• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usulan meningkatkan pemahaman tentang makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Usulan meningkatkan pemahaman tentang makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta."

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

Judul skripsi USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA dipilih berdasarkan kenyataan bahwa penghayatan akan makna Sakramen Ekaristi bagi para remaja khususnya remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta perlu ada peningkatan. Usia remaja merupakan usia yang masih banyak membutuhkan pendampingan, terutama dalam penemuan jati diri dan pembentukan iman yang tangguh. Kegiatan pendampingan remaja yang ada di dalam paroki salah satunya adalah putera altar. Pada kenyataannya kegiatan putera altar belum begitu diperhatikan sehingga banyak putera altar yang melakukan tugas pelayanan sebagai rutinitas belaka. Dalam melakukan tugas pelayanan, para putera altar mengobrol dengan temannya dan kurang memahami sikap Liturgi yang mereka lakukan. Putera altar belum sungguh-sungguh menyadari pentingnya penghayatan makna Sakramen Ekaristi yang mereka rayakan bersama umat dalam tugas pelayanan mereka dan demi perkembangan iman mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana remaja Katolik yang tergabung dalam kegiatan putera altar dapat menemukan dan meningkatkan penghayatan makna Sakramen Ekaristi demi pengembangan iman mereka dalam kehidupan konkret. Putera altar yang menginjak usia remaja tentu mengalami banyak tantangan dan persoalan hidup, maka dari itu peran serta pendamping sangat berpengaruh dalam membantu perkembangan iman mereka supaya terbentuk iman yang kuat dan tangguh. Oleh karena itu untuk mengkaji lebih lanjut persoalan yang dihadapi oleh putera altar, penulis melakukan pengamatan, melakukan penyebaran kuesioner dan studi pustaka yang bersumber dari Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, dan juga pandangan para ahli. Studi pustaka ini diperlukan untuk memperoleh inspirasi dan kemudian direfleksikan untuk membuat usulan program pendampingan yang menarik dan sesuai dengan tahap perkembangan iman mereka sehingga putera altar semakin meningkatkan pemahaman akan makna Sakramen Ekaristi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

(2)

ix ABSTRACT

The title of this small thesis THE SUGGESTION OF IMPROVING THE MEANING OF SACRAMENT EUCHARIST FOR IMPROVING THE FAITH OF THE ACOLYTES OF THE QUASI PARISH SAINT JOSEPH BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA is chosen by the fact that the meaning of the Sacrament Eucharist for teenagers especially teenagers who joins in the Acolyte of the Quasi Parish Saint Joseph Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta need some improvement. Teenagers need much assistance especially to find the reality of themselves and to form strong faith. In fact, the assistance to Acolyte hasn’t been cared therefore many Acolytes do the service to the people as routinities. Meanwhile serving people, Acolytes have some chats and they do not understand the Liturgy. Acolytes have not really understood how important full and total comprehension of Sacrament Eucharist that they celebrate together with people in their service and for developing their faith in daily activities.

The main point in this small thesis is how teenagers who join in the Acolyte can find and improve the full dan total comprehension of the meaning of the Sacrament of Eucharist for improving their faith. They have many challenges and problems, therefore the role of assistance is very important to help them to improve their faith. For inquiring the Acolytes deeply, the writer has been doing monitoring, spreading quesionaire and studying the manuals like the Bible, the Church Documents and the opinion of some experts. Studying the manual is needed to get inspiration and then reflected to make interesting program to improve their faith and their understanding of the meaning of the Sacrament of the Eucharist and to practise in daily activities.

(3)

MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG,

GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Fisilia Ari Kuswanti NIM: 091124011

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

™ Kedua orang tua, adik, teman dekat, dan sahabat angkatan 2009 yang telah membantu dalam perjalanan suka dan duka untuk menyelesaikan Skripsi ini.

™ Para dosen pembimbing yang dengan kesabaran dan ketekunan telah membimbing penulis dalam menyelesaikan Skripsi di Kampus IPPAK tercinta ini.

™ Pastur Paroki dan seluruh putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengadakan penelitian demi kelancaran penulisan skripsi ini.

(7)

v MOTTO

(8)
(9)
(10)

viii

Judul skripsi USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA dipilih berdasarkan kenyataan bahwa penghayatan akan makna Sakramen Ekaristi bagi para remaja khususnya remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta perlu ada peningkatan. Usia remaja merupakan usia yang masih banyak membutuhkan pendampingan, terutama dalam penemuan jati diri dan pembentukan iman yang tangguh. Kegiatan pendampingan remaja yang ada di dalam paroki salah satunya adalah putera altar. Pada kenyataannya kegiatan putera altar belum begitu diperhatikan sehingga banyak putera altar yang melakukan tugas pelayanan sebagai rutinitas belaka. Dalam melakukan tugas pelayanan, para putera altar mengobrol dengan temannya dan kurang memahami sikap Liturgi yang mereka lakukan. Putera altar belum sungguh-sungguh menyadari pentingnya penghayatan makna Sakramen Ekaristi yang mereka rayakan bersama umat dalam tugas pelayanan mereka dan demi perkembangan iman mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana remaja Katolik yang tergabung dalam kegiatan putera altar dapat menemukan dan meningkatkan penghayatan makna Sakramen Ekaristi demi pengembangan iman mereka dalam kehidupan konkret. Putera altar yang menginjak usia remaja tentu mengalami banyak tantangan dan persoalan hidup, maka dari itu peran serta pendamping sangat berpengaruh dalam membantu perkembangan iman mereka supaya terbentuk iman yang kuat dan tangguh. Oleh karena itu untuk mengkaji lebih lanjut persoalan yang dihadapi oleh putera altar, penulis melakukan pengamatan, melakukan penyebaran kuesioner dan studi pustaka yang bersumber dari Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, dan juga pandangan para ahli. Studi pustaka ini diperlukan untuk memperoleh inspirasi dan kemudian direfleksikan untuk membuat usulan program pendampingan yang menarik dan sesuai dengan tahap perkembangan iman mereka sehingga putera altar semakin meningkatkan pemahaman akan makna Sakramen Ekaristi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

(11)

ix

The title of this small thesis THE SUGGESTION OF IMPROVING THE MEANING OF SACRAMENT EUCHARIST FOR IMPROVING THE FAITH OF THE ACOLYTES OF THE QUASI PARISH SAINT JOSEPH BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA is chosen by the fact that the meaning of the Sacrament Eucharist for teenagers especially teenagers who joins in the Acolyte of the Quasi Parish Saint Joseph Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta need some improvement. Teenagers need much assistance especially to find the reality of themselves and to form strong faith. In fact, the assistance to Acolyte hasn’t been cared therefore many Acolytes do the service to the people as routinities. Meanwhile serving people, Acolytes have some chats and they do not understand the Liturgy. Acolytes have not really understood how important full and total comprehension of Sacrament Eucharist that they celebrate together with people in their service and for developing their faith in daily activities.

The main point in this small thesis is how teenagers who join in the Acolyte can find and improve the full dan total comprehension of the meaning of the Sacrament of Eucharist for improving their faith. They have many challenges and problems, therefore the role of assistance is very important to help them to improve their faith. For inquiring the Acolytes deeply, the writer has been doing monitoring, spreading quesionaire and studying the manuals like the Bible, the Church Documents and the opinion of some experts. Studying the manual is needed to get inspiration and then reflected to make interesting program to improve their faith and their understanding of the meaning of the Sacrament of the Eucharist and to practise in daily activities.

(12)

x

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih karunia yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudulUSULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA.

Skripsi ini lahir dari pengamatan penulis tentang penghayatan makna Sakramen Ekaristi Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. Putera altar sudah mampu menghayati makna Sakramen Ekaristi namun masih membutuhkan bimbingan sehingga semakin mantap dalam menghayati Sakramen Ekaristi ini. Putera altar diharapkan semakin mampu menghayati sekaligus memetik makna dari Sakramen Ekaristi yang mereka rayakan bersama dengan umat dan kemudian menerapkannya dalam hidup sehari-hari sehingga iman mereka semakin berkembang.

Selama proses penulisan dan penyusunan karya tulis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu penulis dengan tulus hati mengucapkan banyak terimakasih terutama kepada: 1. Drs. FX. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. selaku Kaprodi IPPAK Universitas

Sanata Dharma yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.

(13)

xi

ketulusan hati telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Dra. Y. Supriyati, M. Pd selaku dosen penguji ketiga dan dosen penelitian yang dengan penuh kesabaran mendampingi penulis terutama dalam proses penelitian dalam skripsi ini.

