• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase dan Tingkat Infestasi Nematoda Gastrointestinal (NGI) Pada Ternak Sapi Gayo Lues dan Aceh Timur Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Persentase dan Tingkat Infestasi Nematoda Gastrointestinal (NGI) Pada Ternak Sapi Gayo Lues dan Aceh Timur Provinsi Aceh"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

4. Jalin kerjasama dengan pelaku bisnis di bi-dang pemasaran (promosi) dan transfortasi 5. Meningkatkan kesadaran masyarakat

ten-tang manfaat objek wisata

6. Tingkatkan kualitas fasilitas dan pelayanan 7. Meningkatkan kualitas sumber daya

manu-sia dan perbanyak fasilitas pendukung pari-wisata

Faktor Penghambat Promosi

Setiap aktivitas pasti hambatan dan tantangan selalu ada begitu juga dengan dinas kebudayaan dan pariwisata dalam mempromosi objek wisata yang ada di kota banda adalah sebagai berikut: 1. Keterbatasan dana

Keterbatasan dana yang di miliki oleh dinas kebudayaan dan pariwisata menjadi kendala da-lam mempromosi objek wisata kota banda aceh. Dimana objek wisata yang ada harus di kelola dengan baik dan mempromosi secara besar-besa-ran, sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke kota banda aceh.

2. Kurang terawat objek wisata

Objek wisata adalah fasilitas dasar yang ha-rus di miliki dalam industri pariwisata. Hal ini menjadi tantangan dan sejumlah objek wisata yang kurang terawat, sehingga minat pengunjung berkurang.

3. Masyarakat

Kurang sadar masyarakat akan pariwisata se-hingga masyarakat masih berpandangan bahwa pariwisata dapat mempengaruhi kehidupan yang kurang baik atau akan berpengaruh buruk pada proses pembentukkan moral masyarakat, masih adanya sikap yang berlebihan terhadap turis teru-tama wisatawan manca negara sehinga beberapa harga barang dan jasa yang di jual terlalu mahal

Faktor Pendukung Promosi

Keberhasilan aktifitas promosi dinas ke-budayaan dan pariwisata tak terlepas dari kerja keras dan faktor pendukung lainnya. Beberapa faktor pendukung promosi objek wisata kota ban-da aceh oleh dinas kebuban-dayaan ban-dan pariwisata antara lain:

1 Adanya dukungan dari pemeritah kota Banda Aceh, pemerintah provinsi dan dari berbagai dinas terkait lainnya, seperti : di-nas perikanan, didi-nas perdagangan dan

per-industrian, pihak swasta dan masyarakat. 2 Adanyanya media promosi seperti media

cetak dan media elektronik.

3 Adanya hotel berbintang dan non bintang sebagai tempat penginapan dengan jumlah yang memadai,

5. Kesimpulan

Pemilihan strategi analisis SWOT yang dap-at dikembangan objek wisdap-ata Kota Banda Aceh yaitu dengan mempertahankan dan meningkat-kan kualitas objek wisata kemudian melakumeningkat-kan koordinasi dengan pemerintah(dinas terkait) dan masya rakat dalam pengembangan daya tarik wisata, dan adanya dukungan pemerintah mau-pun pihak swasta, serta media promosi.

6. Daftar Pustaka

Gamal Suwantoro (2004) Sejarah Pariwisata

dan Perkembangan di Indonesia, Jakarta, PT

Gramedia Pustaka Utama

Kotler. (2005). Manajemen Pemasaran. Jakarta:

PT Macanan Jaya.

Pendit, (2004), Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : Angkasa

Rangkuti. (2005), Riset Pemasaran dan Perilaku

Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Soekadijo (2001) Manajemen Kepariwisataan,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Swastha, (2000). Manajemen Pemasaran Modern. Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada

Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tentang

Kepariwisataan,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang

Kepariwisataan

Persentase dan Tingkat Infestasi Nematoda

Gastrointestinal (NGI) Pada Ternak Sapi Gayo Lues dan

Aceh Timur Provinsi Aceh

Zulfikar 1*,Sayed Umar2, T. Reza Farasyi3, Maruf Tafsin4

1 Mahasiswa S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara 2, 4 Staf Pengajar Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. Mansyur, Medan Sumatera Utara

3 Staf Pengajar Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh

*Koresponden email: :drh.zulfikar68@yahoo.com

Masuk : 15 Februari 2018 Diterima: 17 Februari 2018

Abstract. This study was conducted to determine the percentage and level of parasite infestation of

gastrointestinal nematodes (NGI) in cattle based on different areas in Aceh Province. The samples in this study were cow feces taken each 3 (three) subdistricts in Gayo Lues District with 64 samples and East Aceh district with 93 samples. For sample examination and see infestation picture have been done with laboratory test by using Method of centrifuge and Mc method Master. For data analysis done with Prevalence test and formulation of Mc. Master. The results showed that based on percentage of gastrointestinal nematode attendance level in Gayo Lues District, there were 15 positive samples (23.44%), while in East Aceh of 93 samples examined there were 33 positive (35.48% ), seen a higher percentage in East Aceh (<0.05). Meanwhile, based on egg yield per gram of feces (TPGT) showed that Gayo Lues Regency is higher than East Aceh, where in Regency of Gayo Lues from 15 positive number of eggs there were 20,661 grains (1377 grains / head), while in East Aceh from 33 positive , the number of eggs is only 23,595 grains (715 eggs / head), seen from TPGT result shows there is real difference (p <0,05).

