• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945

A. Pengaturan Kabinet dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasca Amandemen

Perbincangan mengenai kelembagaan pemerintah di Indonesia saat ini tidak lagi sekedar mengulas segi-segi struktural organisasi pemerintahan, tetapi telah menukik pada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis ketatanegaraan republik ini yang telah tertuang dalam empat amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada struktur ketatanegaraan yang lama terdapat satu lembaga tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan lima lembaga tinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan struktur ketatanegaraan yang baru meliputi BPK, MPR yang terdiri atas DPR dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Hal yang perlu diperhatikan dalam perubahan struktur ketatanegaraan yang baru tersebut adalah diadopsinya prinsip-prinsip baru mengenai pemisahan kekuasaan dan ‘check and ballances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Konsekuensinya, telah terjadinya perubahan peran, tugas dan fungsi lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, hubungan antar lembaga negara tersebut diposisikan secara fungsional dan tidak secara hierarkhis.

(2)

Dengan keadaan tersebut tidak dikenal lagi lembaga tertinggi dan tinggi negara, yang ada hanyalah lembaga negara yang semuanya mempunyai peran dan kedudukan masing-masing secara equal.

Salah satu hal menarik terkait dengan perubahan struktur ketatanegaraan tersebut adalah amandemen terhadap Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang saat ini menjadi berbunyi sebagai berikut:

1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Pasal 17 tersebut pada dasarnya mengatur tentang keberadaan “penyelenggara negara” yang mempunyai peran strategis dalam mewujudkan tujuan negara. Penyelenggara negara itu mengarah pada Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar dan dalam menjalankan kekuasaanya tersebut, Presiden dibantu oleh sejumlah menteri.

Dalam perjalanan kehidupan bangsa yang merdeka selama lebih dari 63 tahun dan menikmati atmosfir reformasi selama lebih dari 10 tahun, baru kali inilah, terjadi kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang Undang tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang undangan tersebut diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan. Sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang Undang tentang Kementerian Negara dibangun di atas pondasi akuntabilitas publik yang

(3)

lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR dengan Pemerintah.

Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Hadirnya Undang-Undang ini akan memudahkan Presiden dalam menyusun kelembagaan kementerian negara, karena secara jelas dan tegas Undang-Undang ini mengatur mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara. Presiden juga diberikan payung hukum yang kuat dalam membentuk dan mengubah Kementerian melalui kriteria-kriteria yang diperlukan dalam melakukan pembentukan dan pengubahan Kementerian, misalnya suatu kementerian dibentuk dengan pertimbangan adanya perkembangan lingkungan global. Sedangkan pengubahan suatu kementerian dapat dilakukan dengan pertimbangan adanya kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri.

Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari DPR. Sedangkan persetujuan DPR diperlukan apabila ada kebutuhan dari Presiden untuk membubarkan kementerian

(4)

yang menangani urusan agama, hukum, keuangan dan keamanan. Di sisi lain, Presiden tidak dapat membubarkan kementerian luar negeri, dalam negeri dan pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut. Meskipun ada pembatasan, Undang-Undang ini tetap memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk mewadahi suatu urusan pemerintahan dalam satu kementerian dan/atau menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam suatu kementerian negara tertentu.

Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur/ penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip dalam pendekatan urusan ini adalah bahwa seluruh urusan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

(5)

Negara harus ditampung dalam kementerian sehingga satu kementerian dapat menangani satu atau lebih urusan pemerintahan,79

79

Vide Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

sesuai dengan pengorganisasian yang diserahkan kepada Presiden. Hal ini juga memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Presiden dalam menyusun kementerian negara. Pendekatan urusan-urusan pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu meningkatkan pelayanan publik yang prima.

Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan bidang tugasnya. Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat pembentukan kementerian negara semestinya didasarkan pada konsep pembagian habis urusan pemerintahan guna mewujudkan visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.

Undang-undang tentang Kementerian Negara yang terdiri atas 9 (sembilan) Bab dan 28 (duapuluh delapan) Pasal nantinya merupakan titik tolak bagi penataan kelembagaan pemerintahan yang selama ini diatur dalam tingkatan perundang-undangan Presiden. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam konfigurasi jenis kementerian negara yang semula terdiri dari 3 (tiga) jenis kementerian yaitu Kementerian Koordinator, Departemen, dan Kementerian Negara menjadi hanya satu jenis yaitu dengan sebutan Kementerian.

