• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI, GEJALA SERANGAN, DAN PENGENDALIAN HAMA BUBUK JAGUNG Sitophilus zeamais MOTSCHULSKY (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOLOGI, GEJALA SERANGAN, DAN PENGENDALIAN HAMA BUBUK JAGUNG Sitophilus zeamais MOTSCHULSKY (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI, GEJALA SERANGAN, DAN PENGENDALIAN

HAMA BUBUK JAGUNG Sitophilus zeamais MOTSCHULSKY

(COLEOPTERA: CURCULIONIDAE)

Biology, Symptomps of Attack and Management of Corn Weevil Sitophilus

zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae)

Nurnina Nonci dan Amran Muis Balai Penelitian Tanaman Serealia

Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Kotak Pos 173, Maros 90514, Indonesia Telp. (0411) 371529, 371016, Faks. (0411) 371961

E-mail:nurninaamran@gmail.com, balitsereal@litbang.pertanian.go.id

Diterima: 2 Februari 2015; Direvisi: 10 April 2015; Disetujui: 1 Mei 2015

ABSTRAK

Salah satu kendala dalam penyimpanan jagung adalah serangan hama gudang. Salah satu hama gudang jagung adalah Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae). Hama ini ditemukan di daerah panas maupun lembap. Hama ini bersifat polifag, dapat merusak serealia seperti beras/gabah, jagung, gandum, dan sorgum, namun dilaporkan sebagai hama penting pada jagung. Kehilangan hasil jagung di wilayah tropis akibat S. zeamais berkisar antara 30 100%. Biji jagung yang disimpan selama 6 bulan menunjukkan kerusakan 85% dan bobot biji menyusut 17%. Telur hama tersebut diletakkan di dalam biji dan dalam beberapa hari akan menetas menjadi larva. Larva menyelesaikan siklus hidupnya di dalam biji. Telur berwarna putih bening, berbentuk lonjong, lunak dan licin, berukuran 0,7 mm x 0,3 mm. Larva berwarna putih kekuningan, tidak bertungkai, kepala berwarna cokelat, terdiri atas empat instar,

panjang 1,5–4 mm. Periode larva berlangsung 25 hari. ImagoS. zeamais berukuran 34,5 mm. Hama S. zeamais dapat dikendalikan dengan cara: 1) menyimpan jagung dalam wadah maupun gudang secara higienis, 2) menanam varietas tahan, 3) menggunakan musuh alami yaitu parasit, predator, dan patogen, seperti parasitoid Lariophagus distinguendus dan Anisopteromalus calandrae, serta patogen Beauveria bassiana, 4) memanfaatkan insektisida nabati yang memiliki toksisitas tinggi terhadap S. zeamais, yaitu Ageratum connyzoides (bandotan), Andropogon nardus (serai), Allium sativum (bawang merah), Nicotiana tabacum (tembakau), Zingiber officinale (jahe), dan Azadirachta indica (mimba), serta 5) menyemprotkan insektisida sintetis metil pirimifos.

Kata kunci: Jagung, Sitophilus zeamais, kerusakan, pengendalian

ABSTRACT

One of the constraints in storage of maize is the presence of stored pests. One of stored pests is Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae) which is found in hot or humid areas. This pest is polyphagous, can damage cereals such as rice, maize, wheat and sorghum, although it was reported as a pest, especially in corn. Maize yield loss in the tropics caused by S. zeamais ranged from 30% to100%. Maize grain stored for 6 showed grain damage

of 85% and grain weight decreased by 17%. The eggs are laid in the kernel. Some days later the eggs will hatch into larvae. Larvae will complete its life cycle inside the grain, causing damage to both quality and quantity of grain. The eggs are translucent white, oval-shaped, soft with size of 0.7 mm x 0.3 mm. The larvae are yellow-white, legless, brown head, consisting of four instars, length 1.5 4 mm. Larval period is 25 days. S. zeamais adult is a small beetle of 34.5 mm lenght. Several control methods for S. zeamais are as follows: 1) store corn properly (hygienic) in a container and place, 2) use resistant varieties, 3) apply natural enemies (parasites, predators and pathogens) such as parasitoid Lariophagus distinguendus and Anisopteromalus calandrae, and pathogen Beauveria bassiana. 4) use plant extract insecticides that have high toxicity against S. zeamais, namely Ageratum conyzoides (billygoat-weed) and Andropogon nardus (lemongrass), Allium sativum (onion), Nicotiana tabacum (tobacco), Zingiber officinale (ginger), Azadirachta indica (neem), and 5) use synthetic insecticide pirimiphos methyl.

Keywords: Maize, Sitophilus zeamais, damage, control

PENDAHULUAN

S

alah satu kendala dalam penyimpanan hasil panen adalah serangan hama gudang. Hama ini dapat merusak hasil panen berupa polong maupun biji di tempat penyimpanan maupun di lapangan sebelum panen. Salah satu jenis hama gudang pada jagung adalah hama bubuk jagung, Sitophilus zeamais (Motschulsky) (Classen et al. 1990; CABI 2014). Selain sebagai hama gudang utama pada jagung, S. zeamais merupakan hama gudang utama pada gabah/beras, sorgum, gandum, kedelai, dan kacang hijau (Caliboso et al. 1985).

Sitophilus zeamais merusak jagung di daerah tropis maupun subtropis (Danho et al.2002). S. zeamais seperti halnya S. oryzae ditemukan di daerah-daerah panas maupun lembap dan menyerang berbagai jenis serealia, namun yang utama adalah pada jagung (Morallo dan Rejesus 2001). Kerusakan yang ditimbulkan hama ini lebih

(2)

tinggi pada jagung dan sorgum dibandingkan pada gabah/beras.

Sitophilus zeamais meletakkan telur pada biji jagung sebelum dipanen maupun di gudang penyimpanan. Beberapa hari kemudian, telur menetas menjadi larva dan makan bagian dalam biji jagung (Nonci et al. 2006). Larva menyelesaikan siklus hidupnya di dalam biji sehingga biji akan rusak (Pabbagge et al. 1997).

Sitophilus zeamais tergolong hama utama, mampu merusak dan berkembang dengan baik pada komoditas yang masih utuh, dan menyelesaikan siklus hidupnya di dalam biji sehingga mengakibatkan kerusakan yang nyata (Pranata 1985). Menurut Kalshoven (1981), S. zeamais lebih dominan pada beras/padi dan jagung, sedangkan S. oryzae lebih banyak menyerang gandum. Demikian pula menurut Pranata (1982), Haines (1991), dan Giga dan Mazarura (1991), S. zeamais lebih menyukai jagung daripada beras. Nonci et al. (2008) melaporkan bahwa S. zeamais merupakan hama bubuk jagung yang dominan ditemukan di tempat penyimpanan jagung di Balai Penelitian Tanaman Serealia di Maros, Sulawesi Selatan.

