• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN SIK

PERILAKU SEK

KURIKULUM PE

Diajuka Me

PROGRAM STU

UNIV

i

SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHA

EKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAK

PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKO

SKRIPSI

ukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Ratih Prameswari R.

069114013

TUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOL

FAKULTAS PSIKOLOGI

IVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

HADAP

AKNYA

KOLAH

(2)
(3)
(4)

iv

Yang membuatku selalu bersemangat menjalani kehidupan menjadi lebih baik lagi…

Yang selalu sabar menantiku menjadi seorang sarjana…maph pernah membuatmu kecewa…semoga dengan ini bisa mengembalikan sedikit kebahagiaan yang pernah aku ambil..dan aku janji akan menjadi lebih baik…mizz u Aco….

Terimakasih atas supportnya….

Kalian paling oke deh,,buat berbagai macam kenakalan yang melatihku untuk menjadi seorang yang sabar…sabar ngerjain skripsi…hehehe

!

!

!

!

U’re my everything…selalu disampingku yaa melawan musuh-musuh yang gak penting…luph u honey

"

"

"

"

"

"

"

"

#

#

#

#

(5)
(6)

vi

PERBEDAAN SIKAP REMAJA PEREMPUAN TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DITINJAU DARI ADA TIDAKNYA KURIKULUM PENDIDIKAN SEKSUALITAS DI SEKOLAH

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk menguji perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Sikap terhadap perilaku seksual terdiri dari 3 komponen yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian berjumlah 131 yang terdiri dari 66 siswi di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan 65 siswi di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Subyek penelitian merupakan remaja akhir berusia antara 11-19 tahun. Penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap perilaku seksual yang disusun oleh peneliti. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan Independent sample t-test diperoleh nilai t sebesar -0,799 dengan probabilitas 0,426 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis tidak terbukti, bahwa tidak terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Namun, berdasarkan tinjauan tiap komponen sikap, pada komponen kognitif terdapat perbedaan yang signifikan antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dengan nilai t sebesar -0,342 dengan probabilitas 0,001 (p<0,05).

(7)

vii

THE DIFFERENCE OF ATTITUDES OF FEMALE ADOLESCENT TOWARDS SEXUAL BEHAVIOR OBSERVED FROM THE AVAILABILITY

AND NON AVAILABILITY OF SEXUAL EDUCATIONAL CURRICULUM AT SCHOOL

Ratih Prameswari Rintaningrum

ABSTRACT

The aim of this research is to examine the difference of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum and female adolescent that have no sexual educational curriculum at school. There are 3 component of attitudes toward sexual behavior : Affective, Cognitive and Conative. The hypothesis of this research is that there are differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. There are 131 persons as subjects of this research that consist of 66 students that have sexual educational curriculum at school and 65 students that have not. The subjects are female adolescent between 11 years to 19 years of ages. This research uses the attitude scale towards sexual behavior that is compiled by the researcher. Based on the hypothesis using the Independent sample t-test, it is found that the t value is -0,799 with 0,426 (p>0,05) of probability. The result shows that the hypothesis is not valid, that there are no differences attitude towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not. But, based on each component attitude observation, researcher find that in cognitive component there are significant differences of attitudes towards sexual behavior between female adolescent that have sexual educational curriculum at school and those that have not with the t value of -0,342 and 0,001(p<0,05) of probability.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Sikap Remaja Perempuan Terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah” ini hingga terselesaikan. Penulis menyadari proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih atas segala bantuan kepada:

1. Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

2. Ratri Sunar, S.Psi.,M.Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Tanti Arini, S.Psi.,M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

4. C. Siswa Widyatmoko, S.Psi.,M.Psi, sebagai dosen pembimbing skripsi dan Mbak Haksi yang ikut membimbing dan mengarahkan dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.

5. Dra. Sunu, Dra. Tyas, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Terimakasih atas kerjasama yang menyenangkan ini.

6. Victoria Rez Naryanti, S.Psi, selaku guru Bimbingan Konseling di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta.

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

A. Remaja ... 11

(12)

xii

2. Karakteristik Remaja ... 11

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 13

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual .... 13

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 14

3. Bentuk – bentuk Perilaku Seksual ... 15

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ... 17

C. Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 21

1. Jenis Pendidikan Seksualitas ... 22

2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 23

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah ... 27

E. Hipotesis ... 33

BAB. III METODE PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional ... 35

D. Subyek Penelitian ... 36

E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 37

F. Pengujian Alat Ukur ... 39

1. Reliabilitas ... 39

(13)

xiii

3. Seleksi Item ... 40

G. Uji Asumsi ... 43

1. Uji Normalitas ... 43

2. Uji Homogenitas ... 43

H. Metode Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan Penelitian ... 45

1. Orientasi Kancah Penelitian ... 45

2. Uji Coba Alat Ukur ... 50

3. Perijinan Penelitian ... 51

B. Pelaksanaan Penelitian ... 52

C. Hasil Penelitian ... 54

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 54

2. Deskripsi Data Penelitian ... 55

3. Deskripsi Data tiap Komponen Sikap ... 58

4. Uji Asumsi ... 63

a. Uji Normalitas ... 63

b. Uji Homogenitas ... 64

5. Uji Hipotesis ... 64

6. Uji t pada tiap Komponen Sikap ... 65

a. Afektif ... 65

b. Kognitif ... 66

(14)

xiv

D. Pembahasan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

1. Bagi Sekolah ... 74

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 38 Tabel 2. Alternatif Jawaban Skala Sikap ... 39 Tabel 3. Item gugur dan Item yang dapat dipakai ... 41 Tabel 4. Perbedaan Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan

Seksualitas dan Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum

Pendidikan Seksualitas ... 49 Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang memiliki Kurikulum

Pendidikan Seksualitas ... 52 Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang Tidak Memiliki

Kurikulum Pendidikan Seksualitas ... 52 Tabel 7. Persentase Subyek berdasarkan Jenis Sekolah ... 54 Tabel 8. Presentase Subyek berdasarkan Kelas ... 55 Tabel 9. Kategorisasi Sikap berdasarkan Perbandingan Mean Empiris

(16)

xvi

Tabel 18. Hasil Uji Homogenitas ... 64

Tabel 19. Hasil Uji Hipotesis ... 65

Tabel 20. Hasil Uji t pada Komponen Afektif ... 65

Tabel 21. Hasil Uji t pada Komponen Kognitif ... 66

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Skala Uji Coba Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 84

LAMPIRAN 2 : Uji Reliabilitas Skala ... 91

LAMPIRAN 3 : Skala Penelitian Sikap terhadap Perilaku Seksual ... 98

LAMPIRAN 4 : Uji Normalitas ... 104

LAMPIRAN 5 : Uji Homogenitas dan Uji Hipotesis ... 107

LAMPIRAN 6 : Uji t tiap Komponen Sikap ... 109

LAMPIRAN 7 : Verbatim Hasil Wawancara ... 113

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(19)

