• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BUDAYA SUNDA YOLANDA AGUSTINE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BUDAYA SUNDA YOLANDA AGUSTINE"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL

TRADISIONAL BUDAYA SUNDA

YOLANDA AGUSTINE

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Yolanda Agustine

(4)
(5)

ABSTRAK

YOLANDA AGUSTINE. Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.

Kebudayaan Sunda adalah salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Guna memperoleh gambaran yang nyata mengenai arsitektur tradisional Sunda, perlu dilakukan kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional budaya Sunda. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman rumah, tata letak, dan maknanya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui survei lapangan dan penelusuran informasi sejarah-kebudayaan. Observasi lapang dilakukan di beberapa wilayah Jawa Barat sebagai referensi, seperti Kampung Urug di Kabupaten Bogor, Kampung Sindang Barang di Kabupaten Bogor, dan Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Tata ruang rumah tinggal masyarakat Sunda berbentuk persegi panjang dan simetris. Secara umum, tata ruang tradisional Sunda terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan konsep Tritangtu yaitu bagian depan atau atas, bagian tengah, dan bagian belakang atau bawah. Halaman pada rumah tinggal masyarakat Sunda di bagi menjadi tiga bagian, yang terdiri dari halaman depan (buruan), halaman pinggir (pipir), dan halaman belakang (kebon). Ruang terbuka yang lebih dominan berupa hamparan tanah atau ditanami rumput. Elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional Sunda adalah lumbung padi (leuit), tempat menumbuk padi

(saung lisung), kamar mandi (tampian), kolam (balong), lampu taman (obor),

kandang ayam, dan tanaman.

Kata kunci: arsitektur tradisional, budaya Sunda, taman rumah

ABSTRACT

YOLANDA AGUSTINE. Study on Design of Sundanese Traditional Home Garden. Supervised by ANDI GUNAWAN.

Sundanese culture is one of the oldest culture in Indonesia. The study of traditional Sundanese garden needs to be done in order to get a real image about traditional Sundanese culture. The objectives of this research are to identify the elements, layout, and interpretation of sundanese garden. This research was obtained through descriptive analysis by field observation and tracing the information of culture and history. The study area are Urug Village, Bogor District; Sindang Barang Village, Bogor District; and Naga Village, Tasikmalaya District. The result of this study showed the spatial order of traditional Sundanese house divided into three parts in according the Tritangtu concept; those are the front or upper part, the central part, and back or under part. Yard of Sundanese house divided into three parts, those are the frontyard (buruan), sideyard (pipir), and the backyard (kebon). The dominant open space is an expanse of land or a grass. The forming elements of traditional sundanese garden are leuit, saung

lisung, traditional bathroom (tampian), pond (balong), garden light (obor), cage of

hen, and plants.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

KAJIAN DESAIN TAMAN RUMAH TINGGAL

TRADISIONAL BUDAYA SUNDA

YOLANDA AGUSTINE

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda Nama : Yolanda Agustine

NIM : A44090060

Disetujui oleh

Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Kajian Desain Taman Rumah Tinggal Tradisional Budaya Sunda“ disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada:

1. Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikannya.

2. Dr Syartinilia Wijaya, SP, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa. 3. Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr dan Dr Ir Bambang

Sulistyantara, MAgr selaku penguji pada ujian sidang yang telah memberikan masukan-masukan guna memperbaiki sehingga skripsi ini lebih baik lagi. 4. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Mama dan Papa dan seluruh

keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa, bimbingan, kepercayaan serta dukungan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

5. Bapak Mamat Sasmita selaku pemilik perpustakaan Rumah Baca Buku Sunda yang meminjamkan buku-buku, memberi informasi, pengalaman serta bimbingannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Para budayawan Sunda (Pak Undang, Pak Asep) yang memberi informasi dan pengalamannya.

7. Para Pengelola Kampung Adat Naga (Pak Tatang, Pak Ayo), Bapak Acmat Mikami sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindang Barang, dan Bapak Ukat Raja Aya sebagai Ketua Adat Kampung Urugatas keramahan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian.

8. PT Asia Timur Konsultindo atas beasiswa dan kesempatan kuliah yang diberikan.

Pada akhirnya, harapan penulis semoga studi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dan berguna sebagai referensi bagi penelitian di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Bogor, September 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Lanskap 3

Taman 4

Kebudayaan 5

Budaya dan Konsep Tata Ruang Sunda 6

Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan) 9

Kependudukan dan Mata Pencaharian 20

Sejarah Sunda 23

METODE 25

Lokasi dan Waktu 25

Metode dan Tahapan Penelitian 25

Kerangka Kerja 25

HASIL DAN PEMBAHASAN 28

Hasil Observasi Lapang 28

Hasil Wawancara 38

Konseptualisasi Taman Sunda 45

SIMPULAN DAN SARAN 52

Simpulan 52 Saran 53 DAFTAR PUSTAKA 53 LAMPIRAN 55 GLOSARIUM 59 RIWAYAT HIDUP 61

(12)

DAFTAR TABEL

1 Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah) 18

2 Daftar lahan bersifat positif 19

3 Lokasi, jumlah, dan pemilik rumah objek penelitian 27

4 Daftar nama narasumber 27

5 Jenis, bentuk, dan sumber data 28

6 Perbandingan komponen tata ruang rumah masyarakat Sunda 29 7 Penanaman tanaman di lingkungan rumah tinggal masyarakat Sunda 38 8 Komponen rumah tinggal Sunda menurut narasumber 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Pola linear pada kampung tradisional 8

3 Pola terpusat pada kampung tradisional 9

4 Pola radial pada kampung tradisional 9

5 Bangunan dengan atap jolopong 10

6 Bangunan dengan atap jogo anjing 11

7 Bangunan dengan atap badak heuay 11

8 Bangunan dengan atap parahu kumureb 12

9 Bangunan dengan atap julang ngapak 12

10 Bangunan dengan atap buka palayu 13

11 Bangunan dengan atap buka pongpok 13

12 Denah rumah yang menghadap ke arah melebar (buka pongpok) 16 13 Denah rumah yang menghadap ke arah memanjang (buka palayu) 17 14 Pembagian wilayah kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh 24

15 Tahapan penelitian 26

16 Pagar bambu dan tanaman hanjuang sebagaibatas area pemukiman 31

17 Sirkulasi pada rumah tradisional Sunda 31

18 Terdapat tangga (golodog) di depan rumah 32

19 Bentuk rumah tradisional Sunda 33

20 Bangunan leuit masyarakat Sunda 34

21 Saung lisung 35

22 Kolam dan tampian pada halaman rumah tradisional Sunda 36

23 Tanaman pemberi aksen dan aroma 36

24 Tanaman penghasil buah pada lingkungan rumah tinggal 37

25 Pembagian halaman rumah tradisional Sunda 40

26 Posisi leuit pada halaman rumah tinggal 43

27 Posisi saung lisungpada halaman rumah tinggal 43 28 Penataan rumah berdasarkan hubungan kekerabatan 46 29 Konsep elemen (hardscape) pada taman rumah tinggalSunda 49 30 Konsep penanaman pada taman rumah tinggal masyarakat 50 31 Rekomendasi desain taman rumah tinggal tradisional Sunda 51

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Sunda 55

2 Tata Ruang RumahTinggal Masyarakat Sunda 56

3 Elemen Pembentuk Rumah Tinggal 57

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan setiap suku pada tiap daerah memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi kedaerahan, aktivitas sosial masyarakat, serta kekhasan tata ruang arsitektur yang disebut dengan arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional adalah suatu unsur kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu suku bangsa. Oleh karena itu, arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari suatu pendukung kebudayaan (Harun et al. 2011).

Kebudayaan Sunda adalah salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Dalam hal ini diungkapkan oleh Purnama (2007) bahwa dalam budaya Sunda kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal yang akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya sebagai pendukung.

Masyarakat budaya Sunda memiliki ciri khas yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan

silih asuh yang artinya masyarakat Sunda harus saling mengasihi (mengutamakan

sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Dan hal ini tercemin bukan hanya diterapkan dalam sikap masyarakat tetapi juga tercermin dalam penataan arsitektur dan pembagian ruang yang diaplikasikan dengan sangat baik sehingga memiliki karakter dan ciri khas tersendiri.

Ekadjati (2005) menyatakan bahwa Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang pertama didirikan di Tatar Sunda. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara muncul dua kerajaan baru yang menggantikan peranan kerajaan tersebut. Kedua kerajaan itu adalah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Wilayah Kerajaan Sunda di bagian Barat dengan Ibu Kota Pakuan, sedangkan wilayah Kerajaan Galuh di bagian Timur tanah Sunda dengan Ibu Kota Kawali.

Kajian mengenai desain taman rumah tinggal tradisional budaya Sunda di Kampung Adat Naga dekat Kabupaten Ciamis, Kampung Adat Urug dan Kampung Budaya Sindang Barang di Kabupaten Bogor perlu dilakukan. Hal ini ditunjukan untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai arsitektur tradisional Sunda, agar tetap dapat dilestarikan dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat Jawa Barat. Karena sampai saat ini sangat sedikit penelitian yang dilakukan mengenai taman rumah tinggal tradisional Sunda dan hampir dapat dikatakan tidak ada.

(16)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji desain taman rumah tinggal tradisional budaya Sunda. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk taman rumah tinggal tradisional Sunda, tata letak, dan maknanya;

2. memformulasikan konsep desain taman rumah tinggal tradisional Sunda.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap taman rumah tinggal tradisional Sunda ditinjau dari sudut pandang budaya;

2. membantu pemerintah dan masyarakat Jawa Barat untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal tradisional sebagai landasan mendesain taman Sunda.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian terbatas pada area taman rumah tinggal tradisional. Beberapa kampung adat Sunda di wilayah Jawa Barat dipilih sesuai dengan potensi karakter kampung adat, sejarah Sunda, serta masyarakat yang masih menjalankan aktivitas sehari-hari sesuai dengan kebudayaan Sunda (kearifan lokal) sebagai tambahan referensi penelitian. Hasil akhir dari penelitian ini adalah laporan deskriptif serta usulan konsep taman rumah tinggal tradisional Sunda.

Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir dalam penelitian mengenaitaman rumah tinggal tradisional Sunda ini dilihat mulai dari keterkaitan antara taman atau lingkungan rumah tinggal, arsitektur rumah tinggal, dan pengaruh budaya masyarakat tradisional Sunda. Ketiga hal ini akan saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu pola yang memiliki karakter yang khas. Pembentuk karakter taman rumah tinggal Sunda meliputi elemen-elemen pembentuk taman, tata letak elemen, serta makna yang terkandung didalamnya. Dalam segi arsitektur rumah tinggal Sunda dilihat juga bagaimanapengaruh arsitektur rumah terhadap taman atau lingkungan sekitar rumah baik dari bentuk maupun tata letaknya.Selain itu, dilihat juga bagaimana pengaruh budaya masyarakat seperti local wisdom dan adat istiadat setempat. Setelah semua informasi terkumpul, maka dapat diformulasikan sehingga membentuk konsep desain taman rumah tinggal tradisional Sunda. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(17)

3

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Lanskap adalah suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem. Ekosistem merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial, dan sistem tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value yangterkait dengan ruang dan waktu, dimana proses yang terjadi di dalam ekosistem tersebut dapat saling mempengaruhi satu sama lain sehingga hasil dari proses tersebut dikombinasikan dengan interaksi yang akan membentuk suatu karakter khusus yang khas dan berbeda dengan tempat lainnya (Lyle 2001).

Manusia, lahan, dan design physical planning adalah faktor-faktor penting untuk membentuk suatu lanskap yang berperan sebagai ekosistem. Lanskap ini diharapkan dapat menampung segala aktivitas manusia sesuai dengan latar belakang dan pola perilaku yang diperoleh dari budaya setempat. Hal ini merujuk pada kebiasaan sehari-hari (tradisi) dan karakter masyarakat didalamnya untuk meningkatnya kualitas manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998). Kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi kualitas lingkungan, meliputi kebutuhan psikologis, emosional, dan dimensional, dimana kebutuhan manusia diarahkan untuk memenuhi ruang gerak, proses menghayati, merasakan, berfikir, dan menciptakan kawasannya terhadap lingkungannya (Simonds dan Starke 2006).

Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang dapat membentuk suatu karakter. Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter suatu lanskap adalah tanaman. Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2) peletakan tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5) prinsip tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu berdasarkan morfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975).

Proporsi, pola, dan aturan penempatan elemen-elemen lanskap disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan elemen, pola pergerakan, serta fungsi yang akan

Taman dan rumah tinggal tradisional Sunda

Taman Arsitektur Budaya

Tata letak

Elemen Makna Hubungan

arsitektur dengan taman Adat Istiadat Local Wisdom

Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Sunda

(18)

4

ditetapkan di dalamnya. Kekhasan bentuk dan pola ini menghasilkan filosofi yang dapat memunculkan nilai dari lingkungan fisik, sosial, dan budaya sekitar. Konsep penataan tersebut akan mewakili kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan lingkungan. Hubungan ini akan membentuk struktur ide, kekuatan (quality), dan perasaan terhadap keindahan yang membentuk karakter melalui proses desain (Rogers 2001).

Di dalam lanskap, manusia memiliki peranan penting dalam menentukan kekhasan desain lanskap yang memiliki nilai keberlanjutan. Keberlanjutan (sustainable) ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap dan perilaku manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap tertentu tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran simbol-simbol penting yang menjadi ciri dan karakter yang khas suatu daerah tertentu (identity atau special character) (Benson dan Roe 2000). Lanskap dapat diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili karakter, dan mengekspresikan kehidupan (Thompson dan Steiner 1997).

Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan pemikiran yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai simbol. Pola lanskap melalui simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktor-faktor setempat. Dan faktor-faktor akan mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap sehinggadapat memberikan pandangan yang berbeda (Hendraningsih 1982).

Karakter lanskap memilki nilai simbolik apabila didukung oleh faktor interaksi sosial dengan lingkungannya. karakter ini terbentuk oleh kebiasaan dan tradisi yang dikembangkan menjadi karakter khusus yang memiliki kekhasan. (Bentley dan Watson 2007). Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh tatanan sosial (tradisi), elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan menghindari konflik. Hal ini merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan sebuah karakter khusus dan secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan melihat pola-pola yang ada dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan (Longstreth 2008).

