• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pergeseran makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN MAKNA DAN FUNGSI KERIS

BAGI MASYARAKAT JAWA

Tugas Akhir

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Murni Astuti (084114002)

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATAN DHARMA

(2)

ii

Tugas Akhir

PERGESESARAN MAKNA DAN FUNGSI KERIS

BAGI MASYARAKAT JAWA

Oleh Murni Astuti NIM: 084114002

Telah disetujui oleh

tanggal 11 Februari 2013

(3)

iii

Tugas Akhir

PERGESERAN MAKNA DAN FUNGSI KERIS

BAGI MASYARAKAT JAWA

Dipersiapkan dan ditulis oleh Murni Astuti

NIM: 084114002

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada 28 Februari 2013

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap

Ketua Drs. Hery Antono M.Hum.

Sekretaris Susilawati Endah Peni Adji S.S., M.Hum. Anggota Dra. Fransisca Tjandrasih Adji M.Hum.

Drs. Hery Antono M.Hum. Dr. Yoseph Yapi Taum M.Hum.

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Maret 2013 Penulis

(5)

v

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah

untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Murni Astuti

NIM : 084114002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Pergeseran Makna dan Fungsi Keris Bagi Masyarakat Jawa Saat Ini beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 7 Maret 2013 Yang menyatakan,

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah dengan judul Pergeseran Makna dan Fungsi Keris Bagi Masyarakat Jawa dapat terselesaikan. Penulisan Karya Ilmiah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sastra.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa baik dalam pengungkapan, penyajian dan pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Keterbatasan dan kekeliruan dalam karya ilmiah ini merupakan tanggung jawab penulis bukan pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan karya ilmiah ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dra. Fransisca Tjandrasih Adji M.Hum., selaku pembimbing pertama,

2. Drs. Hery Antono M.Hum., selaku pembimbing kedua,

3. Dosen Prodi Sastra Indonesia USD: Dr. Yoseph Yapi Taum M.Hum., Dr. Paulus Ari Subagyo M.Hum., Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus M.Hum., Susilawati Endah Peni Adji S.S., M.Hum.,

(7)

vii

5. Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas buku-buku sebagai sumber pustaka,

6. Narasumber yang telah banyak memberikan informasi hingga terselesaikannya tulisan ini,

7. Lutse Lamber Daniel Morin, S.Sn.,M.Sn., suamiku dan Sokya Karmakayana Vasarely Lutse Morin anakku yang telah memberikan motifasi dan semangat.

8. Alm. Boniman Mathodiharjo dan Asriyah sebagai orang tua yang telah memberikan kasih sayang sejak kecil hingga sekarang,

9. Teman-teman Prodi Sastra Indonesia USD angkatan 2008.

Yogyakarta, 7 Maret 2013

(8)

viii

ABSTRAK

Astuti, Murni. 2013. “Pergeseran Makna dan Fungsi Keris bagi Masyarakat Jawa Saat Ini”. Skripsi Strata I (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini mengenai pergeseran makna dan fungsi keris bagi pecinta keris. Keris diungkap bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga makna dan fungsi keris bagi pemiliknya.

Keris sering dimaknai sebagai benda pusaka yang memiliki nilai estetika yang tinggi, hasil olah spiritual empu pembuatnya, memiliki aura mitis, dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Banyak pecinta keris beralasan mengkoleksi keris karena keris merupakan benda seni yang memiliki keindahan. Akan tetapi, pada kenyataaannya mereka masih mempercayai tuah atau daya magis sebuah keris. Hal ini terbukti dengan adanya penghargaan yang lebih terhadap keris yang telah berusia tua dan penghitungan-penghitungan yang dilakukan ketika seseorang akan membuat atau membeli keris untuk dikoleksi.

Tujuan penelitian ini untuk mendiskripsikan keris dalam budaya Jawa, pergeseran makna keris saat ini, dan pergeseran fungsi keris bagi pecinta keris saat ini. Pendiskripsian ini diharapkan nantinya dapat menjadi sebuah catatan tentang budaya keris.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi. Data-data etnografi diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka.Wawancara dilakukan penulis berdasarkan informasi beberapa kolektor keris yang ada di Yogyakarta. Penentuan informan berdasarkan pada jenis profesi yaitu kalangan praktisi pendidikan, kalangan seni, kalangan masayarakat biasa dan kalangan yang berkecimpung dalam dunia pembuatan keris.

(9)

ix

ABSTRACT

Astuti, Murni. 2013. “the change of meanings and functions for the Javanese keris”. Study Strata I (S-1). Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.

This Study is about the change of meaning and function of keris. Keris is being unfolded not just from it's physical side, but also from it's meaning and function by it's owner.

Keris often meant as heirlooms with high aesthetic value, the result of the master craftsman's spiritual manner, believed to have a mythic aura, and have high economic value. Many of the keris lovers stated that they collect it for keris is an art objects with beauty, but in reality, they still believe in charm and magical power of keris. It is proven by the extra appreciation towards old keris and by calculations done when someone is trying to make or buy a keris for collection.

The purpose of this research is to describe keris in Javanese culture, to describe the etymology of keris by keris lovers or keris collector in modern days, and to describe the shifting of functions by keris lovers or keris collector in this time and age. This description is expected to be a note or record about the culture of keris.

The methods used in this research is the ethnographic method. Ethnographic data obtained through observation, interviews, and literature study. Author interviews based on samples of several keris collectors in Yogyakarta based on his profession, namely education practitioners, art societies, among ordinary people, and among the keris makers society.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

(11)

xi

2.4.2 Berdasarkan Bentuk dan Kelengkapan Bagian-Bagiannya... 25

2.5 Tuah dan Daya Magis ... 26

BAB III PERGESERAN MAKNA KERIS ... 28

3.1 Makna Keris Zaman Dahulu ... 28

3.1.1 Berdasarkan Cara Pembuatan Keris ... 28

3.1.2 Berdasarkan Macam-Macam Keris ... 33

3.1.3 Berdasarkan Perawatannya ... 34

3.2 Makna Keris Saat Ini ... 36

3.2.1 Berdasarkan Cara Pembuatan Keris ... 36

3.2.2 Berdasarkan Macam-Macam Keris ... 44

3.2.3 Berdasarkan Perawatannya ... 48

3.3 Pergeseran Makna Keris ... 50

BAB IV PERGESERAN FUNGSI KERIS ... 54

4.1 Fungsi Keris Zaman Dahulu ... 54

4.1.1 Keris Sebagai Senjata ... 54

4.1.2 Keris Sebagai Benda Pusaka ... 57

4.1.3 Keris Sebagai Kelengkapan dalam Upacara ... 57

4.1.4 Keris Sebagai Identitas Pribadi ... 58

4.1.5 Keris Sebagai Lambang Status Sosial ... 58

4.1.6 Keris Sebagai Kelengkapan Berbusana ... 59

4.1.6.1 Ogleng atau Angoglenganke Keris ... 59

4.1.6.2 Dederan atau Andoran... 60

4.1.6.3 Kewal atau Angewal Keris ... 61

4.2 Fungsi Keris Saat Ini ... 62

(12)

xii

4.2.3. Keris Sebagai Kelengkapan Berbusana ... 63

4.2.4. Keris Sebagai Benda Seni ... 64

4.2.5. Keris Sebagai Benda Koleksi ... 64

4.3 Pergeseran Fungsi Keris ... 66

BAB V PENUTUP ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bagian-Bagian Keris ... 18

Gambar 2 Sor-Soran dan Ricikan Keris ... 22

Gambar 3 Hulu atau Gagang Keris ... 26

Gambar 4 Warangka Ladrangan ... 24

Gambar 5 Warangka Gayaman ... 24

Gambar 6 Relief di Candi Prambanan di Yogyakarta ... 55

Gambar 7 Relief di Candi Borobudur di Jawa Tengah ... 56

Gambar 8 Relief di Candi Penataran di Blitar Jawa Tengah ... 56

Gambar 9 Ogleng ... 60

Gambar 10 Dederan ... 61

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Periodisasi Zaman Pembuatan Keris di Pulau Jawa ... 15

Tabel 2 Mantra Zaman Dulu ... 32

Tabel 3 Mantra Saat Ini ... 43

Tabel 4 Jenis-Jenis Pamor dan Tuah Keris ... 46

Tabel 5 Pergerseran Makna Keris ... 50

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu warisan budaya Jawa yang banyak dikenal orang adalah keris. Sejak tanggal 25 November 2005, UNESCO telah menetapkan “keris sebagai senjata tikam warisan dunia asli Indonesia” (Panji Nusantara, 2010:41). Keris merupakan sebuah senjata tikam khas Indonesia yang dipergunakan pada zaman dahulu. Penggunaan keris ini tersebar hampir di seluruh rumpun Melayu. Di Indonesia, keris biasa digunakan di daerah Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi.

