• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)

Untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan lahan yang kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Undang-undang Nomor 41 tahun 1999).

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Departemen Kehutanan, 2003b).

Departemen Kehutanan, menggunakan istilah khusus untuk mendefenisikan upaya rehabilitasi berdasarkan status dan lokasi lahan atau area proyek rehabilitasi. Pertama adalah reboisasi, atau reforestasi atau rehabilitasi hutan yaitu kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Kedua adalah penghijauan atau aforestasi atau rehabilitasi lahan yaitu kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di luar kawasan hutan yaitu pada lahan masyarakat. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia telah dilaksanakan di 400 lokasi. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diklasifisikan sebagai berikut (Departemen Kehutanan dalam Tim CIFOR dan Litbang Dephut, 2004) :

a. 1950 – 1980 : Pendekatan top down.

b. 1990 – pertengahan 1990 : transisi dari pendekatan top-down menuju pendekatan partisipatif.

c. Akhir 1990 – sampai sekarang : penekanan pada pendekatan partisipatif.

Untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang semakin parah, Departemen Kehutanan telah mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang dimulai pada tahun 2003.

(2)

GERHAN merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang efektif dan efisien (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). Program ini bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS), serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GERHAN ini meliputi dua ruang lingkup yaitu :

1. Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan GERHAN ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu, a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan

Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan adalah kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum.

b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi

Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, dan lain-lain), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan.

2. Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah kegiatan GERHAN diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani.

(3)

2.2 Aspek Teknis

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Maluku (2006), aspek teknis yang sangat penting dalam merealisasi kegiatan GERHAN adalah perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta pengendalian. Tahapan teknis selanjutnya dijabarkan ke dalam komponen-komponen kegiatan, dengan memperhatikan kelayakan lokasi, kelayakan jenis tanaman sesuai kondisi biofisik wilayah, dan pelaksanaan teknis kegiatan di lapangan merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan.

2.3 Aspek Sosial Ekonomi

Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun keseluruhan) pada umumnya (Departemen Kehutanan 2005).

Dalam perkembangannya, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dimulai pada tahun 1960-an. Secara nasional program ini dicanangkan sebagai program penyelematan hutan dan air. Dalam pelaksanaannya selama masa orde baru, bahkan sampai masa Reformasi, program ini belum berhasil dengan baik. Luasan lahan yang direhabilitasi dan hutan yang terselamatkan belum maksimal (Kartasubrata 1986).

Bila dicermati lebih jauh, fakta ketidakberhasilan tersebut karena faktor-faktor teknis (teknik pertanian/silvikultur yang tidak sesuai dengan lokasi), maupun faktor kesesuaian teknik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat (Departemen Kehutanan 2005). Misalnya disebabkan karena kemungkinan oleh keterlibatan petani dalam tahapan perancangan kegiatan, tanaman yang diberikan tidak disukai petani karena mengurangi ruang untuk tanaman semusim (yang dibutuhkan petani untuk kehidupan sehari-hari), pertumbuhan tanaman tidak menggairahkan (lambat), adanya larangan menebang,

(4)

minimnya bimbingan dan penyuluhan dalam hal perawatan/pemeliharaan tanaman. Selain itu , motif ekonomi juga turut mewarnai dimana penduduk menganggap lahan tersebut potensial untuk perladangan dan peternakan.

Dalam program ini, diharapkan disamping penerapan aspek kesesuaian tanaman dengan lokasi setempat, dipertimbangkan juga aspek kesesuaian dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Menurut Departemen Kehuatanan 2005, Pengelolaan hutan berbasis masyarakat alternatif pelaksanaan GERHAN, perbedaan persepsi dan cara pengelolaan serta pemanfaatan hutan seringkali menimbulkan konflik, baik secara vertikal (pemerintah dengan masyarakat) maupun horisontal (masyarakat dengan masyarakat). Sebagai catatan sejak tahun 1973 sampai 2003, berbagai kasus benturan kepentingan dalam pengelolaan hutan telah terjadi, dimana yang paling banyak adalah benturan kepentingan ekonomi pada kawasan hutan hutan bahkan termasuk pada kawasan yang harusnya dilindungi.

Untuk menghindarkan konflik dalam pengelolaan hutan diperlukan perubahan pendekatan pengelolaan, dimana kehutanan bukan lagi semata-mata dimonopoli oleh negara saja, tetapi milik seluruh pelaku kehutanan yakni masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Diperlukan kerjasama dan keterlibatan para pihak tersebut untuk mengurangi laju degradasi hutan serta memperbaikinya dengan menghindari konflik.

Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka tersebut adalah merancang GERHAN, yang dalam pelaksanaanya membuka ruang yang sangat besar bagi para pihak untuk berpartisipasi. Masyarakat sebagi pelaku, pelaksana serta sasaran program tersebut seyogianya menangkap peluang tersebut, berpartisipasi dan berperan aktif untuk mengembangkannya.

2.4 Aspek Kelembagaan

2.4.1 Pengertian Kelembagaan

Kelembagaan/institusi didefenisikan sebagai aturan dalam masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan hubungan-hubungan (Rodgers 1994 diacu dalam Nugroho 2003). Sedangkan North (1990) diacu dalam Nugroho (2003), menjelaskan bahwa

(5)

kelembagaan/institusi adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun ekonomi. Ada dua arti berbeda menyertai defenisi tersebut, pertama merujuk pada organisasi dan kedua merujuk pada aturan main, norma-norma dan larangan-larangan dalam mengatur perilaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kedua-duanya sangat relevan untuk membahas masalah-masalah pertukaran, karena dalam pertukaran terjadi interaksi antar individu yang memerlukan aturan main sekaligus pengorganisasian.

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti organisasi pemerintah, bank, koperasi, pendidikan dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunaknya. Karena itu, masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk membangun kelembagaan secara utuh, termasuk mengidentifikasi kemitraan yang terjadi, kontrak yang melandasi kemitraan, principal – agents relationship, property rights, collecticve action dan lain-lain.

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu pranata sosial yang mengatur sistem perilaku dan hubungan-hubungan untuk memenuhi kebutuhan khususnya dalam kehidupan masyarakat. Menurut Kartodihardjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hokum yang berlaku dan instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi.

Menurut Wibowo dan Soetino (2003) kelembagaan mengandung 3 komponen utama yaitu :

1. Kepemilikan, hal ini mengandung makna sosial yang berasal dari adanya konsep hak (right) dan kewajiban (obligation). Batas kepemilikan ini

(6)

didefenisikan atau diatur oleh hukum, adat/tradisi/konsesus, norma atau peraturan.

2. Kewenangan, wilayah atau otoritas suatu lembaga atau mengadung kedua-duanya. Hal ini sangat penting dalam suatu organisasi/institusi untuk menetukan siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh.

3. Representasi, mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dan bagaimana proses pengambilan keputusan.

2.4.2 Konsep Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu. North (1990) diacu dalam Nugroho (2003) yang menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:

1) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud.

2) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh

(7)

komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia. Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya (institution without sactions is useless).

3) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.

4) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.

Menurut Nugroho dan Kartodihardjo (2009) Institutional arrangement (property regime) atas hak kepemilikan dapat bermacam‐macam, yaitu (1) hak milik pribadi (private property), (2) milik Negara (state property), (3) hak milik komunal/ adat/ulayat (communal property), (4) milik umum (public property), (5) hak atas manfaat (user rights), dan (6) tidak berpemilik (open access property or no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable).

(8)

Menurut FAO (2002), sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan sebagai berikut:

a. Milik Pribadi (Private Property )

Kepemilikan diberikan kepada suatu badan privat yang terdiri dari satu orang/individu, suami istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta maupun nirlaba. Pada golongan tanah ini badan privat tersebut dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut (sesuai dengan aturan yang berlaku) untuk kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat dapat diberikan hak kepada individu untuk membuka kebun.

b. Milik Komunal – Adat, Ulayat (Communal (common) Property)

Tanah jenis ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu digunakan untuk menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan anggota kelompok. Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut.

c. Tidak Berpemilik (Open Access Property or no-property right)

Pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai “pemilik” dari tanah atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja dapat mengambil manfaat dari sumber daya tersebut. Sebagai contoh perairan laut lepas dimana nelayan dapat mengambil ikan.

d. Milik Publik atau Umum (Public Property)

Lahan jenis ini merupakan lahan yang hak kepemilikannya diklaim oleh negara. Tanggung jawab pengelolaannya diserahkan pada satu sektor tertentu dalam pemerintah. Contohnya adalah di Indonesia, sebagain besar wilayah hutan yang diklaim sebagai hutan negara berada di bawah tanggung jawab Departemen Kehutanan.

2.4.3 Konsep Aksi Kolektif (Collective Action)

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa kawasan hutan negara pada umumnya merupakan Common Pool Resources (CPRs) yang bersifat

(9)

non‐excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis (free rider). Pada situasi demikian, CPRs cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin, 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Mereka mengatakan bahwa banyak bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi (private property) mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa dalam membangun aksi kolektif bukan merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi kolektif yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1) Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan keefektifan aksi kolektif. 2) Penunggangan gratis (free riders) yang muncul seringkali tidak segera

ditindak sehubungan dengan kedekatan‐kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak‐ pihak lain.

3) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat diharapkan, semakin mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi kolektif pada masyarakat yang heterogen.

(10)

4) Aksi‐aksi kolektif membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan biaya transaksi (transaction costs) yang lebih mahal dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral.

5) Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua (one size fits all), padahal pada kenyataannya multi aspirasi.

6) Aksi kolektif memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh (indirect benefits) dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan (non mutual), serta hasil‐hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral (moral hazard), penunggangan gratis dan perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy of the common.

7) Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu‐individu yang terlibat.

8) Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan principal‐agent problem dan memerlukan agency costs yang mahal.

9) Apabila wakil yang ditunjuk adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena “exploitation of the majority by minorities”, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi.

10) Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu‐individu yang terlibat, maka principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil‐ wakilnya (rationally ignorant).

Nugroho dan Kartodihardjo 2009, tentu saja identifikasi kompleksitas membangun aksi kolektif seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk

(11)

menghindari aksi kolektif dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs. Mengingat kemanfaatan aksi kolektif yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain:

1) Membangun kesaling‐percayaan (trust) di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling‐percayaan akan mengurangi minat individu‐individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi (information, bargaining, monitoring, and enforcement costs) dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan sosial cohesion dapat ditingkatkan.

2) Penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub‐sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai. 3) Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar‐benar

dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh individu/ kelompok/ lembaga‐lembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif.

4) Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran (raising awareness), penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan‐kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna.

5) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila

(12)

keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan.

6) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban secara jelas dan tidak multi‐interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel.

2.4.4 Teori Kemitraan (Agency Theory)

Enggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan teori kemitraan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hierarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dengan demikian, terdapat dua aspek penting untuk menjelaskan tentang teori ini yaitu : (1) institusi pertukaran (institutional exchange) yang menyangkut masalah pemindahan hak kepemilikan (transfer of property rights), dan (2) masalah-masalah ketidaksepadanan informasi (asymmetric information).

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu aturan dalam masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan hubungan-hubungan (Rodgers 1994) diacu dalam Nugroho (2003). Sedangkan North (1990) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun ekonomi.

Pertukaran menyangkut hal kompleks, tidak saja menyangkut jual-beli barang dan jasa. Tampaknya teori ekonomi mikro tidak cukup lengkap untuk dapat menjelaskan masalah pertukaran yang kompleks tersebut. Pertama semua barang yang dipertukarkan homogenya, khususnya produk-produk pertanian. Kedua, tidak saja menyangkut pemindahan barang dan jasa tetapi juga meliputi pula pemindahan hak kepemilikan. Ketiga, apabila jual-beli diikat kontrak, pada kenyataannya sulit untuk meninggalkan kontrak tanpa adanya suatu kompensasi-kompensasi. Keempat, pembelian suatu barang tidak saja berarti memperoleh fisik barang tersebut, tetapi meliputi pula karakteristik-karakteristik barang yang lainnya, seperti rasa, kenikmatan, kehormatan dan lain sebagainya. Terakhir

(13)

adalah ketidaksepadanan informasi antara pembeli dan penjual, sehingga rentan terhadap perilaku oportunis.

Menurut Eggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003), terdapat tiga kategori hak kepemilikan, yaitu :

1. Hak guna (user rights) yaitu hak untuk menggunakan manfaat potensial yang sah oleh seseorang, termasuk mentransformasi secara fisisk, bahkan untuk merusaknya.

2. Hak untuk memperoleh pendapatan atau uang sewa atas asset. 3. Hak untuk memindahtangankan secara permanen ke pihak lain.

Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract” (Swadayamandiri 2008).

Implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi ataukah perilaku opportunistik bagi si Agen. Implikasi penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour). Mengapa hal ini terjadi? Karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Jensen & Meckling, (1976) diacu dalam Nugroho (2003) mengemukakan hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan principal(s) mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan agent(s) untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud agent(s). Hubungan ini selalu memunculkan masalah ketidak sepadanan informasi, karena agents (s) umumnya memiliki informasi yang lebih lengkap dan sempurna tentang keragaan dirinya dibandingkan yang dimiliki oleh principal(s).

(14)

Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect on another individual atau whenever one individual depends on the action of another (Gilardi 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat. Menurut Lane (2003), “…the modern democratic state is based on a set of principal-agent relationships in the public sector.” Principal-agent framework merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena pembuatan dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan dengan asimetri informasi, moral hazard, bounded rationality, and adverse selection.

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agents dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie 2002). Kasper dan Streit (1999) mengemukakan bahwa adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan.

2.4.5 Ketidaksepadanan Informasi (Asymmetric Information)

Pada umumnya pihak agent menguasai informasi tentang keragaan (work effort), keinginan-keinginan (preferences) dan motivasi (motives) yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi agent yang dimiliki oleh principal umumnya sangat terbatas. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan

(15)

dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (di luar manajemen). Para pengguna internal (para manajer) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.

Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara shareholder dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling 1976).

Tindakan earnings management telah memunculkan dalam beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, WorldCom dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al, 2006). Dalam kasus Enron misalnya, satu dampak yang sangat jelas yaitu kerugian yang ditanggung para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat dramatis dari harga per saham US$ 30 menjadi hanya US$ 10 dalam waktu dua minggu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan kelas dunia dapat mengalami hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan bangkrut justru setelah hasil audit keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar tanpa syarat”. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon 2005).

Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry), yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada

(16)

umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.

2.5 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat GERHAN

Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan yang menggunakan sumber-sumber untuk memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan dimana dikeluarkan biaya dengan harapan untuk memperoleh hasil pada waktu yang akan datang. Suatu proyek atau kegiatan hendaknya dipandang dari berbagai kelayakan (feasibility) diantaranya kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi. Untuk mengevaluasi kelayakan proyek digunakan analisis manfaat-biaya.

Analisa biaya-manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analisis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan total keuntungan dalam bentuk uang (Dunn 2003). Secara sederhana konsep analisa manfaat-biaya adalah mengenali manfaat (benefit) dan biaya (cost) atas proyek kemudian mengukurnya dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila nilai manfaat lebih besar daripada nilai biaya, maka proyek tersebut menuju alokasi faktor produksi yang efisien (Suparmoko 2006).

Gittenger (1986) menyebutkan bahwa biaya dalam analisa proyek adalah tiap barang dan jasa yang digunakan dalam suatu proyek yang akan mengurangi tujuan yang harus ditempuh tergantung dari sisi mana analisa dilakukan, sedangkan manfaat adalah tiap barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu proyek yang dapat meningkatkan pendapatan petani atau perusahaan atau menaikkan pendapatan nasional masyarakat/suatu negara.

(17)

Bahan pertimbangan yang menjadi kriteria kelayakan investasi proyek adalah :

(1) Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan atau yang diusulkan layak untuk dilaksanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

(2) Benefit Cost Ratio (BCR)

Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio (BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima, sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten. Dengan kata lain, kalau NPV mengatakan diterima, maka BCR juga mengatakan diterima dan sebaliknya kalau NPV mengatakan ditolak, maka BCR juga akan menolak

(3) Internal Rate Return (IRR),

Teknik perhitungan dengan IRR banyak digunakan dalam suatu analisis investasi, namun relatif sulit untuk ditentukan karena mendapatkan nilai yang akan dihitung diperlukan trial and error hingga pada akhirnya diperoleh tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. IRR dapat didefenisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria penilain digunakan tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan atau yang diusulkan layak untuk dilaksanakan, dan jika sebaliknya usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

(18)

2.6 Analisis Kepekaan (Sensitivity Analysis)

Menurut Nugroho (2003), analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan (sensitivity) sendiri diartikan sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan (misalnya nilai kini, nilai tahunan, tingkat pengembalian) yang disebabkan oleh adanya perubahan estimasi faktor-faktor yang berpengaruh.

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan teknik analisis ini sering digunakan analis, antara lain :

1. Disadari bahwa di dalam membuat proyeksi aliran kas terdapat ketidaksempurnaan estimasi yang menyangkut aliran kas masuk (manfaat-manfaat) dan keluar (biaya-biaya).

2. Adanya ketidakpastian (uncertainty) baik yang menyangkut harga-harga input dan output maupun estimasi produksi (produktivitas).

3. Adanya kemungkinan perubahan tingkat suku bunga bank, inflasi dan risiko-risiko di masa akan datang yang pada akhirnya berpengaruh terhadap besarnya tingkat pengembalian minimum aktraktif (TPMA). Pada analisis nilai kini, nilai rataan tahunan, dan rasio manfaat terhadap biaya, TPMA ditetapkan terlebih dahulu, untuk itu analis memandang perlu menguji hasil analisisnya apabila TPMA tersebut berubah.

(19)

2.7 Penelitian Sebelumnya

Berbagai penelitian mengenai Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam berbagai literatur yang ada, di antara nya adalah :

1. Penelitian Waluyo (1986) yang menyatakan, ketidaktanggapan akan faktor sosial budaya serta kebiasaan masyarakat setempat menjadi faktor penyebab ketidakberhasilan program reboisasi dan penghijauan di masa lalu. Disimpulkan pula bahwa di Pulau Samosir kepemilikan lahan adalah hak adat atau tanah marga.

2. Sipayung (1993), kegagalan program reboisasi dan penghijauan oleh minimnya keterlibatan petani dalam tahap perancangan kegiatan, tanaman yang diberi tidak disukai petani, pertumbuhan tanaman tidak menggairahkan (lambat), adanya larangan menebang, minimnya bimbingan dan penyuluhan dalam hal perawatan/pemeliharaan tanaman.

3. Hasil studi pada 2 kasus di Riau pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, baik yang dilakukan oleh pempus maupun pemda, belum disertai dengan upaya penguatan kelembagaan (Kartodihardjo 2006)

4. Widyastutik (2010), ada empat variabel penyebab kegagalan GERHAN yaitu perencanaan rehabilitasi, kemudahan hasil produksi, insentif/penghargaan, keterpaduan antara kegiatan rehabilitasi dengan perencanaan.

Referensi

Dokumen terkait

HASIL SELEKSI TAHAP I BEASISWA PPA TAHUN 2017 PTS : SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL

Dari bunyi kalimat ini sudah dapat kita tarik kesimpulan penetapan syarat- syarat penangguhan oleh instansi yang akan memberikan penangguhan adalah fakor yang

Pada rentan usia 40-60 tahun berdasarkan persentase jumlah usia 40-60 tahun yang menjawab, skor terbanyak responden melakukan kunjungan terakhir ke pasar tradisonal di

Berdasarkan model dari hasil analisis regresi topografi memiliki pengaruh paling tinggi dengan konstanta yaitu sebesar 0,915 yang artinya penghuni perumahan formal

masing gaya kognitif (field dependent dan field independent), manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara model pembelajaran

Sasaran tinjauan pelaksanaan evaluasi dalam penelitian ini, adalah menciptakan kemampuan guru sebagai evaluator dalam mengupayakan semaksimal mungkin mengaplikasikan prinsip-prinsip

Yaitu Kriya Rakyat (Folk Craft) yang dapat dipakai serta beredar luas pada semua golongan masyarakat.. Jenis Kriya Rakyat sangat mengedepankan nilai fungsi yang dimiliki oleh