MODIFIKASI PATI WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris)
DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT)
SERTA KARAKTERISTISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN
SIFAT FUNGSIONALNYA
SKRIPSI
KEVIN ANGGA SAPUTRA
F24070108
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) STARCH
MODIFICATION BY HEAT MOISTURE TREATMENT AND
CHARACTERIZATION OF ITS PHYSICO-CHEMICAL AND
FUNCTIONAL PROPERTIES OF MODIFIED WALUR STARCH
Kevin Angga Saputra, Elvira Syamsir, and Eko Hari Purnomo
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering
and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX
220, Bogor 16002, West Java, Indonesia
Phone: +62 817 660 5092, E-mail: kevin_angga_saputra@yahoo.com
ABSTRACT
Walur is one of Indonesia’s indigenous tuber. Walur contains significant
amount of carbohydrate. However, native starch extracted from walur has limited
application due to its heat unstability. Therefore modification is needed to increase
heat stability of walur starch. The starch is modified through Heat Moisture
Treatment (HMT). The objective of this research is to study the influence of
temperature and time on walur stach charactheristics. Native walur starch with
moisture content of 17% is heated at 100
oC and 110
oC in dry air oven for 6, 8, and
10 hours in closed container. The modified starch is analyzed for it pasting
behaviour, swelling power, solubility, gel texture characteristics, freeze-thaw
stability, starch granule morphology, starch birefringence, and starch melting
characteristic.
The results shows that HMT decreases peak viscosity, breakdown viscosity,
swelling power and solubility, gel strength and elasticity, and melting enthalpy of
starch. Modified walur starch has higher onset temperature (T
o), peak temperature
(T
p), and final temperature (T
c).HMT increases heat stability of walur starch without
significantly changes its birefringence property and granule morphology. It is also
found that HMT increase syneresis of walur starch gel.
KEVIN
ANGGA
SAPUTRA.
F24070108.
Modifikasi
Pati
Walur
(Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment
(HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya. Di
bawah bimbingan Elvira Syamsir dan Eko Hari Purnomo. 2012.
RINGKASAN
Spesies Amorphophallus campanulatus (suweg dan walur) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14,2%. Selama ini, suweg sudah banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, sedangkan walur merupakan tanaman liar di hutan yang belum dimanfaatkan, mengandung serat kasar dan rasanya sangat gatal akibat tingginya kadar kalsium oksalat, sehingga sampai saat ini walur tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan oleh petani pembudidaya iles-iles atau porang dianggap sebagai hama. Pati umbi walur memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pengganti terigu.
Modifikasi secara fisik yaitu heat-moisture treatment (HMT) dipilih karena proses modifikasi yang hanya melibatkan panas sehingga menghasilkan pati yang lebih aman. Modifikasi HMT dilakukan menggunakan oven udara kering. Untuk mendukung aplikasinya, perlu diketahui pengaruh proses HMT terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi yang dihasilkan.
Untuk mengetahui waktu pemanasan yang sesuai pada modifikasi HMT dengan oven udara kering, dilakukan penelitian pendahuluan dengan pengujian penetrasi panas dan penentuan waktu HMT. Dari hasil penelitian pendahulan tersebut diketahui bahwa pemanasan selama 3 jam cukup memberi waktu untuk titik terdingin pada wadah aluminium yang digunakan untuk mencapai suhu yang diinginkan dan pemanasan selama 6 jam cukup untuk memberikan perubahan profil amilograf yang diinginkan. Modifikasi HMT kemudian dilakukan pada suhu 100oC dan 110oC serta waktu pemanasan 6 jam, 8 jam, dan 10 jam.
Modifikasi HMT dengan menggunakan oven udara kering mampu merubah profil pasting, kapasitas pembengkakan, karakteristik tekstur gel, kestabilan terhadap sineresis, dan karakteristik termal pelelehan granula pati walur. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting dan menurunkan viskositas puncak (VP), viskositas breakdown (VBD), dan viskositas balik (VB) pada pati walur. Pati walur hasil modifikasi HMT juga menunjukkan penurunan kapasitas pembengkakan jika dibandingkan dengan pati kontrol. Selain itu, pati walur HMT juga menunjukkan kenaikan nilai kekerasan gel, dan penurunan nilai elastisitas, nilai kohesifitas, dan nilai kelengketan pada gel pati walur. Pada akhirnya, HMT pada pati walur cenderung menurunkan kestabilan terhadap sineresis. Kata kunci: pati walur, HMT, modifikasi pati
MODIFIKASI PATI WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris)
DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT)
SERTA KARAKTERISTISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN
SIFAT FUNGSIONALNYA
SKRIPSI
Sebagai Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KEVIN ANGGA SAPUTRA
F24070108
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul : Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris)
dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat
Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya
Nama : Kevin Angga Saputra
NRP : F24070108
Menyetujui,
Mengetahui:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Modifikasi Pati
Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012 Yang membuat pernyataan
Kevin Angga Saputra F 24070108
© Hak cipta milik Kevin Angga Saputra, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm
BIODATA PENULIS
Kevin Angga Saputra, lahir di Jakarta, 26 Juli 1989 dari ayah Jo Joyoatmo dan ibu Ang Lan Hoa, sebagai putera pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMAK3 BPK PENABUR Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti program perkuliahan penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten praktikum mata kuliah kimia dasar dari tahun 2008 hingga 2009 dan mata kuliah praktikum teknik pangan pada tahun 2010. Penulis juga memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Dirjen. Pendidikan Tinggi Negeri Republik Indonesia.
Penulis juga pernah menghadiri beberapa training dan seminar diantaranya sebagai oral presenter pada Go Organic Seminar di Bangkok pada tahun 2009, sebagai panitia acara training HACCP yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB pada tahun 2009, dan sebagai peserta pada Seminar Pangan dan Gizi Nasional pada tahun 2012. Pada tahun 2008, penulis tampil sebagai moderator pada acara National Student Paper Competition yang juga diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.
Penulis juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler antara lain dengan menjadi staf bidang external and
competition Dept. tahun 2010 IPB Debating Community, pengajar responsi kimia PMK periode tahun
2008 hingga 2010, pengajar responsi kalkulus PMK periode tahun 2009, anggota tim penyuluh Ksatria Peduli Pangan, Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB tahun 2010, dan sebagai anggota paduan suara natal CIVA IPB pada tahun 2010.
