BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Setiap industri atau organisasi pernah mengalami perubahan, baik dari segi struktur organisasi sampai pada budaya organisasi. Salah satu perubahan yang terjadi secara konstan dalam organisasi yaitu adanya penambahan atau pergantian karyawan baru pada tiap tingkat jabatan. Tidak hanya karyawan baru yang
membutuhkan pekerjaan tetapi perusahaan juga membutuhkan sumber daya manusia. Karyawan baru datang dari beragam tingkat kemampuan, motivasi, dan keinginan untuk menunjukkan performance kerja mereka (Schultz & Schultz, 2006).
Secara umum, setiap karyawan baru memiliki tujuan dan harapan yaitu memiliki karir yang semakin maju dan berkembang. Perusahaan sebagai suatu wadah atau sarana bagi seorang karyawan baru untuk mencapai tujuan dan harapan mereka. Selain itu, di sisi lain perusahaan yang memiliki talent yang maju dan berkembang tentu saja akan membawa manfaat bagi bisnis perusahaan mereka. Sehingga terjadi suatu hubungan timbal balik atau “mutualisme” antara perusahaan dan karyawan.
Menjadi seorang karyawan baru bukanlah hal yang mudah. Apabila
seseorang tidak siap menghadapi tantangan atau pun kesulitan sebagai karyawan baru, maka ia bisa mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud adalah ketika seorang karyawan baru hanya bertahan dalam jangka waktu yang pendek di suatu perusahaan yang dimasukinya sehingga dapat mengakibatkan peningkatan angka
2
karyawan yang keluar (turnover). Seperti yang dikatakan pada suatu artikel online, bahwa kegagalan seorang karyawan baru menjadi fenomena tersendiri di kalangan HRM.
Artikel tersebut menyebutkan beberapa alasan utama dari kegagalan karyawan baru; 1) No Match, yakni kesalahan dari proses perekrutan/seleksi
perusahaan dimana kualifikasi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan pekerjaan (bisa saja disebabkan tergiur oleh CV calon karyawan atau penampilan yang meyakinkan pada saat wawancara), 2) Lack of Recognition, yaitu kurangnya penghargaan yang diperoleh karyawan baru terhadap usahanya, 3) Lack of Mentoring, dimana
karyawan baru kurang memperoleh bimbingan yang tepat mengenai
pekerjaannya,sehingga membuat ia kurang bisa beradaptasi dengan pekerjaan barunya (diunduh pada Desember 29, 2010 dari
http://vibizlearning.com/new/knowledge/fenomena_kegagalan_karyawan_baru/) Artikel di atas menjelaskan fenomena kegagalan karyawan baru dari segi teknis, tetapi juga terdapat artikel mengenai kesulitan apa saja yang dialami oleh seorang karyawan baru ketika harus beradaptasi dengan situasi kerja yang baru. Kesulitan tersebut antara lain; rasa canggung, cara untuk berbaur dengan rekan kerja, dan “unjuk gigi” yaitu sulit untuk memperlihatkan keahlian yang dimiliki karena adanya pandangan dari rekan kerja lain yang belum mengetahui kapabalitias diri karyawan baru tersebut (diunduh pada Desember 29, 2010 dari
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cyberjob/detail.aspx?x=Career+Tips+&y=cyberjob|0|0|3| 552).
Menurut Keeffe (2010), pada hari pertama seorang karyawan baru akan mengalami pengalaman emosi yang bercampur aduk, yaitu terdiri dari perasaan semangat, keingintahuan dan kecemasan. Seorang karyawan baru tahu bahwa mereka memiliki banyak hal yang harus dipelajari, sehingga membuat kesadaran mereka terhadap informasi menjadi sangat penting dan ketika mereka merasa mereka kehilangan informasi tersebut maka cenderung menurunkan kepercayaan diri mereka juga membuat mereka tidak yakin dengan kemampuan mereka.
Selain itu, menurut Caron (2008), terdapat 42% dari eksekutif periklanan dan pemasaran mengatakan bahwa menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan adalah hal yang paling sulit bagi seorang karyawan baru (berdasarkan survei The
Creative Group) dan 30% mengatakan mempelajari ‘protokol’ atau aturan bisnis baru
juga merupakan hal tersulit (diunduh pada Januari 26, 2011 dari
http://www.hrworld.com/blog/20080430/challenges-for-new-employees/). Kesulitan ataupun kondisi yang dialami oleh karyawan baru tersebut, secara tidak langsung akan menurunkan job performance mereka.
