• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau lebih,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau lebih,"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Agensi

Teori keagenan merupakan sebuah kontrak antara satu orang atau lebih, yaitu prinsipal (pemilik) melibatkan agen (manajer atau karyawan) yang diberi wewenang untuk bertanggung jawab dalam melaksanakan beberapa tugas (Jensen and Meckling, 1976). Pihak agen diberikan mandat oleh prinsipal, dan agen bertanggung jawab atas nama prinsipal dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melaksanakan aktivitas produktif bagi kesejahteraan prinsipal, sehingga agen akan memperoleh kompensasi dari prinsipal. Menurut Ikhsan dan Ishak (2005:56), kepentingan antara keduanya seringkali mengalami benturan, prinsipal berpendapat bahwa kompensasi yang diberikan kepada agen didasarkan pada hasil. Sedangkan agen lebih menyukai sistem kompensasi tidak hanya melihat dari hasil tetapi juga tingkat usahanya.

Menurut Eisenhardt (1985), ada tiga asumsi yang melandasi teori keagenan, yaitu:

1. Asumsi tentang sifat manusia

Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). 2. Asumsi tentang keorganisasian

(2)

12

Asumsi tentang keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen.

3. Asumsi tentang informasi

Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.

Pihak agen biasanya memiliki informasi yang lebih banyak mengenai informasi internal dalam perusahaan. Hal ini karena bawahan terlibat langsung dalam proses pengelolaan yang dilaksanakan dalam perusahaan dibandingkan dengan prinsipal (pemilik). Hal inilah yang mendorong pimpinan cenderung akan menggali informasi bawahan yang tidak dimilikinya karena bawahannya akan lebih mengetahui detail mengenai pelaksaanaan kegiatan yang menjadi tanggung jawab bawahannya. Perbedaan informasi yang diterima disebut sebagai asimetri informasi, yakni adanya ketidakmerataan informasi yang diterima agen dan prinsipal karena pihak prinsipal tidak memungkinkan untuk mengawasi secara langsung usaha yang dilakukan oleh agen.

Larissa and Parker (2008) dalam Haryanto (2013) berpendapat bahwa perbedaan informasi yang dimiliki antara atasan dengan bawahan dapat menjadi faktor yang mendasari pihak atasan mendorong bawahannya dalam partisipasi anggaran. Hal ini didasarkan pada teori keadilan dimana kinerja bawahan akan dapat tercapai lebih maksimal jika bawahan terlibat secara aktif dalam proses penganggaran. Individu yang diberi kesempatan dalam proses partisipasi penyusunan anggran akan merasa lebih dihargai karena individu percaya bahwa

(3)

13

pendapat mereka akan digunakan sebagai alat untuk mencapai hasil dari tujuan penyusunan anggaran yang dilakukan. Secara otomatis hal tersebut mampu meningkatkan persepsi dan menumbuhkan rasa percaya diri untuk mencapai tujuan anggaran. Adanya keadilan dari atasan kepada bawahannya menyebabkan bawahan merasa lebih termotivasi dalam pencapaian target kinerja.

2.1.2 Teori Kontinjensi

Menurut Ikhsan dan Ishak (2005:358), Sebuah perusahaan berkaitan erat dengan suatu interaksi dalam penyesuaian dan pengendalian terhadap lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Pendekatan kontinjensi (contingency approach, merupakan perkembangan penting dari akuntansi manajerial. Menurut Otley (1980) para peneliti telah menerapkan pendekatan kontinjensi guna menganalisis dan mendesain sistem kontrol, khususnya di bidang sistem akuntansi manajemen. Beberapa peneliti dalam bidang akuntansi manajemen melakukan pengujian untuk melihat hubungan variabel-variabel kontekstual seperti ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, struktur dan kultur organisasional, ketidakpastian strategi dengan desain sistem akuntansi manajemen. Pendekatan kontinjensi diperlukan untuk mengevaluasi faktor-faktor kondisional yang menyebabkan sistem akuntansi manajemen menjadi lebih efektif.

Saat ini perumusan kontijensi telah mempertimbangkan pengaruh dari teknologi, struktur organisasi dan teori serta lingkungan dalam upaya menjelaskan bagaimana sistem akuntansi berbeda dalam berbagai situasi. Efektivitas suatu

(4)

14

organisasi dalam mengatasi ketidakpastian lingkungan merupakan bagian dari berbagai subsistem untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang saling berhubungan. Teori kontinjensi menyatakan bahwa lingkungan eksternal organisasi banyak mengandung ketidakpastian. Tidak ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat diterapkan sama efektifnya untuk semua kondisi organisasi dalam perusahaan, akan tetapi sebuah sistem pengendalian tertentu dapat berjalan efektif hanya untuk perusahaan tertentu.

Pramesthiningtyas (2011) mengungkapkan pada kenyataannya sebuah sistem pengendalian manajemen juga dapat diaplikasikan untuk beberapa perusahaan yang memiliki karakteristik dan skala usaha yang hampir sama, maka sebuah teori kontijensi dalam pengendalian manajemen terletak diantara dua ekstrim. Kedua ekstrim tersebut yaitu :

1) Pengendalian manajemen akan bersifat situation specific model, artinya sebuah model pengendalian yang tepat akan sangat dipengaruhi oleh situasi yang sedang dihadapi.

2) Adanya kenyataan bahwa sebuah sistem pengendalian manajemen masih dapat digeneralisasi untuk dapat diterapkan pada beberapa perusahaan yang berbeda.

Tidak ada jawaban yang mampu memecahkan masalah yang muncul dalam teori kontinjensi, hal ini diakibatkan oleh tidak ada strategi yang sama untuk semua organisasi karena setiap organisasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sistem yang dirancang dan digunakan dalam suatu perusahaan belum tentu dapat dipakai oleh organisasi lainnya. Kondisi dan lingkungan di sekitar

(5)

15

perusahaanlah yang menyebabkan sistem dalam suatu perusahaan menjadi berbeda. Desain dan sistem pengendalian dalam suatu organisasi bergantung pada konteks organisasi dimana pengendalian tersebut dilakukan.

Pendekatan kontinjensi diadopsi dalam penelitian ini untuk mengevaluasi hubungan partisipasi dalam penyusunan anggaran dan kinerja manajerial. Teori kontinjensi menjelaskan bahwa hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial harus disesuaikan untuk masing-masing organisasi yang berbeda dan dalam keadaan tertentu dalam perusahaan. Adanya kemungkinan hubungan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel intervening atau moderating (Hapsari, 2010). Penelitian ini menggunakan faktor kontingensi berupa self efficacy, desentralisasi, dan budaya organisasi sebagai variabel moderating karena dianggap mampu memperkuat hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial.

2.1.3 Kinerja Manajerial

Prawirosentono (1999:193), menyebutkan bahwa kemampuan (ability) seseorang dapat dilihat dari keahlian (skill) yang dimiliki seseorang. Keahlian tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman, namun demikian untuk mengukur kinerja, motivasi seseorang untuk belajar sambil bekerja merupakan faktor lain yang juga sangat mempengaruhi keandalannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan (ability) dan motivasi. Pendidikan dan keterampilan adalah faktor kemampuan, sedangkan

(6)

16

motivasi terdiri dari sikap seseorang dalam menghadapi situasi kerja dengan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhannya.

Menurut Ruky (2002:7) kinerja merupakan penerjemahan dari kata performance yang diberi tiga arti yaitu: prestasi yang digunakan dalam konteks atau kalimat, sebuah pertunjukan, dan sebagai pelaksanaan tugas. Suprihanto (2000:7) mengungkapkan istilah kinerja sama artinya dengan sebuah prestasi kerja seorang pegawai selama periode tertentu. Kinerja dapat dinilai dengan berbagai kemungkinan seperti standar yang diterapkan, target atau sasaran dari kriteria sebelumnya yang telah disepakati bersama. Kinerja dikaitkan dengan gambaran mengenai seberapa besar tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi dalam sebuah organisasi. Secara umum dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu (Fibrianti dan Riharjo, 2013). Penilaian terhadap kinerja merupakan hal yang penting karena akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan dalam sebuah perusahaan.

2.1.4 Pengertian Anggaran

Anggaran adalah suatu pendekatan yang formal secara sistematis dari pada pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan pengawasan (Adisaputro dan Asri, 1996:6). Tanase (2013) menyebutkan bahwa anggaran merupakan alat manajemen yang digunakan untuk mendukung entitas ekonomi dalam melaksanakan kegiatan, baik dalam hal efisiensi, efektivitas dan

(7)

17

ekonomi. Menurut Mulyadi (2001:490) anggaran memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1) Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan lain. 2) Anggaran mencakup jangka waktu satu tahun.

3) Anggaran mengandung komitmen atau kesanggupan manajemen, yang berarti para manajer telah setuju utnuk dibebankan tanggung jawab dalam pencapaian sasaran anggaran.

4) Tiap usulan dalam anggarn direview dan disetujui oleh pihak yang lebih tinggi dari penyusun anggaran.

5) Anggaran yang telah disetujui dapat diubah hanya dalam kondisi tertentu. 6) Kinerja keuangan dibandingkan secara berkala dengan anggaran dan

selisihnya akan dianalisis serta dijelaskan.

Nafarin (2009:12) menyebutkan terdapat beberapa tujuan disusunnya anggaran, antara lain digunakan sebagai landasan yuridisual formal dalam memilih sumber dan pengguna dana, untuk pembatasan jumlah dana yang akan digunakan, untuk merinci jenis sumber dana yang dicari dan digunakan, untuk merasionalkan sumber dan penggunaan agar dapat mencapai hasil yang maksimal, untuk menyempurnakan rencana yang telah disusun, dan menampung serta menganalisa dalam memutuskan setiap usulan yang berkaitan dengan karyawan.

Hemsing and Baker (2013) menyatakan bahwa anggaran dapat menumbuhkan motivasi pada manajer dalam penentuan tujuan perusahaan. Penyusunan anggaran yang baik dibutuhkan untuk menghasilkan anggaran yang sejalan dengan tujuan perusahaan, dibutuhkan penyusunan anggaran yang baik.

(8)

18

Anggaran yang disusun hendaknya mampu bertindak sebagai penyelaras kepentingan pada setiap departemen yang terkait dalam proses pelaksanaan anggaran, maka diperlukan adanya partisipasi oleh berbagai pihak yang berada dalam perusahaan untuk melaksanakan penyusunan anggaran. Partisipasi dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur dalam penilaian kinerja dalam proses penyusunan anggaran.

1) Fungsi Anggaran

Nafarin (2009:28) menyatakan anggaran memiliki empat fungsi yang sama dengan fungsi manajemen, diantaranya fungsi perencanaan (planning), kemudian diadakan pelaksanaan (actuating), dan perencanaan memberikan proses umpan balik dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Selanjutnya masuk pada tahap pengawasan yang memberikan proses umpan balik dalam perencanaan, dimana pengawasan melakukan evaluasi dengan cara membandingkan anggaran dengan rencana realisasi.

Menurut Lubis (2011:227), anggaran memiliki beberapa fungsi antara lain: a) Anggaran merupakan hasil akhir dari proses perencanaan perusahaan.

Sebagai hasil negosiasi antar anggota organisasi yang dominan, anggaran harus mencerminkan konsensus organisasional mengenai tujuan operasi untuk masa depan.

b) Anggaran merupakan cetak biru perusahaan untuk bertindak yang mencerminkan priorotas manajemen dalam alokasi sumber daya organisasi.

(9)

19

c) Anggaran bertindak sebagai alat komunikasi internal yang menghubungkan beragam departemen atau divisi organisasi antara satu dengan yang lain serta dengan manajemen puncak.

d) Anggaran berfungsi sebagai standar terhadap hasil operasi aktual sehingga dapat dibandingkan.

e) Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian yang memungkinkan manajemen untuk menemukan bidang-bidang yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan.

f) Anggaran mencoba untuk memengaruhi dan memotivasi baik manajer maupun karyawan untuk bertindak dengan konsisten dengan operasi yang efektif dan efisien serta selaras dengan tujuan organisasi.

2) Proses Penyusunan Anggaran

Lubis (2011:228) menyebutkan terdapat tiga tahapan dalam proses penyusunan anggran, yaitu:

a) Tahap penetapan tujuan

Tahap ini dimulai dari aktivitas perencanaan dengan menerjemahkan tujuan organisasi yang luas ke dalam tujuan-tujuan aktivitas yang khusus. Controler dan direktur perencanaan memainkan peranan kunci dalam proses penyusunan anggaran yang disesuaikan dengan struktur organisasi, maupun gaya kepemimpinannya. Manajer tingkat bawah dan para karyawan sebaiknya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penetapan tujuan, karena mereka merupakan bagian dari organisasi tersebut, dengan demikian proses penyusunan anggaran akan terlaksana lebih efektif.

(10)

20 b) Tahap implementasi

Rencana formal yang telah disusun selanjutnya digunakan untuk mengkomunikasikan tujuan, strategi organisasi, dan untuk memotivasi secara positif setiap individu yang terlibat dalam organisasi. Perencanaan harus dikomunikasikan secara efektif untuk mencapai keberhasilan.

c) Tahap pengendalian dan evaluasi kinerja

Setelah anggaran diimplementasikan, maka anggaran tersebut berfungsi sebagai elemen kunci dalam sistem pengendalian. Anggaran menjadi tolok ukur terhadap kinerja aktual dibandingkan dengan kinerja yang direncanakan.

2.1.5 Partisipasi Penyusunan Anggaran

Partisipasi adalah suatu proses pengambilan keputusan baik oleh dua pihak atau lebih yang mempunyai dampak masa depan dalam pembuatan keputusan. Partisipasi dalam penyusunan anggaran berarti keiikutsertaan manajer operasi dan komite anggaran mengenai rangkaian kegiatan dimasa mendatang yang akan ditempuh oleh manajer operasi untuk mencapai sasaran anggaran (Mulyadi, 2001:513). Secara umum dalam penyusunan anggaran, partisipasi dibagi menjadi tiga kelompok (Hapsari, 2010), yaitu :

1) Top down approach (bersifat dari atas ke bawah)

Partisipasi penyusunan anggaran ini menjelaskan mengenai wewenang manajemen pada tingkat yang lebih tinggi dalam menetapkan anggaran bagi

(11)

21

partisipan pada tingkat yang lebih rendah sehingga pelaksana anggaran hanya melaksanakan tugas yang telah disusun.

2) Bottom up approach (bersifat dari bawah ke atas)

Tahap ini menjelaskan bahwa anggaran sepenuhnya disusun oleh bawahan dan kemudian akan diserahkan kepada atasan untuk mendapatkan pengesahan. Manajer tingkatan lebih rendah juga ikut berpartisipasi dalam menentukan besarnya anggaran.

3) Kombinasi top down dan bottom up

Kombinasi antara kedua pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling efektif. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya interaksi antara atasan dan bawahan secara bersama sama menetapkan anggaran yang terbaik bagi perusahaan.

Menurut Nahartyo (2013) partisipasi terdiri dari dua dimensi, yaitu partisipasi dapat dinyatakan sebagai kesempatan yang dimiliki individu untuk memberikan masukan dalam penganggaran (suara) dan kemampuan untuk mempengaruhi anggaran akhir (pilihan). Garrison and Noreen (dalam A. Totok Budisantoso, 2000:408) menyatakan anggaran partisipatif adalah anggaran yang disusun melalui kerjasama dan partisipasi penuh dari manajer pada semua tingkatan dalam perusahaan.

Keunggulan dari anggaran partisipatif antara lain:

1) Setiap orang pada semua tingkatan organisasi diakui sebagai anggota tim yang pandangan dan penilaiannya dihargai oleh manajemen puncak.

(12)

22

2) Orang yang berkaitan langsung dengan suatu aktivitas mempunyai kedudukan terpenting dalam pembuatan estimasi anggaran.

3) Seseorang lebih cenderung mencapai anggaran yang penyusunannya melibatkan orang tersebut.

4) Anggaran partisipatif memiliki sistem kendali tersendiri yang unik sehingga jika mereka tidak dapat mencapai anggaran, maka yang harus mereka salahkan adalah diri mereka sendiri.

Partisipasi anggaran memberi kesempatan yang sama kepada para karyawan dan manajer untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan anggaran. Tujuan menyeluruh dari anggaran dikomunikasikan kepada para manajer dan kemudian membantu mengembangkan anggaran dalam memenuhi tujuan dalam partisipasi anggaran. Partisipasi anggaran memberikan rasa tanggung jawab kepara manajer dan bawahan yang mendorong timbulnya kreatifitas. Manajer (sebagai bawahan) juga dimungkinkan untuk melakukan negosiasi dengan atasan mengenai kemungkinan target anggaran yang dapat dicapai. Partisipasi akan mendorong terjadinya mekanisme pertukaran informasi, pertukaran informasi membuat masing-masing manajer akan memperoleh informasi tentang pekerjaannya. Informasi yang diterima diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja partisipan (Fibrianti dan Riharjo, 2013).

2.1.6 Self Efficacy

Menurut Luthans et al, (2008) self-efficacy didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang dalam kemampuannya untuk menyelesaikan tugas. Self

(13)

23

efficacy merupakan salah satu faktor personal yang berkaitan dengan tekanan pada pekerjaan maupun jabatan. Faktor personal terhadap tugas tersebut dapat berpengaruh pada psikologi, fisik, dan perubahan perilaku negatif pada karyawan. Self-efficacy akan mendorong seseorang untuk mampu menjelaskan alasan mengapa seseorang mengalami kegagalan atau keberhasilan yang dihadapi dalam pelaksanaan anggaran. Terdapat dua bentuk self efficacy, yaitu self efficacy dengan tingkat yang tinggi dalam diri seseorang dan dengan tingkat self efficacy yang rendah.

Menurut Bandura (1977) individu yang memiliki self efficacy tinggi cenderung akan memilih untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan tugas, sementara individu yang memiliki self efficacy rendah cenderung untuk menghindari tugas. Self efficacy yang tinggi akan mendorong individu untuk mengerjakan tugas yang diberikan, meskipun tugas-tugas tersebut sulit. Tugas yang sulit tidak dipandang sebagai suatu ancaman, melainkan dianggap sebagai akibat dari kurangnya usaha, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki. Keyakinan yang telah terbentuk dalam diri individu akan memberikan landasan untuk berusaha secara tekun, ulet dan berani menghadapi permasalahan. Individu yang mempunyai penilaian diri yang tinggi, memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam menyelesaikan tugas. Berbeda dengan individu yang memiliki tingkat self efficacy rendah, individu cenderung berdiam diri dan menyerah apabila berhadapan dengan hambatan-hambatan. Self efficacy yang tinggi dapat mendorong partisipan untuk mengembangkan minat instrinsik serta ketertarikan yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan memiliki

(14)

24

komitmen terhadap apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari kegiatan yang dilaksanakan.

Venkatesh and Blaskovich (2012) menjelaskan self efficacy dalam kaitannya dengan partisipasi, dijelaskan bahwa individu dimungkinkan memiliki kesempatan untuk menerima dorongan dari diri sendiri saat bekerja terhadap anggaran yang ditetapkan. Individu juga diharapkan mampu membangun kepercayaan diri sendiri untuk melakukan keberhasilan dan mencapai target anggaran. Individu akan menerima dorongan dari pengawas saat partisipan bekerja terhadap self set budgets, yang dapat membangun kepercayaan diri partisipan untuk mencapai keberhasilan dan target anggaran. Tingkat partisipasi anggaran yang lebih tinggi akan dikaitan dengan tingkat self efficacy yang lebih tinggi.

2.1.7 Desentralisasi

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan dalam pusat-pusat pertanggungjawaban adalah dengan menggunakan pendekatan desentralisasi. Riyadi (2007) menyatakan bahwa desentralisasi merupakan pendelegasikan wewenang dan pertanggungjawaban antara atasan dan bawahan, dan bawahan juga diberikan wewenang untuk membuat berbagai macam keputusan. Ini berarti bawahan memiliki peran penting karena dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Hansen and Mowen (dalam Deny Arnos Kwary, 2009:559), menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa suatu perusahaan melakukan desntralisasi, antara lain:

(15)

25

1) Penerapan desentralisasi memudahkan perusahaan dalam mengumpulkan dan menggunakan informasi lokal dalam perusahaan.

2) Desentralisasi mampu melatih dan memotivasi para manajer segmen. 3) Desentralisasi mampu meningkatkan daya saing pekerja.

4) Desentralisasi membuka segmen-segmen ke berbagai kekuatan pasar.

Menurut Simamora (1999:250), terdapat empat kunci dalam penerapan wewenang terdesentralisasi, yaitu: delegasi (merupakan pembagian ke bawah penugasan-penugasan pekerjaan dan kekuasaan pengambilan keputusan terkait kepada manajer-manajer di dalam sebuah organisasi), wewenang (merupakan hak untuk membuat keputusan-keputusan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang diemban), tanggung jawab (merupakan kewajiban manajer untuk menerima otoritas untuk mencapai hasil yang dikehendaki), dan akuntabilitas (mengacu kepada ukuran seberapa baik pencapaian hasil-hasil, dan hal ini dipenuhi melalui laporan kinerja berkala yang memperlihatkan kepada manajer yang mendelegasikan wewenang mengenai apa yang terjadi).

Tingkat pendelegasian itu menunjukkan sampai sejauh mana manajemen puncak mengijinkan manajemen level bawah untuk ikut berpatisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Semakin tinggi tingkat desentralisasi, semakin tinggi wewenang manajer segmen di dalam mengambil keputusan. Pada struktur terdesentralisasi, manajer puncak mendelegasikan wewenang dan tanggung jawabnya kepada manajer di bawahnya dalam pembuatan keputusan. Adanya desentralisasi dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan semakin luasnya tanggung jawab unsur-unsur pelaksanaan penyusunan anggaran serta kebijakan

(16)

26

secara indipenden, sehingga semakin tinggi pula wewenang manajer dalam mengambil keputusan yang tepat pada struktur desentralisasi (Fibrianti dan Riharjo, 2013).

2.1.8 Budaya Organisasi

Usoro and Adigwe (2014), menyatakan bahwa budaya organisai menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dari sebuah organisasi. Sehingga dapat dikatakan budaya organisasi mampu mendefinisikan nilai-nilai organisasi dan sebagai arah dalam sebuah situasi. Budaya diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, antara lain: nasional, daerah, gender, generasi, kelas sosial, organisasional perusahaan. Budaya pada tingkat organisasional adalah seperangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dan suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan.

Budaya organisasi yang kuat akan membantu organisasi memberikan kepastian bagi anggotanya untuk berkembang bersama organisasi, sedangkan budaya lemah tidak mampu mendorong karyawan maju bersama perusahaan. Sulaksono (2005) budaya organisasi yang kuat ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu, pertama penyebaran nilai-nilai budaya yang lebih efektif dijalankan dengan melakukan orientasi tugas dan penghargaan atas prestasi kerja yang dicapai sehingga seluruh sumber daya manusia yang ada di organisasi mengetahui secara jelas nilai-nilai yang berada di dalam organisasi tersebut, kedua dengan melihat tingkat komitmen organisasional anggota terhadap nilai-nilai inti yang ada.

(17)

27

Sedangkan untuk budaya organisasi yang lemah dapat dilihat apabila organisasi tidak memiliki nilai-nilai atau keyakinan yang jelas tentang bagaimana kegiatan yang dilaksanakan dapat berhasil di dalam usaha, meskipun mungkin memiliki banyak keyakinan tetapi tidak disepakati sebagai suatu hal yang penting dan kegitan yang dilakukan sehari-hari tidak terorganisir dengan baik sehingga masing-masing bagian atau individu bekerja sendiri-sendiri.

Partisipasi dalam kaitannya dengan budaya organisasi, dianggap sebagai bagian dasar dari tiga tingkatan dalam budaya organisasi yaitu, sebagai artefak, nilai-nilai, dan asumsi dasar. Sebagai bagian dari artefak, berbagai bentuk dari partisipasi termasuk partisipasi dalam anggaran akan diidentifikasi. Sebagai bagian dari nilai-nilai, partisipasi dijelaskan sebagai nilai-nilai yang harus dipatuhi dalam sebuah organisasi baik perusahaan dengan skala yang lebih besar maupun perusahaan dalam skala yang lebih kecil. Asumsi yang merupakan tingkatan terakhir dalam budaya organisasi dinyatakan sebagai alat untuk menilai apakah partisipasi dalam organisasi dapat dihargai atau tidak dalam sebuah perusahaan. Sehingga budaya organisasi dapat dijelaskan sebagai faktor yang berpengaruh dalam partisipasi dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat partisipasi dari partisipan dalam sebuah organisasi. Penilaian ini dapat dilihat dari sejauh mana partisipan terlibat dalam proses pertukaran informasi dan proses pengambilan keputusan atau seajauh mana partisipan terlibat dalam proses partisipasi secara material (Nerdinger, 2008).

(18)

28 2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Manajerial

Manajer yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat mengetahui seberapa besar kemampuan yang dimilikinya dalam mencapai target anggaran. Mah’d et al, (2013) dalam peneitian yang dilakukan terhadap para eksekutif pada universitas yang berada di Jordanian menemukan bahwa responden yang ikut berpartisipasi dalam anggaran secara signifikan memiliki indikator kinerja yang lebih baik dari pada responden yang tidak berpartisipasi dalam anggaran.

Berdasarkan studi yang mencoba untuk menyelidiki hubungan antara partisipasi anggaran dan manajerial terhadap kinerja dalam industri jasa di Malaysia, diperoleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa partisipasi anggaran secara signifikan berhubungan positif dengan kinerja (Minai and Mook, 2013). Lina dan Stella (2013) menemukan bahwa penganggaran partisipatif berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial, kepuasan kerja, dan pekerjaan informasi yang relevan. Menurut Hanny (2013), dalam penelitian yang dilakukan pada sektor perbankan di Bandung dan Cimahi ditemukan bahwa partisipasi anggaran memiliki efek positif terhadap kinerja manajerial.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial.

(19)

29

2.2.2 Pengaruh Self Efficacy dalam Memoderasi Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan Kinerja Manajerial.

Self efficacy adalah suatu keyakinan atau kemantapan tentang sejauh mana individu dapat memperkirakan kemampuan yang ada pada dirinya untuk melaksanakan tugas yang diberikan. Individu yang mempunyai penilaian diri yang tinggi memiliki keaktifan yang lebih besar dalam menyelesaikan tugas, sehingga tingkat self efficacy yang tinggi dikaitkan dengan adanya partisipasi anggaran yang tinggi. Menurut Mahanani (2009), menemukan bukti bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara partisipasi anggaran dengan variabel self efficacy.

Menurut Yolandari (2011) self efficacy memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial dan partisipasi anggaran. Berdasarkan studi Siwi (2005) yang dilakukan pada 115 wanita karir di Yogyakarta, diperoleh hasil bahwa wanita yang memiliki komitmen profesi tinggi, berpartisipasi dalam penganggaran, dan memiliki self efficacy yang rendah cenderung memiliki konflik peran. Venkatesh and Blaskovich (2012) dalam penelitiannya the mediating effect of psychological capital on the budget participation-job performance relationship menemukan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh positif dan signifikan terkait dengan tingkat psychological capital dari karyawan yang terkait dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Psychological capital adalah kekuatan positif individu dari perkembangan psikologis yang dimiliki, yang ditandai dengan adanya rasa kepercayaan diri (self efficacy) yang digunakan untuk mengambil dan berhasil melaksanakan tugas-tugas yang menantang, membuat atribusi positif (optimism) tentang sukses sekarang dan di masa depan, tekun menuju tujuan serta

(20)

30

mengarahkan jalan ke tujuan (hope), serta mampu mempertahankan dan memantul kembali bahkan lebih (resiliency) ketika dilanda masalah serta kesulitan untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugas (Luthans et all, 2008), jadi self efficacy merupakan salah satu bagian dari psychological capital. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Self efficacy mampu memoderasi hubungan antara partisipasi penyusunan

anggaran dengan kinerja manajerial.

2.2.3 Pengaruh Desentralisasi dalam Memoderasi Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan Kinerja Manajerial.

Desentralisasi adalah pengambilan keputusan yang memiliki implikasi pada kinerja yang jangkauannya luas bagi organisasi secara keseluruhan. Desentralisasi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para manajer bertujuan untuk meningkatkan kinerja mereka dengan mendorong mereka untuk mengembangkan kemampuan khas untuk menangani kondisi-kondisi lokal yang tidak menentu. Simamora (1999:249), menyatakan bahwa desentralisasi merupakan delegasi otoritas atau wewenang pengambilan keputusan yang diberikan kepada jajaran manajemen yang lebih rendah dalam sebuah organisasi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agusti (2012) dalam penelitian yang dilakukan pada pemerintah kabupaten Bengkalis, menyatakan bahwa variabel desentralisasi berpengaruh positif terhadap hubungan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja aparat pemda. Dwiranda (2008), diperoleh hasil bahwa desentralisasi mampunyai pengaruh positif terhadap kinerja manajerial. Penlitian tersebut juga diperkuat dengan penelitian dari Fibrianti dan

(21)

31

Riharjo (2013), ditemukan hasil bahwa desentralisasi secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial pada pemerintahan kota Surabaya.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Desentralisasi mampu memoderasi hubungan antara partisipasi

penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial.

2.2.4 Pengaruh Budaya Organisasi dalam Memoderasi Hubungan antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dengan Kinerja Manajerial.

Budaya pada tingkat organisasional adalah seperangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dan suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan. Disamping tercermin dalam nilai-nilai, budaya organisasional juga dimanifestasikan pada praktik-praktik organisasional yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok organisasional yang lain (Kotter dan Hesket, 1992).

Yolandari (2011), dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh budaya organisasi, pengembangan karir, dan self efficacy terhadap kinerja karyawan PT. PLN (Persero) APJ Purwokerto menemukan bahwa variabel budaya organisasi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Sulaksono (2005) juga menemukan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap tekanan kerja bawahan. Penelitian tersebut juga diperkuat oleh Sumarsih dan Wahyudi (2009), yang menemukan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perangkat desa di kecamatan Kalijambe.

(22)

32

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Budaya organisasi mampu memoderasi hubungan antara partisipasi

Referensi

Dokumen terkait

Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum adalah menghindari garukan untuk mencegah infeksi sekunder, menghindari hal-hal yang ada kaitannya dengan prurigo, yakni

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

Buku Kader Posyandu edisi XX telah ditinjau dan disempurnakan oleh Tim Lintas Sektor dan Lintas Program yang terkait dengan kegiatan UPGK yaitu dari Departemen Kesehatan RI,

Oleh sebab itu, strategi di sini lebih mengutamakan cara orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga supaya anak tidak lari dari norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dianut

Sedangkan nilai tingkat penurunan kadar air terendah dari tanah sebelum diolah hingga setelah dilakukan pembajakan adalah pada kecepatan pembukaan throttle 60 o

teregang. Hal ini disebabkan karena cairan irigasi yang menetes terus menurus, sedangkan aliran dibawah urine bag tidak lancar kita curigai adanya clots yang

Wenny Maya Arlena, S.Sos, M.Si Laksmi Rachmaria, S.Sos., M.I.Kom Wenny Maya Arlena, S.Sos, M.Si Laksmi Rachmaria, S.Sos., M.I.Kom Nugroho Iman Santoso, S.Sos., M.I.Ko Nugroho

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga