• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi dalam Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Medan Helvetia Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pelaksanaan Fungsi Koordinasi dalam Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Medan Helvetia Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,

ditandai dengan demam dua sampai tujuh hari disertai dengan perdarahan,

penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3, adanya kebocoran plasma

ditandai dengan peningkatan hematokrit lebih atau sama dengan 20% dari nilai

normal (Kemenkes RI, 2013).

2.1.1 Penyebab Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue dengan

tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam grup B

Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat type virus tersebut telah

ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Virus yang banyak berkembang di

masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga (Zulkoni, 2010).

2.1.2 Vektor Penular Demam Berdarah Dengue

Vektor penular demam berdarah dengue ialah nyamuk Aedes aegypti.

2.1.2.1Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti

a. Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang-belang (loreng) putih

pada seluruh tubuhnya.

b. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat umum.

(2)

d. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari sampai

sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari bunga atau tumbuhan yang

mengandung gula.

e. Umur nyamuk aedes aegypti rata-rata dua minggu, tetapi sebagian

diantaranya dapat hidup dua sampai tiga bulan.

2.1.2.2Morfologi nyamuk Aedes aegypti

a. Telur

1) Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran lebih

kurang 0.80 mm.

2) Setiap bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100

butir.

3) Telur ini di letakkan di tempat yang kering (tanpa air) dan dapat

bertahan sampai enam bulan.

4) Telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang dua hari

setelah terendam air.

b. Jentik

1) Jentik yang menetas dari telur akan tumbuh menjadi besar yang

panjangnya 0,1-5 cm.

2) Jentik Aedes aegypti akan selalu bergerak aktif dalam air. Geraknya

berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas

(mengambil udara) kemudian turun, kembali ke bawah dan seterusnya.

3) Pada waktu istirahat, posisi hampir tegak lurus dengan permukaan air.

(3)

4) Setelah enam sampai delapan hari jentik itu akan berkembang/berubah

menjadi kepompong.

c. Kepompong

1) Berbentuk seperti koma.

2) Gerakannya lamban.

3) Sering berada di permukaan air.

4) Setelah satu sampai dua hari akan menjadi nyamuk dewasa.

2.1.2.3Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk lebih kurang sembilan

sampai sepuluh hari (Depkes RI, 2006).

2.1.2.4Tempat berkembang nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak di tempat penampungan air dan

barang-barang lain yang memungkinkan air tergenang yang tidak beralaskan tanah,

misalnya :

Jentik

Kepompong Nyamuk

(4)

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari baik di dalam

maupun di luar rumah, antara lain ember, drum, tempayan, bak mandi atau wc

dan lainnya.

b. TPA bukan untuk keperluan sehari-hari, antara lain tempat minum burung, vas

bunga, perangkap semut, barang bekas, talang air dan lainnya.

c. TPA alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung

kelapa, potongan bambu, pelepah pisang dan lainnya (Kemenkes RI, 2013).

2.1.3 Gejala / Tanda Demam Berdarah Dengue

Penderita penyakit DBD pada umumnya disertai tanda-tanda sebagai

berikut :

1. Hari pertama sakit : panas mendadak, badan lemah atau lesu. Pada tahap ini sulit

dibedakan dengan penyakit lain.

2. Hari kedua atau ketiga : timbul bintik perdarahan, lebam atau ruam pada kulit

muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu hati. Gejala perdarahan seperti

mimisan, berak darah atau muntah darah. Bintik perdarahan mirip dengan bekas

gigitan nyamuk. Untuk membedakannya kulit direnggangkan, bila hilang bukan

tanda penyakit DBD.

3. Antara hari ketiga sampai ketujuh : panas turun secara tiba-tiba. Kemungkinan

yang selanjutnya :

a. Penderita sembuh, atau

b. keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan dan kaki

(5)

2.1.4 Penularan Demam Berdarah Dengue

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang terinfeksi

saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam

darahnya). Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama delapan sampai sepuluh

hari terutama dalam kelenjar air liurnya dan jika nyamuk menggigit orang lain maka

virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia,

virus ini akan berkembang empat sampai enam hari dan orang tersebut akan

mengalami sakit DBD. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan

berada dalam darah selama satu minggu (Widoyono, 2008).

2.1.5 Kegiatan Pokok Pengendalian Demam Berdarah Dengue 1. Surveilans epidemiologi

Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara

aktif maupun pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan

surveilans terhadap faktor resiko penularan penyakit seperti pengaruh curah

hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan

iklim (climate change).

2. Penemuan dan tatalaksana kasus

Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan

penderita di puskesmas dan rumah sakit.

3. Pengendalian vektor

Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik

(6)

memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia.

Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus :

a) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas.

b) Secara kimiawi dengan larvasidasi.

c) Secara biologis dengan pemberian ikan.

d) Cara lainnya (menggunakan obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat

kasa dll).

Kegiatan pengalaman vektor di lapangan dilakukan dengan cara :

a) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan

dimonitor oleh petugas puskesmas.

b) Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim

penularan.

c) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap tiga bulan sekali dan dilaksanakan

oleh petugas puskesmas.

d) Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada

pimpinan wilayah pada rapat bulanan Kelompok Kerja Operasional

(POKJANAL) DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas

Jentik (ABJ).

4. Peningkatan peran serta masyarakat

Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan

organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan

(7)

5. Sistem Kewaspaspadaan Dini (SKD) dan penanggulangan KLB

Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB

dan apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan

tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan melaksanakan kegiatan Penyelidikan

Epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus,

penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.

6. Penyuluhan

Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet atau

poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan sarang

nyamuk sesuai dengan kodisi setempat.

7. Kemitraan/jejaring kerja

Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor

kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar.

Wadah kemitraan telah terbentuk melalui KEPMENKES 581/1992 dan

KEPMENDAGRI 44/1994 dengan nama kelompok kerja operasional

(POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring

kemitraan dalam pengendalian DBD (Kemenkes RI, 2011).

8. Capacity building

Peningkatan kapasitas dari sumber daya baik manusia maupun sarana dan

prasarana sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam

pengendalian DBD. Sehingga secara rutin perlu diadakan

sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari tingkat kader, puskesmas

(8)

9. Penelitian dan survei

Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus

dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain universitas, rumah sakit, Litbang,

LSM dll. Penelitian ini menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor,

penanganan kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal, dan saat ini sedang

dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.

10. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat

kelurahan atau desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan

pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome yang dicapai

pada setiap tahun (Kemenkes RI, 2011).

2.1.6 Tata Laksana Penanggulangan Demam Berdarah Dengue

Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan

kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya

dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta

masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan

maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.

1. Penyelidikan Epidemiologis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau

tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat

tinggal penderita rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum

dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk mengetahui

penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan

(9)

untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada

tidaknya jentik nyamuk penular DBD dan menentukan jenis tindakan

(penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.

2. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD

yang dilaksanakan dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan

(pengasapan) menggunakan insektisida sesuai kriteria. Tujuannya adalah

memberantasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di tempat tinggal

penderita DBD dan rumah atau bangunan sekitarnya serta di tempat-tempat

umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.

3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan

yang meliputi : pengobatan atau perawatan penderita, pemberantasan vektor

DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi atau penilaian

penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.

Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di

suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian penanggulangan KLB

meliputi penilaian operasioanal dan penilaian epidemiologi. Penilaian

operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage) pemberantasan

vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan melalui

kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk

pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi

(10)

penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data kasus atau

kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan DBD.

4. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) adalah

kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD

(Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah

mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan

dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).

Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat

dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan “3M”, yaitu (1)

menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air (2) Menutup

rapat-rapat tempat penampungan air, dan (3) Mengubur atau menyingkirkan

barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

5. Pemeriksaan Jentik berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangan

nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau

kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan

pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD termasuk memotivasi keluarga atau

masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD (Direktorat Kesehatan dan Gizi

Masyarakat, 2006).

2.2 Koordinasi

2.2.1 Pengertian koordinasi

Koordinasi berasal dari kata coordination, co dan ordinare yang berarti to

regulate. Dari pendekatan empirik yang dikaitkan dengan etimologi, koordinasi

(11)

(equal in rank or order, of the same rank or order, not subordinate) untuk saling

memberi informasi dan mengatur (menyepakati) hal tertentu (Ndraha, 2003).

Menurut Handoko (2000) dalam bukunya yang berjudul Manajemen,

Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada

satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu

organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Tanpa koordinasi,

individu-individu dan departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas

peranan mereka dalam organisasi.

Menurut G. R. Terry (dalam Hasibuan, 2011) koordinasi adalah suatu usaha

yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan

mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan

harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Defenisi G.R. Terry bahwa

koordinasi adalah pernyataan usaha dan meliputi ciri-ciri sebagai berikut :

1. Jumlah usaha, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

2. Waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut.

3. Pengarahan usaha-usaha tersebut.

Menurut Herbert G.Hicks (dalam Sutarto, 2002) prinsip koordinasi

menerangkan bahwa pelaksanaan organisasi itu efektif apabila semua orang dan

sumber disinkronkan, diseimbangkan dan diberikan pengarahan.

Berdasarkan pendapat tentang koordinasi yang telah dikemukakan oleh G.

R. Terry dan Herbert G.Hicks, maka dapat diambil kesimpulan mengenai

(12)

a. Koordinasi merupakan kesatuan tindakan,

b. Koordinasi merupakan keseimbangan antarsatuan,

c. Koordinasi merupakan keselarasan, dan

d. Koordinasi merupakan sinkronisasi.

2.2.2 Ciri-ciri Koordinasi

Menurut Handayaningrat dalam bukunya yang berjudul Administrasi

Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional (1991), ciri-ciri koordinasi adalah

sebagai berikut :

1. Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu koordinasi

menjadi tanggung jawab daripada pemimpin. Dikatakan bahwa pimpinan yang

berhasil, karena ia telah melakukan koordinasi dengan baik.

2. Koordinasi adalah suatu usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena kerjasama

merupakan syarat mutlak terselenggaranya koordinasi dengan baik.

3. Koordinasi adalah proses yang terus menerus (continues process). Artinya

sutau proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka tercapainya tujuan

organisasi.

4. Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini disebabkan karena

koordinasi adalah konsep yang diterapkan di dalam kelompok bukan terhadap

usaha individu tetapi sejumlah individu yang bekerjasama di dalam kelompok

untuk mencapai tujuan bersama.

5. Konsep kesatuan tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti daripada koordinasi.

(13)

setiap kegiatan individu sehingga diperoleh adanya keserasian di dalam

mencapai hasil bersama.

6. Tujuan organisasi adalah tujuan bersama (common purpose). Kesatuan usaha

atau tindakan meminta kesadaran/pengertian kepada semua individu, agar ikut

serta melaksanakan tujuan bersama sebagai kelompok dimana mereka bekerja.

2.2.3 Sifat-sifat Koordinasi

Koordinasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

1. Koordinasi adalah dinamis bukan statis.

2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator

(manajer) dalam rangka mencapai sasaran.

3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan (Hasibuan,

2011).

2.2.4 Tipe-tipe Koordinasi

Koordinasi memiliki tipe-tipe sebagai berikut :

1. Koordinasi vertikal (vertical coordination) adalah kegiatan-kegiatan

penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit,

kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Atasan

mengkoordinir semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara

langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan

dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.

2. Koordinasi horizontal (horizontal coordination) adalah mengkoordinasikan

tindakan atau kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap

(14)

dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal dibagi

atas interdisciplinary dan interrelated.

e. Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan,

menyatukan tindakan, mewujudkan dan menciptakan disiplin antara unit

yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada

unit-unit yang sama tugasnya.

f. Interrelated adalah koordinasi antarbadan (instansi), unit yang fungsinya

berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantungan

atau mempunyai kaitan baik, cara intern maupun ekstern yang levelnya

setaraf. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan, karena

koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit

diatur sebab kedudukannya setingkat (Hasibuan, 2011).

2.2.5 Syarat-syarat Koordinasi

Koordinasi memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut

bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang.

2. Rivalry, dalam perusahaan besar sering diadakan persaingan antara

bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba untuk mencapai kemajuan.

3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai.

4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai,

(15)

2.2.6 Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Koordinasi

Menurut Ketani (2004), keberhasilan koordinasi ditentukan oleh berbagai

faktor yaitu :

1. Partisipasi unit

Kehadiran setiap pejabat yang mengepalai unit-unit organisasi sangat

menentukan cepatnya masalah untuk diselesaikan. Masalah yang seharusnya

dapat ditanggulangi secara cepat, akan tertunda apabila satu pejabat saja tidak

hadir dalam rapat koordinasi yang mana masalah tersebut terkait pula

dengannya, artinya keputusan tidak dapat diambil pada waktu rapat koordinasi

tersebut karena absennya seorang pejabat.

2. Disiplin koordinasi

Kehadiran pejabat unit organisasi dalam rapat koordinasi tergantung pada

disiplin yang ditetapkan oleh koordinator dalam memengaruhi pejabat yang

dikoordinasikannya. Kalau dalam rapat koordinasi yang ditetapkan,

koordinator tidak memimpin sendiri rapat tersebut dan mewakilkannya pada

orang yang ditunjuk mewakilinya, maka ada kecenderungan bahwa pejabat

unit akan mewakilkan kehadirannya kepada bawahannya pula. Akibatnya rapat

koordinasi tidak akan dapat memecahkan masalah sesegera mungkin, karena

wakil unit tersebut dalam hal-hal yang prinsip biasanya tidak berani

memutuskan dan harus berunding dulu dengan atasannya.

3. Keterbukaan berkomunikasi

Komunikasi adalah kunci dari koordinasi yang efektif dan koordinasi yang

(16)

waktunya. Kemampuan ini tergantung pada mendapatkan, menyalurkan dan

memproses informasi. Koordinasi dapat pula dipandang sebagai kegiatan

memproses informasi, untuk mencapainya maka penting sekali keterbukaan

dari setiap unit yang terlibat dalam koordinasi tersebut untuk berkomunikasi

secara lancar dalam usaha menyampaikan informasi dari unit masing-masing

dalam rangka usaha pencapaian tujuan organisasi keseluruhan.

2.2.7 Manfaat Koordinasi

Koordinasi memiliki manfaat-manfaat yaitu sebagai berikut :

1. Koordinasi dapat menghindarkan perasaan lepas satu sama lain antara

satuan-satuan organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi.

2. Koordinasi dapat menghindarkan perasaan atau suatu pendapat bahwa satuan

organisasinya atau jabatannya merupakan yang paling penting.

3. Koordinasi dapat menghindarkan kemungkinan timbulnya pertentangan

antarsatuan organisasi atau antarpejabat.

4. Koordinasi dapat menghindarkan timbulnya rebutan fasilitas.

5. Koordinasi dapat menghindarkan terjadinya peristiwa waktu menunggu yang

memakan waktu lama (Sutarto, 2002).

2.2.8 Gejala kurangnya Koordinasi

Kosong atau kurangnya koordinasi dalam suatu organisasi akan terlihat dari

adanya gejala sebagai berikut :

1. Petugas atau satuan organisasi bertengkar menuntut suatu bidang kerja atau

wewenang yang masing-masing menganggap termasuk dalam lingkungan

(17)

2. Petugas atau satuan organisasi saling melemparkan suatu tanggungjawab

kepada pihak lain karena masing-masing merasa bahwa sesuatu pekerjaan tidak

termasuk dalam ruang lingkup tugasnya.

3. Pencapaian tujuan organisasi tidak berjalan secara lancar karena suasana

organisasi terasa serba kacau, para petugas terlihat ragu dalam melaksanakan

pekerjaan, bahkan hasil pekerjaan yang satu sering dihapuskan oleh pekerjaan

yang lain tanpa disadari (Sutarto, 2002).

