BAB II
TINJAUAN PliSTAKA
A.Perilaku Konsumtif
1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Perilaku menipakan sikap yang diekspresikan dan dipengaruhi oleh keadaan sekitamya (Myers dalam Walgito, 1991). Perilaku bersifat deferensial yaitu suatu stimulus yang sama belum tentu menimbulkan bentuk reaksi yang sama dari masing-masing individu dan sebaliknya, maka perilaku tidak dapat diprediksi dengan kepastian tinggi (Azwar, 1988). Jadi perilaku mempakan sikap yang diekspresikan, timbul sebagai respon atas stimulus yang dipenganihi oleh pengalaman dimasa lalu dan lingkungan sekitamya.
Perilaku konsumtif dapat didefinisikan sebagai kecendemngan manusia untuk melakukan konsumsi tiada batas, lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan pada saat memiliki kelebihan uang sehingga menyebabkan orang mengeluarkan uang untuk inacam-macam kebutuhan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pokoknya sendiri (YLKI,1998). Selain itu, perilaku konsumtif juga mempunyai pengertian yaitu suatu tindakan konsumen yang didominasi manfaat hedonik (hedonic benefit) yang memandang objek konsumsi secara simbolis, berkenaan dengan respon emosi, kesenangan indera, lamunan, atau pertimbangan estetika (Mowen,1987). Definisi lain tentang perilaku konsumtif menunit Lubis (dalam Rosyid dan Lina,1997) adalah suatu perilaku membeli yang tidak lagi
didasarkan pada pertimbangan yang rasional melainkan karena adanya keinginan
yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional.
Pengertian lam mengenai perilaku konsumtif menunit Badudu & Zain (1994) adalah suatu perilaku yang menunjuk pada sesuatu yang bersifat konsumsi. Suprana (1991) menjabarkan pengertian perilaku konsumtif sebagai suatu gejala konsumsi yang berlebihan dalam membeli sesuatu. Selain itu, perilaku konsumtif dapat pula didefinisikan sebagai perilaku yang didasari oleh keinginan untuk membeli barang-barang yang kurang sesuai atau tidak diperlukan (Serviam,
1983). Menunit Wirawan (dalam Husna, 1990) seharusnya nilai (dalam uang)
seluruh perilaku konsumen tidak boleh lebih besar dari hasil kerja (upah) yang
dihasilkannya Dengan perkataan lain, nilai produksi atau pendapatan hams selalu lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan nilai konsumsinya. Jika nilai konsumsinya berkembang tents dan tidak tertahankan, maka akan timbul
kesulitan-kesulitan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan pola konsumsinya
menjadi konsumtif. Dengan demikian, konsumtivisme dapat menyebabkan orang
selalu merasa tidak puas dan ingin lebih, tanpa peduli bagaimana cara
mendapatkannya (Serviam dalam Husna, 1990). Perasaan tidak puas ini
disebabkan perilaku tersebut tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang
mempunyai batas, akan tetapi hanya untuk memenuhi keinginan yang tidak
terbatas. Apabila satu keinginan terpenuhi, maka akan menyusul lagi keinginan
lain yang tingkat tuntutannya lebih tinggi. Perilaku konsumtif juga mengakibatkan
pemborosan (Lamarto, dalam Santosa, 1988).
12
merupakan perilaku membeli yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang
rasional tetapi pada keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional
lagi.Perilaku konsumtif mengarah pada pola hidup pemborosan yang selalu
disertai perasaan tidak puas bila barang-barang yang diinginkan belum dimiliki.
2. Aspek-aspek Perilaku KonsumtifBeberapa pengertian tentang perilaku konsumtif yang didefinisikan oleh
beberapa tokoh diatas mengandung aspek-aspek yang terkandung didalamnva.
