LAPORAN
ANALISIS KEBIJAKAN IMPOR PRODUK TERTENTU
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
i Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Salah satu tugas pemerintah dalam bidang perdagangan adalah menjaga keseimbangan neraca perdagangan, antara lain dengan melakukan strategi
pengendalian impor. Hal tersebut merupakan bentuk “intervensi pemerintah” yang
secara sengaja dilakukan untuk mengatur masuknya barang impor ke dalam wilayah pabean Indonesia. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No.56/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka melakukan tertib impor sekaligus strategi pengamanan pasar dalam negeri.
Dalam rangka menjaga keseimbangan neraca perdagangan tersebut, maka
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri melakukan kajian terkait “Analisis
Kebijakan Impor Produk Tertentu”. Hasil analisis ini diharapkan dapat melindungi
aktivitas ekonomi di dalam negeri, baik untuk pengamanan neraca pembayaran, penghematan penggunaan devisa, maupun untuk melindungi produsen dari saingan impor yang tidak wajar dan melindungi kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk tahap pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang. Besar harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat dalam kajian ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Jakarta, September 2015
ii Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... vi BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Pertanyaan Penelitian ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 7 1.4. Sasaran Penelitian ... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1.6. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II ... 10
TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Landasan Teori ... 10
2.1.1. Hambatan Non Tarif ... 10
2.1.2. Perdagangan Internasional ... 13
2.1.3. Rangkaian Kebijakan Impor Produk Tertentu ... 15
2.1.4. Regulatory Impact Analysis ... 18
2.2. Indikator Efektivitas ... 24
2.3. Penelitian Terdahulu ... 24
BAB III ... 27
GAMBARAN UMUM KINERJA IMPOR PRODUK TERTENTU ... 27
3.1. Perkembangan Kinerja Impor Produk Tertentu ... 27
3.2. Produk Makanan dan Minuman ... 32
3.3. Produk Pakaian Jadi ... 34
3.4. Produk Elektronik ... 37
3.5. Kosmetik ... 39
3.6. Alas Kaki ... 41
iii Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3.8. Obat Tradisional & Herbal ... 46
BAB IV ... 49
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KETENTUAN IMPOR PRODUK TERTENTU ... 49
4.1. Analisis Tertib Administrasi Impor ... 49
4.2. Analisis Dukungan Kebijakan Impor Produk Tertentu Terhadap Penguatan Neraca Perdagangan ... 54
4.3. Analisis Sistem Tracking (Penelusuran) Impor ... 56
4.4. Analisis Dampak Kebijakan Terhadap Perekonomian Nasional... 61
4.5. Analisis Gugatan Negara Mitra Terkait Berlakunya Kebijakan Impor Produk Tertentu... 66
4.6. Analisis Ekonometrika ... 69
4.7. Regulatory Impact Analysis terhadap Kebijakan Impor Produk Tertentu .... 86
4.8. Hasil Temuan Lapangan ... 90
BAB V ... 101
PENUTUP ... 101
5.1. Kesimpulan ... 101
iv Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hal.
Tabel 4.1 Prosentase Antara Jumlah Verification
Request/Verification Order dengan LS Yang Ditolak (Non Negotiable LS)
50
Tabel 4.2 Data Rekapitulasi Jumlah IT-Produk Tertentu 51
Tabel 4.3 Pangsa IT-Produk Tertentu yang Dicabut Terhadap
Total IT-Produk Tertentu
52
Tabel 4.4 Indeks Produksi Industri Besar dan Sedang menurut
Kode Industri 2 Digit, 2010-2015 (2010=100)
63
Tabel 4.5 Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang
Menurut Sub Sektor, 2008-2013
64
Tabel 4.6 Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor 2010-2013 65
Tabel 4.7 Realisasi Investasi PMDN Menurut Sektor 2010-2013 65
Tabel 4.8 Hasil Uji Beda Kinerja Impor Produk Tertentu Sebelum
dan Sesudah Kebijakan
69
Tabel 4.9 Perbedaan Trend Impor Sebelum dan Sesudah
Kebijakan
70 Tabel 4.10 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Produk
Tertentu
73
Tabel 4.11 Hasil Uji Koefisien Determinasi Produk Tertentu 74
Tabel 4.11 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Produk Alas Kaki
75
Tabel 4.13 Hasil Uji Koefisien Determinasi Alas Kaki 75
Tabel 4.14 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk produk Elektronik
76
Tabel 4.15 Hasil Uji Koefisien Determinasi Elektronik 77
Tabel 4.16 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Produk Kosmetik
78
Tabel 4.17 Hasil Uji Koefisien Determinasi Kosmetik 78
Tabel 4.18 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Produk Mainan Anak-anak
79
v Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Tabel 4.20 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Komoditi Makanan dan Minuman
81
Tabel 4.21 Hasil Uji Koefisien Determinasi Makanan Minuman 81
Tabel 4.22 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Komoditi Obat Tradisional
82
Tabel 4.23 Hasil Uji Koefisien Determinasi Obat Tradisional 83
Tabel 4.24 Hasil Estimasi Regresi Berganda untuk Komoditi Pakaian Jadi
84
Tabel 4.25 Hasil Uji Koefisien Determinasi Pakaian Jadi 84
Tabel 4.26 Hasil Survei di Surabaya, Jawa Timur 91
Tabel 4.27 Hasil Survei di Medan, Sumatera Utara 92
Tabel 4.28 Pandangan Peserta pada Kegiatan Focus Group Discussion
94 Tabel 4.29 Hasil Diskusi Terbatas dengan Para Pelaku Usaha
Industri Sektor Alas Kaki, Elektronik dan Makanan Minuman
96
Tabel 4.30 Rangkumam Masukan Hasil Survey Lapang, Diskusi Terbatas, dan FGD dengan Para Pelaku Usaha Produk Tertentu
vi Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Hal.
Gambar 1.1 Perkembangan Perdagangan Non Migas Indonesia 4
Gambar 1.2 Perkembangan Impor Produk Tertentu 5
Gambar 1.3 Perkembangan Impor Produk Tertentu Menurut
Pelabuhan
5
Gambar 2.1 Klasifikasi Kebijakan Hambatan Perdagangan
Non-Tarif (NTM)
11
Gambar 2.2 Perkembangan Kebijakan Hambatan Perdagangan
Non-Tarif (NTMs) Dunia Tahun 2003-2014
12
Gambar 2.3 Proses RIA berdasarkan OECD 2008 23
Gambar 3.1 Perkembangan Impor Produk Tertentu Periode
2005-2014
27
Gambar 3.2 Perkembangan Impor Produk Tertentu Menurut
Jenis Produk
28
Gambar 3.3 Perkembangan Pangsa Impor Produk Tertentu
Menurut Jenis Produk
29
Gambar 3.4 Impor Produk Tertentu Berdasarkan Pintu Utama 30
Gambar 3.5 Impor Produk Tertentu Menurut Jenis Pintu Masuk 31
Gambar 3.6 Diskrepansi Pencatatan Impor Produk Tertentu
oleh BPS versus KSO
32
Gambar 3.7 Perkembangan Impor Makanan dan Minuman 32
Gambar 3.8 Impor Produk Makanan dan Minuman Berdasarkan
Pintu Masuk Pelabuhan
33
Gambar 3.9 Impor Produk Makanan dan Minuman Berdasarkan
Jenis Pelabuhan Masuk
33
Gambar 3.10 Diskrepansi Pencatatan Impor Produk Makanan
dan Minuman oleh BPS versus KSO
34
Gambar 3.11 Perkembangan Impor Pakaian Jadi 35
Gambar 3.12 Impor Produk Pakaian Jadi Berdasarkan Pintu
Masuk Pelabuhan
35
Gambar 3.13 Impor Produk Pakaian Jadi Berdasarkan Jenis
Pelabuhan Masuk
vii Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 3.14 Diskrepansi Pencatatan Impor Produk Pakaian Jadi
oleh BPS versus KSO
36
Gambar 3.15 Perkembangan Impor Elektronik 37
Gambar 3.16 Impor Produk Elektronik Berdasarkan Pintu Masuk
Pelabuhan
38
Gambar 3.17 Impor Produk Elektronik Berdasarkan Jenis
Pelabuhan Masuk
38
Gambar 3.18 Diskrepansi Pencatatan Impor Produk Elektronik
oleh BPS versus KSO
39
Gambar 3.19 Perkembangan Impor Kosmetik Indonesia 39
Gambar 3.20 Impor Kosmetik Berdasarkan Pintu Utama 40
Gambar 3.21 Impor Kosmetik Menurut Jenis Pintu Masuk 41
Gambar 3.22 Diskrepansi Pencatatan Impor Kosmetik oleh BPS
versus KSO
41
Gambar 3.23 Perkembangan Impor Alas Kaki Indonesia 42
Gambar 3.24 Impor Alas Kaki Berdasarkan Pintu Utama 42
Gambar 3.25 Impor Alas Kaki Menurut Jenis Pintu Masuk 43
Gambar 3.26 Diskrepansi Pencatatan Impor Alas Kaki oleh BPS
versus KSO
44
Gambar 3.27 Perkembangan Impor Mainan Anak Indonesia 44
Gambar 3.28 Impor Mainan Anak Berdasarkan Pintu Utama 45
Gambar 3.29 Impor Mainan Anak Menurut Jenis Pintu Masuk 46
Gambar 3.30 Diskrepansi Pencatatan Impor Mainan Anak oleh
BPS versus KSO
46
Gambar 3.31 Perkembangan Impor Obat Tradisional Indonesia 47
Gambar 3.32 Impor Obat Tradisional Berdasarkan Pintu Utama 47
Gambar 3.33 Impor Obat Tradisional Menurut Jenis Pintu Masuk 48
Gambar 3.34 Diskrepansi Pencatatan Impor Obat Tradisional
oleh BPS versus KSO
48
Gambar 4.1 Perkembangan Impor Produk Tertentu yang Masuk
Melalui Pelabuhan Yang Ditentukan
53
Gambar 4.2 Neraca Perdagangan Indonesia Berdasarkan
Komponennya
54
viii Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Tertentu Terhadap Trend Neraca Non Migas
Gambar 4.4 Formulir Permohonan Verifikasi Penelusuran
Teknis Impor
57
1 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu tugas pemerintah dalam bidang perdagangan adalah menjaga keseimbangan neraca perdagangan. Dalam rangka menjaga keseimbangan neraca perdagangan tersebut dilakukan strategi pengendalian impor. Hal tersebut merupakan bentuk “intervensi pemerintah” yang secara sengaja dilakukan untuk mengatur masuknya barang impor ke dalam wilayah pabean Indonesia. Tujuan utamanya secara umum adalah untuk melindungi aktivitas ekonomi di dalam negeri, baik untuk pengamanan neraca pembayaran, penghematan penggunaan devisa, maupun untuk melindungi produsen dari saingan impor yang tidak wajar dan melindungi kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Terdapat dua kelompok besar instrumen kebijakan impor yang diterapkan, yakni tarif dan non tarif. Pada era perdagangan bebas, instrumen tarif sebagai alat proteksi sudah jarang digunakan karena struktur tarif impor ditetapkan serendah mungkin (0-5%). Hal tersebut nyaris tidak efektif lagi untuk mengendalikan impor, tetapi justru makin melancarkan arus barang impor.
Sebaliknya, instrumen pengaturan impor secara administratif banyak dilakukan negara di dunia dengan alasan melindungi kepentingan nasional. Secara sederhana, instrumen yang dipakai ada dua macam, yakni regulasi teknis menggunakan instrumen standar,dan pengaturan tata niaga impor.
Sementara itu, krisis keuangan global berakibat terhadap lesunya perekonomian dunia sehingga berdampak pada turunnya permintaan terhadap produk ekspor. Melemahnya permintaan terhadap produk ekspor di kawasan Amerika dan Eropa akibat krisis keuangan global, mendorong berbagai negara menyusun strategi antara lain mengalihkan pasar tujuan ekspornya. Kekhawatiran terhadap terjadinya pengalihan pasar tujuan ekspor China ke pasar potensial yang memiliki tingkat konsumsi tinggi termasuk Indonesia, mendorong Pemerintah menyusun strategi pengamanan pasar dalam negeri guna menjaga pertumbuhan ekonomi.
2 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI
No.56/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka melakukan tertib impor sekaligus strategi pengamanan pasar dalam negeri. Indonesia memiliki wilayah daratan yang sangat luas dan memiliki banyak pintu masuk pelabuhan di banyak pulau diseluruh nusantara. Oleh karena itu, agar dapat mengurangi berbagai bentuk pelanggaran dari aktifitas impor, maka pemerintah mengawasi dan membatasi beberapa pelabuhan sebagai pelabuhan impor produk tertentu.
Kronologis kebijakan impor produk tertentu dimulai dengan diterbitkannya Permendag No. 56/M-DAG/PER/12/2008 tentang ketentuan impor produk tertentu telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2010.Kemudian Menteri Perdagangan RI mengeluarkan peraturan baru melalui Permendag RI Nomor 57/M-DAG/PER/12/2010 tentang ketentuan Impor Produk Tertentu yang juga telah berakhir telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2012.Menteri Perdagangan RI kembali mengeluarkan peraturan baru melalui Permendag RI Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang ketentuan Impor Produk Tertentu yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2015. Dasar pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan ketentuan impor produk tertentu adalah agar dapat menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif belum tercipta secara maksimal, sehingga masih perlu melakukan peningkatan tertib administrasi impor.Dalam perkembangannya, Permendag Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 telah direvisi tiga kali, menjadi Permendag Nomor 73/M-DAG/PER/10/2014 yang ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2014.
Terdapat 3 (tiga) substansi kebijakan yang diatur dalam ketentuan impor produk tertentu yaitu: (i) impor dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT); (ii) impor dilakukan melalui pelabuhan laut tertentu dan pelabuhan udara internasional; dan (iii) terhadap barang yang diimpor dilakukan verifikasi teknis di pelabuhan muat asal barang. Tujuan yang hendak diraih melalui ketentuan IT adalah menciptakan tertib administrasi impor, membangun database imporserta
membangun sistem tracking (penelusuran) impor dalam rangka pemantauan
3 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
tertentu adalah memudahkan dalam melakukan monitoring masuknya barang ke wilayah pabean Indonesia sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya
illegal import. Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai dengan ketentuan
verifikasi atau penelusuran teknis impor adalah melakukan pengawasan terhadap pelaku dan barang yang diimpor serta membangun database (eksportir, importir, volume barang, jenis barang, kode HS dan negara asal barang).
Dengan pemberlakuan impor melalui pelabuhan terbatas sesuai Permendag Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 jo. Permendag Nomor 73/M-DAG/PER/10/2014, maka kegiatan impor lebih diawasi dan tercatat. Beleid itu berisi aturan produk makanan minuman, pakaian jadi, elektronik, mainan anak, alas kaki, obat tradisional / herbal dan kosmetik impor hanya boleh masuk melalui pelabuhan tertentu.Dalam Permendag itu diatur setiap impor Produk Tertentu oleh importir terdaftar (IT)-Produk Tertentu hanya dapat dilakukan melalui pelabuhan :
1. Pelabuhan darat : Cikarang Dry Port di Bekasi;
2. Pelabuhan laut: Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno Hatta di Makassar, Dumai di Dumai, Jayapura di Jayapura, Tarakan di Tarakan, Krueng Geukuh di Aceh Utara, dan Bitung di Bitung; dan/atau
3. Bandar Udara : Kualanamu di Deli Serdang, Soekarno Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Hasanuddin di Makassar.
