• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kumpulan Makalah Pengelolaan Tanah dan Lahan di Indonesia"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

(2)
(3)

3 Latar Belakang

Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan juga digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Lahan memiliki sifat atau karakteristik yang spesifik. Secara klasik lahan diartikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki Sifat-sifat biofisk dan atribut atau keadaan unsur-unsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan, seperti tekstur tanah, struktur tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur, drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya. Namun pengertian lahan tidaklah sesempit itu, secara luas lahan diartikan sebagai suatu kesatuan lingkungan biofisik bagian dari bentang alam dan mencakup lingkungan sosial budaya dan ekonomi dari lahan tersebut. Karena peranan lahan yang bersifat multifungi ini, maka dalam proses pengelolaan lahan ketiga aspek tersebut perlu dipertimbangkan.

Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, kualitas sumberdaya lahan semakin berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya daya dukung lahan dalam menyangga kegiatan produksi di atasnya, rentan terhadap proses degradasi lahan dan kerusakan lingkungan lainnya. Untuk itu perlu pengelolaan lahan yang efektif, efisien dan optimal sehingga kelestarian lahan juga dapat terjaga dan kebutuhan manusia akan lahan dapat tercukupi.

Pengelolaan lahan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pengelolaan sumberdaya lahan yang bertumpu pada tiga aspek utama yaitu (1) Kepedulian Lingkungan (Ecologically Awareness), dimana pengelolaan tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis lahan tersebut. Keseimbangan lingkungan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam; (2) Bernilai ekonomis (Economic Valueable), pengelolaan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi, sumber daya alam dapat terlanjutkan (tidak tereksploitasi); dan (3) Berwatak sosial (Socially Just), sistem pengelolaan harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tanah dan lahan yang diterapkan pada setiap daerah atau lokasi tertentu harus bersifat spesifik dalam arti menyesuaikan dengan potensi biofisik, sosial budaya, dan nilai ekonomi daerah tersebut.

Daerah-daerah di Indonesia memiliki heterogenitas sosial dan budaya yang tinggi. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan tersendiri dalam sistem pengelolaan lahannya. Penerapan norma-norma lokal seperti hukum adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat penting dalam menetapkan pengelolaan lahan yang sesuai dan mampu mengsinergikan antara potensi-potensi serta norma yang berlaku di daerah masing-masing.

(4)

4

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi dan potensi serta permasalahan pengelolaan lahan yang ada di berbagai daerah Indonesia dan menerapkan bagaimana sistem pengelolaan tanah dan lahan yang sesuai untuk pemanfaatan komoditi dan tujuan tertentu di daerah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan.

(5)

5

BAB II

(6)
(7)

7

“Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui Pendekatan

Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi di

Kabupaten Bogor”

Disusun Oleh: Gilang Sukma Putra

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi. Tercatat pada tahun 2013 angka konsumsi beras per kapita Provinsi Jawa Barat mencapai 90.3 Kg (BPS Jabar, 2013). Produksi Gabah Kering Giling (GKG) Kab. Bogor sebanyak 551 ribu ton pada 2013 (Bogor Dalam Angka, 2014) hanya mampu mencukupi sebesar 79.2% konsumsi beras penduduk Kab. Bogor yang berjumlah sekitar 5.1 juta jiwa. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk meningkatkan produksi beras perlu dilakukan untuk mengurangi defisit tersebut melaui sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih baik.

Usaha pengelolaan tanah dan lahan yang dilakukan perlu menerapkan konsep keberlanjutan. Diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian yang menyeluruh, selain dapat meningkatkan angka produksi juga harus bersifat partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).

Selama ini peningkatan hasil produksi padi melalui pendekatan PTT sudah berkembang di lahan sawah irigasi. Berbagai perpaduan komponen teknologi yang sifatnya saling sinergis, kompatibel, dan saling melengkapi telah dianjurkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi padi yang lebih efisien, menguntungkan dan berkesinambungan. Menurut survei yang dilakukan Balitbang Pertanian (2007) diperoleh bahwa dari 28 kabupaten yang telah menerapkan pendekatan PTT sejak tahun 2002-2003 produksi padi irigasi mengalami peningkatan rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Kabupaten Bogor sendiri sebenarnya sudah menerapkan sistem PTT padi di beberapa daerah seperti di Desa Karacak pada tahun 2005 (Maryati et al, 2005) dan Kecamatan Ciseeng pada tahun 2011 (Muslihat, 2012). Hasilnya pun cukup memuaskan, terbukti dengan pendekatan PTT mampu meningkatkan produktifitas padi menjadi 6 – 9 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektar. Oleh karena itu, adopsi PTT ke berbagai daerah budidaya padi di Kabupaten

(8)

8

Bogor sudah saatnya untuk digalakkan untuk meningkatkan jumlah produksi beras Kab. Bogor.

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan memahami sistem budidaya padi sawah menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai bagian dari realisasi program revitalisasi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Kondisi Geografi, Administratitf, dan Demografi

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298,838,304 Ha, secara geografis terletak di antara 6º18'0" - 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" - 107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya:

 Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi;

 Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;

 Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

 Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur;

 Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.

Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29.28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19.53% berada pada ketinggian 500–1,000 meter dpl, 8.43% berada pada ketinggian 1000 – 2000 meter dpl dan 0.22% berada pada ketinggian 2,000– 2,500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor.

Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2,500–5,000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C.

(9)

9 Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata– rata 1.2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata – rata sebesar 146.2 mm/bulan. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32 jaringan irigasi pemerintah, 900 jaringan irigasi pedesaan, 95 situ dan 96 mata air.

Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah – tanah yang relatif subur.

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Jenis tanah di Kabupaten Bogor terdiri dari 22 jenis tanah menurut sistem Klasifikasi PPT (1983) dimana dengan presentase terbesar adalah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit Air Tanah sebesar 20.20 % (60,439,627 Ha). Sedangkan jenis tanah lainnya adalah sebagai berikut:

1. Andosol Coklat Kekuningan (1%);

2. Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan (4.71 %); 3. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (3.22 %);

4. Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan (3.83 %); 5. Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu (5.89 %);

6. Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat (8.78 %); 7. Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu (0.34%); 8. Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol (0.30 %);

9. Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediateran (5.81 %);

10. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol (6.71 %);

11. Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, Podsolik Merah Kekuningan (5.61 %);

12. Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol (2.84%);

13. Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol (1.69 %);

14. Kompleks Rensina, Litosol Batu Kapur dan Brown Forest Soil (0.89 %); 15. Latosol Coklat (7.62 %);

16. Latosol Coklat Kekuningan (1.91 %); 17. Latosol Coklat Kemerahan (0.001 %); 18. Latosol Coklat Tua Kemerahan (6.32 %); 19. Podsolik Kuning (1.57 %);

20. Podsolik Merah (2.07 %) dan

21. Podsolik Merah Kekuningan (7.54 %).

Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di dalamnya meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), yang tercakup dalam 3,882 RW dan 15,561 RT. Pada tahun 2012 telah dibentuk 4 (empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa

(10)

10

Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya Kecamatan Rumpin.

Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah dikelompokkan menjadi: kebun campuran seluas 85,202.5 Ha (28.48%), kawasan terbangun/pemukiman 47,831.2 Ha (15,99%), semak belukar 44,956.1 Ha (15.03%), hutan vegetasi lebat/perkebunan 57,827.3 Ha (19,33%), sawah irigasi/tadah hujan 23,794 Ha (7.95%), tanah kosong 36,351.9 Ha (12.15%).

Secara umum, kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 berjumlah 5,111,769 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 2,616,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,494,807 jiwa. Jumlah penduduk tersebut hasil proyeksi penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.44 persen dibanding tahun 2012. Angka ini merupakan laju pertumbuhan penduduk proyeksi selama kurun waktu 1 tahun (RPJMD Kab. Bogor, 2013).

Kondisi Kawasan Pertanian

Kabupaten Bogor di tahun 2013 memiliki areal persawahan kurang lebih seluas 47,663 Ha (Kab. Bogor Dalam Angka, 2014). Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian pangan untuk menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup berkembangnya sektor pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena karakteristik lahan dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian.

Di sektor pertanian, komoditas utama produksi terdiri dari tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Komoditas pertanian yang dihasilkan antara lain padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe.

Budidaya tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di Kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam luasan terbatas. Produktifitas tanaman padi sawah adalah berkisar 4 - 5 ton per ha, sedangkan produktifitas padi gogo 2 – 3 ton per ha (Dinas Pertanian Jabar, 2013). Produktifitas ini sebenarnya masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan, seperti menekan bahaya banjir dan perbaikan manajemen usaha tani seperti pemberian pupuk tepat dosis dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana seperti pembangunan pasar, gilingan padi, dan lain-lain.

Kendala penting tanaman padi sawah lainnya adalah luasan padi sawah rata-rata adalah 2.500 m2 per keluarga. Dengan luasan kepemilikan yang rendah ini maka harus dilakukan pencetakan lahan sawah baru dan melindungi luasan lahan petani yang ada terutama lahan milik petani-petani gurem.

Daerah pertanian hortikultur seperti sayuran dan buah juga menyebar hampir di semua wilayah, tetapi konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar pada wilayah tertentu. Tanaman jagung menyebar di Kecamatan Darmaga, Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Klapanunggal, Rancabungur, Cibinong,

(11)

11 Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Sedangkan tanaman kedelai menyebar hanya di Tamansari, Kemang, Rancabungur dan Megamendung. Situasi yang sama juga terjadi pada sayuran dan buah. Daerah sayuran mendominasi terbatas pada beberapa kecamatan seperti Cisarua, Darmaga, Leuwisadeng, Cigombong, sedangkan buah berasal dari Tanjungsari, Mekarsari, Jasinga, Tajurhalang, dan lain-lain. Kendala utama dalam komoditas lahan kering (semusim dan tahunan) adalah masih rendahnya produktifitas yang terkait dengan manajemen usaha tani, dan pemasaran. Khususnya untuk tanaman buah, sebenarnya ada varietas lokal yang sudah dikenal tetapi produksi masih rendah, sehingga upaya pengembangan komoditas yang bersifat lokal perlu dilakukan.

Penyebaran areal tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor, tetapi ada daerah-daerah utama perkebunan, seperti misalnya perkebunan teh di Ciawi, karet di Tanjungsari, dan kelapa sawit di Kecamatan Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, dan Rumpin. Tanaman perkebunan ini secara keseluruhan terdapat pada lahan yang berkategori kelas 3 dengan kendala utamanya adalah faktor kelerengan, sehingga degradasi lahan melalui proses erosi dan penurunan kesuburan menjadi persoalan utama dan faktor pembatas. Dari sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan relatif terbatas (total sekitar 19 ribu hektar), sehingga bentuk usaha skala besar tidak dianjurkan, tetapi ke bentuk usaha perkebunan skala kecil dan bekerjasama dengan usaha yang sudah besar (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan LPPM IPB, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Neraca Pangan, Produksi Padi dan Isu Permasalahan Ketersediaan Pangan Kabupaten Bogor memiliki luas areal lahan sawah seluas 47,663 Ha di tahun 2013 (Kab. Bogor Dalam Angka, 2013). Sejak 5 tahun terakhir, terjadi penurunan luas areal sawah sekitar 0.5% dari tahun ke tahun. Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa luas panen padi sawah di tahun 2013 sebesar 91,318 Ha dari luasan areal tanam 91,389 Ha yang berarti sekitar 99.9% areal sawah sudah dapat dipanen dan menghasilkan gabah. Produksi total Gabah Kering Giling (GKG) padi Kab. Bogor di tahun 2013 mencapai 510,169 ton dengan rata-rata produktifitas sebesar 6.04 ton/ha. Namun jumlah ini masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Kab. Bogor. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa konsumsi GKG Kab. Bogor di tahun 2013 sebesar 696,729 ton. Terjadi defisit pangan sebesar 145,076 ton di tahun 2013.

Tabel 1.1. Data Luas Tanam, Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi GKG Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Tanam*) Luas Panen*) Produktifitas

GKG*) Produksi GKG Ha Ha Ton/Ha Ton 2009 85,706 82,697 5.97 493,779 2010 89,694 88,903 5.96 529,866 2011 86,821 82,714 5.92 489,919 2012 87,093 83,931 5.79 485,627 2013 91,389 91,318 6.04 551,653 Rataan 88,140,60 85,913 5.94 510,169

(12)

12

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya defisit neraca pangan. Diantaranya besarnya jumlah penduduk Kab. Bogor, produktifitas padi yang masih relatif rendah, dan luas areal sawah yang terbatas. Pada tahun 2013 luas areal lahan baku sawah di Kab. Bogor tercatat seluas 47,663 Ha (Bogor Dalam Angka, 2014) dengan Indeks Pertanaman (IP) padi sebesar 1.92.

Sumberdaya pertanian tanaman pangan (lahan sawah) yang utama adalah tanah dan air. Bogor yang merupakan daerah sub-urban Jakarta menghadapi beberapa masalah antara lain:

1) Jumlah Penduduk dan konsumsi beras per kapita yang tinggi

2) Produktifitas Lahan Sawah dan Indeks Pertanaman Padi yang masih rendah

3) Sempitnya luas lahan per kapita penduduk, dan banyaknya petani gurem dengan pemilikan lahan yang sempit (< 0.5 ha)

4) Terbatasnya akses terhadap sumberdaya air, baik sumber air maupun jaringan irigasi untuk lahan sawah

5) Terjadinya konversi lahan terutama lahan sawah menjadi permukiman dan industri, sedang pembentukan lahan sawah baru berjalan lambat.

6) Realisasi Peraturan Agraria yang kurang optimal sehingga menghasilkan struktur penguasaan tanah yang tidak menghasilkan pemanfaatan yang terbaik, berkeadilan dan berkelanjutan.