Aspek-aspek perilaku konsumtif tersebut antara lain:
a. Melakukan
konsumsi
tiada
batas,
seseorang
yang
mempunyai
kecenderungan berperilaku kosumtif lebih mementingkan keinginan
daripada kebutuhan sehingga menyebabkan orang mengeluarkan uang
untuk macam-macam kebutuhan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pokoknya sendiri (YLKI, 1988)
b. Didominasi oleh manfaat hedonik, perilaku konsumtif dapat terjadi apabila
seseorang memandang objek konsumsi secara simbolis atau pertimbangan
estetika (Mowen, 1987)
c. Pembelian yang tidak rasional, perilaku membeli yang hanya didasarkan
pada emosi dan tidak menggunakan logika akan menyebabkan seseorang
berperilaku konsumtif, demikian menunit Lubis (dalam Rosyid & Lina,
1997)
d. Adanya perasaan tidak puas, apabila satu keinginan membeli barang sudah
terpenuhi, maka akan menyusul lagi keinginan lain yang tingkat
tuntutannya lebih tinggi. Apabila seseorang tersebut tidak dapat
membendung keinginan-keinginan tersebut, maka pola konsumsinya
menjadi konsumtif (Serviam dalam Husna, 1990)
e. Pemborosan, untuk memenuhi keinginan yang semakin tidak terbatas,
seseorang akan menghabiskan uang sehingga pengeluaran cendening lebih
besar dari pendapatan (Lamarto dalam Santosa, 1988)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila
seseorang melakukan konsumsi tiada batas, didominasi oleh manfaat hedonik,
melakukan pembelian secara tidak rasional, selalu merasa tidak puas, serta
bersikap boros mempakan indikasi bahwa seseorang tersebut berperilaku
konsumtif.
3. Faktor-faktor yang mempenganihi Perilaku Konsumtif
Faktor-faktor yang dapat mempenganihi perilaku konsumtif berkaitan
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Engel, dkk (1994)
mengatakan bahwa pada penelitian tentang perilaku konsumtif dapat digunakan
pendekatan teori penlaku konsumen. Selanjutnya dismi akan diuraikan mengenai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen, antara lain:
a. Faktor Internal
Faktor internal menipakan faktor yang berasal dan dalam diri individu
atau konsumen itu sendiri dan faktor-faktor internal berbeda antara satu individu
dengan individu lamnya. Beberapa faktor internal antara lam terdiri dari:
D.Motivasi dan keterlibatan. Motivasi berasal dan kata motif menipakan
14
bertmdak atau berbuat (Walgito, 1989). Penlaku manusia ditimbulkan atau
dimulai dengan adanya motif. Motivasi mempakan dasar pembelian seseorang
terhadap suatu barang atau produk atau pada penjual tertentu (Dharmmesta &
Handoko, 2000). Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan,
atau dengan kata lain, keterlibatan merupakan minat yang ditumbuhkan oleh
rangsang dalam situasi khusus (Engel, 1994)
2).Kepnbadian dan Konsep Diri. Kepnbadian ikut berpenganih terhadap penlaku
pembelian seseorang. Konsep dm menipakan pendekatan untuk menggambarkan
hubungan antara konsep din konsumen dengan image merek dan image penjual,
demikian yang dijelaskan oleh Dhannmesta dan Handoko (dalam Purwanti, 2002)
3)Sumber daya konsumen. Setiap individu membawa tiga sumber daya ke dalam
setiap situasi pengambilan keputusan, yaitu waktu, uang dan perhatian yang
menuntut seseorang untuk melakukan alokasi yang tepat (Engel, dkk., 1994)
4).Pengamatan dan belajar. Pengamatan adalah suatu proses pada saat konsumen
menyadan dan mengmterpretasikan aspek lingkungan. Terjadmya pengamatan mi
dipengamhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap dari individu (Rismiati &
Suratno, 2001). Proses pengamatan meliputi selunih variabel pemasaran
penisahaan, sehingga konsumen akan mempunyai persepsi produk, harga,
periklanan dan penjual dan kegiatan pemasaran penisahaan. Perbedaan pandangan
konsumen akan menciptakan proses pengamatan dalam penlaku pembelian yang
lain pula (Dharmmesta &Handoko, 2000). Proses pembelian yang dilakukan oleh
konsumen mempakan sebuah proses belajar, hal ini sebagai bagian dari kehidupan
15
proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen mgin menanggapi
dan memperoleh suatu kepuasan (Rismiati &Suratno, 2001)
b.Faktor Eksternal
Penlaku konsumen sangat dipengamhi oleh berbagai lapisan masyarakat
atau lingkungan sekitar tempat individu tersebut dilahirkan dan dibesarkan.