(6)

Keberadaan Undang Undang ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab bersama dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) antara Pemerintah/ Presiden, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini terlihat misalnya pada pelarangan rangkap jabatan bagi Menteri yang menjadi komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Menteri juga tidak boleh merangkap jabatan menjadi pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/ atau APBD.

Kelembagaan kementerian dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dilandasi klasifikasi urusan yang terdiri atas:80

1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.

2. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan agama, hokum, keuangan, keamanan, HAM, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.

3. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur Negara, kesekretariatan Negara, BUMN, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan,

80

(7)

teknologi, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, oleh raga, perumahan, dan pembangungan kawasan atau daerah tertinggal.

Pembedaan urusan pemerintahan yang ditangani tersebut akan menentukan bentuk susunan organisasi dari kementerian negara yang bersangkutan.81 Namun demikian, pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas: unsur pemimpin (Menteri), unsur pembantu pemimpin (Sekretariat Jenderal atau Sekretariat Kementerian), unsur pelaksana (Direktorat Jenderal atau Deputi), unsur pengawas (Inspektorat Jenderal atau Inspektorat), serta unsur pendukung (Badan dan/ atau Pusat, bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan82 dan unsur pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau di luar negeri (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan83

Pembagian susunan organisasi sebagaimana tersebut di atas didasari pada pendekatan fungsi manajemen serta dalam rangka upaya untuk menyerasikan proses internal organisasi dengan lingkungan eksternal. Susunan tersebut diharapkan dapat merefleksikan peran-peran yang diperlukan dalam suatu organisasi kementerian secara efisien. Namun demikian, pengaturan susunan organisasi dalam Undang-undang Kementerian Negara masih bersifat umum. dan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan. Di samping itu, bagi kementerian tertentu dapat diangkat Wakil Menteri apabila kementerian tersebut mempunyai beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.

81

Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 82

Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

83

(8)

Susunan organisasi yang lebih rinci akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden.84

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan secara nyata nanti setelah Presiden hasil Pemilu 2009 membentuk kabinet karena pada saat tersebut Presiden akan mengangkat menteri-menteri dan menyusun kementerian negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008. Presiden terpilih nantinya harus sudah membentuk kementerian paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/ janji (pelantikan).85

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara ini juga dapat menjadi momentum yang baik untuk menata kembali kelembagaan pemerintah secara keseluruhan agar lebih proporsional, efisien, dan efektif dan dapat menjalankan fungsi pelayanan publik yang prima. Hingga saat ini kelembagaan pemerintah dinilai masih kurang efisien dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang Kementerian Negara akan mengembalikan lagi peran-peran yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut secara lebih tepat. Sebagai contoh, dengan adanya fenomena menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil alih fungsi-fungsi kementerian negara karena berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 urusan pemerintahan, termasuk perumusan kebijakan terkait dengan urusan pemerintahan tersebut adalah menjadi kewenangan kementerian negara. Dengan

84

Vide pasal 11 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 85

(9)

demikian, Undang-undang Kementerian ini diharapkan menjadi milestone untuk menata kembali kelembagaan pemerintahan sehingga nantinya dapat dihasilkan konfigurasi kelembagaan yang lebih baik dengan peran-peran yang tepat dan secara sinergis dapat menjadi birokrasi yang dapat menjalankan fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan Negara secara lebih baik di masa yang akan datang.

B. Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Pembentukan kementerian negara mutlak berada di tangan presiden, Undang-undang kementerian negara mempertegas hal ini dengan menyatakan bahwa “Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia tahun 1945.86

Untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan:

Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 194 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh kementerian maksimal 34 kementerian.

87

86

Pasal 12 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 87

(10)

1. warga negara Indonesia;

2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;

4. sehat jasmani dan rohani;

5. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan

6. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pengaturan persyaratan pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden.88

Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan

88

(11)

diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.89

Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian dibentuk dengan klasifikasi sebagai berikut:90

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara;

5. Kementerian Dalam Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan;

8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan;

10. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 11. Kementerian Perindustrian;

12. Kementerian Perdagangan; 13. Kementerian Pertanian; 14. Kementerian Kehutanan; 15. Kementerian Perhubungan;

16. Kementerian Kelautan dan Perikanan;

89

Penjelasan Undang-undang Kementerian Negara Alinea VIII. 90

Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.