Penurunan job performance pada karyawan baru juga disebabkan oleh adanya proses pembelajaran yang dialami oleh karyawan baru dalam
perkembangan karir mereka. Menurut Bunker & Webb (dalam Hughes, Ginnett & Curphy, 2009), bekerja melalui powerful learning events (kejadian/kegiatan pembelajaran yang kuat) dan potent developmental experiences (pengalaman perkembangan atau pertumbuhan yang kuat/ berpengaruh) sangat mendukung hipotesis-lama yaitu gagasan tentang adanya hubungan antara stress dan belajar.
4
Learning events dan developmental experiences seringkali menekankan atau
menyebabkan kehidupan seseorang mengalami stres. Oleh sebab itu, learning
experiences atau pengalaman pembelajaran merupakan hal yang seharusnya
diperhatikan baik dari perusahaan maupun karyawan (baik senior, junior atau karyawan baru). Bunker & Webb menggambarkan proses learning experiences, seperti yang terlihat pada Gambar 1.1 (Hughes, Ginnett & Curphy, 2009).
Sumber: Hughes et al. (2009, p. 72)
Gambar 1.1 Anatomy of a Learning Experience
Anatomy of a learning experience menggambarkan segmen/bagian
kehidupan yang berisi serangkaian kesempatan belajar (learning opportunities). Bagian lingkaran merepresentasikan episode stres dari kehidupan yaitu kejadian yang berpotensi terjadinya pembelajaran (learning-to-learn event). Pembelajaran dimulai dari bagian kiri kurva yang merepresentasikan perkembangan atau pertumbuhan yang terstimulasi dari pengalaman pembelajaran sebelumnya juga menggambarkan nilai keterampilan belajar yang sering terjadi dari waktu ke waktu dan menjadi kebiasaan rutin (sehingga berbentuk datar). Sampai pada comfort zone;
yaitu seseorang telah nyaman karena merasa berhasil mengatasi tantangan pembelajaran.
Selanjutnya, lingkaran yang lebih kecil merepresentasikan tegangan yang yang dikarenakan munculnya tantangan pembelajaran baru – sering muncul dari transisi atau pengalaman stress yang membutuhkan respon. Ketika seseorang menerima atau merespon tantangan tersebut maka ia mengalami penurunan yang cukup tajam dan dikatakan mengalami penurunan kinerja/performance sementara. Pada akhirnya ketika ia berhasil melalui penurunan tersebut ia akan menunjukkan
performance kerja pada tingkat yang lebih tinggi dengan keterampilan yang lebih
luas (Bunker & Webb dalam Hughes, Ginnett & Curphy, 2009).
Kondisi penurunan performance karyawan baru yang cenderung dialami oleh karyawan baru ketika menerima tantangan baru. Tantangan seorang karyawan baru yang dimuat dalam suatu berita online, yang ditulis oleh Bilski, J. (Juli 30, 2010) terdapat suatu studi baru oleh Office Team yang melakukan survei kepada 464 karyawan dengan pertanyaan “apa tantangan terbesar seorang karyawan baru?” (diunduh pada Januari 26, 2011 dari http://www.cfodailynews.com/what-are-new-workers-greatest-challenges/). Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
• Terbiasa dengan budaya dan rekan kerja baru (37%) • Belajar proses dan kebijakan baru (23%)
• Beradaptasi dengan rutinitas baru (22%)
• Membangun kepercayaan personal atau pribadi diri sendiri (10%) • Lain-lain atau tidak tahu (8%)
6
Tantangan-tantangan tersebut membuat proses pembelajaran seorang karyawan baru yang cenderung mengakibatkan stress sampai pada penurunan job
performance yangmana hal ini tidak lah diharapkan oleh perusahaan. Pihak
perusahaan mengharapkan seorang karyawan baru dapat menunjukkan atau bahkan meningkatkan job performance mereka dan perusahaan pun dapat
menurunkan turnover dari karyawan baru. Oleh sebab itu, antara kondisi yang terjadi dari seorang karyawan baru dengan harapan perusahaan terdapat ‘gap’ atau jarak pemisah yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian kali ini.
