• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. Kesusastraan Jepang berupa buku-buku sejarah dan buku-buku legenda telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. Kesusastraan Jepang berupa buku-buku sejarah dan buku-buku legenda telah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kesusastraan Jepang berupa buku-buku sejarah dan buku-buku legenda telah ditemukan sejak abad ke-8. Pada abad ke-9, kesusastraan mulai dituliskan secara bebas. Dokumen-dokumen ini berisikan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran rakyat Jepang. Ada yang berbentuk nikki (catatan harian), zuihitsu (essei), monogatari (cerita) dan lainnya. Salah satu yang paling terkenal adalah shosetsu (novel) karya Murasaki Shikibu yang berjudul Genji Monogatari dan Makura no Soshi karya Seishou Nagon. Shosetsu (novel) pun terus berkembang seiring perkembangan jaman. Sampai pada awal kebudayaan modern masuk di Jepang pada restorasi Meiji, bidang kesusastraan di Jepang pun mengalami modernisasi. Dalam Pengantar Sejarah Jepang 1 (2001:128-129) tulisan-tulisan zaman Meiji memiliki makna yang mandiri yang mengungkapkan kenyataan hidup/realisme. Penulis yang dikenal sebagai pelopor novel modern beraliran naturalis seperti ini adalah Futabatei Shimei dengan karyanya yang berjudul Ukigumo. Salah satu anak zaman Meiji yang mengikuti novel naturalis adalah Natsume Soseki. Karya-karyanya begitu dikenal tidak termakan oleh waktu.

Di sini penulis melihat bahwa penulisan novel Natsume Soseki yang realistis ini secara tidak langsung dapat menggambarkan keadaan masyarakat Jepang awal zaman modern pada restorasi Meiji. Sehingga penulis pun dapat melihat individu-individu pada zaman tersebut. Sisi psikologis masyarakat Jepang yang selalu menjadi bahan pembicaraan ahli psikologis dunia mengenai Jepang pun saya pikir, dapat dilihat dari novel-novel karya Natsume Soseki.

(2)

2 Benedict dalam Doi (1992:45) menyatakan bahwa salah satu perbedaan psikologis Jepang dengan negara lain adalah bahwa Jepang memiliki mentalitas yang berdasar pada rasa malu, sedangkan negara barat merupakan negara yang bermentalitas rasa dosa. Berbagai jurnal internasional mengenai psikologi juga banyak membahas mengenai hal ini, dalam usaha mencoba mengenal bangsa Jepang secara lebih personal lagi walaupun beberapa di antaranya mengalami sanggahan langsung dari ahli psikologi Jepang. Hal ini membuat saya pun bertanya-tanya tentang apakah dasar psikologis dibalik individu-individu negara sakura ini.

Bester dalam Doi (1992:ix), seorang penerjemah bahasa Jepang-Inggris asal Amerika mengatakan suatu pendapat yang membuat saya semakin ingin melihat dasar pemikirian dari tingkah laku masyarakat Jepang. Dia menyatakan bahwa hanya mentalitas yang berakar pada Amae saja yang dapat menghasilkan suatu bangsa yang tidak realistis, tetapi memiliki wawasan yang jelas akan kondisi dasar umat manusia dan begitu tenggang rasa sekaligus cinta diri, begitu spiritual, begitu penurut dan juga brutal. Suatu bangsa yang dari sudut pandangnya sendiri sangat normal dan manusiawi dalam segala hal. Hal ini diungkapkan Bester setelah ia menerjemahkan salah satu buku teori psikologi karangan Takeo Doi pada tahun 1953. Dalam kalimatnya, Bester seakan-akan mengatakan bahwa Amae adalah kunci dari setiap perilaku masyarakat bangsa Jepang. Dalam bukunya, Doi (1992:9) menjelaskan bahwa Amae merupakan suatu faktor vital dalam memahami mentalitas orang Jepang. Namun keanehan yang saya rasakan adalah walaupun berkali-kali Doi mengatakan bahwa Amae merupakan suatu hal yang universal yang sebenarnya dapat ditemukan di hampir seluruh dunia, namun hingga sekarang ini fakta yang saya temukan adalah hanya bahasa Jepang yang memiliki perbendaharaan kata yang tepat untuk gejala psikologis ini. Yushi seorang dekan fakultas kedokteran

(3)