(12)

17. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Kementerian Pekerjaan Umum;

19. Kementerian Kesehatan;

20. Kementerian Pendidikan Nasional; 21. Kementerian Sosial;

22. Kementerian Agama;

23. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24. Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25. Kementerian Riset dan Teknologi;

26. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27. Kementerian Lingkungan Hidup;

28. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

29. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;

31. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; 32. Kementerian Badan Usaha Milik Negara;

33. Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34. Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

C. Praktek Koalisi dalam Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Wacana koalisi bukanlah barang baru dalam perpolitikan Indonesia, tahun 1999, pernah terbentuk Poros Tengah, hasil koalisi beberapa partai politik yang

(13)

dimotori PAN dan PPP. Koalisi ini secara fenomenal sukses menaikkan Abdurahman Wahid sebagai Presiden pertama era reformasi. Namun usia kemassifan dan kesolidan Poros Tengah ternyata hanya seumur jagung. Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan calon presiden (capres); calon wakil presiden (cawapres) Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid dan masif bahkan cenderung mencair.

Qodari (Khoirudin, 2004: 220) mengemukakan adanya empat hukum koalisi Capres dan Cawapres, yaitu:91

1. Pertama, Calon dari partai dengan perolehan kursi (atau persentase suara) lebih besar akan menjadi capres dan calon dari wakil harus puas dengan posisi calon wapres.

2. Kedua, Tiap partai dan calon akan berusaha berkoalisi dengan partai dan calon lain yang punya perolehan kursi yang signifikan di legislatif. Itu adalah koalisi yang berusaha mengupayakan penguatan kaki di DPR. Penguatan diperlukan untuk menjamin dukungan politik terhadap pembuatan kebijakan pemerintah.

3. Ketiga, Partai dan calon akan mencari partai yang lebih tinggi popularitas individualnya.

4. Keempat, Partai dan calon akan berkoalisi dengan partai dan calon lain yang dekat idiologi dan flatformnya.

91

Khoiruddin, Partai politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 220.

(14)

Meski ada kebutuhan menciptakan pasangan yang mewakili spektrum idiologis atau demografis. Terjadinya koalisi dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Dalam hal platform ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.

Dalam hal platform keagamaan, ada partai yang menekankan mendesaknya keterlibatan negara dalam menegakkan syariat Islam bagi kehidupan publik, seperti PBB, PKS, dan PPP, dan ada pula yang tidak demikian, seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, dan PAN. Untuk sederhananya, kelompok yang pertama adalah partai Islam, sementara kelompok kedua adalah partai sekuler. Dalam dikotomi partai Islam dan partai sekuler ini, PKB dan PAN berada pada posisi yang agak kelabu. Walapun tidak berplatform Islam, sebagian besar elite dan pendukung partai ini secara historis terkait dengan organisasi Islam. Karena itu, secara kasar keduanya kadang-kadang dimasukkan ke kategori partai Islam. Kalau kesamaan platform keagamaan yang jadi dasar untuk koalisi, berarti koalisi yang mungkin adalah antara PPP, PBB, dan PKS, atau ditambah PAN dan PKB di satu sisi, dan di sisi lain PDI Perjuangan dan Partai Golkar.

Pasca Soeharto, koalisi yang pertama dikenal dengan nama Poros Tengah yang pernah terjadi dan sukses dalam pemilihan presiden di MPR tahun 1999.

(15)

Waktu itu Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Poros Tengah menang mengalahkan Megawati. Kalau benar koalisi itu didasarkan atas sentimen keagamaan, mengapa koalisi tidak terjadi antara Golkar dan PDIP, yang sama-sama sekuler dan terancam oleh kekuatan Islam? Orang yang biasa melihat politik Indonesia dari kacamata Islam versus nasionalis-sekuler biasanya melakukan definisi ulang terhadap Golkar ketika dihadapkan dengan masalah tersebut: Golkar pasca-Soeharto adalah Golkar yang didominasi anak-anak santri, terutama yang berlatar belakang HMI. Dalam banyak hal, Golkar dan PAN tidak banyak berbeda. Karena itu, wakil-wakil Golkar di MPR tahun 1999 cenderung mendukung calon presiden dari Poros Tengah ketika dihadapkan pada pilihan antara Megawati yang nasionalis-sekuler dan Gus Dur yang berlatar belakang santri. Jika benar faktor sentimen ke-Islaman yang paling menentukan dalam koalisi ini, kemungkinan pola yang sama, yakni Poros Tengah plus Golkar, akan kembali terulang, karena sentimen keagamaan elite partai-partai itu sekarang pun kurang lebih sama, tapi kemungkinan lain juga harus dipertimbangkan.

