Beranda›Ekonomi Islam›Etika Konsumsi dalam Perspektif Islam
Etika Konsumsi dalam
Perspektif Islam
Posted on 23 Januari 2015 by AGIL COMPANY — Tinggalkan komentar
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, baik aqidah, akhlak, ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya berbagai tema telah dibicarakan oleh al-Qur’an, termasuk persoalan ekonomi.
Seperti dimaklumi, bahwa salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi berperan sebagai elan vital atau pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara. Konsumsi adalah bagian akhir dari kegiatan ekonomi, setelah produksi dan distribusi, karena barang dan jasa yang diproduksi hanya untuk dikonsumsi.
Kajian Islam tentang konsumsi sangat penting, agar seseorang berhati-hati dalam menggunakan kekayaan atau berbelanja. Suatu negara mungkin memiliki kekayaan melimpah, tetapi apabila kekayaan tersebut tidak diatur pemanfaatannya dengan baik dan ukuran maslahah, maka kesejahteraan (welfare) akan mengalami kegagalan. Jadi yang terpenting dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada pilihan-pilihan (preferensi) yang mengandung maslahah (baik dan bermanfaat), agar kekayaan tersebut dimanfaatkan pada jalan yang sebaik-baiknya untuk kemakmuran dan kemaslahatan rakyat secara menyeluruh. Demikian juga halnya dalam ekonomi individu, yang perlu diperhatikan adalah cara pemanfaatan kekayaan, barang dan jasa serta membuat pilihan-pilihan (preferensi) dalam mengkonsumsi barang dan jasa sesesuatu.
Banyak ayat dan hadits yang membicarakan pola dan prinsip konsumsi dalam Islam, antara lain, namun yang menjadi ayat utama dalam makalah ini adalah surah al-A’raf ayat : 31. Ayat-ayat dan hadits lain tentang konsumsi juga dibahas dalam tulisan ini, agar kajian tentang konsumsi ini lebih utuh dan komprehensif.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang kami susun adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan konsumsi?
2. Apa Urgensi Konsumsi?
3. Apa Tujuan Konsumsi?
4. Bagaimana Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen?
5. Apa Konsep Penting dalam Konsumsi?
6. Bagaimana Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami?
7. Apa Prinsip-Prinsip Konsumsi?
8. Bagaimana Kaidah-Kaidah Konsumsi?
9. Apa Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi?
10. Bagaimana Fungsi konsumsi Konvensional Versus Islam?
Tujuan
Berdasarkan susunan rumusan yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan pembuatan makalah adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian konsumsi
2. Urgensi Konsumsi
3. Tujuan Konsumsi
4. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen?
5. Konsep Penting dalam Konsumsi?
6. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami?
7. Prinsip-Prinsip Konsumsi?
8. Kaidah-Kaidah Konsumsi?
9. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi?
10. Fungsi konsumsi Konvensional Versus Islam? PEMBAHASAN
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat
mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.[1]
2.2 Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa kegiatan konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi (pembuatan produk) dan distribusi (penyaluran produk). Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.[2]
2.3 Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah sehingga manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi
ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.
Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang mana seorang
muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja”.[3] Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relativitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa
kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.
2.4 Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:[4]
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung. Akan tetapi digunakan untuk kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
1. Menjauhi berhutang Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa atau dharurat.
2. Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.[5]
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.
2.5 Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat).[6] Secara rasional, seseorang tidak akan pernah
mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya.
Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka sudah tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
1. Kebutuhan (Hajat)
Manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya
jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh”.[7]
tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu sebuah aktivitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting
pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga arti kata kebutuhan dalam prespektif Islam adalah keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
1. Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana penjelasan kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan perilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.[8]
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa
dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
2.6 Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah ‘maslahah’, yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama.[9]
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
2.7 Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:
[10]
Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak
bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169).
Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk
kebutuhannya ketika itu saja.
Prinsip Kebersihan
adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang
kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh
diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
2.8 Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.[12]
Adapun konsumen muslim berkomitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:[13]
1. Kaidah Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
2. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
3. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan
dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan
mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
5. Kaidah Kuantitas. Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
6. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.
7. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
8. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
9. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi. Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
10. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang
terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
11. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
12. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
13. Kaidah Sosial. Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
14. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
15. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di
masyarakatnya.
16. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
Dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.
1. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru. Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan berbersenang-senang-bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
2.9 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi.
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat
menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian capital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga
2.10 Fungsi konsumsi Konvensional Versus Islam
Fungsi konsumsi adalah suatu fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan pendapatan nasional dalam suatu perekonomian
Fungsi Agregat dalam konvensional Teori J.M. Keynes
Terkenal dengan Absolut Income Theory (Teori pendapatan
absolut). Keynes menyatakantentang hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan nasional yang diukur berdasarkan harga konstan.
Jadi :
C = Konsumsi
F = Fungsi
Yd = Y – Tx +Tr
Yd = Disposible income (pendapatan yang benar-benar dapat dinikmati oleh rumah tangga).
