• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual pada remaja akhir.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual pada remaja akhir."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

THE RELATION BETWEEN BODY IMAGE AND SEXUAL BEHAVIOR IN LATE ADOLESCENT

Yustinus Budiono

ABSTRACT

This research aimed to examine the presence or not the relation between body image and sexual behavior in late adolescents. The assumption is a higher body image will impact the sexual behavior become more tendentious. The proposed hypothesis was there is positive relation between body image and sexual behavior.

The subjects of the research were 100 teenagers, in the age around 18-24 years old that have a close relationship. In this research, the technique used to collect sample was purposive sampling. The method of collecting data was using scale technique. Instruments used for collecting data consist of two instruments: scale of body image and scale of sexual behavior. The validity and reliability test on body image scale obtained 52 valid items with alpha Cronbach reliability coefficient of 0,914, while the sexual behavior scale obtained 11 valid items with alpha Cronbach reliability coefficient of 0,870.

The data of this research was analyzed by using correlation technique product moment Pearson. The correlation coefficient (r) that could be obtained was 0,596 with 0,000 significance (p<0,001). This fact explained that the research hypothesis which stated about the positive relation between the body image and sexual behavior was accepted. The result of this research also suggests that body image variable contributes of 23,7% toward the sexual behavior variable.

(2)

HUBUNGAN ANTARA CITRA TUBUH DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA AKHIR

Yustinus Budiono

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja akhir. Asumsinya yaitu jika citra tubuh tinggi maka perilaku seksualnya cenderung tinggi pula. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara citra tubuh dengan perilaku seksual.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 18-24 tahun yang berpacaran, sebanyak 100 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Alat pengumpul

data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, yaitu: skala citra tubuh dan skala perilaku seksual. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala citra tubuh diperoleh 52 aitem valid dengan koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,941 sedangkan pada skala perilaku seksual diperoleh 8 aitem valid dengan koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,870.

Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,596 pada taraf signifikansi 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menyatakan bahwa hipotesis penelitian ada hubungan positif antara citra tubuh dengan perilaku seksual pada remaja akhir diterima. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel citra tubuh memberi sumbangan sebesar 23,7% terhadap variabel perilaku seksual.

(3)

HUBUNGAN ANTARA CITRA TUBUH DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA AKHIR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh Yustinus Budiono

NIM : 089114002

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Dz

Hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak layak

dz

"Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah

gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh."

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

-

Yesus Kristus Juru Selamatku.

-

Bapak dan Mamah tercinta.

-

Istri dan putriku terkasih.

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA CITRA TUBUH DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA AKHIR

Yustinus Budiono

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja akhir. Asumsinya yaitu jika citra tubuh tinggi maka perilaku seksualnya cenderung tinggi pula. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara citra tubuh dengan perilaku seksual.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 18-24 tahun yang berpacaran, sebanyak 100 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Alat pengumpul

data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, yaitu: skala citra tubuh dan skala perilaku seksual. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas pada skala citra tubuh diperoleh 52 aitem valid dengan koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,941 sedangkan pada skala perilaku seksual diperoleh 8 aitem valid dengan koefisien reliabilitas alpha Cronbach sebesar 0,870.

Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,596 pada taraf signifikansi 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menyatakan bahwa hipotesis penelitian ada hubungan positif antara citra tubuh dengan perilaku seksual pada remaja akhir diterima. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel citra tubuh memberi sumbangan sebesar 23,7% terhadap variabel perilaku seksual.

(10)

viii

THE RELATION BETWEEN BODY IMAGE AND SEXUAL BEHAVIOR IN LATE ADOLESCENT

Yustinus Budiono

ABSTRACT

This research aimed to examine the presence or not the relation between body image and sexual behavior in late adolescents. The assumption is a higher body image will impact the sexual behavior become more tendentious. The proposed hypothesis was there is positive relation between body image and sexual behavior.

The subjects of the research were 100 teenagers, in the age around 18-24 years old that have a close relationship. In this research, the technique used to collect sample was purposive sampling. The method of collecting data was using scale technique. Instruments used for collecting data consist of two instruments: scale of body image and scale of sexual behavior. The validity and reliability test on body image scale obtained 52 valid items with alpha Cronbach reliability coefficient of 0,914, while the sexual behavior scale obtained 11 valid items with alpha Cronbach reliability coefficient of 0,870.

The data of this research was analyzed by using correlation technique product moment Pearson. The correlation coefficient (r) that could be obtained was 0,596 with 0,000 significance (p<0,001). This fact explained that the research hypothesis which stated about the positive relation between the body image and sexual behavior was accepted. The result of this research also suggests that body image variable contributes of 23,7% toward the sexual behavior variable.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga karena atas berkatNya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki penulis sehingga dengan

bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

3. Bapak C. Siswo Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang

selalu aktif memperhatikan kemajuan penulisan skripsi ini.

4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M. Psi. dan Ibu Debri Pristinella, M. Si selaku

dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan bagi

sempurnanya skripsi ini.

5. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani (R.I.P.) yang memotivasi dan

menginspirasi penulis sehingga bisa menyelesaikan studi S1.

6. Romo Priyono Marwan yang selalu mendukung studi penulis dalam doa.

7. Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, serta Pak Gie yang selalu

membantu dalam segala hal terkait administrasi, praktikum, dan sebagainya

(13)

xi

8. Segenap dosen dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang telah menginspirasi dan mengedukasi selama

penulis menuntut ilmu.

9. Seluruh remaja yang terlibat sebagai subjek dalam penelitian ini, terima kasih

banyak atas kesediaan mengisi skala penelitian.

10.Bapak Nikolas Nasuha dan Mamah Lidia Asni yang tidak pernah berhenti

mencintai, merawat, membesarkan, dan membiayai penulis sehingga penulis

bisa lulus S1.

11.Kedua kakak penulis, Tarsisius Tatang Sutardi dan Martinus Sutarman yang

memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi secepat-cepatnya.

12.Kakak dan adik-adik ipar penulis yang selalu mendukung dalam doa dari

jauh.

13.Pendamping hidup penulis, Maria Brighitta Corry Timmerman yang sudah

lulus duluan. Akhirnya, penulis bisa lulus juga.

14.Putri kecil penulis, Immanuela Nathania Pascanatalie Timmerman yang

menjadi tujuan penyelesaian skripsi ini.

15.Segenap keluarga besar di Kuningan, Jawa Barat maupun Wonosari,

Gunungkidul yang selalu memberi doa dan semangat untuk menyelesaikan

studi S1.