Kehilangan hasil selama periode pascapanen di Indonesia berkisar antara 1520% tiap tahun. Dari jumlah tersebut, 0,52% disebabkan oleh hama S. zeamais. Bergvinson (2002) melaporkan bahwa S. zeamais dapat menyebabkan kehilangan hasil jagung hingga 30% dan kerusakan biji hingga 100% pada daerah tropis. Tandiabang (1998) melaporkan bahwa serangan S. zeamais pada jagung yang disimpan selama 6 bulan menyebabkan kerusakan biji 85% dan penyusutan bobot biji 17%.

Evaluasi/seleksi pada 256 famili jagung terhadap S. zeamais memperoleh persentase kerusakan biji yang bervariasi antara 9,83% dan23,58% (Pabbage et al. 1997). Jagung tipe biji flint yang disimpan 30 hari mengalami kerusakan biji 12,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan tipe biji dent yakni 9,4% (Saenong 1996).

Surtikanti (2004) telah mengulas biologi dan cara pengendalian S. zeamais, namun belum membahas taksonomi, daerah sebaran, serangan, kerusakan, hasil identifikasi spesies, serta perbedaan antara serangga jantan dan betina melalui bedah genitalia. Tulisan ini merangkum beberapa hasil penelitian untuk memberikan

gambaran tentang taksonomi, daerah sebaran, gejala serangan dan kerusakan yang disebabkan oleh S. zeamais, aspek biologi, serta cara pengendalian yang belum diulas oleh Surtikanti (2004) agar pengendalian hama ini efektif.

TAKSONOMI DAN DAERAH

SEBARAN S. zeamais

Hama bubuk jagung S. zeamais tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insekta, ordo Coleoptera, subordo Polyphaga, famili Curculionidae, subfamili Calandrinae, genus Sitophilus Syn: Calandra, spesies Sitophilus zeamais (Motschulsky) (Kalshoven 1981; Sidik et al. 1985; Sosromarsono et al. 2007). S. zeamais tersebar di beberapa bagian dunia, antara lain Carolina bagian selatan dan Kentucky Amerika Serikat, Taiwan, dan Italia Tengah, serta beberapa negara di Asia antara lain Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina (Caliboso et al. 1985; Semple 1985; Suprakorn 1985). S. zeamais juga ditemukan di Brasil, India, dan Australia (Champ 1985; CABI 2014). Kumbang dewasa atau imago mempunyai moncong (snout) sehingga kumbang kecil ini disebut kumbang bubuk (Kartasapoetra 1987; Canadian Grain Commission 2013; Anonymous 2014). S. zeamais tersebar di wilayah yang beriklim tropis, subtropis, dan sedang. Karena dapat hidup di mana-mana, hama ini disebut hama kosmopolitan (Teetes et al. 1983; CABI 2014). S. zeamais dari ordo Coleoptera, famili Curculionidae yang merusak produk tanaman di tempat penyimpanan dan penyebarannya tertera pada Tabel 1.

CABI (2014) melaporkan bahwa Sitophilus pertama kali diperkenalkan oleh Linneaus pada tahun 1763 dengan nama Curculio oryza. Pada tahun 1798 oleh Clairville dan Scheltenberg, dengan menggunakan sinonim umum, namanya diperbarui menjadi Calandra oryzae. Selanjutnya pada tahun 1855, Mostschulsky men-deskripsikan hama ini berdasarkan ukuran, yaitu spesies yang berukuran besar disebut S. zeamais dan yang berukuran kecil disebut S. oryzae. Namun, para peneliti serangga ini tetap menggunakan nama Calandra oryzae untuk semua serangga dalam kelompok ini. Pada tahun

Tabel 1. Sitophilus zeamais, inang, dan penyebarannya.

Negara Komoditas Jenis hama Referensi

Indonesia Beras, jagung, gandum, Sitophilus zeamais Prevett (1975); Haines dan Pranata (1982) sorgum, ubi kayu

Filipina Beras, jagung, gandum, Sitophilus zeamais Santhoy dan Morallo-Rejesus (1975);

sorgum Mollasgo (1982)

Thailand Beras, jagung, sorgum Sitophilus zeamais Sukprakarn dan Tauthong (1981) Beberapa negara Beras, jagung, gandum, Sitophilus zeamais Morallo-Rejesus (1979); Phillips (1971)

sorgum Sumber: Semple (1985).

(3)

19281931, Takahashi menentukan bahwa serangga yang berukuran lebih kecil diberi nama Calandra sasakii, dan keadaan ini berlanjut hingga tahun 1959. Selanjutnya oleh Kuschel (1961), kelompok ini direvisi kembali berdasarkan spesies yang lebih kecil yang ditentukan oleh Linnaeus, dan spesies yang lebih besar yang ditentukan oleh Motschhulsky (CABI 2014). Berdasarkan kedua spesies tersebut, Linnaeaus dan Motschhulsky menetapkan bahwa genus dari kelompok tersebut adalah Sitophilus.

Sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, kedua spesies tersebut ditentukan berdasarkan morfologi. Penentuan kedua spesies tersebut harus berdasarkan anatomi alat kelamin, yaitu aedeagus pada serangga jantan dan sklerit pada serangga betina (Halstead 1959; Morallo dan Rejesus 2001). Haines (1980) mengemukakan bahwa perbedaan kedua spesies akan lebih jelas dengan membedah alat kelamin, yaitu aedeagus untuk imago jantan dan sklerit untuk imago betina. Ujung aedeagus S. zeamais jantan lebih miring dibandingkan S. oryzae dan S. zeamais betina memiliki Y-shape sclerite (Halstead 1959; Phillips 1971).

Identifikasi spesies hama bubuk jagung telah dilakukan melalui bedah genitalia dan secara visual. Spesies hama bubuk jagung di Indonesia adalah S. zeamais (Nonci et al. 2008), sesuai bentuk genitalia serangga jantan dan alat kelamin serangga betina (Gambar 1).

SERANGAN DAN KERUSAKAN

OLEH S. zeamais

Kerusakan yang disebabkan oleh S. zeamais bervariasi sesuai dengan varietas tanaman yang diserang dan populasi S. zeamais. Hama ini bersifat polifag atau dapat merusak berbagai jenis biji-bijian, antara lain beras/gabah, jagung, gandum, dan sorgum (Nonci et al. 2005; BPTP

Sulawesi Tengah 2010). Hama ini juga merusak kacang-kacangan seperti buncis, kapri, kacang tanah, dan kedelai (Kranz et al. 1980). Selain itu, S. zeamais mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis serealia maupun produk olahan serealia, misalnya pasta dan mi (Anonymous 2014). Namun, S. zeamais dominan ditemukan berasosiasi dengan jagung dan gandum (CABI 2014).