Individu yang berasal dari lingkungan yang berbeda akan mempunyai penilaian,
kebutuhan, pendapat, dan selera yang berbeda-beda pula (Swastha & Handoko,
1987). Faktor-faktor eksternal atau yang berasal dari luar atau lingkungan yang
mempenganihi perilaku konsumen meliputi:
l)Budaya. Kebudayaan menunit Sulaeman (1995) adalah aktivitas manusia yang
saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil
karya manusia untuk mencapai tujuan. Kebudayaan adalah keselumhan dari
kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan atau nonna,
yang hams didapatkannya dengan belajar yang tersusun dalam kehidupan
masyarakat. (Kuntjaraningrat dalam Pasha,dkk.,2000). Defimsi lam tentang
kebudayaan dijelaskan oleh Stanton (dalam Dharmmesta & Handoko, 2000)
bahwa kebudayaan mempakan symbol dan fakta yang komplek, yang diciptakan
oleh manusia, ditumnkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur
perilaku manusia dalam masyarakat yang ada. Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa penlaku manusia sangat dipengamhi oleh kebudayaan atau
peradaban yang ada, dan penganihnya selalu bembah sesuai dengan kemajuan
16
2)Kelas Sosial.Menunit Engel,.dkk(1994), kelas sosial adalah pembagian di dalam
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat dan
tingkah laku yang sempa. Ukuran atau cnteria yang biasanya dipakai untuk
menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas
tertentu antara lam menunit kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu
pengetaiiuan. Engel menambahkan baliwa status kelas sosial sering mengliasilkan
bentuk-bentuk perilaku konsumen yang berbeda-beda, misalnya merek mobil
yang dikendarai atau pakaian yang dikenakan. Kelas sosial juga menunjukkan
pemilihan produk dan merek tertentu dalam bidang-bidang seperti peralatan
rumah tangga, pakaian, aktivitas untuk mengisi waktu luang, dan mobil.(Tunggal,
2002). Moschis dan Churchill (dalam Husna, 1990) menjelaskan bahwa ada
korelasi yang erat antara umur, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi terhadap
perilaku konsumen.
3)Keluarga.Unit pengambilan keputusan utama dengan pola peranan dan fungsi
yang berbeda-beda adalah keluarga. Sumber yang mempenganihi pembelian juga
berbeda, tergantung jenis barang yang akan dibeli. Misalnya anak-anak
mempenganihi pembelian kue, kembang gula dan mainan ( Ward & Wackman
dalam Anastasi, 1993). Diantara anggota keluarga, ibu nimah tangga adalah
pembeli utama keluarga dan yang berfungsi sebagai pemegang dan pengatur uang
dalam keluarga.
4)Situasi. Pengamh situasi ini bisa dipandang sebagai pengamh yang timbul dari
faktor khusus, dalam waktu dan tempat yang spesifik serta lepas dari karakteristik
17
5)Kelompok Acuan atau Kelompok Referensi.Bearden dan Etzel (dalam
Engel, 1994) mendefinisikan kelompok acuan sebagai individu atau kelompok
individu yang mempengaruhi secara bermakna pada perilaku individu dan
memberikan standar (nonna) dan nilai tertentu yang dapat menjadi perspektif
penentu tentang bagaimana individu yang ada di dalam kelompok tersebut
berpikir dan berperilaku tennasuk pula proses berpikir pada keputusan pembelian
dan perilaku konsumen.
