• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini menganalisis Gerakan Desa Membangun (GDM) yang. muncul sebagai gerakan kolektif masyarakat desa di wilayah Banyumas untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini menganalisis Gerakan Desa Membangun (GDM) yang. muncul sebagai gerakan kolektif masyarakat desa di wilayah Banyumas untuk"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tesis ini menganalisis Gerakan Desa Membangun (GDM) yang muncul sebagai gerakan kolektif masyarakat desa di wilayah Banyumas untuk menginisiasi kemandirian desa dengan mengusung pendekatan “desa membangun” sebagai antitesis dari pendekatan “membangun desa” oleh pemerintah. Gerakan ini ingin mewujudkan desa menjadi subyek pembangunan agar lebih mandiri dan bermartabat sehingga memiliki posisi tawar serta menghilangkan stigma desa sebagai segala sesuatu yang tidak menyenangkan, keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan. Menjadi menarik kemudian untuk menyusun kajian ilmiah untuk menghasilkan analisis rinci sejauh mana GDM dengan pendekatan desa membangun mampu meningkatkan pemberdayaan masyarakat desa menjadi pelaku-pelaku pembangunan. Apalagi dengan ditetapkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menempatkan desa pada posisi strategis sangat membutuhkan perhatian semua kalangan dalam rangka mengawal implementasinya, termasuk dari penulis sebagai bagian dari civitas akademik.

Penelitian ini bersifat kualitatif dan sesuai dengan karakter objek penelitian yaitu GDM sebagai sebuah gerakan kolektif masyarakat desa, penulis memilih studi kasus sebagai metode untuk membedah fenomena ini. Pemilihan metode ini berdasarkan kemampuannya dalam menangkap fenomena empirik,

(2)

2 kontemporer, dan kesempatan penggalian bukti-bukti dari berbagai sumber (Yin, 2004).

Gerakan Desa Membangun (GDM) tercetus pada 24 Desember 2011 di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas pada acara Lokakarya Desa Membangun (LDM) yang diadakan oleh Pemerintah Desa Melung dengan mengundang Pemerintah Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya dan desa-desa tetangga di wilayah Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas sebagai kawan diskusi.1 Dalam penelitian ini, penulis merasa perlu untuk melihat secara keseluruhan dari GDM, baik dari aspek kesejarahan (histori), aspek konsolidasi internal dan eksternal serta aspek keberlanjutan (sustainability) dari GDM di dalam menginisiasi pengembangan kemandirian desa. Untuk lebih menajamkan analisis maka dipilih lokus penelitian Desa Melung yang merupakan salah satu penggagas GDM dan sampai sekarang aktif dan terus menunjukkan geliatnya sebagai desa yang mengembangkan diri untuk menjadi subyek pembangunan.

Sebagai kritik atas praktik pembangunan perdesaan yang cenderung dari atas ke bawah (top down) dibanding dari bawah ke atas (bottom up), GDM lahir sebagai bentuk inisiatif kolektif desa-desa untuk mengelola sumber daya desa dan tata pemerintahan yang baik dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan kemandirian desa. GDM dicetuskan sebagai antitesis dari program-program membangun desa oleh pemerintah yang lebih merujuk pada pengembangan perdesaan sebagai suatu kawasan. Akibatnya, desa sekadar menjadi objek

(3)

3 pembangunan, bukan sebagai subjek pembangunan. Program pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah selama ini lebih kepada pengembangan kawasan perdesaaan dan disesuaikan dengan sudut pandang pemerintah sebagai subyek atau pelaku pembangunan dan desa menjadi obyeknya.2

Desa merupakan sosok pemerintahan lokal yang memiliki beragam identitas. Berbagai unsur kehidupan berawal dari desa yang keberadaanya sudah ada dari sebelum bangsa ini merdeka. Desa sebagai salah satu bagian suatu negara memiliki karateristik yang sama sebagai salah satu lingkungan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Keadaan ini secara nyata memberikan pengaruh besar tata kehidupan desa terutama dalam menciptakan stabilitas diberbagai bidang. Dinamika struktural ini memberikan bukti bahwa aktifitas sistem pengelolaan tata pemerintah desa memiliki kompleksitas penting. Lagi pula desa sebagai struktural terkecil sekaligus ujung tombak pemerintahan negara. Desa memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dalam mengahadapi isu dan gejolak sosial yang timbul.3

Desa menjadi bagian tema penting dalam membahas soal demokrasi lokal. Sejak reformasi politik berlangsung di Indonesia, inisiatif untuk melakukan pembaruan desa terus bermunculan. Arahnya adalah mendorong agar praktik demokratisasi dilangsungkan, serta menuju kemandirian dan kesejahteraan warga desa. Pesan mulia itu memang tidak mudah diwujudkan, dimana tarik menarik kepentingan elit politik dan ekonomi selalu saja mewarnai bahkan menghadang

2

Sumber : Hasil wawancara dengan Yossy Suparyo, Juru Bicara GDM (16 Juni 2014) dan olah

data http :\\desamembangun.or.id.