Keywords: Infestasi, Nematoda Gastrointestinal, cow

Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan persentase dan tingkat infestasi parasit nematoda

gastrointestinal (NGI) pada ternak sapi berdasarkan wilayah yang berbeda di Provinsi Aceh. Sampel dalam penelitian adalah feses sapi yang diambil masing-masing 3 (tiga) Kecamatan di wilayah Kabupaten Gayo Lues dengan jumlah 64 sampel dan wilayah kabupaten Aceh Timur dengan jumlah sampel 93 ekor .Untuk pemeriksaan sampel dan melihat gambaran infestasi telah dilakukan dengan Uji laboratorium dengan memakai Metode Sentrifuge dan metode Mc. Master . Untuk analisis data dilakukan dengan uji Prevalensi dan perumusan Mc. Master. Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan persentase tingkat kehadiran nematoda gastrointestinal (GI) di Kabupaten Gayo Lues, dari 64 sampel feses yang periksa ada 15 positif (23,44%) sedangkan pada Kabupaten Aceh Timur dari 93 sampel yang diperiksa ada 33 positif (35,48%), terlihat persentase lebih tinggi di Aceh Timur (<0,05). Sedangkan berdasarkan intestasi telur per gram tinja (TPGT) terlihat bahwa Kabupaten Gayo Lues lebih tinggi dibandingkan Aceh Timur, dimana pada wilayah Kabupaten Gayo Lues dari 15 positif jumlah telur ada 20,661 butir (1377 butir/ekor), sedangkan di wilayah Aceh Timur dari 33 positif, jumlah telurnya hanya 23.595 butir (715 butir/ekor), terlihat dari hasil TPGT menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0,05) .

(2)

Serambi Engineering, Volume III, Edisi Khusus, Februari 2018 ISSN : 2528-3561

300 301

1. Pendahuluan

Ternak sapi merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting di dunia. yang digunakan sebagai sumber protein hewan bagi kehidupan manusia untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Ternak sapi dipelihara dan dikembangkan oleh peternak dalam skala kecil dan besar, tradisional maupun intensif untuk mendapatkan daging dalam rangka mencukupi kebutuhan produksi. Domke et al. (2011); Williams (2013) menjelaskan bahwa protein hewani merupakan sumber utama untuk membangun kehidupan manusia.

Pada saat ini sebagian dari produksi ternak sapi di dunia menghadapi kendala dalam rangka mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini umumnya terjadi pada peternakan di negara-negara berkembang sehingga kebutuhan produksi tidak akan terpenuhi. Pathak (2017) menyatakan bahwa sebagian besar dari negara berkembang saat ini berada dalam batas tertentu untuk meningkatkan produksi, hal ini disebabkan karena tinggi kasus yang disebabkan oleh parasit cacing terutama jenis nematoda gastrointestinal (GI) yang berada di sistim pencernaan ternak.

Sibbald et al. (2009); Williams (2013) mengatakan bahwa infeksi parasit cacing adalah salah satu penyebab utama dan terbesar kehilangan produksi, terutama untuk ternak produksi seperti sapi, kerbau, kambing dan domba (gambar 1). Seperti laporan Athar et

al., (2011) , dimana hitungan kerugian ekonomi

akibat nematoda gastrointestinal pada sapi dan kerbau di Amerika bisa mencapai 0,41US$-0,47US$/ekor/hari. Sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kothalawala et

al., (2007) bahwa di Sri Lanka kerugian dibidang

peternakan sapi akibat parasit jenis nematoda bisa mencapai 230 juta Rupee/tahun dan di Indonesia sendiri mencapai 240 milyar rupiah per tahun (Ditkeswan, 2014)

Untuk hidup dan berkembangbiak nematoda gastrointestinal sebelum berinteraksi dengan hospes (hewan atau manusia) sangat membutuhkan lingkungan yang sesuai. Alencar et al. (2009); Zulfikar, dkk (2017) menyatakan bahwa nematoda di lingkungan bersifat persistensi, bisa bertahan dalam tubuh induk semang dalam waktu yang cukup lama antara 1 sampai 10 tahun, walaupun

secara immunologi induk semangnya terus memberi reaksi. Tetapi nematoda gastrointestinal untuk bisa bertahan hidup diluar tubuh sangat membutuhkan lingkungan, seperti topografi daerah, suhu, kelembaban, curah hujan maupun kondisi tanah atau PH tanah, karena setelah keluar tubuh hospes yang satu nematoda ini tetap akan melanjutkan hidup dan kembali berinteraksi dengan hospes lain (Gambar 2).

Penjelasan O. Connor, et al., (2007) bahwa dalam proses kelangsungan hidup dan tahap hidup bebas parasit cacing nematoda di lingkungan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, topografi dan kondisi lainnya termasuk manajemen pengelolaaan, nematoda tetap hidup pada kondisi yang ekstrim seperti saat berada dalam tanah, pada musim dingin dan kondisi kimiawi tanah yang sudah tercemar desinfektan.

