• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Subordinasi Perempuan Dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat Batak. Dengan sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak, jelas menunjukkan bahwa anak laki-laki sebagai generasi penerus, sedangkan anak perempuan kelak akan ikut marga suaminya. Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat “Batak Toba” menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya, anak perempuan nanti akan ikut dengan suami dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya.

(2)

Kedudukan perempuan sebagai orangtua tunggal menurut adat bertolak belakang pada kenyataan bahwa perempuan sebagai orang asing. Sehingga tidak berhak untuk mendapat apapun.Namun di dalam adat jika isteri tidak menikah lagi, maka isteri dapat memiliki harta yang diperoleh selama ada ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itu, perempuan sebagai orangtua tunggal pada adat Batak Toba memiliki suatu ketentuan, yaitu apabila “janda” diintegrasikan ke dalam keluarga suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkah. Akan tetapi, apabila perempuan tersebut memisahkan diri dari keluarga suaminya, perempuan sebagai orangtua tunggal tidak akan berhak memiliki benda milik suaminya.

Anak perempuan dalam suku batak yang tidak memiliki saudara laki-laki, tidak berhak mendapat warisan dari orangtua karena dianggap tidak dapat melanjutkan silsilah keluarganya dan keluarga tersebut hanya berhenti di anak perempuan. Anak perempuan yang demikian disebut “siteanon”, artinya semua harta warisan ayahnya tidak dapatdimiliknya dan harus diwarisi anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya. Tetapi pada masa sekarang, jika ayahnya memberikan surat wasiat yang tertuju pada anaknya, maka anak perempuan dapat memilikinya. Bukan hanya dalam hak warisan, pendapat perempuan dikalangan Batak juga tidak didengarkan, perempuan dianggap kurang memiliki hak suara dikeluarga suami maupun dikeluarga sendiri. Pendapat isteri biasanya disamakan dengan pendapat suami. Akan tetapi di dalam adat Batak, suara perempuan masih dapat diperhitungkan pada saat-saat tertentu. Seperti saat keluarga sendiri yang langsung bertanya dan meminta pendapat perempuan sebagai isteri maupun sebagai anak perempuan.

(3)

Perempuan hanya sebagai pengguna untuk sumber kehidupan tanpa memiliki sementara pendapatnya bukan hal yang penting untuk dipertimbangkan, itupun jika memiliki anak laki-laki. Sementara perempuan sebagai orangtua tunggal yang tidak memiliki anak tanpa pernikahan atau hamil tanpa adanya pernikahan, cenderung dikucilkan bahkan dianggap sangat rendah. Sebagai orangtua tunggal yang belum pernah menikah lebih dianggap mempermalukan keluarga sehingga terasing dikeluarga, dan anak tersebut tidak dianggap karena tidak memiliki marga.

Pernikahan pada suku Batak bukan masalah perseorangan, tetapi masalah keluarga. Bila seseorang menikah dengan orang lain, bukan saja dia yang mengikat tali kekerabatan dengan keluarga istri atau suaminya, tetapi terbentuklah jaringan-jaringan kekerabatan atau jaringan kekeluargaan yang baru. Kalau ikatan kekerabatan sudah ada atau sudah erat sebelumnya, maka pernikahan itu berarti memperbaharui dan memperkuat ikatan yang sudah ada. Tetapi jika diantara mempelai itu tidak terdapat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sebelumnya, maka pernikahan mereka akan membentuk suatu jaringan kekerabatan atau jaringan kekeluargaan yang baru (Tambun, 2004: 56).

(4)

peminggiran dan penomerduaan pun dirasakan perempuan sebagai orangtua tunggal.

Masyarakat Batak Toba memiliki filosofi yang menyangkut masyarakat da Tolu” merupakan simbol dari sistem sosial masyarakat batak yang sampai di abad modern ini peranannya sangat kuat dalam membina kehidupan khususnya masyarakat batak baik yang menyangkut pergaulan hidup, kepemimpinan, hukum dan lain sebagainya. Filosofi “Dalihan Na Tolu” ini menunjukkan solidaritas persatuan dan sikap saling hormat menghormati diantara sesama manusia. Hal ini disebabkan karena sistem etika yang mengayomi para pihak di dalam “Dalihan Na Tolu” sangat relevan di setiap perkembangan jaman. Dalam adat Batak, “Dalihan Na Tolu” ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga hal tersebut yaitu, Pertama, “Somba Marhulahula/samba” Hormat kepada keluarga pihak

Kedua, “Elek Marboru” sikap membujuk/mengayomi perempuan.

Ketiga, “Manat Mardongan Tubu”bersikap hati-hati atau saling

menghormati kepada teman semarga (Rajamarpodang : 1992).

Penerapan “Dalihan Na Tolu” bisa kita lihat dalam suatu perkawinan yang sah.“Dalihan Na Tolu” telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan isteri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak, maupun dengan “boru” serta “hula-hula” dari masing-masing pihak. Di dalam adat Batak, jika perkawinan hanya disahkan dengan upacara agama dan catatan sipil, maka perkawinan itu tidak sah di dalam “Dalihan Na Tolu”. sehingga apabila timbul keretakan di dalam rumah tangga, maka sudah pasti keluarga dan kerabat semarga dari masing-masing pihak tidak memiliki hak dan kewajiban untuk mencampurinya karena belum “diadati”.

(5)

(marga suami). Jika timbul permasalahan, bukan hanya keluarga suami yang mengambil keputusan tetapi harus bermusyawarah dengan ketiga bagian “Dalihan Na Tolu”. “hula-hula”, “mardongan tubu”, “boru”, seluruhnya harus ikut dalam menyelesaikan masalah. Agar suku Batak Toba tetap bersama-sama dan tetap satu dalam naungan “Dalihan Na Tolu”.

Adapun penyelesaian permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan masyarakat Batak Toba misalnya tentang perceraian, dan pembagian harta warisan juga tidak akan dapat berjalan apabila “Dalihan Na Tolu” tidak ada, disebabkan karena unsur “Dalihan Na Tolu” dari pihak yang bersengketa tersebut yang memiliki inisiatif dalam hal mencari tahu sengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi, lalu mengajak berkumpul, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka alami tersebut. “Dalihan Na Tolu” bukanlah kasta karena setiap orang Batak Toba memiliki ketiga posisi tersebut, ada saatnya menjadi “Hula hula/Tondong”, ada saatnya menempati posisi “Dongan Tubu/Sanina” dan ada saatnya menjadi “Boru”.

Kenyataan ironis ini membuat perempuan termarginalkan, perempuan lebih menderita ketika dia menjadi seorang “janda”. Pada saat suami masih adapun, perempuan sudah termarginalkan dimana pendapat perempuan bukanlah hal yang utama, dan harus melalui suami. Ketika suami mengatakan iya, maka pendapat istri adalah pendapat yang benar dan patut diperhitungkan. Subordinasi perempuan dan marginalisasi perempuan dapat dilihat dari ibu YS tersebut.

(6)

tidak peduli. Perlakuan ini sangat bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”, tidak ada peran dari ketiga “Dalihan” tersebut.

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum-hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa perempuan termarginalkan di bandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Kaum perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap saja diikat dengan norma-norma patriarki yang relatifmenghambat dan memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan catatan hanya sebagai penambah pencari nafkah keluarga sehingga mereka bekerja dianggap hanya sebagai “working or lipstick” belum lagi kewajiban utama mengasuh anak dibebankan sepenuhnya kepada perempuan (Daulay, 2007 : 3).

Penelitian ini berangkat dari adanya ketidakseimbangan antara kenyataan yang terjadi dan bertolak belakang dari filosofi “Dalihan Na Tolu” pedoman dasar suku Batak terhadap perempuan yang sudah tidak memiliki suami ataupun yang sama sekali tidak memiliki suami tetapi memiliki anak didalam budaya Batak Toba. Dari ketidakseimbangan inilah terdapat subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal. Perempuan seringkali disubordinasikan oleh lingkungan. Penelitian ini ingin mengetahui apa sajakah bentuk-bentuk subordinasi yang terdapat pada prempuan sebagai orangtua tunggal.

(7)

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan sebelumnya, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana bentuk-bentuk subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam filosofi Dalihan Na Tolu?”. Penelitian ini akan ditujukan kepada informan yaitu, perempuan sebagai orangtua tunggal yang tidak memiliki suami karena kematian, orangtua tunggal cerai hidup serta orangtua tunggal yang sama sekali belum menikah atau hamil tanpa pernikahan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam adat Batak Toba.

2. Untuk mengetahui bagaimana peran perempuan sebagai orangtua tunggal di dalam adat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui bagaimana ketidakseimbangan perlakuan perempuan yang bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori yang membahas tentang subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai budaya adat Batak Toba, dan penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi kalangan mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa suku Batak. Penelitian ini juga diharapkan dapat disumbangkan untuk memperluas wawasan serta berguna bagi mahasiswa.

Referensi

Dokumen terkait

Processed spectra (smoothing +Savitzky-Golay derivation) of coffee blend (Luwak- Arabica) with different content of adulterant (Arabica) in the range of 200-450

Secara earning power kita bisa melihat penurunan dan rasio yang kecil dari Perusahaan AISA, hal ini terbukti dari kondisi P/E Ratio yang selalu undervalued dalam 5 tahun terakhir

Jika diketahui ukuran logical address adalah 16-bit dengan page size sebesar 256 Byte, maka tentukanlah alamat pemetaan page number tersebut pada memori utama jika pasangan

PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo, Tbk, y.ang b€ftedudukan di Kdta Tangerang, derigan ini mengumunkan bahwa pihaknya bermaksud untuk mengambilalih 100% saham-saham yang

4.0 KEMAHIRAN YANG DIUKUR DALAM UJIAN APTITUD AM TAHUN 3. Kemahiran yang diukur dalam Ujian Aptitud Am Tahun

8 Mardianto, ( 2012), Psikologi Pendidikan , Medan: Perdana Publising, hal.193.. mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses

It covers political education, social education, local cultural wisdom (through Kiai Kanjeng), religious education, critical character building, and civic education, 50 as

Dari studi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) pengambilan data detail situasi tidak hanya mengambil batas-batas atap dari setiap