• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Hukum Internasional atas Pelanggar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Hukum Internasional atas Pelanggar"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

LEGAL OPINION

PERAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PELANGGARAN HAM

BERAT TERHADAP ENTNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR

MATA KULIAH:

HUKUM INTERNASIONAL (ROMBEL 05)

Disusun Oleh:

Adib Nor Fuad (8111416107)

FAKULTAS HUKUM

(2)

PENDAHULUAN

Etnis Rohingya merupakan salah satu etnis yang tinggal di Myanmar yang menganut agama Islam, mereka tinggal di wilayah Arakan yang juga dihuni oleh etnis Rakhine, dan hubungan antara kedua kelompok masyarakat adat tersebut kurang harmonis dan sering terjadi konflik kedua kubu tersebut dan konflik tersebut berkepanjangan hingga Negara turun tangan. Pada tahun 2012 konflik antara Pemerintahan Negara Myanmar dengan masyarakat adat Rohingya mulai hangat dibincangkan kalangan Internasional. Mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi dan intimidasi yang dilakukan oleh pemerintahannya sendiri, bahkan mereka tidak diakui sebagai warga negara dari Myanmar sendiri.

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya tidak hanya terkait pengakuan sebagai warga negara, tetapi tindakan mengusir, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dan penindasan yang diterima oleh etnis Rohingya. Namun demikian, sejarah telah mencatat berbagai pelanggaran HAM yang disebabkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, status sosial, politik, keturunan dan sebagainya. Pelanggaran ini terjadi secara horizontal (antar masyarakat) maupun vertikal (antar Negara terhadap rakyat) atau sebaliknya. Banyak diantaranya tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights).1

Tindakan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar terhadap etinis Rohingya, telah mengakibatkan ribuan orang kehilangan nyawa, belum lagi yang mengalami gangguan kejiwaan dan kehilangan harta dan bendanya. Menurut para pengungsi di Banglandesh, tak kurang dari 3000 orang meninggal dunia dan 883 orang mengalami gangguan kejiwaan. Disamping itu, sebanyak 925 anak ikut mengunggsi tanpa kerabat serta 6.000 rumah milik Entnis Muslim Rohingya dibakar di Rakhine. Hingga saat ini, jumlah etnis Rohingya yang mengungsi sudah mencapai angka 700.000 orang.2

Pandangan dari pemerintah Myanmar terhadap kejadian yang menimpa masyarakat Rohingya diklaim sebagai suatu serangan balasan setelah kelompok militan tentara ARSA (Pembebasan Rohingya Arakan) yang menyerang sejumlah pos keamanan di Rakhine. Namun apa yang dilakukan militer Myanmar dengan memporakporandakan, mengusir dari tempat tinggalnya bahkan membumihanguskan tempat tinggal penduduk sungguh tak sebanding dengan kekuatan Entnis Muslim Rohingya di Rakhine yang tidak memiliki kekuatan dan dukungan dari pemerintah.

Konfik antara Etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar di rakhine merupakan konflik yang berkepanjangan. Serangan dari militan ARSA terhadap pos penjagaan oleh Entnis Muslim Rohingya dijadikan momentum dan alas an pemerintah Myanmar untuk melancarkan serangan balik, hanya saja apa yang dilakukan oleh tantara Myanmar merupakan tindakan persekusi dan deskriminasi

1 Prinst Darwan, 2001, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.9.

2 Addi Wisudawan, “Rohingya Dalam Kacamata Hukum Internasional”, Kompasiana.com, diperbaharui pada 20 September 2017 14.27 WIB,

(3)

kelomp, yang kita ketahui Myanmar merupakan negara dengan populasi mayarakat yang menganut agama Budha adalah menjadi mayoritas dibandingkan dengan jumlah populasi umat Islam disana. Tindakan pemerintah Myanmar seakan-akan lebih mengarah kepada tindakan Genosida atau etnic cleansing dengan tujuan pembersihan Entnis Muslim Rohingya di tanah Myanmar.

Dalam konflik ini sangat disayangkan, Negara dalam kepemimpinan Aung San Suu Kyi yang merupakan peraih nobel perdamaian pada tahun 2012, seyogyanya bisa mencegah tindakan militer Myanmar yang sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia disana, padahal dalam pidatonya saat menerima nobel ia menyakan bahwa ia ingin menciptakan dunia yang terbebas dari pengungsi, tunawisma, dan mereka yang putus asa.

Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada etnis ronghingya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pengusiran secara paksa, pengusiran secara paksa disini dengan melakukan Tindakan-tindakan sistematis sebagai berikut :

1. Etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya sebagai warga negara Myanmar.

Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan seseorang termasuk warga negaranya atau tidak. Terdapat Asas Ius Soli dan Asas Ius Sanguinis.

2. Adanya larangan untuk berpraktek agama.

Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap individu mempunyai hak kebebasan untuk beragama. Namun, pada kasus ini etnis rohingya tidak diberikan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya, ini terlihat bahwa yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir semua masjid di ibu kota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar, banyak masjid dan madrasah di Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak boleh beribadah di dalamnya. Jika ada yang melanggar atau mencoba untuk sholat akan ditangkap dan dihukum.3

3. Adanya perlakuan diskriminasi terhadap etnis rohingya

Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966 memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya diskriminasi.

ANALISIS ATURAN HUKUM

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak individu yang paling fundamental yang mencakup hak-hak atas hidup dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR), bahwa setiap orang berhak atas hak asasi nya tanpa dibeda-bedakan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan

3 Hery Aryanto, “Kondisi Faktual Muslim Rohingya di Indonesia”, 27 September 2013,

(4)

pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain”.4

Istilah Pelanggaran HAM Berat merupakan terjemahan dari konsep Kejahatan Internasional (International Crimes). Pelaku kejahatan internasional seperti yang dilakukan terhadap etnis Rohingya tersebut dapat dibawa ke peradilan nasional maupun internasional. Hal ini sesuai asas yang dianut bagi kejahatan internasional yaitu asas universal. Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk Aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghilangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.5

Tindakan militer/Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat diklasifikasikan dan dikatagorikan sebagai tindakan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma, yaitu;

Art. 6 Rome Statute; any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:

a. Killing members of the group;

b. Causing derious bodily or mental harm to members of the group;

c. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;

d. Imposing measures intended to prevent births within the group; e. Forcibly transferring children oof the group to another group.6

Ada 2 unsur pokok didalam ketentuan mengenai Kejahatan Genosida ini yang kemudian dapat diuraikan setiap unsur-unsurnya yaitu :

1. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara:

a. Membunuh anggota kelompok ( genocide by killing )

Berpedoman pada “Elements of Crimes” dapat diketahui bahwa yang dibunuh tidak perlu seluruh atau sebagian dari anggota kelompok bangsa, ras, kelompok etnis atau kelompok agama tertentu, tetapi sudah cukup jika yang dibunuh itu seorang atau lebih dari anggota kelompok tersebut.

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok (genocide by causing serious bodily or mental harm)

c. Penderitaan fisik atau mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b UU No. 26 Tahun 2000, tidak sekedar hanya penderitaan fisik atau mental yang biasa, tetapi adalah penderitaan fisik atau mental yang berat atau serius terhadap anggota kelompok lain. Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa

4 Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR).

(5)

penderitaan ini termasuk penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, dan perbuatan yang tidak manusiawi.

d. Menciptakan kondisi kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya (genocide by deliberately inflicting conditions of life calculated to bring about physical destruction).

e. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok (genocide by imposing measures intended to prevent births).

f. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain (genocide by forcibly transferring children)

Dalam “Elements of Crimes” diberikan catatan bahwa paksaan tidak terbatas pada paksaan fisik, tetapi termasuk pula ancaman secara fisik yang menyebabkan ketakutan akan kekerasan, ancaman hukuman, paksaan psikologis atau penyalahgunaan wewenang atas manusia tersebut atau mengambil kesempatan pada saat berlangsungnya kondisi tersebut.

2. Dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.

UJI SYARAT

Jika dalam menganalisis tentang kejahatan terhadap etnis Rohingnya, pada 2 unsur pokok didalam ketentuan mengenai Kejahatan Genosida sudah jelas dan terbukti dengan adanya pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh puluhan ribu masyarakat etnis Rohingya ke Negara-negara tetangga seperti, Bangladesh, Malaysia, Indonesia.

Maka dari itu harus ada upaya agar kejahatan yang dilakukan oleh Myanmar terhadap masyarakatnya sendiri dapat segera diatasi. Oleh karena itu kasus ini dapat diatasi dengan beberapa instrument hukum. Lahirnnya beberapa instrumen hukum sebagai legal standing kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dilatar belakangi oleh isu-isu hak asasi manusia dimata dunia, yang tertuang dalam bentuk perjanjian-perjanjian Internasional seperti Statuta Roma, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), Convention on the Rights of Child (CRC), dan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).

Dalam menangani kasus HAM berat terhadap Etnis Muslim Rohingya, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, diantaranya melalui Mekanisme Peradilan Pidana Internasional yaitu di International Criminal Court (ICC) karena secara umum, berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, tindakan-tindakan militer/Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat diklasifikasikan dan dikatagorikan sebagai tindakan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.

(6)

tersebut jika akan dilakukan mekanisme berbasis perjanjian internasional (Treaty Based Mecanism) seperti Statuta Roma.

Akan tetapi, International Criminal Court (ICC) dapat mengambil alih kasus kejahatan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya ini jika Myanmar dianggap tidak mampu menyelesaiakan dan mengadili kasus tersebut sesuai pasal 17 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan "Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan". Terkait sanksi hukum terhadap Myanmar yang dapat diberikan oleh ICC adalah pengenaan prinsip tanggungjawab pidana individu (individual criminal responsibility) sesuai dalam pasal 25 statuta roma, dan tanggung jawab komandan dan atasan (commander and superior responsibility) sesuai dalam pasal 27 statuta roma. Selanjutnya, pelaku kejahatan tersebut dapat dikenakan hukuman ganti rugi kepada korban termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi (sesuai dalam pasal 75 statuta roma) serta dapat pula dikenakan pidana penjara paling lama 30 tahun atau penjara seumur hidup dengan melihat beratnya kejahatan serta kondisi-kondisi personal dari terpidana ditambah denda dan pembekuan harta kekayaan yang didapat secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya sesuai dalam pasal 77 statuta roma.

Langkah atau mekanisme lain adalah dapat juga melalui Dewan HAM PBB, dengan mekanisme Complaint Procedure yang membuka peluang bagi individu atau organisasi selaku subyek hukum untuk melaporkan dewan mengenai pelanggaran HAM berat, Seperti halnya yang telah ditayangkan dalam Liputan6 Siang SCTV, Senin (11/9/2017), Memberitakan bahwa Badan HAM Bangladesh meminta bantuan dari komunitas internasional untuk mengadukan Myanmar dan militer Myanmar ke pengadilan internasional.7 Hal ini kemudian akan dilanjutkan

dengan mekanisme Special Procedure berupa pencarian fakta-fakta hukum dalam bentuk investigasi yang akan lakukan para ahli independen dengan mandat dari dewan HAM PBB. Rangkaian mekanisme tersebut disebut dengan Charter Based Mecanism, yang menggunakan Piagam PBB sebagai dasar oleh Dewan HAM PBB.

Mekanisme terakhir yang dapat ditempuh adalah meknisme intervensi militer. Jerry Indrawan, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta, dalam tulisannya yang berjudul Mungkinkah Intervensi Militer ke Myanmar pada kolom opini harian republika (tanggal 13 september 2017), yang berpendapat bahwa konteks kedaulatan Negara dapat dikontestsasikan dengan konsep Responbility to Protect jika berada dalam rezim politik internasional yang semakin borderless. Inti dari konsep Responbility to Protect adalah kedaulatan Negara menyaratkan perlindungan terhadap warga negaranya sendiri, jika dalam negaranya ada populasi masyarakat yang terjebak dalam situasi berbahaya maka Negara dianggap gagal dan berdasarkan prinsip konsep Responbility to Protect tersebut dunia internasional memiliki kewajiban untuk melindungi. Untuk mencegah semakin besarnya korban dalam kondisi tersebut terlebih terdapat pelanggaran HAM didalamnya menurut Jerry, Komunitas Global ataupun Negara yang memiliki kapasitas harus bertindak dan dapat melakukan intervensi militer.

(7)

Pada dasarnya, dalam kasus Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) seperti yang terjadi pada etnis muslim Rohingya di Rakhine Myanmar tersebut diatas jelas bertujuan untuk menghilangkan suatu polpulasi berdasarkan etnis atau agama tertentu. Ini merupakan pelanggaran HAM berat yang berbentuk Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusian sama seperti yang terjadi pada saat suku Tutsi oleh suku Hutu yang memakan korban 800.000 jiwa di republic Rwanda, Afrika Tengah. Tentu saja pencabutan nobel perdamaian bukan puncak hukuman. Sesuai yurisdiksinya, pimpinan yang bertanggungjawab dan membiarkan terjadinya kejahatan kemanusaiaan dan Genosida ini harus diadili di Peradilan Internasioal sebagaimana penulis sampaikan diatas.

Penyelesaian pada konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat dilakukan dengan dua pilihan, yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur litigasi merupakan cara penyelesaian masalah melalui jalur Pengadilan, sedangkan non-litigasi merupakan cara penyelesaian masalah di luar Pengadilan.8

Dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan ini hukum Internasional harus tegas dalm menegakkan keadilan. Dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum ke ranah hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut :

Ayat 1, Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung secara terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.

Ayat 2, Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang serupa itu.

Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melalui perundingan yang diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat individu, organisasi internasional dan lain sebagainya. Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian.9

8 Cacuk Sudarsono, “Pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan”, Unnes Law Journal, No. 4, Januari, 2015, hlm. 21.

(8)

Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang sudah diterangkan diatas. Dengan memperhatikan empat yurisdiksi pada ICC yaitu;10 a) rationae materiae,

b) rationae personae, c) ratione loci, d) ratione temporis.

KESIMPULAN

Pada dasarnya, dalam kasus Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) seperti yang terjadi pada etnis muslim Rohingya di Rakhine Myanmar tersebut diatas jelas bertujuan untuk menghilangkan suatu polpulasi berdasarkan etnis atau agama tertentu. Ini merupakan pelanggaran HAM berat yang berbentuk Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusian.

Penyelesaian pada konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat dapat dilakukan dengan dua pilihan, yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur litigasi merupakan cara penyelesaian masalah melalui jalur Pengadilan, sedangkan non-litigasi merupakan cara penyelesaian masalah di luar Pengadilan. Dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan ini hukum Internasional harus tegas dalm menegakkan keadilan.

Berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat berlaku apabila terjadi kurangnya penyelidikan dan penuntututan nasional yang sungguh- gungguh, maupun adanya keengganan dan ketidakmampuan negara tempat pelaku atau perbuatan pelanggaran HAM dilakukan, untuk memproses pelanggaran tersebut. Berdasarkan pasal ini, pemerintah Myanmar terbukti seperti tidak melakukan upaya hukum dan enggan untuk menyelesaikan kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Dalam kasus ini Statuta Roma mengizinkan Dewan Keamanan PBB merujuk atau meneruskan sebuah keadaan pelanggaran HAM yang tampak kepada Mahkamah Pidana Internasional. Sayangnya, Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma menyatakan, suatu negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta. Hal ini, tentu tidak menguntungkan karena negara yang tidak meratifikasi tidak dapat di adili. Berbagai pasal yang dapat dibuktikan telah dilanggar oleh pemerintahan Myanmar menjadi tidak dapat diterapkan, karena Myanmar tidak menjadi Negara yang meratifikasi satupun peraturan- peraturan mengenai Hak Asasi Manusia diatas. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban terhadap setiap pelanggaran yang telah dilakukan pemerintah Myanmar menjadi sulit untuk diterapkan.

Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan.

(9)

DAFTAR RUJUKAN

Aryanto, Hery. 2017. “Kondisi Faktual Muslim Rohingya di Indonesia”, 27 September 2013,

www.indonesia4rohingya.org, diakses pada 12 September 2017.

Darwan, Prinst. 2001. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

Lestari, Shinta. “Badan HAM Bangladesh Minta Myanmar Dilaporkan ke Pengadilan Internasional”, Liputan 6, diperbaharui pada 11 September 2017 13.11 WIB, http://news.liputan6.com/read/3090166/badan-ham-bangladesh-minta-myanmar-dilaporkan-ke-pengadilan-internasional, diakses pada 1 November 2017.

NN. “PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Muslim Myanmar”, diunggah pada 25 Oktober 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/118524655/PBB-Kutuk-Kekerasan-terhadap-Muslim-Myanmar, diakses pada 10 September 2017

pukul 20:32 WIB.

Rome Statute of the International Criminal Court Pasal 6

Sefriani. 2007. “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998”, Jurnal

Hukum, No. 2, Vol.14.

Sudarsono, Cacuk. 2015. “Pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Penganiayaan”, Unnes Law Journal, No. 4.

Undang-Undang. 1999. Pasal 1 ayat 6 No. 39. Tentang Hak Asasi Manusia. Universal Declaration of Human Right (UDHR). Pasal 2.

Wisudawan, Addi. “Rohingya Dalam Kacamata Hukum Internasional”, Kompasiana.com,

diperbaharui pada 20 September 2017 14.27 WIB,

https://www.kompasiana.com/i.addi_wisudawan/59c2173db9a42c30e664aa c2/rohingya-dalam-kacamata-hukum-internasional, diakses pada 28

Referensi

Dokumen terkait

Saran untuk penelitian selanjutnya dapat mengganti metode SIFT dalam mendapatkan fitur dari sebuah citra, sehingga diha- rapkan dapat melengkapi Singular Value Decomposition

Al- hamdulillahirobbil‘alamin , puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sholawat serta salam selalu tercurah kepada

Hasil analisis keragaman menunjukkkan bahwa penggunaan media tanam berbagai kompos (eceng gondok, kumpai dan kiambang) berpengaruh sangat nyata terhadap peubah

73 ditemukan 1 (satu) sachet Kristal bening shabu yang mana ditemukan pada tangan kanan Anak dan pada saat diintrogasi mengenai kepemilikan barang tersebut Anak

bukanlah alat yang siap pakai, melainkan harus diuji dan dikaji terlebih dahulu, baik kebenaran maupun relevansinya, sehingga benar-benar berfungsi untuk mengarahkan

Setiap mengawali stase di divisi para peserta didik diberikan pre test sebagai evaluasi awal kemudian dalam stase para peserta didik diberikan bimbingan dalam hal Kognitif,

Tetapi jika dikaitkan dengan diagram rase ZnO-Nb20S yang diusulkan oleh Pollard A.J.[3], pada pelet ZnO yang ditambahi Nb20s yang disinter pada suhu di bawah

Untuk menghasilkan peningkatan LGS rotasi internal sendi bahu yang lebih besar pada kondisi frozen shoulder maka sebaiknya pemberian traksi manual pembatasan LGS menjadi salah