5. Segenap staf dosen dan seluruh karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan semangat kepada penulis.

6. CT. Wahyono Djati Nugroho, Pr sebagai Pastur Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberi dukungan sepenuhnya demi perkembangan iman putera altar.

7. Keluarga tercinta: nenek Lusia Sakiyem, bapak Markus Sukarno, ibu Valentina Purwanti, adik tercinta Virdiana Inggried Marwanti, yang selalu dengan ketulusan hati mendoakan dan memberikan dukungan sepenuhnya bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

8. Markus Pracoyo, yang telah dengan setia mendampingi penulis. Ucapan syukur dan terima kasih atas bantuan, saran, perhatian serta cinta kasihnya yang selalu menguatkan penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

(14)
(15)

xiii 

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……… vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xviii

BAB I. USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL,YOGYAKARTA... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 7

E.Tujuan Penulisan ... 8

F. Manfaat Penulisan ... 8

G.Metode Penulisan ... 9

(16)

xiv 

 

BAB II. SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN

PUTERA ALTAR..………... 12

b. Ekaristi sebagai Perjamuan dan Persekutuan Umat dengan Allah... ... 27

c. Ekaristi sebagai Perayaan Seruan Karunia Roh Kudus (Epiklese)... ... 29

d. Ekaristi sebagai Sumber Kekuatan Hidup Umat ... 30

C.Ekaristi sebagai Pengembangan Iman ... 31

(17)

xv 

BAB III. PENGHAYATAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP, BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA TERHADAP MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN ... 49

A. Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta... ... 50

1. Sejarah Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 50

2. Situasi Umum Umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 54

a. Kondisi Geografis-geologis ... 54

b. Kondisi Wilayah ... 55

c. Kondisi Sosio-budaya ... 57

3. Gambaran Umum Mengenai Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 58

a. Santo Pelindung Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 58

b. Materi yang Disampaikan dalam Kegiatan Putera Altar ... 59

1) Mengenal Peralatan yang Dipakai dalam Perayaan Ekaristi... ... 59

2) Mengenal Pakaian Romo ... 61

3) Warna-warna Liturgi ... 62

(18)

xvi 

 

B. Penelitian tentang Penghayatan Putera Altar Kuasi Paroki Santo   Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta terhadap Makna

Sakramen Ekaristi demi Pengembangan Iman ... 64 

1. Gambaran Penghayatan Putera Altar tentang Makna Sakramen Ekaristi di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta demi Pengembangan Iman Putera Altar ... 69 

2. Pengembangan Iman Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 73 

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 78

1. Gambaran Penghayatan Putera Altar tentang Makna Sakramen Ekaristi di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta demi Pengembangan Iman Putera Altar ... 78

a. Pengetahuan Dasar tenang Alat dan Sikap Liturgi ... 78

b. Makna Sakramen Ekaristi ... 80

2. Pengembangan Iman Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 82

a. Kegiatan Pengembangan Iman ... 82

b. Peranan Penghayatan Makna Sakramen Ekaristi terhadap Pengembangan Iman ... 83

(19)

xvii 

 

E. Keterbatasan Penelitian ... 87

BAB IV. REKOLEKSI REMAJA SEBAGAI USULAN MENINGKATKAN PENGHAYATAN MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL ... 88

A. Pendampingan Remaja dalam Bentuk Rekoleksi ... 89

B. Usulan Program Pembinaan Iman Remaja dalam Bentuk Rekoleksi Remaja yang Tergabung dalam Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... 90

1. Latar Belakang ... 91

2. Tema dan Tujuan Program Rekoleksi ... 93

C. Gambaran Pelaksanaan Program ... 97

D. Matriks Program ... 99

E. Contoh Persiapan Salah Satu Sesi dalam Rekoleksi ... 104

BAB V. PENUTUP ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 118

LAMPIRAN ... 119

Lampiran 1: Surat Penelitian untuk Paroki ... (1)

Lampiran 2: Surat Pernyataan Penelitian ... (2)

Lampiran 3:Kuesioner untuk Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ... (3)

(20)

xviii 

 

DAFTAR SINGKATAN A.Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Deuterokanonika, Lembaga Biblika Indonesia, 2008.

B.Dokumen Resmi Gereja

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

KGK : Katekismus Gereja Katolik.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex luris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963.

C.Daftar Singkat Lain

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia OMK : Orang Muda Katolik

PIA : Pendampingan Iman Anak

(21)

BAB I

USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR

KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

A. LATAR BELAKANG

Remaja merupakan generasi sekarang dan yang akan datang. Mereka adalah generasi masa depan bangsa dan Gereja, disamping itu remaja harus menghadapi berbagai masalah dan kesulitan pada masa remajanya. Kesulitan itu dapat berupa bagaimana mereka mengalami kesulitan mengatasi masalah yang sering mereka hadapi, dan mengambil keputusan yang benar. Selain itu remaja sering terjebak pada situasi yang ada di sekitar mereka dan lingkungan yang membuat mereka labil dalam menentukan pilihan untuk bertindak.

Remaja bukan lagi anak kecil, tetapi mereka juga belum dapat dikatakan orang dewasa. Remaja senang dan ingin dianggap dewasa, namun seringkali mereka belum mampu bertindak dewasa. Remaja belum bertindak dewasa itu dapat dilihat dari bagaimana mereka bertindak dan berperilaku dengan tidak berfikir panjang, mereka hanya melakukan tindakan yang mereka anggap benar tanpa memikirkan akibatnya bagi sesama.

(22)

belum siap. Penemuan jati diri itu membutuhkan proses dan tidak dapat berlangsung dalam waktu yang singkat. Pengalaman hidup dan kedalaman iman dalam menyikapi kehidupan itu dapat membantu remaja untuk menemukan jati diri mereka. Remaja masih labil dalam menentukan sikap yang harus mereka ambil.

Remaja memiliki kecemasan dalam menghadapi masa depan mereka ataupun usaha menemukan jati diri mereka. Mengingat besarnya persoalan pribadi yang harus dihadapi sebagai remaja, maka menjadi sangat sulit bagi mereka untuk dapat memikul tanggung jawab mereka sebagai generasi penerus bangsa dan Gereja.

Gereja secara khusus harus terlibat membantu remaja dalam penemuan jati diri mereka, Gereja secara penuh mempunyai tanggung jawab untuk membimbing kaum remaja untuk senantiasa menemukan jati diri yang selaras dengan nilai-nilai Injili.

Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 229 menyebutkan kaum awam, agar mampu hidup menurut ajaran kristiani, dan mewartakan sendiri dan jika perlu, dapat membelanya dan agar dapat menjalankan peranannya dalam merasul, terikat kewajiban dan mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan tentang ajaran itu yang disesuaikan dengan kemampuan dan kedudukan masing-masing. Maka, berdasarkan kanon tersebut Gereja harus melakukan pembinaan terhadap kaum awam yang di dalamnya terdapat remaja dan nantinya dapat menemukan makna dalam pelayanan mereka.

(23)

keselamatan Allah yang ada di dalam Gereja. Salah satu Sakramen yang sering diikuti oleh remaja adalah sakramen Ekaristi, ini dapat dijadikan sarana untuk semakin membuat remaja menemukan jati diri mereka dan memperdalam iman mereka untuk memaknai tugas perutusan yang mereka emban sebagai pengikut Kristus.

Sakramen Ekaristi, mengingatkan seluruh umat bahwa Yesus Kristus telah mengorbankan dirinya demi menebus dosa manusia dengan wafat di kayu Salib. Hal ini sebagai jaminan hidup bagi umat yang percaya bahwa kelak kita diundang untuk masuk ke dalam kemuliaan bersama Kristus (zaman eskatologis). Melalui sakramen Ekaristi umat termasuk para remaja dapat menimba kekuatan untuk bersatu dan bertindak sebagai murid-murid Yesus Kristus. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa:

Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan cara sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari Tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan (LG, 11).

Melalui Ekaristi umat dapat memperoleh kekuatan, kesegaran hidup, serta kepenuhan rahmat yang berlimpah dari Allah. Umat yang sungguh memaknai Ekaristi memiliki relasi yang erat dengan Allah dan memiliki keberanian untuk bersaksi mewartakan kabar gembira dalam kehidupan sehari-hari.

(24)

Kristus yang hadir dalam Ekaristi, yang memberi kekuatan sekaligus menguduskan tindakan Gereja dalam rangka karya keselamatan Allah di dunia. Ekaristi memberikan penghidupan rohani, dan menjadikan kita taat dalam iman kepercayaan kepada Allah, sekaligus memiliki perhatian khusus dalam menjalankan hidup di dunia (Martasudjita, 2003: 297). Ini dapat menjadi sarana yang tepat untuk membuat umat khususnya para remaja untuk semakin menimba penghidupan rohani yang semakin mendalam dan menjawab semua permasalahan dalam pencarian jati diri.