Impor Produk Tertentu yang dilakukan melalui pelabuhan Dumai dan Jayapura hanya untuk produk makanan dan minuman. Sementara Impor Produk Tertentu yang dilakukan melalui pelabuhan Krueng Geukuh hanya makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, dan elektronika. Adapun Impor Produk Tertentu yang dilakukan melalui pelabuhan Bitung hanya manakan dan minuman, pakaian jadi, dan elektronik. Impor Produk Tertentu untuk kebutuhan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
4 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Selama 2004-2014, neraca perdagangan non migas selalu mengalami surplus, namun sejak tahun 2008, terus mengalami pelemahan. Selama periode tersebut, surplus neraca non migas tertinggi terjadi pada tahun 2007, mencapai USD 39,5 miliar, sementara pada tahun 2014 sebesar USD 11,2 miliar. Pelemahan surplus neraca non migas tersebut dipengaruhi oleh pelemahan ekspor non migas yang lebih signifikan disbanding pelemahan impor non migas. Trend ekspor non migas selama 2008-2014 naik rata-rata 7,1% per tahun, melemah dari trend selama 2004-2008 yang naik 18,2% per tahun. Sementara trend impor non migas selama 2008-2014 naik rata-rata 9,1% per tahun (Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Perkembangan Perdagangan Non Migas Indonesia
Sumber : BPS (diolah Kemendag)
Berdasarkan data BPS, total impor produk tertentu setelah diberlakukan pengaturan produk tertentu (2009-2014) mengalami peningkatan rata-rata 13,2% per tahun. Meskipun secara nilai jauh lebih tinggi daripada sebelum diberlakukan impor, namun pertumbuhan rata-rata per tahunnya justru mengalami pelemahan dibanding sebelum diberlakukannya Ketentuan Impor Produk Tertentu (2004-2008) yang naik 45,8% per tahun.Di bulan Januari 2015, impor produk tertentu turun 10,9% YoY menjadi USD 647,2 juta (Gambar 1.2). 21.1 26.2 37.5 39.5 9.2 19.6 21.5 25.3 3.9 8.6 11.2 -20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.0 180.0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 USD Miliar
5 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 1.2. Perkembangan Impor Produk Tertentu
Sumber : BPS (diolah Kemendag)
Pelabuhan yang ditentukan memang merupakan pelabuhan utama masuknya impor produk tertentu. Namun, meskipun sudah diberlakukan kebijakan impor produk tertentu yang hanya memperbolehkan impor Produk Tertentu masuk melalui Pelabuhan Tertentu, tetap ada beberapa produk yang impornya melalui pelabuhan selain yang ditetapkan, yakni sekitar 4,5% dari total impor produk tertentu selama 2009-2014. Prosentase tersebut turun rata-rata 7,6% per tahun.
Gambar 1.3. Perkembangan Impor Produk Tertentu Menurut Pelabuhan
Sumber : BPS (diolah Kemendag)
896.7 1,094.3 1,435.3 2,059.3 4,305.3 4,194.3 5,758.1 6,659.3 7,445.4 8,320.0 7,822.5 726.1 647.2 -1,000.0 2,000.0 3,000.0 4,000.0 5,000.0 6,000.0 7,000.0 8,000.0 9,000.0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Januari 2014 Januari 2015 USD Juta MAINAN ANAK-ANAK OBAT TRADISIONAL DAN HERBAL ALAS KAKI
PAKAIAN JADI KOSMETIK
MAKANAN DAN MINUMAN ELEKTRONIKA PRODUK TERTENTU 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Januari 2014 Januari 2015 Pelabuhan Lainnya 31.2 78.7 99.3 105.8 306.7 197.6 285.8 349.0 384.2 330.3 243.3 20.2 39.0 Pelabuhan Mamin, Pakaian,Elektronik 0.0 0.0 0.0 - 0.0 0.7 0.6 0.1 0.1 0.1 0.9 - 0.1 Pelabuhan Mamin, Pakaian, Alas Kaki, Elektronik - - - - - 0.0 - 0.0 0.0 - 0.5 0.0 0.1 Pelabuhan Produk Makanan & Minuman 0.2 1.0 1.7 4.4 2.7 1.4 4.1 5.0 3.4 0.2 0.9 - -Pelabuhan Tertentu 865.3 1,014.6 1,334.3 1,949.2 3,995.9 3,994.5 5,467.5 6,305.2 7,057.7 7,989.3 7,577.0 705.9 608.0 -1,000.0 2,000.0 3,000.0 4,000.0 5,000.0 6,000.0 7,000.0 8,000.0 9,000.0 U SD Ju ta
6 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Mencermati kondisi eksternal dan juga perkembangan neraca perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, maka Pemerintah melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya pengendalian impor. Beberapa langkah
yang telah dilakukan antara lain dengan menerapkan kebijakan safeguard,
kebijakan perlindungan konsumen dan kebijakan impor. Seluruh kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah muaranya adalah dalam rangka pengamanan pasar dalam negeri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Pusat Kebijakan Perdagangan
Luar Nageri, BPPKP, Kementerian Perdagangan melakukan Analisis
Kebijakan Impor Produk Tertentu untuk mengetahui sejauh mana efektifitas pemberlakuan kebijakan ketentuan impor produk tertentu serta implikasinya setelah berjalan selama kurun waktu tertentu.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta tujuan yang hendak diraih dari kebijakan Permendag Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 jo. Permendag Nomor 73/M-DAG/PER/10/2014, maka permasalahan yang akan dikaji dalam kajian iniadalah sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan ini telah menciptakan tertib administrasi impor?
2. Apakah kebijakan ini mampu mendukung program Pemerintah dalam penguatan neraca perdagangan?
3. Apakah kebijakan ini mampu memastikan kesesuaian dan kebenaran
realisasi impor sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya illegal import?
4. Bagaimana dampak ekonomi terhadap industri dalam negeri dari penerapan kebijakan ketentuan impor produk tertentu?
5. Apakah terdapat gugatan atau komplain dari negara asal impor terkait berlakunya kebijakan impor produk tertentu?
6. Apakah kebijakan tersebut dalam pelaksanaannya telah cukup efektif mencapai tujuan yang diamanatkan dalam permendag tentang ketentuan impor produk tertentu?
7 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan kajian ini dalam kaitannya dengan permasalahan yang akan dikaji di atas antara lain:
1. Mengevaluasi sejauh mana kebijakan ini telah berhasil menciptakan tertib administrasi impor;
2. Menganalisis dukungan kebijakan impor produk tertentu terhadap penguatan neraca perdagangan;
3. Menganalisis kesesuaian dan kebenaran realisasi impor sehingga dapat
mengurangi potensi terjadinya illegal import;
4. Menganalisis dampak ekonomi dari penerapan kebijakan ketentuan impor produk tertentu terhadap perekonomian;
5. Menganalisis adanya gugatan atau komplain dari negara asal impor terkait berlakunya kebijakan impor produk tertentu; dan
6. Menyusun rekomendasi terhadap efektifitas pelaksanaan kebijakan ketentuan impor produk tertentu.
1.4. Sasaran Penelitian
Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau bahan acuan bagi pemerintah (cq. Kementerian Perdagangan) dalam merumuskan kebijakan, baik penyempurnaan kebijakan yang sedang berjalan maupun penyusunan kebijakan baru.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1. Hukum
Adapun ruang lingkup kebijakan ketentuan impor produk tertentu yang akan dilakukan adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012Tentang Ketentuan Impor ProdukTertentu beserta perubahannya.