16.Teman-teman Psikologi yang sudah lulus mendahului penulis, membuat

(14)
(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II. LANDASAN TEORI... 9

(16)

xiv

1. Pengertian Perilaku Seksual... 9

2. Tahap-tahap Perilaku Seksual... 9

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual... 14

4. Pengukuran Perilaku Seksual... 16

B. Citra Tubuh... 17

1. Pengertian Citra Tubuh... 17

2. Elemen Citra Tubuh... 18

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Tubuh... 19

4. Pengukuran Citra Tubuh... 21

C. Remaja Akhir... 23

1. Pengertian Remaja…... 23

2. Batasan Usia Remaja... 23

3. Tugas Perkembangan Remaja... 24

D. Dinamika Hubungan Citra Tubuh dengan Perilaku Seksual pada Mahasiswa... 25

E. Hipotesis... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 28

A. Jenis Penelitian... 28

B. Identifikasi Variabel... 29

C. Definisi Operasional... 29

1. Citra Tubuh... 29

(17)

xv

D. Subjek Penelitian... 32

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 33

1. Metode Pengumpulan Data... 33

2. Alat Pengumpulan Data... 33

F. Validitas, Reliabilitas, dan Analisis Aitem... 37

1. Validitas... 37

2. Reliabilitas... 38

3. Analisis Aitem... 39

G. Analisis Data... 39

1. Uji Asumsi... 40

a. Uji Normalitas... 40

b. Uji Linearitas... 40

2. Uji Hipotesis... 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 42

A. Persiapan Penelitian... 42

1. Pelaksanaan Uji Coba... 42

a. Skala citra tubuh... 45

b. Skala perilaku seksual... 45

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian... 45

a. Skala citra tubuh... 46

b. Skala perilaku seksual... 48

B. Deskripsi Data Penelitian... 49

(18)

xvi

1. Uji Asumsi... 53

a. Uji Normalitas... 53

b. Uji Linearitas... 55

2. Uji Hipotesis... 57

D. Pembahasan... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 61

A. Kesimpulan... 61

B. Saran... 61

1. Bagi Remaja... 61

2. Bagi Orang Tua... 61

3. Bagi Penelitian Selanjutnya... 62

DAFTAR PUSTAKA... 63

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Blueprint Skala Citra Tubuh

(sebelum uji coba)... 33

Tabel 2. Respon Jawaban dan Nilai Skala Citra Tubuh... 35

Tabel 3. Blueprint Skala Perilaku Seksual... (sebelum uji coba)... 36

Tabel 4. Deskripsi Subjek ... 44

Tabel 5. Blueprint Skala Citra Tubuh (setelah uji coba)... 46

Tabel 6. Blueprint Skala Perilaku Seksual... (setelah uji coba)... 49

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... 50

Tabel 8. Uji Signifikansi Perbedaan Mean Empiris dan Teoretis... 50

Tabel 9. Norma Kategorisasi... 52

Tabel 10. Norma Kategorisasi Skor Citra Tubuh... 52

Tabel 11. Norma Kategorisasi Skor Perilaku Seksual…... 53

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas ... 54

Tabel 13. Hasil Uji Linearitas... 56

Tabel 14. Hasil Uji Hipotesis... 56

(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Skala Citra Tubuh dan Perilaku Seksual... 75

Lampiran 2. Analisis Reliabilitas Skala Citra Tubuh... 92

Lampiran 3. Analisis Reliabilitas Skala Perilaku Seksual... 95

Lampiran 4. Hasil Uji t Skala Citra Tubuh dan Skala Perilaku Seksual.... 97

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas... 99

Lampiran 6. Hasil Uji Linearitas... 101

Lampiran 7. Hasil Uji Hipotesis... 106

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada masa remaja fungsi-fungsi seksual mulai berkembang hingga

mencapai tahap kematangan pada usia remaja akhir. Menurut Hurlock

(1999), ketika remaja telah mengalami kematangan seksual, baik laki-laki

dan perempuan akan mengembangkan sikap baru terhadap lawan jenis

pada kegiatan romantis yang melibatkan lawan jenisnya atau yang dikenal

dengan istilah pacaran. Freud (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa

pada masa remaja, seseorang mulai memasuki fase genital, yakni

kenikmatan yang berasal dari alat kelamin memunculkan sexual drive atau

dorongan seksual pada lawan jenis.

Dorongan seksual pada remaja tersebut membutuhkan penyaluran

dalam bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2012). Menurut

Purnomowardani dan Koentjoro (2000), perilaku seksual merupakan

manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara

langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku

seksual dari tahap paling ringan hingga paling berat. Meschke,

Bartholomae, dan Zentall (2000) menggambarkan perilaku seksual sebagai

tingkah laku yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang

(23)

Perilaku seksual yang dimaksud dilakukan dalam konteks pacaran.

Pacaran selama masa remaja merupakan tahap yang penting dalam

kehidupan seseorang. Menghabiskan waktu bersama dengan pacar dapat

mengembangkan identitas seksual yang akan meletakkan fondasi

hubungan di masa dewasa. Lebih lanjut, pengalaman positif dalam

pacaran, seperti menerima dukungan dan afeksi akan berkontribusi pada

harga diri yang sehat dan meningkatkan keterampilan komunikasi serta

manajemen konflik (Wildsmith, Barry, Manlove, & Vaughn, 2013).

Ekspresi fisik dari afeksi dalam pacaran dimanifestasikan dalam

berbagai bentuk perilaku seksual. Santrock (2004) menyebutkan ada empat

macam bentuk perilaku seksual, yaitu berciuman, petting, necking, dan

senggama. Sementara itu, hasil survei kesehatan reproduksi yang

dilakukan Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN,

2010) menunjukkan bentuk perilaku seksual dari remaja berpacaran, yakni

92% berpegangan tangan, 82% berciuman, dan 62% melakukan petting.

Selain itu, gambaran perilaku seksual 100 mahasiswa yang umumnya

merupakan remaja akhir (18-21 tahun) menurut penelitian Mutiara,

Komariah, dan Karwati (tt) adalah 100% berpegangan tangan, 90%

berpelukan, 82% necking, 56% meraba bagian tubuh yang sensitif, 52%

petting, 31% oral seks, dan 34% sexual intercourse. Hasil survei dan

penelitian tersebut menggambarkan tingkatan bertahap perilaku seksual,

mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman di pipi/kening,

(24)

berpakaian, saling meraba tubuh dalam keadaan tidak berpakaian,

menempelkan tubuh/alat vital ke tubuh, hingga berhubungan seksual

seperti suami isteri.

Perilaku seksual remaja tersebut tidak terlepas dari tugas

perkembangan remaja, yakni mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa

dengan pasangan sebaya serta menyiapkan pernikahan dan berkeluarga, di

samping tugas mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab serta

memperoleh nilai-nilai dan sistem etis (Havighurst & Neugarten, 1962).

Oleh karenanya, tahapan perilaku seksual remaja perlu dilewati setiap

remaja tanpa melanggar norma sosial serta nilai dan sistem etis yang

berlaku di masyarakat.

Perilaku seksual remaja tidak terlepas dari citra tubuh yang

dimilikinya. Citra tubuh dipandang sebagai salah satu faktor psikologis

yang penting karena menurut Yamamiya, dkk (2006) citra tubuh positif

sering diasosiasikan dengan kepercayaan dan kepuasan diri yang lebih

akan seksualitas. Hal ini dapat menjadi negatif bagi remaja yang belum

memiliki ikatan yang sah dalam perkawinan dengan pasangannya. Pada

remaja yang berpacaran, citra tubuh positif akan menimbulkan keyakinan

diri bahwa tubuh mereka menarik bagi pacar mereka dan akan

menginisiasi perilaku seksual, seperti berpegangan tangan, berpelukan,

berciuman, bahkan melakukan hubungan seksual seperti suami isteri.

Perilaku seksual yang dilakukan remaja tersebut dapat menimbulkan

(25)

ibu dan bayi yang tinggi, terganggunya kesehatan, hingga penyakit

menular seksual (Sarwono, 2012). Salah satu penyakit menular seksual

yang menakutkan dan mematikan adalah HIV/AIDS (Moore & Rosenthal,

2006). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, kasus HIV/AIDS di

Indonesia mencapai 21.770 untuk kasus AIDS positif dan 47.157 untuk

kasus HIV positif dengan prosentase pengidap 48,1% berusia 20-29 tahun

dan 49,3% berasal dari kalangan heteroseksual (dalam

www.beritakaltara.com, diakses pada 31 Mei 2015). Oleh sebab itu,

remaja perlu waspada terhadap perilaku seksualnya agar tidak

menimbulkan konsekuensi yang merugikan.