Menurut Bhattachryya dan Ahmed (2005), ada beberapa faktor utama meningkatnya penyakit, terutama disebabkan oleh parasit, diantaranya kondisi topografinya, geografis daerah, iklim

Gambar 1. Sapi yang mengalami gejala cacingan

(3)

1. Pendahuluan

Ternak sapi merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat penting di dunia. yang digunakan sebagai sumber protein hewan bagi kehidupan manusia untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Ternak sapi dipelihara dan dikembangkan oleh peternak dalam skala kecil dan besar, tradisional maupun intensif untuk mendapatkan daging dalam rangka mencukupi kebutuhan produksi. Domke et al. (2011); Williams (2013) menjelaskan bahwa protein hewani merupakan sumber utama untuk membangun kehidupan manusia.

Pada saat ini sebagian dari produksi ternak sapi di dunia menghadapi kendala dalam rangka mencukupi kebutuhan tersebut. Hal ini umumnya terjadi pada peternakan di negara-negara berkembang sehingga kebutuhan produksi tidak akan terpenuhi. Pathak (2017) menyatakan bahwa sebagian besar dari negara berkembang saat ini berada dalam batas tertentu untuk meningkatkan produksi, hal ini disebabkan karena tinggi kasus yang disebabkan oleh parasit cacing terutama jenis nematoda gastrointestinal (GI) yang berada di sistim pencernaan ternak.

Sibbald et al. (2009); Williams (2013) mengatakan bahwa infeksi parasit cacing adalah salah satu penyebab utama dan terbesar kehilangan produksi, terutama untuk ternak produksi seperti sapi, kerbau, kambing dan domba (gambar 1). Seperti laporan Athar et

al., (2011) , dimana hitungan kerugian ekonomi

akibat nematoda gastrointestinal pada sapi dan kerbau di Amerika bisa mencapai 0,41US$-0,47US$/ekor/hari. Sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kothalawala et

al., (2007) bahwa di Sri Lanka kerugian dibidang

peternakan sapi akibat parasit jenis nematoda bisa mencapai 230 juta Rupee/tahun dan di Indonesia sendiri mencapai 240 milyar rupiah per tahun (Ditkeswan, 2014)

Untuk hidup dan berkembangbiak nematoda gastrointestinal sebelum berinteraksi dengan hospes (hewan atau manusia) sangat membutuhkan lingkungan yang sesuai. Alencar et al. (2009); Zulfikar, dkk (2017) menyatakan bahwa nematoda di lingkungan bersifat persistensi, bisa bertahan dalam tubuh induk semang dalam waktu yang cukup lama antara 1 sampai 10 tahun, walaupun

secara immunologi induk semangnya terus memberi reaksi. Tetapi nematoda gastrointestinal untuk bisa bertahan hidup diluar tubuh sangat membutuhkan lingkungan, seperti topografi daerah, suhu, kelembaban, curah hujan maupun kondisi tanah atau PH tanah, karena setelah keluar tubuh hospes yang satu nematoda ini tetap akan melanjutkan hidup dan kembali berinteraksi dengan hospes lain (Gambar 2).

Penjelasan O. Connor, et al., (2007) bahwa dalam proses kelangsungan hidup dan tahap hidup bebas parasit cacing nematoda di lingkungan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, topografi dan kondisi lainnya termasuk manajemen pengelolaaan, nematoda tetap hidup pada kondisi yang ekstrim seperti saat berada dalam tanah, pada musim dingin dan kondisi kimiawi tanah yang sudah tercemar desinfektan.

Menurut Bhattachryya dan Ahmed (2005), ada beberapa faktor utama meningkatnya penyakit, terutama disebabkan oleh parasit, diantaranya kondisi topografinya, geografis daerah, iklim

Gambar 1. Sapi yang mengalami gejala cacingan

Gambar 2. Siklus Hidup Nematoda Gastrointestinal

yang tidak cocok, beda umur dan jumlah populasinya tidak sesuai, kurang penanganan kesehatan dan tingkat pengetahuan pemilik. Di ikuti penjelasan Beck, et al (2015), bahwa faktor seperti kelembaban tanah, dan suhu udara merupaka hal spesifik terhadap infestasi nematoda gastrintestinal.

Gayo Lues adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang berada di wilayah dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata antara 1.000 hingga 2,000 Mdpl, dengan karakter daerah

berbukit-bukit dan pergunungan, memiliki luar

daerah luas 5.549,7 km2, sehingga dijuluki sebagai “Negeri Seribu Bukit”, Pendapatan utama masyarakat Gayo Lues adalah bidang pertanian, seperti padi, kakao, serre wangi, tembakau dan tanaman holtikultura lain serta bidang peternakan (sapi, kerbau, kambing, ayam dan bebek) dengan jumlah sapi sebanyak 5.810 ekor (BPS Gayo Lues, 2016).

Sedangkan Kabupaten Aceh Timur adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang berada di wilayah pantai timur dan berdataran rendah dengan ketinggian berada 0–308 mdpl. Memiliki Luas wilayah sebesar 6.040,60 Km²,

dengan penduduk berkisar 360.475 jiwa Komoditi unggulan adalah sektor pertanian dan jasa, dengan sub sektor tanaman perkebunan serta sub sektor peternakan berupa sapi, kerbau, kambing dan unggas. Saat ini populasi ternak sapi berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Keswan Aceh Timur berjumlah 64.169 ekor dan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh sebagai lambung ternak sapi. (BPS, Aceh Timur (2016).

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk melihat “Persentase dan Tingkat Infestasi Nematoda Gastrointestinal (NGI) Pada Ternak Sapi yang Berbeda Wilayah”.