Bagian-bagian pada keris di setiap daerah sama, yaitu ada bagian pegangan, hulu keris, pamor atau ukiran pada keris, bagian antara pangkal keris dengan pucuk keris, dan tempat keris atau biasa disebut warangka. Yang membedakan antara keris satu daerah dengan daerah yang lain adalah ukiran yang terdapat pada warangka maupun bentuk sarung keris itu sendiri. Tiap-tiap daerah memiliki bentuk dan corak warangka yang berbeda. Dengan melihat ukiran atau bentuk warangka, maka akan dapat diketahui dengan mudah dari mana keris itu berasal.

(16)

Keris dalam masyarakat Jawa bukan hanya sebuah senjata warisan nenek moyang, tetapi keris memiliki banyak makna. Di kalangan pecinta keris, keris juga dimaknai sebagai benda pusaka yang memiliki nilai estetika yang tinggi, hasil olah spiritual empu pembuatnya, memiliki aura mistis, dan memiliki nilai ekonomis tinggi.

Selain makna, keris juga memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi keris tersebut lebih didasarkan pada pemaknaan pamor-pamor yang terdapat pada keris. Misalnya keris berpamor udan mas, sering digunakan oleh pedagang sebagai jimat penglaris agar usahanya maju dan mendatangkan banyak keuntungan.

Zaman dahulu keris digunakan sebagai senjata. Tahap perkembangan berikutnya, keris dimaknai sebagai benda pusaka dan akhirnya menjadi benda seni. Banyak pecinta keris di Yogyakarta menuturkan alasan mereka mengkoleksi karena keris merupakan benda seni yang memiliki keindahan. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka masih mempercayai tuah atau daya magis keris. Hal ini terbukti dengan adanya penghargaan yang lebih terhadap keris yang berusia tua dan adanya penghitungan-penghitungan yang dilakukan ketika seseorang akan membuat atau membeli keris.

(17)

1.2 Rumusan Permasalahan

Dalam tulisan ini, ada dua hal yang ingin disampaikan yaitu: 1.2.1 Bagaimana pergeseran makna keris dalam budaya Jawa? 1.2.2 Bagaimana pergeseran fungsi keris dalam budaya Jawa?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tiga tujuan sebagai berikut: 1.3.1 Mendiskripsikan makna keris dalam budaya Jawa.

1.3.2 Mendeskripsikan pergeseran makna keris bagi masyarakat Jawa saat ini. 1.3.3 Mendiskripsikan pergeseran fungsi keris bagi masyarakat Jaw saat ini.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu budaya berupa pengetahuan tentang keris dalam budaya Jawa. Dengan membaca tulisan ini, pembaca akan lebih dapat mengetahui pergeseran makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa. Diharapkan pula tulisan ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi dalam pengembangan penelitian dalam bidang budaya.

1.5 Tinjauan Pustaka

(18)

Ki Hudoyo Doyodipuro, seorang sarjana psikologi yang juga menggeluti dunia supranatural, telah menerbitkan beberapa buku tentang keris. Salah satunya berjudul Keris Daya Magic-Manfaat-Tuah-Misteri yang diterbitkan tahun 1999.

Dalam bukunya ini dia menuliskan tentang budaya keris ditinjau dari bentuk fisik dengan berbagai alternatif dan karakter, maupun yang berhubungan dengan kepercayaan tentang kekuatan yang terdapat pada sebilah keris. Buku ini memiliki kelemahan dalam hal pemaknaan keris bagi pemiliknya. Buku ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana sebilah keris dihormati dan dihargai oleh pemiliknya. Bahasan bukunya lebih memaparkan tuah dan daya magis pada keris yang dipercaya sudah ada sejak zaman dahulu.

F.L. Winter, tahun 2009menulis buku yang berjudul Kitab Klasik Tentang Keris mengenai keris secara fisik. Buku ini menjelaskan apa itu keris dan bentuk-bentuk serta bagian-bagian dari sebuah keris. Kelemahan tulisan Winter adalah hanya berfokus pada keris secara fisik dan tidak mendiskripsikan cara dan ritual-ritual pembuatan keris. Winter hanya menuturkan bagaimana keris dibuat dari besi yang ditempa berulang-ulang dan dibentuk menjadi sebilah keris. Dalam bukunya tersebut Winter juga tidak menulis tentang makna-makna yang terdapat dalam keris.

(19)

dan fungsi keris pada zaman dulu. Kekurangan dalam tulisan ini adalah Moebirman tidak menuliskan tentang berkembangan budaya keris dalam masyarakat Jawa. Dia hanya berfokus pada keris zaman dahulu.

Dalam tulisan ini, penulis ingin memaknai keris bukan hanya dari segi fisik, tetapi ingin lebih memaknai keris dari segi makna kepemilikan dan fungsinya bagi pemiliknya. Penulis ingin memaparkan lebih jauh mengenai pergeseran yang terjadi dalam hal makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa saat ini. Studi ini juga akan dilengkapi dengan observasi dan wawancara terhadap beberapa pecinta keris sehingga akan diperoleh data tentang makna dan fungsi keris dalam masyarakat saat ini. Berdasarkan data tersebut penulis akan dapat melihat bagaimana perkembangan dan pergeseran makna dan fungsi keris dari zaman dahulu hingga saat ini.

1.6 Landasan Teori

Sebuah penelitian tidak lepas dari adanya teori-teori. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa pemikiran teoritis yang sudah ada dan diterapkan dalam ilmu etnografi. Pemikiraa teoritis yang digunakan berdasarkan pada pemikiran teoritis van Peursen mengenai tahapan perkembangan budaya.

C.A. van Peursen mengatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan kebudayaan yaitu tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsionil. Tahap mitis yaitu tahap dimana manusia mempercayai adanya kekuatan gaib, tahap ontologis adalah tahap dimana manusia mulai berpikir dan meneliti. Tahap fungsionil adalah tahap manusia mulai berpikir modern (Peursen, 1989:18).

(20)

dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Tahap ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut rincian (ilmu-ilmu). Tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek-objek penyelidikan (sikap ontologis). Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.

Pemikiran van Peursen ini akan digunakan penulis untuk melihat pergeseran makna dan fungsi keris mulai dari zaman dulu hingga sekarang. Penulis akan menelaah lebih jauh pegeseran-pergeseran tersebut mulai dari makna dan fungsi keris sebagai kelengkapan seorang laki-laki hingga makna dan fungsinya saat ini. Penulis akan meneliti apakan pemikiran C.A. van Peursen mengenai perkembangan kebudayaan juga berlaku pada kebudayaan keris saat ini. Landasan pemikiran lain yang digunakan untuk meneliti adalah pemikiran Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan.

Wujud kebudayaan itu ada tiga, yaitu: (1)Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2)wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (Koentjaraningrat, 1985:186-187)

(21)

Budaya keris akan dibedah dan dilihat lebih detail dari tiga wujud kebudayaan yaitu ide, kompleks aktifitas dan artefak sehingga diketahui bagaimana sebuah keris tercipta dan diterima di kalangan masyarakat.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.

“Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami(Spradley, 2007:5).” Metode etnografi ini terdiri dari beberapa teknik tetapi penulis hanya menggunakan tiga teknik saja yaitu observasi, wawancara dan studi pustaka. pemilihan ketiga teknik ini didasari pada pemikiran bahwa dengan menggunakan ketiga teknik ini saja, penulis sudah dapat mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti.

Berdasarkan hal tersebut, penulis akan melakukan penelitian terhadap kolektor-kolektor keris di Yogyakarta dengan segala koleksi dan apa yang dilakukannya dengan koleksinya tersebut. Penulis akan melihat dan memahami makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa agar nantinya ditemukan jawaban yang menjadi permasalahan. Dengan etnografi, penulis akan mendiskripsikan dan membangun sebuah pengertian yang sistematis mengenai pergeseran makna dan fungsi keris bagi masyarakat Jawa.

(22)

teknik ini saja karena hanya dengan ketiga teknik ini penulis sudah dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang diteliti.

1.7.1 Observasi

Observasi berarti meninjau secara cermat. Dalam etnografi, observasi diartikan sebagai sebuah kegiatan dimana peneliti langsung ke lapangan untuk meninjau dan melihat secara cermat suatu kebudayaan. Tujuan observasi adalah untuk memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 2007:3).

