• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Sejarah Seni Rupa Seni Rupa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas Sejarah Seni Rupa Seni Rupa"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Sejarah Seni Rupa

Sejarah busana kimono

Oleh :

Family Daymara Winandya Putri NIM 1610012222

JURUSAN KRIYA FAKULTAS SENI RUPA

INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

(2)

Kimono

Pengantin wanita mengenakan kimono yang disebut shiromuku

Uchikake bermotif burung jenjang

A. KIMONO

Kimono (着物?) adalah pakaian tradisional Jepang. kimono adalah baju atau sesuatu

(3)

kimono merupakan pengembangan dari bentuk kaftan, panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan dibagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta. Catatan sejarah mencatat ada beberapa kimono-kimono yang berlaku di masyarakat Jepang pada waktu itu. Di Jepang sendiri memiliki bentuk-bentuk pakaian tradisional yang hampir mirip dengan kimono, namun dengan berkembangnya zaman pakaian tersebut kini di klasifikasikan menjadi bagian-bagian dari kimono.

B. SEJARAH KIMONO

I. Zaman Jomon dan zaman Yayoi

Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870

Pada zaman ini bentuk dasar kimono masih kabur, banyak arkeolog yang beranggapan pada masa 300SM masayarakat jepang mengolah kulit kayu dan serat sayur untuk di jadikan sebuah busana, yang kemudian dilapis dua dan dihias dengan seutas tali yang diikat. Bentuk kimono pada zaman ini sangat sederhana. Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Ditemukan dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman

(4)

Dalam Gishiwajibden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.

II.

Zaman Kofun

Pakaian zaman kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah beruparok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoidibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:

 Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)

 Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

III.

Zaman Nara

(5)

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kimono pada zaman ini memiliki bentuk ptongan yang lurus dengan kerah lembut yang lebar sehingga saat di pakai akan jatuh dengan lembut dari bahu hingga pergelangan tangan. Pemakaian kimono juga mulai berubah, yang sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, pada zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

IV.

Zaman Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Pada masa ini para bangsawan jepang berinisiatif menciptakan gaya berbusana senidiri, terutama para bangsawan wanita. Tata cara berbusana dan standardisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis sbanyak 12 lapis yang disebut jūnihitoe. Masa ini kimono masih bentuk mengikuti potongan kotak tapi dengan ukuran yang ekstra besar, ditambah dengan lipatan ekor yang panjang dengan rambut yang digerai sehingga memberikan kesan anggun. Pada masa ini muncul asosiasi pengadilan kimono untuk mengkritisi kimono pada masa itu agar mendapatkan keharmonisan warna yang pas. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer pada masa ini juga menjadi tidak praktis.

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)

I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)

Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan). Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu ( 狩 衣 ), arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.

(6)

V.

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi

Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi,hitatare merupakan pakaian resmi

samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō ( 素 襖 ), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.

Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (裳) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

VI.

Awal zaman Edo

Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo

adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (裃). Satu setel kamishimo terdiri

dari kataginu (肩 衣 ) dan hakama. Di kalangan wanita,kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-emendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.

Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari normakonfusianisme ingin dibatasi oleh Kenshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalankenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.

Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.

VII.

Akhir zaman Edo

(7)

jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei(1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisodepopuler di kalangan wanita.

VIII.

Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.

Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknikyuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.

Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasilpencelupan mulai disukai orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahitlokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.

(8)

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.

IX.

Zaman Showa

Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.

(9)

C. JENIS KIMONO

1. Kimono wanita

jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

 Kurotomesode

(10)

 Irotomesode

(11)

 Furisode

(12)
(13)

 Homongi

(14)

 Iromuji

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, ataukuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

 Tsukesage

(15)

upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.

 Komon

(16)

 Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

 Yukata

(17)
(18)

 Maiko Hikizuri

(19)

2. Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklattua, biru tua, dan hitam.

 Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama danhaori

(20)

 Kimono santai kinagashi

(21)

D. Aksesori dan Pelengkap

1. Hakama

Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.

2. Geta

Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri

3. Kanzashi

(22)

4. Obi

Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono. Obi untuk kimono biasanya terbuat dari kain sutra. Cara pemakaian Obi sangat sederhana, Obi dililitkan seperti halnya memakai setagen. Kimono wanita dipakai bersama obi berhiaskan corak tenun atau bordir-an. Obi wanita dibagi menjadi 4 :

(23)

Nagoya Obi digunakan untuk Komon dan Tsumugi. Terbuat dari kain bercorak di dua tempat (depan dan belakang) hasil pencelupan atau tenun.

Hanhaba Obi digunakan untuk Yukata dan Tsumugi. Terbuat dari kain berwarna bercorak sepanjang kain hasil tenunan atau tanpa corak.

(24)

Maru Obi, Obi yang paling formal. Dengan motif yang panjang. Maru Obi Klasik mempunyai lebar 30cm.

 Obi pria dibedakan menjadi 2:

Kaku Obi = untuk kimono formal (Montsuki)

Heko Obi = untuk kimono santai dirumah. Terbuat dari kain lentur dan tipis. Caranya diikat dibelakang seperti ikatan kupu-kupu, juga sewaktu anak laki-laki dan perempuan

(25)

5. Tabi

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.

6. Waraji

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

7. Zōri

(26)

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Kimono

Makalah tugas program studi pendidikan dan sastra bahasa jepang Fakultas ilmu budaya Universitas brawijaya

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan II ( PPL II ) yang dalam jurusan Bimbingan dan Konseling sering disebut dengan Praktik Lapangan Bimbingan dan Konseling (

Praktik Pengalaman lapangan (PPL) merupakan suatu kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan materi yang

Kompetensi Inti (KI) pada Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai kopetensi inti kurikulum 2013 pendidikan anak usia

menggeliat macam ni…(sambil mengayakan kembali) semuanya akan menjadi lebih baik.. Orang Tua I : Sungguh

In the midst of the rapid flow of social changes due to modernization, the indigenous community of Kasepuhan Banten Kidul are still able to maintain and

PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Ada kekuatan yang demikian besar membungkam mulutku untuk bercerita kepadanya, bahwa disaat melihat dirinya kembali, sesungguhnya ingatan akan rasa itu seolah terulang,

Elemen semantik merupakan elemen terkecil dalam sebuah teks wacana, namun tetap memiliki keterkaitan dan porsi yang sama dengan elemen lain (tematik dan skematik)