Banyaknya kasus perilaku seksual di kalangan remaja menimbulkan dampak dari berbagai segi. Dilihat dari segi fisik, dampak yang ditimbulkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), terjangkit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) (Hargreaves dkk., 2007; Guttmacher, 2006). Di Indonesia, berdasarkan data survei yang dilakukan PKBI Sulawesi Utara pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebanyak 254 orang meningkat menjadi 454 orang pada tahun 2011 (ANTARAnews, 27 Maret 2012).Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa angka persalinan usia remaja melonjak dari 50 kasus pada tahun 2010 menjadi 235 kasus pada tahun 2011. Remaja perempuan yang belum mampu bertanggung jawab sebagai orangtua, mereka memilih untuk melakukan aborsi (Coleman, 2006). Angka kasus aborsi di Indonesia relatif tinggi sekitar 2,5 juta per tahun (Harian Jogja, 18 April 2012). Data yang diperoleh dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI pada tahun 2011, menunjukkan jumlah penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 4.162 orang. Menurut survei yang dilakukan Indonesia Young Adult Reproduktive Health (IYARH) menemukan bahwa penyakit menular seksual (PMS) lebih banyak diderita oleh perempuan (sekitar 40%) dibanding laki- laki (hanya sekitar 3%) pada tahun 2007.

(20)

rendah, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang (Omar dkk., 2010; Raatikainen dkk., 2006). Remaja perempuan yang memilih untuk menjadi orangtua cenderung keluar dari sekolah, kurang memiliki kesempatan untuk bekerja, berada pada level sosioekonomik yang rendah, menjadi orangtua tunggal, dan kurang memiliki pilihan untuk mengubah kehidupannya dari kemiskinan (Omar dkk., 2010; Pallito & Murillo, 2008). Aborsi yang dilakukan remaja perempuan cenderung memiliki hubungan dengan gangguan mental seperti post traumatis stress, dan kecemasan sosial (Ross dkk., 2006). Penyakit menular seksual (PMS) yang diderita oleh remaja perempuan juga cenderung berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan stres (Ethier dkk., 2006). Depresi lebih rentan diderita oleh perempuan dibanding laki-laki dan episode depresi lebih banyak pada masa remaja dan dewasa (Essau dkk., 2010).

(21)

terlarang, alkohol, dan rokok cenderung menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual (Boislard & Poulin, 2011; Madkour dkk., 2010; Shrier dkk., 2012). Selain itu, konflik orangtua-anak dan kurangnya pengawasan orangtua menyebabkan remaja memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman lawan jenis (Boislard & Poulin, 2011). Ditambah lagi, mudahnya remaja mengakses informasi mengenai seksualitas dari berbagai media seperti internet, video porno, dan majalah cenderung meningkatkan keinginan remaja untuk berhubungan seksual (L’Engle, 2006; Lou dkk., 2012). Remaja yang memiliki teman yang pernah melakukan hubungan seksual cenderung memiliki minat untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Buhi & Goodson, 2007).

(22)

Remaja perempuan yang bersikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung memiliki efek positif dalam menghindari perilaku seksual (Kirby dkk., 2007). Sikap remaja terhadap perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal individu (Kirby dkk, 2007). Budaya barat yang individulistik dan budaya timur yang kolektivistik dapat mempengaruhi sikap remaja terhadap perilaku seksual sebelum menikah. Menurut penelitian Kuota dan Tolma (2008), keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

(23)

tidak diinginkan (KTD), PMS, dan HIV/AIDS (Chin., 2012; Kirby dkk., 2007; Kohler dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Mueller dkk., 2008; Rijsdijk dkk., 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linberg dan Zimet (2012) menemukan bahwa pendidikan seksualitas memiliki hubungan dengan penundaan hubungan seksual pertama untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pendidikan seksualitas berguna bagi sekelompok remaja yang melakukan hubungan seksual agar terhindar dari penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan alat kontrasepsi dan pengontrol kelahiran (Mueller dkk., 2008). Pendidikan seksualitas di sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan seksualitas abstinence dan pendidikan seksualitas komprehensif. Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah (Chin dkk., 2012; Kohler dkk., 2008). Pendidikan seksualitas komprehensif bertujuan untuk mengurang resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara mencegah terjadinya perilaku seksual ataupun mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual (PMS) dengan menggunakan alat kontrasepsi dan metode pengontrolan kelahiran (Chin dkk., 2012;Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

(24)

materi yang disusun dalam kurikulum tertentu yang dirancang oleh pihak sekolah dan melalui materi yang diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Di Indonesia, ada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan ada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus. Pada sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas, semua materi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara terstruktur oleh guru Bimbingan Konseling selama 1 tahun ajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas secara khusus, materi seputar seksualitas, kesehatan reproduksi, serta pesan moral diberikan secara acak melalui pelajaran Agama dan Biologi sesuai dengan materi pada buku pelajaran yang dipakai. Pendidikan seksualitas diberikan berdasarkan kurikulum nasional. Dengan tidak adanya kurikulum khusus untuk materi pendidikan seksualitas, maka tidak terdapat standar yang sama dalam pemberian materi pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas yang diberikan sangat bergantung pada kecocokan materi pendidikan seksualitas dengan materi utama pada pelajaran Agama dan Biologi, nilai personal yang dimiliki oleh masing-masing guru pengampu mata pelajaran, dan ketersediaan waktu dalam silabus mata pelajaran tersebut.

(25)

guru. Kurikulum pendidikan seksualitas yang efektif dapat meningkatkan pengetahuan mengenai resiko dari perilaku seksual seperti HIV/AIDS, PMS, dan kehamilan (termasuk metode pencegahannya), meningkatkan penerimaan terhadap resiko tersebut, mampu mengubah sikap seseorang, mempengaruhi self efficacy untuk menolak perilaku seksual yang tidak diinginkan, meningkatkan self efficacy untuk menggunakan kondom, meningkatkan motivasi untuk menjauhi perilaku seksual, dan meningkatkan komunikasi dengan orangtua tentang masalah seksualitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Cheng (2009) terlihat bahwa remaja perempuan yang memiliki pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual. Remaja perempuan yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung melakukan penundaan hubungan seksual (Buhi & Goodson, 2007; Kirby dkk., 2007).

(26)

mahasiswa dan tidak memiliki kemampuan dalam mengajar khususnya masalah seputar seksualitas. Selain itu, metode pendidikan seksualitas yang diberikan hanya presentasi dan diskusi antara peneliti dan siswa. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian review yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007) bahwa pendidikan seksualitas yang efektif diberikan berdasarkan kurikulum tertentu di sekolah sehingga pendidikan seksualitas yang diberikan di penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap. Selain itu, pendidikan seksualitas seharusnya diberikan oleh pengajar yang memiliki karakteristik tertentu seperti tertarik mengajar tentang seksualitas, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan siswa, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik sesuai dengan materi. Pengajar yang kurang memahami materi sebaiknya dilatih terlebih dahulu sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada remaja (UNESCO, 2009).