Pada perempuan yang telah menikah, konsep diri positif tentang

tubuh mereka meningkatkan kepercayaan diri bahwa pasangan mereka

akan menilai mereka menarik secara seksual (Wade, 2000) dan mereka

secara seksual diinginkan oleh pasangan mereka (Wiederman & Hurst,

1998). Sebaliknya, perhatian akan citra tubuh yang negatif dapat

mengganggu interaksi seksual, dengan demikian bertentangan dengan

kenikmatan dalam pengalaman seksual, baik pada perempuan yang

menikah, maupun pada mahasiswi (Wiederman, 2012).

Seperti halnya perempuan, laki-laki yang merasa nyaman dengan

tubuhnya terlibat dalam perilaku seksual yang lebih aman dan mampu

menyatakan diri dengan lebih terbuka. Sedangkan, laki-laki yang tidak

nyaman dengan aspek tubuhnya mengalami rasa malu dalam situasi

(26)

menarik diri secara emosional dari situasi seksual karena takut terhadap

evaluasi negatif dan menemukan kesulitan menyampaikan kebutuhan

seksual mereka (Schooler & Ward, 2006).

Dapat disimpulkan bahwa, baik pada perempuan maupun laki-laki

citra tubuh yang positif memberi meningkatkan kecenderungan perilaku

seksual, berupa rasa percaya diri bahwa tubuh mereka menarik,

keterlibatan dalam perilaku seksual yang lebih aman, serta lebih terbuka

dalam menyatakan diri. Sebaliknya, citra tubuh yang negatif menurunkan

kecenderungan perilaku seksual dalam bentuk gangguan interaksi seksual

berupa rasa malu dan tidak nyaman, ketakutan akan evaluasi negatif, serta

kesulitan menyampaikan kebutuhan seksual.

Citra tubuh didefinisikan sebagai persepsi, pikiran, dan perasaan

seseorang mengenai tubuhnya (Grogan, 2008). Slade (1988)

menambahkan bahwa citra tubuh merupakan gambaran yang kita miliki

dalam pikiran kita tentang ukuran, sketsa, dan bentuk tubuh kita dan

perasaan yang kita miliki tentang karakteristik dan bagian yang menyusun

tubuh kita. Citra tubuh dapat berupa penilaian positif dan negatif (Schludt

& Johnson, 1990). Citra tubuh yang positif dapat membesarkan hati

sehingga meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri dalam relasi

interpersonal, sedangkan citra tubuh yang negatif akan menghasilkan

pandangan yang buruk terhadap fisik dan melemahkan kepercayaan diri

(Cash & Pruzinsky, 1990). Citra tubuh disinyalir memiliki keterkaitan

(27)

besar dimana emosi, pemikiran, dan keyakinan tentang citra tubuh

memegang pengaruh penting terhadap perilaku dan perasaan seksual

seseorang (Rosenthal, 2013).

Berkaitan dengan remaja akhir yang sedang bereksplorasi untuk

memenuhi rasa ingin tahu akan hal-hal baru seputar seksualitas, dapat

diprediksi bahwa citra tubuh merupakan hal mendasar yang cukup

signifikan menentukan tahap perilaku seksual remaja, mulai dari tahap

ringan (bergandengan tangan) hingga tahap yang lebih berat

(bersenggama). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa citra tubuh dapat

berdampak positif maupun negatif secara bersamaan tergantung sejauh

mana remaja dapat mengendalikan perilaku seksualnya sesuai batasan

norma yang berlaku di masyarakat.

Mengingat kemungkinan citra tubuh berperan penting dalam

peningkatan kecenderungan perilaku seksual remaja, maka peneliti tertarik

untuk meneliti mengenai hubungan citra tubuh dengan perilaku seksual,

khususnya pada remaja akhir yang telah mencapai puncak kematangan

seksual dan memiliki tugas perkembangan mencapai perilaku sosial yang

bertanggung jawab dalam batasan nilai-nilai dan sistem etis di samping

tugas perkembangan lainnya, yakni mencapai relasi baru dan lebih dewasa

(28)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah pokok penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara citra

tubuh dengan perilaku seksual remaja akhir?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris tentang ada

tidaknya hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual remaja

akhir.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat digunakan sebagai latihan

pengembangan berpikir ilmiah dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan yang didapatkan selama kuliah.

b. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini bertujuan untuk menambah

kajian teori di bidang ilmu psikologi perkembangan, khususnya

mengenai citra tubuh dan perilaku seksual remaja akhir.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi

(29)

b. Bagi Orang Tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk

memahami perkembangan remaja, baik secara fisik maupun psikis,

terutama terkait dengan citra tubuh dan perilaku seksual.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan referensi atau

informasi dalam mengembangkan penelitian selanjutnya tentang

(30)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERILAKU SEKSUAL

1. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku seksual yang didorong

oleh hasrat seksual terhadap pasangannya (Soetjiningsih, 2008). Menurut

Purnomowardani dan Koentjoro (2000), perilaku seksual merupakan

manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara

langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku

seksual dari tahap paling ringan hingga paling berat. Lebih lanjut,

Meschke, Bartholomae, dan Zentall (2000) menjelaskan bahwa perilaku

seksual merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan yang berlandaskan hasrat dan pengetahuan mengenai

seksualitas. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah segala

tingkah laku seksual yang merupakan manifestasi dari adanya dorongan

seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang

tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual yang dilakukan oleh laki-laki

dan perempuan berlandaskan pengetahuan seksual.

2. Tahap-tahap Perilaku Seksual

Menurut Soetjiningsih (2008), tahapan perilaku seksual meliputi:

(31)

b. Memeluk/dipeluk di bahu.

c. Memeluk/dipeluk di pinggang.

d. Ciuman bibir.

e. Ciuman bibir sambil pelukan.

f. Meraba/diraba bagian erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan

berpakaian.

g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian.

h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian.

i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian.

j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian.

k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian.

l. Hubungan seksual

Menurut Masters, dkk. (1982), ada 9 tahapan perilaku seksual, yaitu:

a. Memegang atau bergandengan tangan

Memegang atau bergandengan tangan yang dimaksud dilakukan untuk

mendapat kepuasan seksual.

b. Berpelukan

Berpelukan merupakan simbol afeksi yang berguna untuk memberikan

rasa nyaman dan percaya pada pasangan.

c. Berciuman

Berciuman adalah salah satu bentuk sentuhan yang berarti simbol afeksi

namun juga dapat bersifat erotik. Ciuman dibagi menjadi 2 jenis, yakni

(32)

merupakan simbol afeksi, seperti mencium kening atau mencium pipi.

Ciuman sensual bersifat erotik yang dapat membangkitkan gairah

seksual, seperti mencium bibir atau mencium leher (necking).

d. Menyentuh dengan memberi stimulasi pada bagian tubuh yang sensitif

Tahapan ini dapat dicontohkan seperti menyentuh atau menstimulasi

payudara.

e. Memegang alat kelamin

Memberi stimulasi pada alat vital untuk memberi sensasi seksual. Hal

ini dilakukan karena alat vital merupakan bagian yang sangat sensitif

terhadap sentuhan.

f. Petting

Petting adalah kegiatan memberi kenikmatan seksual tanpa

memasukkan penis dalam vagina. Hal ini dilakukan sebagai upaya

untuk mempersiapkan organ genital sebelum melakukan penetrasi

(memasukkan penis ke dalam vagina).

g. Oral genital

Oral genital berarti memberi stimulasi genital dengan mulut. Tahapan

ini dengan cara menjilat, menghisap, mencium, dan menggigit.

h. Anal sex

Anal sex berarti perilaku seksual dengan memasukkan alat kelamin pria

(33)

i. Coital sex play/vaginal sex

Perilaku seksual ini merupakan perilaku seksual yang paling wajar

dilakukan oleh pasangan heteroseksual. Pada tahap ini penis

dimasukkan ke dalam vagina (penetrasi).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahapan

perilaku seksual adalah:

a. Berpegangan tangan

Berpegangan tangan adalah saling memegang tangan pacar.

Berpegangan tangan yang dimaksud, dilakukan untuk mendapat

kepuasan seksual.

b. Berpelukan

Berpelukan adalah mendekap pacar dengan kedua tangan dilingkarkan.

Berpelukan merupakan simbol afeksi yang berguna untuk memberikan

rasa nyaman dan percaya pada pasangan.

c. Berciuman di pipi/kening

Berciuman di pipi/kening adalah perilaku memberikan rangsangan

berupa stimulus menggunakan bibir dengan cara melekatkan bibir ke

pipi atau kening pacar. Berciuman di pipi/kening merupakan simbol

afeksi.

d. Berciuman di bibir/leher

Berciuman di bibir adalah perilaku memberikan rangsangan berupa

stimulus dengan cara saling melekatkan bibir. Ada dua jenis ciuman di

(34)

dengan mulut tertutup, dapat pula menjilat bibir pacar dengan lidah atau

menggigit dengan perlahan bagian bawah bibir pacar. Kedua deep

kissing yang disebut juga French kiss atau berciuman dengan lidah

dimasukkan ke dalam mulut pacar yang menyebabkan terjadinya saling

bertukar ludah dari mulut. Selain itu, berciuman di leher adalah perilaku

memberikan rangsangan berupa stimulus dengan cara melekatkan bibir

ke leher pacar yang sering disebut necking. Berciuman di bibir/leher

merupakan jenis ciuman sensual yang dapat membangkitkan gairah

seksual atau bersifat erotis.

e. Digerayangi/menggerayangi tubuh dalam keadaan masih berpakaian

Digerayangi/menggerayangi tubuh pacar dalam keadaan masih

berpakaian adalah menyentuh dan mengusap bagian tubuh pacar yang

sensitif, seperti dada, buah dada, paha, dan alat kelamin dari luar

maupun dari dalam pakaian.

f. Diraba/meraba tubuh dalam keadaan tidak berpakaian

Diraba/meraba tubuh pacar dalam keadaan tidak berpakaian adalah

menyentuh dan mengusap bagian tubuh pacar yang sensitif, seperti

dada, buah dada, paha, dan alat kelamin dalam kondisi telanjang.

g. Ditempel/menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh

Ditempel/menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh pacar

merupakan perilaku menempelkan dan menggesekkan bagian tubuh

atau alat kelamin ke tubuh atau alat kelamin pacar yang sering pula

(35)

h. Berhubungan seksual seperti suami isteri

Berhubungan seksual seperti suami isteri adalah perilaku seksual yang

dilakukan antara laki-laki dan perempuan dengan cara memasukkan

penis yang ereksi ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan

seksual atau orgasme.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual, antara lain:

a. Jenis kelamin

Remaja laki-laki memiliki tingkat perilaku seksual yang lebih

tinggi daripada remaja perempuan (Soetjiningsih, 2008; Nursal 2008).

Menurut Situmorang (2003), hal ini disebabkan karena remaja laki-laki

memiliki kesempatan dan kebebasan yang lebih banyak untuk

melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan remaja perempuan.

Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa perempuan memiliki

hasrat seksual yang cukup tinggi, namun lebih bisa menahan diri untuk

menyalurkannya dibanding dengan laki-laki (Lendis dalam Milles,

1971).

b. Usia

Menurut Fisgher dan Hall (dalam Sari, 2009) usia adalah salah

satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja, yakni remaja

(36)

dengan remaja awal karena masih adanya pengaruh yang besar dari

orang tua.

c. Harga diri

Harga diri menunjukkan korelasi yang bervariasi terhadap

aktivitas seksual. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas

seksual lebih tinggi dilakukan oleh remaja yang memiliki harga diri

rendah, namun beberapa penelitian lain mengungkapkan hasil yang

berlawanan (Cocker, dkk., 1994; Benson & Torpy, 1995; Spencer, dkk.,

2002, Carvajal, Parcel, & Banspach, 1999; Resnick, dkk., 1997).

d. Hubungan orang tua dengan remaja

Menurut Soetjiningsih (2008) hubungan orang tua dengan remaja

memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku seksual remaja.

Pemberian informasi serta pemahaman yang utuh dari orang tua tentang

seksualitas mampu menghambat munculnya perilaku seksual yang

menyimpang pada remaja (Welling, Nanchahal, & Macdowall, 2001).

e. Pengalaman berpacaran

Pengalaman berpacaran memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku

seksual (Taufik & Anganthi, 2005; Nursal, 2008). Sebagian besar

hubungan seksual dilakukan pada saat berkencan dengan pacar sebagai

bukti rasa cinta (Taufik & Anganthi, 2005). Menurut Nursal (2008),

saat seseorang telah lama tidak bertemu dengan pacar, besar

kemungkinan akan muncul perilaku seksual saat bertemu. Sedangkan,

(37)

untuk mencoba bentuk perilaku seksual baru supaya situasi pacaran

tidak membosankan.

Disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

seksual adalah jenis kelamin, usia, harga diri, hubungan orang tua dengan

remaja, dan pengalaman berpacaran.

4. Pengukuran Perilaku Seksual

Peneliti menggunakan skala perilaku seksual yang dibuat sendiri

oleh peneliti yang mengukur perilaku seksual secara umum. Skala ini

menanyakan kepada remaja mengenai perilaku seksual yang dilakukan

bersama pacar selama 1 bulan terakhir, mulai dari berpegangan tangan

hingga berhubungan seksual seperti suami isteri. Alasan pemilihan rentang

waktu 1 bulan terakhir adalah keterbatasan daya ingat manusia. Salah satu

penelitian menunjukkan bahwa daya ingat terhadap detail suatu peristiwa

menjadi menurun setelah kurun waktu dua minggu (Bahrick & Bahrick,

1964).

Peneliti tidak menggunakan skala perilaku seksual yang sudah ada

karena berbagai alasan. Pertama, skala yang tersedia memuat rincian detail

jumlah perilaku seksual yang telah dilakukan selama 2 minggu terakhir

dengan aitem pertanyaan yang sukar dipahami seperti pada Sexual Risk

Survey (Turchick, 2007), yakni aitem no. 23 “berhubungan seksual dengan

pasangan yang tidak dipercaya” dan aitem no. 24 “berhubungan seksual

(38)

Selanjutnya, pada skala Adolescent Sexual Activity Index dilakukan

pengukuran perilaku seksual berisiko, yakni berganti-ganti pasangan

(Hansen, Paskett, & Carter, 1999).