1. Konsepsi dan Esensi Koalisi

Koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/ fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. Definisi

(16)

tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/ terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.92

Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya; mengatakan bahwa: Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi mutlak adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi tidak akan terbentuk begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A bias mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain) dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat memenangkan pertarungan.93

Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris yang menyatakan bahwa; secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya

92

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi ke IV, Yayasan Cipta Loka, Jakarta, 1988, hal. 50.

93

Yudha Hariwardana, Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen; http://Wordpress. go.id. Diaksses tanggal 1 Agustus 2010.

(17)

diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah.94

2. Sejarah Koalisi di Indonesia

Koalisi merupakan penggabungan dua kekuatan atau lebih untuk menggalang kekuatan lebih besar. Tujuan koalisi yakni mempengaruhi proses politik: pembuatan undang-undang dan perebutan kekuasaan. Biasanya, koalisi lahir untuk menghadapi kekuatan besar. Tak ada kamus, di mana koalisi melumat kekuatan kecil. Bisa juga, koalisi menghadapi ketidak pastian politik, di mana risiko kalah dan tersingkir jauh lebih besar ketimbang peluang menang. Koalisi amat akrab dalam praktis partai politik. Mereka yang bersekutu diwarnai perbedaan ideologi, kultural atau atribut kelompok menjadi satu barisan setelah diikat isu bersama mengenai persamaan persepsi terhadap masalah, atau kesejajaran kepentingan. Koalisi juga bisa lahir karena adanya musuh bersama. Bahkan, seringkali kambing hitam itu menjadi kebutuhan dasar yang sengaja diciptakan sebagai alasan bersatu. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.

Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya Maklumat Presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, dan pada tahun tersebut banyak

94

Syamsudin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 43

(18)

partai politik yang di bentuk oleh rakyat berdasarkan pada maklumat tersebut. Sebelumnya saat pemerintahan Proklamasi dibentuk, dalam susunan kabinetnya tidak terdapat dan tidak ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun telah keluar maklumat pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945 yang menganjurkan mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat memperjuangkan kemerdekaan. Pada saat itu kabinetnya di sebut sebagai kabinet presidensial dan dipimpin oleh seorang presiden. Dalam perjalanannya usia dari kebinet ini tidak berlangsung lama hanya 3 bulan, dari tanggal 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut terjadi karena adanya Maklumat Presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh Nasional yang sangat vokal pada saat itu yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer. Inilah kejadian pertama dari penyimpangan terhadap UUD 1945. Mulai saat itu kabinet-kabinet ke dua dan seterusnya dijabat oleh partai-partai politik dan bertanggung jawab kepada parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang melakukan koaliasi (berkoalisi) seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi pada masa kabinet Syahrir I.

Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur sebagai oposisi, Sejalan dengan yang dikatakan Miftah Toha, bahwa: Kabinet yang tersusun pada waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi di antara parpol. Selebihnya di antara parpol yang tidak berkoalisi memilih jalur oposisi, koalisi dan oposisi dimulai dari kabinet parlementer Syahrir pertama sampai seterusnya dan kembali ke kabinet presidensial Moh. Hatta dan

(19)

seterusnya.95 Setelah selesai pemilihan umum pada tahun 1955, partai-partai politik merasa mempunyai legalitas dan memperoleh kekuasaan secara formal. Sejak saat itu, dalam politik Indonesia, partailah yang memegang kekuasaan politik; walaupun dalam kenyataan kepemimpinan politiknya dilakukan atas dasar kerjasama, aliansi, koalisi antara dua kekuatan atau lebih. Oleh karena itu, perkembangan situasi Tanah Air yang rawan oleh pemberontakan Poerwantana menambahkah bahwa pada tahun 1945 presiden Soekarno menganjurkan unruk membubarkan partai-partai kecil karena tidak mampu membuat konsensus pembentukan kabinet koalisi.96

Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi point penting terhadap masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitupula, kualitas

Dari penjabaran di atas jelas terlihat bahwa istilah koalisi antar partai politik bukanlah merupakan barang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Koalisi tidak muncul pertama kalinya pada saat Pemilu Capres/ Cawapres tahun 2004 lalu, melainkan dari tahun 1945. Selanjutnya pada Pemilu 2004 saat diadakannya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia, wacana koalisi terangkat kembali, partai politik yang mengusung pasangan Capres-Cawapres adalah partai politik yang saling berkoalisi terlepas dari tujuan diakannya koalisi tetrsebut, apakah untuk memenangkan Pemilu, menghadapi kekuatan besar ataukah hanya kepentingan.

95

Miftah toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 119.

96

(20)

demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya. Apakah koalisi tersebut bersifat permanen atau masih hanya sekedar untuk kemenangan calon saja (koalisi pragmatis). Kendati demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pemilihan capres-cawapres, tetap merupakan bahan kajian yang menarik.

Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antar partai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik. Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda dengan yang terjadi melainkan juga pada pola koalisi antar partai yang cenderung berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam mengajukan pasangan kandidat dalam pemilihan Capres-Cawapres.

3. Praktik Koalisi dalam Pembentukan Kabinet Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009). Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.97

97

Saldi Isra, 2008, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.

(21)

Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD 1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif, jumlah kursi terbesar diraih Partai Golkar dengan 127 kursi (23%) DPR. Sementara itu, dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan 69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah. Jika hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yang ada.98

Meski SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden hanya menghasilkan minority government. Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga legislatif (Cheibub, 2002: 287). Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY-JK (Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; dan Partai Keadilan dan Persatuan

Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota, berdasarkan hasil rekapitulasi Litbang Kompas, SBY-JK menang di 339 (77%) dan Mega-Hasyim menang di 101 (23%) dari keseluruhan jumlah kabupeten/kota.

98

Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta, hal. 63.

(22)

Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.99

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi (coalition) dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi SBY-JK.

Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

100

Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus calon presiden yang direkomendasikan oleh Kongres PDI Perjuangan di Bali untuk menggalang

99

Dari jumlah itu, Partai Demokrat mendapatkan 56 kursi; Partai Bulan Bintang 11 kursi; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendaptkan 1 kursi. Angka 12 persen juga merupakan hasil dari sebuah koalisi.

100

(23)

dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDI Perjuangan.101

Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensial yang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR. Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar, dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.102

Pengalaman koalisi kabinet SBY-JK, misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering “mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meskipun kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tidak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR. Kecenderungan serupa juga dilakukan partai politik lain yang menjadi pendukung koalisi pemerintahan SBY-JK. Selain itu, desain UUD 1945 setelah perubahan juga cenderung mempersulit posisi presiden berhadapan dengan DPR terutama dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945

101

Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di

Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 69.

102

(24)

yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.103

103

Saldi Isra, 2008, Simalakama...

Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

(25)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Republik Indonesia psaca amandemen UUD 1945 adaah sistem pemerintaha presidensial murni, yaitu suatu sistem pemerintahan yang benar-benar memiliki karakter sistem pemerintahan presidensial. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum amandemen yang menggunakan sistem campuran, yaitu campuran antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini dikarenakan dalam sistem ini Presiden ditentukan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan golongan fungsional.

2. Pembentukan kabinet dalam sistem pemerintaan presidensial pasca amandemen Undang-undang Dasar 1945 mutlak berada di tangan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dipertegas kembali oleh Undang-undang kementerian negara yang menyatakan bahwa “Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia tahun 1945.

(26)

B. Saran

1. Perlu adanya konsistensi dari pelaksanaan UUD 1945, khususnya yang mengatur mengenai pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial murni yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasca amandemen 1999-2002. 2. Presiden terpilih selaku pemegang hak prerogatif dalam pembentukan

kabinet tidak harus berkiblat pada kerangka koalisi yang telah dibangun, tetapi hendaknya harus mengedepankan profesionalitas dan kompetensi para menteri yang akan menduduk i jabatan-jabatan tertentu dalam kabinet yang akan dibentuk.

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match merupakan kegiatan bekerjasama mencari pasangan sambil belajar mengingat dan memahami suatu konsep atau topik

Dari fenomena yang telah disinggung diatas, sebenarnya telah menunjukan bahwa betapa lemahnya pendidikan di Indonesia, maka wajiblah pemerintah, masyarakat dan keluarga

Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, op.cit , h.64-67.. Sedangkan observasi tak berstruktur adalah observasi yang dilakukan peneliti dimana peneliti melakukan

Besarnya kemampuan tanaman dalam menyerap P dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : jumlah liat, tipe liat, waktu aplikasi, aerasi, pemadatan, kandungan air tanah, status

Namun bahan bakar biodiesel yang kini ada masih memiliki kekurangan, beberapa kesimpulan dari banyak penelitian yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar biodiesel

Setelah memilih game di dalam tampilan Menu Pulau, pemain akan dibawa menuju tampilan dialog antara tokoh utama Arjuna dengan satu tokoh yang berasal dari

Arah koefisien parameter negatif dapat diartikan bahwa seorang mahasiswa yang lebih memiliki kecintaan terhadap uang memiliki tingkat persepsi etis yang lebih

Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak