• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia Chapter III V"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KRITERIA KAPAL YANG DAPAT DILAKUKAN TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU PENENGGELAMAN KAPAL DALAM

TINDAK PIDANA PERIKANAN

A. Kriteria Kapal Perikanan dan Kewenangan Penerbitan Izin

Penangkapan Ikan dengan Kapal

Kapal perikanan memiliki jenis yang cukup beragam, mulai dari yang berukuran kecil, seperti kapal yang beroperasi di sekitar pantai dan tidak memiliki mesin penggerak yang hanya dioperasikan oleh seorang nelayan, sampai kapal berukuran besar yang berfungsi sebagai kapal induk (mother boat) dan juga pemasok logistik bagi kapal yang lain.

Kapal perikanan, termasuk jenis kapal berukuran kecil yang mana memiliki ciri khas tersendiri dan dipergunakan untuk melakukan tugas dan fungsi perikanan tertentu. Kapasitas dan fasilitas yang terdapat pada kapal tersebut juga disesuaikan dengan jenis kegiatan perikanan yang diemban. Oleh karenanya, kapal perikanan dirancang dan dibangun untuk mampu melaksanakan tugas perikanan (penangkapan ikan) yang menjadi fungsi utamanya.67

(2)

sumber daya perikanan, manajemen perikanan, efektivitas serta efisiensi penangkapan dan bahkan penelitian untuk menciptakan kapal perikanan yang lebih baik. Secara umum, kapal perikanan digunakan untuk berbagai kegiatan perikanan di antaranya:

1. Kapal perikanan yang fungsi utamanya sebagai kapal penangkap ikan, seperti kapal pukat cincin (purse seiner), kapal trawl, kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal huhate (pole and liner), kapal jaring insang (gill netter).

2. Kapal perikanan yang memiliki fasilitas khusus untuk penanganan dan pengolahan hasil tangkapan serta berfungsi sebagai mother boat.

3. Kapal perikanan yang kegiatan utamanya melakukan eksplorasi, penelitian, pengawasan, dan pelatihan sumber daya manusia perikanan. 4. Kapal perikanan yang digunakan sebagai pengangkut produk perikanan

dari fishing ground ke pelabuhan bongkar, seperti kapal angkut pada kegiatan penangkapan dengan pukat cincin.68

(3)

dengan kapal pada umumnya. Oleh karena tugas dan fungsi yang khusus tersebut, maka kapal perikanan (terutama kapal perikanan modern) memiliki karakter sebagai berikut :69

1. Struktur Konstruksi yang Kuat

Konstruksi kapal harus kuat karena dalam melaksanakan kegiatan menangkap ikan sering menghadapi kondisi laut yang keras. Kapal juga harus tahan terhadap getaran yang disebabkan oleh mesin-mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya yang digunakan untuk mendukung pengoperasian alat penangkap ikan.

2. Stabilitas Kapal yang Tinggi

Stabilitas kapal yang tinggi diperlukan kapal perikanan pada saat mengejar dan menangkap ikan, yang kadangkala harus beroperasi pada kondisi lautan yang berat dan sering menerjang badai.

3. Kecepatan (speed) yang Tinggi

(4)

harus bergerak dengan pelan. Oleh karena itu, pemilihan mesin harus dilakukan para ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam sehingga dapat memenuhi berbagai kebutuhan operasi penangkapan ikan, baik untuk melaju dengan cepat maupun bergerak dengan lambat.

4. Kemampuan Olah Gerak yang Baik

Kapal penangkap ikan pada saat melakukan penangkapan selalu membutuhkan kemampuan olah gerak yang baik. Hal ini sangat penting ketika mendeteksi, mengikuti gerakan-gerakan ikan yang akan ditangkap dan pada saat mengoperasikan alat penangkap ikan.

5. Ketahanan yang Baik

Kapal penangkap ikan harus memiliki kemampuan untuk menahan gelombang laut yang besar dan kuat serta mampu menahan tiupan angin yang kencang. Kapal penangkap ikan dirancang untuk memiliki daya apung yang besar dan stabilitas yang baik sehingga memiliki oleng (rolling and pitching) minimal pada saat diterpa angin kencang dan gelombang yang besar.

6. Mesin yang Ideal

(5)

penangkap ikan, berukuran kecil, bertenaga besar, serta mampu bekerja dalam waktu yang lama secara terus-menerus dan relatif mudah dirawat dan dioperasikan.

7. Fasilitas Peralatan dan Permesinan Perikanan yang Lengkap

Kapal penangkap ikan dilengkapi dengan fasilitas permesinan yang digunakan untuk memperlancar dan mempermudah pengoperasian alat tangkap ikan. Penggunaan fasilitas ini akan mengurangi kesulitan dalam pengoperasian alat tangkap ikan, mengurangi jumlah sumber daya manusia serta meningkatkan produktivitas penangkapan dan meningkatkan efisiensi kapal. Kapal penangkap ikan juga dilengkapi dengan berbagai peralatan pendeteksi ikan guna mempermudah upaya mencari ikan target tangkapan, menentukan fishing ground yang baik bahkan mengetahui kondisi alat tangkap ketika dioperasikan di dalam air.

8. Peralatan Penanganan Hasil Tangkapan

Pada umumnya kapal penangkap ikan menyimpan hasil tangkapannya di atas kapal untuk sementara waktu sampai ikan tangkapan dipindahkan.Untuk itu, kapal penangkap ikan dilengkapi dengan fasilitas penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal, yang digunakan untuk menjaga agar mutu ikan tangkapan di atas kapal tetap baik.

9. Memiliki Daya Jelajah yang Baik

(6)

memiliki trip operasi yang lama dan panjang sampai dengan beberapa bulan. Oleh karena itu, kapal penangkap ikan seperti ini memiliki fasilitas untuk menyimpan logistik yang cukup besar dan modern (makanan, air tawar, bahan bakar) untuk mendukung kegiatan operasi penangkapan. Penggunaan kapal perikanan dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perikanan dunia, khususnya Indonesia, merupakan suatu tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Keberadaan kapal perikanan sebagai sarana penangkap ikan diperlukan untuk menangkap ikan yang hidup dan berada di laut yang kedalamannya lebih dari 100 meter. Pada kedalaman tersebut banyak dihuni oleh ikan yang ukurannya besar dan mempunyai nilai serta harga yang tinggi, seperti ikan tuna dan ikan cakalang.

Penyediaan kapal perikanan sebagai alat tangkap ikan yang berada pada kedalaman tertentu, perlu diatur perizinannya agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Kewenangan merupakan suatu yang melekat pada diri seseorang karena jabatannya, sehingga dengan adanya kewenangan tersebut, pejabat dapat menerbitkan suatu persetujuan berupa izin untuk melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan hukum, yang lazim disebut “perizinan”. Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan tangkap ini, perizinan merupakan sesuatu yang sangat mutlak, apalagi jika usaha tersebut mempergunakan peralatan perkapalan yang canggih dan dilakukan di lautan yang skalanya lebih luas dan dalam.70

(7)

Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 jo. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan izin usaha perikanan tangkap kepada Direktur Jenderal, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Kewenangan pemberian izin tersebut terdiri atas:

a. Direktur Jenderal berwenang menerbitkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) gross tonnage dan usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.

b. Gubernur berwenang menerbitkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage untuk orang yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi pada perairan di wilayah pengelolaan perikanan provinsi tersebut berkedudukan, serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.

(8)

kabupaten/kota tersebut berkedudukan, serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dan Bukti Pencatatan Kapal untuk nelayan kecil yang menggunakan 1 (satu) kapal berukuran paling besar 5 (lima) gross tonnage untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

B. Ketentuan Pengoperasian Kapal Perikanan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia

Salah satu kegiatan yang menunjang dan menentukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan adalah adanya kegiatan transportasi berupa pengangkutan ikan. Namun demikian semua kapal yang dipergunakan untuk mengangkut ikan harus mendapat izin dari Dirjen Perikanan terlebih dahulu. Persyaratan penggunaan perizinan kapal pengangkutan ikan dilakukan dengan tujuan agar semua kapal perikanan pengangkut ikan benar-benar layak sebagai kapal yang dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) PERMEN KP Nomor PER.30/MEN/2012 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP-NRI,wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi a. izin usaha perikanan yang diterbitkan dalam bentuk SIUP;b. izin penangkapan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIPI; danc. izin kapal pengangkut ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIKPI.

(9)

menyebutkan bahwa kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia.

Penyelenggaraan pendaftaran kapal perikanan dimaksudkan untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang efisien (menguntungkan) dan berkelanjutan. Pendaftaran tersebut diarahkan untuk “teridentifikasi dan terdaftarnya kapal perikanan nasional yang beroperasi di perairan Indonesia”.71

Hak dan kewenangan atas laut diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The Sea ) 1982 yang dibedakan berdasarkan derajat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya perikanan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.

(10)

dan tingkat kewenangan bagi negara yang bersangkutan. Ada beberapa jenis laut yang mendapatkan perhatian dikaitkan dengan pengelolaannya, baik bagi negara itu sendiri, bersama dengan negara-negara tetangga ataupun dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan regional dan internasional.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesiayang selanjutnya disingkat WPPNRI merupakan wilayahpengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaanikan, konservasi, penelitian dan pengembangan perikanan yangmeliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zonatambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.72

Perairan Indonesia didefinisikan sebagai laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.73 Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.74 Dalam Undang Perairan Indonesia dan Undang-Undang Perikanan, laut teritorial didefinisikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.75 Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai,76

72

Pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

73

Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.

74

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

75

Definisi laut teritorial mengacu pada UNCLOS yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran

(11)

darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk semua ke dalamnya dari perairan yang terletak pada sisi barat dari suatu garis penutup.77

ZEE merupakan hal yang sangat penting bagi negara-negara berkembang karena rezim ini merupakan pencerminan dari usaha-usaha yang dilakukan oleh negara yang sedang berkembang untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap kekayaan alam yang terdapat di dalam laut yang berbatasan dengan laut wilayahnya. Konsevasi sumber kekayaan hayati di ZEE didasarkan pada prinsip pemanfaatan yang rasional (use the resources rationally)

Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) pada Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan posisi yang kuat dan keuntungan secara ekonomis kepada negara-negara pantai untuk memperoleh hak berdaulat (sovereign rights) guna memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di ZEE tersebut khususnya sumber perikanan.

78

(12)

pemanfaatan sumber perikanan di zona perikanan tersebut melalui persetujuan dengan negara pantai.79

(a) Hak Negara Pantai untuk membuat pengaturan.

Indonesia sebagai Negara Pantai mempunyai hak dan kewajiban yaitu:

Untuk melihat sejauh mana hak Indonesia, terutama dalam memanfaatkansumber daya ikan yang terkandung dalam laut kepulauan dan Zona EkonomiEksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat dari Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yangmenyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain meliputi wilayahdaratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan,perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannyayang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya adalah wewenang penuhnegara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di wilayah perairannasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan, dan laut teritorial.Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas damai tetapi pada saatia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Hal iniditegaskan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 19 ayat (2) huruf (i) yang menyatakan bahwa lintassuatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, ataukeamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan setiapkegiatan perikanan.

79

(13)

Selanjutnya negara pantai diberi kewenangan untuk membuat peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan lintas damai melalui laut teritorialyang meliput i :

a. keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;

b. perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atauinstalasi lainnya;

c. perlindungan kabel dan pipa laut; d. konservasi kekayaan hayati laut;

e. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan negarapantai;

f. pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan danpengendalian pencemarannya;

g. penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;

h. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan fiskal, imigrasi, atausaniter negara pantai.

(14)

yang berkaitan dengan pencegahan tubrukan dilaut yang diterima secara umum.

(b) Hak perikanan tradisional bagi negara tetangga.

Tanpa mengurangi status perikanan kepulauan, negara pantai (Indonesia) harus tetap menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain, dan harusmengakui hak perikanan tradisional serta kegiatan lain yang sah dari negaratetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalamperairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatandemikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatandemikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harusdiatur dengan perjanjian bilateral antar mereka. Hak demikian tidak bolehdialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya.

(c) Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif.

Menurut Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982 negara pantai (Indonesia) dalam Zona Ekonomi Eksklusif nya mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasidan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayatimaupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanahdi bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi daneksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin.

(15)
(16)

yang sahmenurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal,pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut.

(d) Kewajiban negara pantai untuk melakukan konservasi sumber kekayaanalam hayati.

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai hak dan kewajiban negara pantai, maka sesungguhnya yurisdiksi negarapantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas, dan kebebasan-kebebasan yangberlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal tertentu. Hal ini dimaksudkanagar pemanfaatan kekayaan alam di ZEE jangan sampai merusak kelangsunganhidup sumber daya hayati di perairan tersebut. Mengingat bahwa sumber dayahayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi oleh suatu batas tertentu, danmempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga kepentingan eksploitasi sumber daya ituoleh suatu negara tidak terlepas juga kepentingan negara lain, terutama negara-negara yang berdekatan baik berhadapan maupun yang berdampingan.

Oleh karena itu, konvensi mewajibkan hal-hal sebagai berikut (Pasal 61Konvensi Hukum Laut 1982):

(1) Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE.

(17)

tidakdibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara pantai dan organisasi internasional, regional maupun global, harusbekerja sama untuk tujuan ini.

(3) Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara ataumemulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkatyang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimanaditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan,termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dankebutuhan khusus negara berkembang, dan dengan memperhatikanpola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikandan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum,baik di tingkat sub-regional, regional, maupun global.

(4) Dalam mengambil tindakan demikian, negara pantai harusmemperhatikan akibat-akibat terhadap jenis-jenis yang berhubunganatau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untukmemelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atautergantung demikian di atas tingkat reproduksinya dapat sangatterancam.

(18)

berwenang baik sub-regional, regional, maupun global dimana perlu dan dengan peranserta semua negara yang berkepentingan, termasuk negara yangwarga negaranya diperbolehkan menangkap ikan di ZEE.

(e) Kewajiban negara pantai untuk memanfaatkan secara optimal wilayahZona Ekonomi Eksklusifnya.

(19)

dalamperaturan undangan negara pantai.Peraturan perundang-undangan itu meliputi:

(1) Pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan dan peralatannya,termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal negarapantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidangpembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;

(2) Penetapan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan,baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap olehwarga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu;

(3) Pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alatpenangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yangboleh digunakan;

(4) Penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh ditangkap; (5) Rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan,

termasuk statistikpenangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;

(20)

tangkapan, disposisi contoh tersebutdan pelaporan data ilmiah yang berhubungan;

(7) Penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal tersebut oleh negara pantai;

(8) Penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai;

(9) Ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturankerja sama lainnya;

(10) Persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan;

(11) Prosedur penegakan.

Apabila di ZEE atau di luar tetapi berdekatan dari dua negara atau lebih,terdapat persediaan ikan jenis yang sama atau termasuk dalam jenis yang sama,maka negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi sub-regionalatau regional, berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yangdiperlukan untuk mengkoordinasikan dan menjamin konservasi danpengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal 63 Konvensi Hukum Laut 1982).

(f) Hak-hak negara tak berpantai dan negara yang secara geografis takberuntung.

(21)

tetapi secara geografistidak beruntung untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam hayati di ZEEI.Negara tak berpantai (Pasal 69) dan negara yang secara geografis tak beruntung (Pasal 70) mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalameksplotasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati ZEEnegara-negara pantai dalam sub-regional atau regional yang sama, denganmemperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dengan negarayang berkepentingan.

Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan pengertian negara yang secara geografis takberuntung sebagai negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan lauttertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuat tergantungpada eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di sub-regional atauregional untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknyaatau bagian dari penduduk itu, dan negara-negara yang tidak dapat menuntutZEE bagi dirinya sendiri (Pasal 70 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982).

Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub regional, atauregional dengan memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut:

(1) Kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagimasyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan;

(22)

sumberkekayaan hayati ZEE negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagisuatu negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya; (3) Kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara.

Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatutitik yang memungkinkan negara itu untuk menangkap seluruh jumlahtangkapan yang diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dannegara lain yang berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkanpengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional, atau regionaluntuk memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang takberpantai di sub-regional atau regional yang sama dalam eksploitasisumber kekayaan hayati di ZEE negara-negera pantai di dalam sub-regional atau regional sebagaimana layaknya dengan memperhatikankepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak.Bahkan negara maju tak berpantai pun berhak untuk berperan serta dalameksploitasi sumber kekayaan hayati dalam ZEE.

(23)

organisasi internasional untukmemudahkan pelaksanaan hak-hak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 69dan 70, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak mempunyai akibatpengalihan hak (Pasal 72 ayat 3).

Pengaturan mengenai wilayah pengelolaan perikanan dimaksudkan agar tercapainya optimalisasi pengelolaan perikanan dan pemutakhiran batas-batas wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia serta mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;

2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumateradan Selat Sunda;

3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawahingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timorbagian Barat;

4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan LautChina Selatan;

5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa;

(24)

7. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda;

8. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, LautHalmahera, Laut Seram dan Teluk Berau;

9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara PulauHalmahera;

10.WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan SamuderaPasifik; 11.WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut

Timorbagian Timur.

Selain itu, untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan, maka dikelompokkanlah jalur penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang terdiri atas:80

1. Jalur penangkapan ikan I terdiri dari:

a. Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua)mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.

b. Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil lautsampai dengan 4 (empat) mil laut.

(25)

3. Jalur Penangkapan Ikan IIImeliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II.

Jalur-jalur penangkapan ikan tersebut ditetapkan berdasarkan karakteristik kedalaman perairan yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Perairan dangkal (≤ 200 meter) terdiri atas:

a. WPPNRI 571 : meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. b. WPPNRI 711 : meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan

Laut Cina Selatan.

c. WPPNRI 712 : meliputi perairan Laut Jawa.

d. WPPNRI 713 : meliput i perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali.

e. WPPNRI 718 : meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur.

2. Perairan dalam (> 200 meter) terdiri atas:

a. WPPNRI 572 : meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda.

b. WPPNRI 573 : meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.

c. WPPNRI 714 : meliput i perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. d. WPPNRI 715 : meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku,

(26)

Pulau Halmahera.

f. WPPNRI 717 : meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik.

Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pengawasan kapal perikanan yang berkaitan dengan usaha perikanan tangkap terpadu, maka perlu ditentukan sasaran yang akan dijadikan dasar untuk melaksanakan pengawasan kapal perikanan secara intensif meliputi: (a) dokumen perizinan kapal perikanan; (b) fisik kapal perikanan; (c) alat penangkapan ikan; (d) alat bantu penangkapan ikan; (e) ikan hasil tangkapan; (f) ikan yang diangkut; (g) daerah penangkapan; (h) pelabuhan pangkalan/pelabuhan muat/singgah; (i) awak kapal.

C. Kapal yang Dapat Dilakukan Tindakan Pembakaran dan/atau

Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan

Ketentuan yang berkaitan dengan usaha perikanan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa usaha perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara maksimal di wilayah perikanan Indonesia, tidak terlepas dari usaha perikanan yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum.

(27)

kecuali terhadap orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.81 Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.82

Meskipun telah mendapatkan izin untuk melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), namun sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia tetap wajib dilengkapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).83 Selain itu, setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah perikanan negara Republik Indonesia juga wajib dilengkapi dengan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).84

Secara normatif, penangkapan ikan yang dilakukan di perairan zona ekonomi eksklusif merupakan hak negara pantai dan mempunyai kewajiban untuk

81

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

82

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

83

(28)

mengatur dengan baik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Apalagi pengaturan kebijakan pemanfaatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah diuraikan lebih lanjut oleh keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2001, yang khusus mengatur mengenai pengaturan kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Namun secara faktual, masih saja terjadi pencurian yang dilakukan oleh nelayan negara tetangga.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertahanan keamanan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai ketertiban dan keamanan secara keseluruhan.85

(29)

nelayan tetangga tersebut dapat ditangkap oleh pejabat yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan.86

hukum nasional apabila terjadi pelanggaran.

Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh atas wilayahnya masing-masing baik di wilayah darat, air, udara yang berada di wilayah kedaulatannya masing-masing. Kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan kewenangannya di wilayah kedaulatannnya tersebut, dimana yang berlaku adalah

87

Oleh karena itu muncul konsep

―kedaulatan teritorial― dimana akan berlaku hukum negara yang memiliki

wilayah teritorial.88

Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia secara illegal dan melakukan penangkapan ikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan negara. Karena perairan Indonesia merupakan daerah perairan yang menjadi wilayah kedaulatan teritorial Indonesia. Sehingga Indonesia mempunyai hak untuk dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional. Laut Indonesia sebagai wilayah kedaulatan teritorial, merupakan daerah yang menjaditanggungjawab sepenuhnya Pemerintah RI dengan penerapan hukum nasional Indonesia.89

86

Ibid., hal. 403.

87

Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 1410-3648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hal. 184. Diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/15.pdf.

88

(30)

Penegakan Hukum (law enforcement) menurut Jimly Asshiddiqie, adalah mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia membuat peradilan perikanan untuk menerapkan hukum dan melakukan tindakan hukum berupa “sanksi” bagi para kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.90

Dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional, terhadap kapal perikanan berbendera asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dapat dilakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal.

(31)

Tindakan tersebut dapat dilaksanakan pada saat dilakukan pemeriksaan di tengah laut berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan:

“Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Bukti permulaan yang cukup misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dapat dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan.91

(32)

Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Hal ini mengacu pada Pasal 66C ayat (1) huruf k yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya di bidang perikanan, pengawas perikanan berwenang untuk melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, dan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) yang menyatakan bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

(33)

mengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).92

Penguatan ketentuan hukum dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan di atas, maka penyidik dan/atau pengawas perikanan mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini dilakukan

Ketentuan hukum lainnya yang menguatkan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dalam tahap pengawasan di laut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan, huruf a yang berbunyi : “bahwa terhadap Pasal 69 ayat (4) dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. terhadap penggunaan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini, Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan.”

92

Kahfi Bima Kurniawan, Tinjauan Yuridis Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Berbendera Asing Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan), Diponegoro Law Jurnal, Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016, hal. 6 diakses melalui

(34)

untuk efisiensi waktu apabila kapal perikanan berbendera asing tidak dapat dibawa ke pelabuhan terdekat untuk proses pemeriksaan lebih lanjut karena kapal perikanan berbendera asing mungkin saja mengalami rusak berat atau tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi apabila dilelang atau kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk membawa kapal perikanan berbendera asing ke pelabuhan terdekat, maka penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus tersebut dan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri.93

Ketentuan hukum lainnya yang menguatkan Pasal 76A tersebut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 huruf b dan huruf c tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan, yang menyatakan bahwa kapal yang terlibat kejahatan pencurian ikan di laut yang telah disita oleh penyidik secara sah menurut hukum dan dijadikan barang bukti maka apabila hendak dimusnahkan atau dilelang, penyidik harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat, Pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

Tahap Kedua adalah pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing pelaku IUU Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia pada tingkat penyidikan. Pada tahap ini, ketentuan hukum mengacu kepada Pasal 76A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi:

(35)

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Pasal 38 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP).

Pada tingkat penyidikan, pemusnahan barang bukti kapal perikanan berbendera asing berupa pembakaran dan/atau penenggelaman bertujuan agar barang bukti berupa kapal tidak dapat digunakan sebagaimana dengan fungsinya, maka dalam hal ini penyidik harus meminta persetujuan ketua pengadilan negeri setempat. Apabila dalam keadaan sangat perlu dan mendesak serta penyidik harus bertindak dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya.94

(36)

telah dilimpahkan ke Pengadilan Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi maka persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh Majelis Hakim yang Bersangkutan.”

(37)

BAB IV

PROSEDUR TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU

PENENGGELAMAN KAPAL DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI INDONESIA

A. Penyidik dan Penyidikan dalam Tindak Pidana Perikanan

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.96 Titik berat (tekanan) yang diletakkan pada tindakan penyidikan yaitu “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.97

Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa penyidik perikanan terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penyidik TNI AL, dan Penyidik Polri. Pelanggaran-pelanggaran terhadap UU Perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, mengenai kewenangannya juga telah ditetapkan oleh UU Perikanan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (2) UU Perikanan maka pihak yang berwenang melakukan penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)

Ketentuan mengenai penyidik dan penyidikan, diatur dalam Bab IV, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 73A, Pasal 73B, dan Pasal 73C UU Perikanan. Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan:

“Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

96

(38)

adalah penyidik TNI AL dan penyidik PNS.Penyidikan yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan bersifat koordinatif dengan Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut agar penyidikan tersebut berjalan lebih efisien dan efektif berdasarkan Prosedur Tetap Bersama.98

Koordinasi diperlukan selain untuk kelancaran pelaksanaan tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana perikanan.

Sedangkan khusus untuk peristiwa pelanggaran yang terjadi di pelabuhan perikanan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik PNS (Pasal 73 ayat (3) UU Perikanan).

99

a. Ketua : Menteri Kelautan dan Perikanan Berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (5) UU Perikanan, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan Menteri diperintahkan untuk membentuk suatu lembaga yang disebut forum koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.

Adapun susunan dari anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan menurut Permen KP Nomor PER. 13/MEN/2005 jo. Permen KP Nomor PER. 11/MEN/2006 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan terdiri dari:

b. Wakil Ketua I : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

98

(39)

c. Wakil Ketua II : Kepala Staf Tentara Nasional IndonesiaAngkatan Laut

d. Sekretaris I merangkap : Direktur Jenderal Pengawasan dan anggotaPengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, DKP

e. Sekretaris II merangkap : Kepala Badan Reserse dan Kriminal, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

f. Anggota : 1)Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung;

2)Asisten Operasi Kepala Staf TentaraNasional Indonesia Angkatan Laut; 3)Direktur Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM;

4)Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan;

5)Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan;

6)Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

7)Direktur Pidana, Mahkamah Agung;

(40)

Dengan adanya aturan yang demikian, maka penyidik perikanan lain yaitu penyidik Polri atau penyidik TNI AL yang kebetulan sedang berada di pelabuhan perikanan dan mengetahui adanya kejadian tindak pidana di bidang perikanan dapat menginformasikan kepada penyidik PNS untuk segera ditindaklanjuti. Koordinasi antarpenyidik cukup berperan penting, seperti dengan cara tukar-menukar informasi yang dapat memperlancar tugas penyidikan sehingga penanganan perkara perikanan dapat berjalan efektif dan efisien.100

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;

Mengenai kewenangan penyidik perikanan (penyidik PNS, TNI AL, dan Polri) telah ditetapkan secara limitatif di dalam Pasal 73A UU Perikanan, melakukan tindakan sebagai berikut :

b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;

c. membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;

d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan

kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;

(41)

g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;

h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;

i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;

k. melakukan penghentian penyidikan; dan

l. mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki penyidik tersebut, penyidik perikanan dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan. Tindakan penahanan dapat dilakukan terhadap orang dan terhadap barang. Untuk penahanan terhadap orang ditujukan kepada tersangka, sedangkan penahanan terhadap barang sudah ditentukan bentuknya yaitu berupa kapal perikanan.

B. Prosedur Pelaksanaan Tindakan Pembakaran dan/atau Penenggelaman

Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan di Indonesia Menurut Peraturan

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014

(42)

terjadinya pelaksanaan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal secara sewenang-wenang maka diperlukan adanya petunjuk teknis pelaksanaan tindakan khusus tersebut.101

Pelaksanaan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilakukan jika memenuhi syarat subyektif

Sehubungan dengan hal tersebut maka Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan mengeluarkan peraturan terkait petunjuk teknis pelaksanaan tindakan khusus terhadap kapal perikanan berbendera asing. Peraturan ini sekaligus menjadi acuan bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan di atas kapal pengawas perikanan dalam melaksanakan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal terhadap kapal perikanan berbendera asing serta guna menyeragamkan pola pikir dan pola tindak bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan di atas kapal pengawas perikanan dalam pelaksanaan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap kapal perikanan berbendera asing yang melakukan pelanggaran di WPPNRI, sehingga pelaksanaan tindakan khusus dapat dilaksanakan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

102

dan syarat obyektif103. Adapun syarat subyektif yang harus dipenuhi meliputi :104

101

Bagian menimbang huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

102

Syarat subyektif merupakan syarat yang terdapat di dalam diri pelaku tindak pidana seperti kealpaan ataupun kesengajaan.