3

(4)

4 perjuangan komunitas warga pinggiran ini didalam mewujudkan cita-citanya mempengaruhi arus perubahan.4

Harapan awal untuk membenahi desa muncul sejak reformasi politik tahun 1998 digelorakan. Terbitnya UU No. 22/tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengintrodusir otonomi desa, serta UU No. 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan daerah, telah memberikan ruang kebebasan bagi daerah dan desa untuk secara otonom mengatur pemerintahannya sendiri. Regulasi itu memantik tumbuhnya perhatian lokalitas desa. Munculnya aksi-aksi warga desa dalam pembuatan kebijakan serta tuntutan akuntabilitas pejabat publik, yang dilakukan secara sporadis maupun kolektif menjadi landasan kuat bagi reformasi sistem politik di level desa tersebut makin semarak.5

Hal yang terjadi kemudian adalah adaya beberapa pergeseran signifikan; pertama, berkurangnya dominasi birokrasi, digantikan oleh peran institusi-institusi masyarakat lokal, seperti adat misalnya. Makin tumbuh keberadaan forum-forum kewargaan di desa sebagai bagian dari social capital yang didalamnya berkembang nilai-nilai partisipasi secara otentik.6 Kedua, semangat adaptasi atas demokrasi delegatif-liberatif cukup besar yang termaktub melalui regulasi baru ini. Kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD atau

4

Arie Sujito, 2013. Kontek dan Arah Pembaruan Desa Dalam Advokasi RUU Desa. Yogyakarta :

Jurnal Mandatory IRE.

5 Ari Dwipayana dan Sutoro Eko dkk (ed), 2003. Membangun Good Governance di Desa.

Yogyakarta : IRE Press.

6 Menggunakan pemikiran Bardhan (1995), modal sosial merupakan perangkat norma, jaringan

dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan. Sementara Puttnam (1993) mengaitkan modal

sosial dengan “asosiasi horisontal” antar individu, artinya modal sosial terdiri dari social networks

(5)

5 Baperdes), yang bertindak sebagai badan legislatif baru di desa sangat bermakna menjadi institusi demokrasi. Ketiga, adalah semangat partisipasi masyarakat sangat dikedepankan. Proses politik, pemerintahan dan pembangunan di desa tidak lagi terbangun dalam bingkai kebijakan pemerintah pusat secara komando (top-down), melainkan berasal dari partisipasi masyarakat (bottom-up).7

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) didukung oleh dorongan keterbukaan informasi publik semakin menguatkan pendekatan baru sebagai antithesis dari pendekatan program pembangunan pemerintah. Saat ini sedang marak dibicarakan adanya konsep kunci pembangunan untuk memahami frasa “membangun desa” dan “desa membangun” meskipun keduanya tidak dikenal dalam wacana dan teori pembangunan. Dari konsep kunci pembangunan dapat kita turunkan lagi menjadi pembangunan perdesaan (rural development) dan pembangunan desa (village development). Konsep pembangunan desa sebenarnya tidak dikenal dalam literatur pembangunan. Pembangunan desa merupakan kreasi dan ikon Orde Baru, yang muncul pada Pelita I (1969-1974) yang melahirkan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa di Departemen Dalam Negeri.8

Pada pertengahan 1980-an pembangunan desa kemudian diubah menjadi pembangunan masyarakat desa, sebab pembangunan desa sebelumnya hanya berorientasi pada pembangunan fisik, kurang menyentuh masyarakat. Direktorat Jenderal Bangdes juga berubah menjadi Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, namun arus pemberdayaan yang hadir pada tahun 1990-an nomenklatur juga berubah menjadi Ditjen Pemberdayaan

7

Arie Sujito, Ibid. h: 2

8

Sutoro Eko. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta : Forum Pengembangan

(6)

6 Masyarakat dan Desa, yang bertahan sampai sekarang. Ditjen ini masih akrab dengan nomenklatur pembangunan desa, karena pembangunan desa tertuang dalam PP No. 72/2005. Baik RPJMN maupun institusi Bappenas dan kementerian lain sama sekali tidak mengenal pembangunan desa, melainkan mengenal pembangunan perdesaan dan pemberdayaan masyarakat (desa). Pembangunan desa tidak lagi menjadi agenda nasional tetapi dilokalisir menjadi domain dan urusan desa.9