(27)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual ditinjau dari ada tidaknya kurikulum pendidikan seksualitas di sekolah.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur untuk penelitian selanjutnya yang relevan khususnya dalam bidang psikologi pendidikan mengenai seksualitas.

2. Manfaat Praktis

(28)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi perubahan dalam fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia dkk, 2006). Perubahan biologis mencakup terjadinya perkembangan fungsi seksual, perubahan kognitif meliputi terbentuknya proses berpikir abstrak, dan perubahan psikososial mengarah pada kemandirian (Santrock, 2007). Pada masa remaja, seseorang dituntut untuk meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mulai mempelajari pola perilaku dan sikap baru (Hurlock, 1980).

Menurut Hurlock (2004), batasan usia remaja antara 13 sampai 18 tahun. Batasan usia remaja yang dikemukakan oleh Sawyer dkk (2012) adalah 11-19 tahun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja antara 11-19 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.

2. Karakteristik Remaja

(29)

a. Remaja berada pada masa pubertas yang mendorong remaja laki-laki dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku maskulin dan feminim.

b. Pemikiran remaja berada pada tahap operasional formal. Remaja memiliki kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, idealis, dan logis. c. Pada masa remaja, muncul ketertarikan pada hal seputar seksualitas. d. Pada masa remaja, pengaruh teman sebaya lebih besar dibanding

dengan keluarga. Hal ini mempengaruhi remaja dalam tingkah laku, sikap, minat, dan penampilan.

e. Pada masa remaja, konflik dengan orangtua yang berlangsung secara terus menerus berkaitan dengan masalah-masalah seksual remaja sebagai akibat kurangnya pengawasan orangtua.

f. Pada masa remaja terjadi proses belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual sepeti gairah seksual dan perasaan-perasaan tertarik dengan lawan jenis, mengembangkan bentuk intimasi yang baru dengan lawan jenis, dan mempelajari keterampilan dalam mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.

(30)

h. Remaja memperlihatkan bentuk egosentrisme dimana mereka memandang dirinya sebagai sosok yang unik. Hal ini mendorong remaja mengambil resiko dari perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan.

B. Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

1. Pengertian Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual Myers (2012) mendefinisikan sikap sebagai reaksi evaluatif yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap sesuatu dan berakar pada kepercayaan dan muncul dalam perasaan dan kehendak untuk bertindak. Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mendukung atau memihak (favorable) dan perasaan yang tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu obyek (Berkowitz, 1972 dalam Azwar, 2010). Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi)), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitar (Azwar, 2010). Sikap juga didefinisikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten (Ahmadi dkk, 1991).

(31)

atau negatif yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan, perasaan, dan tindakannya terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

2. Struktur Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual

Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang (Mann dalam Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 1985; Ahmadi, 1991), yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

a. Kognitif berupa sesuatu yang dipercaya, dipikirkan, dan diketahui oleh individu yang berjenis kelamin perempuan yang berusia 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

b. Afektif merupakan perasaan individu yang berjenis kelamin perempuan berusia antara 11-19 tahun terhadap segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan. Komponen afektif meliputi perasaan suka (positif) dan perasaan tidak suka (negatif). Pada umumnya reaksi emosional ini ditentukan oleh kepercayaan yang dimiliki seseorang.

(32)

3. Bentuk – bentuk Perilaku seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Sedangkan menurut Rathus (2008), perilaku seksual dengan pasangan adalah segala aktivitas tubuh dalam kaitannya dengan ekspresi erotik. Perilaku seksual dibagi menjadi dua yaitu perilaku seksual yang sehat dan aman, dan perilaku seksual beresiko. Perilaku seksual yang sehat dan aman adalah perilaku seksual yang tidak menimbulkan dampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual dengan cara memakai alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Perilaku seksual beresiko adalah perilaku seksual yang dapat menimbulkan dampak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, dan penyakit menular seksual tanpa memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Chin dkk., 2012).

Dalam penelitian ini, pengertian perilaku seksual adalah segala aktivitas tubuh yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

Menurut Rathus (2008), bentuk-bentuk perilaku seksual meliputi : a. Foreplay

(33)

b. Ciuman

Ciuman terdiri dari dua jenis, yaitu simple kissing dan deep kissing. Simple kissing terjadi ketika ciuman dengan mulut tertutup. Sedangkan deep kissing terjadi ketika pasangan mencium dengan membuka mulut dan lidah saling bertemu di dalam mulut.

c. Sentuhan

Menyentuh bagian tubuh yang sensitif dengan tangan atau bagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan rangsangan.

d. Stimulasi oral genital

Stimulasi oral genital adalah perilaku seksual yang menekankan pemberian stimulus genital oleh mulut. Pemberian stimulasi genital oleh mulut biasanya dilakukan sebelum pasangan melakukan hubungan seksual. Oral genital pada alat kelamin laki-laki disebut fellatio, sedangkan memberi stimulasi pada alat kelamin perempuan dengan mulut atau lidah disebut cunnilingus.

e. Sexual intercourse

Sexual intercourse terdiri dari dua jenis yaitu vaginal intercourse dan anal intercourse. Vaginal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang vagina. Sedangkan anal intercourse adalah hubungan seksual dengan masuknya penis ke lubang anal.

(34)

seksual tersebut adalah dari yang belum berpengalaman, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, saling meraba bagian tubuh di luar pakaian, saling meraba bagian tubuh di dalam pakaian, saling menempelkan alat kelamin, dan berhubungan seksual.

Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk perilaku seksual yang digunakan yaitu memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal intercourse. Alasan menggunakan bentuk- bentuk perilaku seksual di atas karena penelitian ini mengukur perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

4. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual

a. Pengalaman seksual sebelumnya

Remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009).

b. Sikap teman sebaya terhadap perilaku seksual

(35)

(dalam Santrock, 2007). Dibanding kelompok remaja laki-laki, kelompok remaja perempuan cenderung memiliki hubungan yang erat satu sama lain (Grave dkk., 2011). Hal ini mempengaruhi remaja dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laflin, Wang, dan Barry (2008), menemukan bahwa remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang sama dengan teman sebayanya. Ketika teman sebaya memiliki sikap yang tidak mendukung perilaku seksual maka remaja perempuan cenderung untuk memiliki sikap yang sama, dan begitu pula dengan sebaliknya.

c. Budaya kolektivistik

(36)

dalam hal bersikap dan bertingkah laku. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap yang kurang mendukung perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap yang permisif atau mendukung perilaku seksual.

d. Expose terhadap pornografi

Media massa sebagai penyampai informasi dan membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang mampu mengarahkan pandangan remaja. Informasi mengenai sesuatu memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap. Pesan sugestif yang cukup kuat yang dibawa oleh informasi akan memberi dasar afeksi dalam menilai sesuatu sehingga terbentuk arah sikap tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lou dkk (2012), remaja perempuan yang mendapatkan informasi dari internet, film porno, dan majalah dewasa cenderung memiliki sikap permisif atau mendukung perilaku seksual sebelum menikah.

e. Sumber informasi seksual dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual

(37)

yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

(38)

mendukung perilaku seksual dibanding dengan remaja perempuan yang tidak taat beragama (Lefkowitz, Gillen, Shearer, & Boone, 2004). f. Pengaruh faktor emosional

Remaja perempuan yang memiliki pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual sebelum menikah cenderung memiliki perasaan takut dan bersalah ketika akan melakukan perilaku seksual dengan pasangannya (Macleod, 2009). Hal ini mempengaruhi keyakinan remaja untuk tidak melakukan perilaku seksual hingga menikah (Long-Middleton dkk., 2012).

C. Pendidikan Seksualitas di Sekolah

(39)

seksual, aborsi, dan HIV/AIDS (Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Kohler & Lafferty, 2008).

1. Jenis Pendidikan Seksualitas a. Pendidikan seksualitas abstinence

Pendidikan seksualitas abstinence bertujuan untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan dari perilaku seksual dengan cara menunda perilaku seksual hingga menikah. Pendidikan seksualitas ini berlandaskan ajaran agama yang melarang seseorang untuk melakukan perilaku seksual hingga saatnya menikah (Chin dkk., 2012, Kohler dkk., 2008).

b. Pendidikan seksualitaskomprehensif

(40)

2. Kebijakan dan Praktek Pendidikan Seksualitas di Sekolah

a. Sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas berdasarkan teori Kirby

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan. Sedangkan menurut Ebert, dan Culyer (2011), kurikulum adalah metode dan materi pengajaran yang digunakan oleh guru dalam mendidik siswa di sekolah.

Menurut review yang dilakukan oleh Kirby dkk (2007), pendidikan seksualitas yang efektif adalah pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum yang terdiri dari proses pengembangan kurikulum, isi kurikulum, dan implementasi. Adapun struktur kurikulum pendidikan seksualitas sebagai berikut:

i. Proses pengembangan kurikulum yang terdiri dari:

1. Melibatkan berbagai orang yang ahli dibidang seksualitas dalam proses pengembangan kurikulum.

2. Memberikan pendidikan seksualitas berdasarkan kebutuhan siswa.

(41)

4. Spesifik ditujukan untuk tujuan kesehatan, faktor resiko dan faktor protektif yang mempengaruhi perilaku, dan aktivitas yang menunjukkan faktor resiko dan faktor protektif.

5. Uji coba program pendidikan seksual apakah sesuai dengan apa yang siswa butuhkan.

ii. Isi kurikulum

a. Tujuan kurikulum

1. Fokus pada tujuan kesehatan yang jelas

2. Fokus pada perilaku yang mempengaruhi tujuan kesehatan misalnya menjauhi perilaku seksual (abstinence program) atau menganjurkan menggunakan alat kontrasepsi bagi yang aktif secara seksual dan abstinence bagi yang belum pernah melakukan perilaku seksual (komprehensif program). Sekolah diharapkan memberikan pesan yang jelas tentang perilaku tersebut.

3. Menjelaskan faktor resiko dan protektif dari segi sosial dan psikologi seperti pengetahuan, persepsi tentang resiko, sikap, persepsi tentang norma yang berlaku, dan self-efficacy.

b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan metode pengajaran

(42)

2. Meliputi berbagai aktivitas dalam menjelaskan faktor resiko dan faktor protektif.

3. Metode pengajaran yang membantu siswa untuk menerima informasi yang berhubungan dengan seksualitas yang dirancang untuk mengubah faktor resiko.

4. Aktivitas, instruksi, dan pesan yang disampaikan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahapan perkembangan, dan pengalaman seksual.

5. Memberikan materi seksualitas berdasarkan topik yang berurutan.

iii. Implementasi

1. Mendapatkan dukungan untuk melaksanakan pendidikan seksualitas dari pihak yang berwenang misalnya pejabat sekolah.

2. Pengajar memiliki kriteria tertentu dalam mengajar pendidikan seksualitas di sekolah. Memberikan pelatihan untuk para pengajar. Memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar.

3. Jika dibutuhkan, mengadakan aktivitas untuk menarik remaja dari luar sekolah untuk berpartisipasi dalam mengikuti pendidikan seksualitas di sekolah.

(43)

b. Sekolah yang memberikan materi seksualitas berdasarkan kurikulum nasional di Indonesia (tidak memiliki kurikulum khusus pendidikan seksualitas)

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, materi seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi, dan Agama. Dinas Kesehatan menyarankan untuk membuat suatu kurikulum khusus yang berisi mengenai kesehatan reproduksi kepada tiap sekolah. Cara pengajaran dan materi yang dipakai dalam mengajar kesehatan reproduksi diserahkan sepenuhnya pada tiap sekolah. Namun pada kenyataannya, tidak semua sekolah yang membuat kurikulum khusus kesehatan reproduksi. Materi kesehatan reproduksi diberikan melalui pelajaran Biologi dan pesan moral disampaikan melalui pelajaran Agama.

(44)

pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas. Sekolah ini tidak melakukan asesmen kebutuhan pada siswanya karena materi seksualitas sudah tersedia di buku pelajaran. Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja. Jenis pendidikan seksualitas di sekolah ini adalah pendidikan seksualitas abstinence dengan tujuan membentuk perilaku sehat sesuai dengan norma agama. Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

D. Perbedaan Sikap Remaja Perempuan terhadap Perilaku Seksual ditinjau dari Ada Tidaknya Kurikulum Pendidikan Seksualitas di Sekolah

(45)

perilaku seksual. Dalam keadaan emosi, dorongan seksual remaja dapat membatasi kemampuannya dalam mengambil keputusan sehingga memungkinkan remaja terjerumus pada perilaku seksual sebelum menikah. Bentuk-bentuk perilaku seksual seperti memegang tangan, memeluk, cium pipi, cium bibir, cium leher, petting, oral genital, vaginal intercourse, dan anal intercourse. Perilaku seksual membawa dampak yang cukup merugikan bagi remaja terutama remaja perempuan dari segi fisik, psikologis, dan lingkungan sosial budaya. Salah satu faktor yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dari perilaku seksual adalah pemberian pendidikan seksualitas di sekolah. Hal ini didukung oleh pernyataan Needlman (2004) bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua bagi remaja untuk melakukan berbagai aktivitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya sehingga bisa dikatakan sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi remaja. Tujuan pendidikan seksualitas adalah mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual sebelum menikah seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, dan HIV/AIDS (Kirby dkk., 2007; Pamela dkk., 2008; Linberg & Zimet, 2012; Kohler & Lafferty, 2008).

(46)

seksualitas komprehensif adalah pendidikan seksualitas abstinence ditambah dengan informasi mengenai metode pengontrolan kelahiran dan alat kontrasepsi yang berguna untuk menunda dan mengurangi dampak dari perilaku seksual (Chin dkk., 2012; Gelperin dkk., 2004; Kabiru & Orpinas, 2009; Kohler dkk., 2008).

(47)

dan pesan dalam pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan remaja, dan pengalaman seksual yang dimiliki siswa. Materi seksualitas diberikan pada siswa secara berurutan. Pada implementasinya, pendidikan seksualitas mendapatkan dukungan dari pihak berwenang di sekolah. Para pengajar diberikan pelatihan sebelum memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya. Pengajar harus memiliki kriteria tertentu untuk mengajar pendidikan seksualitas. Pihak sekolah perlu memberikan pengawasan, pengarahan, dan dukungan bagi para pengajar. Bila perlu, menarik remaja di luar sekolah untuk mengikuti pendidikan di sekolah.

(48)

Pendidikan seksualitas disesuaikan dengan budaya dan tahapan remaja pada umumnya, tanpa melihat pengalaman seksual yang dimiliki remaja.

Pada sekolah negeri, guru Bimbingan Konseling tidak memberikan pendidikan seksualitas pada siswanya karena menurutnya sekolah tersebut merupakan sekolah pilihan dan siswanya memiliki status sosial ekonomi menegah keatas sehingga jauh dari pergaulan yang beresiko. Sekolah tersebut mengundang beberapa tokoh ahli di bidang seksualitas satu kali dalam satu tahun. Program ini disarankan oleh BKKBN untuk tiap sekolah di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah menggunakan saran dari BKKBN tersebut.

Pendidikan seksualitas tidak dapat secara spesifik menjelaskan pengaruhnya terhadap perilaku seksual tanpa adanya faktor mediator. Sikap merupakan salah satu faktor mediator pendidikan seksualitas (Kirby dkk., 2007). Menurut Myers (2010), sikap yang dimiliki individu dapat mempengaruhi perilakunya. Sikap terhadap perilaku seksual merupakan kecenderungan reaksi individu secara positif (mendukung) atau negatif (tidak mendukung) yang ditunjukkan oleh pemikiran, kepercayaan, pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakannya (konatif) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dengan pasangan.

(49)

seksual, dan pengetahuan mengenai dampak dari perilaku seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa remaja yang memiliki pengalaman seksual cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual dan penggunaan alat kontrasepsi dibanding dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman seksual (Kabiru & Orpinas, 2009). Remaja perempuan yang memiliki teman yang mendukung abstinence maka cenderung memiliki sikap yang sama dengan temannya (Laflin, Wang, & Berry, 2008).

Sikap remaja terhadap perilaku seksual tidak lepas dari pengaruh budaya di tempat tinggalnya. Berdasarkan penelitian Kuota dan Tolma (2008), menemukan bahwa keluarga yang tinggal di budaya kolektivistik menganggap bahwa perilaku seksual sebelum menikah adalah hal yang tabu dan memalukan. Hal tersebut memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan diasingkan ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh orang lain untuk menjaga nama baik keluarga. Remaja perempuan cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual. Sebaliknya, remaja laki-laki cenderung memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual.

(50)

seksualitas yang efektif adalah berdasarkan kurikulum. Hal itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Horng Lou dan Hwang Chen (2009) yang membuktikan bahwa melalui pengetahuan yang baik dan jelas mengenai seksualitas maka remaja perempuan akan cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung perilaku seksual. Selain itu, pengetahuan yang diperoleh remaja perempuan mengenai dampak dari perilaku seksual dengan pasangannya cenderung menyebabkan remaja memiliki keyakinan bahwa dampak dari perilaku seksual dapat mengambil kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan remaja. Keyakinan remaja tersebut menumbuhkan motivasi dalam mencari strategi untuk menjauhkan diri dari perilaku seksual agar terhindar dari dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku seksual tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja perempuan memiliki sikap yang kurang mendukung terhadap perilaku seksual (Goodson dkk., 2006).

Perbedaan-perbedaan antara sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas tersebut dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual.

E. Hipotesis

(51)

yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.

Skema

Remaja perempuan

Sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

Sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

1. Ketika merancang kurikulum melibatkan berbagai orang yang ahli di bidang seksualitas.

2. Melakukan asesmen kebutuhan.

3. Merancang aktivitas konsisten dengan nilai yang dianut siswa dan ketersedian pengajar.

4. Menjelaskan tujuan kesehatan, faktor resiko dan protektif dari segi sosial dan psikologi.

5. Melakukan uji coba

6. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman.

7. Aktivitas yang mampu menjelaskan faktor resiko dan protektif

8. Metode pengajaran yang mampu mengubah faktor resiko.

9. Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan, dan pengalaman seksual. 10. Materi berurutan.

1. Tidak merancang kurikulum. 2. Tidak melakukan asesmen kebutuhan. 3. Menjelaskan faktor resiko dan protektif

dari segi biologi, agama, dan psikologis. 4. Tidak melakukan uji coba.

5. Aktivitas yang menjelaskan faktor resiko dan protektif.

6. Metode pengajaran yang mengubah faktor resiko.

7. Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya, dan tahap perkembangan remaja pada umumnya, tidak disesuaikan dengan pengalaman seksual yang dimiliki siswa.

8. Materi tidak urut disesuaikan dengan jam pelajaran Biologi, Agama, dan Bimbingan Konseling.

Pengetahuan seksualitas yang baik dan jelas

Terdapat perbedaan sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual

Pengetahuan seksualitas kurang Dampak negatif perilaku seksual

(52)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ex post facto. Penelitian ex post facto merupakan salah satu jenis penelitian yang termasuk dalam penelitian quasi experimen dimana peneliti ingin melihat keefektifan suatu treatment tanpa memberikan treatment apapun pada subyek penelitian (Myers & Hansen, 2002). Dalam penelitian ini, pemberian treatment yaitu pendidikan seksualitas diberikan oleh guru mata pelajaran Biologi, guru mata pelajaran Agama, dan guru mata pelajaran Bimbingan Konseling.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel tergantung : Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual

b. Variabel bebas : Jenis pendidikan seksualitas

C. Definisi Operasional

1. Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual

(53)

merespon secara kognitif, afeksi, dan konatif terhadap perilaku yang didorong oleh hasrat seksual . Sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual dapat dilihat dari skor total skala sikap yang dibuat dan disebarkan peneliti untuk diisi oleh subyek penelitian.

2. Jenis pendidikan seksualitas (sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas)

a) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.

b) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidiakn seksualitas.

Jenis pendidikan seksualitas di sekolah dapat diketahui melalui wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tiap sekolah yang menjadi subyek penelitian.

D. Subyek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pemilihan subyek penelitian berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang memiliki kaitan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Ciri-ciri subyek penelitian ini adalah sebagai berikut:

(54)

b) Berusia 11-19 tahun yang termasuk dalam masa remaja.

c) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.

d) Remaja perempuan yang bersekolah di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas.

E. Metode dan Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang diberikan kepada subyek penelitian. Skala sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual disusun dengan metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating). Subyek diminta untuk memilih dan merespon jenis perilaku seksual yang dibagi menjadi 3 kolom sebagai berikut:

a) Pada kolom pertama yaitu kolom afektif terdapat 4 alternatif jawaban: SM : Sangat Menikmati

M : Menikmati TM : Tidak Menikmati

STM : Sangat Tidak Menikmati

b) Pada kolom kedua yaitu kolom kognitif terdapat 4 alternatif jawaban: SP : Sangat Pantas

P : Pantas TP : Tidak Pantas

STP : Sangat Tidak Pantas

(55)

SMM : Sangat Mau Melakukan MM : Mau Melakukan TMM : Tidak Mau Melakukan STMM : Sangat Tidak Mau Melakukan

Penyebaran skala penelitian dilakukan dengan cara memberikan skala penelitian langsung pada subyek penelitian di sekolah pada jam pelajaran Bimbingan Konseling.

Di bawah ini, terdapat blue print skala uji coba sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual.

Tabel 1

Blue Print Skala Uji Coba Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual

Jenis perilaku seksual komponen sikap Total

kognitif afektif konatif

1. Memegang tangan 1 1 1 3

2. Dipegang tangan 1 1 1 3

3. Memeluk 1 1 1 3

4. Dipeluk 1 1 1 3

5. Mencium pipi 1 1 1 3

6. Dicium pipi 1 1 1 3

7. Mencium bibir 1 1 1 3

8. Dicium bibir 1 1 1 3

9. Mencium leher 1 1 1 3

10. Dicium leher 1 1 1 3

11. Meraba dada 1 1 1 3

12. Diraba dada 1 1 1 3

13. Meraba alat kelamin 1 1 1 3

14. Diraba alat kelamin 1 1 1 3

15. Menggesekkan alat kelamin ke kelamin pasangan dengan memakai pakaian lengkap

[image:55.612.106.514.243.708.2]
(56)

16. Menggesekkan alat kelamin ke kelamin pasangan tanpa menggunakan pakaian

1 1 1 3

17. Melakukan oral sex 1 1 1 3

18. Menerima oral sex 1 1 1 3

19. Melakukan vaginal sex (masuknya penis ke lubang vagina)

1 1 1 3

20. Melakukan anal sex 1 1 1 3

[image:56.612.103.514.104.612.2]

Total 20 20 20 60

Tabel 2

Alternatif Jawaban Skala Sikap

Aspek sikap Alternatif jawaban Nilai

Kognitif Sangat Pantas 4

Pantas 3

Tidak Pantas 2

Sangat Tidak Pantas 1

Afektif Sangat Menikmati 4

Menikmati 3

Tidak Menikmati 2

Sangat Tidak Menikmati 1

Konatif Sangat Mau Melakukan 4

Mau Melakukan 3

Tidak Mau Melakukan 2 Sangat Tidak Mau Melakukan 1

F. Pengujian Alat Ukur 1. Reliabilitas

(57)

suatu alat ukur digunakan berulang kali akan menunjukkan hasil yang sama dan dalam kondisi yang sama (Azwar, 2010). Pada penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas skala sikap remaja perempuan terhadap perilaku seksual adalah teknik reliabilitas Alpha. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0-1,00. Semakin mendekati 1,00 berati semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya jika mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2010).

2. Validitas

Tujuan dari uji validitas adalah untuk mengetahui dan menentukan apakah item yang tersusun layak untuk diujicobakan dan mampu memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, validitas yang diuji adalah validitas isi. Validitas isi digunakan untuk mengetahui sejauh mana isi dalam penelitian ini dapat mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 2010).

Peneliti menyusun item-item dalam skala sikap sesuai dengan teori kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing selaku pihak yang berkompeten/ ahli (judgment expert). Setelah mendapatkan persetujuan dari dosen pembimbing, skala sikap digunakan untuk uji coba pada 71 subyek.

3. Seleksi Item

(58)
[image:58.612.102.526.193.711.2]

dianggap memuaskan. Item yang gugur sebanyak 6 nomor yaitu 1b, 12a, 16b, 20a, 20b, 20c.

Tabel 3

Item gugur dan item yang dapat dipakai

No. Jenis perilaku Komponen

sikap Nomor item gugur Nomor item dipakai

1. Memegang tangan a. afektif 1a

b. kognitif 1b

c. konatif 1c

2. Dipegang tangan a. afektif 2a

b. kognitif 2b

c. konatif 2c

3. Memeluk a. afektif 3a

b. kognitif 3b

c. konatif 3c

4. Dipeluk a. afektif 4a

b. kognitif 4b

c. konatif 4c

5. Mencium pipi a. afektif 5a

b. kognitif 5b

c. konatif 5c

6. Dicium pipi a. afektif 6a

b. kognitif 6b

c. konatif 6c

7. Mencium bibir a. afektif 7a

b. kognitif 7b

c. konatif 7c

8. Dicium bibir a. afektif 8a

b. kognitif 8b

c. konatif 8c

9. Meraba mencium leher a. afektif 9a

b. kognitif 9b

c. konatif 9c

10. Dicium leher a. afektif 10a

(59)

c. konatif 10c

11. Meraba dada a. afektif 11a

b. kognitif 11b

c. konatif 11c

12. Diraba dada a. afektif 12a

b. kognitif 12b

c. konatif 12c

13. Meraba alat kelamin a. afektif 13a

b. kognitif 13b

c. konatif 13c

14. Diraba alat kelamin a. afektif 14a

b. kognitif 14b

c. konatif 14c

15. Menggesekkan alat kelamin ke kelamin pasangan menggunakan pakaian lengkap

a. afektif 15a

b. kognitif 15b

c. konatif 15c

16. Menggesekkan alat kelamin ke kelamin pasangan tanpa menggunakan pakaian

a. afektif 16a

b. kognitif 16b

c. konatif 16c

17. Melakukan oral sex a. afektif 17a

b. kognitif 17b

c. konatif 17c

18. Menerima oral sex a. afektif 18a

b. kognitif 18b

c. konatif 18c

19. Melakukan vaginal sex a. afektif 19a

b. kognitif 19b

c. konatif 19c

(60)

G. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk melihat data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal atau tidak (Santoso, 2010). Pengujian normalitas mempergunakan Kolmogorof-Smirnov (K-S). Kriteria yang digunakan p > 0,05 maka sebaran data dikatakan normal (Azwar, 2010).

2. Uji Homogenitas

Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasiyang memiliki varian yang sama. Cara melihat homogenitas yaitu dengan melihat nilai probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 maka kedua kelompok sampel memiliki varian yang sama. Sebaliknya, jika probabilitasnya kurang dari 0,05 maka kedua kelompok sempel memiliki varian yang tidak sama (Azwar, 2010).

H. Metode Analisis Data

(61)
(62)

45 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA Swasta yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan SMA Swasta yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Kedua SMA Swasta tersebut berada di Yogyakarta. Remaja perempuan yang bersekolah di kedua sekolah tersebut memiliki tingkat sosial ekonomi yang relatif sama. Observasi dan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling pada tiap sekolah dilakukan untuk mengetahui materi seksualitas yang diberikan di kedua sekolah.

a. Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Berdasarkan wawancara dengan guru Bimbingan Konseling, kurikulum pendidikan seksualitas pada sekolah yang menjadi subyek penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

i. Proses pengembangan kurikulum

1. Guru Bimbingan Konseling bekerja sama dengan guru mata pelajaran Biologi dan guru mata pelajaran Agama dalam proses pengembangan kurikulum.

(63)

dalam pengembangan dirinya. Pendidikan seksualitas merupakan salah satu pendidikan yang berguna untuk bekal siswi dalam mengembangkan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas. Oleh karena itu, pendidikan seksualitas diberikan di kelas XI karena siswi membutuhkan informasi mengenai seksualitas dalam proses pengembangan dirinya yang terkait dengan seksualitas.

3. Merancang aktivitas dalam pendidikan seksual disesuaikan dengan waktu yang dimiliki guru Bimbingan Konseling.

4. Spesifik bertujuan untuk memberikan bekal pada siswi dalam proses pengembangan dirinya ke arah positif terutama yang berkaitan dengan seksualitas.

ii. Isi dari kurikulum a. Tujuan kurikulum

1. Fokus untuk menciptakan kehidupan seksual yang positif bagi siswi

2. Fokus pada pendidikan seksualitas komprehensif karena siswi memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang memiliki pengalaman seksual dan ada yang belum memiliki pengalaman seksual.

(64)

b. Aktivitas dalam pemberian materi pendidikan seksualitas dan metode pengajaran

1. Menciptakan lingkungan sosial yang nyaman dalam memberikan materi pendidikan seksualitas untuk para siswi.

2. Meliputi berbagai aktivitas yang dapat mengubah faktor resiko dari perilaku seksualitas

3. Mengadakan diskusi dengan guru Bimbingan Konseling, Romo, Dokter, dan Psikolog agar siswi mendapatkan informasi yang jelas langsung dari ahlinya.

4. Pendidikan seksualitas diberikan pada siswi disesuaikan dengan budaya Timur, ada tidaknya pengalaman seksual siswi, dan tahapan perkembangan remaja dimana remaja memiliki ketertarikan di seksualitas, mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan adanya konformitas dengan teman sebayanya.

(65)

iii. Implementasi kurikulum

a. Mendapatkan dukungan dan persetujuan dari Dewan Komite Sekolah.

b. Pengajar pendidikan seksualitas hanya guru Bimbingan Konseling, namun guru Biologi dan guru Agama juga memberikan informasi yang berkaitan dengan seksualitas sesuai dengan topik yang ada di buku pelajaran Biologi dan Agama.

c. Tidak melibatkan remaja dari luar sekolah untuk mengikuti pendidikan seksualitas di sekolah. Pendidikan seksualitas hanya ditujukan untuk siswi di sekolah tersebut.

d. Memberikan pendidikan seksualitas pada siswi dengan alasan yang tepat yaitu berguna dalam proses pengembangan dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksualitas.

(66)
[image:66.612.102.518.202.699.2]

disampaikan cenderung berlandaskan ajaran agama yang disampaikan oleh guru mata pelajaran Agama. Guru Bimbingan Konseling tidak berperan penuh dalam proses pengajaran pendidikan seksualitas, hanya terbatas pada ada tidaknya pertanyaan dari siswa. Sekolah tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas karena ada keterbatasan waktu untuk memberikan pendidikan seksualitas berdasarkan kurikulum. Jam pelajaran Bimbingan Konseling lebih banyak dipakai untuk guru PPL dalam memberikan ulangan mata pelajaran yang diampunya. Pendidikan seksualitas yang diberikan cenderung mengarah ke abstinence yang berlandaskan agama yaitu mengajarkan siswa untuk menjauhi perilaku seksual hingga saatnya menikah karena sesuai dengan ajaran agama yang melarang melakukan perilaku seksual sebelum terjadinya pernikahan.

Tabel 4

Perbedaan Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas dan Sekolah yang Tidak Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Sekolah dengan Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Sekolah yang Tidak Ada Kurikulum Pendidikan

Seksualitas Pendidikan seksualitas diberikan di

kelas XI

Pendidikan seksualitas diberikan di kelas X

Materi berurutan berupa perkembangan individu (fisik, sosial, emosi, dan intelektual), hubungan dengan lawan jenis, perilaku seksual, kemampuan diri dalam mengatasi masalah seputar

(67)

seksualitas, kesehatan seksual dari segi fisik, sosial, budaya, psikologis.

Diberikan melalui pelajaran Bimbingan Konseling

Diberikan melalui pelajaran Biologi, Agama.

Berdasarkan kurikulum yang di buat oleh guru Bimbingan Konseling, Biologi, dan Agama

Berdasarkan materi di buku pelajaran Biologi, Agama, dan pertanyaan dari siswa

Diberikan selama 1 tahun ajaran Melakukan asesmen kebutuhan Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya, tahap perkembangan remaja, pengalaman yang dimiliki siswa

Beberapa kali pertemuan sesuai materi pelajaran yang membahas seksualitas, biasanya hanya 1 atau 2 topik

Tidak melakukan asesmen kebutuhan

Aktivitas, instruksi, dan pesan disesuaikan dengan budaya dan tahap perkembangan remaja tanpa melihat pengalaman seksual siswa.

Materi seksualitas diberikan dengan metode presentasi, diskusi dengan para ahli dibidangnya seperti dokter, psikolog, dan romo

Materi seksualitas diberikan dengan metode presentasi. Metode diskusi jarang dilakukan karena adanya keterbatasan waktu.

Pendidikan seksualitas komprehensif

Pendidikan seksualitas cenderung mengarah ke abstinence

2. Uji Coba Alat Ukur

(68)

item-item diseleksi. Penghitungan reliabilitas ini menggunakan SPSS for Windows versi 17.00. Koefisien reliabilitas yang diperoleh sebesar 0,936. Koefisien reliabilitas ini termasuk tinggi karena mendekati angka 1. Oleh karena itu, skala sikap remaja terhadap perilaku seksual ini dapat dipakai untuk melihat perbedaan sikap antara remaja perempuan di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan remaja perempuan di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Item yang gugur sebanyak 6 nomer yaitu 1b, 12a, 16b, 20a, 20b, 20c.

3. Perijinan Penelitian

(69)

dengan disertakan cap basah dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang ditujukan kepada Humas sekolah tersebut.

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 7 September 2012 s.d 15 September 2012. Dengan perincian sebagai berikut:

[image:69.612.102.513.224.698.2]

1. Sekolah yang mempunyai kurikulum pendidikan seksualitas. Pelaksanaan penelitian dilakukan 2 kali di 2 kelas yang berbeda.

Tabel 5

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang Memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Tanggal Kelas Pukul Jumlah siswi

7 September 2011 XII IA1 11.45 – 12.30 WIB 32 10 September 2011 XII IS1 06.45 – 7.30 WIB 34

2. Sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan 7 kali di 7 kelas yang berbeda.

Tabel 6

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Sekolah yang tidak memiliki Kurikulum Pendidikan Seksualitas

Tanggal Kelas Pukul Jumlah siswi

12 September 2012 XI Bhs 12.15 – 13.00 WIB 8 13 September 2012 XI A3 09.45 – 10.30 WIB 6 XI A1 10.30 – 11.15 WIB 10

(70)

Penelitian pada kedua sekolah dilakukan dengan cara yang sama yaitu peneliti memasuki ruang kelas didampingi oleh guru Bimbingan Konseling. Guru Bimbingan Konseling menyampaikan kepada para siswa dan siswi bahwa akan diadakan penelitian pada jam pelajaran tersebut. Setelah itu, peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian secara umum. Kemudian, peneliti menjelaskan cara pengisian skala dan memberikan waktu kepada siswa dan siswi untuk membaca dan memahami isi skala sebelum para siswa dan siswi mengisi skala penelitian. Selanjutnya skala yang sudah selesai diisi, dimasukkan ke dalam amplop kemudian diberikan langsung pada peneliti dalam keadaan tertutup dan di sisi atas amplop diberi inisial jenis kelamin. Hal ini bertujuan untuk menjaga kerahasian jawaban subyek dan mencegah subyek melakukan faking good. Inisial jenis kelamin subyek penelitian perlu dicantumkan karena peneliti membagikan skala penelitian untuk siswa dan siswi kelas XI di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam pengambilan data karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengambil data hanya subyek penelitian saja.

(71)

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah siswi di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas dan siswi di sekolah yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas. Karakteristik subyek penelitian dapat diketahui melalui persentase berikut:

[image:71.612.103.515.240.626.2]

a. Persentase subyek berdasarkan jenis sekolah Tabel 7

Persentase Subyek berdasarkan Jenis Sekolah

Jenis sekolah

SMA yang memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

SMA yang tidak memiliki kurikulum pendidikan seksualitas

Jumlah Subyek 66 65

Persentase % 50,38 49,62

(72)
[image:72.612.105.510.117.647.2]

b. Persentase subyek berdasarkan kelas

Tabel 8

Persentase Subyek berdasarkan Kelas

Kelas XI XII

Jumlah Subyek 65 66

Persentase % 49,62 50,38

Analisis data persentase subyek berdasarkan kelas menunjukkan bahwa sebanyak 65 orang atau 49,62% duduk di kelas XI dan sebanyak 66 orang atau 50,38% duduk di kelas XII.

2. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian ini berguna untuk mengetahui kecenderungan sikap subyek apakah kearah mendukung atau kurang mendukung terhadap perilaku seksual. Hal tersebut dapat diketahui dari perbandingan Mean Teoritik (MT) dan Mean Empiris (ME).

Jumlah item = 54

Skor maximum = jumlah item × nilai tertinggi = 54 × 4

= 216

Skor minimum = jumlah item × nilai terendah = 54 × 1

(73)

Range = skor maximum – skor minimum = 216 – 54

= 162

Standart Deviasi = !"# $

= %$& $

= 27

Kategorisasi sikap berdasarkan Perbandingan Mean Empiris dan Mean Teoritis

Mean Empiris > Mean Teoritis : Sikap kearah positif atau mendukung perilaku seksual

(74)

Tabel 9

Kategorisasi Sikap Berdasarkan Perbandingan Mean Empiris dan Mean Teoritis

Norma Rentang nilai Kategori

× ≤ẋ - 1,5 SD × ≤95,5 Sangat rendah

ẋ - 1,5 SD < × ≤ ẋ - 0,5 SD

95,5 < × ≤ 121,5 Rendah ẋ - 0,5 SD < × ≤ ẋ + 0,5

SD

121,5 < × ≤148,5 Sedang ẋ + 0,5 SD < × ≤ ẋ + 1,5

SD

[image:74.612.102.513.174.624.2]

148,5 < × ≤ 175,5 Tinggi ẋ + 1,5 SD ≤ × 175,5≤ × Sangat tinggi

Tabel 10

Hasil Kategorisasi Sikap terhadap Perilaku Seksual Jenis sekolah Mean Teoritis

(MT)

Mean Empiris (ME)

Kategori SMA yang memiliki

kurikulum pendidikan seksualitas

135

107,26 Negatif Rendah SMA yang tidak

memiliki kurikulum pendidikan

seksualitas

103,38 Negatif Rendah

(75)

3. Deskripsi Data tiap Komponen Sikap a. Afektif

Jumlah item = 18

Skor maximum = jumlah item × nilai tertinggi = 18 × 4

= 72

Skor minimum = jumlah item × nilai terendah = 18 × 1

= 18

' (

Range = skor maximum – skor minimum = 72 - 18

= 54

Standart Deviasi = !"# $

= )* $

(76)

Tabel 11

Kategorisasi Komponen Afektif terhadap Perilaku Seksual

Norma Rentang nilai Kategori

[image:76.612.102.508.136.723.2]

× ≤ẋ - 1,5 SD × ≤31,5 Sangat rendah ẋ - 1,5 SD < × ≤ẋ -

Gambar

Tabel 22. Hasil Uji t pada Komponen Konatif  ................................................
Blue PrintTabel 1  Skala Uji Coba Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seksual
Tabel 2 Alternatif Jawaban Skala Sikap
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian didapatkan terapi relaksasi otot progresif menurunkan tekanan darah sistole sebesar 10,60 mmHg dan diastole sebesar 4 mmHg, sedangkan terapi

Tabel 2 menunjukkan bahwa masih ada beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi daerah bidang komunikasi dan informatika yang rendah, ditunjukkan

Pantai Sembilangan masih kurang memadai untuk daerah tujuan wisata, yaitu kurangnya prasarana seperti lampu jalan yang masih minim bahkan dibeberapa jalan tidak ada penerangan

April-September Pelaksanaan Pengarahan teknis ke 30 SKPD Provinsi Banten Mei-Juni Pengadaan Aplikasi Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD) Oktober Menyelenggarakan Workshop

PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari PIHAK KEDUA kepada Peserta dan terhadap kerugian maupun tuntutan yang

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan seksama dan penuh

Memeriksa dan merekomendasikan hasil pekerjaan para bawahan dalam hal mutu dan jumlah, untuk memastikan bahwa hasil proses layanan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh

1) Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh return saham terhadap risiko investasi pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di BEI tahun 2012-2015. 2) Untuk