2. Pelaku Impor
Pelaku impor mencakup identitas importir (nama importir dan domisili), jenis barang yang diimpor (kode HS), serta jumlah dan nilai barang yang diimpor.
8 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3. Administrasi
Mencakup informasi-informasi status dan jenis IT-Produk Tertentu, dan laporan realisasi impor oleh importir.
4. Ekonomi
Nilai dan volume impor produk tertentu sebelum dan sesudah penerapan kebijakan ketentuan impor produk tertentu yakni periode 2004-2007 dan periode 2008-2015;
5. Rantai Proses Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor
Mencakup tahapan dalam setiap business process Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor pada kebijakan impor produk tertentu.
6. Teknis Verifikasi
Mencakup instrumen-instrumen kebijakan seperti label Bahasa Indonesia,
SNI wajib, dan certificate of conformity.
7. Produk
Kajian ini membatasi ruang lingkup produk hanya 7 produk yaitu produk makanan minuman, pakaian jadi, elektronik, mainan anak, alas kaki, obat tradisional / herbal dan kosmetik.
8. Pelabuhan/Pelabuhan Udara
Pelabuhan yang tercakup dalam kebijakan ketentuan impor produk tertentu yaitu Cikarang Dry Port di Bekasi; Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno Hatta di Makassar, Dumai di Dumai, Jayapura di Jayapura, Tarakan di Tarakan, Krueng Geukuh di Aceh Utara, dan Bitung di Bitung; dan/atau Kualanamu di Deli Serdang, Soekarno Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Hasanuddin di Makassar; serta pelabuhan muat asal barang.
1.6. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2. Pertanyaan Penelitian 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Sasaran Penelitian
9 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1.6. Sistematika Penulisan
Bab 2 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Non Tariff Barriers
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional
2.1.3. Rangkaian Kebijakan Impor Produk Tertentu 2.1.4. Regulatory Impact Assessment
2.2. Penelitian Terdahulu
Bab 3 Gambaran Umum Kinerja Impor Produk Tertentu
3.1. Impor Produk Tertentu
3.2. Produk Makanan dan Minuman
3.3. Produk Pakaian Jadi
3.4. Produk Elektronik
3.5. Produk Kosmetik
3.6. Produk Mainan Anak
3.7. Produk Alas Kaki
3.8. Produk Obat Tradisional dan Seplemen Makanan
Bab 4 Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Ketentuan Impor Produk Tertentu
4.1. Analisis Tertib Administrasi Impor
4.2. Analisis Dukungan Kebijakan Impor Produk Tertentu Terhadap Penguatan
Neraca Perdagangan
4.3. Analisis Sistem Tracking (Penelusuran) Impor
4.4. Analisis Dampak Kebijakan Terhadap Perekonomian Nasional
4.5. Analisis Gugatan Negara Mitra Terkait Berlakunya Kebijakan Impor Produk
Tertentu
4.6. Analisis Ekonometrika
Bab 5Penutup
5.1. Kesimpulan
10 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Hambatan Non Tarif
Istilah hambatan perdagangan non-tarif (non-tariff measures, NTMs) secara
luas mengacu pada berbagai kebijakan hambatan perdagangan selain tarif yang berpotensi memiliki dampak terhadap arus perdagangan, baik mengubah kuantitas yang diperdagangkan dan/ atau harga (Nicita & Peters, 2013). Staiger (2012) membagi kebijakan hambatan perdagangan non-tarif (NTMs) menjadi tiga kategori. Pertama, NTMs yang dikenakan terhadap impor seperti pembatasan kuantitas barang impor/ kuota impor, pelarangan impor, lisensi impor, prosedur bea dan cukai, dan biaya administrasi. Kategori kedua adalah NTMs yang dikenakan pada ekspor
seperti pajak ekspor, subsidi ekspor, kuota ekspor, pelarangan ekspor dan voluntary
export restraints (VER). Kategori pertama dan kedua kebijakan hambatan
perdagangan non-tarif (NTMs) dikenakan di perbatasan (at the border). Kategori
terakhir dikenakan secara internal dalam perekonomian domestik di balik perbatasan
(behind the border) seperti kebijakan domestik yang mencakup standar kesehatan/
teknis/ ketenagakerjaan/ lingkungan, pajak atau biaya dalam negeri, dan subsidi domestik.
Sementara berdasarkan kolaborasi United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD), International Trade Centre (ITC), dan World Trade
Organization (WTO), revisi klasifikasi kebijakan hambatan perdagangan non-tarif
membagi menjadi kebijakan ekspor dan kebijakan impor dan tindakan teknis dan
tindakan non-teknis. Sanitary and phyto-sanitary (SPS), hambatan perdagangan
bersifat teknis (technical barriers to trade, TBT), penelusuran pra-pengapalan (
pre-shipment inspection, PSI) dikategorikan dalam tindakan teknis sedangkan kebijakan
non-teknis mencakup kebijakan pengkontrolan harga, pelarangan impor, kuota produk impor secara spesifik atau umum, lisensi impor, kebijakan para-tarif, tindakan kebijakan persaingan, dan lain-lainsubsidi ekspor, hambatan ekspor, dan lainnya (Gambar 1). Dalam pengklasifikasian terbaru ini, tindakan non-teknis mencakup pembatasan distribusi, pelayanan pasca penjualan, subsidi impor, pengadaan pemerintah, kekayaan intelektual, dan aturan asal barang.
11 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 2.1. Klasifikasi Kebijakan Hambatan Perdagangan Non-Tarif (NTM)
Sumber : MAST (2009), Nicita & Peters (2013).
Keterangan : Data NTM dikumpulkan hanya untuk kategori A-I. Kategori J-P hanya digunakan untuk mengumpulkan informasi dari sektor swasta melalui survei dan portal situs.
Kebijakan hambatan perdagangan non-tarif (NTMs) menjadi perhatian bagi perdagangan global. Keberhasilan penurunan hambatan perdagangan tarif berturut-turut dari perjanjian perdagangan global di bawah GATT dan WTO sejak beberapa tahun lalu juga telah membuat kebijakan hambatan perdagangan non-tarif (NTMs) semakin menjamur diterapkan oleh berbagai negara di dunia (Gambar 2). Sebagai contoh, jumlah kebijakan hambatan perdagangan non-tarif berupa TBT yang diinisiasi mencapai 784 pada tahun 2003 dan melonjak menjadi 1.430 pada tahun 2014. Sementara TBT yang diberlakukan dari 17 pada tahun 2003 menjadi 190 kebijakan pada tahun 2014. Proliferasi tindakan NTMs tersebut biasanya menggaungkan tujuan kebijakan publik, seperti melindungi konsumen, lingkungan, memastikan standar kesehatan, memastikan standar keamanan, mengatur pasar domestik, melindungi perusahaan-perusahaan dalam negeri, dan menghindari
12 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 2.2. Perkembangan Kebijakan Hambatan Perdagangan Non-Tarif (NTMs) Dunia Tahun 2003-2014
Sumber: Integrated Trade Intelligence Portal, World Trade Organization (2015).
Keberadaan hambatan perdagangan non-tarif (NTMs) dapat diterima secara umum berdasarkan aturan hukum. NTMs berada dalam sebuah kerangka sistem aturan perdagangan, termasuk aturan multilateral dari Perjanjian WTO, aturan perjanjian perdagangan regional, dan bahkan aturan yang disepakati dalam perundingan bilateral atau plurilateral. WTO mengizinkan penggunaan NTMs sepanjang hambatan perdagangan tersebut mengikuti prinsip-prinsip WTO. NTMs tersebut tidak dikarakteristikan ilegal berdasarkan aturan, negara mitra dagang, pemangku kepentingan menyetujuinya (Cadot, et al., 2012) . Pada prinsipnya, ketika suatu negara memperkenalkan dan mengimplementasikan NTMs, NTMs tersebut haruslah transparan, tidak membatasi perdagangan. dinotifikasikan dengan benar kepada WTO, dan tidak diskriminatif untuk mencapai tujuan dalam negeri.
