan dan pergaulan, dengan dipengaruhinya oleh lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya.

d. Faktor bacaan, faktor yang dipengaruhi oleh buku dan literatur yang di baca.

e. Faktor keluarga, dipengaruhi karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga terutama orang tua

2.2.2 Penanggulangan Kejahatan

Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Oleh karena itu masyarakat diharapkan berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Upaya penanggulangan kejahatan, telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus-menerus mencari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Baharuddin Lopa mengemukakan, bahwa: “Upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah terpadu, meliputi langka penindakan (represif) di samping langkah pencegahan (preventif)”.7

1. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk dapat mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.

7 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum, Buku Kompas Jakarta, 2001, hlm 16.

(6)

18

2. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

3. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.

4. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk

meningkatkan tindakan represif dan preventif.

Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan. Solusi represif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan kejahatan yang sudah mulai, kejahatan yang cenderung berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga kejahatan dapat dicegah, Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan.

2.3 Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Illegal Logging 2.3.1 Pengertian Tindak Pidana Illegal Logging

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa “tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu” (Moeljatno,2000:54).

(7)

19

Istilah Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit atau delict, dalam bahasa Indonesia disamping istilah Tindak Pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict sebagaimana yang dipakai oleh R. Tresna dan Utrecht dalam buku C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil dikenal juga beberapa terjemahan yang lain seperti Perbuatan Pidana, Pelanggaran Pidana, Perbuatan yang boleh di hukum atau Perbuatan yang dapat dihukum.8

Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit adalah suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.9 Bersadarkan beberapa pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukanya.

Istilah illegal logging pada dasarnya tidak pernah secara eksplisit didefinisikan secara tegas, namun terminologi “illegal logging” dapat dilihat dari pengertian secara harafiah yaitu bahasa Inggris. Illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s Law dictionary illegal artinya “forbidden by Law and unlawful ’’artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah10.

Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan logging artinya menebang/membalak kayu dan membawa ke tempat penggergajian. Secara umum, illegal logging mengandung makna kegiatan dibidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk

8 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm:37

9 Adami Chazawi, 2007 , Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm:72

10 Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.

(8)

20

ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kehutanan Pasal 50 jo Pasal 70, Tindak pidana Illegal Logging adalah “Perbuatan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, merambah kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat berwenang, menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan serta melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin”.

Menurut Barda Nawawi Arief Illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.11

Menurut Nurdjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi, Pengertian iIllegal Logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan berpotensi merusak hutan.

Menurut Haba, Pengertian illegal Logging adalah suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang melakukan penebangan

11 Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.

(9)

21

kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.

Proses illegal Logging dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil illegal logging itu dicuci terlebih dahulu.

sebelum memasuki pasar yang legal. Hal ini berarti bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah illegal yang kemudian dilegalkan oleh pihak-pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga pada saat kayu tersebut memasuki pasar, akan sulit lagi diidentifikasi yang mana merupakan kayu illegal dan yang mana merupakan kayu legal.

2.3.2 Dasar Hukum Pengaturan Tindak Pidana Illegal Logging

Menurut Harry Alexander dan Sulaiman N Sembiring Illegal logging juga bisa dikatakan sebuah tindak pidana (kriminal) berlapis. Alasan bahwa tindak pidana illegal logging dapat disebut sebagai kejahatan berlapis karena kejahatan tersebut bukan hanya semata–mata menyangkut ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum, akan tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya keresahan dalam masyarakat, tidak dilaksanakan kewajiban melakukan perlindungan lingkungan hidup (hutan) namun justru melakukan tindakan merusak, termasuk rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri.12

12 Web: https://www.fordamof.org/files/TR%2011%20Illegal%20logging%20review.pdf Sulaiman N.Sembiring dan Harry Alexander. illegal logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan di indonesia. diakses pada 20 oktober 2020

(10)

22

Di Indonesia terdapat 4 (empat) Undang–undang yang krusial merumuskan perbuatan - perbuatan illegal logging yaitu Undang–undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang–undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang–undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dalam ketiga undang–undang ini diatur beberapa kegiatan yang termasuk kejahatan pencurian kayu (illegal logging).

Keempat Undang–Undang yang krusial tersebut menjadi acuan bagi para aparat penegak hukum dalam menaggulangi masalah pencurian kayu di Indonesia.

Dasar hukum lain yang digunakan dalam memberantas kasus pencurian kayu adalah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Dalam Undang-undang No: 18 Tahun 2013 tentang pencegahan pemberantasan dan Perusakan Hutan memberikan definisi illegal logging dilakukan dengan beberapa model yakni:

1. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan

2. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

3. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah

4. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin

(11)

23

5. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan

6. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

7. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

8. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar

9. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara 10. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara

11. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar

12. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah dan/atau 13. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Begitupun dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan diubah menadi UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang tidak memberikan pengertian secara jelas terkait illegal

(12)

24

logging namun istilah illegal logging tersirat pada pasal 50 Undang-undang ini, yaitu dari pembalakan/ penebangan illegal, penguasaan kayu, transportasi/ pengangkutan kayu, hingga penjualan terhadap kayu tersebut. namun demikian pasal 50 tidak menyatakan kejahatan tersebut sebagai rangkaian tindakan illegal logging.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, mengenai kegiatan-kegiatan yang biasanya dipakai untuk digolongkan sebagai pengertian illegal logging :

1. Penebangan hutan ilegal dalam Pasl 50 ayat (3) huruf e yang menerangkan :

“menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”.

2. Penguasaan dan pengangkutan kayu ilegal diatur dalam Pasl 50 ayat (3) huruf h, yaitu :”mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan” dan

3. Penjualan kayu ilegal diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f yaitu :”menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan serta kerugian negara.

(13)

25

2.4 Bentuk kegiatan Illegal Logging Berdasarkan KUHP 2.4.1 Pencurian (pasal 362 KUHP)

Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

2.4.2 Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan: suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan perbuatan atau kegiatan.

Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik- praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus yang sering digunakan oleh pelaku dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan Palsu dalam SKSHH.

(14)

26 2.4.3 Penggelapan (pasal 372 – 377KUHP)

Kejahatan illegal logging antara lain: seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, mencantuman data jumlah kayu dalam (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.

2.4.4 Penadahan (pasal 480 KUHP)

Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat.

Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo, bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Kehutanan 2.5.1 Pengertian Kehutanan Di Indonesia

Kata hutan dalam kamus bahasa Belanda merupakan terjemahan dari kata bos dan dalam kamus bahasa Inggris disebut forest artinya rimba. Hutan adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung. Hutan dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan terhadap hutan, misalnya hutan belukar, hutan perawan, dan lain-lain. Pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohonan yang

(15)

27

tumbuh tidak beraturan atau suatu areal tertentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang.

Berdasar Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan yang lainnya.

Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan adalah: “Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).

Menurut Alam Setia Zain, yang diartikan dengan hutan, adalah: Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Artinya, hutan suatu areal yang cukup luas, di dalamnya bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem, bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya, baik berupa nabati maupun hewani, yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat lainnya secara lestari.13

Melihat hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Melihat bahwa hutan memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting sehingga perlu adanya perlindungan terhadap hutan dengan cara melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan

13 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan dan Konservasi Hutan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,hlm:1

(16)

28

perusakan hutan agar tidak terjadinya kerusakan hutan Menurut Salim Ada lima golongan kerusakan hutan yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:

a) Kerusakan hutan akibat pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggungjawab;

b) Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya,serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah;

c) Kerusakan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa izin;

d) Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran;

e) Kerusakan hutan akibat perbuatan masnusia, gangguan hama dan penyakit, serta daya alam.14

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa ada dua kepentingan yang terkandung dalam pengertian hutan, yaitu: pertama, bahwa hutan yang berisi sumber daya alam hayati merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia adalah kekayaan yang tak ternilai harganya, yang dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional (penjelasan umum UU No. 41 Tahun 1999). Kedua, bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam persekutuan alam dan lingkungannya yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, di samping mempunyai manfaat hutan juga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi ekologis, ekonomis dan sosial.

Karena fungsinya itu, maka hutan dilindungi.