Dari segi teknis pengelolaan lahan, beberapa faktor penghambat seperti produktifitas dan indeks pertanaman padi yang rendah masih dapat ditingkatkan melalui revitalisasi sistem budidaya padi dengan mengadopsi teknologi-teknologi baru yang lebih modern dalam pengelolaan lahan sawah. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Dengan memanfaatkan segala potensi biofisik, sosial, dan eknomoi yang ada pada suatu lahan, diharapkan pendekatan PTT padi dapat mengoptimalkan potensi yang ada melalui sistem budidaya yang lebih baik. Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai target utama yaitu menciptakan kemandirian pangan nasional sesuai amanat pemerintah dalam PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013 Tahun Jumlah Penduduk *) Konsumsi Beras Per Kapita **) Konsumsi Beras Total Kebutuhan GKG Total

jiwa Kg Ton Ton

2009 4,643,186 91.30 423,932 675,697 2010 4,771,932 90.16 430,214 685,709 2011 4,922,205 89.48 440,424 701,983 2012 4,989,939 87.24 435,297 693,811 2013 5,111,769 85.51 437,128 696,729 Rataan 4,887,806,20 88.74 433,399 690,786 Sumber: *) BPS Kab. Bogor Tahun 2009 – 2013

(13)

13 Potensi untuk Pengembangan Lahan Sawah

Sumberdaya Air

Kabupaten Bogor Kaya akan Sumberdaya Air. Kab. Bogor memiliki enam sungai besar yang memiliki cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang, yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Angke dan DAS Citarum. Kabupaten Bogor banyak memiliki situ (waduk kecil), baik yang buatan maupun yang terbentuk secara alami. Hampir semua situ sepanjang tahun selalu terisi air dengan fluktuasi mengikuti pola musim. Sumber airnya berasal dari mata air atau air limpasan.

Ketersediaan air dari mata air di Kab. Bogor cukup banyak dan hampir semuanya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Data yang sudah diinventarisir adalah mata air dengan debit yang besar yaitu antara 10 liter/detik hingga 800 liter/detik. Mata air dengan debit terbesar berada di daerah Leuwiliang dan Nanggung dan telah banyak dimanfaatkan untuk irigasi, air minum, dan industri.

Secara garis besar wilayah Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok daerah resapan air sebagai berikut: Daerah resapan air tanah utama antara lain daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Gunung Sindur, Jonggol, Pancoran Mas, Cisarua, Ciomas, Ciampea, dan Semplak. Tingkat kelulusan batuan sangat tinggi, yaitu diatas 103 m/hari dengan jenis batuan endapan kipas aluvium, aluvium sungai, dan endapan gunung api muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif rendah yaitu sebesar 10-4 sampai 10-2 m/hari dengan curah hujan 2500 sampai 5000 mm per tahun ke arah selatan. Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di wilayah Jasinga, Parung Panjang, Cigudeg, Gunung Awi Bengkok, Gunung Salak, Gunung Mandalawangi di selatan, Gunung Megamedung, Gunung Telaga, tersusun atas material gunung api muda, endapan gunung api tak teruraikan, endapan gunung tua, lava formasi Cantanyan dan kompleks sedimen berseling-seling dengan kelulusan air antara 10-4 sampai 10-2 m/hari. Curah hujan antara 3500 – 5000 mm per tahun. (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM IPB, 2009).

Jenis Tanah dan topografi

Kab. Bogor memiliki jenis tanah dengan bahan induk berasal dari tuff volkan Gunung Salak. Tanah-tanah yang terbentuk seperti Latosol dan Andosol memiliki kesuburan yang cukup tinggi dan bertekstur halus. Tanah dengan tekstur ini sangat cocok untuk dijadikan sawah karena memiliki sifat kedap yang dapat menahan air dalam jumlah banyak. Tanah-tanah ini tersebar luas di Kec. Jasinga, Cigudeg, Tenjolaya, Tenjo, Cariu, dan Jonggol. Kelemahan dari jenis tanah ini yaitu tanahnya bersifat masam, namun dengan dijadikan sawah kelemahan ini dapat diatasi karena pH tanah dapat dinaiikan mendekati netral melalui penggenangan.

Topografi Kab. Bogor bersifat heterogen dari bergelombang dan berbukit pada bagian selatan sampai landai dan datar ke arah utara. Lahan sawah banyak dikembangkan secara luas di daerah bagian tengah sampai utara Kab. Bogor

(14)

14

terutama di sekitar DAS yang mengaliri Kab. Bogor. Di bagian selatan lahan sawah juga banyak ditemukan dengan sistem tersering karena daerahnya yang lebih berlereng dibandingkan di bagian utara.

Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) untuk Padi Sawah

Tahapan Pelaksanaan PTT Padi

Pengembangan PTT padi didasarkan kepada masalah dan kendala yang ada di lokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan pemahaman pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal, PRA) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1.

Langkah pertama pengembangan PTT padi adalah dengan pelaksanaan PRA di daerah lokal yang menjadi target pengembangan guna menggali permasalahan utama yang dihadapi petani. Melalui PRA, keinginan dan harapan petani dapat diidentifikasi, seperti lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi, budaya petani setempat dan masyarakat sekitarnya.

Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masukan dari petani dan masyarakat setempat.

Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT padi dalam bentuk pembuatan “demonstrasi plot” (demplot) seluas 4.0 Ha sebagai percontohan bagi hamparan sawah yang luasnya ±100 Ha. Sejalan dengan itu dilakukan peragaan komponen teknologi alternatif pada luasan ± 1 Ha sebagai sarana untuk mencari teknologi alternatif yang nanti berguna untuk mensubstitusi komponen teknologi yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian, 2007).

Daerah Kab. Bogor memiliki Kondisi Biofisik, Sosial, dan Ekonomi yang sangat heterogen. Kondisi tersebut menghasilkan keberagaman permasalahan dan kendala yang ada pada masing-masing spesifik lokasi. Oleh karena itu, pelaksanaan PRA pada setiap lokasi pengembangan PTT padi di Kab. Bogor

Gambar 1.1 Strategi pengembangan model PTT padi sawah

Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

(15)

15 menjadi sangat penting dilakukan agar komponen teknologi PTT padi yang diterapkan mampu memanfaatkan potensi biofisik yang dimiliki daerah tersebut secara optimal dan meningkatkan kemauan petani setempat untuk melaksanakan program PTT padi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi mereka agar mampu meningkatkan kesejahteraan hidup petani setempat.

Penyiapan Lahan Sawah

Pengolahan tanah untuk sawah dapat dilakukan secara sempurna (2 kali bajak dan 1 kali garu) atau, olah tanah minimal atau tanpa olah tanah sesuai keperluan dan kondisi. Faktor yang menentukan adalah ada tidaknya pengaruh kemarau panjang, pola tanam, dan jenis/tekstur tanah. Penyiapan lahan dengan teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero tillage dapat diaplikasikan untuk penyiapan lahan sawah dengan cara tebas atau penyemprotan herbisida;

Tebas

 Gulma atau rumput ditebas di saat lahan digenangkan

 Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi.  Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, gumpalan tersebut

dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai sumber bahan organik bagi tanaman.

Herbisida

 Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun dari herbisida ke dalam air yang dapat menyebabkan polusi

 Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate atau Paraquat

 Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda karena menunggu gulma membusuk.

Teknologi zero tillage dapat mengurangi pengaruh pemadatan pada tanah, selain itu struktur tanah menjadi tidak hancur dan dapat mengefisienkan penggunaan tenaga kerja. Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian teknologi zero tillage menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan jumlah tenaga kerja sebesar 25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu mencegah terjadinya keracunan Fe pada tanaman.

Komponen Teknologi PTT Padi Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat

Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya berbagai varietas padi sawah (Tabel 1.3), petani dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisi setempat

Petani di Kabupaten Bogor sendiri pada umumnya banyak menggunakan padi varietas Ciherang dan perlahan-lahan menggeser dominasi IR-64. Hal ini dikarenakan pada varietas IR-64 tidak terlalu tahan terhadap serangan tungro disamping itu rasa nasi padi dari varietas Ciherang lebih disukai oleh masyarakat. Beberapa daerah di Bogor juga ada yang menggunakan varietas

(16)

16

Bondoyudo dan varietas lokal Tukad Unda seperti di daerah Karacak, Kec. Leuwiliang. Pada intinya, pemilihan varietas padi yang dipilih selain untuk meningkatkan produksi padi juga harus memperhatikan kebiasaan cara budidaya petani dan kebutuhan rasa nasi yang diinginkan oleh masyarakat setempat.

Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi)

Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan menghasilkan tanaman yang sehat.

Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.2. Pada benih dengan gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan karbohidrat oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan densitas rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang rendah. Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit muda akan menghasilkan anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Menurut Adnany (2013) Penggunaan bibit muda (padi berumur 5 – 15 hari semai) menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih cepat karena daya jelajah akar lebih jauh sehingga perkembangan akar menjadi maksimal pada akhirnya kebutuhan nutrisi tanaman tercukupi. Selain itu, penggunaan bibit berumur 10 hari, akan menghasilkan jumlah anakan maksimal 30 – 50 batang dalam setiap rumpunnya.

Tabel 1.3. Varietas unggul padi sawah dan beberapa karakteristik penting

Varietas Umur (Hari) Produktif itas (Ton GKG/ha) Tekstur nasi Tahan/Toleran

IR-64 110 - 120 5.0 – 6.0 pulen Tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan agak tahan Wereng Coklat biotipe 3 Ciherang 116 - 125 6.0 – 8.5 pulen

Tahan wereng coklat biotipe 2, agak tahan wereng coklat biotipe 3, dan tahan hawar daun bakteri

Ciliwung 117 - 125 5.0 – 6.0 Pulen

Tahan wereng coklat biotipe 1,2, ganjur, tahan tungro, dan tahan hawar daun bakteri

Mekongga 116 - 125 6.0 – 8.4 pulen

Agak tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3, agak tahan hawar daun bakteri biotipe strain IV

Sarinah 110 - 125 7.0 – 8.0 pulen Agak tahan wereng coklat biotipe 1, agak peka biotipe 2 dan 3

Cigeuis 115 - 125 5.0 – 8.0 pulen

Tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3, dan tahan hawar daun bakteri starin IV

Bondoyudo 110 - 120 6.0 – 8.4 pulen Tahan wereng coklat dan Tungro Batang Piaman 97 - 120 6.0 – 7.6 Pera Tahan penyakit blas daun dan blas

leher malai

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008

(17)

17 Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x 25 cm (16 rumpun/m2) atau dengan sistem legowo 2:1, 4:1. Rumpun yang hilang karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena hama segera ditanami ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang ditanam berasal dari persemaian yang sama. Disarankan menggunakan sistem jajar legowo (Gambar 1.2) karena menurut Bobihoe (2011) terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dibanding sistem tegel, anatara lain:

 Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat

border effect).

 Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/Ha  Meningkatkan produktifitas padi 12-22%  Memudahkan pemeliharaan tanaman

 Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)  Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

Selain itu, sistem jajar legowo juga mampu meningkatkan populasi tanaman padi sebesar 1.33 sampai 1.6 kali lipat dibanding sistem tegel. Berikut perbandingan populasi padi per hektar antara sistem tegel (cara konvensional) dan jajar legowo disajikan pada Tabel 1.4.

Gambar 1.2. Sistem tanam legowo 4:1 (kiri) dan 2:1 (kanan) Sumber: http://image.google.com

Tabel 1.4.Perbandingan populasi padi sitem tegel dan jajar legowo

No. Cara Tanam Populasi per hektar Persentase relatif

1 Tegel 20 x 20 cm 250,000 100 2 Tegel 22 x 22 cm 206,661 100 3 Tegel 25 x 25 cm 160,000 100 4 Legowo 2:1 (10 x 20 cm) 333,333 133 5 Legowo 3:1 (10 x 20 cm) 375,000 150 6 Legowo 4:1 (10 x 20 cm) 400,000 160 7 Legowo 2:1 (12.5 x 25 cm) 213,000 133 8 Legowo 3:1 (12.5 x 25cm) 240,000 150 9 Legowo 4:1 (12.5 x 25 cm) 256,000 160

Sumber: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008

(18)

18

Masyarakat petani Kabupaten Bogor sendiri masih banyak menerapkan cara konvensional (sistem tegel) dalam penanaman bibit padi. Hanya ditemukan sangat sedikit yang sudah menerapkan sistem jajar legowo, yaitu di daerah sentra padi organik di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong. Selain karena faktor turun temurun yang diwariskan, juga karena kurangnya sosialisasi penyuluh pertanian mengenai keuntungan sistem jajar legowo, sehingga petani tidak berani untuk mencoba hal baru. Perlu adanya sosialisasi dan transfer pengetahuan dan teknologi baru dari penyuluh kepada petani yang lebih intensif di Kab. Bogor.

Pengairan Berselang

Pemberian air berselang (intermittent) adalah pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Tujuan pengairan berselang adalah:

1. Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas

2. Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat berkembang lebih dalam. Akar yang dalam dapat menyerap unsur hara dan air yanglebih banyak

3. Mencegah timbulnya keracunan besi

4. Mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar

5. Mengaktifkan jasad renik (mikroba tanah) yang bermanfaat 6. Mengurangi kerebahan

7. Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah)

8. Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen 9. Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah)

10. Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus.

Cara pemberian air yaitu saat tanaman berumur 3 hari, petakan sawah diari dengan tinggi genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air. Pada hari ke-4 lahan sawah diari kembali dengan tinggi genangan 3 cm. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal. Mulai fase pembentukan malai sampai pengisian biji, petakan sawah digenangi terus. Sejak 10-15 hari sebelum panen sampai saat panen tanah dikeringkan. Pada tanah berpasir dan cepat menyerap air, waktu pergiliran pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam kurang mencukupi, pengairan bergilir dapat dilakukan dengan selang 5 hari. Pada sawah-sawah yang sulit dikeringkan (drainase jelek), pengairan berselang tidak perlu dilakukan.

Dengan cara pengairan berselang dapat mengefisienkan penggunaan air terutama di daerah-daerah yang sulit mendapatkan sumber air atau jauh dari sumber air dan belum ada jaringan irigasi yang memadai. Terdapat beberapa daerah di Kab. Bogor yang rentan terhadap kekeringan. Menurut Surya (2014), sekitar 5000 Ha lahan sawah yang tersebar di Kecamatan Cariu, Tanjung Sari, Jonggol, dan Ciseeng dihentikan penanamannya akibat musim kemarau. Petani-petani di daerah tersebut memiliki lahan dengan ketersediaan air terbatas. Oleh

(19)

19 karena itu cara pengairan berselang cocok dilakukan untuk menghemat penggunaan air sehingga lahan sawah menjadi tidak terbengkalai di musim kemarau. Dengan cara ini petani mampu menanam setidaknya 2 kali tanam dalam setahun. Luasan panen dan Indeks Pertanaman meningkat dan dapat menyumbang lebih banyak terhadap produksi padi Kab. Bogor.

Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah (spesifik lokasi)

Pemupukan berimbang, yaitu pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Agar efektif dan efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). Nilai pembacaan BWD digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman.

Waktu aplikasi pemupukkan dan jumlah pemberian pupuk yang dapat dilakukan petani adalah dengan pemberian pupuk N awal yang diberikan pada umur padi sebelum 14 HST. Biasanya takaran pupuk dasar N untuk padi varietas unggul baru sebanyak 50-75 kg urea/ha, sedangkan untuk padi tipe baru dengan takaran 100 kg urea/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan kedua (tahap anakan aktif, 21-28 hari setelah tanam, HST) dan pemupukan ketiga (tahap primordia, 35-40HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru, pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan 10% berbunga (BP2TP Litbang Pertanian, 2008)

Cara pemberian pupuk N dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah. Pupuk Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air, sehingga pada saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup. Berdasarkan hasil penelitian, efisiensi pupuk N dapat ditingkatkan dengan memasukan hara N ke dalam lapisan reduksi. Namun teknologi ini tidak mudah diterapkan petani.

Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Status hara tanah sawah dapat ditentukan langsung di lapangan dengan alat PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah). Prinsip kerja PUTS adalah mengukur hara P dan K tanah yang terdapat dalam bentuk tersedia, secara semi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan). Pengukuran status P dan K tanah dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu rendah (R), sedang (S) dan tinggi (T). Dari masing-masing kelas status P dan K tanah sawah telah dibuatkan acuan pemupukan P (dalam bentuk SP-36) dan K (dalam bentuk KCl).

Cara pemupukkan ini masih sangat asing bagi para petani, terutama petani-petani di daerah terpencil dan jauh dari jangkaun penyuluh. Kebanyakan petani-petani di Kabupaten Bogor memupuk lahan sawahnya tanpa perhitungan tertentu dengan jumlah yang “seadanya” sesuai dengan daya beli mereka terhadap pupuk. Bahkan ada beberapa petani gurem yang jarang sekali memupuk lahan sawahnya. Dalam kondisi ini, peran pemerintah daerah Kab. Bogor menjadi sangat penting dalam membantu petani untuk memenuhi kebutuhan pupuknya melalui penyediaan pupuk bersubsidi atau pemberian bantuan pupuk langsung

(20)

20

pada petani-petani di daerah yang sangat jauh. Selain itu, pemberdayaan penyuluh ke daerah-daerah pertanian yang masih sangat terpencil perlu dilakukan agar para petani menjadi lebih melek teknologi terhadap sistem budidaya PTT yang relatif baru bagi mereka.

Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu Pengendalian gulma

Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, oleh karena itu harus dikerjakan pada saat sawah masih tergenangi air.

Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak;  Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia)

 Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan

 Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah

 Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk lebih besar.

Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu(PHT)

Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang multidisiplin dan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian secara kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan kerusakan tanaman.

Strategi pengendalian hama penyakit terpadu adalah sebagai berikut;  Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit

 Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam

Gambar 1.3. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi ekonomis “Gasrok”

(21)

21  Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat, Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat, Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan Kebersihan lapangan

 Pengamatan berkala di lapangan  Pemanfaatan musuh alami (predator)  Pengendalian secara mekanik

 Pengendalian secara fisik  Penggunaan pestisida.

Pengendalian gulma dan hama merupakan cara untuk mengurangi angka kehilangan produksi gabah padi. Dengan cara ini produksi per hektar padi menjadi lebih tinggi. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan kepada para petani mengenai cara penerapan PHT. Oleh karena itu peran pemerintah dan penyuluh pertanian sangat penting dalam memfasilitasi daerah-daerah pertanian yang masih buta akan sistem PHT.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari program revitalisasi pertanian tanaman pangan melalui pendekatan PTT padi di Kabupaten Bogor antara lain;

1. PTT padi merupakan pendekatan sistem Budidaya Padi secara terpadu yang menawarkan paket-paket teknologi baru untuk meningkatkan produktifitas dan Indeks Pertanaman (luasan panen) padi

2. Penerapan PTT padi bersifat spesifik lokasi dalam arti paket teknologi yang ditawarkan bersifat dinamis dan menyesuaikan terhadap permasalahan spesifik yang timbul pada masing-masing lokasi

3. PTT padi bersifat partisipatif, Dalam pelaksanaanya berdasarkan atas kemauan dan keinginan petani setempat

4. Program PTT Padi dapat berhasil jika adanya kerjasama yang sinergis antara pemerintah daerah sebagai pencanang program dan penyedia dana, penyuluh sebagai alat dan media transfer pengetahuan, dan petani sebagai objek penyuluhan dan pelaku budidaya.

REKOMENDASI

Pengembangan Program Revitalisasi Pertanian Tanaman Pangan melalui pendekatan PTT Padi di Kab. Bogor dapat ditempuh dengan:

1) Pada tahap awal sebaiknya pemerintah sebagai pembuat kebijakan membuat suatu program pembentukan sentra pertanian untuk penerapan PTT padi di daerah-daerah yang potensial untuk pertanian tanaman pangan (padi) secrara luas seperti di daerah Jonggol, Cariu, Tenjolaya, Pamijahan, dan Jasinga. Daerah-daerah tersebut memiliki luas lahan pertanian yang masih luas dan letaknya tidak terlalu jauh terhadap pusat perekonomian 2) Reforma agraria dengan merealisasikan dan mematuhi amanat peraturan

perundangan pada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian dan PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanain Berkelanjutan agar dapat melindungi, mengendalikan

(22)

22

konversi lahan, dan mengalokasikan lahan permanen untuk pertanian tanaman pangan terutama di kawasan-kawasan perdesaan

3) Pembukaan lahan pertanian baru terutama di tempat-tempat yang memiliki lahan yang terabaikan (lahan tidur)

4) Pengaturan Tata guna lahan melalui konsolidasi lahan dengan menyatukan lahan-lahan sawah petani yang sempit menjadi satu bagian pengelolaan bersama-sama. Tentunya proses ini perlu campur tangan pemerintah dan penyuluh pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Adnany, Zaky. 2013. Budidaya Padi dengan Pendekatan Teknologi SRI. http://epetani.pertanian.go.id/budidaya/budidaya-padi-dengan-pendekatan-teknologi-sri-system-rice-intensification-7712 Diakses pada 27 Desember 2014.

Anonim. 2014. http://www.beritasatu.com/nasional/212235-musim-kemarau-petani-tunda-tanam-padi-antisipasi-gagal-panen.html Diakses pada 25 Desember 2014.

Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007. Bogor: BPS Kab. Bogor.

Badan Pusat Statistik Kab. Bogor. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2013. Bogor: BPS Kab. Bogor.

Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Bupati Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 – 2015. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

Maryati, Titiek S., Dkk. 2005. Gelar teknologi PTT padi mendukuung penerapan revitalisasi penyuluhan pertanian. Dalam Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006. Hlm. 498 – 504

Muliawati, Asri. 2013. Pemulihan Lahan Kritis di Taman Nasional Halimun Salakdengan Pendekatan Kearifan Lokal. Sukabumi: BP4K Kab. Sukabumi. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Perda No. 19 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005 – 2025. Bogor: Pemerintah Daerah Kab. Bogor.

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2009. Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor: Analisis Potensi Kawasan. Bogor: IPB press. Page 6.2 – 6.109.

Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm.53-64.

Tim Penyusun. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Agro Inovasi.

(23)

23

“Optimalisasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Pertanian

Rawa Lebak, Studi Kasus: Kab. Ogan Ilir”

Disusun Oleh: Marissa Dwi Putri

PENDAHULUAN

Lahan lebak merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian di Indonesia pada tanaman pangan khusunya padi.Potensi lahan lebak yang berada di Indonesia anatara lain di Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Potensi lahan rawa lebak di seluruh Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4,166,000 ha, lebak tengahan seluas 6,076,000 ha dan lebak dalam seluas 3,039,000 ha (Widjaja Adhi, et al., 1998.)

Potensinya lahan lebak di Sumatera Selatan mencapai 2,28 juta hektar atau 27% dari luas daerah Sumatera Selatan. Namun demikian pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Areal yang dimanfaatkan untuk pertanian (padi) diperkirakan mencapai 6,5 % atau 300,000 hektar. Lahan rawa lebak Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami berfungsi sebagai tampungan air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder yang tersangkut didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika tampungan air secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan dari curahan air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu potensi daya saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan mineral pada produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik masuk melalui makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting sebagai sumber pengatur fungsi tubuh (Latif, 2004). Sungai Musi merupakan pemasok utama mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan (Hikmatullah et al., 1990). Dengan kondisi ini usahatani tanaman pangan di lahan rawa lebak dapat diusahakan pada musim kemarau (MK) pada saat genangan air mulai menyurut.

Pola tanam yang dikembangkan bertahap dari lebak dangkal di musim hujan dan berangsur ke lebak dalam di musim kemarau yang tergantung pada tinggi genangan air.Dengan kondisi yang ada pada prinsipnya lahan rawa lebak dapat dimanfaatkan untuk usahatani sepanjang tahun, sehingga usahatani yang dikembangkan pada musim kemarau (off season) justru petani dapat memperoleh hasil/pendapatan yang lebih baik.Namun dengan besarnya biaya persiapan lahan dan terbatasnya infrastruktur sehingga petani banyak mengusahakan untuk pertanaman padi lokal yang memiliki tingkat produksi rendah dan umur yang panjang.

Upaya peningkatan produktifitas usahatani telah banyak dilakukan melalui peningkatan Indeks Pertanaman, penggunaan varietas unggul, pembenahan media tanam, membangun sarana drainase, pemberian amelioran dan pengendalian hama penyakit. Biaya produksi menjadi mahal dan resiko kegagalan tinggi. Akan tetapi petani di lahan rawa lebak sampai saat ini masih terbelenggu kemiskinan. Biaya usahatani dengan penggunaan varietas unggul di lahan rawa lebak lebih tinggi dibandingkan varietas lokal (Hutapea, 2004).

(24)

24

Di Sumsel, pendapatan masyarakat di wilayah lahan rawa lebak 59,92 % berasal dari sektor petanian dengan komoditas utama padi (Hutapea, 2004). Masalah yang dihadapi produktifitas usahatani rendah disebabkan oleh genangan atau kekeringan yang datangnya belum dapat diramal secara tepat (Suwarno dan Suhartini, 1993), dan kendala lain berupa gangguan hama tikus, wereng coklat dan penggerek batang (Rochman et. al, 1990), sedangkan kendala sosial ekonomi berupa keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani yang masih rendah.

KARAKTERISTIK TANAH RAWA LEBAK Kondisi Umum Daerah

Kabupaten Ogan Ilir terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir secara geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT sampai 1040 48'BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 adalah 2,666,07 km2 atau 266,607 hektar. Pada awalnya terdiri atas 6 kecamatan. Sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 22 Tahun 2005, kemudian dimekarkan menjadi 16 kecamatan. Keadaan iklim disuatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim Tropis Basah (Tipe B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November sampai dengan April. Curah hujan rata per tahun adalah 1,096 mm dan rata-rata hari hujan 66 hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 23 – 32 oC. Kelembaban udara relatif harian berkisar antara 6 - 9%.

Fisiografi, Landform dan Bahan Induk

Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran rendah berawa yang sangat luas dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari permukaan airlaut, terdiri atas daratan 65% dan rawa-rawa sekitar 35%. Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai Ogan. Dataran rawa termasuk kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru (Buurman dan Balsem, 1990).

Genesis Daerah Lebak

Karakteristik dan penyebaran tanah dipengaruhi oleh faktor pembentuk tanah yaitu iklim, bahan induk, relief, vegetasi dan waktu. Di daerah penelitian tanah berkembang dari bahan aluvium berupa endapan sungai (fluviatil) terutama sungai-sungai cukup besar seperti Sungai Musi, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Bahan yang diendapkan mempunyai ukuran bervariasi terdiri dari pasir, debu dan liat, tetapi pada umumnya didominasi oleh debu dan liat. Di daerah depresi dijumpai adanya bahan organik sebagai bahan induk pembentuk tanah. Tanah di dataran aluvial dicirikan oleh drainase yang terhambat sampai sangat terhambat, yang ditunjukan oleh dominasi warna kelabu pada tanah dengan atau tanpa karatan. Daerah lebak umumya tersebar di sepanjang aliran sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut setiap tahun pada musim penghujan

(25)

25 selalu terjadi perluapan air ke tepian sekitarnya. Kemudian air sungai yang meluap tersebut diteruskan ke daerah yang lebih rendah sampai ke tempat-tempat bagian yang cekung. Pada tempat-tempat yang cekung inilah air menggenang dan bertahan lama. Pengeringan pada tempat cekung tersebut hanya akan terjadi apabila musim kemarau berlangsung lama. Jika musim penghujan berlangsung lama, tidak dapat diharapkan mengering.

TIPOLOGI RAWALEBAK

Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). Untuk menjelaskan unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). Menyusun unit-unit tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber daya, 3). Untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4). Penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993). Keragaman karakteristik biofisik rawa lebak di lokasi yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawalebak dengan deskripsi masing-masing. Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi, mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi, pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa.

Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) Lebak dangkal, (2) Lebak tengahan, dan (3) Lebak dalam. Batasan dan klasifikasi lahan rawa lebak menurut tinggi dan lamanya genangan adalah sebagai berikut (Anwarhan, 1989; Widjaja Adhi, 1989):

Lebak dangkal : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul.

Lebak tengahan : wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan wilayah antara lebak dangkal dengan lebak dalam.

Lebak dalam : wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi paling rendah.

Berdasarkan tipologi lebak, lahan yang diusahakan terdiri dari lebak dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Daerah lebak tidak selalu tergenang air dan penggenangannya tidak pula merata, tergantung pada keadaan hidrotopografi lebak itu sendiri, curah hujan, dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan lebih pendek dibandingkan dengan yang keadan hidtrotopografi lebih rendah. Oleh karena itu penanaman padi baru dapat dilakukan setelah air pada rawa dangkal menyurut dan selanjutnya diikuti oleh rawa tengahan dan rawa dalam.