Prestasi di bidang akademik dan entrepreneur yang pernah diraih penulis antara lain sebagai partisipan 8th TRUST by DANONE: International Business Game yang diselenggarakan oleh Danone group, medali emas presentasi poster dan medali perunggu untuk presentasi oral pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2009, Semi-finalis IPB Art Contest cabang seriosa pada tahun 2011, dan sebagai finalis POLYU Innovation and Entrepreneurship Global
Student Competition, sebuah kompetisi ide bisnis skala internasional yang diadakan oleh The Hong
Kong POLYTECHNIC UNIVERSITY, Hong Kong pada tahun 2011.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan yang Maha Kuasa atas Karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan
Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya”
berhasil diselesaikan. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Keluarga tercinta, Papa, Mama, dan Adik penulis, Alvin, atas doa, harapan, dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
2. Ibu Elvira Syamsir dan Bapak Eko Hari Purnomo selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, nasihat, teguran, dan motivasi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Bapak Asep W. Permana selaku pembimbing lapang yang memberikan banyak masukan selama penelitian berlangsung.
4. Bapak Azis Boing Sitanggang atas kesediaannya sebagai dosen penguji serta saran yang diberikan dalam proses pembuatan skripsi ini.
5. Segenap staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membekali penulis dengan ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga.
6. Seluruh teknisi laboratorium atas dukungan yang diberikan, Pak, Wahid, Pak Gatot, Pak Yahya, Ibu Rubiah, Ibu Antin, Pak Ilyas, Pak Jun, Mas Edi, Mbak Ira, Mas Imam, Mbak Vera, dan Mas Aldi.
7. Segenap teknisi Balai Besar Pasca Panen, Pak Adom, Pak Idris, Pak Asep, Pak Bambang, dan nama-nama lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
8. Teman-teman Responsi Kopelkhu, Kak Esther, Bang Kris, Bayu, Marissa, Amel, Priskila, Yesua dan keluarga besar PF FATETA serta PMK IPB.
9. Teman-teman semasa penelitian, William, Marissa, Dimas, Ichank, Ratih, Rozak, Mbak Mus, Dati, Mas Akili, Kak Dede, Adi, Anisa, Eddy, Phom, Bew, Beam, Peace, dan Ton. 10. Angel, Micha, Manaz, Yesua, Ferdi, Eddy, Marissa, Dimas, Septi, Anisa, Adi, Aaya, Priskila, Fitri, Mbak Widi, Niko, dan Elizabeth atas dukungan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi berlangsung.
11. Seluruh rekan-rekan ITP 43, 44, dan 45 khususnya yang tergabung di dalam tim Kapangan dan HIMITEPA 2010 dan 2011.
12. Teman-teman satu bimbingan, Mbak Widi, Pak Azis, dan Kak Prita.
Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat kepada semua yang membaca dan menggunakannya.
Bogor, Maret 2012
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...ii
DAFTAR ISI ...iii
DAFTAR TABEL...iv
DAFTAR GAMBAR ...v
DAFTAR LAMPIRAN ...vi
I. PENDAHULUAN ...1
II. TINJAUAN PUSTAKA...3
A. Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvestris) ...3
B. Pati...4
C.Modifikasi Pati ...6
III. METODE PENELITIAN...10
A. Bahan dan Alat ...10
B. Metode Penelitian ...10
C. Metode Analisis ...13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...20
A. Karakteristik Pati Walur Alami ...20
B. Modifikasi Pati Walur dengan Heat-Moisture Treatment ...22
C. Karakteristik Pati Walur HMT ...25
D. Evaluasi Pengaruh Faktor Proses dan Penentuan Kondisi HMT Terpilih ...38
V. SIMPULAN DAN SARAN ...41
DAFTAR PUSTAKA ...42
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data proksimat umbi walur dan suweg ...3
Tabel 2. Struktur dan komposisi beberapa granula pati ...4
Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati...6
Tabel 4. Data fisikokimia umbi walur dan pati walur ...21
Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17% ...26
Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur kontrol dan modifikasi HMT kadar air 17% ...29
Tabel 7. Hasil analisis kapasitas pembengkakan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA ...31
Tabel 8. Hasil analisis kelarutan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA ...32
Tabel 9. Hasil analisis karakteristik tekstur gel pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA ...32
Tabel 10. Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih...38
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur...11
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan pati walur termodifikasi ...12
Gambar 3. Diagram alir analisis pati walur ...13
Gambar 4.Posisi termokopel dalam wadah HMT ...23
Gambar 5. Data profil penetrasi panas pati sagu kadar air 17%...24
Gambar 6. Data RVA pati sagu HMT selama 3 jam dan 6 jam ...25
Gambar 7. Granula pati walur dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x ...27
Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100oC ...28
Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasipada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110oC ...28
Gambar 10. Grafik pengaruh HMT terhadap kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan modifikasi HMT dan modifikasi pada kadar air 17% ...33
Gambar 11.Grafik pengaruh HMT terhadap kelarutan pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...33
Gambar 12. Grafik pengaruh HMT terhadap kekerasan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...35
Gambar 13. Grafik pengaruh HMT terhadap elastisitas gel pati walur kontrol dan modfikasi pada kadar air 17% ...35
Gambar 14. Grafik pengaruh HMT terhadap kohesifitas gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...36
Gambar 15. Grafik pengaruh HMT terhadap kelengketan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...36
Gambar 16. Grafik pengaruh HMT terhadap freeze-thaw stability pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...37
Gambar 17. Grafik pengaruh HMT terhadap karakteristik termal pelelehan granula pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% ...39
Gambar 18. Granula pati walur alami dan termodifikasi dengan kadar air 17% pada beberapa perbesaran dilihat menggunakan Scanning Electrone Microscope ...40
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur ...49
Lampiran 2 Diagram alir proses pembuatan pati walur termodifikasi HMT ...50
Lampiran 3. Data rendemen ekstraksi pati walur ...51
Lampiran 4. Karakteristik fisikokimia pati walur ...52
Lampiran 5. Kadar air pra-HMT ...53
Lampiran 6. Karakteritik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17% ...54
Lampiran 7. Kapasitas pembengkakan dan kelarutan pati kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17% ...55
A. Kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17% ...55
B. Kelarutan pati walur alami dan pati walur HMT pada kadar air 17% ...56
Lampiran 8. Karakteristik tekstur gel pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...57
Lampiran 9. Freeze-thaw stability pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...58
Lampiran 10. Analisis t test dan ANOVA pada karakteristik pasting gel pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17% ...59
A. Lampiran data t test ...60
B. Lampiran data ANOVA ...61
Lampiran 11. Analisis t test dan ANOVA pada kapasitas pembengkakan granula dan kelarutan pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17% ...64
A. Lampiran data t test ...64
B. Lampiran data ANOVA ...65
Lampiran 12. Analisis t test dan ANOVA pada karakteristik tekstur gel pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17% ...68
A. Lampiran data t test ...68
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang sangat cepat dan kompleks. Perkembangan lingkungan global, seperti global climate change dan meningkatnya harga minyak dunia, telah mendorong kompetisi penggunaan hasil pertanian untuk pangan (food), bahan energi (fuel), dan pakan ternak (feed) yang makin tajam. Di samping itu, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan pangan tertentu dikhawatirkan akan mengancam ketahanan pangan dan gizi nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pangan dan gizi ini dengan pengembangan sumber karbohidrat non beras dan non terigu. Pengembangan umbi-umbian dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah ketergantungan yang tinggi akan beras dan terigu tersebut.
Pengembangan umbi-umbian memerlukan sentuhan teknologi untuk menghasilkan produk antara berupa tepung yang lebih awet, mudah diolah untuk menghasilkan berbagai produk, serta untuk menjamin kontinuitas pasokan. Pengembangan tepung dari umbi-umbian, secara strategis sebenarnya juga merupakan upaya melepaskan ketergantungan masyarakat negara miskin dan berkembang, dari pengaruh kapitalisme modern. Sebab tepung gandum, diproduksi oleh negara-negara maju dengan modal yang kuat.
Beberapa jenis umbi-umbian asli negeri kita adalah suweg dan walur (Amorphopalus
campanulatus), juga iles-iles (Amorphophalus conyak dan Amorphophallus rivieri). Iles-iles
pada saat ini sudah banyak dimanfaatkan untuk dibuat konyaku, salah satu produk pangan fungsional. Sementara suweg dan walur yang merupakan kerabat dekatnya masih kurang dikembangkan. Spesies Amorphophallus campanulatus (suweg dan waluh) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14,2 (Othsuki, 1968). Secara tradisional, suweg digunakan sebagai sumber karbohidrat oleh masyarakat awam. Namun walur belum dimanfaatkan dan masih merupakan tanaman liar yang tumbuh di hutan.
Kendala yang dihadapi dalam penggunaan walur adalah tingginya kadar klasium oksalat dan serat kasar. Namun demikian, Purnomo dan Risfaheri (2010) menyatakan bahwa kadar kalsium oksalat dalam pati walur dapat dikurangi sampai 93.7%. Dengan demikian pemanfaatan pati walur terbuka lebar karena kandungan oksalat yang menjadi kendala dalam pemanfaatan pati walur dapat dikurangi secara signifikan.
Pati walur cenderung tidak tahan terhadap panas sehingga sulit untuk digunakan dalam industri pangan yang membutuhkan suhu tinggi selama pengolahan produk pangan. Oleh karena itu dibutuhkan modifikasi pada pati walur untuk membuat pati walur menjadi lebih tahan terhadap panas.
Modifikasi dilakukan untuk memperbaiki profil pati alami baik sifat fisikokimia maupun sifat fungsional sehingga penggunaan pati menjadi lebih spesifik. Modifikasi yang dapat dilakukan meliputi modifikasi secara kimia dan secara fisik. Penelitian kali ini menggunakan metode modifikasi secara fisik dengan menggunakan panas dan kelembaban (Heat Moisture
Treatment) atau umum disebut sebagai HMT dengan alat pemanas berupa oven. Metode HMT
dipilih karena akan meningkatkan ketahanan panas pati hasil modifikasi. Metode modifikasi fisik dipilih karena mudah untuk diterapkan dan tidak mengandung risiko yang besar karena tidak menggunakan bahan kimia sintetik selama proses modifikasi. Sedangkan alasan penggunaan alat pemanas berupa oven agar penerapan di lapangan terutama pada industri kecil dan
2 menengah mudah untuk dilakukan karena menggunakan alat pemanas yang murah, mudah untuk didapatkan, dan mudah untuk dioperasikan. Dengan demikian diharapkan penelitian kali ini dapat menambah nilai jual pati walur, dan bermanfaat untuk dikembangkan dalam sektor usaha kecil dan menengah sehingga dapat memajukan perekonomian nasional dan dapat membantu program diversifikasi pangan nasional dengan mengangkat bahan baku pangan asli Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu proses HMT terhadap karakteristik pati walur termodifikasi Heat Moisture Treatment dengan aplikasi oven udara kering.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)
Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili
Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal yang terpecah-pecah dan berbatang kasar
dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tanaman ini berasal dari Asia Tropika dan tersebar di Malaysia, Jawa, Filipina, sampai ke kepulauan Pasifik. Menurut Kriswidarti (1980) seperti yang dikutip oleh Mukhis (2003), tanaman walur dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya membutuhkan suhu antara 25 oC – 35 oC dengan curah hujan antara 1000 – 1500 mm/tahun. Ukuran umbi walur bisa mencapai diameter lebar 40 cm. Bentuknya bundar agak pipih. Tinggi umbi bisa mencapai 30 cm.
Penelitian oleh Purnomo dan Risfaheri (2010) melaporkan bahwa umbi walur memiliki kadar air sebesar 74.46%, kadar lemak sebesar 3.68%, kadar abu 1.25%, kadar protein 1.64% dan kadar karbohidrat sebesar 18.97% (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan oleh umbi iles-iles (Das et al. 2009), umbi yang satu famili dengan umbi walur, namun sudah dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Menurut Kriswidarti (1980) seperti yang dikutip oleh Richana dan Sunarti (2004), terdapat dua varian dari spesies
Amorphopallus campanulatus yaitu varian sylvestris dan varian hortensis. Varian sylvestris lebih
dikenal dengan nama walur sementara varian hortensis lebih dikenal dengan nama suweg. Selama ini pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat hanya terbatas pada varian hortensis atau suweg dikarenakan tinginya kandungan oksalat pada varian sylvestris atau walur sehingga menyebabkan gatal ketika diolah dan dikonsumsi. Adapun perbandingan komposisi umbi walur dan suweg dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data proksimat umbi walur dan umbi suweg No. Kadar gizi (%) Walur a Suwegb 1. Kadar air 74.46 78.7 2. Kadar lemak 3.68 0.1 3. Kadar protein 1.64 1.2 4. Kadar abu 1.25 1.6 5. Kadar karbohidrat 18.97 18.4 a Purnomo et al. (2010) b Das et al. (2009)
Komponen lainnya dari umbi walur yang perlu mendapatkan perhatian dalam penanganannya adalah kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat pada umbi walur dapat menyebabkan rasa gatal. Rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun oleh kalsium oksalat yang disebut raphide (Bradbury dan Nixon, 1998). Kristal kalsium oksalat merupakan produk buangan dari metabolism sel yang sudah tidak digunakan lagi oleh tanaman (Nugroho, 2000).
4
B. Pati
1. Karakteristik pati
Pati merupakan cadangan energi terbesar pada tanaman seperti serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan tanaman lainnya. Pati ditemukan pada hampir seluruh organ tanaman seperti biji, buah, dan umbi serta umumnya digunakan sebagai sumber energi bagi tanaman pada periode dormansi dan pertumbuhan (Jobling, 2004). Beberapa organ tanaman yang berperan sebagai tempat penyimpanan pati, seperti biji pada tanaman jagung dan padi atau umbi pada tanaman singkong dan ubi jalar, merupakan makanan pokok yang biasa dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, pati merupakan sumber energi yang sangat penting karena menyumbangkan sekitar 60-70% energi berupa suplai eksogenous glukosa (Roder et
al., 2005).
Molekul granula pati memiliki sifat birefringent dan sifat maltosecross. Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa pati. Karakteristik ini juga mengindikasikan bahwa molekul pati memiliki pola pengaturan kristanilitas.
Granula pati tersusun atas dua tipe polimer glukosa (α glukan) yaitu amilosa dan amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat kering (Tester et al., 2004). Rasio dari dua polisakarida ini sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman sumber patinya. Berdasarkan rasio kandungan amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan sebagai waxy starch yang mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal yang mengandung amilosa sekitar 20-35%, dan pati beramilosa tinggi yang mengandung amilosa dengan kadar di atas 40%. Granula pati dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari struktur kristalin dan amorphous. Bagian amorphous terdiri dari molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan amilopektin. Sedangkan rantai pendek amilopektin akan membentuk untaian heliks yang membentuk kristalin (Tester et al., 2004). Secara umum, karakteristik pati alami dari beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Struktur dan komposisi beberapa granula pati
Karakteristik pati Jenis pati
Walura Jagung Gandum Kentang Singkong Tipe Umbi akar Serealia Serealia Umbi
batang
Umbi akar Bentuk granula Bulat,
poligonal Bulat, poligonal Bulat, bimodal Oval, spherical Oval, pepat Ukuran granula (µm) 10-22 2-30 1-45 5-100 4-35 Fosfat (% b/b) - 0.02 0.06 0.08 0.01 Protein (% b/b) 1.53 0.35 0.4 0.06 0.1 Lipid (% b/b) 0.51 0.7 0.8 0.05 0.1
Kapasitas produksi dunia
(juta ton/tahun) - 39.4 4.1 2.6 2.5
5 Amilosa merupakan sumber polimer linier rantai panjang yang tersusun dari residu glukan yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan ikatan α-(1,6) pada setiap 100-3000 residu glukan. Amilosa memiliki bobot molekul sekitar 5x105-1x106 Da dengan derajat polimerisasi 103-104 (Roder et al., 2005). Molekul amilosa bersifat hidrofilik karena mengandung banyak gugus hidroksil pada senyawa polimernya. Struktur dan ukuran amilosa sangat bervariasi tergantung pada sumber patinya. Semakin besar ukurannya, percabangan pada molekul amilosa akan semakin banyak. Untaian heliks amilosa dapat berikatan dengan iodin menghasilkan kompleks dengan warna biru gelap yang menjadi dasar dalam penentuan kadar amilosa. Amilosa juga dapat berikatan dengan molekul lipid internal membentuk kompleks amilosa-lipid yang dapat membatasi penyerapan air ke dalam granula pati (Putseys et al., 2009).
Amilopektin terdiri dari rantai glukosa yang berbobot molekul lebih besar dan lebih bercabang. Amilopektin tersusun dari unit molekul anhidroglukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dengan percabangan pada ikatan α-(1,6) pada setiap residu 20 glukan. Molekul ini memiliki bobot molekul sekitar 107 Da dengan derajat polimerisasi 5x104-5x105. Rata-rata molekul amilopektin memiliki panjang 200-400 nm dan lebar 15 nm dengan percabangan terdistribusi teratur pada interval 7-10 nm (Roder et al., 2005). Adanya titik percabangan pada molekul amilopektin mengakibatkan kuatnya ikatan linier rantai pendek sehingga membentuk
double helix yang menjadi dasar bagi terbentuknya struktur semikristalin pada granula pati
(Jobling, 2004).
Selain berdasarkan rasio amilosa-amilopektin yang terkandung di dalam granulanya, pati juga dapat diklasifikasikan berdasarkan profil gelatinisasinya. Berdasarkan klasifikasi Scoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Chansri et al. (2005), terdapat empat tipe profil amilografi pati berdasarkan pengukuran profil gelatinisasi pati oleh brabender. Pati tipe A memiliki kemampuan pengembangan yang besar dan biasanya terdapat pada pati umbi-umbian seperti ubi jalar dan singkong ataupun waxy starch. Pati tipe B banyak ditemukan pada serealia, memiliki kemampuan pengembangan yang besar, dan menunjukkan viskositas pasta yang rendah. Pati tipe C memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas, tidak menunjukkan viskositas puncak bahkan menunjukkan viskositas konstan ataupun peningkatan viskositas selama pemasakan. Pati jenis ini banyak terdapat pada jenis Leguminaceae dan pati
cross bonded. Pati tipe D merupakan tipe pati dengan pengembangan sangat terbatas yang
bahkan tidak bisa cukup mengembang untuk memberikan viskositas pasta selama pemasakan. Jenis pati ini umunya ditemukan pada pati dengan kadar amilosa lebih dari 55%.
2. Gelatinisasi pati
Pati tersusun atas molekul-molekul yang bersifat hidrofilik, namun granula pati justru bersifat hidrofobik. Hal ini disebabkan karena struktur semikristalin di dalam granula dan adanya ikatan hidrogen yang terbentuk di antara gugus hidroksil di dalam polimer pati. Dalam air dingin, granula pati akan sedikit mengembang tetapi tidak larut air. Jumlah air yang diserap sangat bervariasi tergantung pada kadar air keseimbangannya. Pati dengan kadar air keseimbangan lebih tinggi akan menyerap air lebih banyak. Proses pengembangan ini bersifat dapat balik karena granula akan kembali ke bentuk semula setelah mengalami pengeringan.
Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dlam air berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan
6 dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat
birefringent pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak
dapat balik (Roder et al., 2005).
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat
birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati
adalah suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik masing-masing pati. Secara umum, kisaran suhu gelatinisasi aneka jenis pati 10-15 oC. Suhu gelatinisasi dari beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum Walur 53-64 82.55
Sumber: Fennema (1996); Purnomo dan Risfaheri (2010)
C. Modifikasi Pati (Heat-Moisture Treatment)
Setiap jenis pati memiliki karakteristik yang khas serta sifat fungsional yang berbeda. Oleh karena itu penggunaan pati dalam industri pangan harus disesuaikan dengan karakteristik pati yang akan digunakan. Produsen pangan olahan berbasis pati umumnya menetapkan beberapa kualifikasi tertentu terhadap pati yang akan digunakan.
Beberapa persyaratan tersebut antara lain adalah, pati harus tahan terhadap shear yang tinggi yang terjadi selama proses pengolahan dan tahan terhadap pH rendah. Pati juga harus tahan terhadap suhu tinggi agar tahan pada proses sterilisasi ataupun pada suhu rendah agar dapat tahan pada suhu lemari pendingin sehingga dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Namun, pati alami biasanya tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan karena memiliki sifat fungsional yang terbatas. Untuk meningkatkan fungsionalitas pati alami maka dilakukan upaya modifikasi. Pati yang telah termodifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu kimia atau fisiknya sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki.
Secara garis besar, modifikasi pati dapat dilakukan melalui dua metode yaitu modifikasi secara fisik dan modifikasi secara kimia. Modifikasi pati dengan perlakuan kimia antara lain ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi, dekstrinasi, dan konversi asam (Light, 1990). Sedangkan salah satu bentuk modifikasi secara fisik adalah hydrothermal treatment. Menurut Stute (1992) hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati secara fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta pemanasan yang dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa merubah visualisasi granula pati. Perlakuan fisik untuk modifikasi pati cenderung lebih aman karena tidak merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan dengan perlakuan kimia (Collado et al., 2001).
7 Berdasarkan kondisi perlakuannya, hydrothermal treatment dibedakan menjadi dua yaitu annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Menurut Genkina et al. (2004), annealing merupakan bentuk modifikasi fisik yang melibatkan proses inkubasi pati pada kadar air berlebih dengan suhu pemanasan di antara suhu transisi gel dan suhu awal gelatinisasi yaitu sekitar 40-55
o
C. Perlakuan pemanasan pati dengan metode annealing dapat meningkatkan stabilitas granula (Hoover dan Vasanthan, 1994) serta dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi.
Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (<35% b/b) pada suhu 80-120 oC, di atas suhu gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16 jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta merubah derajat kristalinitas pati.
Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al., 2006). Pati ubi jalar hasil modifikasi HMT memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengadukan (shear stable) dengan kekerasan dan daya adhesi gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati alaminya (Collado dan Corke, 1999). Proses HMT dapat meningkatkan freeze-thaw stability, pati singkong (Abraham, 1993), membatasi kapasitas pembengkakan pati dan meningkatkan kualitas gel pada pati beras sehingga lebih dapat diaplikasikan dalam pembuatan mi berbasis pati (Hormdok dan Noomhorm, 2007).
1. Pengaruh kadar air
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukaan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005), perubahan tersebut sangat bergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola akhir yang khas dalam peningkatan suhu gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18% menjadi 21% meningkatkan kenaikan yang terjadi pada suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi 24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan set back yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 24%.
Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji nangka (Lawal dan Adebowale, 2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga 27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan penurunan set back, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati
8 termodifikasi dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang dimodifikasi dengan kadar air 27%.
Sementara itu menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada kadar air 23% dengan suhu 130oC menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-X dari tipe B menjadi tipe A. Tipe A dari struktur granula pati merupakan tipe difraksi sinar-X yang dimiliki oleh pati serealia alami.
2. Pengaruh sumber pati
Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa/amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi dengan HMT. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi kemudahan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air. Menurut Manuel (1996), pati polong-polongan termodifikasi HMT dari berbagai sumber dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa (amilose leaching), penurunan faktor pembengkakan granula (swelling factor), dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya (Hoover dan Manuel, 1996).
Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sesitif terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah (17.69%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi (46.15%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.
Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik HMT dapat menggeser tipe kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan viskositas breakdown, dan peningkatan viskositas set back. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur yang mempunyai kandungan amilosa paling rendah mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar.
Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa lebih rendah lebih mudah mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dimodifikasi HMT selama 4 jam dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16 jam menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B.
3. Pengaruh suhu dan kadar air
Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dengan air. Inhibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antara molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antara molekul tersebut kemudian digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air.
9 Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.
Studi yang dilakukan dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibendingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati termodifikasi pada suhu 130oC telah hilang sebagian.
4. Pengaruh waktu dan suhu
Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi jagung dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110oC selama 6 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada waktu dan suhu yang berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Lestari (2009), menunjukkan bahwa tepung jagung yang dimodifikasi HMT pada berbagai modifikasi suhu dan waktu yang berbeda menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi suhu 110oC dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai
swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung
yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya.
Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 110oC menjadi 120oC.
5. Pengaruh pH dan waktu
Menurut Collado dan Corke (1999), pH dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi profil gelatinisasi pari ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati ubi jalar (kandungan amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada pH asal (6.5-6.7) mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa (pH 10) pada berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam, dan 16 jam). Hal ini menunjukkan bahwa kestabilan pati yang dimodifikasi pada pH asal terhadap pemanasan dan pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan viskositas breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang termodifikasi pada pH asal maupun pH basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap pemanasan dan pengadukan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi kandungan oksalat. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, K2SO4,
HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, indikator metil merah-metil biru, NaOH-Na2S2O3, HCl 0.02N, kertas
saring Whatman no. 42, kapas, heksana, H2SO4 0.255N, NaOH 0.625N, K2SO4 10%, alkohol,
HCl 25%, NaOH 25%, larutan Luff Schrool, KI 20%, H2SO4 26.5%, Na2S2O3 0.1 N, indikator
pati, amilosa standar, NaOH 1N, asam asetat 1 N, larutan iod, dan minyak.
Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain neraca analitik, Polarized Light
Microscope, oven, desikator, labu Kjedahl, alat destilasi, cawan alumunium, cawan porselen,
tanur, kondensor, labu soxhlet, pH-meter, Whiteness meter, Hot Plate Magnetic Stirer, Spektrofotometer, Differential Scanning Calorimetry, Scanning Electron Microscope, Rapid
Visco-Analyzer, waterbath, sentrifuse, , Texture Analyzer, refrigerator, freezer, dan alat gelas
lainnya.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu pembuatan pati walur, karakterisasi pati walur, modifikasi pati walur dengan teknik heat moisture treatment (HMT), dan karakterisasi pati walur modifikasi HMT.
1. Pembuatan pati walur
Pembuatan pati walur dilakukan dengan mengacu pada Purnomo et al (2010) dengan modifikasi. Pembuatan pati walur dilakukan dengan dua tahap yaitu ekstraksi pati walur dan reduksi kalsium oksalat. Langkah pertama yang dilakukan adalah pengupasan dan pemarutan umbi walur. Kemudian hasil parutan diperas dengan menggunakan screw presser. Ampas dan hasil perasan dari screw presser kemudian dicampur kembali dan diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Hasil pengadukan kemudian dituang ke dalam wadah berlapis kain saring disertai penambahan air dan didiamkan selama semalam untuk mengekstrak pati walur. Endapan pati kemudian diambil dan dicampurkan dengan HCl 1.2N dengan perbandingan pati dan HCl sebesar 1:5.campuran diaduk dengan kecepatan 180 rpm selama 30 menit untuk mereduksi kandungan HCl pada pati walur. Setelah 30 menit, ditambahkan natrium bikarbonat sebanyak 0.6% dari volume campuran dan pengadukan dilanjutkan selama 5 menit. Setelah lima menit, pengadukan terus dilanjutkan dengan penambahan NaOH 10% b/b untuk menetralkan suspensi pati. Suspensi pati kemudian diendapkan selama semalam, diambil, dikeringkan pada suhu 60oC selama semalam, dan bongkahan pati yang didapat digiling kemudian disaring dengan saringan 100 mesh. Secara singkat, diagram alir pembuatan pati walur dapat dilihat pada Gambar 1.
11 Gambar 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur
12
2. Modifikasi pati walur dengan teknik HMT
Sebanyak 500g pati diatur kadar airnya hingga mencapai 17% dengan cara menyemprotkan akuades. Jumlah akuades ditentukan berdasarkan kesetimbangan massa. Formulasi perhitungan kesetimbangan massa sebagai berikut:
(100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2
Keterangan:
KA1 = kadar air kondisi awal (%bb)
KA2 = kadar air pati yang diinginkan (%bb)
BP1 = bobot pati pada kondisi awal
BP2 = bobot pati setelah mencapai KA2
Pati basah yang telah mencapai kadar air 17 %b/b selanjutnya diaduk dan ditempatkan di dalam plastik HDPE bertutup. Pati didiamkan dalam refrigerator selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Pati basah tersebut kemudian diberikan perlakuan HMT dengan cara dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC dan 110oC selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam untuk memperoleh pati modifikasi. Setelah didinginkan, pati walur modifikasi dikeringkan selama semalam pada suhu 40oC. Proses pembuatan pati walur modifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 2.
13
3. Karakterisasi pati walur dan pati walur HMT
Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis untuk mengetahui karakter seperti sifat fisikokimia pati walur. Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik terdiri atas rendemen, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, dan bentuk granula pati, analisis kimia terdiri atas analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), nilai pH, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.
Selain itu juga dilakukan analisis sifat fisik dan fungsional pati walur HMT. Analisis fisik yang dilakukan adalahpengamatan terhadap bentuk granula pati yang dilihat melalui mikroskop terpolarisasi dan SEM, dan derajat putih. Selanjutnya, analisis sifat fungsional yang dilakukan adalah profil pasting pati, swelling power, kelarutan, karakteristik tekstur gel, freeze-
thaw stability, dan DSC. Gambar 3 menunjukkan analisis yang dilakukan pada pati walur dan
pati walur HMT.
Gambar 3. Diagram alir analisis karakterisasi pati walur Keterangan : * hanya untuk pati walur kontrol.
C. Metode Analisis 1. Rendemen
Rendemen pati dinyatakan dalam persen berdasarkan bobot pati terhadap umbi segar.
Rendemen % = Bobot pati (g)
Bobot umbi segar (g)× 100%
2. Densitas Kamba (bulk density) (Wirakartakusumah et al., 1992)
Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil
14 pembagian berat bubuk dengan volume wadah. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml. Isi hingga volumenya mencapai tepat 25 ml lalu ditimbang bobotnya.
Derajat Kamba g/ml =bobot sampel (g) volume (ml)
3. Kadar Air metode oven biasa (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 malam (16 jam). Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot 0.0003 gram).
Kadar air (%bb) =a − (b − c)
a × 100% Keterangan : a = bobot sampel awal (g)
b = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) c = bobot cawan kosong (g)
4. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Catatan : sebelum masuk tanur, sampel yang ada dalam cawan dibakar dulu pada hot
plate sampai asapnya habis.
Kadar abu (%bk) = bobot abu
bobot sampel x (100% − kadar air(%bb))× 100%
5. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira 100–250 mg) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0
± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari 150 mg,
ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Setelah itu,
beberapa butir batu didih dimasukkan labu Kjedahl yang berisi sampel kemudian labu Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi.
15 Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator
(campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan
destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko.
Kadar N % bk = ml HCl − ml blanko × N HCl × 14.007
mg sampel x (100% − kadar air(%bb)) × 100% Kadar protein (% bk) = %N x faktor konversi (6.25)
6. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah diisi sampel juga disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang satu jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Pelarut kemudian disuling kembali dan hasil ekstraksi lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC. Labu berisi lemak sampel kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi hingga didapat bobot yang tetap.
Kadar lemak (%bk) = a − b
c x (100% − kadar air(%bb))x 100% Keterangan : a = Bobot labu lemak setelah diekstraksi (g) b = Bobot labu lemak sebelum diekstraksi (g) c = Bobot sampel (g)
7. Kadar Karbohidrat (by diffrence)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut :
Kadar karbohidrat (%bk) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
8. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989)
Timbang tepat 1 gram sampel, kemudian ditambahkan 20 ml air. Kocok dengan stirrer sampai basah sempurna. Kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Biarkan sampel selama 1 jam. Jangan disaring, biarkan mengendap. Ukur pH supernatan sampel. pH diukur dengan menggunakan pH meter terkalibrasi.
16
9. Derajat Putih
Pengukuran derajat putih dilakukan dengan menggunakan Whiteness Meter (Kett Electric Laboratory (C-100-3)). Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam wadah khusus, dipadatkan, ditutup, kemudian dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Standar yang digunakan mempunyai nilai derajat putih 80.6.
10. Bentuk Granula Pati
Bentuk dan intensitas birefringence granula pati diamati dengan Polarized Light
Microscope (Olympus Optical Co. Ltd, Japan) yang dilengkapi dengan kamera. Suspensi pati
disiapkan dengan mencampurkan pati dan aquades, kemudian dikocok. Suspensi diteteskan pada atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup, preparat kemudian dipasang pada PLM. Pengamatan dilakukan dengan meneruskan cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 1000 kali.
11. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (AOAC, 1997) a. Pembuatan Larutan Luff Schoorl
Sebanyak 25 g CuSO4.5H2O sejauh mungkin bebas besi, dilarutkan dalam 100
ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50 ml air dan 388 g soda murni (Na2CO3.10H2O)
dilarutkan dalam 300-400 ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam larutan soda sambil dikocok hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan larutan CuSO4. Sesudah dingin
ditambahkan air sampai 1 L. Bila terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring.
b. Persiapan Contoh
Sampel sebanyak 0.1 g ditimbang dalam erlenmeyer 300 ml, dan ditambah 50 ml akuades dan 5 ml HCl 25 %, kemudian dipanaskan pada suhu 100oC selama 3 jam. Setelah didinginkan, suspensi dinetralkan dengan NaOH 25 % sampai pH 7. Pindahkan secara kuantitatif dalam labu takar 100 ml, kemudian tepatkan sampai tanda tera dengan air destilata. Larutan ini kemudian disaring kembali dengan kertas saring.
c. Analisis Contoh
Sebanyak 25 ml filtrat dari persiapan contoh ditambah 25 ml larutan
Luff-Schoorl dalam erlenmeyer. Dibuat pula perlakuan blanko yaitu 25 ml larutan Luff Luff-Schoorl
dengan 25 ml akuades. Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan. Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Selanjutnya cepat-cepat didinginkan dan ditambah 15 ml KI 20% dan dengan hati-hati ditambah 25 ml H2SO4
26.5%. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N memakai indikator
pati sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi maka sebaiknya pati diberikan pada saat titrasi hampir berakhir.
12, Perhitungan Kadar Pati
Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa dengan HCl 25%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan Tabel. Selisih kadar gula inverse dengan sebelum inverse dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan.
17 Kadar pati(%bk) = mg glukosa x FP x 100 %
mg sampel x (100% − kadar air(%bb))x 0.9
13. Kadar Amilosa Metode IRRI (Apriyantono et al., 1989) a. Pembuatan Kurva Standar
Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan tersebut dipipet ke dalam labu takar 100 ml. Masing-masing labu takar ditambah asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Buat kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).
b. Analisis Contoh
Sebanyak 400 mg contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak 5 ml dari larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar. Ke dalam labu takar ditambah 1 ml asam asetat 1 N, lalu ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
Kadar amilosa(%bk) = C x V x FP x 100 W x (100% − kadar air(%bb)) Keterangan :
C = Konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = Volume akhir contoh (ml)
FP = Faktor pengenceran W = Berat contoh (mg)
14. Kadar Amilopektin Metode IRRI (Apriyantono et al., 1989)
Pati terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Oleh karena itu, kadar amilopektin merupakan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa.
Kadar amilopektin (% bk) = Kadar pati (% bk) – kadar amilosa (% bk)
15. Profil Pasting Pati dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) (modifikasi dari AACC, 2000)
Profil amilograf diukur menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA, Model Tecmaster, Newport Scientific, Australia). Sebanyak ± 3.00 g dilarutkan secara langsung pada
18 akuades sebanyak ± 25 ml pada canister. Pada pengukurannya digunakan standar dua dimana sampel akan diatur suhu awalnya 50oC dalam satu menit pertama kemudian dipanaskan sampai suhu 95oC dalam waktu 7.5 menit dan ditahan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu, suhu sampel didinginkan kembali ke suhu awal 50oC selama 7.5 menit dan ditahan selama 2 menit. Kecepatan rotasi diatur pada 160 rpm selama proses. Parameter yang dapat diukur antara lain viskositas puncak (VP), viskositas pada akhir waktu ditahan 95oC atau viskositas pasta panas (VPP), viskositas akhir (VA) pada akhir pendinginan, viskositas breakdown (VBD = VP-VPP), viskositas balik (VB = VA-VPP), temperatur pasta dan suhu pada saat viskositas puncak.
16. Profil Kapasitas Pembengkakan Pati (swelling power) dan Kelarutan (solubility index) (modifikasi dari Adebowale et al., 2005)
Pati dengan konsentrasi 1% dipanaskan dengan waterbath dengan suhu 60oC dan 90oC selama 30 menit kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai swelling power diukur dengan membagi berat endapan dengan berta pati kering sebelum dipanaskan (g/g).
Swelling Power(g g) = X − Y
W × 100% − kadar air %bb Keterangan: W = berat sampel (g)
Y = berat tabung kosong (g) X = berat tabung dan endapan (g)
Kelarutan diukur dengan mengeringkan supernatan hasil pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam air.
Kelarutan % = X − Y
W × (100% − kadar air(%bb))× 100% Keterangan : W = berat sampel (g)
X = berat cawan dan endapan (g) Y = berat cawan kosong (g)
17. Karakteristik Tekstur Gel (modifikasi dari Wattanachant et al., 2002)
Kekuatan gel diukur dengan menggunakan alat textur analyzer (TA-XT2). Pati dengan konsentrasi 20% b/v dipanaskan dari suhu 30oC sampai 95oC, dan dipertahankan pada suhu 95oc selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 50oC. Pasta pati ini dituangkan ke dalam tabung dengan diameter 4 cm dan tinggi 2 cm, kemudian disimpan pada suhu -4oC selama 16 jam. Gel ditekan dengan kecepatan penetrasi 2 mm/s dan jarak 15 mm. Karakteristik tekstur gel yang diamati meliputi kekerasan gel, elastisitas gel, kohesifitas gel, dan kelengketan gel.
18. Freeze-thaw Stability (modifikasi dari Wattanachant et al., 2002)
Pasta pati disiapkan sebesar 8% b/v dalam tabung sentrifuse. Pasta pati yang dihasilkan ditimbang beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu -16oC selama 16 jam, kemudian di-thawing pada suhu ruang selama 2 jam. Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw tersebut disentrifuse pada 3750 rpm selama
19 30 menit. Jumlah (volume) air yang terpisah setelah siklus freeze-thaw diukur dan dinyatakan dalam % sineresis. Freeze-thaw dilakukan sebanyak 3 siklus.
Sineresis % =Cairan yang dipisahkan g
Bobot pasta pati g × 100%
19. Karakteristik Termal Pelelehan Granula Pati (DSC) (modifikasi dari Maeda dan Morita, 2000)
Sebanyak 2-3 mg sampel pati walur ditimbang hingga tepat pada alumunium pan. Alumunium pan lalu disealed dengan menggunakan SSC-30 (Shimadzu Co. Ltd., Tokyo). Pengukuran DSC dilakukan dengan menggunakan alat DSC-60. Pemanasan dilakukan mulai dari suhu ruang hingga suhu 120 °C dengan kecepatan 10 °C/menit. Alumunium pan yang kosong digunakan sebagai reference.
20. Morfologi Struktur Granula Pati (Manuel, 1996)
Sampel pati sebanyak 2 mg diletakkan dalam circular aluminium stubs yang dilengkapi double sided sticky tape serta dulapisi oleh suatu lapisan tipis (20 nm) yang terbuat dari emas, lalu diperiksa dan difoto dengan SEM JSM 5410LV, JEOL Ltd., Tokyo, Japan pada tegangan 5 kV dengan perbesaran 2000x, 3500x, dan 7500x.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pati Walur Alami
Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh karakteristik fisik dan kimia bahan, ukuran, bentuk geometri bahan, sifat permukaan partikel bahan, dan sistem secara keseluruhan (Wirakartakusumah et al, 1992). Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati unit volume tertentu. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pati walur mempunyai densitas kamba sebesar 0.5160 gram/ml. Hasil ini dipengaruhi oleh karakteristik pati walur itu sendiri. Data densitas kamba ini diperlukan dalam industri pangan terutama untuk memperkirakan kebutuhan ruang dalam hal penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan dalam distribusi bahan. Terkait dengan hal ini, semakin besar densitas kamba suatu bahan, akan semakin ekonomis bahan tersebut karena memiliki area permukaan yang lebih luas (Fennema, 1996). Sementara itu, selama proses ekstraksi pati dari umbi walur, diketahui bahwa rendemen ekstraksi pati walur berkisar antara 2.86-5.29%. Rendemen ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan rendemen pati hasil ekstraksi dari perruvian carrot (6.91-10.30%) (Matsuguma et al., 2009), tiger nuts (15.3%), ubi jalar (20%), dan taro (10%) (Abo-El-Fetoh et al., 2010). Rendemen yang rendah ini kemungkinan disebabkan adanya proses reduksi oksalat yang dilakukan dengan perendaman menggunakan asam klorida konsentrasi 1.2 N. Perendaman dengan asam klorida akan menghidrolisis pati walur menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga rendemen pati yang dihasilkan cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan rendemen pati dari sumber lainnya (Herminiati dan Abbas, 2006). Ini terlihat dari rendemen pati walur sebelum direduksi kandungan oksalatnya yang berkisar antara 5.76-9.83%. Data rendemen yang dihasilkan memiliki rentang yang besar karena rendemen pengupasan yang bervariasi diakibatkan oleh bentuk dari umbi walur yang berlekuk sehingga sulit untuk dikupas secara manual dan umur dari umbi walur yang didapat sangat bervariasi sehingga kandungan pati yang dihasilkan juga bervariasi. Untuk selanjutnya yang dimaksudkan dengan pati walur kontrol atau pati walur alami adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi oksalat.
Derajat putih pati walur alami terukur sebesar 45.85 satuan. Derajat putih pati walur tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pati kelapa sawit (83.02%), pati sagu (84.86%), dan pati tapioka (93.53%) (Ridwansyah et al., 2007). Secara visual, pati walur tampak berwarna coklat muda. Pencoklatan ini kemungkinan terjadi karena adanya kandungan senyawa fenol pada umbi walur. Pei-Lang et al. (2006) menyatakan bahwa pencoklatan yang terjadi pada pati sagu terjadi karena adanya senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang sagu.
Dalam Tabel 4 dapat dilihat perbandingan sifat fisikokimia antara pati walur dengan umbi walur. Tabel 4 menunjukkan bahwa pati walur memiliki kadar air 7,65% bb. Kadar air ini masih berada pada kadar air yang baik, yaitu sekitar 6-16% (Moorthy, 2002). Kandungan air pada bahan berperan penting dalam menentukan karakteristik alir dan untuk menjalankan fungsi mekanis lainnya. Namun demikian, kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan bahan menjadi lembab dan mudah ditumbuhi oleh mikroba perusak sehingga daya tahan produk selama disimpan akan berkurang (Mboungeng et al, 2008).
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pati walur yang dihasilkan memiliki kadar lemak sebesar 0,10%. Kadar lemak ini jauh berkurang dari kadar lemak umbi walur segar yaitu sebesar 3,68%. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi pati yang melibatkan penyawutan umbi,