Satu hal yang disadari oleh perusahaan bahwa kebutuhan seorang karyawan baru untuk dapat mempelajari peran mereka dalam tingkatan hirarki organisasi, nilai-nilai perusahaan, dan perilaku-perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh
kelompok kerja dimana pegawai baru terlibat atau yang disebut dengan sosialisasi (Schultz & Schultz, 2006). Dengan demikian, salah satu usaha perusahaan untuk dapat mengatasi ‘gap’ atau jarak antara kondisi karyawan baru dengan harapan perusahaan adalah melalui proses sosialisasi. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan suatu perusahaan dalam rangka menjalankan proses sosialisasi bagi karyawan baru atau yang disebut dengan organizational socialization tactics (Bauer et al., dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H., 2010)
Penelitian meta-analysis yang dilakukan oleh Bauer et al. (2007)
menunjukkan bahwa pencarian informasi seorang karyawan baru berpengaruh terhadap organizational socialization tactics, dan mempengaruhi atau menghasilkan penyesuaian seorang karyawan baru (new comer adjustment) yaitu; role clarity (kejelasan peran), self-efficacy dan social acceptance (penerimaan sosial).
Sehingga, dengan suksesnya new comer adjustment seorang karyawan baru maka menghasilkan beberapa outcomes, seperti; meningkatkan job performance dan menurunkan tingkat turnover (dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H., 2010).
Berdasarkan tiga faktor new comer adjustment di atas, penelitian kali ini fokus pada self-efficacy. Self-efficacy menjadi hal yang penting terkait dengan peran mereka sebagai ‘new comer’ atau pendatang baru di suatu perusahaan. Selain banyak hal yang harus mereka pelajari, juga terdapat tantangan-tantangan dari pekerjaan mereka sendiri. Bentuk pekerjaan dari karyawan baru akan berbeda-beda, tetapi yang menjadi persamaan dari tantangan yang dihadapi oleh karyawan baru yaitu mengenai mempelajari budaya perusahaan.
Friedman & Schustack (2008) mengatakan bahwa tanpa self-efficacy (sebagai bentuk keyakinan tertentu yang sangat situasional), seseorang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku, karena menurut Bandura self-efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Berdasarkan fakta-fakta di atas maka
self-efficacy menjadi penting bagi seorang karyawan baru, dimana ia yakin bahwa ia
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru sehingga dengan begitu ia dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya, berbicara mengenai
menyesuaikan diri maka kembali lagi membahas proses sosialisasi karyawan baru. Salah satu organizational socialization tactics adalah melaksanakan program orientasi karyawan baru. Program orientasi karyawan baru yang efektif menyediakan
8
informasi bagi karyawan baru tentang apa yang perusahaan butuhkan dari mereka sebagai seorang karyawan, seperti sejarah didirikannya perusahaan, budaya organisasi dan visi strategis yang akan ditempuh perusahaan. Program orientasi memulai proses sosialisasi karyawan baru dengan membantu mereka belajar tentang bagaimana cara organisasi bekerja dan nilai-nilai yang dimilikinya (Blanchard & Thacker, 2010).
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang mengikuti program orientasi akan lebih bersedia mengadopsi tujuan dan nilai-nilai perusahaan dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikuti program orientasi. Terdapat beberapa positive
outcome atau hasil yang positif bagi suatu organisasi dengan menyelenggarakan
orientasi untuk pegawai baru, yaitu mengurangi rasa cemas, mengurangi role
ambiguity, mengurangi turnover, meningkatkan prestasi kerja, tingkat komitmen
yang lebih tinggi, organisasi yang lebih efektif/efisien (Blanchard & Thacker, 2010). Menurut Ardts et al. (2001), program orientasi karyawan baru (beberapa menggunakan istilah induksi) dalam sosialisasi adalah penting bagi ‘reproduksi’ organisasi, dimana induksi memungkinkan suatu organisasi untuk melahirkan kembali atau menjadikan seorang karyawan menjadi anggota yang berfungsi dalam beragam keadaan (dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel W. F., 2010). Oleh karena itu, dikatakan bahwa program induksi dan sosialisasi adalah suatu mekanisme penting untuk kedua pihak yaitu organisasi dan karyawan baru. Bagi pihak
organisasi, mereka secara terus menerus membutuhkan karyawan baru untuk dapat mempertahankan kelangsungan organisasi dan secara khusus untuk perkembangan organisasi mereka. Sedangkan, bagi pihak seorang karyawan baru, mereka
memerlukan bantuan untuk dapat menurunkan tingkat kebingungan mereka dimana ada beberapa hal yang harus mereka pelajari ketika memasuki lingkungan
organisasi baru, agar dengan begitu mereka dapat memberikan kontribusi mereka terhadap aktivitas organisasi (Bauer et al., dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel W. F., 2010).
I. 2. Identifikasi Masalah
Proses sosialisasi yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah program orientasi karyawan baru yang dilaksanakan oleh beberapa organisasi sebagai tahap awal dari proses sosialisasi dari karyawan baru tersebut. Bauer et al. (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009) mengatakan bahwa sosialisasi memiliki keterkaitan dengan self-efficacy karyawan baru, maka dapat diasumsikan bahwa program orientasi karyawan baru juga akan berkaitan dengan self-efficacy karyawan baru.
Permasalahan yang ditemui adalah dari content atau isi; yaitu materi apa saja yang diberikan dalam program induksi karyawan baru. Dilihat dari gambaran besar program induksi yaitu sosialisasi. Menurut Chao et al. (1994), terdapat enam dimensi sebagai content dari sosialisasi yang merepresentasikan informasi yang berbeda dimana informasi ini dibutuhkan oleh seorang karyawan baru untuk dipelajari dan menghasilkan penyesuaian yang berhasil. Keenam dimensi tersebut ialah; performance proficiency (kemahiran kinerja), politik, language (bahasa),
people (orang), organizational goals/values (tujuan/nilai organisasi) dan history
10
Khusus untuk program orientasi karyawan baru, salah satu contoh desain program orientasi karyawan baru meliputi content atau materi yaitu; 1) Misi, tujuan, strategi dan nilai utama dari perusahaan, 2) Operasional perusahaan dan
bagaimana pekerjaan dari karyawan baru dapat berkontribusi dalam misi dan strategi perusahaan, 3) Performance karyawan baru yang diharapkan pada tahun pertama mereka bekerja, 4) Kebijakan dan prosedur perusahaan juga tanggung jawab masing-masing karyawan sebagai kunci dari operasional perusahaan. (Blanchard & Thacker, 2010).
Dilihat dari content atau materi dari salah satu contoh desain program
orientasi karyawan baru diatas, maka terlihat bahwa materi yang diberikan sebagian besar terdiri hal-hal teknis, seperti; kebijakan dan prosedur yang ada dalam
perusahaan, juga bagaimana operasional suatu perusahaan berjalan. Menurut Klein et al. (2000), beberapa studi yang dilaksanakan mengenai pelaksanaan program orientasi karyawan baru, ditemukan bahwa program orientasi karyawan baru
seringkali tidak jauh berbeda dengan awal pengenalan pekerjaan secara teknis atau bahkan seperti program pelatihan keterampilan bekerja.
Pada akhirnya tujuan dari sosialisasi (program orientasi) itu sendiri adalah
new comer adjustment atau terjadinya penyesuaian yang berhasil antara organisasi
dan karyawan baru. Seorang karyawan baru dalam mengikuti program orientasi seharusnya juga diberikan materi yang bersifat soft skill tidak hanya materi-materi yang bersifat teknis. Agar dengan begitu, seorang karyawan baru tidak saja dibekali dengan keterampilan teknis dalam bekerja, tetapi juga keterampilan secara psikologis dalam menghadapi tantangan atau pembelajaran di lingkungan baru,
dimana dalam kondisi ini seorang karyawan baru perlu mempunyai self-efficacy yang baik, agar ia memiliki keyakinan untuk dapat melakukan pekerjaan barunya sehingga akan berdampak pada job performance yang baik sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan.
I. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat peran dari pemberian materi
soft-skill dalam program orientasi terhadap self-efficacy karyawan baru.
I. 4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diperoleh adalah: • Pihak organisasi
Agar organisasi atau perusahaan menyadari pentingnya program orientasi karyawan baru dimana terdapat positive outcome atau hasil positif dari pelaksanaan orientasi untuk pegawai baru yang efektif, yaitu mengurangi rasa cemas dan role ambiguity yang akan meningkatkan prestasi kerja, tingkat komitmen yang lebih tinggi, organisasi yang lebih efektif/efisien seperti yang diharapkan oleh perusahaan sehingga berdampak pada
turnover yang rendah.
• Pihak karyawan baru
Menyadari pentingnya self-efficacy bagi seorang karyawan baru untuk dapat meningkatkan keyakinan diri dalam menghadapi pekerjaan baru tantangan dari lingkungan kerja yang baru.