3 Universitas Tokyo dalam Doi (1992:6) berpendapat bahwa bahkan seekor anjingpun berperilaku Amae. Pernyataan tersebut ia kemukakan sebagai tanggapannya mengenai fakta bahwa istilah yang menggambarkan gejala universal yang tidak hanya ditemukan dikalangan manusia, tetapi juga pada kalangan binatang ini, tetap tidak dapat ditemukan istilahnya dalam bahasa lain selain bahasa Jepang. Doi menambahkan pernyataan Yushi bahwa Freud yang merupakan bapak dari teori psikoanalisis pernah menyinggung gejala psikologis Amae dalam menjelaskan salah satu teorinya the child’s primary object-choice atau sasaran pilihan primer bayi, namun tidak menyorot detail keberadaan Amae secara langsung. Ia menjelaskan bahwa the child’s primary object-choice adalah timbulnya emosi yang mengandung kasih sayang yang dirasakan oleh seorang bayi pada waktu disusui oleh ibunya yang disusul oleh tumbuhnya Oedipus Complex dalam psikoanalisis. Padahal menurut Doi, emosi tersebut timbul karena Amae. Balint dalam salah satu bukunya, menurut Doi (1992:13), menyinggung secara langsung Amae, sebagai passive object love atau sasaran cinta yang pasif. Namun Balint menambahkan bahwa semua bahasa-bahasa Eropa tidak mampu membeda-bedakan antara cinta aktif dan cinta pasif, yang berarti walaupun keberadaan Amae pun dirasakan di eropa, ungkapan khususnya tetap tidak ditemukan. Doi (1992:23) menjelaskan bahwa Amae memiliki akar kata dari kata amaeru yang berarti memanjakan diri, dan amai yang selain manis, arti katanya adalah sifat halus dalam menerima suatu keadaan. Menurut Doi (1999:165), Amae adalah kata yang hanya dapat ditemukan dalam bahasa Jepang, yang berarti pernyataan hasrat akan ketergantungan terhadap orang lain. Menurut Doi, Balint mengungkapkan hasrat ini sebagai cinta objek pasif (Passive object love). Bester dalam Doi (1992:viii) mengibaratkan Amae dengan perasaan dalam setiap bayi dalam pelukan ibunya, ketergantungan dan keinginan untuk dicintai secara pasif, keengganan untuk

(4)

4 dipisahkan dari kehangatan sang ibu, untuk dilepaskan ke dunia nyata yang objektif yang dimiliki manusia dewasa, yang membuatnya terlihat egois bagi orang lain. Menurut Doi ketergantungan ini tanpa disadari dibawa seseorang hingga ia menginjak usia dewasa. Ketergantungan ini tidak lagi hanya pada ibu atau anggota keluarga, tetapi sasaran cinta pasif pun mulai beragam. Hal ini biasa terjadi antara sahabat sesama kelamin, antara senior dan junior, antara bos dan anak buah, juga antara guru dan murid. Selama ini menurut Doi (1992:124), keberadaan Amae antara dua orang yang berjenis kelamin sama selalu disebut sebagai homoseksual dalam arti kata sempit oleh Freud. Menurut Doi (1992:23), skema Amae yang akan terjadi adalah, bila orang mengatakan bahwa A bersikap amai terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan B berlaku amaeru (manja) terhadap A, yaitu bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang itu. Hubungan inilah yang disebut dengan Amae. Dengan demikian, Amae memerlukan persetujuan kedua pihak untuk terjalin, walaupun dalam beberapa kasus tidak demikian adanya. Doi (1992:24) memberikan beberapa kata yang biasa kita gunakan sehari-hari yang digunakan sebagai manifestasi dari Amae yang tidak terwujud dalam kehidupan, yaitu, kigane, toriiru, higamu, uramu dan sumanai.

Doi (1992:15) pun berpendapat bahwa bukan lagi keberadaan Amae yang menjadi sorotan, karena jelas sebenarnya gejala ini dirasakan seluruh umat manusia, tetapi bagaimana Jepang, yang sepertinya adalah satu-satunya bangsa yang merasakan secara langsung mentalitas, kepribadian, dan perilaku Amae. Sehingga secara garis besar, yang dapat saya tangkap dari kenyataan-kenyataan ini adalah Amae adalah gejala universal yang sebenarnya secara tidak langsung dirasakan oleh dunia, benar-benar dirasakan dan dihidupi oleh masyarakat Jepang. Dengan kata lain, dalam mengenal Amae, mau tidak

(5)

5 mau saya harus mengenalnya lewat bangsa Jepang. Karena bangsa inilah yang benar-benar menghidupinya.

1.1.1 Tinjauan Umum Tentang Novel Kokoro karya Natsume Soseki

Salah satu karya sastra yang menjadi novel popular klasik Jepang yang dikenal hampir seluruh penggemar sastra di dunia adalah novel Kokoro karya Natsume Soseki. Novel Kokoro dibagi ke dalam tiga sub-judul yang diawali dengan (1)先生と私 atau Sensei to Watakushi (sensei dan saya), (2)両親と私 atau Ryoushin to Watakushi (orang tua dan saya), (3)先生と遺書 atau Sensei to Isho (sensei dan surat yang terakhir).

Berikut pengenalan berapa tokoh dalam novel Kokoro. “aku” adalah seorang mahasiswa yang tinggal sendiri di Tokyo untuk menempuh pendidikan. Sensei adalah panggilan yang diberikan oleh tokoh “aku” untuk temannya, yang merupakan seorang laki-laki paruh baya yang tinggal bersama isterinya di Tokyo. K adalah panggilan yang diberikan sensei untuk sahabat seumuran yang dikenalnya sejak kecil hingga mereka sama-sama kuliah di Tokyo. Mereka merupakan teman sekamar dalam asrama di Tokyo, dan ketika mereka harus keluar dari asrama, mereka tinggal di indekos yang sama. K telah lama meninggal dunia ketika sensei berkenalan dengan tokoh “aku”. Okusan adalah pemilik rumah indekos sensei dan K ketika masih kuliah. Okusan memiliki anak gadis yang dipanggil ojosan, yang juga tinggal bersamanya.

Novel Kokoro menggunakan teknik pencerita ”Akuan” sertaan yang menurut Kenney dalam Minderoup (2005:107) berarti teknik pencerita dimana cerita disampaikan oleh seorang tokoh dengan menggunakan atau menyebut dirinya “aku”. Dalam novel ini pun Soseki tidak menyebutkan nama dari sudut pandang ”Akuan” tokoh utama. Adapun

(6)

6 sudut pandang orang pertama dalam sub-judul pertama dan kedua berada pada tokoh “aku”, dan sudut pandang orang kedua berada pada pembaca. Sedangkan dalam sub-judul ketiga, sudut pandang orang pertama adalah sensei, sudut pandang orang kedua adalah tokoh “aku” dalam sub-judul pertama dan kedua. Nurgiyantoro (2005:177) mengungkapkan bahwa tokoh utama terkadang tidak ditunjuk secara langsung dalam tiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap berkaitan dengan tokoh utama. Dalam novel Kokoro, sensei tidak muncul dalam sub-judul kedua yaitu Ryoushin to Watakushi, namun kejadiannya tetap berkaitan dengan sensei.

Dengan latar belakang kehidupan Jepang pada periode Meiji, Natsume Soseki mengangkat Amae menjadi sesuatu yang dapat dimengerti bila kita mendalami tokoh sensei, K dan tokoh ”aku”. Suatu hari, tokoh “aku” menerima surat yang begitu panjang dari sensei, yang menjelaskan seluruh masa lalu yang begitu membekas dalam hatinya dan mempengaruhi seluruh kehidupannya di masa depan. Dalam surat terakhir ini, sensei banyak bercerita mengenai penyesalan dan perasaan berdosa yang sensei rasakan terhadap hubungan dengan sahabatnya yang dipanggilnya K. Sensei memiliki hubungan persahabatan yang telah terjalin sejak kecil dengan K. Mereka berasal dari kampung halaman yang sama, dan tinggal di Tokyo dalam asrama yang sama. Mereka banyak menghabiskan waktu berdua dalam kamar asrama mereka dan memiliki tujuan sama yaitu sukses. K merupakan seseorang yang eksentrik. K tumbuh dalam kuil, yang kemudian diangkat anak oleh sebuah keluarga kaya, dan disekolahkan di Tokyo. Keluarga baru K mengharapkannya untuk meneruskan profesi mereka sebagai dokter. Namun K menolak dalam pemikirannya yang eksentrik. K begitu meninggikan nilai-nilai rohani dalam hidup, sehingga sensei dalam beberapa hal tidak setuju dengan pemikiran K. K dan sensei merupakan dua orang yang berbeda. Sensei tidak begitu

(7)

7 mementingkan keagamaan, sedangkan K begitu mementingkan keagamaan. K adalah anak yang sangat pintar dalam bidang akademik, sedangkan sensei harus belajar lebih giat untuk mengejar prestasi. K merupakan anak yang berani dan acuh terhadap orang lain, sedangkan sensei adalah seorang yang penuh pertimbangan dan sedikit pemalu. Dengan demikian, walaupun mereka sama-sama pendiam, alasan mereka untuk berdiam jelas berbeda. Dalam hubungan persahabatan mereka, lebih banyak sensei yang mendengar pendapat K daripada K yang mendengar pendapat sensei. K merupakan orang yang begitu menikmati kesendiriannya, sehingga keberadaan sensei tidaklah begitu berperan penting dalam hidupnya. Sedangkan sensei yang merasakan kesepian sejak kehilangan kedua orang tuanya, begitu menikmati kebersamaannya dengan K. Pada akhirnya maut memisahkan dua sahabat ini. K bunuh diri, dan kematiannya sangat mempengaruhi hidup sensei. Ketika sensei sudah dewasa dan menikah, sensei bertemu tokoh “aku” yang berjenis kelamin pria juga dan menjalin hubungan pertemanan dengannya. Namun beberapa tahun setelah pertemanannya, sensei melakukan bunuh diri dengan mengikuti jejak Jenderal Nogi. Ternyata sebelum bunuh diri, sensei menulis surat yang ditujukannya kepada tokoh “aku”, dan menjelaskan perasaan yang sesungguhnya yang selama ini dia rahasiakan dari semua orang disekitarnya. Novel ini begitu menggambarkan Amae dalam kehidupan sehari-hari antara dua orang berkelamin sama. Saya melihat suatu celah yang dapat dimanfaatkan untuk mengenal Amae lebih dalam, dalam novel ini. Tragedi bunuh diri yang dilakukan Jenderal Nogi dalam kehidupan nyata pun dicantumkan Soseki dalam novel ini sebagai gambaran nyata Amae dari kehidupan yang memberi saya petunjuk tentang Amae. Doi (1992:125) mengatakan bahwa dirinya belum pernah melihat suatu karya yang melukiskan secara tepat hakikat dari perasaan yang mendasarkan Amae dalam

(8)

8 emosionalnya, sebaik novel Kokoro yang ditulis oleh Natsume Soseki. Inilah alasan saya memilih novel Kokoro sebagai objek analisis mengenai Amae.

1.1.2 Riwayat Hidup Singkat Natsume Soseki

Brodey dalam My Individualism and The Philosophical Foundations of Literature (2004:9-13) yang merupakan buku kumpulan ceramah Soseki, mengungkapkan bahwa Soseki merupakan salah satu penulis beraliran naturalis yang disebut sebagai anak jaman Meiji. Soseki mendapatkan panggilan ini karena kehidupannya sejak lahir hingga meninggal (1867-1916) hampir sama dengan lamanya pemerintahan Emperor Meiji (1868-1912). Natsume Soseki lahir dengan nama Kinnosuke. Kinnosuke kecil mengalami empat kali penggantian nama keluarga, karena beberapa hal. Sehingga Kinnosuke mengalami yang disebutkan sebagai deskripsi laki-laki zaman Meiji, yaitu menjadi orang lain dalam rumahnya sendiri.

Ketika berumur 21 tahun, Kinnosuke mendapatkan nama keluarganya yaitu Natsume, dan ketika berumur 22 tahun, dia mengadopsi nama penulis Soseki. Menurut Rosidi (1989:48), Natsume Soseki telah meraih gelar pendidikan di Universitas Imperial Tokyo yang sekarang adalah Universitas Tokyo, telah bekerja pada beberapa institut pendidikan, dan telah menerbitkan 13 buku roman, 4 cerpen, 7 kritik esai, 5 kumpulan surat dan 5 tulisan tentang rupa-rupa hal yang seluruhnya bejumlah 34 jilid. Makoto dalam Rosidi (1989:47) berpendapat bahwa Natsume Soseki dapat menulis roman realistik, impresionik dan ekspresionik dengan hasil yang memuaskan karena Soseki selalu memberi landasan teoritis terhadap karya-karyanya.

Brodey (2004:13) mencatat, bahwa Soseki Natsume berumur 47 tahun ketika menerbitkan novelnya yang berjudul Kokoro. Dua tahun setelah menulis Kokoro, dia

(9)

9 meninggal dunia. Walaupun mungkin Natsume Soseki akan menolaknya seperti dia menolak beberapa penghargaan yang ditawarkan pemerintah Jepang, wajah Natsume Soseki terpampang di uang lembaran seribu yen setelah dia meninggal. Rosidi (1989:47) mengungkapkan bahwa Kokoro menempati urutan kedua sebagai buku yang paling banyak dibaca setelah Kejahatan dan Hukuman karya Fyodor Dostojewski ketika diadakan pemeriksaan pendapat di antara civitas academica di empat universitas yang paling berpengaruh di Jepang.

1.2 Rumusan Permasalahan

Saya ingin menganalisis konsep-konsep mengenai Amae dalam novel Kokoro yang ditulis oleh sastrawan terkenal Jepang yaitu Natsume Soseki.

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Penelitian akan difokuskan pada lima jenis pengungkapan perasaan yang terdapat dalam konsep Amae, yaitu kigane, toriiru, higamu, uramu dan sumanai yang dilakukan oleh tokoh sensei terhadap K dalam novel Kokoro.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan saya meneliti konsep Amae adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Amae—yang merupakan konsep psikologis bangsa Jepang—diterapkan pada novel Kokoro.

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi gambaran yang tepat bagaimana Amae yang sebenarnya ada dalam diri setiap manusia, dalam teladan Amae yang dihidupi oleh bangsa Jepang, melalui novel Kokoro.

(10)

10 1.5 Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, saya menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu metode penelitian untuk memahami yang didasarkan pada penelitian tentang manusia atau masyarakat dan metode penelitian deskriptif analitis yaitu metode penelitian mengenai gagasan atau produk pemikiran manusia yang tertuang dalam bentuk media cetak. Penelitian ini saya lakukan dengan membaca, meringkas, mengutip dan membuat kesimpulan berdasarkan buku-buku yang menjadi acuan saya dalam penelitian ini. Korpus data penelitian ini adalah novel Kokoro. Sedangkan data-data dari internet, buku-buku teori dan jurnal internasional yang mendukung penelitian, saya dapatkan di perpustakaan Binus University, Universitas Indonesia, Japan Foundation dan beberapa toko buku dan perpustakaan lainnya.

1.6 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Analisis Konsep Amae yang Tercermin pada Tokoh Sensei dalam Novel Kokoro Karya Natsume Soseki adalah agar pembaca dapat mendapatkan gambaran mengenai isi dari penelitian ini.

Dalam Bab 1 Pendahuluan diuraikan mengenai latar belakang penelitian mengenai Amae secara umum yang diikuti sedikit ulasan novel Kokoro dan penulisnya, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Pendahuluan ditulis agar pembaca dapat mengerti secara umum hal apa yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam Bab 2 Landasan Teori menjelaskan teori fiksi, teori penokohan, dan uraian kosep Amae menurut Doi Takeo.

(11)

11 Dalam Bab 3 Analisis Data memberikan analisis tentang konsep Amae yang ditunjukkan pada tokoh sensei dalam novel Kokoro yang disusun dalam proses penelitian.

Dalam Bab 4 Simpulan dan Saran, pada bab ini saya akan memberikan simpulan dari hasil analisis penelitian ini, dan saran untuk pembaca yang juga ingin meneliti novel Kokoro.

Dalam Bab 5 Ringkasan, pada bab ini akan diuraikan ringkasan seluruh isi skripsi dimulai dari pendahuluan hingga simpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik fear arousing yang dilakukan pada penawaran produk asuransi Allianz adalah dengan menjelaskan serta memaparkan konsekuensi buruk atau resiko yang harus

Halaman daftar gambar dan ilustrasi dicetak pada halaman baru serta diberi judul DAFTAR GAMBAR yang ditulis dengan huruf kapital dan tidak diakhiri dengan titik.. Halaman

Permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisis konsep Jikkai Gogu atau Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup dalam Agama Buddha Nichiren Shoshu pada kondisi jiwa

4.2.1 Sarana Belajar yang Memadai Untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam belajar Bahasa Jepang di kelas XII-IPS4 SMA Kemala Bhayangkari 1 Surabaya dan memudahkan tenaga

1) Penyelesaian sengketa adalah Proses/cara penyelesaian sengketa atau pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang

Bagsvaerd Church adalah sebuah sintesa yang dilakukan oleh arsitek secara sadar untuk memadukan konsep universal civilization sebagai turunan dari modernisme dan world culture

Sedangkan dari hasil uji hipotesis dalam penelitian ini menemukan bahwa kepuasan kerja dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam peningkatan motivasi kerja dalam

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses seleksi untuk Paket Pekerjaan Lanjutan Pembangunan Gedung Fakultas Kedokteran , bersama