Tx = Pajak ; Tr = Transfer Payment (seperti Subsidi)
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa besarnya konsumsi sangat tergantung pada besarnya pendapatan (Yd). Semakin besar pendapatan, maka semakin tinggi pula konsumsi (Yd ) dan sebaliknya.
Keynes mengatakan: Apabila pendapatan makin tinggi atau meningkat MPC tetap sedangkan APC akan menurun. Jadi makin tinggi income, makin kecil APC.
Besarnya konsumsi adalah :
C = a + bYd atau C = Co + bYd
b = MPC = Marginal Propensity to Consume
Yd = Disposible Income
Dalarn pendekatan model keseimbangan pendapatan nasional, zakat, infak dan
shadaqah dapat dijelaskan melalui model maslahat/kesejahteraan umat manusia yang lebih luas. Dalam ekonomi konvensional, keseimbangan pendapatan nasional:
Y=C
Dimana Y = pendapatan dan C=konsumsi
Sedangkan dalam ekonomi islam,
Yi=Cd+Ca
dimana :
Yi = pendapatan nasional dalam ekonomi islam
Cd = konsumsi untuk kepentingan dunia
Ca = konsumsi untuk kepentingan akhirat, yang terdiri dari konsumsi zakat (Cz) ditambah dengan konsumsi infak dan sadaqah (Cis), Ca = Cz + Cis
Sebagai contoh jika diasumsikan bahwa fungsi konsumsi C = 25 + 0,75 Y, di mana dengan zakat sebesar 2,5 % ditambah infak dan shadaqah. sebesar 2,5 % justru akan meningkatkan pendapatan nasional. Secara. matematis efektifitas zakat, infak dan sadaqah dapat dibuktikan melalui persamaan keseimbangan pendapatan nasional.
a.Dalam ekonomi konvensional keseimbangan terjadi pada saat Y = C
Y – 0,75 Y = 25 >>>Y =100 (keseimbangan)
1. Dalam ekonomi islam, kondisi muzakki (pembayar zakat, infak dan shodaqoh) telah memiliki tambahan pendapatan untuk mustahiq (penerima zakat yaitu
orang miskin).Dalam teori konsumsi islam terdiri dari konsumsi dunia (Cd) dan konsumsi akhirat (Ca), Ci = Cd + Ca. Karena konsumsi akhirat (Ca = Cz + Cis), maka konsumsi Islam menjadi:
Ci= Cd+ Cz + Cis Cd=25 +0,75Y Cz = 0,025 Y Cis = 0,025Y
Dalam ekonomi islam keseimbangan terjadi Y = Cd + Ca
Cd=a+bY(1-z-is)
= 25 + 0,75 (Y —0,025Y
= 25 + 0,75 (0,95Y)
=25+0,7125Y
Ca= Cz + Cis
=0,025Y + 0,025Y
=0,05Y
Ci= 25 + 0,7125 Y + 0,05Y
= 25 + 0,7625 Y
Karena dalam konsumsi islam Y = Ci, maka:
Y = 25 + 0,7625 Y
Cd = 25 + 0,7125 (105,26316)
=100 (muzakki)
Ca = 0,05 (105,26316)
= 5,26136 (mustahiq)
PENUTUP 3.1 Simpulan
1. konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
2. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi (pembuatan produk) dan distribusi (penyaluran produk). Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.[14]
3. Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah
4. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
4. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.
7. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat).[15]
6. Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar:
Prinsip Keadilan
Prinsip Kebersihan
Prinsip Kesederhanaan
Prinsip Kemurahan hati Prinsip Moralitas.
7. Kaidah-Kaidah Konsumsi
kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:[16] Kaidah Syariah.
Kaidah Kuantitas.
Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi.
Kaidah Sosial.
Kaidah Lingkungan
Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru.
8. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi.
faktor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian capital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga
9. Fungsi konsumsi Konvensional Versus Islam
Dalarn pendekatan model keseimbangan pendapatan nasional, zakat, infak dan
shadaqah dapat dijelaskan melalui model maslahat/kesejahteraan umat manusia yang lebih luas. Dalam ekonomi konvensional, keseimbangan pendapatan nasional:
Y=C
Dimana Y = pendapatan dan C=konsumsi
Sedangkan dalam ekonomi islam,
Yi=Cd+Ca
dimana :
Yi = pendapatan nasional dalam ekonomi islam
Cd = konsumsi untuk kepentingan dunia
Ca = konsumsi untuk kepentingan akhirat, yang terdiri dari konsumsi zakat (Cz) ditambah dengan konsumsi infak dan sadaqah (Cis), Ca = Cz + Cis
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
[2] Ibid.,
[3] Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press, 2006.
[4] Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
[5] Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995.
[6] Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
[7] Ibid.,
[8] Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
[10] Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press, 2006.
[11] Ibid.,
[12] Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
[13] Ibid.,., [14] Ibid.,
[15] Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
[16] Ibid.,