103

Syarat obyektif merupakan syarat yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana seperti perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).

104

(43)

a. nakhoda dan/atau anak buah kapal perikanan asing melakukan perlawanan dan/atau manuver yang membahayakan Kapal Pengawas Perikanan dan awak kapalnya pada saat Kapal Pengawas Perikanan menghentikan, memeriksa dan/atau membawa kapal ke pelabuhan terdekat;

b. kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk menarik/membawa atau mengawal kapal ke pelabuhan terdekat; dan/atau

c. kapal perikanan berbendera asing mengalami rusak berat yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan tersangka dan kapal pengawas perikanan.

Selain syarat subyektif, terdapat pula syarat obyektif yang harus dipenuhi yang terdiri dari syarat kumulatif dan/atau syarat alternatif. Adapun syarat kumulatif meliputi :105

a. tidak mempunyai dokumen perizinan yang sah dari Pemerintah Republik Indonesia;

b. nyata-nyata melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di WPPNRI; dan

c. kapal perikanan berbendera asing dengan semua awak kapal warga negara asing.

Sedangkan syarat alternatif yang harus dipenuhi meliputi :106

105

Pasal 8 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

106

(44)

a. Kapal perikanan perikanan berbendera asing yang ditangkap tidak memiliki nilai ekonomis tinggi; dan/atau

b. Kapal perikanan berbendera asing tidak memungkinkan untuk dibawa ke pelabuhan terdekat, dengan pertimbangan:

1) kapal membahayakan keselamatan pelayaran dan/atau kepentingan karantina;

2) kapal mengangkut muatan yang mengandung wabah penyakit menular dan/atau bahan beracun dan berbahaya;

3) jumlah kapal yang ditangkap tidak memungkinkan untuk di adhock/dikawal ke pelabuhan terdekat; dan/atau

4) biaya menarik/membawa kapal sangat tinggi.

Berdasarkan ketentuan syarat-syarat tersebut maka dapat diketahui bahwa untuk melakukan tindakan khusus harus memenuhi syarat-syarat baik syarat subjektif dan/atau syarat objektif. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 66C ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindakan khusus dapat dilakukan apabila kapal perikanan berusaha melarikan diri, melawan dan/atau membahayakan keselamatan pengawas perikanan. Dalam hal ini ketentuan pasal tersebut termasuk dalam syarat khusus atau syarat subjektif untuk melakukan tindakan khusus.

(45)

ditetapkan dalam pasal tersebut termasuk kedalam syarat objektif, yaitu syarat kumulatif dimana untuk melakukan tindakan khusus tersebut minimal harus ada 2 (dua) syarat kumulatif yang harus dipenuhi.

Ketika membahas mengenai tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, maka ada serangkaian prosedur atau mekanisme untuk melakukan tindakan tersebut. Prosedur tindakan khusus tersebut mengacu pada Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

1) Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal hal-hal sebagai berikut:107

Bentuk laporan berupa: a. nama kapal;

b. posisi perairan dan koordinat kapal; c. asal kapal dan bendera kebangsaan; d. kewarganegaraan awak kapal; e. dugaan pelanggaran; dan f. barang bukti;

108

107

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

108

Pasal 9 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan

(46)

b. tertulis melalui telegraf atau alat komunikasi lainnya.

Setelah laporan tersebut mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal, maka tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan sudah dapat dilaksanakan.109

2)Sebelum melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan harus :110

a. memberikan peringatan kepada awak kapal perikanan untuk meninggalkan kapal;

b. menyelamatkan seluruh anak buah kapal perikanan berbendera asing; c. mengupayakan melepaskan bendera kapal dari kapal asing yang akan

dikenakan tindakan khusus;

d. mendokumentasikan baik menggunakan kamera/kamera digital maupun audio visual/video; dan

e. mencatat posisi kapal perikanan terbakar dan/atau tenggelam pada jurnal kapal.

3) Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dilakukan dengan cara:111

a. menentukan jarak tembak yang aman dengan memperhitungkan arah angin dan arus serta pertimbangan keselamatan;

109

Pasal 9 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

110

Pasal 10 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

111

(47)

b. menggunakan bahan peledak untuk melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman; dan/atau

c. mengarahkan penembakan ke ruang mesin agar cepat terbakar dan tenggelam.

Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dapat dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia apabila syarat subyektif telah terpenuhi sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.112

4) Setelah melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman, Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal mengenai:113

a. posisi koordinat kapal perikanan berbendera asing yang dibakar dan/atau ditenggelamkan;

b. kondisi Awak kapal perikanan kapal perikanan berbendera asing;

c. tujuan membawa dan menyerahkan awak kapal perikanan berbendera asing; dan

d. membuat berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing.

Laporan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal tersebut dilengkapi dengan :114

112

Pasal 12 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

113

Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

114

(48)

a. berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing;

b. kronologis pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing; dan

c. Laporan Henrikhan Kapal Perikanan.

Pada tingkat penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal berbendera asing dengan mengacu pada ketentuan Pasal 76A Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilakukan apabila sudah mendapatkan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan pada tingkat pengadilan, pelaksanaan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dilakukan apabila telah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh Majelis Hakim. Hal ini berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 huruf c tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan dimana apabila perkara telah dilimpahkan kepada Majelis, maka persetujuan pemusnahan barang bukti berupa kapal diterbitkan oleh Majelis Hakim yang Bersangkutan.

(49)

ditangkap di wilayah perairan Batubara, pada 20 Maret 2016 dengan tersangka Phan Rhuanthong, asal Thailand dan dua kapal berbendera Indonesia yang menangkap ikan menggunakan alat yang dilarang, tidak memiliki nama kapal dan tidak memiliki nomor selar. Satu kapal memiliki bobot 7 GT dan bermesin 28 PK, sedangkan kapal lainnya berbobot 5 GT dan bermesin dompeng 28 PK, ketiganya telah ditenggelamkan pada tanggal 5 April 2016 di Perairan Belawan.115‎ Selain itu terdapat pula kapal KM. SLFA 2675 asal Malaysia, tersangka Zaw warga negara Myanmar. Lalu, KM. SLFA 4778 kapal asal Malaysia dengan tersangka Chia Keechan warga negara Malaysia. Kemudian, KM. PKFA 3378 kapal asal Malaysia, tersangka Tepparak Insorn warga negara Thailand.KM. Extra Joss- III kapal asal Indonesia, tersangka Amiruddin warga negara Indonesia. Seterusnya, KM. PKFB 1152 kapal asal Malaysia, tersangka Chit Soe warga negara Myanmar. KM. PKFA 8115 kebangsaan kapal asal Malaysia, tersangka Moe als Swan warga negara Myanmar, dan KM. KHF 1767 kapal asal Malaysia, tersangka Ko Kyaw Soe als Kyaw Soe warga negara Myanmar. Ketujuhnya telah dieksekusi pada tanggal 1 April di Perairan Belawan.116

Keseluruhan peledakan dan penenggelaman terhadap kapal-kapal pelaku illegal fishing tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang mana mengacu pada Pasal 76A Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang menyatakan bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau dihasilkan

(50)
(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan Penelitian dalam skripsi ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 terdiri atas 2 (dua) macam delik, yaitu delik kejahatan (misdrijven) yang terdapat didalam Pasal 84 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 85, Pasal 86 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 94, Pasal 94A, dan delik pelanggaran (overtredingen) yang terdapat didalam Pasal 87 ayat (1), (2), Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), (2), (3), Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100.

(52)

apabila kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki dokumen yang lengkap seperti tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau tidak memiliki Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

(53)
(54)

negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri dan juga dalam pelaksanaannya dilakukan setelah ada instruksi dari Menteri Kelautan & Perikanan juga diputuskan oleh Pengadilan dan putusan itu sudah memiliki kekuatan hukum (Inkracht).

B. Saran

1. Perlu adanya tindakan tegas guna menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan Indonesia yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak melanggar ketentuan nasional maupun internasional sehingga nantinya tidak ada timbul konflik di kemudian hari.

Referensi

Dokumen terkait

Tumor ganas di vertebra lumbosakralis dapat bersifat primer dan sekunder. Tumor primer yang sering dijumpai adalah mieloma multipel. LBP sering menjadi keluhan

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

Isi buku siswa terdiri dari: tujuan pembelajaran, pengetahuan dasar yang memuat contoh-contoh hal sederhana dalam kehidupan sehai-hari yang ada kaitannya dengan

Secara keseluruhan, prestasi belajar mahasiswa prodi PAI angkatan 2010 dan 2011 IAIN Palangka Raya berupa angka pada semua mata kuliah yang ditempuh awal semester sampai

Selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menentukan pendugaan sebaranfosfat.Interpretasi ini didasarkan pada karakteristik atau kecenderungan harga resistivitas yang

Adapun pemberlakuan MEA dalam hal ketenagakerjaan akan menjadi pedang bermata dua bagi negara-negara anggotanya, dengan artian negara yang memiliki tenaga kerja potensial

Terdapat beberapa masalah yang dirasakan oleh pasien dengan menggunakan prosedur permintaan ambulans yang ada, dimana pada beberapa kasus pasien tidak dapat

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurhidayati dan Bahar (2018) tentang dukungan keluarga meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana