• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat, dan n-Heksana Kulit Buah Keben (Barringtonia asiatica L. Kurz)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat, dan n-Heksana Kulit Buah Keben (Barringtonia asiatica L. Kurz)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Keben (Barringtonia asiatica L. Kurz)

Tumbuhan keben (B. asiatica) merupakan tanaman yang tumbuh subur di daerah

pesisir asia tropis dan pasifik. Pohon keben dapat tumbuh lebih dari 25 meter.

Buahnya tidak dapat dimakan dan beracun, bunganya berwarna putih dan merah

muda. Walaupun biji dari buah tersebut berbahaya bagi manusia, namun beberapa

bagian lain dari B. asiatica memiliki khasiat sebagai obat dan ini telah menjadi

budaya di beberapa negara.

Di filipina, rebusan daun tumbuhan keben dapat digunakan sebagai obat

sakit perut dan rematik, sedangkan di pulau salomon rebusan kulit pohon keben

digunakan untuk obat sakit gigi. Tumbuhan keben dapat tumbuh dengan baik di

daerah pesisir pantai (Elvitch, 2006).

Tumbuhan keben atau biasa disebut pohon pembunuh ikan tumbuh secara

intensif di pesisir pantai kawasan asia tropis dan pasifik. Di filipina tumbuhan ini

dikenal dengan nama botong dan biasa ditemukan di sepanjang pantai diseluruh

kota dan sering di tanam sebagai penahan angin dan tempat berteduh. Di

indonesia nama lain tumbuhan keben didaerah pulau jawa dan sumatera adalah

Butun dan Putat Laut (Arief, 2001).

Semua bagian dari tumbuhan keben diketahui memiliki senyawa saponin

yang dapat menghambat aktivitas serangga. Hama yang dapat dikendalikan

dengan ekstrak biji B. asiatica adalah Crocidolomia pavonana F. Yang mana

merupakan hama yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hampir 100% pada

tanaman kubis (Danar dan Rismanto, 2008).

Tumbuhan keben mempunyai beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai

berikut :

- Kandungan tanin dan saponin yang terdapat pada tumbuhan keben yang

(2)

- Rebusan kulit pohonnya dapat digunakan untuk mengobati hernia, bijinya

untuk mengobati penyakit kulit dan kulit kayunya untuk mengobati

tuberculosis. Tumbuhan keben juga memiliki kandungan anti-epilepsi

yang dapat mengobati epilepsy (Margaretha, 2014).

Klasifikasi Buah Keben hasil identifikasi tumbuhan di laboratorium

Herbarium Medanense, adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Lecythidales

Famili : lecythidaceae

Genus : Barringtonia

Spesies : Barringtonia asiatica (L) Kurz

Nama Lokal : Keben

(a) (b)

(3)

2.2 Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder merupakan sekelompok senyawa kimia yang dijumpai

diseluruh tanaman dan memiliki ciri khas untuk setiap tanaman tertentu (Manito,

1981).

Senyawa metabolit sekunder umumnya mempunyai kemampuan

bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan

hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri dan lingkungannya. Secara umum

metabolit sekunder dalam bahan hayati dikelompokkan berdasarkan sifat dan

reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Metabolit sekunder

dapat dikelompokkan sebagai alkaloida, terpenoida, flavonoida, tanin, saponin,

dan glikosida (Harborne, 1987).

2.2.1 Alkaloida

Alkaloida merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau

lebih asam nitrogen, umumnya tidak berwarna, dan berwarna jika mempunyai

struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloida pada umumnya juga

mempunyai kereaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida

sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia alkaloida merupakan

suatau golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan

tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal

hidroklorida atau pikrat (Harborne,1987).

Alkaloida merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

Alkaloida memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga

adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel

bakteri, sehingga lapisan dinding sel terbentuk secara utuh dan menyebabkan

kematian sel tersebut (Robinson, 1995).

2.2.2 Flavonoida

Flavonoida adalah senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6. Flavonoida umumnya

terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu

(4)

karbon C5 dan C7 pada cincin A. Pada cincin B gugus hidroksil atau alkoksil

terdapat pada karbon C3 dan karbon C4 (Sirait, 2007).

Flavonoida pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja

antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Adapun

fungsi flavonoida dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,

hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi bekerja

sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).

2.2.3 Tanin

Tanin tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat

khusus pada jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk

kopolimer baik yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa

yang berasal dari tumbuhan yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah

menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein

(Harborne, 1987).

Secara kimia terdapat dua jenis tanin yaitu:

1. Tanin terhidrolisis

Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higrokopis, berwarna

coklat kuning yang larut dalam air membentuk larutan koloid bukan

larutan sebenarnya. Semakin murni tanin, semakin kurang kelarutannya

dalam air dan semakin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin ini

larut dalam pelarut organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut

organik nonpolar seperti benzene atau kloroform (Robinson, 1995).

2. Tanin terkondensasi

Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan

cara kondensasi katekin tunggal (galokstekin) yang membentuk senyawa

dimer dan kemudian oligimer yang lebih tinggi. Proantosianidin

merupakan nama lain dari tanin terkondensasi karena jika direaksikan

dengan asam panas, beberapa ikatan karbon penghubung satuan terputus

(5)

2.2.4 Terpenoida

Kebanyakkan senyawa terpenoida terdapat bebas dalam jaringan tanaman, tidak

terikat dengan senyawa-senyawa yang lain, tetapi banyak diantara mereka yang

terdapat sebagai glikosida, ester dari asam organik dan dalam beberapa hal terikat

dengan protein (Sastrohamidjojo, 1996).

Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis

terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan, terpenoida tidak saja

ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan

mikroba. Struktur terpenoida dibangun oleh molekul isoprena, CH2=C (CH3)-

CH= CH2, Kerangka terpenoida terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit

isoprena. Terpenoida dapat juga dikelompokkan menjadi monoterpen,

seskuiterpen, diterpen, triterpen, dan tetraterpen (Sirait, 2007).

Triterpenoid merupakan golongan terpenoida yang berpotensi sebagai

antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan

penyakit gangguan kulit. Triterpenoida memiliki sifat antijamur, insektisida,

antibakteri, dan antivirus (Robinso, 1995).

2.2.5 Saponin

Saponin berasal dari kata sapo yang berarti sabun, karena sifatnya menyerupai

sabun. Saponin adalah glikosida triterpenoid. Saponin merupakan senyawa yang

berasa pahit, berbusa dalam air serta larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut

dalam eter. Saponin paling cocok diekstraksi dengan menggunakan metanol dan

etanol (Robinson, 1995).

Saponin dapat digunakan sebagai racun dan antimikroba ( jamur, bakteri,

dan virus). Saponin terdiri dari dua, yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid.

Saponin memberikan hasil yang lebih baik sebagai antibakteri jika mengunakan

pelarut polar seperti etanol 70%. Pada konsentrasi rendah saponin menyebabkan

hemolisis sel darah merah sehingga berfungsi sebagai antibakteri (Harborne,

(6)

2.3 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari

simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan.

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan

tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu (Depkes RI, 2000).

Suatu metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan

beberapa cara yaitu:

1. Maserasi

Maserasi berasal dari kata macerace yang artinya melunakkan. Maserat

adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan

maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia

tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat

pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

sampai penyaringan sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap

maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan

ekstrak) yang terus menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis

tersaring. Tahap pengembangan bahan dan maserasi antara dilakukan

dengan maserasi serbuk menggunakan cairan penyari sekurang-kurangnya

3 jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan yang

mudah mengembang (Harborne, 1987).

3. Refluks

Refluks adalah proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya selama waktu tertentu dan pelarutnya akan terdestilasi menuju

(7)

dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi

direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi

dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan

penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin

tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut,

demikian seterusnya (Depkes RI, 2000).

4. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontiniu yang menggunakan alat soklet, dimana

pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh

membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah pada

soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun kedalam

labu destilasi (Depkes RI, 2000).

5. Infudasi

Infudasi yaitu ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air,

bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, pada temperatur

terukur 960-980C selama waktu tertentu (Depkes RI, 2000).

6. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air (Depkes RI, 2000).

Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang

banyak digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan

dua pelarut tak bercampur yang ditambahkan kedalam ekstrak tersebut, hal ini

dapat dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan dua pelarut yang tak

bercampur yang kepolarannya meningkat. Partisi biasanya dilakukan melalui dua

tahap :

1. Air/petroleum eter ringan (heksana) untuk menghasilkan fraksi non

polar lapisan organik

2. Air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etil asetat untuk membuat

fraksi agak polar dilapisan organik. Ini merupakan metode pemisahan

yang mudah dan mengandalkan kelarutan bahan alam dan bukan

(8)

2.4 Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata”bakterion” (bahasa yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok

mikroorganisme yang bersel satu, pembiakan dengan cara pembelahan diri, serta

demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro,

1998).

Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi

dengan bantuan mikroskop, Mikroorganisme tersebut akan terlihat. Ukuran

bakteri berkisar antara panjang 0,5 sampai 10 µ dan lebar 0,5 sampai 2,5 µ

tergantung dari jenisnya (µ=1 mikron=0,001 mm).

Walaupun terdapat berbagai jenis bakteri, tetapi hanya beberapa

karakteristik bentuk sel yang ditemukan yaitu :

1. Bentuk bulat atau cocci (tunggal = coccus)

2. Bentuk batang atau bacilli (tunggal = bacillus)

3. Bentuk spiral atau spirilli (tunggal = spirillum)

4. Bentuk koma atau vibrous (tunggal = vibrio)

Sel-sel ini dapat dijumpai dalam keadaan tunggal, berpasangan, kelompok kecil,

gerombolan atau rantai (Buckle, et al. 2009).

2.4.1 Penggolongan Bakteri

Bakteri dibedakan atas dua kelompok berdasarkan komposisi dinding sel

serta sifat pewarnaannya, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

1. Bakteri Gram Positif

Bakteri gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi

dibandingkan garam negatif. Pada bakteri gram positif polimer dapat

mencapai 50%. Pada beberapa genus bakteri gram positif terdapat asam

teikoat. Asam ini dapat mengikat ion magnesium , ion Mg berperan dalam

membran sitoplasma sehingga memberikan ketahanan terhadap suhu yang

tinggi. Pada umumnya kandungan lipid pada dinding sel bakteri gram

(9)

2. Bakteri Gram Negatif

Dinding sel bakteri gram negatif lebih kompleks dibandingkan gram

positif. Perbedaan utama adalah adanya lapisan membran luar, yaitu

meliputi peptidoglikan. Kehadiran membran ini pada menyebabkan

dinding sel bakteri gram negatif kaya akan lipid (11-22 %). Lapisan ini

tidak hanya terdiri dari fosfolipid saja seperti membran plasma, tetapi juga

mengandung lipid lainnya , polisakarida dan protein (Waluyo, L 2007).

Perbedaan relatif sifat bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dapat

dilihat sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Fardiaz, 1992).

No Sifat

1. Komposisi dinding sel Kandungan lipid

rendah (1-4%)

Kandungan lipid

tinggi (11-22%)

2. Ketahanan terhadap penisilin Lebih sensitif Lebih tahan lama

3. Penghambat oleh pewarna

biasa (misalnya violet kristal)

Lebih dihambat Kurang dihambat

4. Kebutuhan Nutrient Kebanyakan spesies

relatif kompleks

Relatif sederhana

5 Ketahanan terhadap

perlakuaan fisik

Lebih tahan Kurang tahan

2.4.2 Bakteri Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan bakteri gram positif, sel-sel berbentuk bola,

berdiameter 0,5 sampai 1,5 µm, terdapat tunggal dan berpasangan, dan secara

khas membelah diri pada lebih dari satu bidang sehingga membentuk gerombol

yang tak teratur. Dinding sel mengandung dua komponen utama yaitu

peptidoglikan serta asam tekoat yang berkaitan dengannya. tumbuh lebih cepat

dan lebih banyak dalam keadaan aerobik pada suhu optimum 35-40 0C (Pelczar

(10)

Koloni pada pembenihan padat terbentuk bulat halus, menonjol dan

berkilau membentuk pigmen. Bakteri ini terdapat kulit, selaput lendir, bisul dan

luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan

menyebar luas dalam jaringan (Jawets, 2001).

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

2.4.3 Bakteri Escherichia coli

Bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang lurus

1,1-1,5 µm x 2,0-6,0 µm. Tumbuh dengan mudah pada medium nutrien sederhana

(Pelczar & Chan, 1988).

E. coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam usus dan berperan

dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri ini merupakan

parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya air. E. coli

adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat

mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare (Gaman, 1992).

(11)

2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri

1. Air, Bakteri memerlukan air dalam konsentrasi tinggi (cukup) disekitarnya

karena diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan. Air

merupakan pengantar semua bahan gizi yang diperlukan sel dan untuk

membuang semua zat-zat yang tak diperlukan keluar sel.

2. Garam-garam anorganik, diperlukan untuk mempertahankan keadaan

koloidal dan tekanan osmotik didalam sel, untuk memelihara

keseimbangan asam-basa, dan berfungsi sebagai bagian enzim atau

sebagai aktivator reaksi enzim.

3. Mineral, selain karbon dan nitrogen, sel-sel hidup memerlukan sejumlah

mineral-mineral lainnya untuk pertumbuhannya.

 Belerang (sulfur): seperti halnya dengan nitrogen, sulfur juga

merupakan substansi sel.

 Fosfor-Fosfat (PO4): diperlukan sebagai komponen asam-asam

nukleat dan berupa ko-enzim.

 Aktivator enzim: sejumlah mineral diperlukan sebagai aktivator enzim seperti Mg, Fe juga K dan Ca.

4. Sumber Nitrogen, banyak isi sel terutama protein, mengandung nitrogen.

Pada bakteri, nitrogen mencapai 10% berat kering sel bakteri. Nitrogen

yang dipakai oleh bakteri diambil dalam bentuk: NO3, NO2, NH3, N2 dan

R-NH2 (R- radikal organik). Kebanyakan mikroorganisme menggunakan

NH3 sebagai satu-satunya sumber nitrogen.

5. CO2, diperlukan dalam proses-proses sintesis dengan timbulnya asimilasi

CO2 didalam sel (Nasution, 2014).

2.5 Antibakteri

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan

pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan

mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit infeksi, dan

mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme

(12)

Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa

antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat

pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan

permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan

makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,

penghambatan kerja enzim dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein.

Didalam bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan bahan antibiotik, yaitu

suatu subtansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat

pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri dapat berkerja secara

bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar & Chan, 1998).

Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobial

mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu:

1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan

tetapi tidak membunuh. Senyawa bakteriostatik sering kali menghambat

sintesis protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan

penambahan antimikrobia pada kultur yang berada pada fase logaritmik.

Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan

jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

2. Bakteriosida memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak

terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan

antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik.

Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan

jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.

3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sehingga jumlah

sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia.

Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur

mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat

antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel

(13)

2.5.1 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri merupakan suatu metode untuk menentuakan

tingkaat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri utuk mengetahui senyawa

murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dapat

dilakukan dengan metode difusi dan pengenceran (dilusi). Disc diffusion test atau

uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone)

yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh

suatu senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam

konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri

uji dalam media cair (Hermawan, dkk., 2007).

Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan.

Metode difusi dapat dilakukan dengan cara yaitu metode silinder, metode

lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi

dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian,

kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan

inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah

hambatan disekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).

Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga

diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi

ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut akan

diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai

dengan terjadinya kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil

yag terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar

Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibiory Concentration (MIC). Larutan

yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair

tanpa penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri, dan diinkubasi selama

18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan

sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration

(14)

2.5.2 Pengukuran Aktivitas Antibakteri

Penentuan kerentanan patogen bakteri terhadap obat-obatan antimikroba

dapat dilakukan dengan salah satu metode utama yaitu dilusi dan difusi.

Metode-metode tersebut dapat dilakukan untuk memperkirakan baik potensi antibiotik

dalam sampel maupun kerentanan mikroorganisme dengan menggunakan

organisme uji standar yang tepat dan sampel obat tertentu untuk perbandingan.

Metode-metode utama yang dapat digunakan adalah :

a. Metode Dilusi

Sejumlah antimikroba dimasukkan kedalam medium bakteriologi padat atau cair,

biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba. Medium akhirnya

diinokulasi dengan bakteri yang diuji dan diinokulasi. Tujuan akhirnya adalah

mengetahui seberapa banyak jumlah antimikroba yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji. Uji kerentanan

dilusi agar membutuhkan waktu yang lama.

b. Metode difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan

menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini

adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi

zat yang bersifat antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah

hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih disekitar cakram. Luas daerah

hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakterinya maka semakin luas

daerah hambatnya. Metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia,

misalnya : ph, suhu, zat inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran

(15)

2.5.3 Mekanisme Kerja Antibakteri

Mekanisme kerja antibakteri yaitu sebagai berikut :

a. Inhibitor Sintesis Dinding Sel

Kerusakan dinding sel atau penghambatan pada pembentukannya dapat

menyebabkan sel menjadi lisis. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan

yang merupakan kompleks mukopeptida (glikopeptida). Zat antibakteri

menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri dengan menghambat kerja

enzim traspeptidase dan enzim rasemase alanin atau dengan menghambat sintesa

asam muramat. Senyawa penisislin dan sefalosforin yang secara struktur mirip

dan senyawa-senyawa yang tidak mirip seperti sikloserin, vankomisin dan

basitrain merupakan zat antibakteri yang bekerja menghambat sintesis dinding sel

(Setiabudi dan Gan, 1995).

b. Inhibitor Fungsi Membran Sel

Biasanya merupakan senyawa yang bekerja langsung pada membran sel

mikroorganisme, mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran

senyawa-senyawa intraseluller. Dalam hali ini termasuk senyawa yang bersifat

detergen seperti polimiksin dan amfoterisin B yang berikatan dengan sterol-sterol

dinding sel. Kerusakan membran sel akan mengakibatkan keluarnya berbagai

komponen penting dalam sel bakteri yaitu protein, asam nukleat, dan lain-lain

(Setiabudi dan Gan, 1995).

c. Inhibitor Sintesis Protein Sel

Unit ribosom pada bakteri adalah 30S dan 50S. Sintesis protein dihambat dengan

mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S dan 50S sehingga menyebabkan

penghambatan sistesis protein yang reversibel dan mengakibatkan kematian sel.

Obat bakteriostatik ini meliputi kloramfenilok, golongan tetrasiklin, eritromisin

(16)

d. Inhibitor Sintesis Asam Nukleat

Antibakteri yang tergolong kelompok ini adalah golongan kuinolon dan rifampin.

Dalam hal ini, derivat rifampin akan berikatan dengan enzim polimerase-RNA

(pada sub unit) sehingga menghambat sintesis RNA oleh enzim tersebut.

Sementara asam nalidiksat bekerja dengan menganggu sintesis DNA (Bilbiana

dan Hastowo, 1992).

e. Inhibitor Metabolit Sel Bakteri

Dalam kelompok ini termasuk sulfonamida. Pada umumnya bakteri memerlukan

para-aminobenzoat (PABA) untuk sisntesis asam folat yang diperlukan dalam

sintesis purin. Sulfonamida memiliki struktur seperti PABA, sehingga

penggunaan sulfonamida menghasilkan asam folat yang tidak berfungsi (Bilbiana

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Fardiaz, 1992).
Gambar 2.3 Bakteri Escherichia coli

Referensi

Dokumen terkait

Terutama nitrogen yang dapat membuat tanaman menjadi lebih hijau karena mengandung banyak butir-butir hijau yang penting dalam proses fotosintesa Nitrogen juga

Information about the Practical Test on page 18 has also been changed to specify that centres should provide colour photographs as hard copy for moderation purposes.. Please

This paper is entitled A Description of Figurative Meaning found in Selected Lyrics of Ariana Grande Song discusses the types of figurative language that exist in

ation of Cour nent 8 is only k proposal to.

Aspek sosial yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah karakteristik masyarakat pedesaan yang mencerminkan jika diberi janji akan selalu diingat dengan frekuensi

Ragam bahasa puisi yang dianalisis berdasarkan: 1) penggunaan bahasa indah/estetis, 2) mengandung banyak makna, 3) terkandung simbol-simbol/bahasa figuratif yang mengacu

After graduating from the Newman School in 1913, Fitzgerald decided to stay in New Jersey to continue his artistic development at Princeton University.. He firmly

Pada pengamatan keadaan atmosfer kita di stasiun digunakan beberapa alat.. yang mempunyai sifat-sifat yang hampir sama dengan alat-alat ilmiah lainnya