Literatur teori pembangunan juga tidak mengenal pembangunan desa. Pembangunan perdesaan (rural development) yang lebih banyak dikenal dan dikembangkan. Desa maupun membangun desa menjadi bagian dari pembangunan perdesaan. Bappenas menganut aliran dan posisi ini. Literatur pembangunan perdesaan begitu kaya, dinamis dan transformatif. Ada perubahan dari paradigma lama (dekade 1960-an hingga 1980-an) menuju paradigma baru (dekade 1990-an hingga sekarang). Paradigma lama bersifat state centric: otokratis, top down, sentralistik, hirarkhis, sektoral dan seterusnya. Paradigma baru tampaknya mengandung spirit rekognisi dan subsidiaritas yang bersifat society centric: demokratis, bottom up, otonomi, kemandirian, lokalitas, partisipati, emansipatoris dan seterusnya.10

Dalam kontek pemberdayaan, strategi membangun desa yang menempatkan desa sebagai obyek bak sebuah serangan bertubi-tubi selama lebih dari empat puluh tahun terakhir. Pada masa orde baru, jelas-jelas pemerintah ingin mengatur dan mengawasi desa untuk kepanjangan

9

Sutoro Eko. Ibid. h: 35-36

10

(7)

7 kekuasaan. UU No. 5/1979 sebagai senjata efektif untuk mematikan desa dan kenyataannya pada era reformasi ternyata belum banyak berubah. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 memang berupaya memberi ruang bagi desa, tetapi masih ada program pemberdayaan nasional yang mematikan implementasi UU tersebut untuk desa. Daerah pun masih setengah hati memberikan hak-hak desa dan hanya menempatkan desa sebagai sasaran pembangunan. Dengan dalih membantu masyarakat miskin, baik pusat maupun daerah menerapkan program pemberdayaan dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM). Namun yang terjadi kemudian adalah alih-alih masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera, yang didapatan justru ketergantungan yang semakin tinggi.11

Tujuan yang ingin dicapai dari Gerakan Desa Membangun (GDM) adalah membangkitkkan kesadaran bahwa untuk mewujudkan kemajuan desa, masyarakat desa tidak selayaknya hanya menunggu belas kasihan orang lain atau pihak lain dari luar desa saja. Tetapi masyarakat desa sendirilah yang harus bergerak untuk mengubah desanya agar menjadi lebih baik. Mental kemandirian muncul dibangun dengan pengertian bahwa desa bukan berarti tidak butuh orang atau pihak lain, namun agar desa maju, desa harus menjalin hubungan dengan berbagai pihak. Kerangka hubungan antara desa dengan pihak lain sebagai kerangka hubungan yang sejajar atau sederajat sehingga desa pun akan menjadi lebih bermartabat. Dengan memperkuat desa sebetulnya pada ujungnya juga akan memperkuat negara. Di sinilah kita menemukan makna peran dari Gerakan Desa

(8)

8 Membangun, sehingga tidak berlebihan kiranya jika dikatakan Gerakan Desa Membangun menjadi wujud kongkrit dari upaya penguatan masyarakat sipil (civil society).12

Sejak digagas pada akhir tahun 2011 lau, GDM terus mendapat respon positif dari berbagai pihak, terutama desa-desa di banyak wilayah di Indonesia yang tergerak untuk mengembangkan kemandirian desa dalam pembangunan. Dari tahun ke tahun, jumlah desa yang tergabung dalam GDM ini terus meningkat hingga sampai pertengahan tahun 2014 ini mencapai lebih dari 1060-an desa yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia. Hal tersebut juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak di luar desa, seperti Kementerian Kominfo, Pemerintah Daerah, PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), jaringan Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (R-TIK) Indonesia, fasilitator PNPM Mandiri di berbagai wilayah, LSM, akademisi, maupun berbagai komunitas masyarakat.13

Berbagai prestasi membanggakan pun mulai ditorehkan oleh desa-desa maupun para pegiat desa dalam jejaring GDM. Tekad kuat untuk menunjukkan bahwa masyarakat desa mampu, mandiri dan berdaya menjadi pelaku pembangunan mendorong desa terus berinovasi baik dalam pengelolaan tata pemerintahan desa, pengelolaan potensi dan sumber daya desa, maupun mewujudkan kemandirian teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka keterbukaan informasi publik. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi

12

Hasil wawancara dengan Yossy Suparyo, ST. (Direktur Gedhe Foundation, Juru Bicara GDM) dan Agung Budi Satrio, Mantan Kepala Desa Melung Kec. Kedungbanteng Kab. Banyumas, Pegiat GDM (24 Juni 2014).

13

Hasil wawancara dengan Soepriyanto, Helpdesk GDM, 11 Juli 2014 di Sekretariat Rumah Desa Indonesia (RDI) Pangebatan Karanglewas Banyumas

(9)

9 oleh GDM mampu memunculkan desa-desa unggulanyang berprestasi membangun desa. Di wilayah Jawa Barat misalnya, Irman Meilandi, warga Desa Mandalamekar, Kab. Tasikmalaya sekaligus pegiat GDM mendapat penghargaaan “2011 Seacology Prize” atas usahanya dalam melestarikan hutan lindung di desanya. Penghargaan tersebut diberikan kepadanya di David Brower Center, Berkeley, California, AS.14

Keberhasilan desa-desa dalam jejaring GDM lainnya ditunjukkan misalnya di wilayah Kabupaten Banyumas, dimana Desa Melung memperoleh penghargaan UNDIP Awards 2013 dan SCTV Awards 2014 atas nama Agung Budi Satrio, Mantan Kepala Desa Melung untuk kategori pemberdayaan masyarakat, serta Desa Dermaji memperoleh penghargaan “Inspiring Young Leader” Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Beritasatu.com. Penghargaan tersebut diberikan oleh Presiden Terpilih Joko Widodo pada tanggal 23 Agustus 2014 di Jakarta atas nama Bayu Setyo Nugroho, Kepala Desa Dermaji sekaligus pegiat GDM.15

B. Perumusan Masalah

Alasan pemilihan Desa Melung menjadi lokus studi kasus bagaimana GDM menginisiasi kemandirian desa tidak terlepas dari keberadaan Desa Melung sebagai salah satu desa penggagas berdirinya GDM. Pada awalnya, desa ini merupakan salah satu desa yang cukup terisolir di wilayah Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas, bahkan merupakan desa IDT (Inpres Desa

14

Sumber : http :\\desamembangun.or.id.

15

(10)

10 Tertinggal) dimasa lalu yang statusnya tidak pernah ada pencabutan sampai saaat ini.16 Keterisolasian tidak menjadi alasan bagi Agung Budi Satrio mantan Kepala Desa Melung untuk mengajak rekan-rekan Perangkat Desa Melung pada tahun 2009 untuk terbuka terhadap informasi dan pengetahuan dari perkembangan dunia saat ini. Bermodalkan uang sekitar lima juta rupiah, Budi mengajak SD dan SMP setempat untuk bekerja sama membangun jaringan wifi internet yang dapat dinikmati secara gratis oleh seluruh warga desa. Sejak tahun 2011 para perangkat Desa Melung bergerak dan bekerja dengan kesungguhan hati untuk melepaskan diri dari identitas desa yang tertinggal melalui kegiatan Lokakarya Desa Membangun (LDM) yang akhirnya melahirkan Gerakan Desa Membangun (GDM).17

Melalui GDM, Desa Melung terus meningkatkan peran desa dalam mempergunakan internet sebagai bagian untuk pengarusutamaan isu tentang desa, dimana selama ini berita tentang desa di media arus utama masih sangat sedikit. Disamping itu pemanfaatan internet lainnya serta penggunaan aplikasi mitra desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang memiliki data yang akurat dan up to date, diantaranya sebagai bagian dari upaya mengangkat potensi desa dan mencatat kegiatan desa yang suatu saat akan menjadi sejarah tentang perkembangan di sebuah desa. Selain itu, hal penting lainnya adalah bagaimana menjalankan dan melaksanakan keterbukaan informasi publik yang terus dituntut masyarakat agar kerja-kerja pemerintah desa terpantau dan akuntabel.

16

Hasil wawancara dengan Yossy Suparyo, Juru Bicara GDM (11 Juni 2014) 17

Hasil wawancara dengan Agung Budi Satrio, Mantan Kepala Desa Melung, Pegiat GDM (17 Juni 2014)

(11)

11 Sehingga pilihan logis yang dapat dilakukan GDM sebagai langkah awal adalah membuat desa bersuara. Sejarah yang ditorehkan GDM yang masih dan terus berjalan ini kemudian berlanjut membawa konsep awal ini menuju daerah ratusan kilometer dari desa penggagas, yaitu Desa Melung. Konsep ini diterima baik di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Selanjutnya, mungkin karena tipikal karakter masyarakat Banyumas yang cablaka (apa adanya), terbuka dan egaliter, ide desa bersuara ini tersebar dan berkembang subur menjadi sebuah gerakan desa untuk mampu membangun dirinya sendiri. Kondisi ini semakin mendapat dukungan dikarenakan banyaknya komunitas dan “penabuh gendang” di Banyumas seperti Komunitas Blogger Banyumas, Komunitas BlankOn Banyumas dan lainnya, gerakan ini perlahan tapi pasti semakin kencang tersuarakan.18

Sejak menggagas dan bergabung dalam Gerakan Desa Membangun (GDM) ini, telah banyak kemajuan yang dialami Desa Melung. Desa ini ternyata sudah mempergunakan internet untuk menggali potensi warga, seperti pertanian, peternakan, dan seni budaya. Selain itu, teknologi internet dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja pelayanan administrasi dan pemerintahan, seperti data penduduk, memperpanjang KTP, surat menyurat, dan pengelolaan sumber daya warga. Dampaknya, tata kelola pemerintahan makin efektif dan tepat waktu. Perubahan dari desa terisolir yang warganya saja malu mengakui sebagai warga Desa Melung menjadi desa yang menjadi sorotan publik luas bahkan diakui oleh Pemerintah Pusat yang kemudian menjadikan Desa Melung sebagai salah satu

18

(12)

12 dari 5 (lima) desa terpilih se-Indonesia sebagai penerima prototype community access point (CAP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk wilayah Banyumas.

Berbagai prestasi mulai ditorehkan oleh Desa Melung dan GDM, diantaranya menjadi pusat lingkar belajar desa-desa di Indonesia dalam penerapan teknologi informasi berbasis open source, seperti yang dilakukan Dinhubkominfo Kabupaten Banjarnegara yang mengajak para kepala desa se-Kabupaten Banjarnegara untuk studi banding di Desa Melung dan Bappeda Kab. Pemalang melakukan hal yang sama. Desa Melung juga menjadi lokus penelitian pemberdayaan masyarakat oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti UGM, ITB, UNPAD, Universitas Trisakti, dan berturut-turut mendapat penghargaan UNDIP Awards 2013 dan SCTV Awards 2014 dibidang pemberdayaan masyarakat atas nama Agung Budi Satrio, mantan Kepala Desa Melung.19

Demikian besarnya animo masyarakat desa di Indonesia terhadap keberhasilan GDM dan Desa Melung ini tercermin dengan semakin banyaknya anggota GDM yang sampai saat ini mencapai kurang lebih 1062 desa di seluruh Indonesia. Belum lagi dukungan berbagai pihak baik elemen masyarakat, swasta maupun pemerintah semakin mendorong perkembangan GDM. Menjadi menarik kemudian untuk mengetahui lebih terperinci dan ilmiah bagaimana Gerakan Desa Membangun (GDM) yang digagas di Desa Melung ini dalam tahapan sejarah atau histori pendiriannya, tahapan konsolidasi untuk mengembangkan jaringan GDM

19

Hasil wawancara dengan Khoeruddin, S. Sos., Kepala Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas, Pegiat GDM (24 Juni 2014).

(13)

13 dan tahapan keberlanjutannya di masa yang akan datang sebagai gerakan kolektif masyarakat dalam mengembangkan kemandirian desa dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan sumber daya desa dan tata kelola pemerintah desa.20

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah pokok : Bagaimana Gerakan Desa Membangun (GDM) sebagai Gerakan Kolektif Masyarakat Desa Menginisiasi Pengembangan Kemandirian Desa? (Studi Kasus di Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas). Rumusan masalah pokok tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana proses dan sejarah pembentukan GDM dalam menginisiasi pengembangan kemandirian desa di Desa Melung?

2. Bagaimana tahapan konsolidasi GDM dalam perkembangan selanjutnya? 3. Bagaimana keberlanjutan (sustainability) GDM di Desa Melung dalam

menginisiasi pengembangan kemandirian desa di bidang teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya desa?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sabagai berikut :

20

Hasil wawancara dengan Yossy Suparyo, ST., Juru Bicara GDM (16 Juni 2014) dan Tim TIK/helpdesk GDM (Soepriyanto, Pradna Paramitha, Pri Anton Subardio, 11 Juli 2014).

(14)

14 1. Mengidentifikasi proses dan sejarah pembentukan Gerakan Desa

Membangun (GDM).

2. Menganalisis tahapan konsolidasi GDM dalam perkembangan selanjutnya. 3. Menganalisis keberlanjutan (sustainability) GDM di Desa Melung dalam

menginisiasi pengembangan kemandirian desa di bidang teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya desa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait dan memiliki minat terhadap kajian tentang gerakan sosial masyarakat dalam konteks civil society dan pemberdayaan masyarakat, lebih khususnya kepada :

1. Gerakan Desa Membangun (GDM), penelitian ini bisa menjadi dokumen ilmiah tertulis yang bisa digunakan sebagai salah satu dokumentasi gerakan dan menjadi acuan dalam pengembangan dan keberlanjutan GDM di masa datang;

2. Masyarakat, memberikan gambaran umum tentang sebuah fenomena gerakan kolektif masyarakat desa berupa Gerakan Desa Membangun (GDM) dalam menginisiasi pengembangan kemandirian desa;

3. Pemerintah, memberikan masukan dalam memperlakukan desa sebagai subyek bukan obyek pembangunan sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

(15)

15

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai gerakan sosial masyarakat di Indonesia secara umum maupun penelitian terhadap Gerakan Desa Membangun (GDM) secara khusus antara lain sebagaimana tercantum dalam tabel 4 di bawah ini :

Peneliti

(Tahun) Bentuk Judul Penelitian Hasil Penelitian

Lisa Lindawati (2013) Tesis Komunikasi Pembangunan dan Kemandirian Desa (Studi Kasus Pemanfaatan Sistem

Mitra Desa Dalam

Menciptakan

Kemandirian Desa

dalam GDM di

Kabupaten Banyumas)

a. Dalam Gerakan Desa

Membangun, komunikasi

pembangunan mencapai

kemandirian desa dengan

menggunakan Sistem Operasi

Open Source yang menjadi identitas kemandirian teknologi. Di samping itu, gerakan ini juga menggunakan Sistem Mitra Desa yang mendukung desa dalam

membangun tata kelola

pemerintahan yang baik. Desa juga mengelola portal untuk meningkatkan daya tawarnya dihadapan stakeholder. Dengan

berbagai aplikasi teknologi

tersebut, desa mampu

menunjukkan bahwa dirinya

mampu menjadi entitas yang mandiri.

b. Dengan sinergi antara teknologi

yang sesuai dan komunikasi

partisipatoris, Gerakan Desa

Membangun mencapai

kemandirian yang ditunjukkan dengan terpenuhinya kebutuhan

masyarakat, menguatnya

kelembagaan lokal, dan

berperannya desa sebagai aktor utama dalam pembangunan. Di samping itu, proses pemanfaatan

teknologi tersebut mampu

menjadi ajang pembelajaran

sosial dengan menggali kembali potensi dan pengetahuan lokal

untuk kemudian

dikomunikasikan ke khalayak

luas. Kemampuan ini

menunjukkan bahwa desa

mampu menyuarakan tentang dirinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi

pembangunan dengan

memanfaatkan media baru yang sesuai dengan kebutuhan desa

(16)

16

komunikasi partisipatoris mampu menciptakan kemandirian desa.

Ageng Nata

Praja (2009)

Tesis Distorsi Peran LSM

Dalam Konsep Civil

Society di Kabupaten Grobogan

a. Tidak semua LSM berperan

sebagaimana seharusnya, yaitu

sebagai pilar hadirnya civil

society. Beberapa LSM justeru

melakukan tindakan-tindakan

yang menyimpang dari

fungsinya. LSM-LSM tersebut justeru berperan memperlemah gerakan rakyat dan melakukan kegiatan yang kontra-produktif.

Pada umumnya motif yang

melatarbelakangi penyimpangan perilaku sejumlah LSM adalah motif mencari keuntungan dan

kepentingan sendiri. Ketika

peluang tersedia, berbagai cara dilakukan dengan memanfaatkan kedudukan dan posisi LSM

dalam kehidupan politik di

Kabupaten Grobogan.

b. Distorsi peran LSM di

Kabupaten Grobogan terjadi

karena beberapa faktor yaitu:

adanya motif mencari

keuntungan, ketiadaan sumber

dana dan rendahnya

profesionalisme, latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, konsep idelogi yang tidak jelas serta regulasi yang terlalu longgar. Justina Nuriati Purba (2008) Tesis Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten Simalungun (Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K)

a. Pelaksanaan suatu program

pembangunan yang dialokasikan ke nagori-nagori di Kecamatan Panombeian Panei sejak dari

perencanaan terbuka dan

melibatkan masyarakat telah

memberikan manfaat dan

hasilnya efektif. Proses

pemberdayaan masyarakat

berjalan baik dan menjadi

cerminan karakteristik

perencanaan yang melibatkan

masyarakat sebagai user,

sekaligus sebagai aktor utama.

b. Program pembangunan yang

digulirkan masyarakat hendaknya diminimalisir dari nuansa proyek dan diupayakan lebih terbuka

pada proses pemberdayaan

masyarakat serta sejauh mungkin

menghindarkan proses

(17)

17

Ambar Sari

Dewi (2006)

Tesis Gerakan Sosial di

Dunia Maya (Studi

tentang Gerakan Open

Source Sebagai

Gerakan Sosial Baru)

a. Gerakan open source perlu

melakukan sosialisasi secara

lebih intensif untuk

memasyarakatkan gerakan ini.

b. Para pegiat gerakan ini harus

lebih jeli dalam melihat

momentum untuk menyebarkan ideologi gerakan.

c. Komunitas open source perlu

mengembangkan produk yang

lebih user friendly dan mudah

digunakan tanpa menyalahi atau

bertentangan dengan

prinsip-prinsip komunitas ini.

d. Bagi pengambil kebijakan

(pemerintah), perlu komitmen yang jelas untuk mendukung gerakan ini.

e. Perlu diperdalam lagi kajian

mengenai perkembangan open source, baik di level teknis

(pengembangan softwarenya),

ekonomi (model bisnisnya,

pemberdayaannya) maupun

komunitasnya (kelompok

pengguna, dinamikanya,

interaksinya), sehingga dapat

diperoleh gambaran yang

menyeluruh mengenai open

source .

Bayu Dharma

Saputra (2014)

Thesis Eksistensi Lingkar

Belajar Warga Desa Melung Dalam Proses

Difusi Teknologi

Informasi dan

Komunikasi

a. Pola interaksi difusi teknologi

yang terjadi di Desa Melung bukan merupakan proses yang linier terbentuk lingkar belajar di pihak-pihak yang terlibat dalam proses difusi teknologi informasi hal ini dikarenakan pengetahuan tidak berjalan satu arah namun dua arah dari kelompok inisiator kepada kelompok pengguna yang bahkan mengundang pihak-pihak lainnya;

b. Pengambilan keputusan yang

tepat menunjukan adanya

keberhasilan negosiasi antara

kelompok inisiator dengan

pengguna;

c. indikator-indikator keberhasilan

difusi teknologi informasi dan komunikasi di Desa Melung dapat menjadi sebuah langkah strategis untuk mengembangkan apa yang sudah terjadi di Desa

Melung dan melanjutkan

(18)

18

perdesaan lainnya di Indonesia. Mochammad

Fajrin (2011)

Skripsi Dinamika Gerakan

Petani : Kemunculan dan Kelangsungannya

(Desa Banjaranyar

Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis)

a. Gerakan petani Banjaranyar

dapat dilihat sebagai aksi

perlawanan petani terhadap

perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan

kehidupan petani semakin

terpuruk dan menghadapi krisis

subsistensi hingga kebatas

toleransi.

b. Gerakan petani Banjaranyar yang

kemudian tergabung dalam

Serikat Petani Pasundan (SPP) memang berhasil meningkatkan posisi tawar petani dihadapan

para pemangku kepentingan

(pemerintah pusat, pemerintah

daerah, perusahaan swasta,

BUMN, LSM) lainnya. Tetapi, petani yang meningkat posisi tawarnya adalah petani yang memiliki KTA SPP (Kartu Tanda Anggota SPP) dan tidak semua petani di Desa Banjaranyar merupakan anggota SPP.

c. Keberadaan gerakan petani di

Desa Banjaranyar hingga saat ini (1998 – 2010), boleh jadi dapat

dipandang sebagai sebuah

prestasi dalam konteks

keberlanjutan sebuah gerakan petani. Tetapi, keberadaannya

yang mengejawantah dalam

bentuk organisasi gerakan (OTL

Banjaranyar) secara terus

menerus dalam kurun waktu 12 tahun justru melahirkan masalah baru. Organisasi gerakan (OTL

Banjaranyar) belum mampu

bertranformasi menjadi institusi ekonomi yang dapat menyokong

dan mepermudah kehidupan

petani Banjaranyar.

d. Terlepas dari berbagai

permasalahan itu semua,

sesungguhnya gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kemanusiaan. Karena tanah menjadi sumber sekaligus taruhan hidup bagi

(19)

19

petani. Terlebih lagi, tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga symbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidupnya bersumber dari sektor pertanian. Heru

Purwandari (2006)

Tesis Perlawanan Tersamar

Organisasi Petani

(Upaya Memahami

Gerakan Sosial Petani)

a. Disain perlawanan SPPQT dan

organisasi yang ada di bawahnya

adalah bentuk perlawanan

tersamar melalui strategi

kemandirian produksi.