2.2.9 Masalah-masalah Pencapaian Koordinasi yang Efektif

Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch telah mengemukakan empat tipe

perbedaan dalam sikap dan cara kerja di antara bermacam-macam individu dan

departemen dalam organisasi yang mempersulit tugas pengkoordinasian

bagian-bagian organisasi secara efektif, yaitu :

1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota dari

departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang

bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik.

2. Perbedaan dalam orientasi waktu. Manajer produksi akan lebih memperhatikan

masalah yang harus diselesaikan segera atau dalam periode waktu pendek.

3. Perbedaan dalam orientasi antar pribadi.

4. Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi

mungkin mempunyai metoda dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi

(18)

2.2.10 Pendekatan-pendekatan untuk pencapaian koordinasi yang efektif Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Ada tiga pendekatan

untuk pencapaian koordinasi yang efektif, yaitu :

1. Pendekatan pertama, mempergunakan teknik manajemen dasar : hirarki

manajerial, rencana dan tujuan sebagai pengarah umum kegiatan-kegiatan serta

aturan dan prosedur.

2. Pendekatan kedua, diperlukan bila bermacam-macam satuan organisasi

menjadi lebih saling tergantung dan lebih luas dalam ukuran dan fungsi.

3. Pendekatan ketiga, di samping peningkatan kordinasi potensial, yaitu dengan

mengurangi kebutuhan akan koordinasi. Mengurangi kebutuhan akan

koordinasi dapat dilakukan dengan penyediaan tambahan sumber daya untuk

satuan kegiatan atau pengelompokan kembali satuan organisasi agar tugas

dapat berdiri sendiri (Handoko, 2000).

2.2.11 Cara-cara Mengadakan Koordinasi

Koordinasi tidak dapat diperintahkan, dipaksakan, tetapi lebih baik dengan

cara permintaan, permohonan kepada pegawai, karena dengan cara ini akan lebih

diresapi, ditaati oleh para pegawai serta mereka merasa dihargai. Koordinasi dapat

dilakukan dengan cara :

1. Memberikan keterangan langsung dan secara bersahabat. Keterangan mengenai

pekerjaan saja tidak cukup, karena tindakan yang tepat harus diambil untuk

(19)

2. Mengusahakan agar pengetahuan dan penerimaan tujuan yang akan dicapai oleh

anggota tidak menurut masing-masing anggota dengan tujuannya

sendiri-sendiri. Tujuan itu adalah tujuan bersama.

3. Mendorong anggota untuk bertukar pikiran, mengemukakan ide dan lain-lain.

4. Mendorong anggota untuk berpartisipasi dalam tingkat perumusan, penciptaan

sasaran (Ketani, 2002).

2.2.12 Indikator Koordinasi

Menurut Handayaningrat (1991), koordinasi dalam proses manajemen dapat

diukur melalui indikator :

1. Komunikasi

Komunikasi merupakan sebuah proses dimana informasi dipertukarkan dan

dimengerti oleh dua orang atau lebih, biasanya dengan maksud untuk memotivasi

atau mempengeruhi perilaku (Daft, 2002). Hal-hal yang dilihat dalam komunikasi

yaitu :

a. Ada tidaknya informasi

b. Ada tidaknya alur informasi

c. Ada tidaknya teknologi informasi

2. Kesadaran pentingnya koordinasi

Kesadaran pentingnya koordinasi adalah setiap masing-masing pihak terkait

wajib memahami pentingnya dari sebuah koordinasi agar dapat bertanggungjawab

dalam menjalankan tugasnya. Kesadaran akan pentingnya koordinasi dapat dilihat

dari :

(20)

b. Tingkat ketaatan terhadap hasil koordinasi

3. Kompetensi partisipan

Kompetensi partisipan adalah adanya pihak-pihak yang berwenang yang

terlibat dan mengawasi jalannya koordinasi. Hal-hal yang dapat dilihat dalam

kompetensi partisipan yaitu :

a. Ada tidaknya pejabat yang berwenang terlibat

b. Ada tidaknya ahli yang terlibat

4. Kesepakatan, komitmen dan insentif

Sebelum melakukan koordinasi, diperlukan adanya kesepakatan dan

komitmen agar pekerja yang berkoordinasi tidak melalaikan tugasnya. Komitmen

berarti bahwa pekerja akan berbagi cara pandang dengan pemimpin dan dengan

antusias melaksanakan instruksi (Daft, 2002).

Menurut Daft (2002), manajer dapat bertindak untuk mempromosikan

komitmen organisasi pada karyawannya dengan senantiasa memberi informasi

kepada karyawan, memberi penjelasan atas keputusan yang dibuat, menyediakan

pelatihan yang dibutuhkan dan sumber daya lain agar mereka dapat sukses,

memperlakukan mereka secara adil dan menawarkan penghargaan yang bernilai

bagi mereka. Hal-hal yang dapat dilihat dalam indikator kesepakatan, komitmen

dan insentif yaitu :

a. Ada tidaknya bentuk kesepakatan

b. Ada tidaknya pelaksana kegiatan

c. Ada tidaknya sanksi bagi pelanggar kesepakatan

(21)

5. Kontinuitas perencanaan

Kontinuitas perencanaan yaitu apabila koordinasi sudah berjalan maka perlu

dilihat ada atau tidaknya feedback (umpan balik) dari obyek maupun subyek

koordinasi tersebut, oleh sebab itu diperlukan perencanaan selanjutnya jika masalah

dalam koordinasi tidak terpecahkan. Hal-hal yang dilihat dalam kontinuitas

perencanaan yaitu :

a. Ada tidaknya umpan balik dari obyek dan subyek dalam koordinasi

(22)

2.3 Fokus Penelitian

Gambar 2.2 Fokus Penelitian

Defenisi fokus :

1. Komunikasi adalah penyampaian pesan dua arah oleh pihak-pihak yang terkait

dalam penanggulangan DBD.

2. Kesadaran pentingnya koordinasi adalah setiap pihak-pihak yang terkait

memahami pentingnya dari sebuah koordinasi dalam penanggulanagn DBD agar

dapat bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya.

3. Kompetensi partisipan adalah adanya pihak-pihak berwenang yang terkait

mengawasi jalannya koordinasi dalam penanggulangan DBD, seperti adanya

kader yang dilatih untuk mengetahui lebih dalam mengenai DBD.

4. Kesepakatan, komitmen dan insentif adalah setiap pihak memiliki kesepakatan

dan komitmen koordinasi dalam penanggulangan DBD agar tidak melalaikan

tugasnya dan adanya berupa dana transportasi yang diberikan untuk pihak-pihak

yang di undang.

5. Kontinuitas perencanaan adalah ada atau tidaknya umpan balik dari pihak-pihak

yang terkait dalam koordinasi tersebut dalam menanggulangi DBD. Fungsi Koordinasi

1. Komunikasi

2. Kesadaran pentingnya koordinasi 3. Kompetensi partisipan

4. Kesepakatan, komitmen dan insentif 5. Kontinuitas perencanaan

(23)

6. Pelaksanaan program penanggulangan DBD adalah proses berjalannya program

Gambar

Gambar 2.2 Fokus Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab

Heterokedastisitas adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak

Penulisan Ilmiah ini, membuat aplikasi untuk perhitungan fisika dengan materi gaya, cermin, dan pesawat sederhana dengan menggunakan bahasa pemrograman Microsoft Visual Basic.NET

[r]

[r]

Seiring dengan perkembangan zaman dan persaingan dalam bidang perdagangan, maka tidak cukup bagi sebuah perusahaan atau seorang pengusaha hanya mengandalkan iklan atau selebaran

Dengan diberikan suatu fasilitas tombol-tombol perintah yang akan membawa para pemakai memasuki menu â menu dari planet â planet yang ada, dan diberikan tampilan gambar â gambar

[r]