Deteksi awal serangan S. zeamais sulit diketahui karena larva merusak/menggerek bagian dalam biji jagung. Serbuk hasil gerekan larva bercampur dengan kotoran larva di dalam biji (Anonymous 2014). Jika kerusakannya berat, dalam satu biji bisa terdapat lebih dari satu lubang gerekan (Gambar 2). Salah satu indikasi biji jagung terserang hama bubuk yaitu bila biji tersebut dimasukkan ke dalam air maka biji akan terapung. Untuk biji jagung yang disimpan dalam gudang yang besar, serangan S. zeamais dapat dideteksi melalui peningkatan suhu. Namun, tanda serangan yang paling mudah diamati

Gambar 2. Biji jagung yang rusak pada endosperm dan germ akibat serangan Sitophilus zeamais. Foto: Nurnina Nonci.

Gambar 1. Alat kelamin jantan (aedeagus) (kiri) dan betina (“Y” shape) (kanan) hama bubuk jagung. Foto: Nurnina Nonci.

(4)

adalah adanya imago yang muncul (Anonymous 2014). Biji jagung yang disimpan selama 5 minggu setelah infestasi dari tiap kilogram biji akan muncul 100 ekor imago/hari. Nonci et al. (2006) melaporkan bahwa tujuh galur sintetik jagung yang diinfestasi S. zeamais dan disimpan selama 3 bulan akan mengalami kerusakan 7,40 57,33% pada germ maupun endosperm, dengan jumlah turunan F

1 rata-rata 12,6794,33 ekor (Tabel 2).

Kehilangan hasil akibat S. zeamais di daerah tropis dapat mencapai 100% (Bergvinson 2002). Nonci et al.(2008) telah menguji 196 galur S1 Srikandi Kuning-1 dan 255 galur S1 Srikandi Putih-1 dan memperoleh dua nomor galur S1 Srikandi Kuning-1 yang memiliki kerusakan biji relatif rendah, yaitu SK1-CO-117 dan SK-1-185 yang berbeda sangat nyata dengan SK1-CO-9, SK1-CO-10, dan SK1-CO-41. Kerusakan biji tertinggi terdapat pada varietas pembanding Bisma (Gambar 3). Pada galur S1 Srikandi Putih-1, lima nomor menunjukkan kerusakan biji rendah, yaitu 71, 225, 239,

SP-CO-253, dan SP-CO-278, yang berbeda sangat nyata dengan SP-CO-333. Kerusakan biji tertinggi juga ditemukan pada varietas pembanding Bisma (Gambar 4). Jumlah imago yang keluar dari biji (F

1) berkorelasi positif dengan

kerusakan biji. Semakin banyak jumlah imago yang keluar dari biji (F

1), persentase kerusakan biji semakin tinggi, baik

pada galur S1 Srikandi Kuning-1 maupun Srikandi Putih-1 (Gambar 5 dan 6).

BIOLOGI S. zeamais

Telur S. zeamais

Dalam siklus hidupnya, S. zeamais melalui beberapa stadia perkembangan atau mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Imago betina membuat lubang pada biji jagung dengan

Tabel 2. Jumlah lubang gerekan turunan F1S. zeamais, persentase biji rusak, kehilangan bobot biji, penyimpanan 3

bulan.

Populasi jagung sintetik

Lubang gerekan pada Jumlah Persentase Kehilangan

Endosperm Germ S. zeamais biji rusak bobot biji

(ek or) (%) (%) SATP-1 (S2)C6 8,67(2,41) 5,00(1,79) 12,67(3,15) 7,40(11,46) 0,16(0,81) Pop.63-C2-QPM-TLWD 22,00(4,72) 12,33(3,41) 26,00(5,06) 20,18(26,45) 0,38(0,90) MS-2 30,57(5,16) 30,33(4,14) 17,00(7,43) 57,33(28,37) 23,58(2,03) ACROS 8365 28,00(5,29) 34,67(5,93) 73,00(8,52) 39,73(38,90) 2,67(1,75) MSQ-P1(CO) 23,67(4,79) 10,00(3,24) 25,67(5,01) 26,28(29,59) 1,91(1,44) MSQ-K1(CO) 26,33(5,04) 29,33(5,34) 60,00(7,47) 33,81(34,72) 3,79(2,03) SATP-2(S2)C6 41,33(6,22) 63,67(7,75) 94,33(9,71) 52,30(46,35) 7,38(2,74)

Angka dalam kurung adalah hasil transformasi ke Arc Sinx + 0,5. Sumber: Nonci et al. (2006).

Gambar 3. Rata-rata persentase kerusakan biji pada 21 galur jagung S1 Srikandi Kuning-1 dan varietas pembanding Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%) (Nonci et al. 2008).

6 0 5 0 4 0 3 0 2 0 1 0 0 ab bcd e e de bcd ab ab ab ab e ab ab ab ab abc a de ab a ab f SK I-C 0-6 SK I-C 0-7 SK I-C 0-9 SK I-C 0-10 SK I-C 0-14 SK I-C 0-18 SK I-C 0-19 SK I-C 0-20 SK I-C 0-25 SK I-C 0-29 SK I-C 0-41 SK I-C 0-53 SK I-C 0-70 SK I-C 0-76 SK I-C 0-101 SK I-C 0-107 SK I-C 0-117 SK I-C 0-142 SK I-C 0-147 SK I-C 0-185 SK I-C 0-247 Bism a K e ru sa k a n b ij i (% )

(5)

K e ru sa k a n b ij i (% ) K e ru sa k a n b ij i (% )

Gambar 5. Korelasi antara kerusakan biji dengan progeni F1 pada 196 galur jagung S1 Srikandi Kuning-1.

(Nonci et al. 2008). 0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 0 2 0 4 0 6 0 8 0 10 0 y = 3.898x + 19,19 R2 = 0,521 Progeni F1 (ekor)

Gambar 4. Rata-rata persentase kerusakan biji pada 16 galur jagung S1 Srikandi Putih-1 dan varietas pembanding Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%). (Nonci et al. 2008).

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 ab abc ab ab bc a ab abc abc ab a abc a a a c d 6 0 SP-C 0-8 SP-C 0-24 SP-C 0-55 SP-C 0-64 SP-C 0-71 SP-C 0-10 3 SP-C 0-14 4 SP-C 0-14 6 SP-C 0-14 9 SP-C 0-19 9 SP-C 0-22 5 SP-C 0-22 9 SP-C 0-23 9 SP-C 0-25 3 SP-C 0-27 8 SP-C 0-33 3 Bism a K e ru sa k a n b ij i (% )

Gambar 6. Korelasi antara kerusakan biji dengan progeni F1 pada 255 galur jagung S1 Srikandi Putih-1. (Nonci et al. 2008). 0 5 1 0 1 5 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 100 2 0 2 5 y = 3.355x + 14,05 R2= 0 ,5 3 1 Progeni F1(ekor)

(6)

menggunakan moncongnya, kemudian ovipositornya meletakkan satu butir telur, lalu lubang tersebut ditutup atau dilindungi dengan lapisan lilin (egg-plug) (Anonymous 2014). Telur S. zeamais berwarna putih bening, berbentuk lonjong, lunak dan licin, berukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Grist dan Lever 1969; Anonymous 2014). Keberadaan telur di dalam biji dapat diketahui dengan menggunakan larutan acid fuchsin. Perlakuan ini akan membuat biji berwarna merah gelap dan lapisan lilin dapat terlihat (Peadt 1978). Seekor imago betina dapat menghasilkan telur antara 300400 butir (Kalshoven 1981; Morallo dan Rejesus 2001; Anonymous 2014). Satu ekor imago betina S. zeamais meletakkan telur kurang lebih 25 butir/hari dan menyebar selama 100 hari (Parker 2014). Telur akan menetas selama 3 hari, bergantung pada kelembapan dan kadar air biji (Parker 2014). Periode inkubasi telur adalah 6 hari pada suhu 25oC (CABI 2004;

Anonymous 2014).

Imago betina meletakkan telur pada suhu 20oC, suhu

maksimun 32oC, dengan kadar air biji 12%. Di dalam biji,

telur menetas menjadi larva, kemudian larva makan dengan cara menggerek bagian dalam biji. CABI (2014) melaporkan bahwa seekor imago betina dapat meletakkan telur 150 butir, dengan masa inkubasi 6 hari pada suhu 25oC. Telur diletakkan selama periode dewasa, namun 50%

telur diletakkan pada 45 minggu pertama. Imago S. zeamais meletakkan telur pada suhu 2532oC dengan

kadar air biji 12%. Jika kadar air biji kurang dari 10% maka imago betina tidak dapat meletakkan telur.

Larva S. zeamais

Larva S. zeamais berwarna putih kekuningan, tidak bertungkai, dengan kepala berwarna cokelat (Gambar 7). Larva terdiri atas empat instar. Panjang larva berkisar

antara 1,5–4 mm. Larva berjalan dengan mengerutkan

badannya (Kartasapoetra 1987). Periode larva berlang-sung 25 hari pada suhu 25oC dengan kelembapan relatif

70%. Periode larva akan lebih lambat yaitu 98 hari pada

suhu yang lebih rendah (18oC) dengan kelembapan relatif

70% (CABI 2004). Periode larva juga bergantung pada jenis dan kualitas biji jagung, meskipun suhu dan kelembapan relatifnya sama. Misalnya, periode

perkembangan larva antara 31–37 hari pada suhu 25oC

dan kelembapan relatif 70%. Larva stadia 1 mulai makan bagian dalam biji jagung sambil tumbuh dan berkembang (Gambar 7). Periode larva stadia 1 sampai stadia 4

berlangsung antara 18–23 hari, kemudian larva menjadi

pupa (Anonymous 2014).

Pupa S. zeamais

Pupa berkembang di dalam biji jagung, yaitu pada lubang bekas gerekan larva (Gambar 7). Stadia pupa berlangsung 39 hari. Pupa berubah menjadi serangga muda yang tetap tinggal pada kulit pupa di dalam biji untuk proses pematangan dan pengerasan kulit. Setelah menjadi imago, serangga akan membuat lubang keluar dengan cara menggerek biji dari bagian dalam.

Imago S. zeamais

Hama ini disebut corn weevil atau bubuk jagung yang memiliki kepala memanjang membentuk moncong (Gambar 8). Imago keluar dari biji dengan cara menggerek kulit pupa dan kulit biji jagung. Saat baru keluar, imago berwarna kemerahan, kemudian perlahan berubah menjadi hitam. Imago memiliki empat bintik kemerahan, kemudian berubah menjadi hitam pada bagian elitra (Kalshoven 1981). S. zeamais merupakan kumbang kecil dengan ukuran 34,5 mm, mirip dengan S. oryzae, namun genetalianya lebih besar. S. zeamais jantan memiliki aedeagus dengan ridge tengah, sedangkan pada betina, memiliki prongs berbentuk Y-shaped menunjuk di bagian akhir dan jaraknya lebih lebar (Morallo dan Rejesus 2001). Total periode perkembangan S. zeamais adalah ± 35 hari pada kondisi suhu optimal 30oC dan kelembapan

nisbi 70%. Seperti halnya S. oryzae, siklus S. zeamais bergantung pada jenis dan kualitas biji yang dirusak (Morallo dan Rejesus 2001). Imago keluar dengan membuat lubang bulat pada biji jagung, kemudian memulai proses hidup baru di luar biji.

Imago betina dapat bertahan hidup tanpa makanan selama 36 hari, sedangkan jika ada makanan dapat bertahan selama 58 bulan (Kalshoven 1981). Fekunditas S. zeamais 1,5 kali lipat dibandingkan S. oryzae. Imago S. zeamais terbang ke arah sumber makanan. Di lapangan, banyak ditemukan imago pada pertanaman jagung pada fase pematangan buah.

Imago S. zeamais mampu terbang lebih jauh dibandingkan dengan S. oryzae (Subramanyam dan Hangstrum 1996; CABI 2004). S. zeamais dapat terbang hingga 400 m. Imago S. zeamais mempunyai sepasang antena yang bentuknya merupakan gada bersiku (genikulat) (Gambar 8). Imago betina yang baru keluar Gambar 7. Larva dan pupa S. zeamais di dalam biji jagung (Morallo

(7)

feruloyldan p-coummaroyl arabinoxylaus, yang menghasilkan hubungan silang secara mekanik pada dinding sel, sehingga dimer-dimer ini menyebabkan jaringan mengeras dan membatasi kemampuan biodegradasi dinding sel oleh serangga. Jagung hibrida yang resisten diduga mempunyai kandungan asam fenolat yang lebih tinggi yang berpengaruh terhadap daya makan dan ketahanan hidup S. zeamais. Dengan demikian, skrining secara biokimia dapat digunakan sebagai langkah awal seleksi genotipe jagung untuk ketahanan terhadap S. zeamais.

Seratos et al. (1987) mengemukakan bahwa analisis dengan GS-MS menunjukkan bahwa asam ferulic dan p-coumaric merupakan senyawa fenol utama dalam ekstrak biji jagung, dan perilaku makan serangga sangat terganggu bila asam-asam fenolat tersebut ditambahkan ke dalam diet. Selanjutnya dikatakan bahwa fluorescence yang berhubungan dengan asam ferulic dan senyawa-senyawa yang berhubungan dalam biji berlokasi di dalam perikarp dan lapisan aleuron.

Suherman dan Masmawati (1987) telah menguji 256 famili hasil pembentukan varietas/galur jagung yang tahan terhadap S. zeamais dan mendapatkan 17 nomor yang dinilai unggul, yaitu mempunyai potensi hasil tinggi dan persentase kerusakan biji oleh S. zeamais rendah, yaitu kurang dari 24%. Dari 445 galur/pedigree yang diuji terhadap S. zeamais, 21 galur tidak terserang setelah infestasi dan disimpan selama dua bulan (Masmawati et al. 1997). Hasil penelitian Nonci et al. (2006) menunjukkan bahwa Srikandi Kuning memiliki persentase serangan terendah yakni 39,50%, kehilangan bobot biji 0,48 g, dan tidak ditemukan imago (F

1). Serangan tertinggi terdapat

pada GUIANIA 8765 dengan biji yang rusak 78%, kehilangan bobot biji 0,28 g, dan jumlah imago (F

1)

rata-rata 15,25 ekor. Pada Srikandi Putih, serangan terendah terdapat pada S98TLWQ (F/D)(tb) yakni 13,28%, kehilangan bobot biji 1,38 g, dan jumlah imago (F

1)

rata-rata 1 ekor. Galur yang mendapat serangan tinggi adalah MS2 dengan kerusakan 95,33%, kehilangan bobot biji 3,51 g, dan jumlah imago (F

1) rata-rata 8,75 ekor.

Teknik pengendalian yang aman, murah, dan mudah diterapkan petani adalah dengan menggunakan musuh alami, baik parasitoid, predator, maupun patogen. Namun, penelitian tentang musuh alami hama gudang S. zeamais di Indonesia dan negara lain masih sangat kurang. Li et al. (1998) melaporkan bahwa parasitoid yang efektif menekan serangan S. zeamais adalah Lariophagus distinguendus. Chaisaeng et al. (2010) melaporkan bahwa parasitoid Anisopteromalus calandrae (Howard) efektif mengen-dalikan S. zeamais jika diaplikasikan dengan jumlah yang cukup pada awal masa penyimpanan benih. Patogen Beauveria bassiana isolat ESALQ-447 efektif untuk mengendalikan S. zeamais (Rondelli et al. 2012).

Beberapa ekstrak tanaman menunjukkan toksisitas yang tinggi terhadap S. zeamais. Tandiabang et al. (2004) melaporkan bahwa dari empat jenis bahan nabati yang diuji, dua jenis efektif mematikan S. zeamais. Ekstrak daun Gambar 8. Imago Sitophilus zeamais. Foto: Nurnina Nonci.

dari biji jagung akan bergerak ke arah yang lebih tinggi dan mengeluarkan feromon seks untuk menarik imago jantan (Anonymous 2014).

Pengendalian S. zeamais

Penyimpanan biji jagung pada tempat yang higienis sangat dianjurkan untuk mengatasi serangan S. zeamais. Biji yang terinfeksi, baik biji yang baru dipanen maupun sisa panen sebelumnya dibuang.

Jenis wadah penyimpanan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan S. zeamais. Pabbage et al. (1997) melaporkan bahwa jeriken plastik merupakan wadah penyimpanan benih/biji jagung yang terbaik. Dengan menggunakan jeriken plastik, serangan S. zeamais akan berkurang hingga 0,5 ekor/200 g biji jagung. Yakubu et al. (2011) melaporkan bahwa mortalitas S. zeamais mencapai 100% dalam waktu 6 hari jika jagung disimpan dalam gudang kedap udara dengan suhu 27oC. Jika jagung

disimpan dalam gudang yang tidak kedap udara pada suhu 27oC, mortalitas S. zeamais sangat rendah, berkisar

05% dalam waktu 10 hari.

Penggunaan varietas tahan dianjurkan untuk mengendalikan S. zeamais karena varietas tahan akan memperlambat perkembangan populasi S. zeamais di dalam gudang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hydoxycinmamic acid (phenolic) berperan penting dalam ketahanan mekanis biji jagung terhadap S. zeamais dan merupakan tipe ketahanan antibiosis (Seratos et al. 1993). Classen et al. (1990) melaporkan bahwa kekerasan biji berkorelasi dengan kandungan senyawa fenol karena asam-asam fenol diesterifikasi ke bentuk karbohidrat,

(8)

Ageratum connyzoides (bandotan) dan Andropogon nardus (serai) dengan konsentrasi pengenceran 50% menyebabkan mortalitas imago masing-masing 86,70% dan 65,30% pada 24 jam setelah aplikasi. Udo (2005) menguji sejumlah tanaman dan melaporkan bahwa Afromomum melequata dan Piper guineense dapat berfungsi sebagai repellent S. zeamais. Selanjutnya Muzemu et al. (2013) menemukan bahwa Eucalyptus tereticornis sangat efektif mengendalikan S. zeamais dibandingkan Tagetes minuta dan Carica papaya. Penelitian di laboratorium pada tiga jenis tanaman, yaitu Allium sativum (bawang merah), Nicotiana tabacum (tembakau), dan Zingiber officinale (jahe) yang ditepungkan menunjukkan bahwa dengan dosis 1,5 g tepung/50 g biji, mortalitas S. zeamais pada perlakuan tepung tembakau mencapai 100%, pada tepung jahe 86,67% dan pada tepung bawang merah 90%. Tepung daun Azadirachta indica (mimba) dengan dosis 12,5%/20 g benih gandum (berat/berat) dapat mematikan 100% S. zeamais selama 48 jam (Ileke dan Oni 2011). Abu kayu dan serbuk kulit kopi juga efektif mengendalikan S. zeamais (Gemu et al. 2013). Repellent dan penghambat oviposisi yang diisolasi dari berbagai jenis tanaman dinilai lebih aman dibandingkan dengan pestisida sintetis (Upadhyay dan Ahmad 2011). Pestisida nabati ini tidak memiliki efek samping dan dapat terurai secara alami.

Insektisida berbahan aktif metil pirimifos dengan dosis 12 ml/ton jagung efektif mengendalikan S. zeamais selama 240 hari (Alleoni dan Ferreira 2006). Metil pirimifos selain efektif untuk mengendalikan S. zeamais, tidak berpengaruh negatif terhadap daya kecambah benih jagung (Pabbage et al. 1990).

STRATEGI PENGENDALIAN

Salah satu strategi pengendalian S. zeamais adalah perlakuan prapanen dengan membiarkan jagung di lapangan dengan kelobot tetap tertutup hingga kadar air 12%. Petani dianjurkan menanam jagung yang tongkolnya mempunyai kelobot yang menutup biji dengan sempurna karena serangan S. zeamais di lapangan dapat menjadi populasi awal hama bila jagung disimpan di gudang. Jagung yang disimpan dalam bentuk tongkol berkelobot lebih aman dari serangan S. zeamais dibandingkan dengan jagung yang disimpan dalam bentuk pipilan. Tandiabang et al. (1996) melaporkan bahwa kerusakan biji oleh S. zeamais pada jagung yang disimpan dalam bentuk kelobot lebih rendah dibandingkan yang disimpan dalam bentuk pipilan. Selanjutnya dikatakan bahwa umur panen jagung berpengaruh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh S. zeamais. Panen pada saat biji masak fisiologis, yang dicirikan adanya lapisan hitam pada biji, menyebabkan biji semakin keras sehingga mempersulit S. zeamais untuk meletakkan telur. Sebelum disimpan, sebaiknya jagung dikeringkan hingga kadar air 10%.

Kondisi gudang penyimpanan yang baik akan membantu menekan perkembangan S. zeamais. Pencegahan serangan S. zeamais di gudang penyimpanan dapat dilakukan dengan melakukan aerasi, yang secara nyata berpotensi sebagai teknik pencegahan S. zeamais tanpa bahan kimia. Menurut Arthur (1998) dalam CABI (2014), aerasi dalam gudang penyimpanan dapat mengurangi secara nyata populasi S. zeamais dibandingkan penyimpanan tanpa aerasi. Dianjurkan untuk mengombinasikan cara aerasi, yaitu aerasi ambien pada musim gugur dan aerasi dingin pada musim panas. Respirasi di dalam gudang menyebabkan konsentrasi O

2

menurun dan CO

2 meningkat sehingga S. zeamais mati

lemas dan mengalami dehidrasi. Selain dengan aerasi dan respirasi, fumigasi dengan ozon juga dapat mencegah perkembangan S. zeamais. Sousa et al. (2012) melaporkan bahwa ozon berpotensi sebagai fumigan alternatif dengan risiko yang rendah terhadap perkembangan resistensi S. zeamais. Ozon juga mengurangi aktivitas pergerakan S. zeamais sehingga mengurangi kesempatan hama untuk berkembang pada awal fumigasi.

Suhu gudang penyimpanan juga memengaruhi perkembangan populasi S. zeamais. Ileleji et al. (2007) melaporkan bahwa menjaga suhu gudang penyimpanan jagung > 150C dalam waktu yang lama efektif menekan

perkembangan keturunan S. zeamais.

Pembentukan varietas tahan juga merupakan salah satu strategi pengendalian S. zeamais. Hingga saat ini jumlah varietas jagung yang tahan terhadap S. zeamais masih terbatas sehingga pengujian ketahanan galur/ varietas terhadap S. zeamais perlu diteruskan.

KESIMPULAN

Hama gudang yang banyak ditemukan pada jagung adalah S. zeamais. Imago saat baru keluar berwarna kemerahan, perlahan berubah menjadi hitam, ukuran 34,5 mm, mempunyai sepasang antena dengan bentuk gada bersiku (genikulat). Imago betina meletakkan telur dengan membuat lubang pada biji, kemudian ovipositornya meletakkan satu butir lalu dilindungi dengan lapisan lilin. Telur berwarna putih bening, bentuknya lonjong, lunak dan licin, ukuran 0,7 mm x 0,3 mm. Larva terdiri dari empat instar, tidak bertungkai, panjang 1,54 mm. Pupa berkembang di dalam biji, stadia pupa 39 hari. Kerusakan akibat serangan S. zeamais pada jagung berkisar antara 30100% bergantung pada varietas, populasi S. zeamais, kadar air biji, suhu, dan kelembapan.

Hama S. zeamais dapat dikendalikan dengan cara menyimpan jagung dalam tempat yang bersih (higienis), baik di gudang maupun tempat penyimpanan lainnya, menggunakan varietas tahan, menggunakan musuh alami seperti parasitoid Lariophagus distinguendus dan Anisopteromalus calandrae, patogen Beauveria bassiana, serta insektisida nabati ekstrak daun bandotan,

(9)

serai, bawang merah, tembakau, jahe, dan mimba. Insektisida sintetis berbahan aktif metil pirimifos dapat pula diaplikasikan dengan mengikuti petunjuk penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alleoni, B. and W. Ferreira. 2006. Control of Sitophilus zeamais Mots., 1958 and Sitophilus oryzae (L.,1763) weevils (Coleoptera, Curculionidae) in stored rice grain (Oryza sativa L.) with insecticide pirimiphos methyl (Actellic 500 CE). 9th

International Working Conference on Stored Product Protection. pp. 12341241.

Anonymous. 2014. Greater rice weevil Sitophilus zeamais. http:// agspsrv34.agric.wa.gov.au/ento/pestweb/Query1_1.idc?ID=-1055010548. [9 December 2014].

Bergvinson, D. 2002. Storage pest resistance in maize. CIMMYT Maize Programs. pp. 3239.

BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Sulawesi Tengah. 2010. Budi Daya Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. 29 hlm.

CABI. 2004. Crop Protection Compendium: Module II. CAB International, Wallingfort, UK.

CABI. 2014. Sitophilus zeamais. Invasive Species Compendium. www.cabi.org. [8 December 2014].

Caliboso, F.M., P.D. Sayaboc, and M.R. Amoranto. 1985. Pest problem and use of pesticides in grain storage in the Philippines. In B.R. Champ and E. Highley (Eds.). Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. 14: 1729. Canadian Grain Commission. 2013. Maize weevil Sitophilus zeamais

Motschulsky. http://www.grainscanada.gc.ca/storage-entrepose/ pip-irp/mw-cr-eng.htm. [9 December 2014].

Chaisaeng, P., W. Chongrattanameteekulb, P. Visarathanonthc, and B. Vajarasathiarad. 2010. Laboratory studies on control of the maize weevil Sitophilus zeamais by the parasitoid Anisopteromalus calandrae. Sci. Asia 36: 6–11.

Champ, B.R. 1985. Occurrence of resistance to pesticides in grain storage pests. In B.R. Champ and E. Highley (Eds.). Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14): 229255.

Classen, D., J.T. Anarson, J.A. Seratos. J.D.H. Lambert, and C. Nozzolillo. 1990. Correlation of phenolic acid content of maize to resistance to Sitophilus zeamais, the maize weevil in CIMMYT,S collections. J. Chem. Ecol. 16(2): 301315.

Danho, M., C. Gaspar, and E. Haubruge. 2002. The impact of grain quantity on the biology of Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae): oviposition, distribution of egg, adult emergence, body weight and sex ratio. J. Stored Products Res. 38: 259266.

Gemu, M., E. Getu, T. Tadess, and A. Yosuf. 2013. Management of Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae) and Sitotroga cerealella (Oliver) (Lepidoptera: Gelechidae) using locally available inert materials in Southern Ethiopia. J. Agric. Food Sci. 1(6): 111117.

Giga, D.P. and U.W. Mazarura. 1991. Levels of resistance to the maize weevil Sitophilus zeamais Motsch in exotic, local open pollinated and hybrid maize germplasm. Insect Sci. Appl. 12 (1/2/3): 159169.

Grist, D.H. and R.A.A.W. Lever. 1969. Pest of Rice. Longman and Co. Ltd., London. p. 520.

Haines. C.P. 1980. Practical on loss assessment methods. Biotrop Second Training Course on Pest of Stored Products. Bogor. 8 pp.

Haines. CP. and R.1. Pranata. 1982. Survey of insects and arachnids associated with stored products in some parts of Java. In Teter. N.C. and A.S. Frio (Ed.), Progress in grain protection. Los Banos, Philippines, Southeast Asia Cooperative Post-Ha Postharvest Research and Development Programme, 1748. Haines, C.P. 1991. Insects and arachnids of tropical stored products:

Their biology and identification. A training manual. Natural Resources Institute, Kent, UK. 246 pp.

Halstead, D.G.H. 1959. The separation of Sitophilus oryzae (L) and S. zeamais Motschulsky (Col., Curculionidae) with a summary

of their distribution. Entomologist’s Monthly Magazine 99: 72–74.

Ileke, K.D. and M.O. Oni. 2011. Toxicity of some plant powders to maize weevil, Sitophilus zeamais (Motschulsky) [Coleoptera: Curculiondae] on stored wheat grains (Triticum aestivum). Afr. J. Agric. Res. 6(13): 30433048.

Ileleji, K.E., D.E. Maier, and C.P. Woloshuk. 2007. Evaluation of different temperature management strategies for suppression of Sitophilus zeamais (Motschulsky) in stored maize. J. Stored Products Res. 43: 480488.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.

Kartasapoetra, A.G. 1987. Hama Hasil Tanaman dalam Gudang. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 3140.

Kranz, J., H. Schumuterer, and W. Koch. 1980. Disease Pest Weed in Tropical Crop. John Wiley and Son, New York. 666 pp. Kuschel, G. 1961. On problems of synonym in the Sitophilus oryzae

complex (30th Contribution, Col. Curculionidae). Ann. Mag.

Nat. Hist. (Ser. 13) 4: 241244.

Li, R.M., M.S. Kang, O.J. Moreno, and L.M. Pollak, 1998. Genetic variability in exotic × adapted maize (Zea mays L.) germplasm for resistance to maize weevil. Plant Gen. Resources Newsl. 114: 2225.

Masmawati, O. Suherman, dan D. Baco. 1997. Ketahanan beberapa galur jagung terhadap Sitophilus zeamais. Kongres Entomologi V, Bandung, 2426 Juni 1997.

Mollasgo. A.B. 1982. The role offarmers’ center in postharvest

protection. In v. Rottger. (Ed.), Proceedings of GASGA Seminar on paddy deterioration in the humid tropics, Baguio, Philippines, 1118 October 1981. Eschborn. GTZ, 209211.

Morallo-Rejesus, B. 1975. Storage pests and their control. Proceedings of seminar on food storage and handling, Manila, April 1975, 2028.

Morallo, B.R. and R.S. Rejesus. 2001. Biology of Predominant Storage Insect Pest. Biology and Management of Stored Product and Postharvest Insect Pest. pp. 3173.

Muzemu, S., J. Chitamba, and B. Mutetwa. 2013. Evaluation of Eucalyptus tereticornis, Tagetes minuta, and Carica papaya as stored maize grain protectants against Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Agric. Forestry Fish. 2(5): 196201.

Nonci, N., M.H.G. Yasin, dan Suarni. 2005. Interaksi populasi jagung sintetik dengan serangan Sitophilus sp. Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae). Makalah disampaikan pada International Conference of Crop Security, Universitas Brawijaya, Malang, 2022 September 2005. 25 hlm.

Nonci, N., I.M.J. Mejaya, dan A.H. Talanca. 2006. Ketahanan jagung QPM terhadap bubuk jagung Sitophilus sp. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Palu, 56 Desember 2006.

Nonci, N., A. Muis, dan M.H.G. Yasin. 2008. Perakitan varietas jagung QPM tahan hama bubuk jagung S. zeamais. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(3): 171178. Pabbage, M.S., S. Senong, dan D. Baco. 1990. Pengaruh wadah

penyimpanan benih jagung dan pirimifos metil terhadap populasi Sitophilus zeamais dan viabilitas benih. Agrikam 5(2): 6270.

(10)

Pabbage, M.S., Maswati, dan S. Mas,ud. 1997. Kumbang bubuk

Sitophilus sp. (Coleoptera: Curculionidae) dan strategi pengendaliannya. Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, 11 12 November 1997. 11 hlm.

Parker, S. 2014. Life cycle of the maize weevil Sitophilus zeamais. www.Parker.com/about_5371323_life-maize-weevil-sitophilus-zeamais.html. [2 December 2014].

Peadt, R.C. 1978. Fundamental of Applied Entomology. 3rd Edition. Mac Millan Publ, Co. Inc., New York. pp. 591595. Phillips, T.W. 1971. An additional aedeagal character for

distinguishing Sitophilus zeamais Motsc. from Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae). J. Stored Prod. Res. 6: 351 352.

Pranata, R.I. 1982. Masalah susut akibat serangga pascapanen. (Coaching Pengendalian Hama Gudang). Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 8.

Pranata. R.I. 1985. Mengamankan hasil panen dari serangga hama. Balai Informasi Pertanian Ciawi. hlm. 42.

Prevett, P.F. 1975. Report on a visit to Indonesia, Feb.  Mar. 1975. Tropical Products Institute, Report R440. 31 p. Rondelli, V.M., J.R. de Carvalho, D. Pratissoli, R.A. Polanczyk,

J.R. de Conte, C. de Alencar, F.D. Zinger, and S.M.A. Pereira. 2012. Selection of Beauveria bassiana (Bals) Vuill. isolates for controlling Sitophilus zeamais (Mots.) (Coleoptera: Curculinoidae). IDESIA (Chile) 30(3): 97102.

Saenong, M.S. 1996. Pengaruh padat populasi serangga Sitophilus zeamais dan bentuk biji terhadap tingkat kerusakan benih jagung di laboratorium. Seminar mingguan Balitjas, Sabtu 16November

1996.

Santhoy, O. and B. Morallo-Rejesus. 1975. The development rate, body weight and reproductive capacity of Sitophilus zeamais Motsch. reared on 3 natural hosts. Philippine Entomologist, 2: 311321.

Semple, R.L. 1985. Problems relating to pest control and use of pesticides in grain storage: the current situation in ASEAN and future requirements. In B.R. Champ and E. Highley (Eds.). Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14): 4575.

Seratos, J.A., J.T. Arnason, C. Nozzolillo, J.D.H. Lambert, B.J.R. Philogene, G. Fulcher, K. Davidzon, L. Peacock, J. Atkinson, and P. Morand. 1987. The factors contributing to resistance of exotic maize populations to maize weevil Sitophilus zeamais. J. Chem. Ecol. 13: 751726.

Seratos, J.A., A.B. Labra, J.A. Mihm, L. Pietrzak, and Anarson. 1993. Generation means analysis of phenolic compounds in maize grain and susceptibility to maize weevil Sitophilus zeamais infestation. Corn J. Bot. 71: 11761181.

Sidik, M., M. Halid, and Pranata. 1985. Pest problems and use of pesticides in grain storage in Indonesia. In B.R. Champ and E. Higley (Eds.). Pesticide and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14): 3743.

Sosromarsono, S., S. Wardoyo, S. Adisoemarto, dan Y.R. Suhardjono. 2007. Nama Umum Serangga. Perhimpunan Entomologi Indonesia. 55 hlm.

Sousa, A.H., L.R.A. Faroni, G.N. Silva, and R.N.C. Guedes. 2012. Ozone toxicity and walking response of populations of Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae). J. Econ. Entomol. 105(6): 21872195.

Subramanyam, B. and D.W. Hangstrum. 1996. Integrated Managament of Insect in Stored Product. US Department of Agriculture. Marcel Dekker Inc., Manhattan.

Suherman, O. dan Masmawati. 1987. Perbaikan populasi jagung. Seleksi famili untuk potensi hasil dan ketahanan terhadap kumbang bubuk (Sitophilus zeamais). Seminar mingguan Balitjas, 26 April 1997.

Sukprakarn, E. and P. Tauthong. 1981. Stored products insect research in Thailand. In Pests of stored products. Bogor, Indonesia, BIOTROP Special Publication No. 9: 7786. Suprakorn, C. 1985. Pest problem and use of pesticide in grain

storage in Thailand. In B.R. Champ and E. Highley (Eds.). Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14): 3136.

Surtikanti. 2004. Kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) dan strategi pengendaliannya. J. Litbang Pert. 23(4): 123129.

Tandiabang, J., S. Mas,ud, dan M.S. Pabbage. 1996. Kehilangan hasil

jagung oleh kumbang bubuk S. zeamais dengan penundaan panen. Seminar mingguan Balitjas, 16 November 1996.

Tandiabang, J. 1998. Kehilangan hasil jagung oleh kumbang bubuk Sitophilus zeamais pada berbagai umur simpan dan wadah penyimpanan. Laporan Hasil Penelitian Hama dan Penyakit 1998. Balai Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Maros. Tandiabang, J., Masmawati, M. Yasin, dan M.S. Saenong. 2004.

Pengendalian hama kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motch secara hayati. Laporan hasil penelitian hama dan penyakit. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. hlm. 14. Teetes, G.L., K.V. Seshu Reddy, K. Leusschner, and L.R. House.

1983. Sorghum Insect Identification Handbook. ICRISAT, Pantancheru, India. 123 pp.

Upadhyay, R.K. and S. Ahmad. 2011. Management strategies for control of stored grain insect pests in farmer stores and public ware houses. World J. Agric. Sci. 7(7): 527549.

Udo, I.O. 2005. Evaluation of the potential of some local species as stored grain protectants against the maize weevil Sitophilus zeamais Mots (Coleoptera: Curculionidae). J. Appl. Sci. Environ. Mgt. 9(1): 165168.

Yakubu, A., C.J. Bern, J.R. Coats, and T.B. Bailey. 2011. Hermetic on-farm storage for maize weevil control in East Africa. Am. J. Agric. Res. 6(14): 33113319.

Gambar

Tabel 1.  Sitophilus zeamais, inang, dan penyebarannya.
Gambar  1.    Alat  kelamin  jantan  (aedeagus)  (kiri)  dan  betina  (“Y” shape)  (kanan) hama  bubuk  jagung
Tabel  2. Jumlah lubang gerekan turunan F 1 S. zeamais, persentase biji rusak, kehilangan bobot biji, penyimpanan 3
Gambar  6.   Korelasi  antara  kerusakan  biji  dengan  progeni  F 1   pada 255  galur  jagung  S1  Srikandi  Putih-1

Referensi

Dokumen terkait

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut untuk media penetasan hewan uji, etil asetat teknis untuk pelarut polar, kertas saring untuk menyaring

Pertumbuhan organisasi serikat buruh ini diikuti pula oleh surat kabar dari kelompok organisasi, dan sastra sebagai alat untuk menyampaikan pesan (propaganda)

Buku karya Bung Hatta tersebut dapat dibaca di Perpustakaan Yayasan Idayu dan di Perpustakaan Yayasan Hatta (Hatta Corner UGM). Buku yang diterbitkan kemudian

Selain itu, semua karakteristik santri putri, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis rambut, panjang rambut, serta frekuensi keramas tidak berhubungan dengan

Hasil yang di harapkan penelitian ini adalah berupa sistem pendukung keputusan pemilihan bidan delima pada wilayah cileungsi untuk memudahkan user di wilayah cileungsi

Satuan medan yang termasuk kelas III (sedang) adalah satuan medan F2IGrk, F2IGrck dan F3IGrk. Faktor yang menyebabkan jalur kereta api antara Gundih-Karangsono

(2009) menyatakan bahwa pemeliharaan ayam broiler dalam kandang dengan kepadatan yang tinggi dan sirkulasi udara yang kurang baik dapat menyebabkan ayam

Pertempuran Laut Karang atau Laut Koral merupakan pertempuran laut besar di medan Perang Pasifik yang berlangsung pada 4 Mei sampai 8 Mei 1942 antara Angkatan Laut