B. CITRA TUBUH

1. Pengertian Citra Tubuh

Jersild (1965) menyatakan bahwa citra tubuh merupakan suatu

evaluasi dan penilaian seseorang terhadap tubuhnya. Grogan (2008)

mengartikan citra tubuh sebagai persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang

mengenai tubuhnya. Slade (1988) mendefinisikan citra tubuh sebagai

gambaran yang kita miliki dalam pikiran kita tentang ukuran, sketsa, dan

bentuk tubuh kita dan perasaan yang kita miliki tentang karakteristik dan

bagian yang menyusun tubuh kita. Citra tubuh juga merupakan gambaran

mental yang tertuju kepada perasaan yang kita alami tentang tubuh dan

bentuk tubuh kita yang berupa penilaian positif dan negatif (Schludt &

Johnson, 1990). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Duffy dan

Atwater (2005) yang menyatakan bahwa citra tubuh adalah gambaran

mental mengenai tubuh seseorang, bagaimana perasaan seseorang tentang

tubuhnya, bagaimana kepuasan dan ketidakpuasan seseorang terhadap

tubuhnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, citra tubuh adalah evaluasi atau

(39)

mengenai ukuran, sketsa, bentuk, karakteristik, dan bagian tubuh baik

positif maupun negatif yang menunjukkan kepuasan atau ketidakpuasan.

2. Elemen Citra Tubuh

Menurut Cash dan Smolak (2011), citra tubuh merupakan konstruk

multidimensional yang terdiri dari 3 elemen, yaitu:

a. Elemen kognitif

Elemen kognitif terdiri atas keyakinan, pikiran, interpretasi, dan atribusi

seseorang terhadap penampilan mereka berkaitan dengan figur tubuh

ideal menurut standar budaya yang mereka inginkan.

b. Elemen afektif

Elemen afektif merupakan emosi seseorang terkait penampilannya,

yang mencakup stres, kecemasan, ketidaknyamanan, atau emosi lain

yang terkait dengan penampilan. Emosi tersebut biasanya kontekstual

atau situasional dan disadari sepenuhnya oleh seseorang.

c. Elemen perilaku

Elemen perilaku berkaitan dengan manifestasi fungsi citra tubuh yang

diwujudkan dalam usaha seseorang untuk menghindari situasi

mencemaskan mengenai kondisi tubuh atau penampilannya.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga elemen citra tubuh, yaitu

(40)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Tubuh

Beberapa faktor yang mempengaruhi citra tubuh antara lain:

a. Keluarga

Remaja, terutama remaja perempuan merasa bahwa ibu mereka

mendorong mereka melakukan strategi untuk mengubah tubuh mereka

semakin dekat dengan ideal sosial (Ricciardelli & McCabe, 2001).

Orang tua adalah model penting dalam proses sosialisasi dalam

mempengaruhi citra tubuh anak-anaknya melalui pemodelan, umpan

balik, dan instruksi (Cooke, 2002).

b. Jenis kelamin

Beberapa penelitian membuktikan bahwa perempuan memandang

tubuhnya lebih negatif dibandingkan laki-laki (Groesz, Levine, Murnen,

2001; Graber, Petersen, & Brooks-Gunn, 1996). Perempuan lebih suka

mengevaluasi tubuh mereka dalam hal berat badan dibandingkan

laki-laki (Drewnowski, Kennedy, Kurth, & Krahn, 1995).

c. Usia

Pada tahap perkembangan remaja, citra tubuh menjadi perhatian

penting. Hal ini berdampak pada usaha remaja untuk mengontrol berat

badan secara berlebihan yang umum terjadi pada remaja perempuan.

Ketidakpuasan remaja perempuan dan remaja laki-laki pada tubuhnya

meningkat pada awal hingga pertengahan usia remaja (Papalia & Olds,

(41)

d. Budaya

Altabe (1996) mengatakan bahwa untuk melakukan pengukuran

terhadap citra tubuh, sangat penting untuk memperhatikan latar

belakang budaya seseorang. Hal ini disebabkan keberagaman individu

juga ditentukan oleh latar belakang budayanya (Thompson, 1996).

Individu dianggap menarik jika tubuh mereka sesuai dengan budaya

yang ada (Striegel-Moore & Marcus dalam Thompson, 1996).

e. Media massa

Media massa memberikan gambaran ideal mengenai figur perempuan

dan laki-laki yang dapat mempengaruhi citra tubuh seseorang

(Tiggemann, 2003; Cash & Pruzinksy, 1990). Penelitian menyatakan

bahwa kehadiran model iklan dapat menurunkan citra tubuh seseorang

(Birkeland, dkk, 2005). Penelitian lain menambahkan bahwa

perbandingan tubuh pada perempuan dengan gambaran tubuh yang

diberikan media erat kaitannya dengan ketidakpuasan terhadap

tubuhnya sendiri (Berg, dkk, 2007).

f. Konsep diri

Menurut Hurlock (1999), konsep diri merupakan persepsi mengenai diri

sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis yang

diperoleh seseorang melalui pengalaman dalam interaksinya dengan

orang lain. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan memiliki

(42)

memiliki konsep diri negatif juga akan memandang tubuhnya dengan

negatif atau memiliki citra tubuh negatif.

Berdasarkan pemaparan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi

citra tubuh antara lain keluarga, jenis kelamin, usia, budaya, media massa,

dan konsep diri.

4. Pengukuran Citra Tubuh

Citra tubuh adalah sebuah konsep multidimensional yang mencakup

elemen kognitif, afektif, dan perilaku. Sangat sedikit pengukuran yang

berfokus pada elemen kognitif, sebagian besar skala mengukur elemen ini

bersama dengan elemen perilaku (Abbott, 2012). Biasanya masing-masing

peneliti akan memilih alat ukur yang menghasilkan skor reliabel dan valid

sesuai dengan elemen yang menjadi fokus dalam penelitian mereka. Fokus

dalam penelitian ini adalah pada elemen afektif. Hal ini disebabkan elemen

yang lain, yakni elemen kognitif dan perilaku kurang sesuai dengan tujuan

penelitian ini, yakni untuk menguji ada atau tidaknya hubungan citra tubuh

dengan perilaku seksual. Elemen kognitif mengukur makna, penting

tidaknya, dan pengaruh penampilan pada partisipan yang cenderung

menilai citra tubuh secara negatif karena berkaitan dengan manifestasi

fungsi citra tubuh yang diwujudkan dalam usaha seseorang untuk

menghindari situasi mencemaskan mengenai kondisi tubuh atau

penampilannya (Cash & Smolak, 2011). Selain itu, menurut Abbott (2012)

(43)

atau cara bentuk tubuh tertentu didapatkan. Sedangkan, yang ingin diukur

oleh penelitian ini adalah citra tubuh saat ini secara afektif, baik positif

maupun negatif tanpa menilai makna dan penting ataupun tidaknya bagian

atau fungsi tubuh tertentu, maupun cara merawat tubuh atau mendapatkan

bentuk tubuh tertentu. Instrumen yang menyelidiki elemen afektif

mengukur perasaan partisipan terhadap tubuh serta kepuasan atau

ketidakpuasan terhadap tubuh atau bagian tubuh mereka (Abbott, 2012).

Peneliti memilih skala Body Cathexis (Secord & Jourard, 1953) yang

mengevaluasi nilai dan tingkat perasaan puas atau tidak puas dengan

bagian atau proses yang bermacam-macam dari tubuh dan fungsinya,

seperti rambut, corak kulit wajah, selera, tangan, persebaran rambut di

tubuh, hidung, jari, kebersihan, pergelangan tangan, pernapasan, pinggang,

tingkat energi, punggung, telinga, dagu, olahraga, pergelangan kaki, leher,

bentuk kepala, bentuk tubuh, raut muka, tinggi badan, usia, lebar bahu,

lengan, dada, mata, pencernaan, pinggul, tekstur kulit, bibir, tungkai, gigi,

dahi, kaki, tidur, suara, kesehatan, aktivitas seksual, tumit, postur, wajah,

berat badan, jenis kelamin, tampilan kepala dari belakang, dan batang

tubuh. Kelebihan skala Body-Cathexis adalah tidak hanya mengukur

bagian-bagian tubuh, namun juga fungsi-fungsi tubuh (misal, pencernaan,

(44)

C. REMAJA AKHIR 1. Pengertian Remaja

Santrock (2002) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan

transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis,

kognitif, dan sosio-emosional. Secara umum, remaja menghadapi beberapa

komponen transformasi dalam perkembangan mereka menjadi dewasa.

Komponen transformasi tersebut mencakup: (a) biologis, atau perubahan

fisiologis yang terjadi karena pubertas; (b) perubahan psikologis atau

transformasi dalam hubungan orang tua-anak, persahabatan, dan hubungan

lawan jenis serta perkembangan identitas; dan (c) perubahan sosial yang

merefleksikan syarat yang dinilai secara sosial sebagai bagian dari

perubahan pada status sosial, yakni perubahan dari anak-anak menjadi

dewasa (Grotevant, 1998). Neidhart (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2012)

melihat masa remaja sebagai masa peralihan ditinjau dari kedudukan

ketergantungannya dalam keluarga menuju ke kehidupan dengan

kedudukan mandiri.

Dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi anak menjadi

dewasa yang mencakup transformasi biologis, kognitif, psikologis, dan

sosial menuju kemandirian.

2. Batasan Usia Remaja

Hurlock (dalam Mappiare, 1982) menyatakan remaja berada pada

(45)

tahapan, yaitu masa remaja awal dengan usia 12 tahun sampai 17 tahun

dan masa remaja akhir dengan usia 17 tahun sampai 21 tahun. Santrock

(2007) memiliki pendapat yang berbeda, meskipun situasi budaya dan

sejarah membatasi kemampuan untuk menentukan rentang usia remaja,

tetapi masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir

antara 18 sampai 22 tahun. Sementara itu, Sarwono (2012)

mengungkapkan batasan usia remaja, yaitu antara 11-24 tahun dan belum

menikah untuk remaja Indonesia. Batas usia 24 tahun disebabkan oleh

karena remaja masih menggantungkan diri kepada orang tua dan belum

mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa secara adat/tradisi.

Lebih lanjut, Sarwono (2012) membagi masa remaja menjadi tiga fase,

yaitu masa remaja awal 11-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18

tahun, dan masa remaja akhir 18-24 tahun.

Dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja berbeda-beda sesuai

situasi budaya dan sejarah mulai dari usia antara 10-12 tahun dan berakhir

di usia 21-24 tahun dan masa remaja akhir di Indonesia berusia 18 hingga

24 tahun.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dan Neugarten

(1962) adalah:

a. Mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa dengan pasangan sebaya.

(46)

c. Menerima bentuk badan dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lain.

e. Mencapai jaminan ekonomi.

f. Menyeleksi dan menyiapkan untuk pekerjaan.

g. Menyiapkan pernikahan dan berkeluarga.

h. Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep penting sebagai

warga negara.

i. Mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

j. Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis.

Berdasarkan tugas perkembangan remaja tersebut, beberapa tugas

perkembangan yang berkaitan dengan citra tubuh dan perilaku seksual

adalah:

a. Mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa dengan pasangan sebaya.

b. Menerima bentuk badan dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

c. Menyiapkan pernikahan dan berkeluarga.

d. Mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

e. Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis.

D. DINAMIKA HUBUNGAN CITRA TUBUH DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA AKHIR

Pada masa remaja, terjadi transformasi yang pesat dalam hal perubahan

fisik. Perubahan fisik yang terjadi antara lain adalah tinggi badan, berat

(47)

seksual. Perubahan fisik yang terjadi merupakan gejala primer dalam

pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan psikologis muncul antara lain

sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik (Sarwono, 2012). Ricciardelli

dan McCabe (2001) menyatakan bahwa salah satu aspek psikologis dari

pubertas yang pasti muncul pada remaja adalah praokupasi atau perhatian

terhadap tubuhnya.

Remaja sadar bahwa fisik dan pribadi yang menarik akan

mendatangkan perhatian dari orang lain dan mempengaruhi reaksi mereka

terhadapnya (Hurlock, 1973). O’Connell dan Martin (2012) menambahkan

bahwa citra tubuh merupakan hal yang sungguh-sungguh diperhatikan oleh

kaum remaja. Cash dan Pruzinsky (1990) mendefinisikan citra tubuh sebagai

gambaran mental yang tertuju kepada perasaan yang dialami seseorang

tentang tubuh dan bentuk tubuh serta sikap yang dimilikinya yang berupa

penilaian positif dan penilaian negatif. Thress (1996) menegaskan bahwa

gambaran mental seseorang pada diri sendiri akan mempengaruhi pemikiran,

perasaan, keinginan, nilai, maupun perilakunya.

Cash dan Pruzinsky (1990) menyatakan bahwa citra tubuh positif akan

meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri dalam relasi interpersonal.

Secara khusus, Yamamiya, dkk (2006) menjelaskan bahwa perasaan positif

mengenai tubuh seseorang sering diasosiasikan dengan kepercayaan diri yang

lebih akan seksualitas.

Perempuan maupun laki-laki dengan citra tubuh positif memiliki rasa

(48)

yang lebih aman, serta lebih terbuka dalam menyatakan diri secara seksual.

Sebaliknya, seseorang yang memiliki citra tubuh negatif merasa cemas,

menarik diri, merasa malu dan tidak nyaman, takut akan evaluasi negatif,

serta kesulitan menyampaikan kebutuhan seksual.

Berkaitan dengan remaja akhir yang sedang bereksplorasi untuk

memenuhi rasa ingin tahu akan hal-hal baru seputar seksualitas, citra tubuh

menjadi hal mendasar yang cukup signifikan menentukan tingkat perilaku

seksual remaja. Adapun, Fisgher dan Hall (dalam Sari, 2009) menegaskan

bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

remaja, artinya remaja akhir cenderung lebih permisif dibandingkan dengan

remaja awal dalam perilaku seksual. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa citra tubuh berhubungan positif dengan perilaku

seksual pada remaja akhir.

E. HIPOTESIS

Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah ada hubungan

positif antara citra tubuh dengan perilaku seksual pada remaja akhir. Semakin

tinggi citra tubuh, maka akan semakin tinggi tingkat perilaku seksual pada

remaja akhir. Sebaliknya, semakin rendah citra tubuh, maka akan semakin

(49)

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu serta didasarkan pada ciri keilmuan, yaitu rasional,

empiris, dan sistematis. Penelitian dikatakan rasional apabila penelitian tersebut

dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran

manusia. Penelitian disebut empiris apabila cara yang digunakan dapat diamati

dengan indera manusia. Penelitian dinilai sistematis apabila proses penelitian

menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (Arikunto, 2006).

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara atau sudut

pandang. Menurut pendekatan analisisnya, penelitian dapat terbagi atas dua

macam, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dengan

pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerik/angka

yang diolah dengan metode statistika. Sedangkan, penelitian dengan

pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan

deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar

fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Arikunto, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada dasarnya,

penelitian kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial dengan pengajuan

(50)

kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif dapat

diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar

variabel yang akan diteliti (Arikunto, 2006).

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang melibatkan

penghitungan antara dua variabel yang relevan dan mengukur antara

hubungan dari kedua variabel tersebut (Stangor, 2007), yakni citra tubuh dan

perilaku seksual. Tujuan penelitian korelasional adalah mendeteksi sejauh

mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada

satu faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2011). Dua

variabel diteliti untuk melihat hubungan yang terjadi di antara mereka tanpa

mencoba untuk merubah atau mengadakan perlakuan terhadap

variabel-variabel tersebut (Kountour, 2003). Adanya hubungan antara dua variabel-variabel,

tidak berarti ada pengaruh atau hubungan sebab akibat dari suatu variabel

terhadap variabel lainnya (Sukmadinata, 2011).

B. IDENTIFIKASI VARIABEL

1. Variabel independen : citra tubuh

2. Variabel dependen : perilaku seksual

C. DEFINISI OPERASIONAL 1. Citra Tubuh

Citra tubuh adalah evaluasi atau penilaian terhadap tubuh

(51)

bentuk, karakteristik, dan bagian tubuh baik positif maupun negatif yang

menunjukkan kepuasan atau ketidakpuasan.

Citra tubuh akan diungkap dengan menggunakan adaptasi dari skala

Body-Cathexis yang dibuat oleh Secord dan Jourard (1953) yang

mengukur tingkat perasaan puas atau tidak puas dengan bagian atau proses

yang bermacam-macam dari tubuh, yakni: bentuk kepala, tampilan

wajah/kepala dari samping, tampilan kepala dari belakang, warna rambut,

bentuk rambut, wajah, dahi, kebersihan kulit wajah, warna kulit wajah,

alis, mata, telinga, hidung, bibir, warna gigi, tata letak gigi, bentuk rahang,

dagu, leher, lebar bahu, lengan, ketiak, tangan, bulu di tangan, pergelangan

tangan, jari jemari, kuku jari tangan, perut, punggung, pinggang, pinggul,

pantat, bulu alat kelamin, paha dan betis, lutut, pergelangan kaki, kaki,

kuku jari kaki, nafsu makan, sebaran rambut/bulu pada tubuh, pembuangan

(feses/urin), pernapasan, tingkat energi, olahraga, bentuk tubuh, tinggi

badan, usia, pencernaan, tekstur kulit, tidur, suara, kesehatan, aktivitas

seks, postur tubuh, berat badan, jenis kelamin, dada/payudara, dan

penis/vagina. Alat ukur ini dipilih karena tidak hanya mengukur

bagian-bagian tubuh, namun juga fungsi-fungsi yang terkait dengan tubuh.

Hasil skala citra tubuh tersebut akan menunjukkan tingkat citra

tubuh subjek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek, semakin

tinggi pula tingkat citra tubuh subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor

total yang diperoleh subjek, artinya tingkat kematangan subjek juga

(52)

2. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku seksual yang merupakan

manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara

langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku

seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berlandaskan

pengetahuan seksual.

Perilaku seksual akan diungkap dengan menggunakan skala yang

dibuat sendiri oleh peneliti. Skala ini terdiri dari 8 pernyataan mengenai

perilaku seksual yang dilakukan remaja akhir bersama pacar selama 1

bulan terakhir yang dibuat berdasarkan tahapan perilaku seksual yang telah

disimpulkan dari beberapa teori, yakni:

a. Berpegangan tangan

b. Berpelukan

c. Berciuman di pipi/kening

d. Berciuman di bibir/leher

e. Digerayangi/menggerayangi tubuh dalam keadaan masih berpakaian

f. Diraba/meraba tubuh dalam keadaan tidak berpakaian

g. Ditempel/menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh

h. Berhubungan seksual seperti suami isteri

Hasil skala perilaku seksual tersebut akan mengungkapkan tingkat

perilaku seksual subjek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek,

(53)

skor total yang diperoleh subjek, artinya perilaku seksual subjek juga

semakin rendah.

D. SUBJEK PENELITIAN

Menurut Arikunto (2006), teknik sampling digunakan dengan tujuan

untuk menggeneralisasi hasil penelitian. Sampel yaitu bagian populasi yang

mewakili untuk menjadi subjek penelitian. Agar sampel yang diambil dapat

merepresentasikan populasi, maka pengambilan sampel harus berdasarkan

ciri, sifat, atau karakteristik yang sama dengan populasi.

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri

dan sifat tertentu yang dianggap memiliki persamaan ciri atau sifat populasi

yang sudah ditentukan sebelumnya (Hadi, 2004). Alasan pemilihan metode

sampling tersebut adalah efektivitas dan efisiensi waktu serta tenaga yang

dimiliki peneliti. Kriteria subjek penelitian ini adalah remaja akhir laki-laki

dan perempuan berusia 18 hingga 24 tahun yang berpacaran. Peneliti

mengambil kriteria subjek tersebut karena sesuai dengan tujuan penelitian dan

batasan usia remaja akhir menurut Sarwono (2012).

Pada mulanya, peneliti menyebarkan tautan/link survei secara online

dalam lingkup kecil, yaitu kepada teman-teman peneliti yang sesuai dengan

kriteria subjek penelitian. Selanjutnya, peneliti meminta teman-teman peneliti

(54)

teman-teman lainnya yang sesuai kriteria, begitu seterusnya hingga mencapai jumlah

yang mencukupi untuk dilakukan analisis data.

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala

berisi pernyataan yang berkaitan dengan citra tubuh dan perilaku seksual.

Skala adalah perangkat pertanyaan atau pernyataan yang disusun untuk

mengungkap atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan atau

pernyataan tersebut (Azwar, 2012).

2. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan 2 skala untuk mengumpulkan data, yaitu:

a. Skala Citra Tubuh

Peneliti menggunakan adaptasi Skala Body-Cathexis yang disusun

oleh Secord dan Jourard (1953) untuk mengukur tingkat perasaan puas

atau tidak puas dengan bagian atau proses yang bermacam-macam dari

tubuh seseorang. Skala ini terdiri atas 58 pernyataan yang

menggambaran bermacam-macam bagian dan proses tubuh. Berikut ini

blueprint Skala Citra Tubuh sebelum uji coba:

Tabel 1. Blueprint Skala Citra Tubuh (sebelum uji coba)

Bagian dan Proses Tubuh Nomor

Aitem

Jumlah Aitem

Bentuk kepala 1 1

(55)

Tampilan kepala dari belakang 3 1

Sebaran rambut/bulu pada tubuh 40 1 Pembuangan (feses/urin) 41 1

Pernapasan 42 1

Tingkat energy 43 1

Olahraga 44 1

Bentuk tubuh 45 1

(56)

Usia 47 1

Jumlah aitem total 58

Skala ini berupa rentang jawaban dari 1 sampai 5. Berikut ini

penilaian untuk masing-masing respon jawaban:

Tabel 2. Respon Jawaban dan Nilai Skala Citra Tubuh

No. Respon Jawaban Nilai

1. Sangat tidak puas, berharap bisa mengubahnya 1 2. Tidak suka, tapi tidak masalah 2

3. Netral 3

4. Puas 4

5. Sangat puas, merasa beruntung dengan hal itu 5

Skala Citra Tubuh menggunakan skala Likert karena subjek

menanggapi setiap butir pernyataan dengan mengungkapkan tingkat

kesetujuan atau ketidaksetujuan atas pernyataan tersebut terhadap

dirinya. Skor-skor untuk butir-butir dalam skala dijumlahkan untuk

mendapatkan skor setiap orang individu (Kerlinger, 2000).

b. Skala Perilaku Seksual

Skala perilaku seksual berisi 8 pernyataan tentang perilaku

seksual remaja akhir yang dilakukan bersama pacar selama 1 bulan

(57)

yang telah disimpulkan dari beberapa teori. Berikut ini blueprint skala

perilaku seksual sebelum uji coba:

Tabel 3. Blueprint Skala Perilaku Seksual (sebelum uji coba)

Bentuk Perilaku Seksual Nomor

Aitem

Diraba/meraba tubuh dalam keadaan tidak berpakaian

6 1

Ditempel/menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh

7 1

Berhubungan seksual seperti suami isteri 8 1

Jumlah aitem total 8

Dalam skala ini, subjek diminta untuk memberikan respon

jawaban yang terdiri dari dua pilihan yang harus dijawab secara biner

atau dikotomis, yaitu antara “Ya” atau “Tidak”. Jawaban “Ya”

diberikan jika subjek melakukan perilaku seksual tersebut bersama

pacar selama 1 bulan terakhir. Sedangkan jawaban “Tidak” diberikan

apabila subjek tidak melakukan perilaku seksual tersebut bersama pacar

selama 1 bulan terakhir. Penilaian untuk jawaban “Ya” adalah 1 dan

penilaian untuk jawaban “Tidak” adalah 0.

Skala perilaku seksual ini menggunakan skala Guttman karena

tujuan peneliti sama dengan tujuan dasar dari skala Guttman, yaitu

untuk menemukan dimensi tunggal yang dapat dipakai untuk

menemukan posisi, baik pernyataan maupun para subjek penjawabnya

(58)

subjek pada dimensi yang ditemukan dapat digunakan untuk

menentukan skor mereka. Melalui skala ini, peneliti ingin melihat

seberapa jauh keterlibatan subjek dalam perilaku seksual. Oleh karena

itu, berdasarkan prinsip dari skala Guttman, peneliti membuat

butir-butir pernyataan yang menunjukkan tingkatan secara bertahap dan

semakin menunjukkan sikap positif terhadap perilaku seksual, mulai

dari berpegangan tangan, hingga tahap berhubungan seksual seperti

suami isteri.

F. VALIDITAS, RELIABILITAS, DAN ANALISIS AITEM 1. Validitas

Suatu alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila

dapat menjalankan fungsi ukurnya atau dengan kata lain dapat

memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan

pengukurannya (Azwar, 2012).

Skala citra tubuh menggunakan validitas konkuren, yakni validitas

yang mengacu pada alat ukur yang perangkat alat ukurnya sudah ada dan

telah valid untuk melihat sejauhmana kesesuaian antara hasil ukur skala

tersebut dengan hasil ukur instrumen lain yang sudah teruji kualitasnya

(Azwar, 2009). Selain itu, validitas yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah validitas isi (content validity) untuk skala citra tubuh maupun

skala perilaku seksual. Validitas isi merupakan validitas yang didapat

(59)

aitem-aitem dalam alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi yang

hendak diukur oleh alat ukur tersebut (Azwar, 2012). Selanjutnya, skala

citra tubuh dan perilaku seksual yang telah diujicoba akan dilihat daya

diskriminasi butir aitem untuk membedakan kelompok yang mempunyai

dengan kelompok yang tidak mempunyai atribut yang diukur (Azwar,

2012). Daya diskriminasi ini diperoleh dengan cara mengkorelasikan tiap

butir aitem dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product

Moment. Perhitungannya dengan menggunakan software SPSS for

windows versi 19.0.

2. Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada sejauh mana hasil dari suatu

pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2012). Koefisien reliabilitas (rix)

berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Reliabilitas semakin tinggi jika koefisien

reliabilitas semakin mendekati angka 1,00. Sebaliknya reliabilitas semakin

rendah jika koefisien reliabilitas semakin mendekati angka 0,00 (Azwar,

2012). Reliabilitas skala tinggi jika koefisien berada pada angka 0,70

hingga 0,90. Sedangkan reliabilitas skala rendah jika koefisien kurang dari

0,50 (Rainsch, 2004).

Penelitian ini menggunakan uji reliabilitas menggunakan teknik

koefisien alpha (α) Cronbach. Teknik ini dipilih karena hanya satu kali

(60)

efisiensi yang tinggi (Azwar, 2012). Perhitungannya dilakukan dengan

menggunakan software SPSS for windows versi 19.0.

3. Analisis Aitem

Analisis aitem dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor aitem

dengan skor total yang akan menghasilkan indeks daya diskriminasi aitem

atau indeks konsistensi aitem total. Daya diskriminasi aitem menunjukkan

sejauhmana aitem mampu membedakan kelompok yang memiliki atau

tidak memiliki atribut yang akan diukur. Indeks daya diskriminasi aitem

menginformasikan tentang konsistensi antara hal yang hendak diukur oleh

aitem dengan hal hendak diukur oleh skala. Semakin tinggi korelasi positif

antar skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi pula konsistensi

aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan atau dengan kata lain

semakin tinggi daya bedanya. Sebaliknya, bila koefisiennya rendah, maka

fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala atau dengan

demikian daya bedanya tidak cukup baik. Penghitungan koefisien aitem

total dilakukan menggunakan SPSS versi 19.0.

G. ANALISIS DATA

Pada penelitian ini, data akan dianalisis dengan menggunakan teknik

korelasi Pearson Product Moment melalui bantuan program SPSS for

(61)

menyimpang dari tujuan penelitian, maka sebelum dilakukan uji hipotesis

terlebih dahulu dilakukan uji asumsi data penelitian.

1. Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan untuk melihat apakah data yang digunakan

telah memenuhi syarat untuk dilakukan uji korelasi. Uji asumsi terdiri atas

uji normalitas dan uji linearitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah distribusi atau

sebaran data pada variabel bebas dan variabel tergantung bersifat

normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

teknik Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS for windows versi

19.0. Normal atau tidaknya sebaran atau distribusi data dapat dilihat

dari nilai signifikansi atau nilai probabilitas lebih dari 0,05 (p > 0,05).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat pola hubungan antara

variabel bebas dan variabel tergantung merupakan garis linear atau

tidak. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test of Linearity

dalam program SPSS for windows versi 19.0. Kedua variabel dikatakan

berhubungan secara linear jika nilai signifikansi atau nilai probabilitas

(62)

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis menggunakan teknik korelasi product

moment dari Karl Pearson, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh

mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu

atau lebih variabel (Azwar, 2009). Uji hipotesis dilakukan dengan

Gambar

Gambar 1. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized
Tabel 1. Blueprint Skala Citra Tubuh (sebelum uji coba) Bagian dan Proses Tubuh Nomor Jumlah
Tabel 2. Respon Jawaban dan Nilai Skala Citra Tubuh Respon Jawaban Nilai
Tabel 3. Blueprint Skala Perilaku Seksual (sebelum uji coba) Bentuk Perilaku Seksual Nomor Jumlah
+7

Referensi

Dokumen terkait

7.1) Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, baik secara lisan maupun tulisan. 7.2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan

Bentuk blob timbul dalam cara yang berbeda bergantung pada ukuran dan dapat di deteksi dengan menggunakan metode sederhana dalam sebuah representasi gambar.. Ada beberapa

Seperti dalam pembahasan diatas diketahui nilai t hitung yang diperoleh dari pengolahan data adalah - 2,801 dengan tingkat siginifikansi sebesar 0,007 atau lebih kecil 0.05 maka

(PjH); mengkaji perbezaan tahap Kecerdasan Emosi (EQ) mengikut faktor demografi (jantina, umur, status perkahwinan, tahap pendidikan, jawatan, dan pendapatan bulanan); dan

Bapak Ibu Dosen yang telah membimbing dan membagi ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di jurusan pendidikan bahasa, sastra Indonesia dan

(2) Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis,

Dalam penelitian ini model pengembangan dari sepuluh langkah penelitian pengembangan dari Borg and Gall (1983:775), peneliti tidak menggunakan keseluruhan tetapi hanya

(1) Perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b merupakan acuan dan dasar bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan