BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan
Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan
semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan dengan
teori agensi yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham)
menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para tenaga profesional yang lebih
mengerti dalam menjalankan bisnis. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan
antara pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.
Manajemen merupakan pihak yang dikontrak untuk bekerja demi kepentingan
pemegang saham dan memiliki keleluasaaan dalam menjalankan manajemen
perusahaan. Sementara, pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas
mengawasi jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen serta
mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen untuk memastikan
bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan.
Teori agensi memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata
termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal termotivasi mengadakan
kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu
ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi,
pinjaman, maupun kontrak kompensasi.
Teori agensi pertama sekali dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling pada
tahun 1976. Definisi yang dibuat oleh Jensen dan Meckling (2012: 17) “A
contract under which one or more persons (the principal/s) engage another
person (agent) to perform some service on their behalf which involve delegating
some decisions making authority to the agent. If both partners to relationship are
utility maximizers there is good reason to believe that the agent will not always
act in the best interest of the principal”.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih
orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas
nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang
terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang
sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan
bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen
mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja,
dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen.
Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi.
Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadiantara prinsipaldan agen
mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada
agen. Asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam rangka
menyesatkanpemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
2.1.2 Good Corporate Governance 2.1.2.1Definisi Corporate Governance
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori
keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan
kepada para investor bahwa mereka akan mendapatkan return atas dana yang telah
mereka investasikan. Penerapan prinsip good corporate governance ke seluruh
aspek kegiatan perusahaan sangat diperlukan. Hal ini disebabkan prinsip utama
dari good corporate governance adalah keadilan bagi seluruh pemegang saham,
keterbukaan melalui laporan keuangan yang akurat dan informasi tepat waktu atas
kinerja perusahaan.
Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan
struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham/Pemilik
Modal, Komisaris/Dewan Pengawas, dan Direksi) untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
pemangku kepentingan lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan
Adapun pengertian corporate governance menurut Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI) yaitu seperangkat peraturan yang menetapkan
hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ektern lainnya sehubungan
dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Good Corporate Governance secara definitif merupakan sistem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah untuk
semua pemangku kepentingan. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini,
pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan
benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk
melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap
semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pemangku kepentingan.
Tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan pertambahan nilai
bagi pihak pemegang kepentingan.
2.1.2.2Prinsip – Prinsip Corporate Governance
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), asas Good
Corporate Governance adalah transparansi, akuntabilitas, resposibilitas,
independensi, serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai
Beberapa prinsip dasar GCG adalah sebagai berikut :
1. Transparansi, mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan, yang menyangkut keadaan keuangan,pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
2. Akuntabilitas, menjelaskan peran dan tanggungjawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyimpangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris. 3. Responsibity, perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan
serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi, untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan, dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperlihatkan kepentingan pemegang saham dan stackeholder lainnya Berdasarkan asas kewajaran dan kesetaaraan.
2.1.2.3Manfaat Corporate Governance
Manfaat corporate governanace menurut pedoman Umum Good
Governance Indonesia (2006) adalah:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntanbilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, dewan direksi dan rapat umum pemegang saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
2.1.3 Komisaris Independen
Dewan komisaris memiliki peran untuk memonitor kebijakan direksi.
Peran komisaris ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan agensi yang
muncul antara dewan direksi dan pemengang saham, sehingga kinerja yang
dihasilkan oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Dewan
komisaris memegang peran penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi
jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar- benar
meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian dari pencapaian perusahaan.
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan
untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam
mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Egon,
2000).
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris independen dapat
bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer
internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada
manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan
fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan good corporate governance.
Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan
yang lebih baik terhadap manajemen , sehingga mempengaruhi kemungkinan
kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer
(Chtourou et al.,2001) atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris
Komisaris independen diangkat karena pengalamannya dianggap berguna
bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi dewan komisaris dan
mengawasi bagaimana dewan direksi menjalankan perusahaan tersebut. Komisaris
independen biasanya berguna dalam melerai sengketa antara dewan direksi, atau
antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris independen dianggap
berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko kecil dalam
conflict of interest.
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2006) menetapkan
beberapa kriteria untuk menjadi komisaris independen pada perusahaan tercatat
sebagai berikut:
1. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan.
2. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direktur dan/atau Komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan.
3. Tidak bekerja rangkap sebagai Direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan.
4. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 tahun terakhir.
5. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi.
6. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan Komisaris Independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan.
7. Memahami peraturan perundang-undangan PT, UU Pasar Modal dan UU serta peraturan-peraturan lain yang terkait.
Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya komisaris independen
memiliki peranan yang sama dengan komisaris yaitu menjamin pelaksanaan
strategis perusahaan, mengawasi manajemen perusahaan dalam mengelola
merupakan suatu mekanisme independen (netral) mengawasi dan mekanisme
untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.
2.1.4 Komite Audit
Komite audit merupakan sekelompok orang yang dipilih dari dewan
komisaris perusahaan yang bertanggung jawab untuk membantu auditor dalam
mempertahankan independensinya dari manajemen. Keberadaan komite audit
sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen
baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap
sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak
manajemen dalam menanggung masalah pengendalian.
Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit
sebagai suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang
dibentuk oleh dewan komisaris dan, dengan demikian, tugasnya adalah membantu
dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam
menjalankan fungsi pengawasan atas proses pelaporan keuangan, manajemen
risiko, pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance di
perusahaan-perusahaan.
Berdasarkan Surat Edaran BEI, SE-008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit.
Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang,
anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris
lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak
eksternal yang independen.
Tujuan pembentukan komite audit dalam perusahaan adalah untuk
meningkatkan efektifitas, akuntabilitas, transparansi, dan obyektivitas dewan
komiaris dan dewan direksi. Tujuan komite audit adalah memungkinkan dewan
komisaris untuk memberikan penilaian independen atas kinerja keuangan
perusahaan, memperkuat posisi auditor eksternal, membuat indepensi serta
obyektivitas auditor internal dalam memberikan rekomendasi perbaikan,
memperbaiki kualitas pelaporan keuangan yang mengakibatkan meningkatnya
keyakinan publik, khusunya investor terhadap perusahaan.
2.1.5 Kepemilikan Manajerial
Menurut Wahidahwati (2001) Kepemilikan manajerial adalah pemegang
saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan
perusahaan.
Kepemilikan manajerial menunjukkan adanya peran ganda seorang
manajer, yakni manajer bertindak juga sebagai pemegang saham. Sebagai seorang
manajer sekaligus pemegang saham tidak ingin perusahaan dalam keadaan
kesulitan keuangan bahkan mengalami kebankrutan. Keadaan ini akan merugikan
baik sebagai manajer atau sebagai pemegang saham. Sebagai manajer akan
kehilangan insentif dan sebagai pemegang saham akan kehilangan return ataupun
dana yang diinvestasikannya (Diah, 2009). Menurut Sofiana (2009) dalam Diah
pandang, yaitu: pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri atau
ketidakseimbangan informasi. Dimana pendekatan keagenan menganggap struktur
kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi
konflik keagenan diantara berbagai klaim terhadap perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan
kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan
keinginan pemegang saham.
Sedangkan menurut pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap
struktur kepemilikan manajerial sebagai salah satu cara untuk mengurangi
ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan
informasi di dalam pasar modal. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak
insiders, maka insiders akan ikut memperoleh manfaat langsung atas
keputusan-keputusan yang diambilnya, selain itu para manajer juga akan semakin hati-hati
dalam menentukan hutang perusahaan karena mereka akan memeperoleh manfaat
langsung dari keputusan yang mereka ambil serta akan menanggung kerugian
sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Sehingga
kebangkrutan perusahaan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemilik utama.
Trisyanti (2009) dalam Diah (2009) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial
itu sendiri dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau prosentase saham yang
dimiliki oleh dewan direksi dan manajemen. Prosentase tersebut diperoleh dari
banyaknya jumlah saham yang dimiliki oleh manajerial. Semakin besar proporsi
untuk kepentingan pemegang saham dimana pemegang saham adalah dirinya
sendiri.
2.1.6 Kepemilikan Institusional
Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh
institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.
Pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui
investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi
insentif para manajer yang oportunis melalui pengawasan intensif. Kepemilikan
institusional dapat menekan kecenderungan pemanfaatan diskresionari dalam
laporan keuangan sehingga memberikan kualitas yang baik pada laba yang
dilaporkan. Adanya pengawasan investor institusional secara optimal terhadap
kinerja manajer, maka manajer akan memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja
perusahan dan akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Monitoring
tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham. Hal ini
didukung oleh penelitian dari Cruthley et al, (1999) dalam Septiyanto (2012) yang
menemukan bahwa monitoring yang dilakukan oleh institusi mampu mensubtitusi
biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkatkan kepercayaan
pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Rivaldo (2013) menyatakan bahwa
kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara pemilik dan manajer.
Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme
pengawasan yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal
ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan
strategis sehingga tidak mudah percaya pada tindakan manipulasi laba.
2.1.7 Manajemen Laba
2.1.7.1Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk
mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan
dengan tujuan untuk mengelabui pemangku kepentingan yang ingin mengetahui
kinerja dan kondisi perusahaan. Menurut Schipper (1989) manajemen laba adalah
“suatu intervensi yang disengaja pada proses pelaporan eksternal dengan maksud
untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi”. Definisi tersebut mengartikan
bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan
memilih metoda atau kebijakan akuntansi terlebih dahulu untuk menaikkan laba
atau menurunkan laba. Manajer dapat menaikkan laba dengan menggeser laba
laba dengan menggeser laba periode kini ke periode-periode berikutnya.
Permasalahan manajemen laba merupakan masalah keagenan yang
seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara
pemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan. Healy dan
Wahlen (1998) mendefinisikan manajemen laba sebagai: “ketika manajer
menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan transaksi penataan
untuk mengubah laporan keuangan baik menyesatkan beberapa pemangku
kepentingan tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan, atau untuk
mempengaruhi hasil kontrak yang tergantung pada laporan angka akuntansi”.
Sugiri (dalam widyaningdyah, 2001) membagi definisi manajemen laba
menjadi dua, yaitu:
a. Definisi sempit
Manajemen Laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya laba.
b. Definisi luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
manajemen laba merupakan tindakan yang dilakukan oleh manajemen yang
mempengaruhi dalam pelaporan keuangan untuk memanipulasi laba yang
2.1.7.2Motivasi Manajemen Laba
Watts dan Zimmmerman (2011: 31-36) secara umum terdapat beberapa
hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan manajemen
laba, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Motivasi Bonus. Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagi umpan balik atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Kinerja manajemen salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha sehingga memotivasi para manajer untuk manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.
2. Motivasi Utang. Untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya diperusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya.
3. Motivasi Pajak. Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
4. Motivasi Penjualan Saham. Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Salah satu ukuran kinerja yang dilihat oleh calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan.
5. Motivasi Pergantian Direksi. Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi akan melakukan strategi memaksimalkan laba agar performa kerjanya terlihat baik sehingga memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.
6. Motivasi Politik. Motivasi politik biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya menyentuh masyarakat luas. Perusahaan cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitas perusahaan terutama selama periode kemakmuran tinggi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.
2.1.7.3Pola Manajemen Laba
Menurut Scott (1997) merangkum pola umum yang banyak dilakukan
1. Pola Taking a Bath
Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang mengalami masalah organisasi (organization stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan manajemen perusahaan.
2. Pola Income Minimization
Dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Pola ini dilakukan dengan motivasi perpajakan. Agar nilai pajak yang dibayarkan tidak terlalu tinggi, manajer cenderung menurunkan laba periode tahun berjalan melalui penghapusan aset tetap atau pengakuan biaya - biaya periode mendatang ke periode tahun berjalan.
3. Pola Income Maximization
Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan beragam, mulai dari menunda pelaporan biaya – biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah penjualan dan produksi.
4. Pola Income Smoothing
2.2 Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil pengujian dari penelitian terdahulu dapat dilihat dari tabel
2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1
Penelitian terdahulu
4. Panca
Anggraeni (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh Karakteristik
Dewan Komisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan manajerial dan
ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Sementara itu praktik Corporate Governance (proporsi dewan komisaris
independen, komite audit, dan ukuran KAP) berpengaruh signifikan terhadap
manajemen laba.
Panjaitan (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh mengenai
pengaruh mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba
terhadap perusahaan manufktur yang terdaftar di bursa efek inonesia pada periode
2009-2011. Hasil dari penelitian ini menunjukkan Kepemilikan Manajerial,
Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit berpengaruh secara signifikan
terhadap Manajemen Laba. Uji parsial menunjukkan hanya Kepemilikan
Manajerial yang berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba. Sedangkan
Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit tidak berpengaruh signifikan
terhadap Manajemen Laba.
Praditia (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance
yang diproksikan dengan komisaris independen, kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Hasilnya
menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komisaris independen dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Wahyuningsih (2009) meneliti pengaruh struktur kepemilikan institusional
dan corporate governance terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan
independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Husni (2013) meneliti
pengaruh mekanisme good corporate governance, leverage, dan profitabilitas
terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan
institusional, leverage, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap manajemen
laba, sedangkan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, ukuran dewan
direksi, dan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba.
Rivaldo (2013) meneliti pengaruh corporate governance, leverage, dan
profitabilitas terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di bursa efek indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan sampel
sebanyak 103 perusahaan manufaktur. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa
secara simultan dan secara parsial kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage, dan
profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu model yang menjelaskan
bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah
diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual dalam penelitian ini
H1
H2
H3
H4
H5
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.4 Perumusan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Komisaris Independen Terhadap Manajemen Laba
Dapat dikatakan bahwa komposisi dewan komisaris yang terdiri dari
anggota yang berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan
mempengaruhi manajemen laba. Terkait dengan manajemen laba, dewan
komisaris independen tidak berkaitan langsung dengan perusahaan yang mereka
tangani, karena mereka bertugas untuk memonitoring direksi perusahaan tanpa
ada tekanan dari pihak manapun, sehingga pekerjaan yang dilakukannya murni Komisaris Independen
Komite Audit
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
tanpa ada campur tangan dengan pihak manapun. Berdasarkan pemaparan
mengenai dewan komisaris independen terhadap manajemen laba, maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut
H1: Komisaris Independen berpengaruh terhadap manajemen laba
2.4.2 Pengaruh Komite Audit Terhadap Manajemen Laba
Komite audit merupakan komite yanag dibentuk oleh dewan direksi yang
bertugas melaksanakan pengawasan independen atas proses laporan keuangan dan
audit eksternal. Komite audit dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan
pengawasan terhadap tindakan manajemen yang memungkinkan untuk melakukan
manipulasi keuangan. Anggraeni (2013) menemukan bahwa jumlah anggota
komite audit yang lebih besar akan dapat menurunkan atau meminimalisir
manajemen laba. Berdasarkan rangkaian penjelasan diatas, maka hipotesis
alternatif yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
H2: Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba
2.4.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerian dengan Manajemen Laba
Kepemilikan perusahaan merupakan salah satu mekanisme yang dapat
dipergunakan agar pengelola melakukan aktivitas sesuai kepentingan pemilik
perusahaan. Kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen termasuk
didalamnya dimiliki oleh manajemen secara pribadi maupun dimiliki oleh anak
cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya. Jensen & Meckling (1976)
mengurangi masalah keagenan dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan
manajer dengan pemegang saham. Masalah keagenan dapat diminimalisasi
dengan cara meningkatkan kepemilikan manajerial karena dengan kepemilikan
manajerial yang semakin meningkat maka manajemen akan cenderung berusaha
meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham. Berdasarkan
ragkaian penjelasan diatas, maka hipotesis alternatif yang dikemukakan adalah
sebagai berikut:
H3: Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba
2.4.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional dengan Manajemen Laba
Kepemilikan institusional merupakan salah satu cara untuk memonitor
kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga dengan adanya
kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen
laba yang dilakukan manajer. Kepemilikan institusional diukur dari presentase
antara saham yang dimiliki oleh institusi dibagi dengan banyaknya saham yang
beredar. Kepemilikan institusional adalah persentase hak suara yang dimiliki oleh
institusi. Kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk
melakukan pengelolaan laba. Hal ini berarti bahwa kepemilikan institusional
dapat meningkatkan monitoring terhadap perilaku manajer dalam mengantisipasi
manipulasi yang mungkin dilakukan sehingga dapat tercipta manajemen laba yang
baik.
2.4.5 Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba
Dari uraian tentang pengaruh komisaris independen, komite audit,
kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terhadap manajemen laba
di atas yang telah diuraikan, maka juga dapat di simpulkan bahwa secara simultan,
komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional memiliki pengaruh terhadap manajemen laba, dengan hipotesis
sebagai berikut:
H5: Komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional secara simultan berpengaruh terhadap