14 Ibid

(17)

29 2.5.2 Jenis-Jenis Hutan Di Indonesia

Menurut UU No. 41 Tahun 1999 ditentukan empat jenis hutan, yaitu berdasarkan (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus dan (4) pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.

2.5.3 Berdasarkan Statusnya

Pasal 5 mengatur bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

1) Hutan Negara, ialah kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, yaitu semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik.

2) Hutan adat, yaitu hutan negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hutan adat (rechtgemeenschap) yang sebelumnya disebut juga hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya.

3) Hutan desa, yaitu hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

4) Hutan kemasyarakatan, yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat

5) Hutan Hak, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik, yaitu hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik, yang lazim disebut hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain atau Badan Hukum.

2.5.4 Berdasarkan Fungsinya

Berdasarkan Pasal 6 dan 7 UU No. 41 Tahun 1999, hutan fungsi adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya, yaitu:

(18)

30

1) Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Pasal 1 angka 9 UU No. 41 Tahun 1999), hutan konservasi terdiri dari: a) Kawasan hutan suaka alam Kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan (Pasal 1 angka 10 UU No. 41 Tahun 1999).

2) Hutan lindung, Hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1 angka 8 UU No. 41 Tahun 1999).

3) Hutan Produksi, Hutan produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Pasal 1 angka 7 UU No. 41 Tahun 1999).

4) Kawasan hutan peletarian alam, Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1 angka 11 UU No. 41 Tahun 1999) 5) Taman Buru, Taman buru yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai

tempat wisata berburu (Pasal 1 angka 12 UU No. 41 Tahun 1999).

(19)

31

2.5.5 Berdasarkan Tujuan Khusus dan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.

Selain itu terdapat juga hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya (Pasal 8 UU No. 41 Tahun 1999), serta hutan berdasarkan kepentingan peraturan iklim mikro, estetika, dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota (Pasal 9 UU No. 41 Tahun 1999).

2.5.6 Prinsip-Prinsip/Asas Pengelolaan Hutan

Tipe pengelolaan hutan dapat bervariasi, yaitu dengan tidak menyentuh suatu kawasan hutan sama sekali dan membiarkannya tumbuh secara alami, sampai dengan pengelolaan silvikultural secara intensif dengan pemantauan secara periodik. Pengelolaan hutan akan meningkat pada saat digunakan untuk mencapai kriteria ekonomi termasuk peningkatan hasil kayu dan non-kayu dan kriteria ekologi tertentu seperti pelestarian spesies, sekuestrasi karbon.

Manajemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management (SFM) harus mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian. Kelestarian fungsi produksi (ekonomi), kelestarian fungsi lingkungan (ekologi) dan kelestarian fungsi sosial, ekonomi budaya bagi masyarakat setempat. Beberapa prinsip dasar pengelolaan, yaitu:

1) Save it, memberikan perlindungan pada ekosistem hutan missalnya dengan memberikan keamanan pada genetik, spesies dan ekosistemnya secara keseluruhan.

(20)

32

2) Study it, menganalisis dan mempelajari ekosistem hutan yang meliputi biologi, komposisi, struktur, distribusi dan kegunaannya.

3) Use it, menggunakan atau memanfaatkan ekosistem hutan secara lestari dan seimbang.

Prinsip dasar pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

Secara teori prinsip dasar memiliki karakter bahwa masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan, dimana mereka memiliki jaminan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam.

Menurut Awang (2004), pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional dan profesional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Sebagai unsur penting sumber daya alam (SDA) memiliki arti dan peranan yang besar pengaruhnya terhadap aspek kehidupan sosial, perhatian terhadap hutan sangatlah penting.

Karena hutan merupakan salah satu penentu ekosistem, begitupun pengelolaan hutan yang masih begitu perlu ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Selain itu, pengelolaan hutan yang baik sangat membantu pendapatan bagi negara dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat. Pelaksanaan pengelolaan hutan dan hasil hutan diatur dalam sistem pengusahaan hutan (PH) yang berdasarkan perundangt-undangan Nasional.15

15 Awang, San Afri, Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta: Bigraf Publishing. 2004, hlm 68

(21)

33

Pengelolaan hutan didasarkan pada tiga asas pokok, baik bersumber dari perundangt-undangan nasional maupun sumber dari konvensi internasional yang diterapkan, ketiga aspek penting dalam pengelolaan pemanfaatan hutan adalah:

1) Asas Kesejahteraan Sosial

Asas kesejahteraan sosial ialah asas keutamaan yang menitikberatkan perhatian kepada relitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat yang bermukim/tinggal di sekitar hutan memiliki peran penting untuk melestarikan hutan. Mereka mempunyai pengetahuan, pengalaman, kebiasaan tradisional yang sudah mereka lakukan sejak lama yang bermanfaat bagi pengelolaan dan pelestarian hutan. Konsep pembangunan hutan secara nasional diarahkan dengan keikutsertaan masyarakat di kawasan hutan dan sekitarnya di dalam berbagai jenis usaha pengelolaan hutan. Termasuk pula usaha kegiatan industri hasil hutan lebih didorong dan dikembangkan agar dapat membantu usaha pengelolaan hutan rakyat.

Dengan demikian memanfaatkan pengelolaan hutan sebagai realitas penerapan asas kesejahteraan sosial.

2) Asas Keuntungan Ekonomi

Asas keuntungan ekonomi disebut juga asas profitabilitas yakni suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi terhadap pengelolaan laba dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kemajuan usaha. Fungsi utama hutan adalah untuk dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, hutan berfungsi penting bagi penytediaan bahan baku industri yang beranekaragam dari olahan hasil hutan. Peranan hutan produksi dalam

(22)

34

menunjang kekuatan ekonomi nasional telah terbukti sebagai kekuatan penting penghasil devisa setelah minyak dan gas bumi.

Berawal dari kegiatan ekspor dan perdagangan kayu bulat, kayu olahan, atau gergajian, berikut dengan produksi kayu lapis, pulp, dan perabot rumah tangga. Hingga industri dan ekspor kayu hasil hutan pada skala nasional cukup berpengaruh terhadap industri dalam negeri. Disamping itu, ekspor hasil hutan berupa olahan hasil hutan ataupun barang jadi sebagai andalan utama di tengah lalulintas perdagangan kayu tropis di dunia.

3) Asas Kelestarian Lingkungan

Asas kelestarian lingkungan atau disebut prinsip ekologi yaitu suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan hutan secara lestari dengan sistem silvikultur. Penerapan sistem silvikultur dikawasan produksi dilakukan dengan 3 cara yaitu: Tebang Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permukaan Alam (THPA), dan Tebang dengan Permudaan Buatan (THPB). Tujuan dari diterapkanya sistem silvikultur adalah untuk mengatur pemanfaatan hutan produksi alam serta meningkatditetapkan kan kualitas dan kuantitas kelestarian hasil hutan.

Oleh karena itu ditetapkan aturan hukum tentang penggunaan sistem silvikultur bagi pengelolaan hutan yangt bersumber dari Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok kehutanan. Kebijakan umum terhadap kegiatan pelestarian alam dan lingkungan hidup, diarahkan pada:

a) Terjaminya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan.

b) Terpeliharanya keaneragaman sumber daya genetik dan tipe-tipe ekosistemnya.

(23)

35

c) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari (diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemya)

2.6 Tinjauan Tentang Penegakan Hukum 2.6.1 Pengertian Penegakan hukum

Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi oleh masyarakat. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan prosedur yang ditetapkan oleh hukum formal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai terjabarkan didalam kaidah/ pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.16

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan suatu ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma- norma hukum secara nyata sebagai pedoman melakukan hubungan-hubungan yang terkait dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Andi Hamzah menyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalan Bahasa Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat

16 Soerjono Soekanto.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Jakarta: UI Press.1983. hlm. 35

(24)

36

bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang lebih luas.17

Agar peraturan dapat ditegakan diperlukan alat negara yang diberi tugas tanggung jawab untuk menegakan hukum, dengan kewenangan tertentu, memaksakan agar ketentuan hukum ditaati masyarakat. Hal ini menurut Mochtar Kusuma Atmaja dikatakan: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. sehingga untuk tegaknya aturan/hukum perlu kekuasaan yang mendukung juga sebaliknya kekuasaan harus dibatasi kewenangannya oleh aturan-aturan hukum. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.18

2.6.2 Unsur-unsur penegakan hukum/efektifitas hukum

Efektivitas penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif. Adapun unsur-unsur penting yang mempengaruhi dalam keberhasilan penegakan hukum adalah sebagai berikut:

17 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 61

18 Dellyana, Shant. Konsep Penegakan Hukum: Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm: 37

(25)

37 1. Faktor Hukum (Undang-undang)

Yang dimaksud dengan hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman masyarakat. Artinya, hukum/peraturan memiliki jangakauan yang sangat luas untuk masing-masing orang, tergantung bagaimana cara seseorang tersebut menyikapi hukum yang dihadapinya. Peraturan perundang-undangan sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya penegakan hukum, agar suatu undang-undang memiliki dampak positifadalah harus diikutinya azas-azas berlakunya perundang-undangan, diantaranya yaitu: Asas legalitas, Asas hukum tinggi mengesampingkan hukum rendah (Lex superiori derogat legi inferior), Asas hukum khusus mengesampingkan hukum umum (Lex specialis derogat legi generali), Asas hukum baru mengesampingkan hukum lama (Lex posterior derogat legi priori).

2. Faktor Penegak Hukum

Istilah penegak hukum mencakup pengertian yang luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. namun yang sangat mempengaruhi penegakan hukum adalah penegak hukum itu sendiri yang berkecimpung di bidang penegakan hukum tersebut hal ini meliputi pihak- pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka aparat penegak hukum dapat mempengaruhi kepatuhan hukumnya.19

19 Komariah, penegakan hukum di indonesia tinggal landas, Bestari vol: Januari-April, 1992, hlm:

25

(26)

38 3. Faktor sarana/Fasilitas

Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya yang dipakai sebagai sarana guna mencapai tujuan hukum. Suatu masalah yang erat hubungannya dengan sarana dan fasilitas adalah soal efektivitas dari sanksi pidana yang diancamkan terhadap peristiwa-peristiwa pidana tertentu dengan berpegang dengan cara yang lebih efektif dan efisien sehingga biaya dapat ditekan di dalam programprogram pemberantasan kejahatan jangka panjang

4. Faktor kesadaran hukum masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi kepatuhan hukumnya.

Masyarakat Indonesia pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Adanya kecenderungan masyarakat mengartikan hukum sebagai petugas juga mempengaruhi penegakan hukum. Akibat dari identifikasi tersebut maka baik ataupun buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan perilaku penegak hukum, maka dari itu Masyarakat sebagai warga Negara yang memerlukan kesadaran, penjelasan dan kepatuhan terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku20

5. Faktor Budaya Hukum

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, oleh karena pembahasannya akan

20 Ibid

(27)

39

diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiel. Sebagai suatu sistem, maka hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari system tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembaga- lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak- hak dan kewajiban dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai mana merupakan konsepsi- konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).21

2.7 Polisi Republik Indonesia (Polri)

Kepolisian berasal dari istilah polisi yang beragam penyebutannya di setiap negara. Istilah polisi pertama kali berasal dari Yunani yakni politeia dari tokoh Plato yang berlatar belakang pemikiran bahwa suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.22

Sebagaimana diketahui Indonesia dahulu pernah dijajah oleh Belanda, maka secara historis istilah polisi di Indonesia dapat dikatakan mengikuti istilah polisi Negara Belanda yaitu politie. Makna politie menurut Van Vollenhoven adalah “organ pemerintah yang bertugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-

21 Soerjono Soekanto. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Rajawali Persada. Jakarta. 1990. Hlm: 59

22 Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya, UI Press, Jakarta, 1995, hlm. 19.

(28)

40

larangan perintah”. Polisi sebagai bagian dari organ pemerintah dapat dikatakan secara jelas bahwa polisi adalah organisasi dan alat pemerintah. Selain itu, polisi adalah birokrasi tanpa loket dan sekat yang memisahkannya dengan masyarakat, hubungan polisi dengan masyarakat itu bagai air dengan ikan di dalamnya. Tidak ada masyarakat tanpa polisi (ubi society ubi politie).

Kepolisian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang melanggar undang-undang dan sebagainya), serta diartikan sebagai anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dan sebagainya) Selanjutnya Momo Kelana mengatakan bahwa istilah polisi memiliki dua arti. Pertama, polisi dalam arti formal yang mencakup organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian. Kedua, polisi dalam arti material yang memberikan jawaban jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam menghadapi gangguan ketertiban dan keamanan berdasarkan peraturan perundang-undangan23

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 (selanjutnya disebut UU Kepolisian) dinyatakan bahwa

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang undangan”. Pengertian tersebut memiliki dua makna yakni lembaga kepolisian dan fungsi kepolisian. Lembaga kepolisian adalah suatu organ pemerintah terorganisasi dan terstruktur yang ditetapkan sebagai suatu lembaga serta diberikan kewenangan menjalankan fungsinya

23 Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan di Indonesia) Suatu Studi Historis Komperatif, PTIK, Jakarta, 1972, hlm. 22.

(29)

41

berdasarkan peraturan perundangan-undangan. Sedangkan fungsi kepolisian dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

2.7.1 Tugas Polri

Tugas pokok POLRI berdasarkan Pasal 13 UU Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

melaksanakan tugas pokok di atas, POLRI berdasarkan Pasal 14 UU Kepolisian bertugas untuk:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggaran segala kegiatan dalam menjamin keamanan ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan parsipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

(30)

42

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan indentifiksi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingn tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkungan tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.7.2 Wewenang Polri

Wewenang umum POLRI berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif POLRI

(31)

43

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang i. Mencari keterangan dan barang bukti

Selain wewenang umum di atas, sesuai dengan perundangan lain yang mengaturnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU Kepolisian, POLRI berwenang untuk:

a. Memberikan izin dan mengawqasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

f. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis POLRI;

h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

(32)

44 2.7.3 Fungsi Polri

Fungsi polisi secara umum adalah untuk menjalankan kontrol sosial masyarakat yang bersifat preventif dan represif, dalam bahasa Perancis dikenal dengan istilah la police administration. Fungsi preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan, pengayoman, pelayanan pada masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum. Selanjutnya fungsi POLRI di dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal 4 UU Kepolisian bahwa POLRI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Selain itu, POLRI berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Singkatnya, POLRI memiliki dua fungsi yakni fungsi preventif yang dilaksanakan dalam rangka memberi perlindungan, pengayoman, pelayanan pada masyarakat dan fungsi represif yaitu sebagai penegak hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini akan mendeskripsikan pola pelanggan kota besar dan kota kecil untuk membantu dalam pengambilan keputusan di Perusahaan Telekomunikasi Seluler untuk

Selama proses komposisi maka imajinasi berada dalam struktur rangsang (stimulus), pengetahuan materi gerak serta yang lebih penting lagi dari semua itu adalah “teknik

Tenaga pengajar di Papua khususya di wilayah pedalaman sangat kurang (Suara Papua, 2020). Hal ini dapat dilihat dari tenaga pengajar yang mengampu mata peserta didikan

Salah satu tokoh yang dikaji dalam penelitian ini adalah tokoh Galuh gaya Jero Ratna dalam pertunjukan dramatari Arja dengan Lakon Pajang Mataram di Banjar Kebon Singapadu,

Keyakinan, nilai dan norma tersebut yang akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan kerja melalui perubahan sikap dan perilaku guru untuk bekerja lebih baik lagi atau sebaliknya

Sesuai dengan bagian Sequence dari Strategy dalam analisis SOSTAC®, maka Action akan dimulai dari integrasi proses pemasaran e-marketing, merancang website yang diusulkan

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat kepuasan dan loyalitas konsumen Gulaku, serta pengaruh atribut bauran pemasaran yang terdiri dari variabel tempat,

Berdasarkan hasil beberapa peneliti, diantaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Zahrah 2009 dengan judul “penerapan belajar melalui metode bermain dalam meningkatkan