13 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2.1.2. Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dmaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:
a. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan
b. Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara kenegara lainnya melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
c. Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan sebagainya.
2.1.2.1. Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional
Setiap negara yang melakukan perdagangan dengan negara lain tetntu akan memperoleh manfaat bagi negara tersebut. Manfaat tersebut antara lain:
a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya: Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan IPTEK dan lain-lain. Dengan adanya
perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar
14 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
negeri.Sebagai contoh:Amerika Serikat dan Jepang mempunyai kemampuan untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat memproduksi dengan lebih efisien dari Amerika Serikat.Dalam keadaan seperti ini, untuk mempertinggi keefisienan penggunaan faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi produksi kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang.Dengan mengadakan spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat memperoleh keuntungan sebagai berikut
c. Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien.
Setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.
d. Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
e. Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih moderen.
2.1.2.2. Sebab-sebab Terjadinya Perdagangan Internasional
Setiap negara dalam kehidupan di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Biasanya bentuk kerja sama atau interaksi itu berbentuk perdagangan antar negara atau yang lebih dikenal dengan istilah perdagangan internasional. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perdagangan antar negara (perdagangan internasional) antara lain:
15 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Ditandai dengan berkembangnya era informasi teknologi, pemakaian sistem berbasis komputer serta kemajuan dalam bidang informasi, penggunaan satelit serta digitalisasi pemrosesan data, berkembangnya peralatan komunikasi serta masih banyak lagi.
b. Interdependensi Kebutuhan
Masing-masing negara memiliki keunggulan serta kelebihan di masing-masing aspek, bisa di tinjau dari sumber daya alam, manusia, serta teknologi. Kesemuanya itu akan berdampak pada ketergantungan antara negara yang satu dengan yang lainnya.
c. Liberalisasi Ekonomi
Kebebasan dalam melakukan transaksi serta melakukan kerja sama memiliki implikasi bahwa masing-masing negara akan mencari peluang dengan berinteraksi melalui perdagangan antar negara.
d. Asas Keunggulan Komparatif
Keunikan suatu negara tercermin dari apa yang dimiliki oleh negara tersebut yang tidak dimiliki oleh negara lain. Hal ini akan membuat negara memiliki keunggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi negara tersebut.
e. Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan devisa suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya setiap negara harus memiliki cadangan devisa yang digunakan dalammelakukan pembangunan, salah satu sumber devisa adalah pemasukan dari perdagangan internasional.
2.1.3. Rangkaian Kebijakan Impor Produk Tertentu
Sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 2008, Peraturan terkait Impor Produk Tertentu mengalami beberapa perbaikan, dengan historis sebagai berikut :
No. Nomor Regulasi Judul Perubahan Substansi
1.
73/M-DAG/PER/10/2014
Perubahan Ketiga Atas Permendag No. 83/M-DAG/PER/12/2012
Penambahan
16 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
No. Nomor Regulasi Judul Perubahan Substansi
Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
Dry Port sebagai pintu masuk Produk
Tertentu
2.
36/M-DAG/PER/7/2014.
Perubahan Kedua Atas Permendag No. 83/M-DAG/PER/12/2012 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
Penambahan Pelabuhan Bitung sebagai pintu masuk Produk Makanan dan Minuman; Pakaian Jadi; dan Elektronik
3. 61/M-DAG/PER/9/2013
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
83/M-DAG/PER/12/2012 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
Penambahan Pelabuhan Krueng Geukuh sebagai pintu masuk Produk Makanan dan Minuman; Pakaian Jadi; Alas Kaki; dan Elektronika Perubahan pintu masuk untuk bandara udara menjadi Kualanamu, Soekarno Hatta, Ahmad Yani, Juanda, dan Hasanuddin 4.
83/M-DAG/PER/12/2012 Ketentuan Impor Produk Tertentu
Perpanjangan masa berlaku Ketentuan Impor Produk Tertentu sampai dengan 31 Desember 2015 Penambahan Pelabuhan Tarakan sebagai pintu masuk
17 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
No. Nomor Regulasi Judul Perubahan Substansi
Produk Makanan dan Minuman
5.
57/M-DAG/PER/12/2010 Ketentuan Impor Produk Tertentu
Perpanjangan masa berlaku Ketentuan Impor Produk Tertentu sampai dengan 31 Desember 2012
6. 23/M-DAG/PER/5/2010
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 23/M-DAG/PER/5/2010 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/12/2008 Tentang
Ketentuan Impor Produk Tertentu
Penambahan
Pelabuhan Jayapura sebagai pintu masuk Produk Makanan dan Minuman
7.
60/M-DAG/PER/12/2008
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 60/M-DAG/PER/12/2008 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
56/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
Penambahan Pelabuhan Dumai sebagai pintu masuk Produk Makanan dan Minuman
8.
56/M-DAG/PER/12/2008
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 56/M-DAG/PER/12/2008 Tanggal 24 Desember 2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
Ketentuan Surveyor : Memiliki Surat Izin
Usaha Jasa Survey Wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai rekapitulasi kegiatan VPTI Pengecualian untuk beberapa kondisi
18 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
No. Nomor Regulasi Judul Perubahan Substansi
DAG/PER/12/2008 Republik Indonesia Nomor : 52/M-DAG/PER/12/2008 Tanggal 12 Desember 2008 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
44/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
berlakunya Permendag dari 15 Desember 2008 menjadi 1 Februari 2009 10. 44/M-DAG/PER/10/2008
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 44/M-DAG/PER/10/2008 Tanggal 31 Oktober 2008 Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu
2.1.4. Regulatory Impact Analysis
Untuk mencapai obyektif penelitian, maka akan digunakan alat analisis
Regulatory Impact Analysis dalam melihat dampak kebijakan yang sementara
berjalan sebagai bagian dari proses evaluasi efektifitas kebijakan. Regulatory
Impact Analysis (RIA) merupakan proses analisis dan pengkomunikasian
secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru maupun kebijakan yang sudah ada.
Regulatory Impact Analysis (RIA) dapat dipahami dalam 3 pendekatan:
sebagai proses, sebagai alat bantu, dan sebagai logika berfikir.
2.1.4.1. Metode RIA sebagai Proses
Sebagai sebuah proses, metode RIA mencakup beberapa langkah sebagai berikut:
1) Identifikasi dan analisis masalah terkait kebijakan.
Langkah ini dilakukan agar semua pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan dengan kebijakan tersebut. Pada tahap ini, sangat penting untuk membedakan antara masalah
19 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
adalah masalah, bukan gejalanya. 2) Penetapan tujuan.
Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu ditetapkan apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak diambil. Tujuan ini menjadi satu komponen yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian terhadap efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah apakah tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
3) Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan kebijakan sudah jelas, langkah berikutnya adalah melihat pilihan apa saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam metode
RIA, pilihan atau alternatif pertama adalah “do nothing” atau tidak
melakukan apa-apa, yang pada tahap berikutnya akan dianggap
sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan dengan berbagai
opsi/pilihan yang ada. Pada tahap ini, penting untuk melibatkan
stakeholders dari berbagai latar belakang dan kepentingan guna
mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa saja yang tersedia.
4) Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi legalitas
maupun biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya.
Setelah berbagai opsi/pilihan untuk memecahkan masalah
teridentifikasi, langkah berikutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan tersebut. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari aspek legalitas, karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis terhadap biaya (cost) dan
manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan. Secara sederhana,
“biaya” adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu pihak jika pilihan tersebut diambil, sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya atau manfaat dalam hal ini tidak
20 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
selalu diartikan “uang”. Oleh karena itu, dalam konteks identifikasi biaya dan manfaat sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan kebijakan (termasuk
kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-apa atau do
nothing). Analisis Biaya-Manfaat ini akan dibahas lebih lanjut dalam
makalah ini.
5) Pemilihan kebijakan terbaik.
Analisis Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tentang opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan
yang diambil adalah yang mempunyai manfaat bersih (net benefit),
yaitu jumlah semua manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
6) Penyusunan strategi implementasi.
Langkah ini diambil berdasarkan kesadaran bahwa sebuah kebijakan tidak bisa berjalan secara otomatis setelah kebijakan tersebut ditetapkan atau diambil. Dengan demikian, pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu mengenai apa yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan melakukannya.
7) Partisipasi masyarakat di semua proses.
Semua tahapan tersebut di atas harus dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan kebijakan yang disusun. Komponen masyarakat yang mutlak harus didengar suaranya adalah mereka yang akan
menerima dampak adanya kebijakan tersebut (key stakeholder).
2.1.4.2. Metode RIA sebagai Alat
Selain sebagai proses, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai alat. Dalam hal ini, metode RIA merupakan alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang lebih baik. Ada dua kunci dalam penerapan metode RIA yang dianggap mampu memenuhi harapan tersebut, yaitu: (1) adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi, kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan, serta (2) menemukan opsi/pilihan yang paling efektif dan efesien
21 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah dan biaya transaksi bagi masyarakat.
2.1.4.3. Metode RIA sebagai Logika Berfikir
Di samping sebagai proses dan alat, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai sebuah logika berfikir. Metode RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis, mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah, serta memilih satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan. Metode RIA mendorong pengambil kebijakan untuk berfikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait dengan kebijakan yang hendak diambil.
Sebagai sebuah alat, Regulatory Impact Analysis (RIA) digunakan
untukmembantu menilai dampak dari sebuah regulasi. RIA digunakan untuk menguji dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya dan dampak peraturan baru atau yang sudah ada. Penggunaan RIA diharapkan dapat mendukung proses pembuatan atau penyempurnaan kebijakan melalui pembangunan kerangka keputusan yang rasional untuk memeriksa potensi implikasi dari kebijakan tersebut.
Secara khusus RIA bertujuan memaparkan secara sistematis penilaian potensi dampak dari sebuah kebijakan untuk menilai apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan obyektif yang diharapkan. RIA pada umumnya dilakukan dalam konteks komparatif, dengan berbagai sarana untuk mendapatkan gambaran dampak dari kebijakan PSI/VPTI yang telah dilakukan selama ini. Berikut perangkat pertanyaan yang umumnya digunakan dalam studi yang menggunakan metode RIA :
1. Apakah masalahnya dengan benar telah didefinisikan? 2. Apakah tindakan pemerintah sudah tepat?
3. Apakah regulasi yang ada merupakan yang terbaik untuk langkah pemerintah?
4. Apakah ada dasar hukumnya untuk sebuah peraturan?
5. Berapa tingkatan birokrasi pemerintah yang dilibatkan untuk koordinasi regulasi ini?
22 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6. Apakah regulasi yang ada bermanfaat, dibanding biayanya ? 7. Apakah distribusi akan dampaknya transparan di masyarakat?
8. Apakah peraturan tersebut jelas, konsisten, dipahami dan diakses oleh pengguna?
9. Apakah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan mereka?
10. Bagaimana kepatuhan akan regulasi itu dapat dicapai?
Adapun tahapan dalam proses perancangan RIA, berdasarkan versi OECD 2008, sebagai berikut :
1. Definisi / Definition (policy objective, policy context).
Definisi konteks kebijakan dan tujuan, khususnya identifikasi sistematik dari masalah yang menyediakan dasar bagi tindakan oleh pemerintah.
2. Identifikasi / Identification (regulatory options).
Identifikasi dan definisi dari semua kemungkinan peraturan dan non-peraturan pilihan yang akan mencapai tujuan kebijakan.
3. Penilaian / Assesment (cost, benefit, other impact)
Identifikasi dan kuantifikasi dampak pilihan yang dipertimbangkan, termasuk biaya, manfaat dan efek distribusi.
4. Konsultasi / Consultation (involving stakeholders)
Konsultasi publik yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan
kesempatan bagi seluruh stakeholder untuk berpartisipasi dalam proses
pengawasan. Ini memberikan informasi penting mengenai biaya dan manfaat dari alternatif, termasuk efektivitas kebijakan. Konsultasi ini harus dilakukan mulai dari tahap awal perumusan regulasi sampai dengan tahap implementasi dan monitoring pelaksanaan regulasi. Dalam metode RIA, komunikasi untuk konsultasi sudah mulai dilakukan dalam tahap perumusan masalah. Konsultasi pada tahap ini untuk memastikan bahwa pemerintah menangani masalah yang tepat, dan bahwa persepsi pemerintah terhadap masalah yang dihadapi sama
dengan persepsi masyarakat, industri, maupun stakeholder lainnya.
Konsultasi pada tahap pengembangan alternatif terutama bertujuan untuk mendapatkan masukan mengenai opsi yang dapat dipilih, dan untuk menguji apakah opsi tersebut dapat dijalankan dengan baik
23 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
(workable).
Dalam tahap analisis cost & benefit , konsultasi terutama bertujuan
untuk mendapatkan masukan mengenai biaya (kerugian/kesulitan) dan manfaat (keuntungan) dari setiap opsi, dan untuk mendapatkan konfirmasi apakah apakah biaya/manfaat yang diharapkan benar-benar terwujud dalam praktiknya.
5. Desain/Design (Enforcement, compliance and monitoring mechanisms).
Pengembangan strategi dan kepatuhanuntuk setiap opsi, termasuk
evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi. Pengembangan mekanisme
pemantauanuntuk menilai keberhasilan proposal kebijakan dan informasi masukan/ tanggapan terhadap pengembangan kebijakan di masa depan.
Gambar 3.3. Proses RIA berdasarkan OECD 2008
Berikut adalah pilihan Metode Analisis yang sering dipakai untuk menganalisis kebijakan dengan menggunakan alat analisis RIA:
1. Soft benefit-cost analysis and integrated analysis.
Analisis didasarkan pada kerangka trade-off yang diidentifikasi dan
keuntungan yang maksimal di berbagai tujuan kebijakan sehingga menghasilkan peraturan yang memaksimalkan keuntungan terbesar dengan solusi biaya terendah.
2. Cost-effectiveness analysis.
Kebijakan RIA dinyatakan dengan pendekatan-pendekatan alternatif harus dipilih berdasarkan efektifitas biaya. Sehingga analisis kebijakan
24 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
RIA harus berisi kriteria yang jelas untuk memandu pilihan alternatif.
3. Partial analysis.
Analisis ditekankan untuk menghindari risiko bias dalam tiap kelompok. Analisis parsial menekankan bahwa semua dampak spesifik akan diintegrasikan ke dalam kerangka analisis yang lebih besar.
4. Risk Assessment and Uncertainty Analysis.
Analisis ditekankan pada sebuah pencegahan sebagai pilihan kebijakan dengan asas ketidakpastian, penilaian resiko serta sensitivitas peraturan.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pertama dalam mengukur
efektivitas kebijakan yakni “soft benefit-cost analysis”. Pertimbangan
utama dalam pemilihan pendekatan ini mengingat data yang dikumpulkan bersifat kualitatif dan perseptual. Dampak positif dan negatif digambarkan dalam bahasa redaksional dan tidak dalam bentuk numerik.
2.2. Indikator Efektivitas
Dalam penentuan efektivitas kebijakan, disusun indikator implementasi kebijakan impor produk tertentu antara lain sebagai berikut:
1. Importir yang pengajuan LS ditolak (%); Jumlah pemegang IT yang melaporkan realisasi impornya (%)
2. Pertumbuhan impor produk tertentu sebelum dan sesudah pelaksanaan kebijakan terhadap neraca perdagangan produk tertentu
3. Membandingkan data impor dari BPS dengan data ekspor dari negara mitra dari Commtrade/GTIS/Trademap
4. Pertumbuhan output industri barang sejenis di dalam negeri, pertumbuhan investasi, pertumbuhan tenaga kerja
2.3. Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait Non Tariff Measures (NTM) sudah cukup banyak
dilakukan seiring trend meningkatnya NTM sebagai bentuk pengalihan penurunan tarif maupun dampak pengamanan pasar domestik karena krisis finansial global tahun 2008. Basu dan Kuwahara mendefinisikan NTM sebagai ukuran kebijakan yang berbeda dari tarif pada umunya yang secara potensial memberikan efek ekonomi dalam perdagangan internasional. Dampakanya
25 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
adalah barang yang diperjualbelikan mengalami perubahan volume atau harga barang yang diperdagangankan atau keduanya. Oleh karenanya, secara umum
bisa dikatakan sebagai non-tariff protection (NTP).
Pengukuran tingkat NTP dilakukan oleh Ando dan Obashi. Mereka menggambarkan pengukuran rasio frekuensi berdasarkan pendekatan inventori untuk kasus ASEAN. Keduanya membangun data NTM untuk seluruh negara
di ASEAN dengan mencoba mengidentifikasi tipe NTM yang di
implementasikan oleh masing – masing negara. Salah satunya adalah seajuh mana NTM tersebut dapat diberlakukan serta industri apa yang mendapatkan proteksi lebih dari kebijakan tersebut.
Dasar klasifikasi untuk data yang dibangun didasarkan atas klasifikasi
UNCTAD yang diadopsi oleh Trade Analysis and Information Systems
(TRAINS) Trade Control Measures Classification. Selnjutnya mereka membagi
seluruh NTM menjadi NTM inti dan non inti. NTM inti dianggap sebagai hambatan perdagangan yang tidak ambigu, sementara NTM non inti dinterpretasikan sebagai NTM yang berpotensi mendistorsikan perdagangan. Dari seluruh negara anggota ASEAN, hanya Laos yang tidak mengadopsi sistem pembagian NTM menurut inti, sementara untuk negara yang lain cukup
mengimplementasikan pengukuran tersebut. Secara umum, 49% tariff line
ASEAN berkesesuaian dengan tipe-tipe NTM yang ada, sementara Kamboja
dan Thailand hanya melingkupi tariff line yang lebih sedikit (secara berurutan
6% dan 11% pada tahun 2007). Indonesia, Myanmar, dan Filipina telah mencakup seluruh produk dengan klasifikasi satu dari tipe NTM. Dari penelitian tersebut, diketahui pula rasio frekuensi NTM rata rata di negara anggota
ASEAN adalah 32% untuk non core dan 27% untuk core NTM. Hal ini
menunjukkan bahwa beberapa produk lebih diproteksi, terutama dari sisi peraturan kesehatan, sanitasi, serta standar kualitas dibandingkan dengan yang lain. Produk-produk yang diproteksi antara lain produk hewan, tanaman dan makanan. Selain itu, bahan kimia dan produk kimia serta permesinan diatur dengan beberpa NTM yang simultan. Ando dan Obashi dalam studinya sangat menitikberatkan pada bagaimana berbagai NTM dimplementasikan secara simultan sehingga menyebabkan peningkatan keseluruhan biaya karena tingginya biaya administrasi dan waktu dalam implementasinya.
26 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Sementara itu, studi yang menggunakan RIA untuk menganalisa dampak suatu kebijakan dilakukan pernah dilakukan Mahatama dan Wicaksena ( 2014).
Keduanya menegevaluasi implementasi dari kebijakan perlindungan
konsumen, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Salah satu hasil dari studi tersebut menunjukkan adanya kontradiksi yang menimbulkan ketidak-jelasan seperti aturan penunjukan Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) yangseharusnya hanya dapat ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) namun dapat juga ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2(P-B2).
Sedangkan ketidakjelasan yang lain adalah aturan terkait Produsen (B2) yang dapat mengimpor B2, sementara dalam peraturan ini diatur bahwa P-B2 hanya memproduksi P-B2 saja. Implementasi Permendag Nomor:44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum berjalan dengan baik yangdisebabkan beberapa kendala yaitu:belum tersedia database B2 yangakurat, belum ada pemetaan kebutuhanuntuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor, dan IT-B2 belummampu melakukan impor untuk semua jenis B2 sehingga memungkinkan adanya kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran.
27 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BAB III
GAMBARAN UMUM KINERJA IMPOR PRODUK TERTENTU
3.1. Perkembangan Kinerja Impor Produk Tertentu
Pada tahun 2014, impor Produk Tertentu Indonesia mencapai USD 7,8 miliar, turun 6,0% disbanding tahun 2013 (YoY). Pada perkembangannya selama 2005-2014, impor Produk Tertentu mengalami lonjakan signifikan pada tahun 2008, naik hingga 109,1% YoY, namun anjlok pada tahun 2009, turun 2,6% YoY. Pada tahun 2010, impor Produk Tertentu kembali meningkat dan sejak saat itu, meskipun masih meningkat, terus mengalami pelemahan.
Gambar 3.1. Perkembangan Impor Produk Tertentu Periode 2005-2014
Sumber: BPS (diolah)
Produk tertentu terdiri dari 7 (tujuh) jenis produk, yaitu Makanan & Minuman, Pakaian Jadi, Elektronika, Alas Kaki, Kosmetik, Obat Tradisional & Herbal, dan Mainan Anak-anak. Sejak tahun 2005, impor Produk Tertentu didominasi oleh produk Elektronika dan diikuti oleh Makanan & Minuman. Pada tahun 2014, nilai impor produk Elektronika mencapai USD 5,6 miliar, turun dari tahun 2013 yang mencapai USD 6,0 miliar, namun naik sangat signifikan dari tahun 2005 yang hanya USD 612,1 juta. Sedangkan impor produk Makanan & Minuman sebesar 854,1 juta di tahun 2014, naik USD 31,4 juta dari tahun 2013 yang mencapai USD 823,5 juta.
1,094.3 1,435.3 2,059.3 4,305.3 4,194.3 5,758.1 6,659.3 7,445.4 8,320.0 7,822.5 22.04 31.16 43.47 109.07 (2.58) 37.28 15.65 11.80 11.75 (5.98) (20) -20 40 60 80 100 120 (2,000) -2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 %
28 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 3.2. Perkembangan Impor Produk Tertentu Menurut Jenis Produk
Sumber: BPS (diolah)
Kontribusi produk Elektronika terhadap impor Produk Tertentu naik signifikan sejak pemberlakuan kebijakan impor Produk Tertentu (2009). Pada tahun 2005, pangsa impor Elektronika terhadap impor Produk Tertentu sebesar 55,9%, naik menjadi 75,4% di tahun 2009 dan sedikit mengalami penurunan di tahun 2014 menjadi 71,0%. Selama 2005-2014, pangsa impor Makanan & Minuman, Kosmetik, Alas Kaki, dan Maianan Ana-anak mengalami penurunan, sementara pangsa impor Pakaian Jadi dan Obat Tradisional & Herbal mengalami peningkatan meskipun kontribusinya masih kecil. Pada tahun 2014, impor Produk Tertentu didominasi oleh impor Elektronika dengan pangsa 71,0%, diikuti oleh Makanan & Minuman dengan pangsa 10,9%, Kosmetik (6,6%), Pakaian Jadi (6,3%), Alas Kaki (2,7%), Obat Tradisional & Herbal (1,6%), dan Mainan Anak-anak (0,8%).
612.1 862.1 1,238.6 3,087.8 3,164.4 4,406.2 5,003.3 5,514.1 5,898.4 5,553.0 208.4 241.8 310.3 434.1 310.9 404.3 515.9 605.7 823.5 854.1 1,094.3 1,435.3 2,059.3 4,305.3 4,194.3 5,758.1 6,659.3 7,445.4 8,320.0 7,822.5 -1,000.0 2,000.0 3,000.0 4,000.0 5,000.0 6,000.0 7,000.0 8,000.0 9,000.0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 USD Juta MAINAN ANAK-ANAK OBAT TRADISIONAL DAN HERBAL ALAS KAKI
PAKAIAN JADI KOSMETIK
MAKANAN DAN MINUMAN ELEKTRONIKA
29 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 3.3. Perkembangan Pangsa Impor Produk Tertentu Menurut Jenis Produk
Sumber: BPS (diolah)
Pelabuhan masuk impor Produk Tertentu telah diatur dalam Permendag nomor 83 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Hal tersebut berarti bahwa impor produk Tertentu tidak dapat sembarangan masuk melalui seluruh pelabuhan di Indonesia. Pelabuhan yang tercakup dalam kebijakan ketentuan impor produk tertentu yaitu Cikarang Dry Port di Bekasi; Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno Hatta di Makassar, Dumai di Dumai, Jayapura di Jayapura, Tarakan di Tarakan, Krueng Geukuh di Aceh Utara, dan Bitung di Bitung; dan/atau Kualanamu di Deli Serdang, Soekarno Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Hasanuddin di Makassar. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pintu masuk terbesar impor Produk Tertentu. Namun demikian, pangsanya mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2005, impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok memberikan pangsa sebesar 64,6% dibanding total impor Produk tertentu. Pada tahun 2009, pangsa impor melalui pelabuhan Tanjung Priok turun menjadi 46,6% dan sedikit mengalami peningkatan menjadi 48,7% di tahun 2014. Pintu masuk impor Produk Tertentu terbesar setelah Tanjung Priok adalah pelabuhan udara Soekarno Hatta di Jakarta, dimana pangsanya meningkat dari 16,4% di tahun 2005 menjadi 35,8% di tahun 2014. Tanjung Emas, Tanjung Perak, dan Sekuppang juga merupakan pelabuhan utama sebagai pintu masuk impor Produk Tertentu.
ELEKTRONIKA 55.9% MAKANAN DAN MINUMAN 19.0% KOSMETIK 12.6% PAKAIAN JADI 5.8% ALAS KAKI 2.9% OBAT TRADISIONAL DAN HERBAL 0.0% MAINAN ANAK-ANAK 3.6% 2005 ELEKTRONIKA 75.4% MAKANAN DAN MINUMAN 7.4% KOSMETIK 5.4% PAKAIAN JADI 6.1% ALAS KAKI 1.8% OBAT TRADISIONAL DAN HERBAL 2.4% MAINAN ANAK-ANAK 1.4% 2009 ELEKTRONIKA 71.0% MAKANAN DAN MINUMAN 10.9% KOSMETIK 6.6% PAKAIAN JADI 6.3% ALAS KAKI 2.7% OBAT TRADISIONAL DAN HERBAL 1.6% MAINAN ANAK-ANAK 0.8% 2014
30 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 3.4. Impor Produk Tertentu Berdasarkan Pintu Utama
Sumber: BPS (diolah)
Berdasarkan Permendag 83 tahun 2012, pelabuhan pintu masuk impor Produk Tertentu dapat dipisahkan menjadi 4, yakni 1) Pelabuhan Tertentu yang terdiri dari pelabuhan laut, pelabuhan udara, dan pelabuhan darat yang dapat menjadi pintu masuk untuk ketujuh Produk Tertentu; 2) Pelabuhan Produk Makanan & Minuman, yaitu pelabuhan laut Dumai, Tarakan, dan Jayapura; 3) Pelabuhan Mamin, Pakaian, Alas Kaki, & Elektronika, yaitu pelabuhan laut Kreung Geukeuh (Lhokseumawe) Aceh; dan 4) Pelabuhan Mamin, Pakaian, & ELektronik, yaitu Pelabuhan Bitung Sulawesi Utara. Sementara Pelabuhan Lainnya merupakan pelabuhan yang tidak dapat dijadikan pintu masuk impor Produk Tertentu.
Hampir keseluruhan impor Produk Tertentu masuk melalui Pelabuhan Tertentu yang telah ditetapkan sebagai pintu masuk impor Produk Tertentu dalam Permendag 83 tahun 2012. Namun demikian, terdapat beberapa impor Produk Tertentu yang masuk melalui pelabuhan lainnya. Prosentase impor produk tertentu yang melalui pelabuhan selain yang ditetapkan rata-rata 4,5% dari total impor produk tertentu selama 2009-2014. Prosentase tersebut turun rata-rata 7,6% per tahun.
TANJUNG PRIOK 64.6% SOEKARNO-HATTA (U) 16.4% TANJUNG EMAS 0.8% TANJUNG PERAK 9.0% SEKUPANG 0.1% LAINNYA 9.0% 2005 TANJUNG PRIOK 46.6% SOEKARNO-HATTA (U) 40.8% TANJUNG EMAS 1.6% TANJUNG PERAK 4.5% SEKUPANG 0.6% LAINNYA 6.0% 2009 TANJUNG PRIOK 48.7% SOEKARNO-HATTA (U) 35.8% TANJUNG EMAS 5.9% TANJUNG PERAK 5.2% SEKUPANG 1.4% LAINNYA 2.9% 2014
31 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Gambar 3.5. Impor Produk Tertentu Menurut Jenis Pintu Masuk
Sumber: BPS (diolah)
Selama 2009-2014, pencatatan impor Produk Tertentu oleh BPS lebih tinggi dibanding pencatatan oleh Kerja Sama Operasi Sucofindo Surveyor Indonesia (KSO SSI). Rata-rata diskrepansi pencatatan tersebut sebesar 31,7% terhadap pencatatan BPS, dimana prosentase diskrepansi tersebut naik rata-rata 12,4% per tahun. Di tahun 2014, BPS mencatat impor Produk Tertentu mencapai USD 7,9 miliar, sementara KSO hanya mencatat sebesar USD 4,2 miliar, sehingga diskrepansi mencapai 46,4%. Penyumbang diskrepansi tertinggi adalah Elektronik, Makanan & Minuman, Pakaian Jadi dan Obat Tradisional & Herbal.
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Januari
2014 Januari
2015 Pelabuhan Lainnya 31.2 78.7 99.3 105.8 306.7 197.6 285.8 349.0 384.2 330.3 243.3 20.2 39.0
Pelabuhan Mamin, Pakaian,Elektronik 0.0 0.0 0.0 - 0.0 0.7 0.6 0.1 0.1 0.1 0.9 - 0.1
Pelabuhan Mamin, Pakaian, Alas Kaki, Elektronik - - - - - 0.0 - 0.0 0.0 - 0.5 0.0 0.1
Pelabuhan Produk Makanan & Minuman 0.2 1.0 1.7 4.4 2.7 1.4 4.1 5.0 3.4 0.2 0.9 -
-Pelabuhan Tertentu 865.3 1,014.6 1,334.3 1,949.2 3,995.9 3,994.5 5,467.5 6,305.2 7,057.7 7,989.3 7,577.0 705.9 608.0 -1,000.0 2,000.0 3,000.0 4,000.0 5,000.0 6,000.0 7,000.0 8,000.0 9,000.0 U SD Ju ta