• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. berhubungan dengan adanya penyebaran agama Budha ke Jepang yang berasal dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. berhubungan dengan adanya penyebaran agama Budha ke Jepang yang berasal dari"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Konsep Taman Jepang

Menurut Hirotaro (1972 : 106), sekitar tahun 620 Masehi terjadi konflik yang

berhubungan dengan adanya penyebaran agama Budha ke Jepang yang berasal dari

Paekche (daerah yang terletak di sebelah barat-daya Korea), konflik tersebut terjadi

diantara dua keluarga penguasa, yakni Keluarga Soga, pendukung agama Budha, dengan

Keluarga Mononobe, penentang agama Budha. Perseturuan tersebut dimenangkan oleh

Keluarga Soga dan kemudian salah satu anggota keluarganya yang bernama Soga

Umako membangun Kuil Asukadera yang dihiasi dengan taman. Kemudian muncul

anggapan bahwa taman tersebut adalah taman pertama di Jepang dan seni pembuatan

taman pertama kali datang dari Paekche.

Sebagian besar taman Jepang bukanlah taman yang ditujukan untuk umum

seperti taman-taman rekreasi pada umumnya yang terdapat di negara-negara lain.

Taman-taman tersebut dibuat oleh kalangan bangsawan demi keperluan pribadi mereka

atau dibuat di area sekeliling kuil untuk menciptakan suasana yang cocok untuk

(2)

ketenangan pikiran bagi para penguasa yang merasa putus asa menghadapi peperangan

dan konflik selama sejarah Jepang. Shugaku-in, salah satu taman terbesar di Kyoto,

dibuat untuk kaisar yang telah meletakkan jabatannya, sehingga dapat menghabiskan

waktu dengan suasana yang penuh ketenangan. Taman yang terletak di Kuil Ginkakuji

dibuat untuk Shogun Ashihaga Yashimasa dengan tujuan agar dia dapat melarikan diri

dari konflik dan peperangan yang terjadi di ibu kota terdekat. Pada awalnya taman

menggambarkan negeri impian atau yang disebut juga surga para Budha. Kedua hal di

atas merupakan konsep atau mitos dari Cina dan pertama kali dibawa ke Jepang pada

abad ke-6. Konsep lain yang juga diakui adalah ketika agama Budha masuk dan

mempengaruhi segala aspek kehidupan di Jepang. Sementara itu faktor internal seperti

rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negara sendiri (Jepang), juga memberikan

pengaruh yang kuat terhadap perkembangan taman Jepang.

Taman Jepang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penataan

pohon-pohon dan bebatuan, yaitu pada taman tersebut lebih menunjukkan peniruan keindahan

pemandangan alam, dengan kata lain, pemandangan alam dalam skala besar ditiru ke

dalam skala kecil untuk menjadi taman. Taman Jepang memiliki unsur-unsur yang

penting dalam setiap pembuatannya, karena unsur-unsur tersebut adalah perwakilan dari

(3)

belukar, serta tiruan bukit-bukit. Masing-masing unsur tersebut dapat membangkitkan

kesan yang alami. Salah satu filosofi yang penting dalam taman Jepang adalah Shakkei

atau “pemandangan yang dipinjam” sebagai contoh, yakni dengan menggunakan

pemandangan pegunungan asli sebagai latar belakang dalam taman tanpa harus

membuat tiruan pegunungan dalam taman, seperti yang terdapat dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1 Shakkei

Sumber : Japanese Garden Design (1996 : 140)

2.1.1 Unsur-unsur DalamTaman Jepang

Taman tradisional Jepang memiliki karakteristk tersendiri, jika taman yang

bergaya barat lebih mementingkan bentuk, tekstur dan warna maka taman Jepang lebih

mementingkan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata, seperti unsur filosofi, agama, dan

simbol. Simbol-simbol dalam taman Jepang adalah berupa perwakilan dari unsur alam

yang meliputi air, bebatuan, dan tanaman. Selain itu bahan-bahan yang digunakan

(4)

diolah oleh manusia menjadi suatu karya tertentu (manmade). Taman Jepang juga

dilengkapi dengan elemen dan ornamen yang khas. Tabel 2.1 Bahan yang Berasal dari Alam (Natural)

Bahan Kegunaan

Bebatuan berfungsi sebagai ”tulang” atau ”kerangka” dari struktur taman, menjadi salah satu elemen penting dalam taman. Batu digunakan untuk memberikan efek dari pegunungan, air terjun, dasar dari sungai, jembatan yang alami.

Tanaman dapat memberikan efek alam yang indah, terdiri dari pepohonan, semak belukar, tumbuhan obat. Fungsi lainnya adalah memperlembut dan menutupi kerusakan yang ada pada bebatuan Air untuk memberikan penggambaran samudra, danau, kolam, rawa, air

terjun, sungai,

Tanah sebagai ”daging” bagi batu yang digambarkan sebagai ”tulang”, untuk menciptakan gundukan tanah atau lembah buatan untuk meletakkan bebatuan dan sebagai media untuk menanam namun terkadang hanya sebagai permukaan tanah.

Bambu untuk membuat pagar, pintu maupun dinding, menjadi saluran air (pipa) untuk batu yang menampung air (basins) atau sebagai pipa yang menyalurkan air untuk air terjun atau sungai.

(5)

Tabel 2. 2 Bahan yang Sudah Diolah Manusia (Manmade)

Bahan Kegunaan

Batu penampung air

pada awalnya hanya digunakan di kuil, kemudian pertama kali digunakan sebagai ornamen taman adalah pada saat dibuatnya taman teh (roji), berfungsi sebagai wadah air untuk ritual pembersihan atau penyucian, ketika peserta chanoyu membersihkan tangan dan mulut sebelum chanoyu dimulai. Selain itu saat ini menjadi dekorasi dalam taman.

Lentera bermula dari untuk menerangi kuil, saat ini juga berfungsi sebagai dekorasi dan penerang dalam taman.

Batu setapak

Menjadi jalan kecil di dalam taman, dan menjadi penghubung antara

machiai dengan rumah teh.

Jembatan Penghubung satu pulau dengan pulau lainnya, atau penghubung antara pulau dengan daratan.

Gerbang Sebagai pintu masuk, penanda memasuki suasana atau bagian taman yang lain. Pada roji, gerbang berada di tengah taman, sebagai pemisah antara soto-roji dan uchi-roji.

Pagar dan Dinding

Pemisah antara taman dengan dunia luar, pemisah antar rumah dan berfungsi sebagai pemisah dari bagian-bagian taman.

(6)

2.1.2 Elemen-elemen dan Ornamen dalam Taman Jepang

1. Kolam atau Ike [池] dan Danau atau Mizuumi [湖]

Jepang merupakan satuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan samudra.

Sejak zaman dahulu kala masyarakat Jepang memiliki ketergantungan dengan laut.

Menurut Engel (1959:32) air dalam kolam atau danau yang terdapat dalam taman

merupakan penggambaran dari laut. Kebanyakan taman Jepang yang berukuran besar

memiliki kolam atau danau. Kolam dalam taman tidak hanya menjadi hiasan atau untuk

pemandangan saja, tetapi juga sering digunakan untuk berlayar, untuk kolam yang

berukuran besar. Pada karesansui (taman kering atau dry landscape), lautan bukan

disimbolkan dengan kolam melainkan dengan pasir yang diberi pola.

2. Pulau atau Shima [島]

Engel (1959:32) menjelaskan kolam taman selalu memiliki satu atau lebih pulau

kecil. Jika kolam terlalu kecil untuk memiliki pulau, maka batu-batuan ataupun hanya

satu batu dapat mewakili penggambaran sebuah pulau. Pulau mulai memegang peranan

penting di dalam unsur taman sekitar abad ke-7 dan 8, yang diberi istilah Shima. Web

Garden Guide juga menjelaskan makna dari pulau yaitu penggambaran dari Nirvana

(7)

dalam ketenangan dan kedamaian. Hal ini diwujudkan dengan batu yang melambangkan

kura-kura dan pohon yang melambangkan burung bangau, yang merupakan lambang

dari keabadian dan keberuntungan.

3. Air Terjun atau Taki「滝」

Ketinggian dari air terjun biasanya dua sampai empat kaki. Prinsip dari

pembuatan air terjun adalah permukaan air tebing yang harus tidak terlihat sebagai

tiruan, jadi harus terlihat alami. Tebing harus dari batuan gunung yang memiliki

permukaan yang tidak rata. Kolam atau tempat penampungan air yang terletak dibawah

air terjun berukuran cukup besar dan dengan bebatuan di dalam air.

Air terjun adalah simbol dari dongeng ikan mujair yang berusaha dengan gigih

mencapai puncak dari sebuah air terjun, untuk kemudian berubah menjadi naga. Jadi air

terjun adalah penggambaran kegigihan dan kesetiaan (HelpfulGardener, 2007).

4. Jembatan atau Hashi「橋」

Jembatan pada taman Jepang pada umumnya menghubungkan daratan atau pulau

dengan daratan yang terdapat di sisi atau seberang kolam. Ketika sedang menyeberang

(8)

permukaan air, melihat bayangan kita sendiri di air, serta mendengar suara dari alam

sekitar. Menurut Hendy ( 2001:60), menyeberangi jembatan dalam taman bermakna

bahwa dalam menjalani hidup, kita harus hidup di masa sekarang (tidak dibayangi oleh

masa lalu) dan tidak hanya fokus memikirkan hal yang tidak jelas tujuannya.

Sementara itu dalam HelpfulGardener (2007) disebutkan menurut Zen dan Taois,

melewati jembatan adalah penggambaran melewati satu dunia ke dunia berikutnya atau

bermakna melewati dunia manusia atau nyata menuju ke dunia alam. Untuk karesansui

(taman kering atau dry landscape), jembatan menjadi pelengkap dari penggambaran air

yang disimbolkan oleh kerikil dan pasir.

Jembatan di taman Jepang ada yang terbuat dari batu, kayu atau kombinasi dari

keduanya,ukuran, bentuk dan yang digunakan untuk membuat jembatan tergantung dari

tipe jenis, ukuran kolam dan jarak daratan.