Gereja mengajarkan kepada kita bagaimana memaknai perjamuan Ekaristi setiap kali kita merayakannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus bersama dengan para murid. Yesus menghendaki agar wafat dan kebangkitannya selalu dikenang dan perjamuan malam terakhir selalu dilakukan oleh umat-Nya melalui perayaan suci yakni Ekaristi. Gereja setiap kali merayakan Ekaristi sebagai bentuk kenangan akan Paska Kristus dalam Doa Syukur Agung.

(25)

mengulang kembali peristiwa pemecahan roti, pengucapan syukur, pembagian roti seperti yang dilakukan Yesus dalam perjamuan malam terakhir bersama dengan para murid-Nya.

Remaja kurang mendapatkan kesempatan yang cukup untuk memperoleh pengetahuan tentang iman mereka terutama mengenai sakramen Ekaristi. Remaja hanya memperoleh pengetahuan dari Pendidikan Agama Katolik di bangku sekolah. Mereka kurang mendapatkan waktu untuk mendalami iman mereka apalagi untuk mendalami makna Ekaristi. Dalam kenyataannya muncullah semboyan Jesus Yes, but the Church No di kalangan para remaja bahkan umat secara umum. Semboyan ini haruslah menjadi pertimbangan bagi Gereja untuk memperbaharui diri dan menjadi tanggung jawab bersama untuk membina remaja sejak dini.

Gereja sudah cukup melakukan pembinaan melalui berbagai paguyuban yang ada. PIA (Pendampingan Iman Anak) bagi anak-anak, OMK (Orang Muda Katolik) bagi kaum muda Katolik, lewat PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) atau KMK bagi para mahasiswa, lewat WK ( Wanita Katolik) bagi para ibu rumah tangga dan sebagainya. Bagi remaja, terdapat putera altar yang melakukan pelayanan pada setiap perayaan Ekaristi. Putera altar merupakan salah satu bentuk pembinaan iman yang diprogramkan oleh Gereja dengan harapan bahwa remaja yang menjadi putera altar itu akan mendapatkan pengetahuan dan sekaligus pembinaan dalam iman mereka dan membantu mereka menemukan jati diri yang sesuai nilai-nilai Injili dan semakin menemukan makna Ekaristi.

(26)

kali kurang dapat menghayati iman mereka dan mereka melayani sebagai rutinitas belaka. Remaja memilih mengikuti kegiatan putera altar karena ada temannya yang mengikuti kegiatan tersebut, ini menjadi keprihatinan Gereja. Putera altar melakukan tugas pelayanan dengan kurangnya penghayatan iman mereka, putera altar sering berbicara dengan anggota putera altar lainnya saat melakukan tugas pelayanan di Gereja. Putera altar pun sering tidak rapi dalam memakai jubah, mereka melakukan perbuatan yang mengurangi kesakralan dari Ekaristi. Ini akan mengakibatkan dampak kemerosotan iman dan semakin banyak yang mengikuti semboyan Jesus Yes, but the Church No, seperti yang disharingkan oleh umat setempat. Oleh sebab itu, melalui skripsi ini penulis bermaksud ingin memberikan sumbangan pemikiran berupa usulan meningkatkan pemahaman tentang makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman remaja khususnya yang tergabung dalam putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. Penulis mengangkat judul skripsi:

“USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA”.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

(27)

1. Remaja mengalami kesulitan dalam penemuan jati diri karena kurang adanya sarana untuk mengembangkan iman demi membantu penemuan jati diri mereka.

2. Pengaruh lingkungan terhadap kurangnya penghayatan terhadap makna perayaan Ekaristi sehingga muncul semboyan Jesus Yes but the Church No yang juga berdampak pada perkembangan iman remaja.

3. Kegiatan putera altar merupakan salah satu sarana untuk semakin meningkatkan penemuan makna perayaan Ekaristi bagi remaja.

4. Kurangnya kesadaran putera altar dalam memaknai pelayanan mereka sebagai putera altar terutama berkaitan dengan sikap Liturgi dan makna Sakramen Ekaristi.

5. Sebagian putera altar mau menjadi putera altar karena ikut temannya yang sudah menjadi putera altar.

C. PEMBATASAN MASALAH

Sehubungan dengan keterbatasan penulis, sumber pustaka yang ada, dan judul penelitian, maka pembatasan masalah terfokus pada “USULAN MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA”.

D. RUMUSAN MASALAH

(28)

1. Sejauh mana remaja yang tergabung dalam Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta sudah menghayati makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman mereka?

2. Kegiatan seperti apa yang dapat membantu Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta menemukan makna sakramen Ekaristi untuk pengembangan iman mereka.

E. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Menemukan makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman remaja yang tergabung di dalam Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

2. Menggambarkan sejauh mana penghayatan sakramen Ekaristi di dalam pengembangan iman Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

3. Memberi sumbangan pemikiran usulan program yang berupa kegiatan pendampingan yang dapat membantu Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta semakin memahami makna sakramen Ekaristi khususnya dalam pengembangan iman mereka.

F.MANFAAT PENULISAN

(29)

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang makna sakramen Ekaristi demi mengembangkan iman dalam kehidupan sehari-hari.

2. Membantu remaja terutama yang tergabung di dalam Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta semakin menghayati sakramen Ekaristi demi pengembangan iman.

3. Memberikan sumbangan kepada para remaja yang tergabung dalam Putera Altar dalam memaknai sakramen Ekaristi demi pengembangan iman Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

G. METODE PENULISAN

(30)

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, penulis menyampaikan pokok-pokok sebagai berikut:

BAB I :

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II :

Dalam bab ini diuraikan tentang iman, pengertian iman, makna iman Kristiani, dasar iman Kristiani, ciri-ciri iman Kristiani yang dewasa, iman Gereja akan Yesus Kristus, sakramen, Ekaristi sebagai sakramen, makna sakramen, makna sakramen Ekaristi, Ekaristi sebagai ungkapan cinta kasih Yesus sehabis-habisnya, Ekaristi sebagai perjamuan dan persekutuan umat dengan Allah, Ekaristi sebagai perayaan seruan karunia Roh Kudus (Epiklese), Ekaristi sebagai sumber kekuatan hidup umat, Ekaristi sebagai pengembangan iman, Ekaristi memberikan semangat untuk berbagi kepada sesama, Pengembangan iman. Sejarah putera altar, definisi putera altar, keanggotaan putera altar, keberadaaan putera altar di paroki, dasar putera altar, tujuan pelayanan putera altar, organisasi putera altar, kegiatan putera altar, tugas khusus putera altar BAB III:

(31)

Yogyakarta, sejarah paroki, situasi umum umat paroki, gambaran umum mengenai putera altar dan kegiatan putera altar di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta, penelitian tentang penghayatan putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta terhadap makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman, metodologi penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, instrumen penelitian dan variabel penelitian, hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian, keterbatasan penelitian.

BAB IV:

Bab ini berisi tentang usulan program dalam bentuk Rekoleksi putera altar sebagai usulan untuk meningkatkan penghayatan makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman Putera Altar di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta, pendampingan remaja model rekoleksi, latar belakang penyusunan program, tema dan tujuan program, gambaran pelaksanaan program, matrik program, dan contoh persiapan salah satu sesi dalam rekoleksi remaja khusus untuk Putera Altar.

BAB V:

Bab ini berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan saran.

(32)

BAB II

SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN PUTERA ALTAR

Bab II ini penulis menguraikan mengenai sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar yang memiliki kesinambungan dengan pembahasan pada bab sebelumnya. Pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana sumbangan makna sakramen Ekaristi bagi iman para remaja Katolik khususnya remaja (laki-laki maupun perempuan) yang tergabung dalam kegiatan putera altar dimana mereka sangat dekat dengan sakramen Ekaristi. Dalam kenyataannya, remaja yang tergabung dalam putera altar melaksanakan tugas pelayanan tanpa tahu makna dari apa yang dilakukan khususnya berkaitan dengan sakramen Ekaristi sehingga semua tugas pelayanan akan jatuh pada rutinitas belaka. Penulis berusaha memberikan sumbangan pemikiran untuk membantu para remaja yang tergabung di dalam putera altar menemukan makna sakramen Ekaristi dalam kehidupan mereka dan demi perkembangan iman mereka.

Dalam bab ini, penulis membahas tentang sakramen Ekaristi dan maknanya melalui Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, dan juga pandangan dari para ahli. Selain itu penulis juga membahas tentang putera altar, berkaitan dengan sejarah putera altar, dan seluk-beluk tentang putera altar.