Perlawanan tersamar merupakan

proses adaptasi terhadap

kemapanan social yang sedang berlangsung. Metode yang dipilih

sebagai taktik perlawanan

diarahkan agar sekaligus dapat menjawab persoalan nyata yang dihadapi petani melalui jalur

Community Development (CD). Membungkus mainstream baru (people-center oriented) dengan menggunakan paradigma lama (production-center oriented) melalui strategi pengembangan CD tidak menciptakan resistensi yang kuat dari pemerintah.

b. Perlawanan tersamar dipilih

sebagai terminologi untuk

memperlihatkan bahwa musuh

(pemerintah) sebetulnya

mengetahui tindakan petani.

Namun musuh tidak bereaksi karena perlawanan dilakukan dengan pola-pola yang biasa

dilakukan oleh pemerintah.

Strategi CD menjadi berbeda ketika ditangani oleh komunitas. Perbedaan terutama terletak pada hasil akhir dan implikasi yang ditimbulkan. CD gaya lama lebih sebagai upaya mempertahankan

kemapanan dan menciptakan

ketergantungan petani,

sedangkan CD gaya petani

merupakan upaya menciptakan

kemandirian dan mencapai

kedaulatan petani. Anis Farida

(2012)

Disertasi Gerakan Lokal

Perempuan

a. Secara tegas membantah bahwa

suatu gerakan sosial dapat

muncul dan berkembang, hanya ketika dipimpin oleh seorang

pemimpin sebagaimana yang

dinyatakan oleh Scott, Moore Jr, Tilly, McAdam, dan Tarrow.

(20)

20

b. Studi ini sependapat dengan

Singh yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik gerakan sosial baru mengambil bentuk non institusional, non hirarkis, terdesentralisasi dan kaya bentuk.

c. Membantah pendapat Singh yang

menyatakan bahwa gerakan

sosial baru pada umumnya

dilakukan oleh mereka yang hidup dalam setting masyarakat kontemporer. Dalam kasus

Dasun menunjukkan bahwa

sebuah gerakan sosial baru

(ditinjau dari isu yang diusung) dapat tumbuh dalam setting masyarakat pedesaan tradisional agraris.

d. Menolak pendapat Singh dan

Offe yang menyatakan bahwa

para pelaku gerakan pada

umumnya berasal dari kelas

menengah baru (new middle

class) yang biasanya dicirikan dengan profesionalisme, tingkat pendidikan yang ditempuh, serta

tingkat ekonomi menengah,

meskipun Offe juga

menambahkan unsur ibu rumah

tangga, pensiunan dan

mahasiswa. Kondisi ini jauh berbeda dengan pelaku gerakan sosial di Dasun yang terdiri dari para perempuan miskin, sebagian besar bekerja di sektor pertanian

(baik sebagai petani kecil

maupun sebagai buruh tani), dan

secara umum berpendidikan

rendah.

e. Studi ini sependapat dengan

Gamson yang menyatakan bahwa terdapat dua variable yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu gerakan sosial masuk dalam

tipologi full response, yaitu

keberhasilan dalam dua aspek secara penuh baik dari sisi

capaian maupun tingkat

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yaitu untuk menggali informasi dari responden bahwa responden terhadap kualitas

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas Manajemen Kepemimpinan Kepala Madrasah dan untuk mengetahui realitas Kedisiplinan Guru di MTs Nurulhuda Cibojong,

lingkup aktivitas individu-individu universalnya dan mengetahui berbagai ragam dari segala sesuatu yang bersifat individual dalam kosmos. Mereka tak menemukan satu bagian

dengan arah yang berlawanan dengan elektron pada panel surya silikon. 3) Gabungan / susunan beberapa panel surya mengubah energi surya menjadi.. sumber daya listrik dc, yang

Hasil analisa dari penelitian ini adalah penggunaan internet sebagai media pembelajaran memiliki pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.. Kata kunci: Motivasi belajar,

Kedua, Dukungan dana guna menunjang dari Implementasi Program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak adalah bersumber dari Anggaran Pemerintah Belanja Daerah

Namun sebagian pustakawan kurang tanggap dalam merespon masalah pemustaka; Persepsi pemustaka yang berkaitan dengan aspek empati bahwa sebagian pustakawan memiliki sikap

Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif flokumafen paling banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk pada perlakuan tiga hari yaitu (77.89 g),