I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional (Hartati, 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor perdagangan memiliki kontribusi terbesar kedua setelah industri pengolahan terhadap Pendapatan Domesik Bruto (PDB).
Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) di Indonesia Tahun 2008-2011
Lapangan Usaha 2008 2009 2010* 2011**
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan & Perikanan 284.619,1 295.883,8 304.736,7 313.727,8 Pertambangan dan
Penggalian 172.496,3 180.200,5 186.634,9 189.179,2 Industri Pengolahan 557.764,4 570.102,5 597.134,9 634.246,9 Listrik, Gas dan Air
Bersih 14.994,4 17.136,8 18.050,2 18.920,5
Konstruksi 131.009,6 140.267,8 150.022,4 160.090,4 Perdagangan Besar dan
Eceran 301.941,3 302.028,4 331.312,9 364.449,9 Hotel & restoran 61.876,9 66.434,6 69.162,0 72.800,8 Pengangkutan dan
Komunikasi 165.905,5 192.198,8 217.977,4 241.285,2 Keuangan, Real Estate
dan Jasa Perusahaan 198.799,6 209.163,0 221.024,2 236.076,7 Jasa-jasa 193.049,0 205.434,2 217.782,4 232.464,6 Produk Domestik Bruto 2.082.456,1 2.178.850,4 2.313.838,0 2.463.242,0 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)
Keterangan: *Angka sementara
**Angka sangat sementara
Sektor perdagangan terdiri dari perdagangan besar dan eceran. Dilihat dari sisi pengeluaran, PDB yang ditopang oleh pola pengeluaran memiliki hubungan erat dengan industri ritel (perdagangan eceran). Hal ini menjadi daya dorong pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis 2008.
Selain itu, sektor perdagangan berperan penting terhadap penyerapan tenaga kerja. Tabel 2 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel menduduki posisi kedua tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja setelah
industri pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel.
Karakteristik industri ritel (perdagangan eceran) yang tidak memerlukan keahlian khusus serta pendidikan tinggi untuk menekuninya, membuat sebagian besar rakyat Indonesia terjun ke dunia ritel, terutama dalam kategori usaha kecil menengah (UKM). Realitanya, pedagang-pedagang kecil ini mendominasi jumlah tenaga kerja dalam industri ritel Indonesia.
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Industri Usaha (Jiwa) di Indonesia Tahun 2010-2011
Lapangan Pekerjaan Utama
2010 2011
Februari Agustus Februari Agustus Pertanian 42.825.807 41.494.941 42.475.329 39.328.915 Pertambangan 1.188.634 1.254.501 1.352.219 1.465.376 Industri Pengolahan 13.052.521 13.824.251 13.696.024 14.542.081 Listrik, Gas, dan Air 208.494 234.070 257.270 239.636 Bangunan 4.844.689 5.592.897 5.591.084 6.339.811 Perdagangan Besar,
Eceran, Rumah Makan, dan Hotel
22.212.885 22.492.176 23.239.792 23.396.537 Angkutan,
Pergudangan dan Komunikasi
5.817.680 5.619.022 5.585.124 5.078.822 Keuangan, Asuransi,
Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan
1.639.748 1.739.486 2.058.968 2.633.362
Jasa Kemasyarakatan 15.615.114 15.956.423 17.025.934 16.645.859 Total 107.405.572 108.207.767 111.281.744 109.670.399 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)
Munculnya industri ritel tidak dapat dihindari karena pertumbuhan penduduk yang pesat setiap tahunnya tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja. Masyarakat yang sebelumnya bekerja di industri pertanian kemudian berubah dan beralih ke industri ritel yang lebih menjanjikan. Mayoritas pedagang ritel berasal dari kalangan menengah ke bawah. Perkembangan industri ritel seharusnya senantiasa memperhatikan kepentingan pedagang kecil agar tidak menimbulkan permasalahan sosial yang besar1.
1 www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf
Pelaku usaha ritel Indonesia dapat dibedakan menjadi pedagang eceran tradisional (ritel tradisional) dan pedagang eceran modern (ritel modern).
Pedagang eceran tradisional rata-rata memiliki kemampuan kapital menengah ke bawah, sedangkan ritel modern atau pasar modern terdiri dari pedagang-pedagang dengan kapital yang besar. Industri ritel dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan sangat pesat. Beberapa pelaku usaha ritel modern dengan kemampuan kapital yang luar biasa tumbuh pesat dalam jangka waktu yang singkat. Mereka mewujudkannya dalam bentuk minimarket, supermarket bahkan hypermarket yang kini bertebaran di setiap kota besar Indonesia.