(33)

Bab II lebih merupakan kajian pustaka. Penulis pada bab ini membagi uraian menjadi empat bagian, yakni pada bagian pertama penulis menjelaskan tentang iman. Pada bagian kedua penulis menjelaskan tentang sakramen Ekaristi. Pada bagian ketiga penulis menjelaskan Ekaristi sebagai tempat pengembangan iman umat. Kemudian secara khusus pada bagian terakhir, penulis menjelaskan sejarah putera altar dan seluk beluk tentang putera altar

Penulis pada bagian awal bab ini didahului dengan penjelasan mengenai iman, sakramen Ekaristi dan dilanjutkan dengan putera altar. Kegiatan putera altar selalu berkaitan dengan perayaan Ekaristi maka dari itu perlu dipaparkan tentang kedua hal tersebut. Melalui Ekaristi, remaja Katolik yang tergabung dalam kegiatan putera altar memperoleh kekuatan rohani untuk berkembang dalam iman serta menghadapi berbagai permasalahan hidup dan memberi semangat untuk berbagi kepada sesama.

A. IMAN

1. Pengertian Iman

(34)

Iman merupakan suatu penyerahan diri manusia secara total kepada Allah secara ikhlas tanpa terpaksa. Iman berkaitan dengan wahyu yang berasal dari Allah untuk manusia. Allah menyapa, menjumpai, dan menyerahkan diri hanya untuk manusia, hal ini menjadi sebuah perjumpaan yang menandakan suatu persahabatan mesra antara manusia dan Allah. Allah dengan penuh kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia. Maka dengan menjadi sahabat, Allah tetap menginginkan suatu tanggapan dan jawaban dari manusia akan sapaanNya atau wahyu yang mau menjalin hubungan mesra antara manusia dan Allah. Allah menyatakan memberikan kelimpahan Cinta Kasih kepada manusia dan tinggal memberikan jawaban yang tulus dari hati apakah mau menerima pemberian Allah itu (KWI, 1996: 127-128).

Pada dasarnya iman memiliki suatu kehendak yang bebas. Di dalam memilih suatu pilihan tidaklah mudah tetapi kita memiliki kebebasan yang ada dalam diri untuk memilih, menentukan pilihanpun juga dirasa sulit untuk mengambil keputusan. Kehendak yang bebas lebih dari mengikuti suara hati untuk menentukan arah hidup sendiri melainkan sampai pada manusia memasuki kemerdekaan Allah. Kemerdekaaan Allah yang dimaksud adalah dimana manusia memiliki kebebasan yang menjadikan manusia untuk masuk ke dalam kebebasan untuk merdeka bersama Allah, bebas untuk terhindar dari rasa takut dan merasa damai bersama Tuhan. Hidup seturut kehendak kasih Tuhan dari pada mementingkan diri sendiri. Kasih Allah menembus rasa takut dan cemas dan membebaskan manusia dari segala kegelisahan (KWI, 1996: 128).

(35)

maka manusialah yang memberikan jawaban atas panggilan Allah, dan melakukan penyerahan diri seutuhnya terhadap Allah yang menjumpai manusia secara pribadi. Iman menjadi suatu jawaban atas panggilan Allah serta pernyataan diri Allah secara pribadi kepada manusia secara langsung. Manusia akan menemukan imannya bila dirinya mengalami pengalaman religious yang sungguh memberikan penyadaran akan karya Allah terhadap manusia (KWI, 1996: 129).

2. Makna Iman Kristiani

Iman berhubungan dengan kepercayaan (berkaitan dengan agama) dan keyakinan kepada Allah, atau ketetapan hati, keteguhan batin. Percaya berarti mengakui bahwa sesuatu memang benar atau nyata, menganggap bahwa sesuatu itu benar-benar ada, menganggap seseorang itu jujur dan sebagainya. Iman memiliki suatu kesamaan dengan percaya dan ini sama-sama menunjukkan suatu keyakinan terhadap yang benar dan nyata. Keyakinan di sini lebih pada suatu pernyataan hati atau ketetapan hati seseorang terhadap apa yang diyakini. Tetapi ketetapan hati itu tidaklah selalu terungkap dengan suatu pembuktian yang pasti. Pada umumnya kata iman digunakan dalam konteks hubungan dengan Allah dan kata percaya dapat digunakan dalam hubungan dengan Allah dan sesama manusia (Martasudjita, 2010: 12-16).

(36)

yang benar menurut hati nuraninya untuk bergabung atas apa yang diyakininya. Dalam Gereja pengungkapan iman sungguh nampak ketika mengucapkan syahadat para rasul yaitu Aku percaya.

Dalam Perjanjian Lama, iman mengungkapkan tanggapan atas perwahyuan diri Allah kepada umat bangsa Israel. Umat bangsa Israel memiliki hubungan yang sungguh dekat dengan Allah. Bahkan bangsa Israel menjadi bangsa yang terpilih oleh Allah didalam pewahyuan-Nya dan mereka menjadi umat yang sungguh dikasihi oleh Allah.

Dalam Perjanjian Baru, iman yang mau dicapai dalam Perjanjian Baru tertuju pada tindakan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus, yang terungkap dalam Kitab Suci. Banyak sekali ungkapan akan iman yang terlihat di dalam Kitab Suci, misalkan saja: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (bdk. Rom 10: 9).

(37)

3. Dasar Iman Kristiani

Iman yang dimiliki tidaklah datang begitu saja tanpa sebuah dasar. Dasar Iman Kristiani yaitu wahyu. Melalui wahyu Allah, manusia disapa, Allah mengenalkan diri pada manusia, serta mengajak manusia untuk mengikuti jalan kebenaran. Dengan mewahyukan diri kepada manusia, Allah mengharapkan manusia untuk memberikan tanggapan atas wahyu-Nya. Manusia menerima wahyu Allah berarti dapat mengenal siapa Allah itu dan bila ingin lebih mengenal maka ia harus bergaul dengan Allah dari hati kehati seperti halnya manusia menyatakan cintanya kepada sesamanya. Ini menjadi suatu tindakan yang konkrit manusia sebagai tanggapan dari wahyu Allah (Dister, 1991: 85-86).

Selain Wahyu Ilahi, dasar Iman Kristiani yang lainnya adalah iman para rasul. Ini menjadi sebuah dasar karena kedua belas rasul yang telah bersama-sama dengan Yesus menyaksikan perbuatan, tindakan, dan mendengarkan ajaran-Nya. Apa yang dikerjakan oleh Yesus merupakan ajaran yang benar karena berasal dari Bapa yaitu ajaran cinta kasih yang memberikan suatu pertobatan bagi manusia.Yesus selalu mengajak untuk bertobat dan berdamai dengan Allah. Dengan tindakan-tindakan Yesus yang disenangi oleh banyak orang, membuat mereka sadar dan banyak yang mengikuti-Nya. Banyak orang yang mengikuti Yesus membuat pemuka-pemuka agama yang iri dengan-Nya. Dengan rasa iri ini membuat pemuka agama itu merencanakan untuk memasukkan Yesus dalam hukuman yang membawa Dia sampai pada kematian (Michel, 2001: 45-46).

(38)

yang dianggap Mesias telah mati dan misi yang telah dirintis-Nya dianggap telah gagal. Dengan kejadian yang telah dialami, murid Yesus menyingkir sementara untuk berdoa memohon petunjuk dari Allah. Selama penyingkiran ke tempat yang tenang dan sampai pada hari ketiga kelompok kecil murid-murid Yesus (Maria Magdalena, Petrus dan Yohanes, dan dua orang murid yang berjalan ke Emaus) dan kelompok besar (10 murid, lalu 11 murid semuanya, kelompok besar 500 orang) menyatakan dan menyakini bahwa Yesus Kristus telah bangkit dari mati (bdk. 1Kor 15: 1-11). Pengalaman perjumpaan dengan Kristus selalu dialami oleh mereka selama sebulan (40 hari) dan setelah itu mereka tidak mengalami lagi. Dengan pengalaman yang mereka jumpai ini membuat mereka berfikir apa yang harus mereka lakukan. Mereka merenungkan dan berdoa memohon petunjuk pada Allah. Di dalam permenungan mereka merasakan Allah hadir dalam diri dan seolah-olah mereka sungguh dipenuhi Roh Allah yang berkarya dalam diri mereka. Dengan adanya kepenuhan akan Roh Allah mereka berupaya untuk menyebarluaskan apa yang telah mereka alami kepada semua orang ketika hidup bersama Yesus dengan cara berkhotbah.

4. Ciri-ciri Iman Kristiani yang Dewasa

(39)

kegiatan percaya, iman sebagai kegiatan mempercayai, dan iman sebagai kegiatan melakukan (Groome, 2010: 81).

Iman Kristiani dinyatakan akan dikatakan semakin dewasa jika sampai pada tindakan-tindakan nyata perwujudan iman dengan karya kerasulan seperti yang tertulis dalam Dekrit Apostolicam Actuositatem, dokumen Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam artikel 9 yang berbunyi:

Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-macam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tata hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul. Yang lebih penting di antaranya akan kami uraikan di sini, yakni: jemaat-jemaat gerejawi, keluarga, kaum muda, lingkungan sosial, tata nasional, dan internasional. Karena zaman sekarang ini kaum wanita semakin berperan aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa keikut-sertaan mereka diperluas, juga di pelbagai bidang kerasulan Gereja.

Dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam artikel 9 ini sangat jelas terlihat kedewasaan iman Kristiani yaitu dengan iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata menjawab semua kebutuhan dan permasalahan iman baik itu dalam lingkup jemaat-jemaat gerejawi, keluarga, kaum muda, bahkan sampai pada kegiatan pelayanan untuk menjawab permasalahan sosial baik itu dalam skala nasional maupun internasional.

5. Iman Gereja akan Yesus Kristus

Katekismus Gereja Katolik (KGK), menyatakan bahwa iman akan Yesus

(40)

menopangnya dan memupuknya. Iman Gereja mendahului iman kita dan menjadi ibu semua orang beriman (KGK 181).

Dalam Gereja yang menjadi pusat iman Kristiani adalah Yesus Kristus. Gereja sungguh berpegang teguh dalam iman untuk mewartakan-Nya keseluruh dunia. Peristiwa-peristiwa hidup-Nya menjadi sumber kekuatan untuk kehidupan Gereja. Gereja menjadi tempat untuk memunculkan kisah hidup Yesus, mengingat kenangan-Nya dan sekaligus untuk memupuk iman manusia. Dengan menumbuhkan dan memupuk iman melalui Gereja berarti kita menghidupi dan mengambil bagian dari Gereja dan juga menanamkan sikap percaya bahwa Yesus Kristus selalu hadir di dalamnya.

(41)

B. SAKRAMEN EKARISTI 1. Sakramen Ekaristi a. Pengertian Sakramen

Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), Sakramen adalah “kekuatan-kekuatan” yang datang dari Tubuh Kristus (bdk. Luk 5:17; 6:19; 8:46), yang tetap hidup dan menghidupkan. Mereka adalah tindakan-tindakan Roh Kudus yang bekerja di dalam Tubuh-Nya, Gereja. Mereka adalah “karya-karya agung Allah” dalam perjanjian baru dan kekal (KGK 1116).

Sakramen-sakramen ditetapkan Kristus dan dipercayakan kepada Gereja sebagai tanda berdaya guna yang menghasilkan rahmat dan memberikan kehidupan ilahi kepada kita. Ritus yang tampak dengan mana Sakramen-sakramen itu dirayakan, menyatakan dan menghasilkan rahmat, yang dimiliki setiap Sakramen. Bagi umat beriman yang menerimanya dengan sikap batin yang wajar, mereka menghasilkan buah (KGK 1131).

Sakramen adalah suatu tanda lahir yang ditetapkan oleh Kristus dan terdiri dari suatu perbuatan dan perkataan yang menerangkannya sebagai lambang rahmat yang tidak kelihatan yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri si penerima. Setiap sakramen memberi rahmat yang khas berkat pertemuan dengan Kristus yang khas (Janssen, 1993: 38).

(42)

mempersiapkan orang beriman dengan sangat baik untuk menerima rahmat dengan berdayaguna bagi kehidupan manusia, untuk menyembah Allah dengan tepat dan untuk melaksanakan cinta kasih (Janssen, 1993: 38).

Gereja menjadi sebuah tanda atau perwujudan yang nyata dari penyelamatan Allah. Sakramen dapat diartikan sebagai peristiwa konkrit duniawi yang menandai karya keselamatan Allah di dunia.

Sakramen secara tidak langsung berkaitan dengan simbol religius, keagamaan. Tetapi semua yang berkaitan dengan hal religius tidak dapat dikatakan sakramen. Simbol religius dapat dibedakan menjadi dua, yaitu simbol ekspresif, yang artinya sebuah realitas fisik (benda atau perbuatan) menjadi ungkapan dari suatu pengalaman keyakinan, perasaan, terhadap yang Transenden. Dengan simbol ekspresif, orang lain dapat sampai kepada pengalaman batiniah yang sama seperti halnya membuat sebuah tanda salib dan penyalaan lilin sebagai simbol Allah hadir dalam kehidupan.

Simbol yang kedua yaitu simbol representatif, sebuah lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman biasa dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sakramen termasuk dalam macam simbol religius yang kedua ini yaitu simbol representatif (Groenen, 1990: 20-21).

(43)

sebuah imanlah manusia dapat menangkap akan rahmat Tuhan. Iman manusia dapat memupuk, meneguhkan, dan mengungkapkan tanggapannya itu terhadap Allah baik dengan benda maupun kata-kata, tindakan (KWI, 1996: 397).

b. Ekaristi sebagai Sakramen Cinta Kasih

Konstitusi Sacrosantum Concilium (SC), dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci menyatakan bahwa Kristus “mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Mempelai-Nya: Sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” (SC 47). Gereja dipercaya oleh Kristus untuk melanjutkan karya keselamatan dari Allah yang merupakan misteri Kristus sendiri yang tergambar dari kenangan wafat dan kebangkitan Kristus. Dengan melalui sakramen, Gereja mewujudkan Rahmat keselamatan dan cinta kasih bagi semua orang.

Ekaristi menjadi sakramen cinta kasih melambangkan kesatuan antara Allah dengan Gereja-Nya (Martasudjita, 2005: 297). Dengan adanya Ekaristi akan menjadikan bukti kasih Allah kepada manusia dengan kesatuannya dengan manusia. Manusia sering bertindak dosa dan jauh dari Allah namun dengan cinta kasih-Nya, Allah terus “merangkul” manusia kembali untuk bersatu dengan-Nya.

c. Makna Sakramen

(44)

bidang yang suci atau kudus. Jadi kata sacramentum itu menunjuk pada suatu hal yang menguduskan (Martasudjita, 2003: 61). Sakramen memiliki sebuah kekhasan yaitu pengudusan itu berasal dari diri sendiri, bersifat rohani Ilahi karena itu tidak kelihatan. Dalam Gereja yang tidak kelihatan tersebut akan menjadi nyata melalui Sakramen. Perkataan manusia dan benda duniawi dibuatnya sebagai sarana untuk menyatakan apa yang dilakukan Yesus terhadap para murid (Janssen, 1993: 34).

Sakramen dapat pula diartikan sebagai tanda pemberian Rahmat Allah, karena melalui sakramen, Allah berkarya dalam diri penerimanya yaitu melaksanakan misteri penyelamatan yang harus dihayati secara sungguh-sungguh sebagai ungkapan/tanggapan iman. Sakramen bukan hanya mengandalkan iman tetapi juga diharapkan dapat menghubungkannya dengan kehidupan dan meneguhkan dengan kata-kata sehingga sakramen dinamakan juga sebagai komunikasi iman umat beriman (Janssen, 1993: 41).

Sakramen merupakan sebuah “misteri”, misteri yang berarti bahwa rahasia keselamatan Allah ditampakkan oleh Allah sendiri melalui peristiwa-peristiwa yang konkret di dunia ini. Rahasia itu dinyatakan di dalam seluruh ciptaan melalui penciptaan dan lebih sempurna dinyatakan dalam peristiwa Yesus Kristus. Sakramen dapat dimaknai sebagai peristiwa duniawi yang nyata dimana dapat menandai, menampakkan, dan melaksanakan atau menyampaikan karya penyelamatan yang dilakukan oleh Allah (KWI, 1996: 400).

(45)

dipergunakan untuk menerjemahkan sebuah kata Ibrani sôd. Mysterion berasal dari kata my, kata kerja myein, yang memiliki arti menutup mulut atau mata sebagai reaksi atas pengalaman yang mengatasi nalar, pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dengan demikian mysterion memiliki sebuah makna dasar yaitu suatu pengalaman batin yang tak terlukiskan dengan kata-kata karena pengalaman perjumpaan dengan Yang Ilahi (Martasudjita, 2003: 62).

Tanda sakramental dijelaskan dengan menggunakan lambang atau simbol. Berkaitan dengan hal tersebut, manusia memiliki roh membadan, dengan maksud apa yang dilakukan manusia untuk memuji Tuhan sudah nampak terungkap dalam badan itu, jadi tanda-tanda badaniah sungguh terungkap lebih mendalam dari pada perbuatan-perbuatan konkret, ungkapan yang mendalam itu ialah jiwa dan sikap rohani. Dengan perbuatan manusiawi, kita mengalami cinta ilahi oleh karena itu perbuatan manusiawi yang dilakukan melambangkan perbuatan Allah terhadap kita. Dalam situasi demikian maka hendaklah ritus-ritus sakramen dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh penuh dan harus dirasakan. Selain itu penting disadari pula bahwa perbuatan manusia yang nyata itu akan sungguh menjadi Sakramen Kristiani jika melalui perkataan yang diucapkan. Maka dari itu Allah mendekati dan menyelamatkan manusia secara konkret badaniah melalui segala perbuatan dan perkataan yang membentuk tanda dan lambang (KWI, 1996: 400-401).

2. Makna Sakramen Ekaristi

a. Ekaristi sebagai Ungkapan Cinta Kasih Yesus Sehabis-habisnya

(46)

pengampunan dosa dan juga mempersatukan manusia dengan Allah. Yesus sendiri yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya demi cintanya kepada manusia. Dalam pengorbanan Yesus di kayu salib melambangkan bahwa semua dilakukan dengan penuh penyerahan diri kepada Allah sendiri atas segala ketakutan yang dialami Yesus sebelum disalib. Semua pengorbanan Yesus ini merupakan teladan cinta kasih yang sempurna melalui penyerahan tubuh dan darah Kristus sendiri demi menebus dosa manusia. Pengorbanan dan persembahan diri Yesus menjadi lebih dikenang dalam Gereja yakni dalam Ekaristi.

Ekaristi memperlihatkan cinta kasih dengan kurban persembahan diri Yesus pada Allah. Melalui kurban Yesus ini, Gereja menghayati-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi menjadi salah satu tempat untuk kurban persembahan kepada Allah. Kurban dalam konteks kita di dunia adalah seluruh diri dan kegiatan duniawi yang kita lakukan akan dipersembahkan kepada Allah. Apa yang ada di dalam dunia itu milik Allah dan sepantasnya kita kembalikan kepada Allah untuk mengucapkan syukur atas pemberiannya. Berkat Yesus Kristuslah segala sesuatu menjadi gambar dan ungkapan kemuliaan Allah di dunia (Grün, 1998: 11-12).

(47)

menjadi kenangan, kita sebagai umat beriman diajak untuk mengingat tindakan Allah yang menyelamatkan dunia dari belenggu dosa yang terlaksana melalui karya Yesus (Martasudjita, 2005: 293-295).

Kurban Ekaristi ini ditetapkan untuk ”mengabadikan kurban salib untuk selamanya”(SC 47). Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan perayaan Ekaristi maka akan mengabadikan cinta kasih Yesus Kristus dalam kurban salib yang pernah Yesus lakukan. Ada kesatuan antara kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus yaitu Ekaristi merupakan suatu kurban dalam nama Yesus Kristus yang mengabadikan kurban salib-Nya yang sekali untuk selamanya di dalam, melalui, dan dengan Gereja (Martasudjita, 2005: 295).

b. Ekaristi sebagai Perjamuan dan Persekutuan Umat dengan Allah

(48)

membiarkan diri dihantar menuju persekutuan dengan Allah. Dengan penyerahan diri ini juga memiliki makna bahwa kita melepaskan keterarahan pada yang lahiriah untuk dapat berhubungan lebih baik dengan dunia batin, dengan kenyataan kerajaan Allah dimana manusia menjalin persekutuan dengan Allah.

Ekaristi adalah perjamuan kegembiraan karena kita ditemukan kembali, karena Kristus telah mempertemukan kembali bagian-bagian diri kita yang terpisah sehingga kita menjadi utuh dan sehat, seperti dalam perumpamaan anak yang hilang. Si bungsu kembali kepada Bapa dengan penuh kegembiraan dan disambut dengan perjamuan pesta oleh Bapa. Manusia secara individu tidak layak untuk mengikuti perjamuan kegembiraan dengan Allah ini, namun Allah memberikan pakaian terindah dan Allah mengenakan kita dengan kemuliaan-Nya. Ekaristi juga hadir sebagai perjamuan pesta yang diselenggarakan Allah untuk kita, sebab kita yang sudah mati kini hidup kembali, kita yang sudah hilang kini ditemukan kembali.

Ekaristi juga berarti bahwa Yesus merayakan perjamuan dengan kita, sebab Dia menaruh kepercayaan kepada benih kebaikan dalam diri kita dan hendak membiarkan benih kebaikan itu tumbuh. Pada intinya perjamuan Ekaristi mempererat hubungan kita dengan Allah dan sesama. Maka dari itu perayaan Ekaristi sebagai perjamuan dapat pula diartikan sebagai tempat perwujudan diri, sebuah tempat dimana kita menemukan diri sendiri dan orang lain dan mengalami Allah sebagai pusat dan teladan hidup (Grün, 1998: 29-48).

(49)

Kristus. Di dalam Doa Syukur Agung tercantum suatu rumusan permohonan untuk Roh Kudus untuk koinonia secara lebih dekat seperti halnya apa yang dikatakan oleh Paulus: “Perkenankanlah agar semua yang ikut menyantap roti yang satu dan minum dari piala yang sama ini dihimpun oleh Roh Kudus menjadi satu tubuh”. Koinonia juga berarti partisipasi atau peran serta manusia untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah yakni peran serta dalam Roh Kudus dalam hidup baru, dalam cinta kasih, dan terutama di dalam Ekaristi (Martasudjita, 2005: 358).

Menurut Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG), dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, disebutkan bahwa dalam Ekaristi terlihat adanya koinonia, dalam dan dengan Kristus maupun dalam dan dengan Gereja. Umat beriman berkumpul karena pewartaan Injil Kristus dan dirayakan dalam misteri perjamuan Tuhan supaya dengan berlandaskan pada Tuhan akan membuat hubungan jemaat semakin erat. Dalam altar dengan pelayanan suci uskup sangatlah terlihat suatu lambang cinta kasih dan suatu ‘kesatuan Tubuh Mistik yang menjadi syarat untuk keselamatan’. Dengan lambang ini jemaat yang kecil, miskin, dan tersebar menjadi satu di dalam Kristus dan berkat kekuatan Tuhan terbentuk suatu Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik (LG 26).

c. Ekaristi sebagai Perayaan Seruan Karunia Roh Kudus (Epiklese)

(50)

orang di dalam perayaan Ekaristi pastinya berdoa memohon kepada Allah supaya menurunkan Roh Kudus untuk mengkuduskan roti dan anggur supaya menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Di sinilah karunia Roh Kudus sungguh bekerja dan memberikan hidup bagi umatnya yang telah dikasihi oleh Allah. Tanpa kehadiran Roh Kudus keselamatan yang telah dipercayakan di dalam Gereja tak akan terjadi dan rencana keselamatan Allah pastinya hanya terlihat abstrak saja tanpa ada perwujudan yang nyata. Berkat karya Roh Kudus rencana Keselamatan Allah sungguh-sungguh terjadi dalam diri Kristus dan di dalam Gereja. Itulah sebabnya umat beriman memohon agar Allah mengutus Roh Kudus untuk hadir dan menguduskan persembahan dan umat beriman sendiri. Berkat Roh Kudus menjadi tindakan penyelamatan Allah dalam Kristus disampaikan dan diperluas kepada umat beriman dalam perayaan Ekaristi (Martasudjita, 2005: 357-358).

Seruan karunia Roh Kudus juga diserukan kepada semua umat Allah yang sungguh beriman. Umat Allah yang beriman akan sungguh dikasihi dan akan menjadi satu daging dengan Tubuh dan Darah Kristus. Ini menunjukkan karya ilahi yang sungguh menyelamatkan. Umat sering jatuh ke dalam dosa namun Allah tetap merangkul dan mengajak umat untuk bersatu dengan-Nya. Dengan adanya persatuan ini terbentuk suatu persekutuan berkat pengudusan dari Roh Kudus (Martasudjita, 2005: 358).

d. Ekaristi sebagai Sumber Kekuatan Hidup Umat

(51)

341-342). Maka dari itu Ekaristi tampil sebagai kekuatan baru untuk mengatasi permasalahan ini. Ekaristi merupakan sumber kekuatan bagi umat beriman dan salah satu caranya adalah dengan refleksi teologis mengenai Ekaristi yang berpangkal tolak dari praksis di sekitar umat beriman. Dengan demikian sungguh Ekaristi mampu menjadi sumber kekuatan hidup umat di tengah segala permasalahan hidupnya.

Umat dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari permasalahan-permasalahan hidup. Dengan adanya permasalahan-permasalahan hidup, umat memiliki daya untuk dapat keluar dari permasalahan dan ingin memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itulah umat Kristiani selalu merayakan Ekaristi untuk menimba kekuatan dari Allah untuk menghadapi segala rintangan yang ada. Umat Kristiani tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan Allah. Maka dari itu Ekaristi merupakan sumber kekuatan orang Kristiani. Dengan berkumpul merayakan Ekaristi umat Kristiani memperoleh kekuatan untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari (Martasudjita, 2012: 57).

C. EKARISTI SEBAGAI PENGEMBANGAN IMAN

1. Ekaristi Memberikan Semangat untuk Berbagi Kepada Sesama

(52)

kebangkitan-Nya. Dengan pujian syukur tersebut, Gereja mengenangkan misteri penebusan Kristus (Martasudjita, 2005: 29).

Ekaristi yang dirayakan umat menandakan bahwa Tuhan hadir di tengahnya. Ekaristi merupakan sebuah perayaan yang memiliki nilai kebersamaan, kesatuan, partisipasi dan kontekstual (Martasudjita, 2005: 106-107). Ekaristi merupakan kegiatan bersama yang melibatkan banyak orang. Umat yang juga terdiri dari para remaja hendaknya mampu memaknai persatuan dalam satu keluarga dalam Kerajaan Allah melalui Ekaristi. Ekaristi juga mengajak kita untuk kembali mewujudkan kebersamaan, dan partisipasi sesuai dengan konteks saat ini dengan berbagi kepada sesama.

(53)

Mengikuti perayaan Ekaristi juga berarti kita siap untuk diutus. Kita mewujudkan perutusan mewartakan kabar gembira dari Tuhan dengan melakukan tindakan kebaikan bagi sesama. Yesus sendiri telah memberikan teladan bagi kita melalui pembasuhan kaki para peserta perjamuan terakhir. Kita melalui teladan ini diharapkan mampu untuk memberikan pelayanan bagi sesama dengan ketulusan dan kerendahan hati.

2. Pengembangan Iman

Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab kepada Allah (Dister, 1991: 139). Manusia menjawab-Nya dengan melibatkan seluruh pribadinya yang ada dalam diri. Wahyu yang datang dari Tuhan merupakan anugerah yang terindah untuk manusia. Manusia memberikan jawaban atas kebenaran iman terhadap wahyu Allah. Wahyu merupakan pertemuan Allah dan manusia (KWI, 1996: 127). Pertemuan ini merupakan wujud kasih Allah yang ingin berelasi dengan manusia. Relasi Allah dengan manusia ini akan dapat terjalin jika manusia mampu menanggapi wahyu Allah itu dengan intim dan sungguh dengan kerendahan hati untuk membuka pintu demi kedatangan Allah dalam hidupnya.

(54)

untuk mengasihi satu sama lain dan mengandalkan Allah dalam hidup (Heryatno, 2008: 29). Untuk sampai pada tindakan tersebut maka remaja perlu di dampingi dalam perkembangan iman mereka. Umat harus semakin menerapkan iman yang sungguh ada kesinambungan antara pemikiran, hati dan tindakan yang akan menjadi teladan untuk remaja sebagai generasi penerus Gereja.

Iman Kristiani mencakup tindakan meyakini, mempercayai, melakukan kehendak Allah (Heryatno, 2008: 29). Ketiga cakupan ini sangat mendasari terwujudnya iman yang berkembang di dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyakini akan wahyu Allah itu benar maka segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan keyakinan kebenaran pastinya memberikan kebahagiaan bagi sesama.

(55)

perbuatan-perbuatan konkret dan mendarah daging sehingga mampu merasakan kebahagiaan sejati bersama Allah dalam kerajaan-Nya dan demi kemuliaan nama Allah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh James Fowler, ada enam tahap perkembangan iman, yaitu Iman Intuitif-Projektif (2-6/7 tahun), Iman Mitis-Harafiah (7-12 tahun), Iman Sintetis-Konvensional (13-21 tahun), Iman Individual-Reflektif (21-35 tahun), Iman Konjungtif (30 tahun ke atas), dan Iman yang mengacu pada Universalitas (Groome, 2010: 100-107).

Tahap Iman Intuitif- Projektif adalah tahap dimana iman dibentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang penting, terutama orang tua. Dalam tahap ini, dunia dikenal dengan cara meniru orang-orang dewasa. Pada tahap pertama ini, adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas dimana gambaran dan perasaan yang dapat bertahan lama dibentuk. Dalam tahapan ini fakta dan fantasi belum dapat dibedakan sehingga menimbulkan akibat simbol-simbol diartikan secara harafiah (sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat melakukan apa saja).

(56)

tahap ini, kata-kata dari orang yang lebih tua masih sangat penting dan berkuasa atas kata-kata dari teman-teman sebayanya.

Tahap ketiga adalah tahap Iman Sintesis-Konvensional. Pada tahap ini memiliki sifat menyesuaikan diri, yaitu seseorang merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan-keputusan orang-orang lain yang penting. Pada tahap ketiga ini manusia secara sadar sudah bisa membagi kehidupan ke dalam segmen-segmen atau “medan-medan tindakan”. Penambahan rasa percaya pada pendapatnya sendiri melebihi tahap kedua, namun hanya digunakan untuk memilih otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Iman tidak dipilih sendiri, namun terus bersifat “konvensional”, dengan otoritas yang memperkuat ditempatkan di luar orang tersebut.

Tahap keempat adalah tahap Iman Individual/Reflektif. Pada tahap ini seseorang mencapai iman yang lebih otonom dan mulai ada kesadaran baru yang ditemukan mengenai paradoks-paradoks kehidupan seperti “individu melawan komunitas; khusus melawan universal; relatif melawan absolut; melayani diri sendiri melawan melayani orang lain dan subjektivitas melawan objektivitas. Pada tahap keempat ini terdapat kemampuan baru untuk berdiri sendiri, dan kelompok miliknya dipilih berdasarkan refleksi dan bukan hanya diterima seperti pada tahap ketiga.

(57)

pandangan-pandangan orang lain. Pengakuan bahwa pandangan miliknya bukan kebenaran yang final memerlukan keterbukaan yang tulus pada orang lain dan kerelaan yang tulus untuk berdialog dengan mereka. Iman pada tahap kelima ini melibatkan pemakaian kembali pola-pola komitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau. Ini bukan suatu kemunduran melainkan dapat memperoleh kembali “kebenaran-kebenaran lama” dengan cara yang baru. Jika pada tahap ketiga adalah tahap tergantung (dependent) dan tahap keempat adalah tergantung pada diri sendiri (self-dependent), maka tahap kelima ini adalah tahap saling bergantung dimana seseorang dapat bergantung kepada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya. Pada tahap ini ada empati dan kepedulian aktif bagi semua orang dan kelompok, bagi seluruh umat manusia, dan tidak hanya bagi komunitas terdekat miliknya sendiri.

Tahap keenam adalah Iman yang mengacu pada Universalitas. Perkembangan iman tahap keenam ini memiliki ciri khas yaitu seseorang hadir dan tinggal di dunia sebagai orang yang hadir untuk mengubah (transform). Contoh konkret dari perkembangan iman tahap keenam ini adalah Bunda Teresa dari Calcutta yang kehadirannya dapat membantu dan mengubah kehidupan orang miskin dan tersingkir dari masyarakat di India. Dalam perkembangan yang mencapai tahap keenam ini beranggapan bahwa komunitas itu bersifat universal dan terbuka. Kerajaan Allah adalah realitas yang dialaminya saat ini sehingga ia hadir untuk melakukan perubahan yang positif demi terwujudnya suasana Kerajaan Allah yang penuh dengan kedamaian.

(58)

cara yang telah ditentukan sepihak. Maka dari itu pengembangan iman umat harus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan iman yang ada. Pada umumnya umat yang berusia remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar belum mendapatkan porsi yang cukup dalam pengembangan iman sesuai dengan tahap perkembangan imannya. Remaja yang tergabung dalam keanggotaan putera altar adalah laki-laki atau perempuan yang sudah di baptis dan telah menerima komuni pertama. Usia umum menjadi putera altar adalah 9 atau 10 tahun hingga 17 atau 18 tahun. Maka dari itu menurut tahap perkembangan iman dari James Fowler, usia tersebut termasuk dalam tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah dan tahap perkembangan iman Sintesis-Konvensional. Remaja yang berusia 7-12 tahun (Tahap Mitis-Harafiah) adalah remaja yang lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota komunitas iman. Mereka mengambil makna iman dan ajaran-ajaran dari kelompok tempat mereka bergabung. Remaja dalam usia ini, kata-kata dari orang yang lebih tua masih sangat penting dan lebih diperhatikan daripada kata-kata teman sebayanya. Maka dari itu setelah mengetahui tahap perkembangan iman menurut James Fowler, khususnya bagi remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar usia 7-12 tahun, perlu ditindaklanjuti dengan memberikan teladan yang baik dari pendamping dan perlu diperhatikan kegiatan-kegiatan yang dapat semakin membuat iman mereka berkembang dalam kelompok putera altar.

(59)

memiliki sifat untuk menyesuaikan diri dengan menanggapi keputusan-keputusan orang lain yang penting. Penambahan rasa percaya pada pendapatnya sendiri melebihi dari remaja yang memasuki tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah namun hanya digunakan untuk memilih otoritas-otoritas tertentu dan tidak mencakup inisiatif untuk memecahkan ketidakcocokan diantara otoritas-otoritas yang ada. Iman tidak dipilih sendiri melainkan masih bersifat “konvensional” dengan otoritas yang memperkuat remaja tersebut.

Dengan mengetahui tahap perkembangan iman menurut James Fowler, jelas bahwa remaja yang tergabung dalam putera altar adalah remaja yang tahap perkembangannya masih dalam tahap tergantung (dependent). Putera altar perlu perhatian dan keteladanan khusus dari pendamping dan perlu direncanakan suatu kegiatan yang berpengaruh positif bagi perkembangan iman mereka karena mereka pada umumnya masih tergantung pada kelompok dan otoritas yang ada di antara mereka.

D. SEJARAH PUTERA ALTAR

Sejarah putera altar terkait erat dengan sejarah perayaan Ekaristi dan pelayanan para akolit. Dalam hal ini ada keterkaitan antara putera altar, akolit, dan perayaan Ekaristi (Martasudjita, 2008b: 13-14)

(60)

Dalam zaman itu ada bentuk pelayanan yang resmi bagi altar Tuhan yang dikenal dengan nama akolit. Kata akolit berasal dari kata Yunani akoluthos, yang berarti pelayan atau murid. Akolit kemudian digunakan untuk menyebut para frater yang sedang mempersiapkan diri hendak menjadi imam. Pada tahap persiapan itu, para frater yang ingin menjadi imam harus dilantik menjadi akolit dan juga lektor.

Sebelum Konsili Vatikan II, tugas akolit ini termasuk pelayanan yang diterimakan dengan tahbisan, tetapi namanya tahbisan rendah. Namun, sejak tahun 1972, Paus Paulus VI meniadakan tahbisan rendah, dan sebagai penggantinya tugas pelayanan lektor dan akolit untuk para calon imam ini dilimpahkan dalam bentuk upacara pelantikan.

Frater yang akan ditahbiskan menjadi diakon dan imam harus sudah dilantik menjadi akolit dan lektor. Frater-frater yang dilantik menjadi akolit itulah para putera altar yang melayani Paus apabila merayakan Ekaristi. Dalam perkembangannya, karena frater-frater akolit itu tidak banyak, sementara kebutuhan pelayanan para putera altar begitu banyak tersebar di berbagai tempat, maka anak-anak diperkenankan untuk menjadi putera altar. Maka dari itu putera altar sungguh pelayan altar walaupun dibedakan dengan para akolit yang adalah para frater yang sedang mempersiapkan diri menjadi imam.

E. PUTERA ALTAR

(61)

terhadap kelompok putera altar. Di berbagai paroki yang keberadaan putera altarnya terbina dengan baik maka kelompok ini berjalan dengan baik dan mampu menjadi wadah kegiatan bagi para anggotanya, namun bagi paroki yang keberadaan kelompok putera altarnya tidak terorganisasi dengan baik, maka cenderung asal ada kelompok putera altar

Keberadaan putera altar ini sebenarnya menjadi nilai strategis untuk meningkatkan penemuan akan makna Ekaristi bagi remaja. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh penulis di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ini menunjukkan kegiatan putra altar yang kurang mendapat perhatian dari umat sehingga kurang dapat membantu remaja yang tergabung di dalam putera altar untuk semakin menemukan makna Ekaristi dan kegiatan- kegiatan putera altar demi pengembangan iman mereka kurang mendapat dukungan dan pengarahan dari umat maupun pastor paroki.

1. Definisi Putera Altar

(62)

Menjadi putera altar berarti menjadi anak-anak yang melayani altar. Dalam simbolik liturgi Gereja, altar itu melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Pada saat parayaan Ekaristi berlangsung, Tuhan Yesus sendiri hadir secara istimewa di atas altar, dalam rupa roti dan anggur yang akan diterimakan dalam komuni. Dengan demikian putera altar dapat diartikan sebagai pelayan Tuhan Yesus Kristus.

Putera altar merupakan wadah yang efektif bagi peningkatan pemahaman makna sakramen Ekaristi dan memperteguh iman mereka agar nantinya sungguh-sungguh mempunyai kedalaman iman dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari karena pada umumnya dalam lingkup paroki, putera altar merupakan satu-satunya wadah pengembangan iman bagi remaja dan sekaligus dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengenalkan tentang makna Sakramen Ekaristi sejak usia remaja. Semua ini akan membuat remaja Katolik khususnya yang tergabung dalam kegiatan Putera Altar mempunyai iman yang kuat dan penuh demi kemuliaan nama Tuhan.

2. Keanggotaan Putera Altar

(63)

Keanggotaan putera altar perempuan belum lama diperbolehkan oleh Gereja pada tahun 2001, Tahta Suci menyampaikan pernyataan mengenai keanggotaan ini. Inti dari pernyataan tersebut adalah setiap uskup memiliki wewenang untuk memberikan izin kepada remaja perempuan untuk menjadi putera altar dengan tetap mempertahankan keberadaan putera altar laki-laki dalam rangka panggilan imamat (Martasudjita, 2008b: 16-17).

Menurut pengamatan penulis, kelompok putera altar yang berjalan baik akan diminati oleh banyak remaja, namun sebaliknya bagi kegiatan putera altar yang monoton ataupun tidak berkembang cenderung tidak diminati. Semua kegiatan pelayanan yang dilakukan cenderung sebagai suatu rutinitas untuk terlibat aktif di dalam perayaan Ekaristi tanpa berusaha untuk menemukan makna dari perayaan Ekaristi itu sendiri.

3. Keberadaan Putera Altar di Paroki

(64)

4. Dasar Putera Altar

Dasar kegiatan Putera Altar adalah dari sabda-sabda Yesus sendiri yaitu melalui ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci. Adapun sabda-sabda Yesus yang menjadi dasar adalah:

a. “ Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). b. “Kami adalah hamba yang tak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17:10).

5. Tujuan Pelayanan Putera Altar

Menurut penulis, tujuan pelayanan putera altar sebagai petugas liturgi terdapat dalam tugas pelayanan dalam tiga bagian yaitu sebelum, selama, dan sesudah perayaan Ekaristi. Sebelum perayaan Ekaristi, putera altar mempunyai tugas mempersiapkan perlengkapan dan peralatan Misa, membantu Koster, dan mempersiapkan berbagai buku yang akan dipakai dalam perayaan Ekaristi. Selama perayaan Ekaristi, putera altar bertugas melayani imam selama perayaan Ekaristi berlangsung.

(65)

Selain itu putera altar juga bertujuan untuk melayani Tuhan dan umat-Nya, seperti seorang hamba Tuhan yang hidupnya diabdikan seutuhnya bagi Sabda-Nya dan karya-Nya di tengah-tengah umat-Nya (Martasudjita, 2008b: 17). Dengan kata lain, seorang putera altar sebagai pelayan Tuhan maka hidupnya harus sesuai dengan sabda Tuhan. Untuk mengetahui sabda Tuhan itu, maka putera altar harus lebih mengenal kitab suci, rajin mengikuti perayaan Ekaristi dan mampu memaknai perayaan Ekaristi secara lebih mendalam sehingga hidupnya sungguh bertolak pada sabda Tuhan sendiri sehingga menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan hidup sejati.

6. Organisasi Putera Altar

Putera altar memiliki suatu organisasi untuk mengembangkan keberanian untuk tampil dimuka umum bagi para anggota. Organisasi disini bertujuan melancarkan tugas dalam Perayaan Ekaristi. Selain itu organisasi Putera Altar juga berfungsi untuk membina keakraban dan kekeluargaan di antara para anggota putera altar.

Gambar

Tabel I. Variabel Penelitian
Gambaran penghayatan putera altar tentang makna Sakramen Ekaristi di
Tabel 3: Makna Sakramen Ekaristi (N=41)
Tabel 4: Kegiatan Pengembangan iman (N=41)
+3

Referensi

Dokumen terkait