Observasi dipakai oleh penulis agar penulis dapat melihat dan mengamati sendiri serta mencatat perilaku dan kejadian yang dialami oleh informan. Hal ini memungkinkan peneliti mencatat situasi yang berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh langsung dari data.

(23)

1.7.2 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu cara mendapatkan informasi secara langsung. Wawancara mendalam dan dilakukan berulang-ulang karena tingkat keakuratan datanya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Wawancara etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal yang mereka ketahui. Wawancara etnografis adalah sebagai serangkaian percakapan persahabatan yang di dalamnya peneliti secara perlahan memasukkan beberapa unsur baru guna membantu informan memberikan jawaban sebagai seorang informan. (Spradley, 2007:85)

Wawancara dilakukan penulis dengan informan yaitu beberapa kolektor dan pembuat keris yang ada di Yogyakarta. Penentuan informan berdasarkan profesi yaitu dari kalangan praktisi pendidikan, kalangan seni, kalangan masayarakat biasa dan kalangan yang bergerak dalam pembuatan keris.

1.7.3 Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan sebuah metode pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku, majalah-majalah ilmiah, dan sumber-sumber tertulis lainnya. Penulis melakukan pembacaan-pembacaan terhadap naskah-naskah yang memuat berbagai hal yang berhubungan dengan keris dan buku-buku yang bersifat teoritis untuk mendapatkan informasi.

1.8 Sistematika Penyajian

(24)

masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab dua membahas budaya keris dalam budaya Jawa yang dibagi menjadi beberapa sub-bab. Dalam bab ini akan dijelaskan lebih jauh tentang sejarah keris berikut para empu pembuatnya, bagian-bagian keris, macam-macam keris, proses pembuatan keris dan tuah atau daya magis keris.

Bab tiga merupakan pandangan masyarakat Jawa terhadap keris. Disini penulis memaparkan data-data yang didapat dan menganalisnya untuk menemukan pokok permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah. Bab ini akan dibagi menjadi beberapa sub-bab yang akan menjelaskan makna keris zaman dahulu dan sekarang bagi masyarakat Jawa.

Bab empat berisi tentang fungsi keris bagi masyarakat Jawa. Bab ini akan menjelaskan fungsi keris bagi masyarakat Jawa zaman dahulu dan saat ini.

(25)

BAB II

KERIS DALAM BUDAYA JAWA

2.1 Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mempunyai banyak tradisi dan kepercayaan. Terminologi manunggaling kawulo lan Gusti menjadi semacam pengakuan iman akan keberadaan Tuhan pencipta alam semesta (Masroer, 2004:20).

Manunggaling Kawula Gusti dapat diartikan sebagai hakekat hidup dan kehidupan manusia sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup.

Manunggaling kawula Gusti tidak hanya bentuk penyatuan antara manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga digunakan untuk memahami hakikat alam dan manusianya. Darimana manusia berasal, untuk apa dan mau kemana nantinya setelah manusia mati atau sering disebut dengan ngelmu sangkan paraning dumadi. Kegiatan olah rasa kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir (lair) dan batin yang saling berhubungan. Dengan demikian,

manunggaling kawula Gusti tidak hanya dapat diartikan sebagai pola hubungan manusia dengan Tuhan namun juga hubungan manusia dengan sesamanya (Zoetmulder, 2000: 310)

(26)

Priyayi merupakan kaum bangsawan dan orang-orang intelektual. Golongan ini lebih menekankan pada kepercayaan Hindu. Kaum priyayi ini berperan penting dalam pembentukan peran perilaku sosial dalam masyarakat.

Kaum santri merupakan golongan masyarakat Jawa yang telah menganut agama Islam dan mulai meninggalkan hal-hal yang menjadi kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Jumlah kaum santri ini relatif kecil. Kaum santri berpandangan bahwa agama merupakan manifestasi hubungan interaksi antara manusia sebagai pribadi kepada Tuhannya dan sekaligus interaksi antara manusia dengan manusia.

Golongan abangan merupakan golongan penduduk Jawa yang rela memeluk Islam, namun masih larut dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus lama yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Golongan ini memandang hakikat agama sebagai urusan pribadi. Agama masyarakat abangan merupakan perpaduan unsur animisme, Hindu dan Islam (Geertz, 1983:6).

2.2 Sejarah Keris

(27)

Istilah keris sesungguhnya sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno.

“Lempengan perungu bertulis dari Karangtengah berangka tahun 748 tahun Saka, atau tahun 824 Masehi, menyebut-nyebut tentang beberapa peralatan, seperti lukai 1, punuka 1, wadung 1, patuk kres 1……..( Harsrinuksmo: 1988:19). ”Kres yang dimaksud disini adalah keris.

“Keris yang tertua di pulau Jawa, diduga sekitar abad 6 dan 7. Keris itu

biasa disebut keris Buddha (Harsrinuksmo: 1988:14).” Bentuk dari keris ini masih

sangat sederhana. Pada bilahnya hampir tidak berpamor atau bahkan tidak

berpamor sama sekali. Seandainya ada, maka pamor tersebut tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarnya tidak direncanakan oleh sang empu. Bahan besi yang dibuat menjadi keris Budha tergolong besi pilihan dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan keris yang dikenal

sekarang. Prof. P.A. van der Lith (1909) dalam ensiklopedi Hindia Belanda

(28)

Ma Huan nama musafir Cina tersebut menuliskan pengalamannya ketika mengunjungi kerajaan Majapahit dalam bukunya yang berjudul Yingyai Shen-lan

pada tahun 1416 M. Kedatangannya ke Majapahit bersama Laksamana Cheng Ho atas perintah kaisar Yen Tsung dari Dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan melihat bahwa semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak kanak-kanak, bahkan sejak umur tiga tahun. Pulak yang dimaksud oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok yaitu keris (Harsrinuksmo: 1988:20-21).

Dalam laporannya, Ma Huan menulis: “These daggers have very thin strips and whitish flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros

or ivory, cut into the shape of human or devil faces and finished carefully

(Harsrinuksmo: 1988:20-21).” Kutipan tersebut bila diterjemahkan sebagai berikut: belati ini memiliki strip sangat tipis dan bunga-bunga berwarna keputihan, dan terbuat dari baja yang terbaik; pegangan yang terbuat dari emas, cula badak atau gading, dipotong menjadi bentuk wajah manusia atau iblis dan diselesaikan dengan hati-hati.

(29)

Selain catatan-catatan tersebut, banyak cerita-cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat yang menceritakan tentang adanya seorang empu yang membuat keris pusaka bertuah. Cerita ini juga menjadi salah satu pembuktian adanya orang-orang yang membuat keris dan menjadikannya sebagai senjata pada zaman dulu.

Dari sekian banyak empu yang tercatat pada naskah-naskah kerajaan, rata-rata mereka hanya membuat tiga buah keris. Bahkan beberapa hanya membuat satu buah keris saja (Koesni, 1979:40-57).

Berikut ini dipaparkan periodisasi pembuatan keris di Pulau Jawa.

Nama Kerajaan Perkiraan Abad Empu yang Terkenal

Zaman Kabudan Abad 6-9 Tidak diketahui namanya

Syailendra Abad 8 Tidak diketahui namanya

Kahuripan Sekitar abad 11 Tidak diketahui namanya

Jenggala Pertengahan abad 11 Tidak diketahui namanya

Singasari Pertengahan abad 11 Gandring, dan lain-lain

Madura Tua Abad 12-14 Kasa, Macan, dan lain-lain

Pajajaran Abad 12-14 Kuwung Sombro, dan lain-lain

Segaluh Sekitar abad 13 Tidak diketahui namanya

Tuban Abad 12-18 Peneti, Suratman, dan lain-lain

Blambangan Abad 12-13 Pitrang dan lain-lain

Majapahit Abad 13-14 Jigja, Jaka Sura, dan lain-lain

Pengging Witaradya Abad 13 Tidak diketahui namanya

Demak Abad 14 Ki saleh

Pajang Abad 14 Ki Umyang

Mataram Senopaten Abad 14-15 Tidak jelas namanya

(30)

Mataram Amangkuratan Sekitar abad 17 Tidak jelas namanya

Kartasura Sekitar abad 18 Brajaguna I

Surakarta 1726-1945 Singawijaya, Jayakadga

Yogyakarta 1755-1945 Tarunagahana dan lain-lain

Republik Indonesia 1945-

Periodisasi Zaman Pembuatan Keris di Pulau Jawa Harsrinuksma, 1988:39

Moertjipto dan Prasetyo, 1993: 19

2.2 Proses Pembuatan Keris

Keris dibuat oleh seorang empu. Sebagai salah satu senjata yang biasa digunakan masyarakat Jawa, keris dibuat dari perpaduan beberapa jenis besi yang ditempa hingga membentuk bilah keris.