Perusahaan ritel modern kini bermunculan dengan menawarkan tidak hanya ketersediaan barang, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang lebih terkait dengan aspek psikologis konsumen. Tingkat pendapatan masyarakat yang terus berkembang telah menyebabkan terjadinya segmen-segmen konsumen yang menginginkan adanya perubahan dalam model pengelolaan industri ritel.
Misalnya menyangkut aspek kebersihan, kenyamanan, keamanan, bahkan juga menyangkut image yang dicoba ditanamkan di mata konsumen, seperti tempat barang murah dengan kualitas bagus, bergengsi dan sebagainya.
Dewasa ini, pedagang eceran tradisional semakin terpuruk dengan menjamurnya ritel modern, khususnya minimarket. Penyebaran minimarket hampir merata di seluruh provinsi di Indonesia. Legalisasi pendirian minimarket pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk pada sistem jaringan jalan lingkungan2 pada kawasan perumahan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 membuat minimarket kian menjamur di berbagai tempat. Tidak mengherankan bila terdapat banyak minimarket di Kabupaten Bogor yang padat penduduk, dengan jumlah penduduk sebanyak 4.771.932 jiwa3. Hampir di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor, muncul minimarket-minimarket baru yang berkembang semakin pesat.
Pasar modern di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan selama periode 2000 hingga 2011. Berdasarkan data tahun 2011 yang diperoleh dari Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten
2 Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah (Perpres RI No.112 Tahun 2007).
3 Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2010.
Bogor, terdapat 9 unit pasar modern yang terdiri dari hypermarket, supermarket, dan department store, yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis pasar modern lain yang tumbuh dengan pesat selama tahun 1997-2011 adalah minimarket. Hingga saat ini, jumlah minimarket telah mencapai 392 unit yang menyebar di hampir setiap wilayah Kabupaten Bogor terutama di kawasan-kawasan pemukiman penduduk.
Tabel 3. Jumlah Pasar Modern (Unit) di Kabupaten Bogor Tahun 1997-2011
Tahun
Jumlah Hypermarket Supermarket Departement
Minimarket Jumlah
Store Pedagang
1997 0 1 0 23 24
1998 0 0 0 19 19
1999 0 0 0 27 27
2000 0 1 0 36 37
2001 0 1 0 54 55
2002 0 2 0 73 75
2003 0 2 1 95 98
2004 0 2 1 112 115
2005 0 2 2 138 142
2006 0 2 2 170 174
2007 1 3 2 189 195
2008 1 3 2 213 219
2009 1 3 2 114 120
2010 1 3 2 371 377
2011 3 4 2 392 401
Sumber: Diskoperindag Kabupaten Bogor, 2012
Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman berdampak positif bagi konsumen karena harga yang ditawarkan lebih murah dan berperan dalam penyerapan tenaga kerja, namun berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional yang telah berdiri di wilayah tersebut. Banyak pedagang eceran tradisional yang kehilangan pelanggan dan berimplikasi pada pengurangan omzet penjualan. Keterpurukan pedagang eceran tradisional di wilayah sekitar juga disebabkan oleh faktor lain, yaitu perubahan gaya hidup (life style). Perubahan life style yang dimaksud adalah kondisi masyarakat saat ini yang menghendaki berbagai kemudahan dan kenyamanan yang tidak tersedia di ritel tradisional.
Penduduk Kecamatan Dramaga yang terdiri dari 100.679 jiwa dengan luas wilayah 2.632,13 hektar menjadi lokasi yang strategis bagi minimarket. Sebagian penduduk Dramaga merupakan pendatang karena berlokasi di dekat kampus IPB Dramaga. Kedatangan para pendatang yang sebagian besar adalah mahasiswa dengan gaya hidup yang lebih modern memicu para pengusaha besar untuk berlomba-lomba mendirikan minimarket di sekitar kampus IPB Dramaga.
Mahasiswa umumnya ingin memenuhi kebutuhannya secara praktis, mereka lebih memilih berbelanja di tempat yang bersih dan nyaman. Akibatnya, minimarket semakin menjamur di Kecamatan Dramaga. Keberadaaan minimarket tersebut menyebabkan keterpurukan pedagang eceran tradisional di Kecamatan Dramaga.
Lokasi minimarket dengan jarak yang sangat berdekatan tentu akan memunculkan persaingan di wilayah tersebut. Dari segi harga, minimarket sering mengadakan promosi dengan potongan harga yang menarik, sehingga para konsumen beralih ke minimarket tersebut. Selain itu, kualitas pelayanan minimarket yang lebih baik dari pedagang eceran tradisional tentu saja membuat harapan pemilik pedagang eceran tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari dari keuntungan yang diperoleh semakin tersendat (Wijayanti, 2011).
Kelengkapan barang, harga yang murah, potongan harga yang menarik penataan produk yang baik, dan tempat yang nyaman menjadi daya tarik yang ditawarkan minimarket kepada konsumen. Implikasinya, tingkat pengeluaran konsumen yang mengunjungi minimarket cenderung bertambah. Peningkatan pengeluaran dipicu oleh kelengkapan barang dan penataan barang di minimarket.
Strategi pemasara minimarket yang baik, misalnya denga meletakkan makanan ringan yang diletakkan di meja kasir minimarket akan membuat pengunjung tertarik untuk membelinya, padahal pengeluaran tersebut tidak direncanakan sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Dampak Pendirian Minimarket terhadap Perubahan Omzet Pedagang Eceran Tradisional dan Tingkat Pengeluaran Masyarakat (Kasus : Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”.
1.2 Perumusan Masalah
Tumbuh pesatnya minimarket ke wilayah pemukiman dengan jarak yang berdekatan, berdampak buruk bagi pedagang eceran tradisional. Semakin dekat jarak antara pedagang eceran tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya semakin besar sehingga terjadi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional. Kekuatan modal antara minimarket dengan pengusaha pedagang eceran tradisional tentu tidak sebanding. Minimarket dengan sistem waralaba dapat memutus rantai distribusi dari produsen sehingga saluran distribusinya lebih pendek dibandingkan pedagang eceran tradisional. Akibatnya, harga di minimarket menjadi lebih murah. Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi pedagang eceran tradisional. Pedagang eceran tradisional sudah kalah bersaing dalam segi harga, ditambah lagi suasana minimarket yang nyaman dan bersih membuat pedagang eceran tradisional semakin kalah bersaing.
Pendirian kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kecamatan Dramaga menjadi daya tarik bagi pemodal besar untuk menanamkan investasinya pada usaha waralaba sektor ritel dalam bentuk usaha ritel modern, yaitu minimarket.
Kehadiran pendatang dalam jumlah besar yaitu mahasiswa IPB, menghadirkan peluang bagi para pengusaha untuk menawarkan barang dan jasanya untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa tersebut. Mahasiswa dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan gaya hidup yang lebih modern memerlukan kemudahan dan fasilitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya.
Kelengkapan barang, harga yang murah, tempat yang nyaman, dan penataan produk yang baik menjadi daya tarik yang ditawarkan minimarket kepada konsumen. Makanan ringan seperti coklat, permen karet, biskuit, yang diletakkan di meja kasir dan potongan harga yang menarik di minimarket membuat pengunjung tertarik untuk membeli produk-produk tersebut, padahal pengeluaran tersebut tidak mendesak dan tidak direncanakan sebelumnya. Implikasinya, tingkat pengeluaran konsumen yang mengunjungi minimarket cenderung bertambah. Selain diduga berdampak pada pedagang eceran tradisional, pendirian minimarket juga diduga berdampak terhadap tingkat pengeluaran masyarakat.
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk meneliti dampak minimarket yang muncul di Kabupaten Bogor khususnya
Kecamatan Dramaga sebagai kasus yang mengakibatkan berkurangnya omzet usaha yang diperoleh pedagang eceran tradisional dan meningkatnya pengeluaran masyarakat. Secara ringkas, permasalahan yang akan dibahas adalah berapa besar perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan omzet pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran antara sebelum dan sesudah pendirian minimarket.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan omzet usaha pedagang eceran tradisional dan tingkat pengeluaran masyarakat akibat pendirian minimarket.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai pembuat kebijakan agar dapat membuat atau menetapkan kebijakan yang lebih tepat dan berimbang untuk sektor ritel di Indonesia pada umumnya dan di Kabupaten Bogor pada khususnya serta sebagai salah satu bahan rujukan bagi penelitian lainnya mengenai sektor ritel pada umumnya serta pedagang eceran tradisional dan minimarket pada khususnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Sektor ritel yang dibahas dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi ritel modern (pasar modern) dan ritel tradisional (pedagang eceran tradisional). Ritel modern yang diteliti adalah minimarket. Sedangkan pedagang eceran tradisional merupakan pedagang kecil yang berada di sekitar minimarket dengan modal yang lebih kecil dibandingkan minimarket dan tidak menggunakan sistem pelayanan mandiri seperti minimarket.
Tingkat pengeluaran yang dibahas adalah tingkat pengeluaran produk makanan dan produk rumah tangga seperti produk sabun, deterjen, pasta gigi, shampo dan sebagainya selain makanan pokok per bulan. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu maupun rumah tangga yang berada di sekitar minimarket di Kecamatan Dramaga. Individu yang dijadikan responden merupakan mahasiswa IPB. Kasus pada penelitian ini adalah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.