2. Metode Penelitian

1. Alat dan Bahan

Alat digunakan adalah sendok, baskom

plastik, kulkas, timbangan, tabung reaksi, cawan petri, gelas ukur, gunting, objek gelas, sentrifus, gelas Becker, pipet Pasteur, mikroskop, box es, dan kamera digital.

Bahan yang dibutuhkan: feses sapi, plastik,

karet ikat, kertas karton, pulpen. akuades, formalin 0,4%, garam jenuh atau NACL Fisiologi.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian lapangan mulai dilaksanakan dari bulan Maret 2017 sampai Juni 2017. Sampel di ambil dari wilayah berbeda yaitu Kabupaten Gayo Lues (3 kecamatan) dan kabupaten Aceh Utara (3 kecamatan) seperti terlihat pada peta (gambar 2). Untuk proses pemeriksaan feses dan indentifikasi telur nematoda gastrointestinal (GI) dilaksanakan pada Laboratorium MIPA Universitas Almuslim Bireuen Provinsi Aceh.

3. Metode dan Prosedur Sampel.

Pemeriksaan feses untuk mengidentifikasi

(4)

Serambi Engineering, Volume III, Edisi Khusus, Februari 2018 ISSN : 2528-3561

302 303

4. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan berdasarkan tingkat kehadiran telur nematoda gastrointestinal (GI) di masing-masing Kecamatandalam satu kabupaten, selanjutnya akan dibuat perbandingan berdasarkan Kabupaten. Analisa dan perumusan ini akan dilakukan dengan uji Prevalensi dan Uji Mc. Master dan mendapatkan hasil persentase dan jumlah telur nematoda GI antar lokasi penelitian.

3. Hasil Dan Pembahasan.

1.1. Persentase kehadiran Nematoda

Gastrointestinal (NGI)

Persentase kehadiran nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang dipeliharaan di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Timur dapat terlihat pada Tabel 1 berikut ini.

Dari data Tabel 1. terlihat bahwa terdapat perbedaan persentase kehadiran nematoda gastrointestinal (GI) antar Kabupaten Gayo Lues dengan Kabupaten Aceh Timur.. Dimana pada Kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi terlihat bahwa presentasenya lebih rendah

(23,44 %: CI 14,75-35,13 ) dibandingkan dengan

Kabupaten Aceh Timur sebagai wilayah yang berdataran rendah (35,48%: CI 26,51-45,61). Terlihat bahwa ada perbedaan (< 0,05) kehadiran antara kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi dengan Aceh Timur sebagai wilayah dataran rendah.

Hasil penelitian ini dapat dikatakan sama dengan hasil penelitian Zulfikar (2012) dimana pada dataran tinggi lebih rendah persentase kehadirannya daripada dataran rendah. Dengan sendirinya dapat katakan bahwa kondisi lingkungan (topografi, geografis, curah hujan, suhu serta kelembaban) saling mempengaruhi tingkat kehadiran nematoda GI. Sesuai penjelasan Durie (1961); Das, et al (2016) bahwa kondisi lingkungan (curah hujan dan suhu) hal positif dan negatif telur cacing nematoda

gastrintestinal akan dilakukan dengan metode sentrifus (Arumdel dan Rickard,1990) dan dilanjutkan dengan menghitung jumlah telur per gram tinja (TPGT) memakai alat kamar hitung Mc. Master (Jaroslav, et. al., 2010).

3.1. Metode Sentrifus.

Tujuan untuk melihat dan menentukan ada tidaknya nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang ipelihara di wilayah berbeda.

Cara kerja : feses sapi diambil ± 2 gram, ditaruh dalam mortir, tambahkan sedikit air dan diaduk sampai larut, lalu dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai setinggi ¾ tabung, diputar dengan putaran cepat sampai lima menit, cairan jernih diatas endapan dibuang, ditambahkan NaCl jenuh pada endapan tadi setinggi ¾ tabung dan aduk sampai tercampur merata. Lalu diputar lagi dengan putaran cepat selama lima menit, diteteskan NaCl jenuh dengan pipet sampai permukaan cairan menjadi cembung dan biarkan selama 3 menit, objek glass ditempelkan diatas permukaan yang cembung tadi ditutup dengan kaca penutup dan periksa dibawah mikroskop (pembesaran 10x10).

3.2. Metode Mc. Master

Tujuan : Untuk mengetahui jumlah telur nematoda per gram tinja (TPGT) yang menginfestasi sapi.

Cara kerja : diambil feces sapi. ditimbang 3 gr, tambahkan gula jenuh sampai volume mencapai 60 ml, kemudian diaduk-aduk lalu disaring, filtrat saringan tersebut diaduk dan segera masukkan ke dalam kamar hitung Mc. Master dengan pipet. Ulangi sampai semua kamar terisi penuh, diperiksa dibawah mikroskop, hitung jumlah telur disetiap kamar hitung tersebut (Jaroslav,et

(5)

4. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan berdasarkan tingkat kehadiran telur nematoda gastrointestinal (GI) di masing-masing Kecamatandalam satu kabupaten, selanjutnya akan dibuat perbandingan berdasarkan Kabupaten. Analisa dan perumusan ini akan dilakukan dengan uji Prevalensi dan Uji Mc. Master dan mendapatkan hasil persentase dan jumlah telur nematoda GI antar lokasi penelitian.

3. Hasil Dan Pembahasan.

1.1. Persentase kehadiran Nematoda

Gastrointestinal (NGI)

Persentase kehadiran nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang dipeliharaan di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Timur dapat terlihat pada Tabel 1 berikut ini.

Dari data Tabel 1. terlihat bahwa terdapat perbedaan persentase kehadiran nematoda gastrointestinal (GI) antar Kabupaten Gayo Lues dengan Kabupaten Aceh Timur.. Dimana pada Kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi terlihat bahwa presentasenya lebih rendah

(23,44 %: CI 14,75-35,13 ) dibandingkan dengan

Kabupaten Aceh Timur sebagai wilayah yang berdataran rendah (35,48%: CI 26,51-45,61). Terlihat bahwa ada perbedaan (< 0,05) kehadiran antara kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi dengan Aceh Timur sebagai wilayah dataran rendah.

Hasil penelitian ini dapat dikatakan sama dengan hasil penelitian Zulfikar (2012) dimana pada dataran tinggi lebih rendah persentase kehadirannya daripada dataran rendah. Dengan sendirinya dapat katakan bahwa kondisi lingkungan (topografi, geografis, curah hujan, suhu serta kelembaban) saling mempengaruhi tingkat kehadiran nematoda GI. Sesuai penjelasan Durie (1961); Das, et al (2016) bahwa kondisi lingkungan (curah hujan dan suhu) hal positif dan negatif telur cacing nematoda

gastrintestinal akan dilakukan dengan metode sentrifus (Arumdel dan Rickard,1990) dan dilanjutkan dengan menghitung jumlah telur per gram tinja (TPGT) memakai alat kamar hitung Mc. Master (Jaroslav, et. al., 2010).

3.1. Metode Sentrifus.

Tujuan untuk melihat dan menentukan ada tidaknya nematoda gastrointestinal (NGI) pada sapi yang ipelihara di wilayah berbeda.

Cara kerja : feses sapi diambil ± 2 gram, ditaruh dalam mortir, tambahkan sedikit air dan diaduk sampai larut, lalu dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai setinggi ¾ tabung, diputar dengan putaran cepat sampai lima menit, cairan jernih diatas endapan dibuang, ditambahkan NaCl jenuh pada endapan tadi setinggi ¾ tabung dan aduk sampai tercampur merata. Lalu diputar lagi dengan putaran cepat selama lima menit, diteteskan NaCl jenuh dengan pipet sampai permukaan cairan menjadi cembung dan biarkan selama 3 menit, objek glass ditempelkan diatas permukaan yang cembung tadi ditutup dengan kaca penutup dan periksa dibawah mikroskop (pembesaran 10x10).

3.2. Metode Mc. Master

Tujuan : Untuk mengetahui jumlah telur nematoda per gram tinja (TPGT) yang menginfestasi sapi.

Cara kerja : diambil feces sapi. ditimbang 3 gr, tambahkan gula jenuh sampai volume mencapai 60 ml, kemudian diaduk-aduk lalu disaring, filtrat saringan tersebut diaduk dan segera masukkan ke dalam kamar hitung Mc. Master dengan pipet. Ulangi sampai semua kamar terisi penuh, diperiksa dibawah mikroskop, hitung jumlah telur disetiap kamar hitung tersebut (Jaroslav,et

al., 2010).

yang dianggap penting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup tahap pra-parasit dan menyebabkan terjadi peningkatan ketersediaan larva infektif di padang rumput. Begitu juga yang dilaporkan oleh Ogunsusi and Eysker (1979);

Das, et al (2016) bahwa awal musim kemarau

nematoda gastrointestinal akan bertahan hidup di induknya dan kemudian larva akan muncul di awal musim hujan.

Tetapi menurut penjelasan Van Dijk et al (2009) bahwa mencapai umur panjang dari larva nematoda gastrointestinal tidak hanya terkait dengan suhu dan kelembaban tetapi juga pada tingginya paparan sinar ultraviolet yang lebih banyak di daerah yang berdataran rendah dengan lingkungan yang panas dan kelembaban tinggi juga akan efektif untuk perkembangan parasit.

Selanjutnya Abebe (2001); Fikru, (2006) dalam penelitian nematoda pada kambing di Ethiopia timur dan Oromia barat bahwa daerah yang berdataran rendah dianggap tempat yang layak untuk kelangsungan hidup dari larva parasit cacing. Peningkatan penyebaran penyakit, terutama parasit cacing jenis nematoda gastrointestinal yang menyerang ternak dalam beberapa tahun terakhir sangat dihubungkan dengan perubahan iklim dan lingkungan lainnya.

1.2. Telur Per Gram Tinja (TPGT) Nematoda

Gastrointestinal (NGI) di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Timur

Jumlah TPGT nematoda gastrointestinal yang muncul pada ternak sapi terifestasi nematoda GI dapat terlihat pada tabel 2 berikut ini.

Terlihat pada data Tabel 2 diatas, berhubungan dengan infestasi telur per gram tinja (TPGT) dapat dijelaskan bahwa TPGT nya lebih tinggi infestasi pada sapi yang dipelihara di Kabupaten Gayo Lues daripada Kabupaten Aceh Timur. Dimana Gayo Lues dari 64 sampel diperiksa ada 15 sampel positif, didapatkan 20.661 butir telur (rata-rata 1.377 butir/ekor). Sementara untuk Kabupaten Aceh Timur dari 93 sampel di periksa ada yang positif 33 sampel dengan jumlah 23.595 butir (rata-rata 715 butir/ekor). Menunjukkan antar dua kabupaten tersebut ada perbedaan nyata (< 0,05) tingkat infestasi TPGTnya. Hasil rataan TPGT antar Wilayah terlihat lebih besar infestasi di daerah yang berwilayah dataran tinggi.

Tingginya infestasi nematoda gastrointestinal pada sapi di hitung berdasarkan jumlah kehadiran telur dalam feses, yang tingkatannya terbagi dalam tiga golongan, yaitu infeksi ringan dengan TPGTnya antara 0-500 butir, infeksi sedang antara 501-1000 butir dan infeksi berat bila TPGT > 1000 butir (Soulsby, 1986; Maruf, 2007, sedangkan menurut Pfukenyi et al., (2007); J.J. Chaparro et al., (2016) infestasi terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu TPGT <200 butir (ringan), TPGT 201-700 (sedang) dan TPGT >700 butir (tinggi).

Maka dapat dikatakan Kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi lebih besar infestasi TPGTnya daripada Kabupaten Aceh Timur sebagai wilayah dataran rendah dan tingkat infetasi ini dapat digolongkan dalam infeksi berat.

Hal jumlah infestasi TPGT belum ada konsensus yang pasti untuk menentukan intensitas infeksi dan tingkat infeksi untuk menuntukan rendah, sedang atau tinggi. Subroto dan Tjahayati, (2001), menjelaskan yang dimaksud dengan infeksi ringan maupun adalah jumlah parasit yang masuk dan berapa sering tidaknya ternak terserang parasit cacing. Sedangkan Boag dan Thomas (1985): Kusumamihardja (1995); Zulfikar (2013) menjelaskan bahwa perbedaan musim dan daerah (topografi) bisa berpengaruh terhadap infestasi parasit cacing, terutama jenis nematoda gastrointestinal yang menyerang ternak sapi.

Tingginya infestasi parasit cacing ini tidak hanya mungkin dikaitkan di lingkungan fisik saja, tetapi bisa di sebabkan oleh faktor lainnya, seperti manajemen pengelolaan peternakan yang buruk, diantaranya kurangnya rumput lapangan, sedikit waktu istirahat, dengan gizi yang buruk dan tidak adanya pengobatan rutin, tidak ada rotasi padang mengembalaan dan pola pemeliharaan yang ektensif.

4. Kesimpulan

1. Persentase nematoda gastrointestinal (GI) terlihat untuk Kabupaten Gayo Lues sebagai wilayah dataran tinggi dari 64 sampel yang positif ada 15 sampel (23,44%;CI 14,75-35,13) dan Kabupaten Aceh Timur sebagai wilayah yang berdataran rendah dari 93 sampel, ada 33 sampel positif (35,48 %; CI 26,51-45,61),

(6)

Serambi Engineering, Volume III, Edisi Khusus, Februari 2018 ISSN : 2528-3561

304 305

ada perbedaan nyata (< 0,05), lebih tinggi di Kabupaten Aceh Timur.

2. Infestasi TPGT nematoda gastrointestinal (GI) terlihat untuk Kabupaten Gayo Lues dari 15 sampel positif ada ditemukan telur sebanyak 20.661 butir (rata-rata 1.377/ekor) sedangkan Kabupaten Aceh Timur dari 33 sampel positif ditemukan telur 23.595 butir (rata-rata 715/ ekor), secara daerah (topografi) ada terjadi perbedaan nyata (< 0,05). Dimana pada Kabupaten Gayo Lues dapat kategori infestasi tinggi dan Kabupaten Aceh Timur kategori infestasi sedang.

5. Daftar Pustaka

Abebe W, Eseyas G (2001) Survey of ovine and Caprine gastrointestinal Helminthosis in eastern part of Ethiopia during the dry season of the year. Revue Med Vet 152: 379-384. Alencar, M.M., Chagas, A.C.S., Giglioti, R.,

Oliveira, H.N. and Oliveira, M.C.S. (2009). Gastrointestinal nematode infection in beef cattle of different genetic groups in Brazil.

Veterinary Parasitology. 166. 249–25.

Kothalawala et al./2007/ Estimation Of Economic Losses On Nematode Infestation in Goats in Sri Lanka.

[BPS] Badan Pusat Gayo Lues, (2016). Gayo Lues Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Gayo Lues. Laporan Tahunan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Aceh Timur, (2016). Aceh Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Aceh Tmur. Laporan Tahunan. Bhattachryya, D. K and Ahmed K. (2005).

Prevalence of helmintic infection in cattle and buffaloes. Indian Vet. J. 82: 900-901. Boag, B. and Thomas, R. J. (1985). The Effect

of Temperature on The Survavial of Infective Larvae of Nematodes. J Parasitol. 71 : 383-384.

Das M, Deka DK, Islam S, Sarmah PC, Bhattacharjee K (2016) Gastrointestinal nematode larvae in the grazing land of cattle in Guwahati, Assam, Veterinary World,

9(12): 1343-1347.

Durie P.H. (1961). Parasitic gastroenteritis of cattle:The distribution and survival of infectious larvae on pasture. Aust. J. Agric.

Res. 12:1200–1211.

Domke, A. V., Chartier, C., Gjerde, B., Leine, N., Vatn, S., Osteras, O. and Stuen, S. (2011). Worm Control Practice Against Gastro-Intestinal Parasites In Norwegian Sheep And Goat Flocks. Acta Vet Scand, 53: 29.

Fikru R, Teshale S, Reta D, Kiros Y (2006) Epidemology of Gastro Intestinal Parasites of Ruminants in Western Oromiya Ethiopia.

Intern Appl Res Vet Med. 4: 51-57.

Hildreth M., (2003). Cattle Parasites of The Northern Great Plains. http://biomicro.

sdstate.edu/Hildrethm/CattleParasites/ StrongyleLifeCycle. htm [07 Desember 2017]

Jaroslav V., Miloslav P., Igor Z., Zuzana Č. Ivana J., Iva L.and Milan M. (2010), Which McMaster egg counting technique is the most reliable. Parasitol Res. 109:1387–1394. Original Paper. Springer -Verlag.

Jenny J. Chaparro, Nicolás F. Ramírez, David Villar, Jorge A. Fernandez, Julián Londoño, Camila Arbeláez, Laura López ,Mónica Aristizabal, Jaime Badel, Luis G. Palacio, Martha Olivera, (2016). Survey of Gastrointestinal Parasites, Liver Flukes and Lungworm in Feces from Dairy Cattle in the High Tropics Of Antioquia, Colombia. J.

Parasite Epidemiology and Control 1: 124–

130

Maruf, F. (2007). Perbandingan Prevalensi Helmithiasis Pada Saluran Pencernaan Sapi Perah di Desa Ngelom dan Desa Kletek Kecamatan Taman Kabupaten Sidiarjo.

Artikel Ilmiah. FKH Univesitas Airlangga

Surabaya.

Melissa A. Beck, Douglas D. Colwell, Cameron P. Goater and Stefan W. Kienzle (2015). Where’s The Risk? Landscape Epidemiology of Gastrointestinal Parasitism in Alberta Beef Cattle. J. V. Parasites & Vectors (2015) 8:434 Mitchell and Somerville (2005) Mitchell, G.B.B

and Somerville, D.K. (2005). Effects of Climate Change on Helminth Diseases in Scotland. J. SAC Publication (1), 1-11.

Sibbald, A. M., Erhard, H. W., MCleod, J. E. and Hooper, R. J. (2009). Individual personality and the spatial distribution of groups of grazing animals: an example with sheep.

Behav Processes, 82, 319-26.

(7)

ada perbedaan nyata (< 0,05), lebih tinggi di Kabupaten Aceh Timur.

2. Infestasi TPGT nematoda gastrointestinal (GI) terlihat untuk Kabupaten Gayo Lues dari 15 sampel positif ada ditemukan telur sebanyak 20.661 butir (rata-rata 1.377/ekor) sedangkan Kabupaten Aceh Timur dari 33 sampel positif ditemukan telur 23.595 butir (rata-rata 715/ ekor), secara daerah (topografi) ada terjadi perbedaan nyata (< 0,05). Dimana pada Kabupaten Gayo Lues dapat kategori infestasi tinggi dan Kabupaten Aceh Timur kategori infestasi sedang.

5. Daftar Pustaka

Abebe W, Eseyas G (2001) Survey of ovine and Caprine gastrointestinal Helminthosis in eastern part of Ethiopia during the dry season of the year. Revue Med Vet 152: 379-384. Alencar, M.M., Chagas, A.C.S., Giglioti, R.,

Oliveira, H.N. and Oliveira, M.C.S. (2009). Gastrointestinal nematode infection in beef cattle of different genetic groups in Brazil.

Veterinary Parasitology. 166. 249–25.

Kothalawala et al./2007/ Estimation Of Economic Losses On Nematode Infestation in Goats in Sri Lanka.

[BPS] Badan Pusat Gayo Lues, (2016). Gayo Lues Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Gayo Lues. Laporan Tahunan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Aceh Timur, (2016). Aceh Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Aceh Tmur. Laporan Tahunan. Bhattachryya, D. K and Ahmed K. (2005).

Prevalence of helmintic infection in cattle and buffaloes. Indian Vet. J. 82: 900-901. Boag, B. and Thomas, R. J. (1985). The Effect

of Temperature on The Survavial of Infective Larvae of Nematodes. J Parasitol. 71 : 383-384.

Das M, Deka DK, Islam S, Sarmah PC, Bhattacharjee K (2016) Gastrointestinal nematode larvae in the grazing land of cattle in Guwahati, Assam, Veterinary World,

9(12): 1343-1347.

Durie P.H. (1961). Parasitic gastroenteritis of cattle:The distribution and survival of infectious larvae on pasture. Aust. J. Agric.

Res. 12:1200–1211.

Domke, A. V., Chartier, C., Gjerde, B., Leine, N., Vatn, S., Osteras, O. and Stuen, S. (2011). Worm Control Practice Against Gastro-Intestinal Parasites In Norwegian Sheep And Goat Flocks. Acta Vet Scand, 53: 29.

Fikru R, Teshale S, Reta D, Kiros Y (2006) Epidemology of Gastro Intestinal Parasites of Ruminants in Western Oromiya Ethiopia.

Intern Appl Res Vet Med. 4: 51-57.