Pembuatan keris ini melalui beberapa tahapan. Pertama yaitu perenungan sang empu untuk menentukan jenis keris. Setelah menerima pesanan keris, empu akan merenung dan berdoa memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dalam pembuatan keris.

Kedua, menentukan orang yang akan membantu sang empu membuat keris. Setiap empu biasanya memiliki beberapa cantrik yang membantunya. Dari beberapa cantrik ini, dia akan memilih dua orang yang akan membantunya membuat keris.

(31)

dan meminta restu pada Tuhan agar proses penbuatan keris dapat berjalan lancar, tidak ada gangguan dan godaan.

Keempat, pelaksanaan pembuatan keris dengan cara menempa besi yang telah dipanaskan. Besi yang digunakan biasanya terdiri dari tiga macam jenis besi yaitu besi penawang, besi purosani dan besi balitung. Proses penempaan besi ini dilakukan berulang-ulang hingga membentuk lekukan-lekukan sesuai dengan bentuk keris yang diinginkan (Harsrinuksmo, 2004:35-40).

Kelima, penyepuhan bilah keris. Penyepuhan merupakan proses pembersihan besi yang telah ditempa dan menjadi sebilah keris. Sebelum menyepuh biasanya sang empu akan masuk ke dalam sebuah ruangan atau bilik untuk bersemadi. Ia berdoa memohon agar penyepuhan yang akan dilakukan berhasil (Harsrinuksmo, 2004: 41).

Tahap terakhir pembuatan keris adalah mewarangi keris yang sudah jadi dengan bisa ular dicampur jeruk nipis, atau bisa juga dengan minyak yang telah dibuat khusus untuk mewarangi. Penggunaan arsenik dalam mewarangi keris sudah jarang dilakukan lagi saat ini. Hal ini disebabkan karena cairan arsenik dengan kadar tinggi dapat menggerus besi keris sehingga keris akan menjadi cepat keropos. Arsenik digunakan hanya dengan kadar rendah dan dicampur dengan minyak (Eko, wawancara pribadi, 4 Mei 2012)

Jika keris yang dibuat adalah keris tayuhan, maka setelah selesai

(32)

bersemadi. Dia akan berdoa dan membaca mantra agar keris memiliki daya magis atau kekuatan seperti yang diinginkan.

2.3 Bagian-Bagian Keris

Sebilah keris terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing memiliki penamaan sendiri-sendiri. “Secara garis besar bagian keris dibagi menjadi lima bagian utama, yaitu pesi, gonjo, bongkot, wadhuk dan bagian pucuk (Doyodipuro, 1999: 7).”

(33)

2.3.1 Pesi

Pesi merupakan bagian bawah bilah keris atau pangkal keris. Berbentuk bulat dengan garis tengah sekitar lima milimeter dan meruncing seperti rebung bambu sepanjang tujuh centimeter. Pesi dibuat dari bahan yang sama dengan bilahan keris. Kegunaan dari pesi adalah sebagai tangkai keris yang ditanam di hulu keris.

Bagian pesi ini tidak boleh sampai patah atau retak dalam pembuatannya. Jika sampai retak atau putus, keris menjadi cacat. Pesi yang retak ataupun putus tidak dibenarkan untuk dibenahi atau diperbaiki lagi (Doyodipuro, 1999: 7).

2.3.2 Ganja

Ganja merupakan bagian keris yang terletak diatas pesi, letaknya melintang, di tengahnya berlubang. Lubang ini berfungsi sebagai tempat memasukkan pesi sehingga ganja bisa menempel pada bilah pangkal dari keris.

Ganja dibuat dari sebagian bahan keris yang telah ditempa sempurna lengkap dengan pamornya. Pamor atau ukiran yang terdapat pada ganja merupakan gambaran dari sebilah keris. Maksudnya, jika sebilah keris ganjanya mas kumambang dengan ekor cecak yang runcing, maka bilah tersebut berpamor sama dengan ganjanya dan berbentuk lekuk.

Berdasarkan pembuatannya, jenis ganjo ada tiga. Jenis pertama adalah

(34)

yang tidak ada pamornya. Ganja ini jika diwarangi hanya berwarna hitam (Doyodipuro, 1999: 7).

Masing-masing jenis tersebut di atas, memiliki beberapa bentuk yang berbeda-beda. Diantaranya ganja cecak karena menyerupai bentuk seekor cicak,

ganja tekek karena menyerupai seekor tokek yang merambat, ganjanguceng mati

karena menyerupai anak lele yang terapung, lainsebagainya. (Doyodipuro, 1999: 8-10).

“Berdarkan bentuknya, ganja dibagi menjadi empat macam yaitu ganja kinatah, ganja sekar, ganja maskumambang dan ganja wulung (Koesni, 1979:67).” Ganja kinatah adalah ganja yang dihiasi dengan emas dan ditatah menyerupai singa atau gajah. Bentuk singa atau gajah ini sering disebut bentuk

lunglungan. Ganja sekar adalah ganja yang terlihat pamornya baik dari atas maupun kanan kirinya. Ganja maskumambang adalah ganja yang diberi pamor

tetapi hanya bagian atasnya. Ganja wulung merupakan ganja yang tidak diberi perhiasan emas dan tidak memakai pamor.

2.3.3 Bongkot

Bongkot merupakan bagian pangkal keris. Pada bagian ini banyak terdapat ricikan atau perlengkapan bilah keris. Baik pada bagian depan, tengah, maupun bilahan keris. Jumlah ricikan ini bergantung dari motif bilahan keris.

(35)

terletak di atas blumbungan dan terdapat tonjolan memanjang seperti alis. Selain itu ada juga kembang kacang atau belalai gajah, jalen, lambe gajah (karena menyerupai bibir gajah), jalu memet, sogokan yang terletak di tengah pangkal bilahan mencuat ke atas, adongodo, pudak sategal, lis gusen, gereng, sogokan

bagian belakang, srawean, wadhidhang, tungkakan, rondho nunut, ri pandan,

thingil, dan kenyut (Doyodipuro, 1999: 10-11).

2.3.4 Wadhuk

Wadhuk merupakan bagian keris yang berada di antara pangkal keris dengan pucuk keris. Pada bagian ini terdapat beberapa macam ricikan yaitu

kruwingan, gulu milir, adongodo, dan gusen. Sesungguhnya, wadhuk hanyalah kelanjutan dari bagian bongkot.

2.3.5 Pucuk

Pada bagian ini tidak terdapat ricikan. Yang menjadikan satu pucuk keris berbeda dengan pucuk keris yang lain adalah bentuk pucuk kerisnya. “Ada empat macam bentuk pucuk keris, yaitu pucuk keris nyujen sate, pucuk keris gabah kosong, pucuk keris buntut tumo, dan pucuk keris kembang gambir (Doyodipuro, 1999: 13).”

Penamaan pucuk keris tersebut didasari pada persamaan bentuk. Disebut

pucuk keris nyujen sate karena bentuknya runcing menyerupai tusuk sate. Disebut

(36)

kutu. Pucuk keris sering disebut juga kembang gambir karena bentuknya menyerupai kuntum bunga gambir yang masih kuncup.

Gambar 2

Sor-Soran dan Ricikan Keris

http://hadinataroslan.files.wordpress.com/2010/11/ricikankeris1.jpg Diunduh 30/05/2011 0:16

(37)

Gambar 3

Hulu atau Gagang Keris

http://tosan-aji.blogspot.com/2010/11/keris.html Diunduh 30/05/2011 0:16

Warangka merupakan sarung keris. “Warangka biasanya terbuat dari kayu pilihan, atau kayu gading, bahkan bahan lain seperti bahan tanduk (Panji, 2010: 70).”Warangka dihasilkan oleh seorang pengrajin yang disebut mranggi.

(38)

Gambar 4

Warangka Ladrangan

http://tosan-aji.blogspot.com/2010/11/keris.html Diunduh 30/05/2011 0:30

Gambar 5

Warangka Gayaman

(39)

2.4 Macam-Macam Keris

Dikalangan para pencinta keris, muncul dua istilah keris, yaitu keris “luar” dan keris “dalam”. Keris “luar” merupakan keris yang dimiliki oleh rakyat biasa atau diluar keluarga kerajaan. Keris “dalam” merupakan keris yang dipakai oleh raja-raja atau keluarga raja. Keris ini pada umumnya diberi gelar kyai, kanjeng kyai, dan kanjeng kyai ageng. Keris-keris ini dibagi ke dalam beberapa golongan. 2.4.1 Berdasarkan Cara Pembuatannya

Berdasarkan cara pembuatannya, keris dibagi menjadi keris ageman dan keris tayuhan. Keris ageman merupakan jenis keris yang lebih mengutamakan segi keindahan lahiriah keris. Keris tayuhan merupakan jenis keris yang lebih mengutamakan tuah atau kekuatan gaib yang terkandung di dalam keris tersebut.

Keris ageman merupakan keris yang hanya dihiasi dengan berbagai hiasan dan dipakai dalam acara-acara biasa. Untuk membuatnya hanya dibutuhkan besi

belitung, besi purosani dan besi penawang sebagai ganti pamornya.

Keris tayuhan dibuat dari bahan yang sama dengan bahan yang digunakan untuk membuat keris ageman. Perbedaannya terletak pada mantra-mantra yang diucapkan oleh sang empu ketika membuat keris tersebut. Mantra-mantra inilah yang menjadikan sebilah keris menjadi bertuah (Koesni, 1979:10).

2.4.2 Berdasarkan Bentuk dan Kelengkapan Bagian-Bagiannya

(40)

atau berdasarkan pakem pembuatan keris ada tiga belas macam. Jumlah luk keris selalu ganjil dimulai dari luk tiga, kemudian luk lima, luk tujuh, luk sembilan, luk

sebelas, dan luk tiga belas. Masing-masing luk memiliki pemaknaan sendiri-sendiri (Harsrinuksmo, 2004:14).

Di luar dari bentuk konvensional tersebut, ada keris yang memiliki luk

lebih dari tiga belas, bahkan sampai dua puluh sembilan. Keris tersebut sering disebut dengan nama keris palawoja (Tejo, wawancara pribadi, 15 Januari 2012).

2.5 Tuah dan Daya Magis

Pada hakikatnya, tuah merupakan kekuatan gaib yang terjadi karena adanya berkah, berkat, atau barokah yang dikaruniakan Tuhan melalui sebilah keris. Selain itu, ada keris yang tuahnya berasal dari doa-doa dan mantra-mantra yang diucapkan oleh empu pembuatnya. Ada pula tuah keris yang berasal dari kekuatan jin atau makhluk halus. Sesaji yang diberikan pada keris merupakan sebuah harapan agar ada makhluk halus yang mau bertempat tinggal di dalam keris tersebut. Diantara semua jenis tuah keris tersebut, keris yang paling tinggi tuahnya adalah keris yang mengandung gabungan tuah dari ketiganya.

(41)

Setiap keris memiliki tuah tersendiri bagi pemiliknya. Tuah tersebut diciptakan melalui doa-doa atau mantra-mantra dari empu pembuatnya dan diwujudkan dalam bentuk pamor. Sang empu sebagai pencipta, merangkul segala daya pada bilah keris menjadi satu tujuan yaitu tercapainya apa yang dikehendaki oleh pemesan.

Sebilah keris bukan hanya membawa manfaat bagi pemiliknya, tetapi juga bisa membawa petaka. “Sebilah keris jika tidak cocok dengan pemilik dari keris tersebut maka akan mendatangkan petaka bagi si pemilik keris tersebut (F.L. Winter, 2009:65-69).” Misalnya seperti dikisahkan tentang Ken Arok dan keris buatan Empu Gandring yang banyak memakan korban darah.

Daya kekuatan atau tuah yang timbul dari sebilah keris, biasanya hanya disaksikan oleh pribadi seseorang. Hal ini tidak dapat diterangkan secara terperinci dan tidak ada saksi-saksi yang menguatkan adanya kejadian yang mustahil tersebut.

Kekuatan atau daya magis keris tergantung dari jenis keris. Misalnya keris berpamor udan mas. Keris ini dipercaya dapat menjadikan suatu usaha lancar dan mendapat banyak keuntungan. Bila seseorang berprofesi sebagai juru bicara atau seorang pembawa acara, maka biasanya dia akan menggunakan keris jangkung

(42)

BAB III

PERGESERAN MAKNA KERIS

3.1 Makna Keris Zaman Dahulu

3.1.1 Berdasarkan Cara Pembuatan Keris

Koesni dalam bukunya yang berjudul Pakem Pengetahuan Tentang Keris

menyebutkan ada perbedaan dalam pembuatan keris ageman dan keris tayuhan.

Keris ageman dibuat menggunakan bahan yang sama dengan bahan keris tayuhan.

Cara pembuatan keris ageman juga sama dengan pembuatan keris tayuhan.

Perbedaannya terletak pada ritual-ritual yang dilakukan sebelum, selama dan sesudah membuat keris. Selain itu, adanya mantra-mantra dalam pembuatan keris

tayuhan tidak terdapat pada keris ageman.

Sebilah keris menjadi keris tayuhan atau keris yang bertuah karena adanya beberapa ritual yang harus dijalani oleh sang empu. Enam hari sebelum membuat keris, empu harus melakukan beberapa tahapan ritual. Hari pertama dipergunakan empu untuk membersihkan besalen (tempat perapian), panyirepan (tempat air),

(43)

mengadakan selamatan dengan mengundang para tetangga untuk meminta doa restu agar pembuatan berjalan lancar dan terlepas dari segala godaan dan halangan. Hari keenam sang empu segera menetapkan mantram apa dan tuah apa yang akan disisipkan kedalam pusaka yang akan dibuat. Dan hari ketujuh, sang empu akan memulai membuat keris tersebut.

Pagi hari sebelum matahari terbit, sang empu harus melaksanakan mandi keramas dengan rangkaian lima macam bunga untuk sebaran dalam air. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pensucian diri segala perasan dengki, marah, susah, dan sombong.

Arti dari penggunaan bunga adalah barang siapa yang akan memulai membuat keris pusaka harus selalu bersanding dengan rasa guna dari pancaindera yang dinamakan pandulu (penglihatan), pangguru (pendengar), panggada

(44)

berpuasa disebari bunga-bunga dan lain sebagainya agar bisa tercium aroma wangi.

Pada tengah malam, sang empu akan meninggalkan tempat berpuasanya untuk melakukan keperluan pribadi. Di waktu ini empu dapat minum tetapi tidak boleh makan. Setelah selesai, ia harus kembali ke tempatnya dan melanjutkan puasanya. Selama puasa, sang empu tidak berbicara sepatah katapun kepada orang lain (Koesni, 1979:18).

Sebilah keris terbuat dari beberapa jenis besi. Hal ini disebutkan oleh Koesni dalam bukunya Pakem Pengetahuan Tentang Keris.

Menurut Koesni, sebilah keris terbuat dari beberapa macam besi, yaitu besi

Balitung, besi Purosani, dan besi Penawang sebagai pengganti pamor. Besi Balitung merupakan besi murni yang berwarna hitam kecoklat-coklatan. Besi Purosani merupakan besi yang timbulnya sudah bercampur dengan baja. Besi Penawang adalah besi lunak berwarna putih pudar tetapi anti karat. Pada zaman dulu orang membuat keris dengan cara tradisional (Koesni: 1979:10).

Langkah pertama membuat keris yaitu dengan memotong besi Purosani

kurang lebih sepuluh sentimeter kemuan dibakar, ditempa, dan dibentuk memanjang lurus atau bengkok samar-samar. Setelah itu, besi Belitung selebar jari manis dan panjang kurang lebih sepuluh sentimeter sebanyak dua lembar dibakar dan di tengahnya disisipi besi Purosani lalu ditempa. Penempaan ini dilakukan untuk menyatukan antara besi Belitung dan besi Purosani. Setelah menyatu dapat dibentuk bengkok-bengkok menurut ketentuan dapurnya. Setelah sesuai dengan bentuk yang diinginkan, besi tadi dipotong ujung belakannya untuk membuat pesi

(45)

Langkah selanjutnya yaitu membuat lekuk-lekuk dan gambar yang sering disebut ricikan yang diikuti dengan pembuatan ganja yang diambil dari bagian

pesi. Setelah ganja terbentuk, lalu diberi lubang di bawahnya yang nantinya akan ditusukkan atau dimasukkan pada pesi. Besi tiga lapis yang sudah dibentuk menyerupai keris ini disebut blabaran.

Setelah blabaran selesai, besi penawang sebesar dua milimeter sebanyak dua lapis dibakar hingga leleh lalu ditumpahkan di tengah-tengah bagian atas mulai dari ganja hingga pucuknya sambil terus ditempa. Cairan besi penawang

tersebut nantinya akan menjadi pamor penawang. Penyempurnaan blabaran ini adalah dengan dihaluskan. Sang Empu akan meneliti dengan rabaannya bentuk dari blabaran tersebut. Setelah segalanya sudah kelihatan dan terasa sempurna, barulah Sang Empu berani menyebutnya sebagai keris yang sejati. Blabaran keris yang sudah dihaluskan bentuk tangguh dan lain sebagainya tersebut, segera Sang Empu menayuh keris tersebut (Koesni, 1979:14-17).

(46)

Penggunaan Mantra Terjemahan

anatha tinggalana de trilokasarana.

permohonan hamba ini Paduka ketahui, sang Pelindung tiga buana.

Jangan ada halangan, hamba mpu…

(nama empu) tidak mengucapkan kata-kata, yang tidak berguna dan saya dengan jalan. Bersihkan setiap selapan hari sekali (36 hari) dengan air leri. Siramilah diri saya setiap setahun sekali. Orang ini akan didekati rezeki. Semoga yang Maha Kuasa mengabulkan permohonan saya ini

Sebelum mulai menayuh

Aum, awighnam astu. Hanata sara inarcaya, yeka sara ulun. Ulun yun miminta, iggita de-inanugrahan ri-adika

Ya Tuhan, semoga tidak ada halangan. Adalah pusaka yang dihormati, ialah pusakaku. Hamba ingin memohon, syarat tanda-tanda diberi anugrah yang baik.

(47)

Setelah proses menayuh selesai, berarti proses pembuatan keris selesai dan bisa diserahkan pada pemesan keris. Lama proses pembuatan dari awal hingga akhir tidak bisa dibatasi waktunya. Jika lancar, maka dalam setengah bulan akan selesai. Tetapi jika kurang lancar, bisa memakan waktu hingga tiga tahun bahkan lebih (Koesni, 1979:17).

Berdasarkan uraian pembuatan keris di atas dapat dilihat bahwa keris bukanlah senjata biasa seperti senjata-senjata tradisional lain pada umumnya. Tetapi keris merupakan senjata yang memiliki kekuatan magis. Keris adalah perwujudan tuah-tuah yang hanya bisa dirasakan dan disaksikan oleh pemegang keris tersebut.

3.1.2 Berdasarkan Macam-Macam Keris

Berdasarkan cara pembuatannya keris dibagi menjadi dua yaitu keris

ageman dan keris tayuhan. Keris ageman merupakan keris yang hanya digunakan untuk hiasan atau dipakai dalam acara-acara biasa. Keris tayuhan adalah keris yang memiliki kekuatan magis. Keris ini dibuat dengan berbagai ritual dan mantra-mantra.

Berdasarkan bentuknya, keris dibagi menjadi dua yaitu dapur bener dan

(48)

Dapur luk ini masih dibagi lagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah

luk atau lekuk pada keris. Jumlah luk ini selalu ganjil. Masing-masing bentuk memiliki pemaknaan yang berbeda-beda.

Keris luk satu melambangkan sifat keberanian, kebenaran, kensentrasi dan kemakmuran. Luk tiga melambangkan akal budi, perlawanan, dan inisiatif. Luk

lima melambangkan sifat kesatriya para Pandawa yaitu ketertiban dalam dunia, disiplin, dan persenjataan. Luk tujuh melambangkan kesaktian, kegembiraan dalam hidup, perguruan, dan ilmu pengetahuan. Luk sembilan melambangkan ketuhanan, kepuasan hidup, dan pintu gerbang surga (Moerbiman,1980:31-33).

Berdasarkan macam-macam keris di atas dapat dilihat bahwa keris merupakan perlambang dari sifat-sifat yang selalu ingin diraih oleh manusia. Keris menjadi simbol harapan yang ingin diraih manusia.

3.1.3 Berdasarkan Perawatannya

Sebagai salah satu benda pusaka, keris haruslah dirawat dan disimpan dengan baik. Zaman dahulu keris disimpan di tempat yang khusus dengan diberi bunga-bunga ataupun wewangian. Jika keris yang disimpan merupakan keris

(49)

Perawatan juga dilakukan untuk menjaga keris tetap dalam kondisi bagus yaitu dengan memandikan keris atau sering disebut njamasi. Memandikan keris biasanya dilakukan oleh seorang empu pembuat keris atau seorang mranggi yaitu orang yang membuat warangka keris. Njamasi keris biasanya dilakukan pada bulan Suro.

Njamasi dilakukan dengan cara merendam keris ke dalam wadah yang diisi air dan kembang setaman. Dua buah pace atau buah mengkudu yang sudah menguning disiapkan. Satu buah dihancurkan lalu diambil airnya, dan yang satunya dibelah dua. Buah pace yang sudah dihancurkan tersebut kemudian dicampurkan ke dalam air yang telah diberi kembang setaman dan air perasan jeruk secukupnya. Ramuan ini dibiarkan antara sepuluh hingga lima belas menit. Pegang keris dibagian pesinya kemudian diguyur dan dimandikan dengan air tersebut hingga merata. Setelah itu keris dibersihkan dengan buah lerak yang telah dibuang isinya. Buah lerak ini merupakan pengganti sabun saat ini. Keris kemudian digosok dengan sikat dan bantuan air lerak berulang-ulang hingga berbusa dan bersih. Perlu diperhatikan bahwa dalam menggosok keris harus satu arah, tidak boleh dibolak-balik. Mulai dari pesi, ganja, sampai ke ujung keris Pembersihan ini dilakukan hingga kotoran-kotoran yang menempel pada keris hilang dan keris menjadi bersih.

(50)

menit, kemudian keris dibakar di atas api hingga kering lalu disikat kemudian keris kembali digosok kembali buah pace pada keris lalu ditaburi dengan bubuk kayu cendana. Terakhir keris dibakar di atas api hingga keris dan diberi bubuk kayu jati kemudian disikat dengan bersih (Khoesni, 1976:104-107).

Selain perlakuan biasa terhadap keris, ada beberapa perlakuan khusus yang dilakukan oleh para pecinta keris. Perlakuan tersebut berupa pemberian sesaji pada malam-malam tertentu. Pemberian sesaji ini biasa dilakukan pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Sesaji biasanya berupa kembang setaman dan dupa atau kemenyan yang dibakar. Ritual dilakukan pemilik keris menjelang magrib. Dupa atau kemenyan dibakar dan diletakkan di salah satu sudut ruangan disertai dengan kembang setaman.

Perlakuan khusus yang lain adalah pemberian tumbal pada keris. Tumbal diberikan kepada keris-keris yang berjenis khusus. Keris seperti ini biasa disebut dengan keris Somyang. Keris ini biasanya digunakan untuk pesugihan. Sesaji-sesaji yang diberikan merupakan wujud penghormatan kepada empu pembuat keris, penghormatan kepada leluhur yang dahulu memiliki keris tersebut, dan penghormatan kepada si penunggu keris (wawancara pribadi, 20 Maret 2012).

3.2 Makna Keris Saat Ini

3.2.1 Berdasarkan Cara Pembuatan Keris

(51)

membakar kemenyan sambil berdoa dan mengucapkan beberapa mantra yang berisi permohonan petunjuk dan bimbingan Tuhan.

Pada hari baik menurut perhitungan primbon, sang empu membuat selamatan dan mengundang beberapa orang untuk berdoa bersama agar keris buatannya kelak tidak mencelakakan pemiliknya maupun orang lain. Ia juga memohon agar selama melaksanakan pekerjaan dapat berlangsung lancar dan selamat. Selamatan diakhiri dengan makan bersama dan sang empu memberikan penjelasan kepada para panjak atau orang yang membantunya dalam membuat keris. Ia juga menerangkan teknis pembuatan keris tersebut (Harsrinuksmo, 2004: 35).

Bahan baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini ada empat macam, yaitu batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsur titanium, nikel, senyawa besi, dan senyawa besi dari daerah lain yang bila dicampurkan dengan bahan besi dari daerah tertentu akan menimbulkan nuansa warna serta penampilan yang berbeda (Harsrinuksmo, 2004: 11).

(52)

Setelah pekerjaan mencapai sembilan puluh persen, keris kemudian

disepuh. Proses ini merupakan proses yang paling menegangkan karena riskan terhadap sebuah kegagalan. Jika penyepuhan gagal, berarti pekerjaan yang sudah dilakukan menjadi sia-sia dan dia harus mengulang dari awal lagi mulai dari kenduri dan seterusnya. Kegagalan dalam penyepuhan akan membuat bentuk sebilah keris yang hampir selesai menjadi meliuk dan agak berbentuk pilin. Karena besarnya risiko yang dihadapi, biasanya sang empu akan bersemadi untuk memohon kepada Tuhan agar tahap penyepuhan keris dapat berlangsung dengan selamat (Harsrinuksmo, 2004: 35-36).

Di Yogyakarta terdapat beberapa pengrajin keris. Baik keris yang bertuah, tiruan keris zaman dulu, maupun keris sebagai kerajinan. Salah satu pengrajin keris yang ada di Yogyakarta adalah di Desa Banyu Sumurup Imogiri Bantul Yogyakarta. Di sini keris diproduksi sebagai kerajinan. Mereka membuat keris untuk dijual sebagai hiasan, pelengkap busana, maupun cinderamata. Keris ini tidak bertuah atau tidak memiliki daya magis, sehingga dalam pembuatannya tidak terdapat berbagai ritual ataupun mantra-mantra.

(53)

luk ini melebihi dari jumlah konvensional yang sudah ada yaitu tiga belas (Tejo, wawancara pribadi, 15 Januari 2012).

Pembuatan keris didasari oleh perenungan-perenungan untuk menemukan ilham dalam membuat keris. Perenungan ini biasa lakukan di rumah atau tempat yang tenang, namun bukan tempat-tempat keramat seperti yang dilakukan para empu pada zaman dulu.

Faktor usia juga diperhatikan dalam pembuatan keris. Seseorang yang berusia kurang dari empat puluh tahun dilarang menggunakan keris diatas luk

lima. Keris luk tujuh hingga tiga belas hanya boleh digunakan untuk orang yang berusia lebih dari empat puluh tahun. Hal ini disebabkan karena luk lebih dari lima tidak akan kuat atau terlalu berat bagi orang yang belum berusia empat puluh tahun.

Ritual lain sebelum pembuatan keris adalah topo bisu atau puasa membisu sebelum dan selama melaksanakan proses pembuatan keris. Selama menjalani puasa tidak boleh berhubungan badan dengan seorang wanita. Jika itu dilakukan, maka hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Misalnya, nyala api yang tidak bisa pijar sehingga besi tidak dapat terbakar dengan bagus, atau keris yang dihasilkan pecah.

(54)

harga batu meteorit tersebut, para pembuat keris kemudian menggantinya dengan menggunakan nikel.

Para pembuat keris mulai mencari besi yang memiliki kandungan nikel cukup banyak. Besi-besi tua atau knalpot sepeda motor zaman dulu biasanya memiliki kandungan nikel yang bagus sehingga sering dicari sebagai bahan pembuat keris. Selain besi tua atau knalpot, pembuat keris juga sering menggunakan besi bekas gergaji listrik. Penggunaan besi-besi tersebut disebabkan karena kualitas baja di dalamnya jauh lebih bagus dibandingkan dengan jenis besi yang lain (Tejo, wawancara pribadi, 15 Januari 2012).

Pemakaian besi meteorit dalam pembuatan keris jarang dilakukan. Hanya orang yang mampu saja yang menggunakannya. Saat ini bahan yang sering digunakan dalam pembuatan keris adalah bekas gergaji mesin, besi bekas knalpot motor Honda zaman dulu, dan panci blirik zaman dulu. Bahan tersebut menurut pembuat keris memiliki kandungan nikel yang lumayan banyak. Penggunaan bahan-bahan ini karena pembuat keris saat ini belum bisa memahami apa yang sering disebut sebagai besi Purosani dan jenis besi lainnya yang dipakai oleh para empu zaman dulu dalam membuat keris.

Setelah bahan terkumpul, dilakukan proses pembersihan dari karbon dengan cara dibakar dan ditempa. Sebelum memulai membakar, biasanya dilakukan pembuat sesaji. Sesaji yang digunakan dalam ritual tanda akan dimulainya pembuatan keris adalah nasi gurih, nasi golong, tumpeng robyong

(55)

bubur untuk memperingati hari kelahiran), pisang raja satu tangkep atau dua

lirang, dan campur sari berupa kembang setaman dan kemenyan.

Proses pembakaran besi bertujuan untuk mensucikan besi dari hal-hal yang negatif. Hal-hal negatif tersebut seperti darah yang menempel pada besi. Besi

pamor yang dibakar berupa plat besi ukuran satu milimeter sebesar kotak rokok dicampur nikel dan titanium. Pembakaran besi jangan terlalu panas. Kira-kira dari bahan lima kilogram menjadi tiga kilogram.

Setelah panas, besi pamor ditempa, kemudian plat dengan ukuran yang sama, dibakar lalu ditempa. Kedua besi tersebut kemudian dijadikan satu dengan cara ditempa dan dilipat-lipat tergantung berapa lipatan yang diinginkan.

Jika sudah dirasa cukup, besi dipotong sama panjang dan tengah-tengahnya diberi aten-aten lalu dibentuk. Bentuk setengah jadi ini biasa disebut

kodokan atau bakal keris. Ujung kodokan kemudian dipotong untuk dijadikan

ganja. Setelah itu, baru kodokan dibentuk sesuai keinginan. Berbentuk lurus atau berkelok-kelok yang sering disebut keris luk. Hal yang paling susah dilakukan adalah menentukan tingkat kemiringan keris.

Setelah bahan menjadi kodokan, ia juga melakukan sesaji. Sesaji biasanya berupa sanggan pisang raja (satu tundun pisang raja), kembang setaman (bunga tujuh rupa), menyan (kemenyan), dan tumpeng robyong atau nasi tumpeng lengkap. Pantangan yang selalu diingat adalah selama membakar besi untuk dijadikan keris, tidak boleh berhubungan badan dengan seorang wanita.

(56)

minta keselamatan, minta berkah, dan berdoa semoga keris yang dibuat nantinya menjadi barang yang berguna dan bisa dipergunakan secara turun-temurun. Bahasa yang digunakan dalam mantra tersebut adalah bahasa Jawa.

Proses terakhir yang dilakukan dalam membuat keris adalah penyepuhan.

Penyepuhan dilakukan menggunakan air sumur Jalatunda dari tiga sumber mata air. Sebelum proses penyepuhan, pembuat keris juga selalu melakukan ritual dan sesaji agar proses penyepuhan dapat berjalan lancar dan berhasil.

(57)

Berikut ini mantra-mantra yang biasa digunakan dalam pembuatan keris saat ini sebagai berikut:

Penggunaan Mantra Terjemahan

Pada saat

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang Semoga keselamatan ada pada kita semua

Besi berasal dari hitamnya mata

Baja berasal dari putihnya mata

Tua berasal dari air mata

Pangerannya halilintar berdiri di separoh mata

(58)

Tabel 3 Mantra Saat Ini Harsrinuksmo, 1988:33-34

3.2.2 Berdasarkan Macam-Macam Keris

Berdasarkan cara pembuatannya keris dibagi menjadi keris ageman dan keris tayuhan. Keris ageman adalah keris yang mengutamakan segi keindahan saja. Keris ini tidak dibuat melalui ritual dengan berbagai mantra dan digunakan sebagai aksesoris atau barang kerajinan.

Pada saat Tujuh mata air, tujuh sumur,

mengalir aliran air bening

Atas pemberian Guru Alip (Allah) Raja di tujuh alam

Kekuatan yang unggul menjadi satu berkah

(59)

Berdasarkan bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris dibagi menjadi dua ratus empat puluh dapur keris yang terbagi dalam keris lurus dan keris yang berkelok-kelok atau luk. Jumlah kelokan atau luk secara konvensional atau berdasarkan pakem pembuatan keris ada tiga belas. Jumlah luk keris selalu ganjil dimulai dari luk tiga, kemudian luk lima, luk tujuh, luk sembilan, luk

sebelas, dan luk tiga belas. Masing-masing luk memiliki pemaknaan sendiri-sendiri(Harsrinuksmo, 2004:14).

Luk tiga mengandung arti permohonan kepada Gusti atau Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengingatkan sebagai manusia harus selalu menyatu dengan Sang Penciptanya. Dalam filosofi Jawa, sering disebut dengan manunggaling kawulo lan Gusti. Sedangkan jika didasarkan pada agama Islam bisa berarti alif, lam, mim yang berarti manusia, Nabi Muhammad, dan Allah.

Luk lima berarti pancasila. Pancasila di sini adalah Pancasila berdasar

sotasoma, yaitu lima buah larangan atau sering disebut molimo. Molimo yaitu larangan untuk minum, maling, main, madat lan madon. Pengertian ini bisa dipahami sebagai larangan untuk minum minuman keras, larangan untuk mencuri, larangan untuk bermain judi, larangan untuk mengkonsumsi narkoba, dan larangan untuk bermain perempuan.

Luk tujuh berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya, apapun permintaanmu, mintalah pada Tuhan. Segala hal arahnya tetap kepada Tuhan.

(60)

Luk sebelas merupakan sabuk inten yang berarti memanjakan perut. Memanjakan perut bukan berarti selalu makan, namun selalu menjaga agar apa yang di dapat selalu mendapatkan berkah dari Tuhan.

Luk tiga belas merupakan puncak bentuk luk keris. Luk ini berarti bahwa sebagai manusia harus selalu menjaga kestabilan jiwa dan menjaga ketenangan hati (Jiwo, wawancara pribadi, 15 Januari 2012).

Saat ini muncul keris yang memiliki luk lebih dari tiga belas dan pamor di luar pamor yang sudah ada. Keris ini disebut dengan keris kamardikan. Meskipun bagian-bagian keris masih mengikuti pakem yang ada, namun pamornya lebih bervariasi. Pamor-pamornya baru seperti pamor gelombang cinta yang diciptakan Empu Sukamdi, dosen di ISI Solo.

Jumlah luk juga menjadi dasar penentuan usia pemegang keris. Jika seseorang berusia kurang dari empat puluh tahun, maka dia hanya boleh menggunakan keris berluk kurang dari tujuh. Dia hanya boleh menggunakan keris

luk tiga, luk lima atau keris lurus. Jika seseorang telah berusia lebih dari empat puluh tahun, maka dia sudah diperbolehkan memiliki keris berluk lebih dari lima.

Berikut beberapa contoh jenis pamor dan tuahnya yang diyakini oleh para pecinta keris.

Pamor Bentuk Tuah

Kulbuntet

Berbentuk seperti rumah siput, spiral konsentrik yang terdapat pada sor-soran

(61)

Batulapak

Seperti huruf u terbalik berlapis-lapis di basisi bilah, biasanya persis di pertemuan pesi dan bilah.

Pemiliknya tidak akan kekurangan rejeki, dikasihi bawahan dan sesama

Kuthamesir

Seperti segi empat atau lingkaran empat sisi dengan sudut tumpul, berlapis-lapis konsentrik

Tidak terlihat musuh, pemilik bisa menyimpan harta, dan dikasihi sesama.

Ujunggunung Seperti segitiga berlapis-lapis

terletak di sor-soran Menangkis bahaya

Udanmas Berupa pusar-pusar banyak

sepanjang bilah

Kekayaan, didekati banyak rejeki

Kancingkulina Berupa pusar-pusar di tengah-tengah

sor-soran atau ujung bilah keris Derajat dan banyak rejeki

Alif

Berupa garis pamor tegak pendek seperti huruf alif di dor-doran atau ujung keris

Wibawa dan kepemimpinan

Simbang Raja Tiga garis pamor membelit gandhik

atau kembang kacang

Derajat, dikasihi atasan, kuat memegang derajat tinggi

Buntel Mayit Berupa pita atau garis tebal, pamor

membelit kedua tepi bilah

Panas, hendak membunuh orang

Pegat Waja Pamor di tepi retak-retak

Cocok untuk orang yang sedang bertengkar, menyebabkan sengsara

Kudhung Mayit Berupa pamor membelit ujung bilah Senjata makan tuan

Pedhot Terputus-putus, pamor retak tak

tersambung Selalu gagal dalam usaha

Tabel 4

Jenis-Jenis Pamor dan Tuah Keris

(62)

3.2.3 Berdasarkan Perawatannya

Perawatan keris saat ini dilakukan dengan menyimpan keris di sebuah tempat khusus. Keris di simpan di sebuah almari yang memang khusus dibuat untuk menyimpan keris. Rata-rata almari tersebut adalah almari kuno atau almari kuno yang dipermak sehingga menjadi almari khusus penyimpanan keris.

Selain disimpan di almari, keris juga sering disimpan di sebuah rak yang disebut ploncon. Rak ini hanya berupa bilahan kayu yang berlubang sebagai tempat keris. Ploncon biasanya diletakkan di satu ruangan yang memang di khususkan untuk menyimpan keris (Hedi, wawancara pribadi, 25 April 2012).

Perawatan keris saat ini tidak hanya dilakukan setiap bulan Suro saja. Pembersihan keris dilakukan setiap saat jika keris tersebut terlihat kotor. Hal ini disebabkan jika keris dibersihkan setiap bulan Suro saja maka akan berkarat dan tidak lagi memiliki nilai jual tinggi.

(63)

Selain dengan air jeruk nipis dan sabun colek, keris sering juga dibersihkan dengan minyak singer atau minyak yang biasa digunakan untuk melumasi mesin jahit. Minyak ini bisa membantu menghilangkan karat. Caranya keris diolesi minyak, didiamkan beberap menit, kemudian digosok dengan sikat dan dibersihkan dengan kain. Setelah bersih, keris kembali diolesi hingga rata lalu dibersihkan kembali. Tidak ada batasan waktu kapan dia harus membersihkan kerisnya. Jika dirasa keris sudah kotor, maka dia akan membersihkannya (Eko, wawancara pribadi, 20 Maret 2012).

Proses njamasi selalu diikuti dengan proses mewarangi. Proses ini dilakukan dengan cara merendam keris yang sudah bersih ke dalam warangan dan direndam selama dua hari. Hal ini disebabkan jika keris hanya di jamasi saja, maka keris akan cepat keropos dan rusak.

Fungsi utama mewarangi adalah untuk menjaga keris agar tidak mudah berkarat dan kualitas besi akan terjaga. Saat ini mewarangi menggunakan campuran minyak dan arsenik dalam kadar yang rendah. Jika kandaungan arsenik

tinggi justru akan menyebabkan besi keris lunak dan mudah hancur.

Selain perlakuan di atas, ada beberapa perlakuan khusus yang dilakukan oleh para pecinta keris. Perlakuan tersebut berupa pemberian sesaji pada malam-malam tertentu. Pemberian sesaji ini biasa dilakukan pada malam-malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Sesaji biasanya berupa kembang setaman dan dupa atau kemenyan yang dibakar. Ritual dilakukan pemilik keris menjelang magrib. Dupa atau kemenyan dibakar dan diletakkan di salah satu sudut ruangan disertai dengan

(64)

Perlakuan khusus yang lain adalah adanya tumbal buat keris. Tumbal diberikan kepada keris-keris yang berjenis khusus. Keris seperti ini biasa disebut dengan keris Somyang, biasanya digunakan untuk pesugihan. Sesaji-sesaji yang diberikan merupakan wujud penghormatan kepada empu pembuat keris, penghormatan kepada leluhur yang dahulu memiliki keris tersebut, dan penghormatan kepada si penunggu keris (Sumitro, wawancara pribadi, 20 Maret 2012).

3.3 Pergeseran Makna Keris

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan tentang pergeseran makna keris dari zaman dahulu hingga saat ini sebagai berikut:

Keterangan Dahulu Sekarang

yaitu besi Balitung, besi

(65)

Penawang

dilakukan pada bulan Suro.

 Keris di sebuah sebuah

Gambar

Tabel 1 Periodisasi Zaman Pembuatan Keris di Pulau Jawa .................................
Tabel 1 Periodisasi Zaman Pembuatan Keris di Pulau Jawa
Gambar 1 Bagian-Bagian Keris
Gambar 3  Gagang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang uji kekuatan tarik dan uji kekuatan sobek pada kertas seni dari pelepah tanaman salak dengan lama pemasakan dalam NaOH dapat

menggunakan model regresi parsial, terdeteksi adanya gejala flypaper e ff ect pada belanja da- erah kabupaten dan kota di Sulawesi yang bersumber dari dana bagi hasil pajak /

Pendirian pabrik baru tersebut selain untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang semakin meningkat juga untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. "aat ini

Beberapa hal yang membutuhkan penelitian lebih lanjut dalam pemuliaan padi toleran salinitas antara lain: (i) karakterisasi mekanisme toleransi terhadap salinitas yang dimiliki

Dari hasil paired t test , hanya domain peran pasien, simtom fatigue, mual muntah, nyeri, penurunan nafsu makan dan kesulitan keuangan yang mempunyai perbedaan

Dari tabel 8 dapat diketahui dengan uji log rank juga didapatkan nilai angka harapan hidup dua tahun untuk semua terapi sebesar 0,645 (p > 0,05) sehingga dapat

Diberitahukan dengan homat, perihal pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Tahun 2018, Direktorat Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan

1) Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan / (The rights of shareholders and key ownership functions). Pemegang saham mempunyai hak–hak tertentu. OECD