Taman

Menurut Turner (2005), taman adalah sebidang lahan yang dipagari dan digunakan untuk kesenangan manusia. Taman menghubungkan antara manusia dengan dunia dimana mereka hidup. Semua manusia dari berbagai jenis umur merasakan kebutuhan untuk berdamai dengan lingkungan sekitarnya dan telah membuat taman untuk memuaskan cita-cita dan aspirasinya (Crowe1981). Salah satu taman yang dapat mendukung fungsi rumah adalah taman rumah. Dalam cakupan pertamanan, peran taman rumah tidak kecil. Taman rumah merupakan komponen penting di lingkungan rumah tinggal sebagai pelengkap dan penyempurna kehidupan rumah tangga. Taman dapat menjadi wahana bagi keluarga sebagai tempat bercanda, berekreasi, bermain, atau sekedar duduk santai. Taman rumah juga menjadi unsur penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat baik bagi penghuni maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rangkaian taman rumah yang satu dengan yang lainnya akan membentuk

(19)

5 kesatuan rumah tinggal. Apabila ditata dengan asri, rangkaian taman dapat menampilkan keindahan lingkungan perumahan (Sulistyantara 2006).

Beberapa faktor dan fungsi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan taman, yaitu keindahan, privasi, kenikmatan, keamanan dan kenyamanan, fleksibel, rekreasi, sumber makanan (sayur dan buah), hiburan, dan mudah dalam perawatan. Fungsi taman sebagai sumber makanan dapat diaplikasikan dengan menanam jenis tanaman sayur dan buah. Di negara maju, kesadaran akan manfaat tanaman sayur dan buah segar untuk kesehatan mendorong mereka untuk menjadikan tanaman buah dan sayur sebagai elemen terpenting dari lanskap halaman rumah. Berdasarkan bagian yang dapat dikonsumsi, tanaman sayur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sayur buah, sayur daun, dan sayur umbi. Tanaman sayur buah contohnya adalah tomat, terung, cabai merah, cabai rawit, paprika, labu siam, kacang panjang, dan pare, sedangkan contoh tanaman sayur daun seperti kemanggi, katuk, bayam, kangkung, sawi hijau, selada, bawang daun, dan seledri. Tanaman sayur umbi dapat berupa wortel dan lobak (Supriati et al. 2008).

Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata budaya yang bermakna pikiran, akal budi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kebudayaan memiliki beberapa arti berikut:

1. hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat;

2. keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya;

3. hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidupnya.

Kebudayaan berperan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk memahami lingkungannya berdasarkan pengalaman. Kebudayaan memiliki unsur-unsur universal, yaitu bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri dari tiga wujud, yaitu ideal, aktivitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984).

Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi suatu komunitas yang bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling melengkapi. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari satu ke yang lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan tersebut dapat berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al. 2008).

Kebudayaan memiliki nilai nyata dan rasio yang dikelola secara berulang-ulang sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan keyakinan yang menjadi faktor pendorong untuk menciptakan ide dan nilai. Ide dan nilai pada budaya ini mendefinisikan seuatu simbol yang menggambarkan suatu gaya dari kebudayaan tertentu yang mempengaruhi bentuk arsitektural, adab, adat, dan kesenian yang khas (Rogers 2001). Suasana harmonis dihasilkan melalui beragam interaksi yang terhimpun membentuk suatu kesatuan (Frick 1997). Kebudayaan dapat dinilai sebagai pencerminan jiwa masyarakat sehingga membentuk karakter yang khas dan mencerminkan identitas yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat membangun kebiasaan-kebiasaan

(20)

6

tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma, peraturan, ketentuan, atau perundana-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki kesatuan identitas dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan kelompok lainnya (Hariyono 2007).

Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui kegiatan, bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau identitas tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang mengutamakan pemaknaan kehidupan adalah kebudayaan Jawa sehingga Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai pokok kehidupan manusia, antara lain, (1) masalah hakikat hidup manusia, (2) masalah hakikat karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan sesama dan Tuhannya.

Budaya dan Konsep Tata Ruang Sunda Budaya Sunda

Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua (Harun et al. 2011).

Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah, dan

silih asuh, yang artinya masyarakat Sunda harus saling mengasihi (mengutamakan

sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu, masyarakat Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat untuk menjaga keseimbangan sosial masyarakat Sunda dan gotong-royong (Harun et al. 2011).

Sumardjo (2009) menjabarkan bahwa dalam upacara-upacara adat masyarakat selalu melantunkan pantun yang dipimpin oleh seorang juru pantun. Pantun adalah hasil dari kebudayaan Sunda pada zaman mistis-spiritualnya. Kebudayaan ini dapat dikatakan kebudayaan religius, yang berbeda dengan kebudayaan modern yang sekuler. Dalam kebudayaan regilius justru manusia harus berpartisipasi dengan dunia dan alam semesta. Manusia tidak dapat menguasai atau mengekploitasi dunia, dan itu dianggap tabu atau “dosa”.

Pada acara ritual adat, lantunan pantun selalu mengiringi jalannya upacara. Pantun adalah simbol budaya, yakni alam pikiran masyarakat Sunda. Pantun bukan hanya simbol, tetapi simbol yang sakral dan mengandung nilai-nilai yang seharusnya bagi masyarakat Sunda. Pantun merupakan artefak (pikiran) arkeologi budaya Sunda dimasa lampau. Pantun adalah simbol religi Sunda lama yang merumuskan konsep-konsep tentang tatanan eksisting. Simbol adalah salah satu peralatan manusia untuk menjangkau pengetahuan dan pengalaman di luar

(21)

batas-7 batas budaya. Orientasi simbol adalah pengetahuan, pikiran, dan pengalaman yang transenden, yang mengatasi batas-batas imanen manusia (Sumardjo 2009).

Pada umumnya masyarakat Sunda sangat menghormati lingkungan alam tempat mereka tinggal. Mereka mempunyai kearifan agar bisa hidup harmonis dalam kehidupan sosialnya dan dengan alam lingkungannya. Beberapa filosofi yang dikenal oleh masyarakat Sunda untuk menjaga kelestarian lingkungan hidupnya, yang mereka pandang sebagai warisan suci di atas bumi. Ngaraksa

Sasaka Pusaka Buana yang mengandung makna bahwa lahan yang subur harus

tetap terjaga subur, sumber air tidak tercemar, udara terjaga bersih, semua makhluk hidup mendapat ruang hidup masing-masing sesuai dengan waktu dan tempatnya, agar buana bumi dapat diwariskan kepada anak cucu sebagai bumi yang mampu memberikan kehidupan yang berkecukupan untuk semua makhluk hidup didalamnya, sebagaimana para leluhur telah menikmatinya. Filosofi hidup inilah yang juga dicerminkan oleh tatanan pemukiman mereka (Harun et al. 2011).

Tata Ruang Tradisional Sunda

Harun et al. (2011) menjabarkan bahwa dikalangan masyarakat Sunda dikenal azas kesatuan tiga atau disebut sebagai konsep Tritangtu. Azas ini mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda, baik yang bersifat fisik maupun sosial, termasuk hubungan kekuasaan. Terdapat pembagian kosmologi Sunda yang terdiri atas tiga bagian dunia, yaitu dunia atas (buana ngungcung), dunia bawah (buana larang), dan dunia tengah (buana panca tengah). Konsep tritangtu pada dasarnya adalah perkawinan pasangan oposisi untuk segala hal. Pasangan oposisi dasar tersebut adalah pembagian laki-laki dan perempuan untuk segala hal. Perkawinan keduanya menghasilkan lahirnya eksistensi ketiga yaitu anak. Kategori anak merupakan dunia yang mengandung unsur laki-laki dan perempuan. Inilah dunia tengah yang berfungsi sebagai medium dari dua oposisi (Sumardjo 2011). Pola tiga dipakai baik secara vertikal maupun horizontal (Sumardjo 2009).

Pembagian pola Tritangtu juga diterapkan dalam konsep rumah adat Sunda yang diwujudkan dalam bentuk atapnya, yakni rarangki tukang (atap belakang yang lebih panjang), rarangki pondok (atap tengah yang yang lebih pendek), dan

rarangki panjang (atap depan yang terpanjang). Dibawah atap-atap tersebut

terdapat pembagian ruang-ruang. Dibawah rarangki tukang terdapat ruang perempuan (parak) yang identik dengan dunia atas yang identik dengan perempuan. Rumah adat Sunda juga dibagi dalam kategori depan dan belakang yang berarti lelaki dan perempuan. Disamping itu, ada pembagian kiri dan kanan, kiri berarti laki-laki dan kanan berarti perempuan. Dalam masyarakat Sunda lama, perempuan menduduki derajat tertinggi. Bagian rumah paling depan dan paling kiri adalah bagian laki-laki. Sedangkan bagian umah paling belakang dan paling kanan bersifat perempuan, tempat basah (Sumardjo 2011).

Dalam perkembangan sejarah, perkampungan Sunda dibagi menjadi tiga pemukiman yang bertugas mengurus adat Sunda, mengurus agama islam, dan mengurus pemerintahan modern republik. Masing-masing bertanggung jawab atas tugasnya untuk kesatuan tiga kampung. Setiap perkampungan dipercaya memiliki tempat tinggal para hyang (hutan, bukit, gunung). Ketiga hal tersebut disatukan dalam satu hubungan jalan atau aliran sungai. Kampung dihubungkan dengan

(22)

8

kuburan atau pohon besar yang mengarah kehutan atau gunung. Ketika masyarakat Sunda memeluk agama Islam, pola ini masih dipertahankan. Di belakang mesjid terdapat kuburan, dan keduanya menghadap kiblat yang diantaranya terdapat gunung atau hutan (Sumardjo 2011).

Menurut Harun et al. (2011), masyarakat Sunda mengenal perencanaan dalam arti luas yang diisyaratkan melalui ungkapan “Nyoreang Alam Katukang,

Nyawang Lampang nu Bakal Disorang”, yang artinya “melihat kembali semua

usaha dan perbuatan yang dilakukan di tahun sebelumnya, dan melihat peluang dan merencanakan sesuatu yang harus dilakukan pada masa yang akan datang”. Ungkapan ini digunakan pada acara Seren Taunyang merupakan acara tertinggi yang menyempurnakan semua acara ritual adat.

Pada penataan pemukiman adat Sunda masyarakat mengenal istilah yang menjadi kearifan lokal sebagai dasar penataan ruang suatu perkampungan adat, yaitu: Gunung kaian, lamping gawir awian, legok balongan, datar sawahan,

lebak imahan. Yang secara harfiah berarti “gunung ditanami pohon kayu, lereng

bukit terjal ditanami bambu, yang cekung jadikan kolam, yang datar jadikan sawah, dan bagian lembah diperuntukkan bagi bangunan rumah” (Harun et al. 2011).

Menurut Anwar dan Nugraha (2013) setiap perkampungan yang ada di tanah Sunda memiliki pola pemukiman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, fungsi, dan keadaan kondisi alam yang ada. Pola perkampung tradisional dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut.

1. Pola linear

Pada pola kampung ini kelompok pemukiman yang setiap rumahnya berdiri sejajar lurus, bentuk bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi alam seperti topografi dan sistem masyarakat yang berlaku, posisi rumah memanjang (linear) mengikuti kondisi yang ada seperti sungai, jalan raya, tepi pantai, dan lain-lain (Gambar 2).

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 2 Pola linear pada kampung tradisional 2. Pola terpusat

Pada pola kampung ini kelompok pemukiman mengelilingi area terpusat yang luas dan dominan, seperti alun-alun, balai desa, lapangan terbuka, yang berfungsi sebagai are publik untuk menyatukan warga (Gambar 3).

(23)

9

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 3 Pola terpusat pada kampung tradisional 3. Pola radial

Pola radial memadukan kelompok pemukiman linear dengan terpusat. Kelompok pemukiman ini menempatkan rumah seperti jari-jari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, fungsi, dan kondisi alam sekitar, biasanya rumah diletakkan memanjang dengan memiliki titik yang dijadikan pusat arah (Gambar 4).

Sumber: Padma et al. (2001)

Gambar 4 Pola radial pada kampung tradisional

Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)

Bentuk bangunan tradisional Sunda memang amat sederhana. Penduduk tatar Sunda zaman dulu tergolong masyarakat ladang. Sifat paling menonjol dalam

(24)

10

masyarakat ladang adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak peladangannya. Pengaruh langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal bangunan yang harus sederhana dan tidak permanen. Penggunaan genteng untuk atap rumah dan pemanfaatan paku dianggap hal yang tabu oleh masyarakat. Semua dianggap benda-benda asing yang tidak cocok dan ditolak pemanfaatannya (Danasasmita 1975).

Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih banyak mengacu pada kesadaran lingkungan, bentuk atap bangunan selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang banyak hujan dan tiupan angin keras, orang akan memilih bentuk atap yang kokoh, tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin. Bangunan rumah tinggal bagi penduduk Tatar Sunda dianggap memadai apabila dapat memberi keteduhan dari curah hujan dan matahari, dan melindungi dari bahaya binatang buas. Untuk itu bangunan rumah berbentuk rumah panggung bertengger di atas pilar kayu dengan dinding sederhana guna melindungi dari terpaan angin. Untuk menjaga kehangatan di dalam rumah, cukup dengan menyalakan api (Sunda: hawu).

Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak mengacu pada "bentuk atap dan pintu" yang berbeda pada masing-masing bangunan. Bentuk-bentuk bangunan tradisional Sunda yaitu: Suhunan Jolopong

(suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu Kumereb (Limasan), Julang Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok (Depdikbud 1982).

a. Suhunan jolopong (suhunan lurus)

Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk jolopong adalah bentuk rumah (bangunan) yang memiliki suhunan yang sama panjangnya di kedua bidang atap yang sejajar dengan itu (Gambar 5). Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama dari kedua bidang atap yang sebelah menyebelah. Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang sederhana dan dari bentuk ini berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk atap jolopong banyak digunakan pada atap saung di sawah di Tatar Sunda. Saung umumnya dibangun di sawah dan dipergunakan sebagai tempat petani menunggu tanamannya dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil menghirup udara segar.

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

(25)

11 b. Jogo anjing (sikap anjing sedang duduk)

Depdikbud (1982) menyatakan bahwa bentuk atap jogo anjing atau tagog

anjing adalah bentuk atap yang memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada

garis batang suhunan (Gambar 6). Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyemburi ruangan dalam bagian depan. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak di atas puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya berada di bawah atap belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper saja.

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 6 Bangunan dengan atap jogo anjing c. Badak heuay

Bangunan dengan atap bentuk badak heuay sangat mirip dengan bentuk atap tagog anjing (Gambar 7). Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu (Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

(26)

12

d. Parahu kumereb

Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya, berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama (Gambar 8). Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masing dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium (Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

Gambar 8 Bangunan dengan atap parahu kumureb e. Julang ngapak

Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap demikian menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang merentang (Gambar 9). Bila diperhatikan dengan seksama, bentuk atap julang

ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan

bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap tambahan dari masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Kedua bidang atap yang landai ini disebut leang-leang (Depdikbud 1982).

Sumber: neoisgourmand.blogspot.com

(27)

13 f. Buka palayu

Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari rumah tersebut menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan (Gambar 10). Bangunan-bangunan lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota Cirebon─Bandung di daerah kecamatan tersebut. Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar keinginan pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan atapnya ke arah jalan yang ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap suhunan panjang atau suhunan pondok yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan jure-jure yaitu batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung garis suhunan dengan sudut-sudut rumah (Depdikbud 1982).

Sumber: Depdikbud (1982)

Gambar 10 Bangunan dengan atap buka palayu g. Buka pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)

Depdikbud (1982) menyatakan bahwa sama halnya dengan buka palayu, rumah dengan gaya buka pongpok didirikan atas dasar keinginan pemiliknya untuk menghadapkan pintu muka ke arah jalan. Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan salah satu ujung dari batang suhunan. Jika dilihat dari arah muka rumah, keseluruhan batang suhunan tersebut tidak nampak sama sekali. Yang nampak terlihat ialah bidang atap segi tiga dari rumah tersebut (Gambar 11).

Sumber: Depdikbud (1982)

(28)

14

Bagian-Bagian Rumah

Bagian-bagian pada rumah tempat tinggal jika dilihat dari fungsi masing-masing bagian tersebut jika menunjukkan adanya keragaman yang menyolok. Hal ini telah diungkapkan oleh Depdikbud (1982) bahwa beberapa bagian sudah mulai menghilang akibat dari perubahan penggunaan bahan bangunan, dari bahan-bahan lama ke bahan-bahan yang baru. Bagian-bagian pada rumah tinggal, jika dilihat dari fungsinya adalah sebagai berikut.

a. Golodog

Golodok adalah tangga rumah yang terdiri atas beberapa anak tangga,

terbuat dari kayu atau bambu, biasanya terdiri dari dua atau tingga anak tangga. Fungsi sebagai penghubung lantai yang disebut palupuh dengan tanah. Golodok berfungsi juga untuk membersihkan kakisebelum naik kedalam rumah.

b. Kolong

Kolong adalah ruang yang terdapat dibawah lantai rumah (palupuh),

tingginya 0.5─0.8 meter atau 1 meter diatas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1.8 meter karena digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti kerbau, sapi atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, dan sebagainya.

c. Tatapakan

Tatapakan adalah penahan dasar dari tiang rumah yang terbuat dari batu.

Dibuat dari batu padas bagian paling keras, atau dapat pula dibentuk dari bata yang disusun menyerupai balok dengan ukuran panjangsatu meter dan tingginya 0.5 meter.

d. Tihang

Tihang(tiang) merupakan bagian rumah yang sangat penting karena

menyangga atap bangunan. Tiang dibuat dari kayu berbentuk segi empat berukuran 15x15cm. Tiang juga berguna untuk menempelkan dinding-dinding. Tiang-tiang untuk atap tambahan (emper) dibuat lebih kecil dari tiang-tiang utama yang disebut sasaka.

e. Bilik

Dinding merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai pemisah antara ruangan dalam rumah dengan alam sekitar dan membentuk kesatuan ruangan-ruangan dalam rumah. Bagian ini dibuat dari bahan bambu yang dianyam yang disebut dengan bilik dan bagian kayu yang disebut gebyong. Dinding menempel langsung pada bagian luar dari tihang rumah, panjangnya dari

lincarsampai kepemikul.

f. Palupuh

Nama lain dari palupuh adalah talupuh, dibuat dari kayu-kayu bilah yang disusun diatas balok-balok kayu atau bambu yang disebut darurung. Fungsinya sebagai lantai rumah yang memisahkan kolong dengan ruangan didalam rumah. Lantai yang terbuat dari palupuh dapat menghangatkan udara dalam ruangan pada malam hari.

g. Panto

Pintu dalam bahasa setempat disebut panto. Bagian ini berbentuk persegi panjang, tinggi disesuaikan dengan ukuran manusia. Bagian ini dapat dibuat

(29)

15 dari kayu atau bambu yang dianyam. Rangka pintu disebut jejeneng panto yang terbuat dari kayu.

h. Jendela jalosi

Jendela ini berfungsi untuk mengatur pertukaran udara dari dalam keluar ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan kayu.

i. Amping

Ampig adalah didnding yang terbuat dari kayu yang merupakan bagian

atas dari dari dinding depan dan belakang, rumah berbentuk segi tiga memenuhi bentuk atap rumah. Fungsi sebagai penutup bagian depan dan belakang rangkaatap.

j. Lalangit

Lalangit ini disebut juga paparaan, terbuat dari bambu yang dianyam

atau dari papan kayu semacam palupuh. Bagian ini terpisah dari dinding yang menempel pada dasar rangka atap (tatapakan adeg).

k. Suhunan

Bagian rumh ini terbuat dari sebatang kayu (balok) berbentuk segi empat tanpa sambungan, membentang dari ujung ke ujung puncak rumah. Berfungsi sebagai tempat dudukkan wuwung (bubungan rumah).

l. Pananggeuy

Pananggeuy adalah kayu bagian rumah yang menghubungkan tihang

dengan tihang, tempat dudukan darurung dan palupuh. Fungsinya untuk menahan papan lincar dan tihang sasaka.

m. Lincar

Bagian rumah yang berfungsi sebagai penjepit dinding disekeliling bagian bawah rumah. Lincar ini terbuat dari bambu bilah atau kayu pipih setebal 1 cm.

n. Darurung

Darurung terbuat dari bambu bulat atau kayu, berfungsi sebagai tatahan

palupuh. Darurung para tempat menempelnya lalangit atau paparaan. o. Paneer

Paneer adalah darurung yang dipakai sebagai sisi badan rumah yang

berfungsi untuk menahan tihang dan dinding yang terbuat dari balok kayu. p. Saroja

Saroja atau garde terbuat dari papan-papan kayu yang disusun dalam

posisi tegak dengan jarak tertentu antar papan. q. Baladar

Balok berbantuk segi empat yang dipasang diatas kuda-kuda, melintang sejajar dengan suhunan yang berfungsi sebagai penahan usuk pada rangka atap. r. Kuda-kuda

Balok kayu yang dipasang miring yang berfungsi sebagai penghubung tihang adeg dengan pemikul dan menahan rangka atap.

s. Usuk

Usuk adalah tempat menempelnya ereng dan atap rumah yang terbuat

dari bambu bulat (utuh). t. Ereng

Bagian utuk menahan genting yang terbuat dari bambu yang dibelah dan dipasang sejajar dengan pemikul.

(30)

16

u. Pamikul

Balok kayu yang dipasang dibawah pangheret, disebut juga panglari yang berfungsi sebagai penahan usuk dan rangka atap.

v. Pangheret

Balok kayu yang dipasang diatas pamikul. w. Sisiku

Kayu yang berfungsi untuk menahan pangeret dan bagian-bagian lain.

Jenis Bangunan dilihat dari Denah Rumah dan Letak Pintu

Menurut Harun et al. (2011), jenis-jenis bangunan rumah juga dapat dilihat dari bagaimana letak pintu masuk dalam kaitan dengan arah bidang muka bangunan. Berdasarkan hal ini dapat dibedakan antara rumah atas buka pongpok dan buka palayu. Bidang muka rumah adalah sisi atau bidang bangunan rumah tempat pintu masuk utama diletakan. Pintu masuk utama ini dapat berada di bidang terpendek dari bangunan rumah yang disebut buka pongpok, atau dapat berada dibidang atau sisiterpanjang bangunan rumah yang disebut buka palayu.

a. Buka pongpok (pintu masuk dibagian pendek rumah)

Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah terpendek atau arah lebar bangunan. Dalam perkembangan selanjutnya, potongan

buka palayu dan buka pongpok sering dipadukan menjadi potongan campuran

yang disebut sirit teuweul. Bubungan atap memiliki dua arah yang berbeda dan masing-masing membentuk sedut tegak lurus, dengan pintu muka mengarah sejajar dengan salah satu batang suhunan atau bubungan atap (Gambar 12).

Gambar 12 Denah rumah yang menghadap ke arah melebar (buka pongpok) b. Buka palayu (pintu masuk di bagian panjang bangunan)

Nama bangunan disebut buka palayu bila letak pintu muka dari rumah menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya, atau kearah memanjang. Dengan demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas

(31)

17 keseluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan. Potongan buka palayu pada umumnya menggunakan bentuk atap suhunan panjang atau sehunan pendek yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung suhunan dengan sudut-sudut rumah (Gambar 13).

Pemilihan Lokasi Kampung dan Rumah

Pada naskah kuno Sanghyang Siksakandang karesian dijabarkan pemilihan lahan untuk pemukiman masyarakat dengan mempertimbangkan letak, kemiringan, bekas masa lalu, warna dan aroma lahan, dan bentuk alamiah lahan tersebut. Paling sedikit terdapat 19 jenis lahan yang memiliki pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana bagi penghuninya (Tabel 1) dan 6 jenis lahan yang bersifat baik, yang mendatangkan kesejahteraan bagi penghuninya. Lahan bumi yang dipercaya sebagai “sampah bumi” atau mala ning lemah, yaitu:

lahan sodong, sarongge, cadas gantung, mungkat pategang, lebak, rancak, kabakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. Sedangkan lahan yang bersifat baik dapat

dipilih dari jenis berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah

nangkub, gajah palisungan, gajah katunan, dan bulan purnama (Danasasmita et al. 1982).

Menurut Danasasmita et al. (1982), terdapat tiga jenis tanah yang termasuk buruk dan tidak layak untuk tempat mendirikan rumah atau perkampungan lainya, yaitu: Gelagah katunan, yaitu dataran rendah yang dikelilingi dataran yang lebih tinggi; Cagak gunting, yaitu lahan segi tiga yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua alur sungai; dan Jalan ngolecer, yang lebih dikenal dengan “nyunduk sate”,

(32)

18

yakni lahan atau bangunan persis ditotok atau jadi tumpuan jalan raya. Untuk jelasnya pengertian tentang lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Sebaliknya, lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemukiman penduduk, dapat dilihat Tabel 2.

Tabel 1 Daftar lahan bersifat negatif (mala ning lemah)

No. Nama Uraian

1 Sodong Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang berbelok sehingga sisi luarnya tergerus dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat persembunyian ikan. Dapat diartikan sebagai ceruk atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.

2 Sarongge Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya menjadi "pangkalan" setan, jurig, dan ririwa. 3 Cadas gantung Cadas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk

naungan (shelter) alami. 4 Mungkal

pategang

bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan batuan di sekelilingnya.

5 Lebak Lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari pandangan dan sinar matahari.

6 Rancak Batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri.

7 Kebakan badak Kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk

berkubang oleh badak. 8 Catang

nunggang

batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah. Merupakan lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh satu selokan/ngarai, namun dihubungkan oleh suatu jembatan alami berupa cadas atau karang.

9 Catang nonggeng

batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidang lahan yang lokasinya terletak pada lereng yang curam.

10 Garunggungan tanah membukit kecil.

11 Garenggengan Tanah kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.

12 Lemah sahar Tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau pertumpahan darah.

13 Dangdang wariyan

Dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang.

14 Hunyur Sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau gundukan tanah, lebih kecil dari gunung (Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir, hunyur). 15 Lemah laki Tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam. 16 Pitunahan

celeng

tempat berkeliaran babi.

17 Kolomberan Kecomberan, atau genangan air yang mandeg. 18 Jarian Tempat pembuangan sampah.

(33)

19 Tabel 2 Daftar lahan bersifat positif

No. Nama Uraian

1 Galudra ngupuk Lahan yang terletak diantara dua bukit atau gunung. lahan yang mendatangkan kekayaan duniawi.

2 Pancuran emas Lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.

3 Satria lalaku Lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini hidup prihatin namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh kehormatan.

4 Kancah nangkub Lahan di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan dikelilingi pegunungan. Penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera.

5 Gajah palisungan Lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan barat. Pemilik lokasi pada lahan seperti ini alamat bakal mendatangkan kekayaan

duniawiah yang tumpah ruah.

6 Bulan purnama Desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan yang dialiri sungai dekat mata air (di arah utara). Sedangkan arah bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur. 7 Kampung gajah katunan Kampung yang letaknya didataran rendah,

dikelilingi bukit atau pasir.

Danasasmita et al. (1982) menyatakan bahwa terdapat tipe lokasi lahan yang buruk dan tidak layak digunakan sebagai tempat mendirikan rumah atau kampung, yaitu:

1. gelagah katunan. Lahan yang merupakan dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.

2. cagak gunting. Lahan "segi tiga" yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua alur sungai.

3. jalan ngolecer. Lahan ini lebih dikenal dengan "nyunduk sate/tusuk sate", yakni lahan atau bangunan yang hampir tertembus alur jalan atau jadi tumpuan jalur jalan raya.

Sebagai peraturan yang berlaku di masyarakat, maka ketentuan tentang mala

ning lemah tersebut tidak boleh dilanggar, bahkan pengetahuan ini dapat

dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam pesan yang tercantum pada Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang berbunyi “Itu semua patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu, itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita, pasti ditunggu oleh neraka. Bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan, karena semua itu ketentuan dari Hyang dan Dewata” (Danasasmita

(34)

20

Memilih Lahan yang Baik Untuk Pekarangan

Menurut Harun et al. (2011), lahan pekarangan pun harus dipilih, untuk mengetahui lahan mana yang akan membawa kebaikan kepada penghuninya. Tidak semua ciri tanah ini memiliki sifat baik, tetapi ada pula yang dipercaya membawa pengaruh buruk bagi penghuninya, seperti dibawah ini:

1. apabila lahan sebelah Barat lebih tinggi dan sebelah Timur lebih rendah, itu menunjukkan lahan yang baik untuk dijadikan pekarangan yang memiliki makna banyak berkah. Apabila sebaliknya tanah di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat, menandakan tanah itu jelek untuk dibuat pekarangan maknanya akan banyak menimbulkan penyakit.

2. apabila lahan di sebelah Selatan lebih tinggi daripada sebelah Utara, maknanya akan banyak memberikan berkah dan rezeki bagi penghuni rumah yang akan turun-temurun kepada anak cucunya. Sebaliknya apabila lanah di sebelah utara lebih tinggi daripada sebelah Selatan, menandakan tanah yang jelek untuk penghuni rumah bahkan akan menimbulkan banyak musuh dan banyak Setan. 3. apabila lahan yang rata, memiliki dua makna, ada yang baik dan ada buruk.

Makna yang baik adalah dipercaya akan banyak membawa berkah, sedangkan yang buruk adalah tidak mendapatkan apa-apa.

4. apabila lahan miring ke sebelah barat, warnanya putih, rasanya manis, baunya harum, dipercaya akan memberikan kesenangan danpenghuninya akan sangat dihormati.

5. apabila lahan warnanya merah, rasanya manis, baunya menyengat (seperti membaui cabai yang pedas), akan memberikan kesenangan dan sangat dihormati ‘kaimpungan’ sangat disukai oleh banyak orang.

6. apabila lahan warnanya hijau, rasanya manis-pedas dan berbau, akan memberikan keselamatan kepada anak dan hartanya bendanya.

Apabila lahan warnanya hitam, baunya amis ‘hanyir’, tanah ini jangan dipergunakan untuk lahan perumahan, karena hal ini dipercaya memiliki makna yang buruk bagi penghuninya kelak.

Kependudukan dan Mata Pencaharian Letak

Harun et al. (2011), Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama kali dibentuk di Indonesia pada tahun 1925 dengan nama “Provincie West Java”. Sebelum lahir istilah tersebut, wilayah ini dikenal dengan nama Tanah Sunda atau Pasundan. Letak Provinsi ini antara 5°50’─70°50’ Lintang Selatan dan 104°48’─108°48’ Bujur Timur.Luas Jawa Barat, tidak termasuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah 4.385.239,238 Ha yang menurut fungsinya terbagi atas:

a. Pesawahan 1.071.098,109 ha b. Tanah Darat 2.053.268,459 ha c. Tanah Prkebunan 316.000,000 ha d. Tanah Hutan 944.872,670 ha

Secara geografis, Jawa Barat disebelah timur berbatasan dengan sungai Citanduy terus ke utara hingga sebelah timur Cirebon. Di sebelah utara berbatasan

(35)

21 dengan Laut Jawa, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia (Harun et al. 2011).

Fauna dan Flora

Depdikbud (1982) menyebutkan bahwa binatang di Jawa Barat dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. binatang liar yang dilindungi seperti badak, banteng, rusa, babi hutan, kancil, macan tutul, macan, anjing hutan, wauwau, dan berbagai jenis burung dan kera, 2. binatang ternak yang dipelihara seperti sapi, babi, kerbau, kuda, domba, ayam,

dan berbagai jenis unggas,

3. perikanan darat dan laut seperti ikan mas, mujair sepat siam, bandeng, tawes, nilem gurami, belanak, belut, lele, dan ikan nila,

Jenis tumbuh-tumbuhan berdasarkan fungsi dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. tanaman panganterdiri dari tanaman palawija (jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau, dan wijen),

Tanaman sayuran (kentang, kubis, potsai, tomat, wortel, bawang daun, lobak, buncis), tanaman buah-buahan (alpokat, jeruk, dukuh, durian, jambu, mangga, nenas, pepaya, pisang, rambutan, salak, dan sawo) dan tanaman perkebunan (teh, kina, tebu, coklat, kelapa, sawit, kopi, cengkeh, dan sebagainya),

2. tanaman produksi yang terdapat di hutan-hutan seperti jati, pinus, rasamala, maesopsis, damar, mahoni, bakau, jabon, dan sebagainya,

3. tanaman hias yang terdiri atas tanaman bunga seperti ros, dahlia, sedap malam, sinyonakal, pacarkeling, dan nusa indah,

4. tanaman rempah-rempah, yaitu lada, pala, cabe, dan sebagainya.

Penduduk

Menurut Depdikbud (1982), jumlah penduduk Jawa Barat terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat di lihat dari sensus penduduk yang pertama tahun 1930, jumlah penduduk Jawa Barat termasuk Batavia, Kebayoran, Meester Cornelis dan Weltevreden adalah 11.397.146 jawa. Penduduk Jawa Barat pada tahun 1930 tanpa Batavia (183.346 jiwa). Kebayoran (148.458 jiwa), Meester Cornelis (224.887 jiwa) dan Weltevreden (252.311 jiwa) adalah 10.586.244 jiwa.

Pada sensus penduduk yang ke dua tahun 1961, penduduk Jawa Barat berjumlah 17 614 555 jiwa. Jadi pertambahan penduduk di Jawa Barat dalam periode tahun 1930 dan 1961 sebanyak 7028311 orang atau rata-rata bertambah 226720 jiwa pertahun. Pertambahan penduduk pada periode berikutnya yakni antara tahun 1961-1971 adalah 4006395 jiwa atau rata-rata per tahun 400640 jiwa. Presentase kenaikan penduduk antara tahun 1930-1961 rata-rata 1,9% sedangkan antara periode tahun 1961-1971 adalah 2.2 % per tahun.

Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok orang Sunda pada umumnya bertani. Diperkirakan ada 85% penduduk Jawa Barat hidup dari hasil pertanian. Selain bertani di sawah, orang Sunda mengenal usaha bercocok tanam di ladang. Di ladang tersebut petani menanam beberapa jenis tanaman untuk melengkapi kebutuhan pokok dan tambahan seperti padi, jagung, kedele, tembakau, kentang, bawang merah, dan bawang putih (Depdikbud 1982).

(36)

22

Sistem Kemasyarakatan

Menurut Depdikbud (1982), sistem kemasyarakatan orang Sunda banyak dipengaruhi oleh adat secara turun menurun dan oleh agama Islam yang lama dipeluk oleh masyarakat (sejak abad ke-16 Masehi). Dalam soal perkawinan misalnya di Pasundan dilaksanakan baik secara adat maupun secara agama Islam.

Bentuk terpenting dari keluarga Sunda adalah keluarga batin yang terdiri dari suami, isteri, dan anak. Biasanya terdapat pula di dalamnya mertua atau saudara-saudara yang lain dari pihak isteri maupun suami. Di desa-desa di daerah Jawa Barat terdapat pembagian kerja yang lebih tegas antara keluarga batin. Istri mengurus rumah dan mempersiapkan makanan untuk suami dan anak. Selain itu, wanita melakukan tandur, ngarambet, menuai padi, dan muuhan yaitu memasukan bibit padi atau jagung ke dalam lubang tugal dan sebagainya. Sedangkan suami melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mencangkul, ngawuluku, membuat pagar atau solokan. Prinsip garis keturunan dapat dikatakan bahwa kekerabatan orang Sunda adalah sistem kekerabatan yang bilateral. Hak dan kedudukan anggota keluarga pihak ayah sama dengan hak dan kedudukan anggota keluarga pihak lain. Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilah-istilah untuk tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, yaitu, ke atas:1. Kolot 2. Ambah 3. Buyut 4. Bao 5. Janggawareng 6. Udeg-udeg 7. Gantung siwur. Ke bawah; 1. Anak 2. Incu 3. Buyut 4. Bao 5. Janggawareng 6. Udeg-udeg 7. Gantung siwur (Depdikbud 1982).

Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan

Orang Sunda merupakan golongan terbesar penganut agama Islam di Jawa Barat. Masyarakat umumnya patuh menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, dan hasrat untuk menunaikan ibadah haji yang besar. Dan di setiap desa terdapat Mesjid dan Tajug, tempat bersembahyang bersama (Harun et al. 2011)

Orang Sunda umumnya percaya kepada hal-hal yang gaib dan dianggap dapat mendatangkan kesenangan seperti pohon-pohon besar, sumber air, batu-batu yang belum diganggu manusia, dan makam-makam kuno. Kebiasaan masyarakat Sunda melaksanakan kaul berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap roh-roh leluhur. Kaulan ini berisi penyampaian doa dan permohonan untuk mendapatkan keselamatan. Dalam kumpulan dongeng-dongeng suci Sunda, dikenal dongen Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang menceritakan tentang pemujaan kesuburan pada tanaman padi. Petani-petani di desa percaya bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap padi dan tata cara dalam memperlakukannya akan mengakibatkan hal buruk pada saat panen (Depdikbud 1982).

Untuk menunjukan adanya kejadian penting dalam lingkungan keluarga. Masyarakat Sunda melakukan berbagai upacara hajat atau keselamatan. Upacara-upacara keselamatan dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu perkawinan, kelahiran bayi, pertumbuhan anak yang diawali dengan turun tanah, memotong rambut, tumbuh gigi pertama, sunatan, dan saat meninggal (Soeganda 1982).

Kesenian

Menurut Depdikbud (1982), kesenian di Jawa Barat memiliki nilai yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari berbagai hasil kesenian masyarakat yang juga

(37)

23 memiliki nilai ekonomi. Kesenian orang sunda yang berkaitan dengan seni bangunan adalah seni kerajinan tangan. Jawa Barat dikenal sebagai tempat pembuatan berbagai jenis kerajinan tangan. Benda-benda yang dihasilkan terbuat dari kayu, bambu, rotan, tanah, batu, tanduk, rumput, kulit, tulang, besi, bahkan berbagai macam biji-bijian.

Di antara jenis-jenis kerajinan tersebut, wayang golek merupakan kerajinan tangan yang cukup menonjol. Wayang golek adalah boneka kayu yang dibuat khusus untuk pertunjukan wayang yang menceritakan kisah-kisah tentang Mahabrata dan Ramayana. Kedudukan boneka-boneka kayu yang semula bernilai kesenian, kini bertambah menjadi barang yang memilikinilai ekonomi (Depdikbud 1982).

Kesenian selanjutnya adalah seni ukir, seni ukir adalah seni pembuatan topeng (kedok) yang dipakai pada pertunjukan tari topeng. Lalu Seni batik yang merupakan jenis kerajianan yang menunjukan keragaman Jawa Barat yaitu Tasikmalaya, Garut, dan Cirebon. Seni ukir berkembang di Jawa Barat dengan pengukiran pada kayu seperti benda kebutuhan rumah tangga dan benda-benda perangkat kesenian. Seperti pada hulu keris, rangka golok (parang), rancak

goong (tempat menggantungkan goong), dan pada tara wangsa (sejenis alat

kesenian yang tertutup).Karena menurut masyarakat Sunda, selain menjadi tempat tinggal, rumah dapat dijadikan tempat mengerjakan usaha (industri rumah tangga) (Anwar dan Nugraha 2013).

Asal-usul

Pada zaman Batu Tengah (Mesolitikum), bentuk bumi Jawa Barat tidak mengalami lagi goncangan-goncangan dan perubahan-perubahan yang besar, sehingga manusia yang hidup di masa itu sudah menunjukkan cici-ciri hidup menetap dan sudah dapat membuat alat-alat batu jenis microlith dan serpih yang dibuat dari bahan batu obsidia. Diduga pada zaman itu manusia sudah menempati tepian danau dan hidup dengan berburu dan menangkap ikan(Depdikbud 1982).

Sejarah Sunda

Menurut Ekadjati (2005), pada sekitar tahun 400 Masehi, di daerah Jawa Barat diketahui berdiri sebuah kerajaan bernama Tarumanegara. Salah seorang rajanya bernama Purnawarman. Raja ini memerintah sampai kira-kira tahun 450 Masehi. Dalam abad ke-8, muncul kerajaan Sunda menyusul runtuhnya Tarumanegara.

Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513), disebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan

(38)

24

keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena putera mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas (Gambar 14).

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 Pola linear pada kampung tradisional  2.  Pola terpusat
Gambar 4 Pola radial pada kampung tradisional
Gambar 6 Bangunan dengan atap jogo anjing  c. Badak heuay
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan sejumlah pemberontakan yang di antaranya dipimpin oleh ‘A<’isyah istri Nabi, T{alh}ah dan Zubayr dalam Perang Jamal dan perang yang dipimpin oleh Mu‘a>wiyah bin

Perpustakaan Lembaga Pemasyarakatan Pe- rempuan Klas IIA Tangerang hanya memfasili-tasi untuk para narapidananya melalui penye-diaan seperti halnya informasi tentang agama,

Pembinaan Pegawai ini merupakan variabel yang sangat penting untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapai pada Badan Kepegawaian,

Dari hasil pengamatan (observasi) yang penulis lakukan pada Bidang Pelayanan dan Informasi di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten

Setelah mengamati materi tentang Pancasila pada power point, siswa mampu menjelaskan hubungan simbol dengan makna sila ke empat Pancasila dengan benar.. Setelah mengamati lingkungan

Menu List Activity.java (Menampilkan List Per Item) package dea.android.sispakgi; import android.app.ListActivity; import android.content.Intent; import android.os.Bundle;

Analisis data kualitatif digunakan untuk mengukur kinerja guru dalam penggunaan pembelajaran Card Sort dan aktivitas siswa yang pada penelitian ini mengukur Civic

Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VIII 2 SMP Negeri 9 Pekanbaru pada Kompetensi Dasar