Hildreth M., (2003). Cattle Parasites of The Northern Great Plains. http://biomicro.

sdstate.edu/Hildrethm/CattleParasites/ StrongyleLifeCycle. htm [07 Desember 2017]

Jaroslav V., Miloslav P., Igor Z., Zuzana Č. Ivana J., Iva L.and Milan M. (2010), Which McMaster egg counting technique is the most reliable. Parasitol Res. 109:1387–1394. Original Paper. Springer -Verlag.

Jenny J. Chaparro, Nicolás F. Ramírez, David Villar, Jorge A. Fernandez, Julián Londoño, Camila Arbeláez, Laura López ,Mónica Aristizabal, Jaime Badel, Luis G. Palacio, Martha Olivera, (2016). Survey of Gastrointestinal Parasites, Liver Flukes and Lungworm in Feces from Dairy Cattle in the High Tropics Of Antioquia, Colombia. J.

Parasite Epidemiology and Control 1: 124–

130

Maruf, F. (2007). Perbandingan Prevalensi Helmithiasis Pada Saluran Pencernaan Sapi Perah di Desa Ngelom dan Desa Kletek Kecamatan Taman Kabupaten Sidiarjo.

Artikel Ilmiah. FKH Univesitas Airlangga

Surabaya.

Melissa A. Beck, Douglas D. Colwell, Cameron P. Goater and Stefan W. Kienzle (2015). Where’s The Risk? Landscape Epidemiology of Gastrointestinal Parasitism in Alberta Beef Cattle. J. V. Parasites & Vectors (2015) 8:434 Mitchell and Somerville (2005) Mitchell, G.B.B

and Somerville, D.K. (2005). Effects of Climate Change on Helminth Diseases in Scotland. J. SAC Publication (1), 1-11.

Sibbald, A. M., Erhard, H. W., MCleod, J. E. and Hooper, R. J. (2009). Individual personality and the spatial distribution of groups of grazing animals: an example with sheep.

Behav Processes, 82, 319-26.

Subronto. (2007). Ilmu Penyakit Ternak II.

Cetakan ke-3. Edisi revisi. Gadjah Mada University Press,. Yogyakarta.

Soulsby EJL (1982) Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th (edn.), ELBS and Bailliere Tindall, London. Pathak, A K (2017). Nutritional Bases to Control

Gastrointestinal Parasites of Livestock.

Dairy and Vet Sci J., 4(1): 01-08.

Pfukenyi, D.M., Mukaratirwa, S.,Willingham, A.L.,Monrad, J., (2007). Epidemiological studies of parasitic gastrointestinal nematodes, cestodes and coccidian infections in cattle in the Highveld and lowveld communal grazing areas of Zimbabwe. Onderstepoort J. Vet.

Res. 74, 129–142.

Ogunsusi R.A, Eysker M. (1979). Inhibited Development of Trichostrongylids of Sheep in Northern Nigeria. Res. Vet. Sci. 26 (1):108–110

O’Connor, L.J.; Kahn, L.P., Walkden-Brown and S.W. Moisture (2007). Requirements For the Free-Living Development Of Haemonchus Contortus: Quantitative and Temporal Effects Under Conditions Of Low Evaporation. J.

Vet. Parasitol., 150, 128-138.

Williams E. B. (2013) Gastrointestinal Parasites In Ruminants At Selected Abattoirs In The Greater Accra Region, Ghana. Thesis. University Of Ghana, Legon In Partial Fulfillment Of The Requirement For The Award Of Mphil Microbiology Degree. University of Ghana.

Van Dijk, J., Louw, M.D.E., Kalis, L.P.A. and Morgan, E.R. (2009) Ultraviolet Light Increases Mortality of Nematode Lar vae and Can Explain Patterns of Larval Availability at Pasture. Int. J. Parasitol., 39: 1151-1156. Zulfikar, Hambal Dan Razali (2012). Derajat

Infestasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi Di Aceh Bagian Tengah. Lentera

:Vol.12, No.3.

Zulfikar, Sayed Umar, T. Reza Farasyi, Maruf

Tafsin, 2017. Hubungan Lingkungan Dengan

Tingkat Infestasi Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi Di Aceh. Jurnal Serambi

Gambar

Gambar 1. Sapi yang mengalami gejala cacingan
Gambar 2. Siklus Hidup Nematoda Gastrointestinal

Referensi

Dokumen terkait

(8)第8章では、第6章で挙げたもう一つの課題である薬液の浸透固結状況評価におけ

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu, terutama saat sore hari, saat demam suhunya 38,8, mual(+),muntah(+),nyeri perut, batuk, lemas, tidak mau makan, hanya

100006 Perencanaan Pembangunan 1 BIDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN. 100007 Perhubungan 16

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan kualitas hidup pada pasien kanker anogenital yang menjalani pengobatan tunggal maupun kombinasi dan mengetahui ada

Sevendaily Indonesia didirikan untuk mempelopori kecintaan generasi muda dalam bidang kecantikan, kosmetik tidak hanya untuk mempercantik saja namun juga beguna

Mengutip intisari dari Erwandi Tarmizi, Harta Haram, 127.. cacat barang, karena pembeli mengira bahwa sesuatu yang didiamkan oleh penjual menunjukan bahwa kondisi barang

Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan analisis potensi internal yang diadopsi dari SWOT (Strenght–Weakness–Opportunity–Threat). 3) Penyusunan Rencana Tindakan

Diagram Konteks menjelaskan aliran data masuk dan data keluar pada sistem terebut, diagram konteks yang berjalan (pemotongan PPh pasal 21) pada Badan Narkotika