Tiga bentuk pengamh kelompok acuan adalah sebagai berikut:
(a)Penganih Utilitarian atau Normatif. Kepatuhan normatif ada karena
seseorang atau individu mengusahakan suatu penyamaan atau keseragaman
perilaku (konformitas) dimana simbol penghargaan atau persetujuan dapat
memberikan ganjaran dan insentif sehingga mengukuhkan perilaku dan
mendorong pengulangan (Homans dalam Engel, 1994). Tokoh lain yaitu
Bearden dan Etzel juga menambahkan baliwa tekanan konformitas
benar-benar menimbulkan dampak pada keputusan pembelian, khususnya pada
produk yang mencolok dalam pembelian dan pemakaian, serta ketika
penerimaan sosial kelompok mempakan motivator yang kuat. (dalam Engel,
1994)
(b)Pengaruli Nilai Ekspresif. Kelompok acuan juga dapat melaksanakan fungsi
nilai ekspresif dimana suatu kebutuhan akan hubungan psikologis dengan
suatu kelompok tampak jelas dengan penerimaan nonna, nilai atau perilaku
kelompok tersebut dan seseorang bemsaha membuat respon dalam bentuk
penyesuaian diri pada kelompok tersebut meskipun mungkin tidak ada
motivasi untuk menjadi anggota kelompok tersebut, tetapi hasil yang
dikehendaki adalah menaikkan citra di mata orang lain (Engel, 1994)(c)Pengamh Informasi. Menunit Burnkrant dan Cousmeau (dalam Engel,
1994), pengamh infonnasi dapat mulai masuk pada seseorang ketika
seseorang tersebut menerima opini orang lain atau kelompok acuannya
sewaktu memberikan bukti nyata yang dapat dipercaya. Seseorang atau
konsumen merasa pemakaian atau rekomendasi dan orang lam atau kelompok
acuannya sebagai hal yang bijaksana dan absah.
c. Proses-proses psikologis
Proses psikologis menipakan suatu proses yang terjadi dalam diri
individu,yang berpenganih terhadap perilaku membeli. Proses psikologis ini
meliputi:
1).Pengolahan infonnasi, komunikasi adalah kegiatan inti pemasaran. Penelitian
tentang pengolahan informasi menyampaikan cara-cara dimana informasi
ditransfonnasikan,
dikurangi,
dirinci,
disimpan,
didapatkan
kembali
dan
digunakan (Engel dkk., 1994)
2) Pembelajaran, menipakan proses dimana pengalaman menyebabkan pembahan
dalam pengetahuan, sikap atau perilaku (Engel dkk., 1994)
3) Perubahan sikap dan perilaku, mempakan tugas paling mendasar yang dihadapi
oleh penisahaan, dalam usahanya memodifikasi atau mengukuhkan cara
konsumen berpikir, merasa, dan bertindak di dalam pasar (Engel dkk., 1994)
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk berperilaku konsumtif, yaitu faktor internal yang
terdiri dari motivasi dan keterlibatan, kepribadian dan konsep diri, pengamtan dan
belajar, serta sumber daya konsumen. Faktor eksternal meliputi budaya, kelas
sosial, keluarga, situasi dan kelompok acuan atau kelompok referensi, sedangkan
proses psikologis mencakup pengolahan infonnasi, pembelajaran serta pembahan
sikap dan perilaku.
4. Teori-teori Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen dapat diartikan sebagai tindakan yang langsung terlibat
dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa tennasuk
proses
keputusan
yang
mendahului
atau
menyusuli
tindakan
tersebut
(Engel, 1994). Menunit Engel, dalam proses memutuskan membeli suatu produk
seseorang dipengamhi dan dimotivasi oleh berbagai faktor yaitu: pengenalan
kebutuhan, pencarian infonnasi tentang produk tersebut, evaluasi alternatif apakah
produk yang dipilih sesuai dengan manfaat yang diharapkan, proses pembelian
dan hasil yang mengarah pada pengevaluasian produk setelah digunakan.
Beberapa teori mengenai perilaku konsumen, antara lain:
a.Teori Psikologis
Teori ini mendasarkan pada faktor-faktor psikologis seseorang yang selalu
dipengaruhi oleh kekuatan lingkungan dimana manusia hidup dan menetap pada
saat ini, waktu silam, maupun antisipasinya di waktu mendatang (Tunggal,2002)20
Teori ini disebut juga teori Psikologi Sosial yang menitikberatkan pada hubungan dan pengamh individu yang dikaitkan dengan perilaku mereka, demikian menunit Thorstein Veblen (dalam Dharmmesta dan Handoko,2000). c. Teori Antropologis
Koentjoroningrat (dalam Pasha, dkk,2000) menyebutkan bahwa niang lingkup perilaku membeli seseorang bukan hanya dipengamhi oleh kelompok tertentu saja tetapi lebih luas lagi yaitu kebudayaan (culture), subculture dan
kelas-kelas sosial.