5. Lentera atau Ishi-dõrõ 「石灯篭」]

Lentera memiliki susunan dan bentuk yang mengandung makna keseimbangan

alam dalam Zen, Budha. Keseimbangan alam ini terbentuk dari adanya lima unsur atau

elemen alam yang terdapat dalam suatu bentuk. Menurut Japanese Buddhist Statuary

(9)

berbeda dengan Budha yang ada di Cina. Lima elemen yang terdapat dalam ajaran

Budha di Cina terdiri dari tanah, air, api, angin dan besi atau logam, sedangkan lima

elemen yang terdapat dalam ajaran Budha, Zen yang ada di Jepang terdiri dari tanah, air,

api, angin dan kekosongan atau ruang. Japanese Buddhist Statuary (1995) juga

menjelaskan tentang makna dari lentera, yakni terdiri dari lima susun yang mewakili

kelima elemen dalam Budha, Zen. Bentuk persegi mewakili elemen tanah, bentuk

lingkaran mewakili elemen air, bentuk segitiga mewakili elemen api, bentuk setengah

lingkaran mewakili angin dan yang menjadi puncak dari lentera mewakili elemen ruang

atau kekosongan. Lentera pada taman Jepang pada umumnya terbuat dari batu, besi dan

perunggu. Lentera yang terbuat dari bahan logam biasanya diletakkan di dekat rumah

atau digantung dekat atap, sedangkan lentera yang terbuat dari batu biasanya diletakkan

dekat dengan batu untuk menampung air (stone-basins), atau bisa juga diletakkan di

sepanjang jalan setapak ataupun bagian lain dari taman yang membutuhkan cahaya.

6. Batu Penampung Air atau Tsukubai「蹲踞」dan Chozubahci「手水鉢」

Menurut Engel (1959 : 18), wadah air atau stone water basins merupakan salah

satu ornamen penting dalam taman. Seperti halnya lentera, basins juga pada awalnya

(10)

mengatakan Sen no Rikyu pada saat akhir hidupnya membuat tempat untuk chanoyu

yang terdiri dari rumah teh dan taman yang dapat menimbulkan atmosfir atau suasana

berbeda dari pegunungan. Pada taman diberikan unsur tanaman hijau, batu pijakan,

wadah penampung air dan lentera. Basins merupakan perlambangan dari pemberkatan

atau penyucian, dalam arti lain pembersihan diri dari hal yang kotor sebelum

menjalankan aktifitas dalam kuil. Saat ini basins tidak hanya diletakkan di taman kuil,

tetapi juga menghiasi taman Jepang lainnya, terutama taman teh.

Basins diletakkan berdekatan dengan tanaman yang rendah, dan berada dekat

dengan serambi rumah ataupun di titik strategis di sekitar jalan setapak di dalam taman.

Basins dibedakan menjadi chozubachi dan tsukubai. Keane (1996: 172) menjelaskan

makna chozubachi adalah wadah penampung air yang terkadang merupakan bagian dari

tsukubai, yang berfungsi untuk mencuci tangan dan dalam roji bermakna penyucian.

Sedangkan tsukubai adalah susunan bebatuan termasuk didalamnya wadah penampung

air (chozubachi) untuk membersihkan tangan dan mulut sebelum masuk ke ruang teh.

Engel (1959:43) menjelaskan susunan batu membentuk tsukubai yang diberi

istilah”laut”, terletak di bagian tengah pada susunan batu. ”laut” digunakan untuk tempat

penyerapan air setelah air digunakan untuk proses pembersihan diri seperti

(11)

masing-masing fungsinya adalah untuk batu pijakan (terletak di depan chozubachi), batu di

sebelah kiri dari batu pijakan adalah untuk berpegangan ketika hendak mengambil air

(karena mengambil air dengan posisi jongkok), dan batu yang terakhir yang terletak

disebelah kanan, berfungsi sebagai tempat atau dasar dari wadah penampung air panas

(digunakan saat musim dingin). Menurut Cherry Blossom Gardens (2007), perbedaan

lainnya adalah chozubachi pada mulanya berasal dari kuil, hasil karya pendeta,

sedangkan tsukubai merupakan hasil karya seorang ahli teh. Air dalam basins disediakan

dalam beberapa cara, seperti mengisi ulang air dengan membawa seember air yang

kemudian dituang ke dalam basins. Cara lainnya adalah mengisi basins dengan air yang

dipompa, dialirkan melalui pipa yang kemudian dikeluarkan melalui bambu yang berada

tepat di atas basins, bambu ini disebut kakei. Pompa air ini dapat dikendalikan dari

dalam rumah.

7. Batu Pijakan atau Tobi-ishi 「飛石」]

Menurut Hendy (2001 : 66), di dalam taman Jepang, batu pijakan

(stepping-stones atau dalam bahasa Jepang disebut juga tobi-ishi) adalah simbol dari penunjuk

jalan untuk perjalanan spiritual dalam kehidupan.

(12)

sehingga memudahkan pejalan ketika hendak menikmati suasana taman. Menurut Engel

(1959 : 40), jika melangkah dari satu batu ke batu berikutnya, kita akan terbawa dalam

suasana taman yang segar, dan seolah-olah kita bersatu dengan alam yang suasananya

sejuk, sehingga teringat dengan kenangan masa kecil yang penuh dengan imajinasi akan

petualangan.

