• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan negara yang mana termaktub dalam pembukaan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu untuk melindungi segenap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan negara yang mana termaktub dalam pembukaan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu untuk melindungi segenap"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan pada hakikatnya adalah upaya sistematis dan terencana oleh masing-masing maupun seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia secara optimal, efisien, efektif dan akuntabel, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat secara berkelanjutan (RPJMN 2015-2019). Bagi bangsa Indonesia, pembangunan nasional telah diarahkan untuk mencapai tujuan negara yang mana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pencapaian tujuan negara tersebut tentunya bukanlah hal yang mudah. Era globalisasi tentu menjadi salah satu gangguan dan ancaman bagi pembangunan bangsa. Salah satu dampak dari globalisasi adalah maraknya peredaran dan penyalahgunaan minuman keras. Hal tersebut mengingat posisi Indonesia yang strategis sehingga menjadi jalur perdagangan internasional serta ditambah lagi jumlah penduduk yang besar semakin

(2)

menjadikan Indonesia sangat rawan untuk dijadikan tempat peredaran dan penyalahgunaan minuman keras.

Peredaran dan penyalahgunaan minuman keras atau yang lebih dikenal dengan sebutan miras sudah menjadi masalah serius di Indonesia. Penyalahgunaan pemakaian miras tentunya berdampak buruk terhadap salah satu pilar pembangunan bangsa, yakni pembangunan manusia. Indonesia yang kaya akan sumber daya manusia sudah seharusnya mampu dijadikan peluang bagi pembangunan bangsa jikalau pemerintah mampu mengelolanya dengan baik. Namun, peredaran dan penyalahgunaan minuman keras di Indonesia menjadi ancaman serius bagi pembangunan sumber daya manusia. Para pemakai minuman keras tersebut tidak hanya mengalami kerusakan jiwa namun juga mental yang tentunya secara tidak langsung akan menghambat proses pembangunan dan merusak kualitas proses regenerasi bangsa Indonesia.

Peredaran minuman keras di Indonesia menjadi perhatian khusus bagi seluruh elemen masyarakat termasuk Kepolisian Republik Indonesia. Hal tersebut dikarenakan minuman keras menjadi salah satu faktor penyebab maraknya berbagai tindak kriminal, seperti perampokan, pencurian, pemerkosaan, pembegalan hingga pembunuhan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Fahira selaku wakil ketua komite III DPR RI bahwa,

“Dampak merusak luar biasa dari miras itu, karena menjadi biang tindakan kriminal mulai dari pembunuhan, perkosaan, hingga pencurian. Banyak remaja kita yang menjadi korban tindakan kriminal pembunuhan di mana pelakunya di bawah pengaruh miras. Belum lagi yang meninggal karena ditabrak pemabuk” (news. detik.com).

(3)

Pernyataan di atas didukung dengan data yang berasal dari laporan yang masuk ke Direktorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri yang dikutip dari hasil penelitian Novi (2013). Tercatat 967 kasus anak yang berhadapan hukum pada tahun 2011, sebanyak 236 adalah kasus penganiayaan, 166 kasus pencurian, 128 kasus perbuatan cabul, 64 kasus pengeroyokan, 5 kasus percobaan pencurian, 36 kasus pencurian dengan kekerasan, 5 kasus percobaan pemerkosaan dan 5 kasus pemerkosaan.

Data tersebut diperkuat dengan data yang dikutip dari artikel yang ditulis oleh Mohammad Mulyadi (2014) bahwa mereka yang berada dalam pengaruh miras cenderung melakukan tindakan kriminal karena tidak menyadari perilakunya. Di dalam jurnalnya juga ditemukan sebuah studi yang mengindikasikan bahwa 58% tindak kekerasan, perkosaan, dan pembunuhan terjadi di bawah pengaruh miras. Penelitian Gerakan Nasional Anti-Miras (GeNam) pada tahun 2013 menemukan bahwa 4% kejahatan di Jakarta sepanjang tahun tersebut dilatarbelakangi oleh konsumsi miras. Dari data-data tersebut maka membuktikan bahwa minuman keras berdampak pada peningkatan kejahatan di Indonesia.

Sementara itu di Kota Surakarta sendiri angka kriminalitas masih dapat dikatakan sangat tinggi. Angka kriminalitas di Kota Surakarta menempati posisi teratas di Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut sebagaimana pernyataan dari Kapoltabes Solo, Kombes Polisi Joko Irwanto pada Jumat 3 April 2010. Beliau mengatakan bahwa,

“Pada tahun 2009 yang lalu Poltabes Solo menerima 305 kasus kriminalitas yang sebagian besar dilakukan pada usia 13-28 tahun atau

(4)

pada usia remaja, ini menempatkan kota Solo sebagai kota yang memiliki angka kriminalitas tertinggi di Jawa Tengah. (http://www.solopos.com)

Angka peredaran miras di Indonesia sendiri dapat dikatakan masih sangat tinggi untuk setiap tahunnya. Setiap tahunnya kepolisian Republik Indonesia melakukan penyitaan terhadap minuman keras yang beredar di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bahwah ini,

Tabel 1.1

Trend Jumlah Barang Bukti Minuman Keras yang Disita oleh Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2009 – 2013

sumber: Jurnal Data P4GN tahun 2014

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa trend miras dalam bentuk botol bersifat fluktuatif. Angka tertinggi yang mampu disita pihak berwenang sebagai barang bukti adalah pada tahun 2009 yakni sebanyak 8.918.312 botol. Sedangkan untuk trend miras secara kuantitas liter dari mulai tahun 2009 hingga 2013 selalu mengalami kenaikan. Kenaikan paling signifikan terjadi pada tahun 2013 yang mencapi 1.734, 27%. Hal ini yang ditandai dengan semakin maraknya miras oplosan di sejumlah daerah di Indonesia. Data di atas dapat menjadi bukti akan tingginya angka peredaran miras di Indonesia.

(5)

Maraknya peredaran minuman keras di Indonesia mengakibatkan mudahnya seseorang untuk memperoleh miras. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab tingginya penyalahgunaan miras oleh masyarakat. Minuman keras yang sebenarnya hanya digunakan untuk menghangatkan tubuh bagi penduduk yang bermukim di negara-negara beriklim dingin justru banyak disalahgunakan oleh masyarakat Indonesia yang notabene merupakan negara tropis. Minuman keras telah dijadikan salah satu bentuk gaya hidup masyarakat yang menjadi simbol gengsi seseorang. Terlepas dari faktor individu tersebut, faktor lingkungan juga turut serta mempengaruhi tingginya angka penyalahgunaan minuman keras.

Jawa tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga sangat mengkhawatirkan dalam peredaran minuman keras. Peredaran NAPZA di Jateng memprihatinkan dengan usia populasi penguna antara usia 10 hinga 50 tahun. Minuman keras sebagai salah satu bagian dari NAPZA menduduki peringkat pertama sebagai barang yang disalahgunakan. Hal tersebut sebagaimana penelitian Purwandari (2005) di rehabilitasi NAPZA “Pamardi Putra Mandiri” Semarang memperoleh data tentang distribusi penyalahguna NAPZA pada SLTP 87,5% dan SLTA 12,5%. Jenis NAPZA yang digunakan antara lain alkohol sebanyak 60%, alkohol & ganja sebanyak 10%, putauw sebanyak 2,5%, alkohol & pil sebanyak 15%, alkohol & putauw sebanyak 2,5%, ganja sebanyak 7,5%, alkohol, pil, shabu-shabu, dan ganja sebanyak 2,5%.

(6)

Di Indonesia sendiri selain beredar minuman keras impor juga tidak sedikit pula minuman keras tradisional. Adapun berbagai jenis minuman keras tradisional, seperti lapen, ciu, brem, sopi, arak dan tuak merupakan produksi rumahan sehingga barang-barang tersebut mudah untuk diperjual belikan di masyarakat. Miras tradisional tersebut juga telah menjadi salah satu komoditi perdagangan suatu daerah ke daerah lain, seperti pernyataan dari Kepala Kesatuan Narkoba Kabupaten Sleman dalam Sartika (2014) bahwa:

“ciu yang beredar di Kabupaten Sleman merupakan hasil industri rumahan yang diproduksi dari luar Kabupaten Sleman yaitu Bekonang daerah Solo, Jawa tengah. Para pedagang minuman keras tradisional membeli ciu dengan jerigen yang berisi 20 liter atau 30 liter dibawa masuk ke Kabupaten Sleman, kemudian disamarkan dengan botol-botol minuman ringan baik itu botol frestea atau botol minuman yang lain, bahkan botol minuman air mineral Aqua. Tempat penjualannya biasanya ditoko-toko perkampungan atau kios rokok yang berada dipinggir jalan.”

Pernyataan tersebut menjadi gambaran tentang mudahnya peredaran minuman keras dan rendahnya pengawasan dari pemerintah terhadap perdagangan miras antar daerah.

Penyalahgunaan miras di masyarakat Indonesia telah menjadi bentuk penyakit masyarakat yang serius. Tidak hanya orang dewasa saja, minuman keras juga telah menyerang berbagai kelompok usia termasuk di kalangan remaja. Remaja merupakan kelompok usia yang paling tinggi dalam hal konsumsi miras. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan pada tahun 2007 jumlah remaja pengonsumsi miras di Indonesia masih diangka 4,9%, tetapi pada 2014 berdasarkan hasil riset

(7)

yang dilakukan Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) jumlahnya melonjak drastis hingga menyentuh angka 23% dari total jumlah remaja Indonesia yang saat ini berjumlah 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang (news.detik.com). Sehingga selama 7 tahun terakhir telah terjadi peningkatan signifikan konsumsi miras di kalangan remaja. Jika fenomena ini tidak segera ditangani maka dampak ke depan akan sangat berbahaya. Remaja sebagai generasi penerus bangsa seharusnya dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang memiliki jiwa dan mental yang kuat. Korban minuman keras biasanya akan mengalami kerusakan jiwa dan mental. Regenerasi bangsa yang berkualitas akan sulit tercapai jika konsumsi miras di kalangan remaja masih sangat tinggi. Sehingga perlu adanya suatu solusi konkret dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.

Di Indonesia peredaran dan pengawasan minuman keras telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dalam Perpres ini diatur mengenai bagaimana perdaran dan perdagangan minuman keras yang diperbolehkan. Salah satu pasal dalam peraturan presiden ini adalah mengatur tentang minuman keras tradisional. Pada pasal 1 ayat 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 menyatakan bahwa, “Minuman Beralkohol Tradisional adalah Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan.”

(8)

Pasal tersebut menjelaskan bahwa masih diperbolehkan bagi daerah untuk memproduksi minuman keras tradisional jika hanya diperlukan untuk keperluan adat- istiadat. Pasal inilah yang sering menjadi celah bagi daerah-daerah untuk melakukan produksi minuman keras tradisional yang mana perdagangannya dilakukan secara bebas di masyarakat. Sehingga perlu adanya peraturan bagi tiap-tiap daerah untuk menanggulangi peredaran miras di daerah. Hal ini karena setiap daerah memiliki karakteristik, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 merupakan payung hukum tentang pengaturan peredaran minuman keras di Indonesia. Perpres ini merupakan pengganti Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Perhatian pemerintah tentang bahaya minuman keras sebenarmya telah terlihat dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yang sudah disepakati sebagai RUU inisiatif DPR RI pada 24 Juni 2014. Akan tetapi sampai saat ini RUU tersebut masih belum dibahas. Hadirnya RUU ini nantinya diharapakan akan mendukung perda-perda anti miras yang telah diterapkan di 12 daerah di Indonesia. Salah satu daerah yang sudah menerapkan perda anti miras adalah Manokwari yang mana melarang siapa pun memasuki wilayah Manokwari jika berada dalam kondisi dipengaruhi minuman beralkohol. Hal ini menunjukkan semangat daerah untuk meminimalisir bahaya minuman keras.

(9)

Surakarta atau yang lebih dikenal dengan Kota Solo menjadi salah satu perhatian publik ketika berbicara mengenai minuman keras. Solo merupakan salah satu penghasil minuman keras tradisional yang cukup terkenal di Indonesia, yakni “ciu” bekonang. Ciu merupakan sebutan untuk minuman beralkohol khas dari daerah Banyumas dan Bekonang, Sukoharjo. Hal yang cukup kontroversial adalah di Banyumas, Ciu dikategorikan ilegal dan dengan aktif diberantas oleh pemerintah daerah, namun di Bekonang justru didukung oleh pemerintah daerah sebagai aset lokal, sehingga menjadi sangat populer dan dipasarkan ke seluruh Karesidenan Surakarta, Surabaya hingga Madura. “Ciu” Bengkonang merupakan hasil fermentasi dari singkong atau tape ketan yang menghasilkan kadar alkohol lebih dari 20%. Sama halnya dengan cap tikus, di beberapa lokasi minuman ini juga kadang dicampur dengan bangkai binatang. (InfoPOM, BPOM tahun 2014). Sehingga menjadi sesuatu yang sangat berat jika harus memberantas atau menghentikan produksi “ciu” di Solo manakala telah menjadi potensi daerah dan penopang perekonomian masyarakat.

Peredaran miras yang tinggi di Kota Surakarta dibuktikan melalui hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2009 diperoleh data bahwa konsumsi alkohol di Kota Surakarta dalam kurun waktu 12 bulan terakhir tercatat 3,7% dan pada 1 bulan terakhir tercatat 1,7%, pada umur 10-14 tahun konsumsi alkohol pada 12 bulan terakhir 0,1% dan pada 1 bulan terkhir 0,1%, dan pada umur 15-24 tahun konsumsi alkohol pada 12 bulan terakhir 4,5% dan pada 1 bulan terakhir 2,3% (Riskesdas, 2009). Angka

(10)

konsumsi minuman keras di Kota Surakarta yang tergolong tinggi membuat pemerintah kota Surakarta melakukan inisiatif untuk menanggulangi permasalahan tersebut melalui perumusan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang miras yang diharapkan mampu meminimalisir peredaran minuman keras di Kota Surakarta. Perda Kota Surakarta tentang miras ini nantinya akan mengatur tentang penggolongan minuman keras berdasarkan kadar alkoholnya serta bagaimana peredaran miras di Kota Surakarta tentang jenis miras apa yang boleh beredar dan dilarang beredar. Sehingga secara tidak langsung Perda ini juga telah melegalkan peredaran minuman keras di Kota Surakarta.

Raperda miras di Kota Surakarta telah menuai kontroversi dari berbagai pihak yang berkepentingan. Penolakan Raperda miras datang dari kelompok-kelompok agama, seperti MUI, FPI, serta ormas-ormas islam lainnya. Selain itu LSM-LSM anti-narkoba juga lantang menolak pengesahan Raperda miras di Kota Surakarta. Mereka menganggap bahwa dengan disahkannya Raperda miras justru akan melegalkan peredaran miras di Kota Surakarta. Perda miras akan memberikan celah bagi para oknum untuk menjual miras dengan kadar alkohol yang diperbolehkan hukum. Pengesahan Raperda miras menjadi alot ketika dalam pembahasannya ada beberapa pihak yang juga mendukung disahkannya Raperda miras di Kota Surakarta. Menurut mereka bahwa dengan diaturnya penjualan miras sesuai dengan golongan yang diperbolehkan akan mampu meminimalisir peredaran miras ilegal di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan tekanan bagi para

(11)

anggota dewan sehingga mengakibatkan Raperda Kota Surakarta tentang miras sangat sulit untuk disahkan dan mengalami pembahasan yang alot di DPRD.

Raperda miras di Kota Surakarta yang pada awalnya dikenal dengan Rancangan Peraturan Daerah Pelarangan, Pengawasan, Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Keras atau Beralkohol ini telah digulirkan oleh eksekutif untuk kemudian dibahas di legislatif sejak tahun 2010. Akan tetapi, pembahasan di DPRD Surakarta tidak berlangsung mulus sebagaimana di daerah-daerah lainnya. Sebagai contoh, Raperda Miras milik Kabupaten Sukoharjo tentang Pengawasan, Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol tidak sampai satu tahun sudah bisa disahkan dan ditetapkan menjadi Perda. Sedangkan, Raperda Miras milik Pemkot Solo harus memakan waktu lebih dari 3 tahun untuk membahas Raperda ini. Pembahasan yang panjang tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor eksternal yang berupa tekanan-tekanan dari berbagai elemen masyarakat yang secara tegas menolak pengesahan Raperda miras. Selain tekanan dari luar, pembahasan di dalam dewan sendiri juga mengalami pro dan kontra antar fraksi-fraksi yang duduk di DPRD Surakarta. Sehingga hal tersebut juga mempengaruhi sulitnya Raperda ini untuk kemudian disahkan menjadi Perda.

Raperda miras Kota Surakarta akhirnya secara resmi batal untuk disahkan pada Selasa, 4 Maret 2014 tahun lalu. Setelah kurang lebih 4 tahun dibahas di DPRD akhirnya Raperda miras dikembalikan ke eksekutif untuk

(12)

kemudian dilakukan peninjauan ulang. Berdasarkan pernyataan dari ketua pansus Raperda miras, Heri jumaidi (4/3) menyatakan bahwa:

“Hasil dari keseluruhan pembahasan pansus dengan ahli hasil konservasi ke Dirjen Perdagangan belum ditetapkan, tapi pertimbangan penolakan Raperda tersebut didapat terutama dari pandangan fraksi yang sebagian besar menolak, lalu pertimbangan lainnya juga karena selama ini munculnya Raperda Miras tersebut telah menimbulkan reaksi dari masyarakat. Dari latar belakang tersebut Raperda ditolak jadi perda,”. (tribunnews.com).

Dari pernyataan di atas maka jelas bahwa ada dua hal pokok yang menjadikan raperda miras di kota Surakarata dibatalkan menjadi Perda, yaitu mayoritas fraksi yang ada di DPRD kota Surakarta menolak pengesahan Raperda ini serta adanya gejolak atau reaksi di masyarakat yang dikhawatirkan akan semakin berbahaya jika Raperda miras resmi disahkan.

Adanya sebagian besar atau mayoritas fraksi di DPRD yang menyatakan penolakan terhadap Raperda Kota Surakarta tentang miras sebagaimana yang diungkapkan oleh Heri Jumaidi pada kutipan sebelumnya tentunya juga membuktikan bahwa adanya sebagian kecil (minoritas) fraksi yang berbeda pandangan atau dengan kata lain mendukung pengesahan Raperda ini. Fenomena ini tentunya mengindikasikan adanya perbedaan kepentingan antara berbagai fraksi di DPRD Kota Surakarta yang tidak menutup kemungkinan menyebabkan terjadinya benturan kepentingan. Perbedaan pandangan yang mengakibatkan benturan kepentingan semacam ini adalah salah satu bentuk konflik. Konflik selalu terjadi manakala saling berbenturan kepentingan (Wahyudi, 2011: 17).

(13)

Dalam rangka menciptakan kebijakan yang berkualitas dan mampu diterima oleh semua pihak maka dalam prosesnya perumusan kebijakan harus melibatkan beberapa aktor yang berkepentingan (stakeholder). Tidak jarang pula dalam proses perumusan kebijakan ini terjadi adanya benturan atau konflik antar aktor. Proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman keras juga telah menimbulkan konflik antar berbagai aktor baik internal maupun eksternal, termasuk di dalamnya konflik antar fraksi dalam pembahasan di DPRD Kota Surakarta yang telah disinggung sebelumnya. Konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta menjadi menarik ketika dalam sidang paripurna konflik yang terjadi ketika pembahasan dengan seketika hilang. Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa hal tersebut dilakukan partai untuk menarik hati masyarakat menjelang tahun politik tahun 2014.

Konflik yang terjadi dalam sebuah perumusan kebijakan publik merupakan hal yang wajar terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nugroho dalam bukunya (Nugroho, 2009: 305) bahwa “Kebijakan publik muncul di tengah konflik dan sebagian besar untuk mengatasi konflik yang telah, sedang dan yang akan terjadi”. Sehingga tidak heran jika terjadi perbedaan pendapat, kepentingan dan tujuan dalam sebuah proses perumusan kebijakan. Termasuk yang terjadi di dalam DPRD dalam perumusan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang berlangsung panjang manakala terjadi konflik antar fraksi.

(14)

Kurangnya penelitian tentang formulasi kebijakan publik sebagaimana dikemukakan oleh Subarsono (2005: 23) bahwa salah satu analisis kebijakan yang kurang mendapat perhatian selama ini tetapi bersifat krusial adalah perumusan kebijakan atau sering disebut policy formulation. Padahal jika kita cermati formulasi kebijakan merupakan tahapan awal dari sebuah kebijakan publik sebelum diimplementasikan dan dievaluasi. Sehingga berhasilnya suatu kebijakan juga dipengaruhi oleh proses perumusan kebijakan yang matang. Selain itu, jika kita cermati formulasi kebijakan publik pada dasarnya juga menyimpan berbagai keunikan di dalamnya, termasuk pada perumusan kebijakan Raperda Miras di Kota Surakarta.

Proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras menjadi salah satu studi kebijakan publik yang menarik. Selain itu dinamika konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta dalam pembahasan Raperda ini sangat unik sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Kedua hal tersebut menjadi latar belakang peneliti mengangkat judul Analisis Formulasi Kebijakan Publik (Konflik Antar Fraksi di DPRD dalam Kasus Penolakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras) dengan maksud untuk mengetahui lebih dalam terkait proses perumusan kebijakan Raperda Miras di Kota Surakarta sampai pada ditolak dengan melihat aspek konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta.

(15)

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang masalah sebelumnya untuk mengarahkan pembahasan, maka dirumuskan masalah terkait konflik yang terjadi antar fraksi di DPRD dalam formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras sehingga terjadi penolakan, dengan berfokus pada:

1. Fraksi apa saja yang terlibat konflik?

2. Apa bentuk konflik antar fraksi yang terjadi? 3. Apa saja penyebab terjadinya konflik antar fraksi?

4. Apa saja proses politik yang telah dilakukan untuk meminimalisir konflik tersebut?

5. Apa saja resolusi konflik yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui fraksi-fraksi di DPRD Kota Surakarta yang terlibat konflik dalam formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras sehingga terjadi penolakan.

2. Menganalisa konflik dan bentuk konflik yang terjadi dalam kasus tersebut.

(16)

3. Menganalisa penyebab terjadinya konflik antar fraksi yang terjadi dalam kasus tersebut.

4. Menganalisa proses politik yang telah dilakukan untuk meminimalisir konflik tersebut.

5. Mengidentifikasi resolusi konflik yang dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah tercapai tujuan di atas, penelitian ini diharapkan mampu memberikan beberapa manfaat, antara lain:

a) Bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada penulis tentang masalah yang diteliti serta sebagai salah satu wujud penerapan teori-teori yang diperoleh selama kuliah dalam praktek di lapangan. Penelitian ini juga sebagai syarat peneliti untuk memperoleh gelar sarjana.

b) Bagi Instansi Terkait

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya konflik di dalam legislatif serta memberikan tawaran resolusi konflik.

(17)

c) Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapakan mampu memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dan nantinya dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian terkait.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu juga informasi EPS perusahaan yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan merupakan hal yang utama diperhatikan oleh investor

Tid Refund Marital Status Taxable Income Cheat 1 Yes Single 125K No 2 No Married 100K No 3 No Single 70K No 4 Yes Married 120K No 5 No Divorced 95K Yes 6 No Married 60K No 7

Dari beberapa hasil temuan bahwa, pengorganisasian humas dalam mewujudkan visi-misi di Madrasah Aliyah Syarifuddin Desa Wonorejo, Kecamatan Kedungjajang,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kadar air serta kerapatan kayu lamina dari jenis Malau dan Palele dengan kayu solidnya;

Metode ini lebih dikenal dengan metode Center Of Area (COA) atau pusat dari suatu area. Nilai crisp keluaran ditentukan dari titik pusat dari luasan

Ketika pada isu linkungan pada umumnya peran aktor non-negara sangat kuat, dalam kebijakan whaling Jepang, justru terlihat kuatnya peran elit birokrasi dalam memperjuangkan norma

Dalam kaitan sebagai sebuah integrasi ekonomi regional SAARC masih terjadi kekurangan-kekurangan di tahap membuat kebijakan bersama dalam menentukan pengurangan

Pasien pada umumnya akan menunjukkan respon yang maladaptive seperti menyalahkan Tuhan atas sakit yang diderita, tidak bisa menerima dirinya yang sekarang, gampang