Ketiga teori yang terdiri dari teori psikologis, teori sosiologis, serta teori antropologis mendasari perilaku seseorang dalam keputusan pembelian suatu barang atau produk, karena dalam melakukan pembelian suatu barang seseorang sangat dipengamhi oleh kekuatan lingkungan dimana seseorang tersebut hidup dan menetap, berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sosialnya, serta kebudayaan yang tenis berubah dari waktu ke waktu sesuai perKemuangan zainan.
5. Konsumtivisme pada Ibu Rumah Tangga
Konsumtivisme sering didefinisikan sebagai kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan pada segala hal yang dianggap paling mahal dan kenyamanan fisik yang sebesar-besarnya ( Dahlan dalam Husna, 1990). Definisi Grinder (1978) menyebutkan bahwa konsumtivisme menipakan pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata. Swastha & Handoko (1987) menjelaskan bahwa ibu
21
rumah tangga sebagai salah satu kelompok konsumen mempunyai peran penting dalam proses pembelian suatu barang. ibu rumah tangga adalah pembeli utama bagi keluarga. Biasanya ibu rumah tangga yang memegang uang dan mengatur pengeluaran sekaligus menipakan agen pembelian. Seorang ibu nimah tangga tidak hanya menentukan dan membeli barang-barang yang dibutuhkan keluarga sehari-hari, tetapi juga barang-barang yang dibutuhkan keluarga.
Konsumtivisme identik dengan ibu nimah tangga yang notabene wanita. Kartono (1986) mengemukakan bahwa perbedaan secara psikologis antara pria dan wanita terletak pada sifat emosionalitas wanita dan aktifitas dari fungsi kejiwaan. Emosionalitas wanita lebih kuat dan lebih tinggi daripada pria, sehingga nilai perasaan wanita lebih lama mampenganihi stniktur kepribadiannya bila dibandingkan dengan nilai perasaan pria. W^anita sering bertindak secara emosional dalam pengambilan keputusan membeli suatu produk tanpa didasarkan perencanaan dan kebutuhan, melainkan hanya karena suatu pemuasan, pemenuhan Keinginan paua suatu prouiiK yang uianggap menank, keinudian melakukan pembelian dengan tidak mempertimbangkan sisi keuangan (Mowen dalam Purwanti,2002)
B.Konformitas Sosial
1. Pengertian Konformitas Sosial
Konformitas mempakan bentuk perilaku seseorang yang disebabkan oleh pengamh sosial. Seseorang berperilaku konform dalam rangka memenuhi harapan-harapan kelompoknya dan agar tidak dianggap sebagai orang yang
??
menyimpang. Konformitas adalah bentuk penyesuaian terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan dari kelompok tersebut untuk menyesuaikan meskipun tuntutan tersebut tidak terbuka (Baron dan Byrne dalam Sidqon,1996). Konfonnitas merupakan salah satu akibat dari pengamh sosial yang terjadi ketika penilaian, opini, maupun sikap seseorang berubah karena dihadapkan pada opini, penilaian dan sikap orang atau kelompok lain.( De Montrollin dalam Hewstone dkk, 1996).
Defmisi lain mengenai konfonnitas juga dikemukakan oleh Klopf (dalam Indrawati,1996) yang mengartikan konformitas sebagai tindakan sesuai dengan nonna kelompok agar tercipta kehannonisan dan kesepakatan dengan anggota kelompok lainnya. Pada esensinya, konfonnitas terjadi akibat tekanan kelompok yang menyebabkan pembahan perilaku atau keyakinan sebagai akibat tekanan kelompok yang nyata maupun tidak nyata (Kiesler & Kiesler dalam Riyadl,1993). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Stephan & Stephan (1985) yang
menueiinisiKan Konionmtas seuagai periiuanan peniaxu uan Kepercayaan seuagai
akibat dari tekanan kelompok baik nyata maupun tidak nyata. Aronson (dalam Dahlan,1982) mengemukakan bahwa konformitas adalah suatu pembahan dalam perilaku atau keyakinan seseorang akibat tekanan yang bersifat nyata atau imajinatif dari seseorang atau sekelompok orang sehingga seseorang mempunyai kecenderungan untuk merubah persepsi, opini, dan perilaku agar sama dengan kelompok.(Deutsch & Gerard dalam Brehm & Kassin,1993) bahkan seseorang tersebut juga menerima dan melakukan apa yang telah menjadi standar norma yang dimiliki oleh kelompok (Fuhrmann,1990).
23
Krech (dalam Simamora, 1993) mendefmisikan konformitas adalah dipengamhi perilaku atau tindakan seseorang oleh tekanan kelompok yang timbul karena konflik antara pendapatnya dengan pendapat kelompok. Dengan kata lain konfonnitas adalali tekanan dari kelompok yang mengakibatkan terjadinya
penyesuaian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Asch (dalam Engel. 1990) yang menemukan bahwa sebenamya subjek mengalami tekanan yang cukup besar meskipun tekanan tersebut tidak terlihat. Hasil eksperimen Asch juga mengatakan bahwa tekanan kelompok akan membuat seseorang menjadi konfonnis dengan norma kelompok. Tidak semua konfonnitas mempakan konfonnitas sesungguhnya. (Krech, dalam Indrawati,1996) Konformitas bisa disebut konformitas yang sesungguhnya bila individu setuju dengan kelompok, baik dalam dirinya maupun yang terihat, berkenaan dengan perilaku atau keyakinan yang disetujui. Bila individu tampaknya saja setuju dengan kelompok tetapi dalam hati tidak setuju disebut "expedient conformity'\
rwia u\,uud|ja vaia vcuig uuutua uaiain pvngguiiaaii Ionian ivvjiiivjiiiiiiaa
menunit (Mills, dalam Dahlan,1982):
a. Perilaku konfonnitas sebagai ciri kepribadian yang ajeg. Asurnsi yang mendasari pengertian ini adalah ada sejumlah orang yang konsisten berperilaku konfonn lebih daripada orang lain, tanpa memperdulikan variabel-variabel lainnya yang berkaitan seperti ke-dwiartian (ambiguity) stimulus dan ukuran kelompok.
b. Perilaku konfonnitas sebagai pembahan kognitif dan sikap yang diakibatkan oleh sejumlah tekanan kelompok yang sifatnya nyata maupun
24
tidak nyata. Dalam hal ini perilaku Konformitas diartikan sebagai penerimaan pribadi atau pembahan sikap atau internalisasi.
c. Perilaku konformitas dianggap sebagai kebersamaan dengan kelompok tanpa memperdulikan anggota kelompok lainnya.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Sheriff (dalam Hewstone dkk, 1996) menunjukkan ketika seseorang dihadapkan pada stimulus yang ambiguous dan tidak berstniktur, orang tersebut jarang membangun sudut pandang sendiri yang stabil dalam menilai stimulus tersebut. Begitu pula ketika pandangannya tersebut dihadapkan dengan pandangan oranng lain, maka pandangan tersebut akan segera dirubah untuk disesuaikan dengan pandangan orang lain tersebut. Dari penelitian tersebut terlihat ketika seseorang diharapkan memberikan sutu penilaian terhadap suatu stimulus dihadapan sekelompok orang, maka orang tersebut akan memiliki dua kecendemngan, yaitu kecenderungan untuk benar dan ingin membuat suatu kesan yang baik pada kelompok. Kecenderungan untuk benar dapat diperoleh dari apa yang secara iisik teninat oien inereKa uan uan apa yang uikatakan oleh mereka, sedangkan kecendemngan untuk disukai atau membuat kesan yang lebih baik lebih dipengamhi oleh pengamh normatif kelompok.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang konformitas, dapat disimpulkan bahwa konfonnitas sosial adalah pembahan persepsi, keyakinan dan perilaku individu sebagai akibat dari tuntutan maupun tekanan yang bersifat nyata maupun imajinatif dari individu lain atau kelompok sosial.
25
2. Aspek-aspek Konformitas Sosial
Beberapa aspek konfonnitas sosial menunit Worchel & Cooper (dalam IndrawatiJ 996) yaitu:
a. Nonnatif, yaitu pengharapan yang menyebabkan seseorang berperilaku konform karena didasarkan pada keinginan untuk dapat diterima oleh kelompok. b. Infonnasional, yaitu pengamh yang menyebabkan seseorang berperilaku konform karena didasarkan pada keinginan dan kebutuhan untuk memperoleh infonnasi yang benar dan akurat tentang realitas dari orang lain.
c.Identifkasi, yaitu menim perilaku orang lain yang dianggap penting dengan
maksud mempertahankan hubungan.
Dari beberapa aspek tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai tipe Compliance akan setuju atau sepakat dengan pendapat kelompok apabila berada di tengah-tengan kelompoknya, Akan tetapi apabila berada diluar kelompoknya maka ia akan bemsaha mengembangkan pendapatnya
senuin. oeseorang yang mempunyai tipe ncceptance axan ucnar-ucnar
menyamakan diri dengan kelompoknya baik ketika sedang berada ditengah-tengah kelompok maupun ketika berada diluar kelompok. Aspek ketiga dari konformitas selain Compliance dan Acceptance yaitu Identification. Seseorang yang mempunyai tipe ini akan menim perilaku individu lain yang dianggap penting dengan maksud untuk mempertahankan hubungan. Konfonnitas tipe ini hanya akan bertahan selama seseorang masih memandang bahwa hubungan itu berharga dan bernilai penting baginya.
26
C. Hubungan Konformitas Sosial dengan Perilaku Konsumtif pada Ibu
Rumah Tangga
Ams komunikasi yang cepat dan gencarnya infonnasi mengenai produk yang semakin variatif yang dilakukan oleh para produsen dapat mempengamhi seseorang untuk berperilaku konsumtif, yaitu perilaku membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan disertai perasaan tidak puas apabila barang-barang yang diinginkan belum dimiliki. Derasnya arus konsumtivisme telah melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, tennasuk ibu rumah tangga. Dalam perannya sebagai agen pembelian dalam sebuah keluarga, ibu rumah tangga seringkali melakukan pembelian yang tidak didasari oleh rasionya dan tidak mempertimbangkan sisi keuangan yang mengarah pada perilaku konsumtif
Perilaku konsumtif pada ibu nimah tangga tentu saja tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah kelompok acuan atau kelompok referensi yang memberikan standar (norma) atau nilai tertentu yang
ua^ai mviijaui ^ispLMii pwiiwinu iwmaiig uuguimaiiu owavxjituig jctitg uuu uiuaiain
kelompok tersebut berpikir dan berperilaku, tennasuk didalamnya yaitu keputusan membeli suatu barang atau produk. Kebutuhan untuk lebih diterima dalam kelompok sosialnya membuat para ibu nimah tangga bemsaha untuk menyesuaikan diri atau berperilaku konform dengan tujuan untuk menghindari konflik dan supaya tidak dianggap menyimpang dari kelompok tersebut. Dalam upaya menyesuaikan diri dengan kelompok sosialnya, ibu nimah tangga seringkali berperilaku konsumtif, yaitu melakukan pembelian barang-barang yang dimiliki oleh orang lain dalam kelompok tersebut supaya dapat lebih diakui keberadaan
27
dan eksistensinya. Dari sini dapat dilihat bahwa konformitas berpenganih terhadap perilaku konsumtif seseorang.
Penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara konformitas sosial dengan perilaku konsumtif pada ibu nimah tangga sepengetahuan penulis belum ada, penelitian mengenai konfonnitas atau perilaku konsumtif memang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, diantaranya Perbedaan Tingkat Konformitas ditinjau dari Gaya Hidup Remaja (Suryo, 1998), Konformitas Pubhk pada Remaja ditinjau dari Sikap Kreatif dan Jenis Kelamin (Nurwiyanti, 1999), atau Hubungan antara Harga Diri dan Kolektivitas dengan Kecendemngan Perrlaku Konsumtif Remaja (Nurul Kusuma, 2001). Mengingat penelitian tentang hubungan antara konformitas sosial dengan perilaku konsumtif pada ibu nimah tangga belum pernah dilakukan, maka perlu kiranya dilakukan penelitian untuk mengungkap ada tidaknya hubungan antara konfonnitas sosial dengan perilaku konsumtif pada ibu rumah tangga.
D. HIPOTESIS
Hipotesis yang diambil dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara konfonnitas sosial dengan perilaku konsumtif pada Ibu Rumah Tangga. Semakin tinggi konformitas sosialnya, maka semakin tinggi pula kecendemngan perilaku