Taman yang memiliki ukuran cukup luas, biasanya memiliki batu pijakan yang

ukurannya paling besar jika dibandingkan dengan batu pijakan lainnya, batu ini disebut

juga garanseki. Menurut Keane (1996:143), garanseki adalah pusat dari batu-batu

pijakan yang terdapat di tengah taman, dan menjadi persimpangan jalan, sehingga

menjadi tempat berhenti seseorang untuk menentukan arah mana yang akan diambil

selanjutnya sambil melihat pemandangan dalam taman. Selain itu ada juga batu yang

disebut sekimori-ishi, Engel (1959 : 40) menyebutkan fungsi dari sekimori-ishi, yakni

digunakan untuk penanda dalam taman, jika di salah satu batu pijakan diletakkan

sekimoro-ishi maka hal ini menandakan tidak boleh melanjutkan perjalanan, biasanya sekimori-ishi digunakan di dalam roji maka menandakan sedang berlangsung chanoyu

(hal ini biasa terjadi jika di dalam roji ada lebih dari satu sukiya (rumah teh)) ataupun

dikarenakan sedang ada perbaikan dalam taman.

(13)

menjadi jalan kecil dalam taman, tetapi juga ada jalan setapak yang terbuat dari

potongan batu atau batu-batu yang sengaja dibentuk dan dipola dengan rapi, kemudian

disusun menjadi jalan kecil dalam taman. Menurut Engel (1959 : 40) jalan setapak ini

disebut juga nobedan.

8. Tanaman atau Shokubutsu 「植物」

Tanaman dalam taman Jepang memiliki fungsi sebagai pembatas atau pagar,

tempat teduh dan pemandangan. Keane (1996 : 152) menyebutkan taman Jepang pada

umumnya menggunakan tanaman seperti pinus, bambu, plum dan sakura. Dijelaskan

bahwa pinus menjadi simbol dari Zen yang berarti umur panjang bagi orang yang

menanam dan orang yang berada disekitar pohon pinus. Bambu merupakan jenis

tanaman khas Asia dan sering digunakan sebagai pagar dalam taman. Bambu, terutama

yang berukuran besar, bermakna mushin (hati yang kosong), merupakan salah satu

ajaran dari Zen. Plum dan sakura, kedua tanaman ini menjadi lambang dari kecantikan

dan kasih sayang. Keduanya menjadi favorit sebagai tanaman penghias taman sejak

periode Heian. Menurut Hendy (2001 : 124) tanaman lainnya adalah tanaman hijau

seperti dari jenis tanaman merambat, jenis pakis ataupun tanaman hijau yang berukuran

(14)

2.2 Konsep Taman Teh atau Roji [「路地」]

Taman Jepang sebenarnya terbagi menjadi tiga jenis taman yaitu taman dengan

tiruan pegunungan, yang lebih dikenal dengan tsukiyama ataupun horai-jima, kemudian

taman dengan daratan yang tanpa menggunakan unsur pegunungan maupun air, yang

lebih dikenal dengan dry garden landscape atau karesansui, dan jenis terakhir adalah

taman teh atau roji. Pada penulisan skripsi ini penulis akan lebih memfokuskan pada

jenis ketiga, yaitu roji.

Taman teh yang secara bahasa diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang menjadi

chaniwa memiliki istilah tersendiri yakni roji, yang berarti jalan embun atau daratan

embun. Suasana damai dan tenang dalam roji dapat menimbulkan atmosfir pada suasana

hati tiap peserta chanoyu yang melewati roji tersebut. Dengan situasi yang selalu

berkesan lembab atau selalu basah dalam roji maka disebut juga dengan jalan embun.

Roji memiliki peran yang penting dalam chanoyu, karena dengan menikmati secangkir

teh sambil menikmati dan memuji keindahan taman dan pelengkap chanoyu dapat

mempererat hubungan antara tuan rumah (penyelenggara chanoyu) dengan para tamu

(peserta chanoyu). Roji, taman dengan jalan kecil yang menghubungkan machiai

(tempat untuk para tamu menunggu tuan rumah sebelum mengikuti chanoyu) dengan

(15)

berfungsi sebagai tempat transisi emosional peserta chanoyu, karena dengan melewati

roji diharapkan dapat mengubah suasana hati seseorang yang sebelumnya berada di

dunia luar yang penuh aktifitas menuju ke dunia yang penuh ketenangan, suasana yang

sejuk dan suasana yang mendukung untuk kemudian menikmati jalannya chanoyu. Seperti pendapat Okakura dalam Engel ( 1959:21) :

one may be in the midst of a city and yet feel as if he were in the forest, far away from the dust and din of civilization.

seseorang bisa saja berada di tengah kota dan kemudian merasakan seolah-olah sedang berada di tengah hutan, jauh dari debu dan hiruk pikuk peradaban.

Roji memiliki pemandangan berupa pepohonan dengan semak belukar dan

tanaman hijau serta pakis dan tanah yang tertutup oleh lumut. Menurut HelpfulGardener

(2007), ornamen berupa tanaman yang ada di roji adalah jenis tanaman hijau seperti

jenis pakis dan lumut. Saat berada di taman ini, para tamu menggunakan bakiak kayu,

melangkah di tobi-ishi (batu pijakan) dan nobedan (jalan setapak).

Tergantung dari luas lahan yang akan dibangun menjadi taman teh, roji pada

umumnya terdiri dari satu atau dua bagian. Roji yang memiliki dua bagian, soto-roji dan

uchi-roji, tiap bagiannya dipisahkan oleh gerbang kecil yang disebut dengan chũmon.

(16)

teh, dan taman bagian dalam (uchi-roji) adalah area rumah teh. Berikut adalah contoh

denah roji, sebelah kiri gambar dengan judul 一重路地の例 (ichijyuurojinorei) adalah

contoh taman yang hanya terdiri dari satu bagian, sedangkan gambar yang sebelah kanan

dengan judul 二重路地の例(nijyuurojinorei) adalah contoh gambar yang memiliki dua

bagian yakni soto-roji dan uchi-roji yang dipisahkan oleh chũmon (gerbang kecil yang

terdapat dalam roji).

Gambar 2.2Roji

Sumber : :住宅の和庭 (Jyũtaku no Waniwa)

Keterangan gambar 2.2 :

gambar kiri (一重路地の例) :

1. 待合 (machiai) : ruang tunggu

(17)

3. 蹲踞 (tsukubai) : susunan batu untuk wadah penampung air

4. にじり口 (nijiriguchi) : pintu masuk berbentuk persegi

5. 床 (yuka) : lantai

gambar kanan (二重路地の例) :

1. 腰かけ (koshikake) : tempat duduk

2. 外路地 (soto roji) : roji bagian luar

3. 待合 (machiai) : ruang tunggu

4. 灯篭 (dõrõ) : lentera

5. 蹲踞 (tsukubai) : susunan batu untuk wadah penampung air

6. 内路地 (uchi roji) : roji bagian dalam

Ornamen-ornamen dalam Roji

Jyũtaku no Waniwa (1972 :136) menjelaskan tentang roji :

路地が現在日本庭園に与えた影響としては、手水鉢、茶会に出席 する客のためによういされた簡素な作りの東室(待合)の他に、 飛び石、石灯籠木立が挙げられる。

Bagian roji (taman teh) yang merupakan bagian dari taman Jepang seperti

tobi- ishi (batu pijakan), ishi-doro (lentera) dan rimbunan pepohonan,

kontribusi lainnya adalah tsukubai atau chozubachi dan rumah kecil untuk para tamu guna menunggu disuguhkan teh (machiai).

(18)

Hal-hal yang diperlukan dalam roji adalah ruang tunggu (machiai), batu setapak

(tobi-ishi), batu penampung air (tsukubai) dan lentera (ishi-dõrõ). Tobi-ishi (batu

pijakan) berfungsi sebagai jalan kecil yang terdapat di dalam taman yang mengarah ke

rumah teh. Tsukubai (wadah air) berfungsi untuk proses pembersihan sebelum upacara

minum teh dimulai, sedangkan ishi-dõrõ (lentera) yang diletakkan di sepanjang jalan

setapak berfungsi untuk menerangi taman dan membantu pencahayaan bagi peserta jika

chanoyu diadakan pada malam hari. Menurut Tanaka (1998 : 110), elemen yang selalu

ada dalam tiap taman teh adalah : mizuya (ruang persiapan untuk tuan rumah), chũmon

(gerbang kecil), ishi-doro (lentera), tobi-ishi (batu setapak), tsukubai (susunan batu

penampung air).

2.3 Konsep Zen dalam Taman Jepang

Zen berasal dari filosofi yang berdasarkan pemikiran. Pada awalnya ada seorang

pendeta dari India datang ke Cina, Bodhiddharma, untuk memperkenalkan Budha sekitar

tahun 500 sebelum masehi. Sepanjang perjalanannya ia mendapat sesuatu yang baru

yaitu diperkenalkan dengan ajaran Taois. Kemudian ajaran ini melebur menjadi satu

dalam pemikirannya yaitu pemikiran Budha, hal inilah yang kemudian disebut dengan

(19)

Zen sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di Jepang,

seperti dalam seni lukis, keramik, puisi serta upacara-upacara dan festival. Selain itu Zen

juga mempengaruhi arsitektur taman Jepang. Menurut Hendy (2001 : 8), bermula ketika

para pendeta Zen mendirikan kuil Zen. Mereka menghiasi kuil dengan lukisan dari Cina

yang menggambarkan puncak pegunungan yang tidak rata dan air terjun hanya dengan

menggunakan tinta berwarna hitam. Dari kesan sederhana dan warna yang tidak

beragam inilah kemdian mempengaruhi desain dari taman di kuil.

Taman di kuil Zen selalu menggunakan lahan yang berbentuk persegi dengan

latar belakang dinding yang sangat sederhana. Lahan tersebut diisi dengan komposisi

dari bebatuan, kerikil, dan pasir, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah dry garden

landscape (karesansui). Bebatuan kecil dan kerikil yang melambangkan air harus selalu

dibersihkan, sedangkan lumut pada bebatuan besar harus dirawat dengan cermat, karena

dapat bermakna ketenangan atau kesunyian. Para pendeta menjadikan hal ini sebagai

rutinitas sehari-hari. Hal ini bukan untuk menciptakan taman yang berfungsi sebagai

tempat meditasi, tetapi untuk memberikan kesan atau menciptakan suasana tenang untuk

kehidupan spiritual para pendeta. Efek warna yang digunakan dalam kuil Zen juga

sangat alami, tidak menggunakan efek warna yang sangat beragam, yakni hanya

(20)

sangat sedikit, seperti stepping-stones atau tobi-ishi (jalan setapak) dan ishi-dõrõ

(lentera).

Taman Zen tidak harus selalu berupa dry garden seperti yang terdapat di kuil-kuil,

tetapi juga bisa dibuat dalam bentuk lain asalkan memiliki nilai dari prinsip atau estetika

dan simbol-simbol Zen. Taman Zen memiliki suatu yang cukup kontras yakni antara

keseimbangan dan ketidakteraturan. Ketidakteraturan digambarkan dengan adanya

tobi-ishi (batu pijakan) yang menjadi jalan setapak dalam taman. Bentuk batu yang tidak

sama antara satu dengan lainnya serta susunan yang berbeda, menggambarkan

ketidakteraturan tersebut. Menurut Hendy (2001 : 11), berjalan di jalan setapak ini dapat

menuntun mata kita untuk melihat bagian-bagian taman yang berjarak agak jauh,

sehingga dapat menikmati keindahan dalam taman. Selain itu bentuk dari lentera di

taman juga menggambarkan ketidakteraturan.

Keseimbangan dalam taman juga menentukan keindahan taman yang

mengandung unsur Zen. Di Cina keseimbangan dikenal dengan istilah yin dan yang,

sementara di Jepang dikenal dengan in dan yo. Keseimbangan ini ditunjukkan dengan

komposisi kerikil, pasir dan bebatuan serta perpaduan antara ornamen dengan alam.

Sebagai contoh keseimbangan antara daerah yang mendapat pencahayaan dari sinar

(21)

Zen tidak hanya terdapat dalam taman karesansui, tapi dalam roji juga

terdapat simbol dan prinsip dari Zen. Seperti elemen-elemen dari alam yang memiliki

makna dalam Zen, dan prinsip wabi-sabi dalam arsitektur taman.

2.3.1 Prinsip Zen dalam Taman

Prinsip Zen dalam taman bergantung dari jenis taman yang dibuat, taman

karesansui memiliki makna dan prinsip Zen yang berbeda dengan prinsip Zen dalam roji.

Skripsi ini akan menganalisis prinsip Zen dalam roji, maka penulis akan lebih fokus

membahas prinsip Zen dalam roji. Prinsipnya adalah wabi-sabi dan shin-gyou-sou.

2.3.1.1 Wabi – Sabi

Pengertian wabi-sabi sangatlah luas karena dapat diartikan dalam berbagai

bidang ataupun seni, mulai dari arsitektur, makanan, lukisan, keramik hingga cara hidup

samurai.

Menurut Davies dan Ikeno (2002: 223 - 225), wabi-sabi adalah suatu ungkapan

yang terdiri dari dua kata yaitu wabi dan sabi , meskipun demikian unsur-unsurnya

saling berhubungan. Wabi adalah suatu keindahan dan prinsip moral yang menekankan

(22)

dari kata sifat sabishi, yaitu digunakan lebih untuk menyatakan ketenangan,

kelengangan dan kecantikan.

Pendapat dari Ando (2007) tentang wabi-sabi :

wabi refers to harmony, peace, tranquillity, and balance. Generally speaking, wabi had the original meaning of sad, desolate and lonely, but poetically it has come to mean simple, unmaterialistic and in tune with nature.

wabi mengarah kepada suatu yang harmonis, damai, ketenangan dan

keseimbangan. Secara umum, wabi memiliki makna kesedihan, sunyi dan kesendirian, tetapi secara puitis wabi berarti sederhana, tidak menggunakan banyak materi atau campuran, dan senada dengan alam

Sabi means ”the bloom of time”.it connotes natural progression-tarnish, hoariness, the extinguished gloss of that which once sparkled. It’s understanding that beauty is fleeting. Sabi’s meaning had evolved into things that were old and faded.

sabi berarti ”berkembangnya waktu”. Hal ini berkonotasi dengan

bertambahnya noda pada alam, seusuatu yang semakin tua, dan lunturnya kehalusan dari sesuatu yang berkilau.. Hal ini menjelaskan bahwa kecantikan akan menghilang. Makna dari sabi dihubungkan dengan sesuatu yang menjadi tua dan memudar.

Menurut Ando (2007), wabi-sabi dalam arsitektur digambarkan dengan sesuatu

yang suram dan ruangan atau bagian yang diselimuti bayangan. Bahan atau materi yang

digunakan adalah materi yang mudah dipengaruhi oleh alam, membengkok, menyusut,

(23)

ataupun pasir, sedangkan warnanya adalah warna yang senada dengan alam atau tidak

penuh dengan variasi warna seperti cokelat, hitam, putih, abu-abu, hijau, kuning tua dan

merah kecokelatan.

Kodansha Encyclopedia (2003 : 243) menjelaskan tentang wabi dan sabi :

「侘」 は動詞の「詫ぶ」(気落ちする)や、形容詞の 「侘び し」(孤独な、味気ない)を語源とし、もともとはなんらかの苦 境に陥った人の苦しみを表す言葉だった。

Kata wabi berasal dari dari kata wabu (merana) dan kata sifat wabishi (sepi, kesedihan), yang ditunjukan dari perasaan sedih seeorang disaat jatuh kedalam situasi yang bertentangan.

老いや孤独、諦念、静寂などの要素が混ざり合った中世の美意識 を指向する。

Sabi mengarah kepada estetika perpaduan antara unsur usia tua, kesepian,

penyerahan diri dan ketenangan.

Keane (1996 : 76) berpendapat estetika dari wabi selalu diterjemahkan dengan

sesuatu yang lemah-lembut. Pada taman digambarkan dengan permukaan gayung

bambu (hishaku) yang halus pada tsukubai (wadah air). Wabi berasal dari kata

wabishii yang artinya kesengsaraan dan kesedihan, dan dari kata wabiru yang

artinya bersedih, cemas atau khawatir. Sedangkan sabi berasal dari kata sabishii

(24)

menderita. Contoh lainnya dalam taman adalah pada roji, menurut Engel (1959:21)

sabi yang berarti kesunyian dan bisa juga berarti tua (sesuatu yang berumur),

ditunjukkan dengan adanya lumut di tanah, tobi-ishi (batu pijakan), tsukubai (wadah

air) ataupun pada ishi-dõrõ (lentera). Hirotaro (1972 : 118) juga menjelaskan

tentang wabi dalam roji, bahwa dari suatu benda yang tampak kuno atau tua dan

lumut yang menutupi sesuatu akan menimbulkan wabi yaitu merasakan adanya

ketenangan tersendiri. Pendapat lainnya adalah pendapat dari Engel (1959 : 21) :

By sabi they mean the appearance of antiquity, age, hoariness, rusticity, natural texture, while sabi, a more abstract concept, taste, and tranquility produced in the precincts of a tea house and garden.

Dengan sabi mereka mengartikannya sebagai penampilan yang antik , berkarat dan tekstur yang alami, sedangkan wabi memiliki konsep yang lebih abstrak, seperti rasa, dan ketenangan yang diciptakan pada rumah dan taman teh.

Pendapat lain dari Engel (1959:21) tentang wabi sabi dalam roji, yaitu sabi

yang berarti kesunyian dan bisa juga berarti tua (sesuatu yang berumur), ditunjukkan

dengan adanya lumut di tanah, tobi-ishi (batu pijakan), tsukubai (wadah air) ataupun

(25)

2.3.1.2 Shin - Gyõ - Sõ

Shin - gyõ – sõ menggambarkan sesuatu yang formal, semiformal, dan informal.

Konsep seperti ini diterapkan dalam seni di Jepang seperti pada arsitektur taman dan

kaligrafi. Keane (1996 : 77) menjelaskan tentang shin - gyõ – sõ sebagai berikut, shin

digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat terkendali atau merupakan sesuatu

yang dibentuk atau diolah oleh manusia. Contohnya dapat dilihat pada jalan setapak,

konsep shin terlihat dengan penggunaan bahan yang terbuat dari batu granit yang terpola

rapi, balok-balok batu, kayu yang sudah dipotong dengan rapi dan batu kapur putih yang

disusun. Shin tidak menunjukan sesuatu yang mewah, karena mendapat campur tangan

dari manusia, tetapi lebih ditujukan untuk nilai kebersihan.

Sõ adalah suatu pola yang bertolak belakang dengan shin, karena sõ lebih

menggambarkan sesuatu yang alami dan bahan yang digunakan murni tanpa ada campur

tangan dari manusia. Contohnya, pada batu setapak digunakan bebatuan sungai, bagian

dari gerbang digunakan bambu, dan untuk pagar digunakan kumpulan ranting yang

diikat. Sõ lebih menggambarkan untuk dapat bersatu dengan alam.

Gyõ adalah pola gabungan dari shin dan sõ sehingga menggambarkan kesatuan

(26)

Gambar 2.3 Pola Shin

Sumber : Japanese Garden Design (1996 : 77)

Gambar 2.3 adalah tiga contoh gambar yang menggunakan pola shin. Jika dilihat

dari kiri ke kanan, gambar pertama dan kedua adalah pola shin dengan menggunakan

materi atau bahan shin (bebatuan yang sudah diolah atau dipola oleh manusia, seperti

batu granit berbentuk balok), sedangkan pada gambar ketiga adalah pola shin yang

menggunakan bahan sõ (bebatuan kecil atau bebatuan sungai yang tidak diolah lagi).

Gambar 2.4 Pola Gyõ

Sumber : Japanese Garden Design (1996 : 77)

Gambar 2.4 adalah tiga contoh gambar yang menggunakan pola gyõ. Ketiganya menggunakan pola gyõ dan bahan gyõ, yakni gabungan dari shin dan sõ (pada susunannya terdiri dari bebatuan alam dan batu-batu yang sudah diolah dan dicetak terlebih dahulu).

(27)

Gambar 2.5 Pola Sõ

Sumber : Japanese Garden Design (1996 : 77)

Gambar 2.5 adalah contoh dari pola sõ. Jika dilihat dari kiri ke kanan, gambar

pertama adalah gambar batu pijakan dengan pola sõ dan menggunakan bahan atau

materi sõ (materi yang murni berasal dari alam tanpa ada proses pengolahan terlebih

dahulu). Gambar kedua adalah contoh gambar batu pijakan dengan pola sõ dan

menggunakan materi dari shin dan sõ. Sedangkan yang terakhir adalah contoh batu

pijakan yang menggunakan pola sõ dan mengunakan materi shin.

2.3.2 Simbol Zen dalam Taman Jepang

1. Batu

Penempatan batu dalam taman Jepang memiliki makna yang sangat penting.

Menurut Engel (1959), batu melambangkan shumisen (dalam bahasa Jepang) dan

semeru (dalam bahasa Sansekerta). Maknanya adalah pada awal pemikiran Budha, shumisen adalah gunung yang menjadi pusat dunia. Selain itu menurut Keane (1996 :

(28)

146), batu mengandung nilai animisme (kepercayaan akan banyak dewa). Kepercayaan

sebagian masyarakat Jepang, batu menjadi tempat tinggal atau tempat duduk dewa, yang

dikenal dengan istilah iwa-kura.

2. Air

HelpfulGardener (2007) menjelaskan bahwa air bermakna proses reinkarnasi dan

merupakan perwakilan dari laut dan samudra. Dikatakan reinkarnasi, karena secara teori

atau ilmu alam, disamakan dengan adanya proses terjadinya hujan. Mulai dari proses

penguapan di laut hingga terjadi hujan dan pada akhirnya air kembali ke laut. Selain itu

jika di dalam taman terdapat air terjun, maka air terjun tersebut melambangkan kesetiaan

dan keteguhan, berdasarkan legenda seekor ikan yang berusaha mencapai puncak dari

air terjun untuk kemudian berubah menjadi naga. HelpfulGardener (2007) juga

menerangkan makna air yang terdapat dalam roji (taman teh), yakni melambangkan

proses penyucian atau seperti proses pembabtisan dalam budaya Barat.

Keane (1996 : 148) juga menjelaskan makna air pada karesansui (taman kering)

yang diwakilkan dengan adanya pasir putih atau kerikil, yakni untuk proses penyucian.

Menurut Hendy (2001 : 34), karena air dapat memenuhi atau dapat berubah bentuk

(29)

ajaran Zen, yakni untuk selalu membuka pikiran atau tidak hanya terpaku pada pikiran

yang sudah ada.

3. Tanaman

HelpfulGardener (2007) menjelaskan tentang tanaman yang memiliki makna,

yakni bambu, plum dan pinus. Tanaman bambu, terutama yang berukuran besar,

melambangkan kekosongan hati. Plum adalah jenis tanaman yang tidak berdaun dan saat

musim dingin pun akan tetap tumbuh, karena itu melambangkan kegembiraan dan

kelahiran kembali. Pinus melambangkan kekuatan dan kesabaran. Dalam Keane (1996 :

152) menjelaskan pinus adalah sebagai gambaran dari umur panjang.

Tanaman lainnya adalah jenis tanaman hijau seperti pakis, lumut dan tanaman

yang berukuran sedang. Hal ini sesuai dengan konsep wabi-sabi yang diwakilkan

deangan efek dari warna hijau. Seperti tanaman pada roji, yang dipilih oleh Sen no

Rikyu adalah tanaman hijau bukan tanaman yang penuh dengan warna

4. Ornamen

Lentera dan wadah penampung air yang diletakkan dalam roji memiliki makna

(30)

lentera dan wadah penampung air yang pada awalnya diletakkan di dalam kuil kemudian

di letakkan di dalam roji, sehingga akhirnya menjadi simbol dalam roji yang memiliki

makna Zen. Lentera melambangkan pencerahan, sedangkan wadah penampung air

melambangkan proses penyucian. Ornamen lainnya adalah jembatan, memiliki makna

jalan untuk menuju dunia selanjutnya atau proses peralihan dari dunia nyata (manusia

yang penuuh akan kesibukan) menuju dunia alam. Dalam roji berarti transisi ke suasana

Gambar

Tabel 2.1    Bahan yang Berasal dari Alam (Natural)  Bahan   Kegunaan
Tabel 2. 2    Bahan yang Sudah Diolah Manusia (Manmade)  Bahan   Kegunaan
gambar kiri  (一重路地の例) :
Gambar 2.3 Pola Shin
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, penilaian yang dilakukan terhadap siswa bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum (Kunandar, 2008). Selain itu,

Jika sebuah perusahaan yang terdaftar di Uni Eropa memegang produk yang tidak memenuhi syarat misalnya (kapal yang tidak sesuai peraturan) atau kondisi (disetujui tetapi

Target penerimaan perpajakan pada APBN tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp1.193,0 triliun, terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun

Bagian Pelayanan Teknis Jaringan dan Sambungan Rumah memiliki 5 Key Performance Indicator yang ditunjang oleh 14 knowledge yang sudah dijabarkan melalui knowledge

Apabila kayu tersebut tidak diambil akan mengakibatkan resiko bagi nelayan nantinya, karena air sungai (air bah) tersebut arusnya akan pergi kelaut dan apabila balok

Jawa.

telah terjadi pisah tempat tinggal selama 6 bulan;--- Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga antara

Hasil pengklasifikasian buah sesuai dengan kategorinya didapatkan dengan cara menghitung jarak antara data gambar uji terhadap setiap data gambar latih dengan metode