(26)

26

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK Ekosistem rawa lebak dibagi dalam 3 katagori, yaitu 1) lahan rawa lebak dangkal atau lahan pematang yang dicirikan oleh kedalaman genangan air kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara 1-3 bulan; 2) lahan rawa lebak tengahan, dicirikan kedalaman genangan air antara 50-100 cm dengan lama genangan 3-6 bulan; dan 3) lahan rawa lebak dalam dicirikan kedalaman genangan air lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6 bulan (Direktorat Rawa, 1992). Adanya genangan air yang cukup dominan di lahan rawa lebak usahatani yang dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman padi sawah.

Pemanfaatan lahan rawa lebak oleh penduduk setempat masih dilaksanakan secara tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam. Kesulitan yang dihadapi petani ialah kondisi genangan air yang sulit untuk diprediksi secara tepat, terutama mengenai kapan mulainya, berapa tinggi genangan yang akan dihadapi, kapan mulai air surut, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Sangat berbeda dengan lahan yang berpengairan, dimana petani dapat mengatur kondisi tinggi dan lama genangan setiap saat.Dalam hal ini petani pada umumnya berspekulasi menghadapi kondisi alam, sehingga petani sering gagal panen karena banjir atau kekeringan yang mendadak dan ekstrim.

Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan usahatani di lahan rawa lebak antara lain faktor genangan air dan kesuburan tanah. Genangan air rawa lebak dipengaruhi oleh curahan air hujan di hulu dan hilir sungai maupun curahan air hujan di lahan itu sendiri dan sekitarnya. Untuk pertanian di lahan rawa lebak pada akhir bulan Februari dimana permukaan air cenderung mulai turun, pengerjaan sawah lebak dangkal dimulai. Pekerjaan yang dilakukan adalah pembersihan sawah dari vegetasi air serta menyiapkan persemaian. Bila air mulai menurun lagi pada bulan-bulan berikutnya pengerjaan sawah lebak tengahan dan dalam dilakukan pula. Pola pertanian sawah lebak di Daerah Ogan Ilir, terlihat bahwa musim pertanian padi di wilayah ini berbeda-beda sesuai dengan tinggi genangan pada masing-masing lahan rawa lebak, karena pertanian pada lahan rawa lebak berhubungan erat dengan keadaan iklim, maka untuk mencapai produksi yang tinggi sangat dibatasi oleh berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: 1) keadaan hidrotopografi daerah lebak berbeda-beda, tidak memungkinkan penanaman padi sawah lebak secara serempak, 2) perlunya untuk menentukan waktu tanam yang tepat, 3) penggunaan bibit lokal yang berproduksi rendah dan penggunaan bibit berumur tua, dan 4) Perubahan cuaca yang sulit diramal, dapat merusak tanaman dalam pertumbuhan, maupun sewaktu akan dipanen yang dapat menimbulkan kerusakan secara total.

Pemanfaatan Rawa Lebak

1) Lebak dangkal dan Lebak Tengahan, selain padi rawa lebak juga umumnya ditanami palawija,sayur, dan buah-buahan. Pola tanam atau tumpang sari antara tanaman palawija, sayuran, atau buah-buahan umum dilakukan petani pada kedua tipe lahan rawa lebak dangkal dan tengahan dengan sistem surjan. Pada sistem surjan tanaman palawija (jagung,kedelai dan

(27)

umbi-27 umbian), sayuran (tomat, cabai, kacang panjang), atau buah-buahan (semangka, labu kuning, mangga rawa) ditanam di surjan (tembokkan), sedangkan bagian tabukan (ledokkan) ditanami padi. Pada musim kemarau panjang semua sawah lebak, terutama rawa lebak dangkal dan lebak tengahan menjadi hamparan tanaman sayuran dan buah-buahan semangka, kacang panjang, dan kacang tanah. Tinggi guludan pada sistem surjan adalah 50-75 cm, sedangkan lebarnya 2-3 m. Ukuran dukungan adalah tinggi 60-75 cm dan diameter atau sisinya sekitar 2-3 m. Pada petakan lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran berukuran dalam 0.6 m dan lebar 1 m, fungsinya adalah sebagai pengatur kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan alam. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di petakan lahan, perlu dilakukan perataan lahan bersamaan dengan kegiatan pengolahan tanah. Pada lokasi lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan ke sungai sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana transpotasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman serta sekaligus sebagai tempat hidup atau perangkap ikan alam. Sistem jaringan tata air iniakan lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan lebak. Penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan. Sedangkan pembuatan jaringan tata air dan pompa hendaknya dilakukan atau dibantu oleh pemerintah.

2) Lebak Dalam umumnya mempunyai genangan lebih dari 6 bulan atau lebih. Pada bagian lebak dalam telah digunakan penduduk untuk padi sawah atau budidaya perikanan dalam bentuk empang atau lebung. Untuk lebak dalam ditanami hanya pada saat musim kemarau panjang (apabila 4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan karena genangan air cukup tinggi dan digunakan untuk perikanan tangkap, perikanan kolam,serta perikanan keramba.

PENGELOLAAN DAN KENDALA PENGEMBANGAN

Rekomendasi Teknologi Produksi Spesifik Lokasi

Secara teknis, teknologi usahatani yang diterapkan petani masih belum mampu menekan biaya produksi. Pada waktu pengolahan tanah, petani mengangkut jerami keluar lahan sawah sehingga kandungan bahan organik sawah menjadi rendah karena tidak ada pengembalian bahan organik. Pada sisi lain, petani belum melakukan pemupukan sesuai keperluan tanaman dan kondisi tanah. Masih rendahnya produktifitas usahatani yang dikembangkan oleh petani di daerah ini juga disebabkan oleh masih besarnya kehilangan hasil akibat adanya organisme pengganggu tanaman. Pada kondisi tertentu serangan OPT

(28)

28

dapat mencakup wilayah yang luas dan mengakibat penurunan hasil yang merugikan petani. Seringnya terjadi serangan OPT ini disebabkan oleh karena belum dilaksanakannya pengendalian terpadu secara maksimal oleh petani. Teknologi usahatani yang lebih efisien dan ekonomis belum dipraktekkan oleh petani di daerah ini disebabkan karena mereka belum mempunyai pengetahuan mengenai teknologi inovatif yang tersedia. Masalah lain yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi usahatani ini adalah Indeks Pertanaman (IP) di lahan rawa ini umumnya baru mencapai 100%. Rendahnya IP disebabkan, terutama oleh system tata air yang belum dapat dikuasai dengan baik. (Waluyo

et al, 2007)

Peluang Inovasi

Untuk dapat meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani di daerah rawa Kabupaten Ogan ilir diperlukan upaya-upaya perbaikan yang meliputi penyediaan infrastruktur pedesaan yang baik, introduksi teknologi inovatif serta pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan pendukung usahatani di pedesaan, meliputi: (a) Perbaikan infrastruktur pedesaan berupa jalan usahatani yang memungkinkan bagi petani untuk menjangkau dan mengusahakan lahan rawa yang potensial untuk usaha pertanian. (b) Pembuatan dan perbaikan jaringan pengairan pedesaan yang terintegrasi antara wilayah hulu hingga hilir sehingga dapat mengoptimalkan pengaturan air (c) Introduksi teknologi inovatif .

Ketersediaan teknologi

Lahan rawa lebak mempunyai prospek yang cukup baik untuk menjamin swasembada pangan nasional apabila dikelola dengan menggunakan teknologi yang tepat. Badan litbang Pertanian telah banyak melakukan penelitian dasar, terapan maupun pengembangan dan menghasilkan teknologi anjuran untuk pengembangan sistem usahatani lahan rawa spesifik lokasi. Teknologi utama yang telah direkomendasikan antara lain varietas unggul, penataan lahan, komoditas, pemupukan dan pengendalian organisme penggangggu tanaman. Varietas

Pemilihan varietas yang cocok merupakan komponen penting dalam mendukungkeberhasilan.Sejumlah varietas unggul nasional yang telah dilepas dan sesuai untuk dibudidayakan di sawah rawa lebak cukup banyak. Varietas unggul dapat memberikan hasil 4.5-5.5 ton/ha atau lebih, sedangkan varietas lokal 1.5-2 ton/ha.

Penataan lahan

Lahan rawa mempunyai sifat yang sangat heterogen, oleh karena itu pemanfaatan lahan harus sesuai peruntukannya. Pengalaman menujukkan bahwa usaha pertanian yang ditempatkan pada lahan yang sesuai, selain akan memberikan hasil yang lebih baik, juga tidak perlu mengubah lingkungan secara drastis. Dengan menerapkan teknologi yang sesuai, secara gradual mutu lahan dapat diperbaiki, sehingga daya dukung lahan menjadi semakin besar. Sistem penataan lahan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa lebak sesuai dengan agroekosistem setempat. Sistem

(29)

29 penataan lahan yang dianjurkan untuk tipologi lahan rawa lebak dangkal adalah sistem surjan dan caren. Untuk lahan lebak tengahan dapat dianjurkan untuk ditata dengan system hampang (mina padi), sedangkan lebak dalam ditata sebagai sawah lebak dan perikanan. Pengeloaan lahan dengan sistem surjan dan caren mempunyai beberapa keuntungan antara stabilitas produksi lebih mantap dan intensitas tanam lebih tinggi dan diversivikasi lebih mudah dilaksanakan.

Genangan air pada lahan lebak sangat dipengaruhi oleh pola hujan yang pada suatu hamparan lahan dapat dijumpai berbagai tipe genangan air, baik berupa dangkal (pematang) maupun lebak tengahan dan lebak dalam. Walaupun demikian, biasanya lahan pemukiman dan pekarangan tidak digenangi air sehingga bisa diusahakan dengan berbagai alternatif komoditas. Lahan pekarangan yang tidak tergenangi air, bisa ditanami dengan berbagai tanaman buah-buahan seperti pisang dan mangga disamping pemeliharaan ayam buras dan itik. Lahan usaha yang berupa lebak dangkal bisa ditata sebagai sawah tadah hujan atau system surjan, sedangkan untuk lebak tengahan bisa ditata sebagai sawah tadah hujan atau sistemcaren. Pola tanam di lahan sawah lebak dangkal atau dibagian tabukan pada sistem surjan adalah padi-padi-palawija. Pola tanam di gulu dan pada sistem surjan bias jagung + cabe + kacang panjang atau palawija-palawija/sayuran-palawija. Tanaman pangan utama yang diusahakan di lahan lebak adalah padi, sedangkan palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, ubi jalar dan ubi alabio dalam luasan terbatas, biasanya ditanam pada guludan surjan dilebak dangkal. Fluktuasi tinggi muka air merupakan kendala baik waktu tanam padi yang tepat, sehingga pada umumnya pemindahan bibit (transpalnting) dilakukan lebih dari satu kali. Oleh karenaitu, varietas lokal yang telah beradaptasi pada kondisi spesifik tersebut lebih banyak digunakan petani pada lahan lebak. Varietas padi unggul yang beradaptasi dan tumbuh dengan baik di lahan lebak adalah IR 42, Limboto, Batu Tegi Situ Bagendit, Ciherang, INPARI 1, Inpara 3, dengan kisaran hasil 4-7 t/ha, (Waluyo

et al. 2013). Berdasar pola curah hujan dan kondisi lapangan, pada wilayah ini

dapat diterapkan pola tanam dua kali setahun (padi-padi), namun demikian penentuan saat tanam harus dilaksanakan secara tepat. Untuk pertanaman Musim Hujan (rendeng) adalah bulan Oktober/November, sedangkan untuk Musim Kemarau (gadu) bulan Maret – pertengahan April.

Dalam melaksanakan program-program tersebut tentunya ada kendala- kendala yangharus diatasi. Berikut ini perkiraan kendala utama yang akan dihadapi dan alternatifpemecahannya.

(i) Fluktuasi genangan air

Kendala fluktuasi genangan air yang tak menentu bisa diatasi dengan penataan lahan yang lebih baik seperti pencetakan sistem surjan. Selain itu dapat dilakukan juga dengan penghijauan atau penghutanan kembali daerah aliran sungai terutama bagian hulu.

(ii) Penyediaan benih

Padi di lahan rawa lebak hanya ditanam satu kali dalam setahun, sehingga penangkar benih harus menyimpan dulu sebelum dapat dijual pada musim berikutnya. Untuk menghindari penyimpanan, perbanyakan benih dapat dilakukan pada lahan irigasi. Adapun beberapa alternatif untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu : 1) menetapkan harga benih varietas padi lebak lebih tinggi dari varietas padi sawah, 2) memberi subsidi kepada penangkar benih padi

Gambar

Tabel 1.1. Data Luas Tanam, Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi GKG Kab. Bogor  Tahun 2009 - 2013
Tabel 1.2.Kebutuhan Konsumsi Beras Penduduk Kab. Bogor Tahun 2009 - 2013
Gambar 1.1 Strategi pengembangan model PTT padi sawah
Tabel 1.3. Varietas unggul padi sawah dan beberapa karakteristik penting
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ilmu merupakan suatu alat atau media untuk mengetahui segala sesuatu. Tanpa mengetahui apa itu ilmu, maka seseorang tidak akan mengetahui dari mana ilmu berasal, bagaimana

Beberapa Contoh Usulan dari Musrenbang Provinsi yang perlu didiskusikan dalam Musrenbang Nasional (2/2). Provinsi

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh

mengurangi emisi gas rumah kaca serta potensi bahan baku biochar dari limbah biomassa perkebunan karet berdasarkan hasil studi pustaka dari penelitian yang telah

Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga yang diperuntukan untuk 2500-7000 jiwa tang terdapat di Villa Kota Bunga menurut peraturan adalah taman atau

Secara umum tujuan dari pelaksanaan KKN-BBM adalah untuk membangun kebersamaan mahasiswa Universitas Airlangga sebelum meraih gelar sarjana, dengan melaksanakan

Kepada dosen pembimbing sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Ibu Yuli Nugraheni, S.Sos, M.Si dan Ibu Maria