• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH RAKYAT DAN KUALITAS SEMEN BEKU DI KECAMATAN SELUPU REJANG, REJANG LEBONG, BENGKULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH RAKYAT DAN KUALITAS SEMEN BEKU DI KECAMATAN SELUPU REJANG, REJANG LEBONG, BENGKULU"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH RAKYAT DAN KUALITAS

SEMEN BEKU DI KECAMATAN SELUPU REJANG, REJANG LEBONG, BENGKULU

Brilian Putra Pamungkas1), Heri Dwi Putranto1) dan Endang Sulistyowati1) 1

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Email: ensulistyowati@yahoo.com

ABSTRACT

The objective of this research was to evaluate reproductive performance of dairy cows and frozen semen in Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Data collection were conducted through interview method using quisioner. Secondary data were about quality analysis of frozen semen straw carried out in UPTD Puskeswan Curup. Primary data primer were collected from 7 respondents (with total 19 cows), including characteristics of farmers, age, education, farming experience, main job. Paramaters evaluated were reproduction performance, such as Calving Interval (CI), Days Open (DO) and Service per conception (S/C), and quality of frozen semen, Motility, Viability and Abnormality. Results of evaluation of reproduction performance of dairy cows in Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong showed that Calving Interval 13.79 month, Days Open 139.73 days and Service per Conception 1.58. Quality of frozen semen used were in qualifying the standards of motility (46.87%, viability (63.32%), and abnormality (2.97%).

Key words: frozen semen, quality, reproduction performance, dairy cows, Selupu Rejang .

PENDAHULUAN

Keberhasilan bereproduksi akan menentukan perkembangan peternakan sapi perah di suatu daerah. Perkembangan populasi sapi perah ini belum sebanding dengan kebutuhan susu. Industri hanya mampu memenuhi kebutuhan susu nasional sebesar 39,8% dari permintaan yang ada, sisa kebutuhan 60,2% dipenuhi susu impor. Dibutuhkan usaha untuk meningkatkan jumlah populasi sapi perah yang berkualitas, salah satunya dengan metode Inseminasi Buatan (IB) (Setyawan et al., 2005). Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul (Susilawati, 2011).

Parameter IB yang dapat dijadikan tolak ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi perah betina yaitu days open (DO), service per

conception (S/C), calving interval (CI). Semua

parameter tersebut merupakan evaluasi dari peranan teknologi IB yang diketahui dapat berpengaruh terhadap peningkatan populasi sapi perah yang nantinya mampu untuk meningkatkan produksi

Performans reproduksi sapi perah FH di Bengkulu Utara dan di daerah subtropik (angka dalam kurung) dengan suhu lingkungan sekitar 320C, dilaporkan bahwa angka S/C <3 (1,9), angka konsepsi 35% (90%), selang beranak 21,2 bulan (12,6 bulan), waktu kawin setelah beranak 65,7 hari (50 hari) dan beranak pertama 36 bulan (24,0 bulan) demikian menurut Sulistyowati (1996). Untuk di Kecamatan Selupu Rejang, tepatnya di Desa Air Duku (AD) dan Air Putih Kali Bandung (APK),

service per conception (S/C) sapi perah di APK

lebih rendah daripada S/C di AD. Untuk S/C sapi perah di AD angkanya mencapai 2,0 sedangkan di APK angkanya mencapai 1,87 (Sulistyowati et al., 2009). Ini menandakan bahwa sapi perah di APK lebih efisien dan reproduktif dibandingkan sapi perah di AD. Angka S/C yang lebih rendah mencerminkan bahwa ketepatan mengawinkan dan deteksi birahi lebih baik. Angka yang normal adalah 1,6- 2,0, berarti S/C di kedua desa ini masih dalam batas. Di Indonesia pada umumnya adalah 1,72- 3,13. Faktor bangsa sapi, umur, fertilitas, manajemen dan lingkungan berpengaruh terhadap hal ini (Makin, 1990).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans reproduksi sapi perah rakyat dan

(2)

Evaluasi Performans Reproduksi Sapi Perah Rakyat dan Kualitas Semen Beku di Kecamatan Selupu Rejang, Rejang Lebong, Bengkulu (Brilian Putra Pamungkas, Heri Dwi Putrantodan Endang Sulistyowati))

Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

MATERI DAN METODE Pengumpulan data

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei lapangan dengan 2 jenis data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan peternak dan data pengujian kualitas semen. Data primer evaluasi performans reproduksi yang dikumpulkan untuk periode 2013 – 2015. Sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu melakukan survei untuk melihat kondisi peternakan sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode wawancara dengan alat bantu kuisioner. Data sekunder diperoleh dari hasil analisis kualitas semen beku.

Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk tabel dan dibahas secara deskriptif.

Parameter

Calving Interval (CO)

Selang beranak dihitung dari jarak waktuantara dua kejadian beranak yang berurutan Satuan yang digunakan adalah hari.

Days Open (DO)

Masa kosong dihitung dari tanggal beranakhingga tanggal perkawinan terakhir yang menghasilkan kebuntingan. Satuan yangdigunakan adalah hari. Service per conception (S/C)

Jumlah kawin per kebuntingan adalah jumlah perkawinan yang telah dilakukan untuk menghasilkan suatu kebuntingan darisetiap individu. Data didapatkan dari dua inseminator yang bertugas untuk wilayah Kecamatan Selupu Rejang yang didasarkan pada kartu pelaksanan IB. Data yang diperoleh diformulasikan dengan rumus (Tolihere, 1985):

Kualitas Semen beku

Kualitas semen beku yang terdiri dari motilitas, abnormalitas dan persentase hidup, dari lima sampel straw yang dipilih dari Inseminator di Selupu Rejang. Analisis kualitas semen dilakukan di UPTD Puskeswan Curup.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ternak

Karakteristik ternak merupakan salah satu aspek penting yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap reproduksi ternak. Pengamatan terhadap beberapa variabel yang ditampilkan pada Tabel 1. dianggap penting karena memiliki korelasi terhadap variabel utama dalam evaluasi performans sapi perah. Tabel 1. Karakteristik Sapi Perah di Kecamatan

Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Variabel Rataan ± SD

Umur ternak (tahun) 6,2 ± 0,4

Laktasi ke- 2,32 ± 0,58

Lingkar dada (cm) 186,26 ± 4,94 Panjang badan (cm) 154,42 ± 9,03 Tinggi badan (cm) 131,89 ± 5,22 Estimasi bobot badan (kg) 441,14 ± 30,44 Pemberian pakan/hari/ekor

(kg)

41,71 ± 4,04 Sumber : Data primer diolah (2015)

Hasil pengumpulan data didapatkan rataan umur sapi perah yang digunakan untuk penelitian ini sebesar 6,2 ± 0,4 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur memiliki pengaruh terhadap performan dan efisiensi reproduksi, hasil penelitian tentang pengaruh umur sapi perah di Desa Tegal Sari Kabupaten Malang menunjukkan bahwa sapi perah dengan umur 3 sampai 6 tahun masih memiliki efisiensi terhadap performan reproduksi (Zainudin et al., 2014). Wahyudi et al. (2012) lebih lanjut menyatakan bahwa tingkat kesuburan ternak juga dipengaruhi oleh umur ternak tersebut. Semakin tua umur induk maka reproduksi semakin baik dibandingkan dengan induk muda. Proses ovulasi pertama setelah beranak menandakan sempurnanya perkembangan folikel di ovarium yang menentukan fertilitas selanjutnya dan perlu adanya proses perbaikan fisiologis agar induk dapat kembali memulai siklus estrus post partus (Pryce et

al., 2004).

Periode laktasi merupakan variabel yang berfokus pada aspek produksi, namun perlu diketahui sebagai salah satu penilaian dalam karakteristik ternak. Hasil yang didapatkan yaitu ternak yang dijadikan objek rata – rata laktasinya sebesar 2,32 ± 0,58. Hal ini dapat dikatakan sangat baik sesuai dengan pendapat Makin et al. (2012)

(3)

yang menyatakan bahwa puncak produksi susu terdapat pada periode laktasi ke dua kemudian produksi susu menurun sampai dengan periode laktasi ke lima. Keadaan ini mencerminkan bahwa selain kemungkinan adanya penurunan mutu genetik sapi perah FH di Jawa Barat sebagai akibat sistem reproduksi yang tidak terarah, juga sebagai akibat tatalaksana peternakan yang kurang baik terutama tatalaksana pemberian pakan dan mutu pakan yang sering berubah.

Ukuran tubuh sering digunakan untuk mempelajari karakter fenotipik ternak yang mencerminkan pertumbuhan kerangka tulang dan pertambahan berat badan. Tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada merupakan parameter yang sering digunakan untuk membandingkan performan ternak. Parameter ukuran tubuh dapat digunakan sebagai standar seleksi untuk mendapatkan ternak yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar karena berkaitan dengan bobot badan dan pertumbuhan (Essien et al., 2003).

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan rataan lingkar dada = 186,26 ± 4,94 cm, panjang badan = 154,42 ± 9,03 cm dan tinggi badan = 131,89 ± 5,22 cm. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bobot sapi dengan rataan usia 6 tahun sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong sudah sangat baik jika dibandingkan dengan penelitian Praharani et al. (2009) yang berlokasi di Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak Cicadas, dengan nilai lingkar dada = 165,80 cm, panjang badan = 125,80 cm dan tinggi badan = 131,20 cm. Begitu pula dengan bobot badan yang dapat diestimasikan dengan lingkar dada, rataan bobot badan penelitan ini menunjukkan nilai sebesar 441,14 ± 30,44 Kg dan dapat dikatakan bahwa sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang memiliki bobot badan yang ideal dibandingkan sapi perah di Stasiun Percobaan Balai Penelitian Ternak di Cicadas.

Ternak yang memiliki ukuran tubuh lebih besar mencerminkan kualitas pertumbuhan yang baik dibanding dengan ternak lain pada umur yang sama. Parameter ukuran tubuh yang biasa dipakai sebagai standar yaitu tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada yang mempunyai korelasi positif dengan berat badan (Blackmore et al., 1995).

Reproduksi merupakan faktor yang paling penting dalam peternakan sapi perah, mengingat tanpa adanya reproduksi mustahil produktivitas

Menurut Pramono et al. (2008), berbagai aspek yang menjadi hal penting dan perlu di evaluasi dari segi reproduksi antara lain adalah Calving Interval (CI), Days Open (DO) Service per Conception (S/C) dan Ada ketetapan yang dijadikan acuan untuk beberapa parameter tersebut, untuk DO yang baik berada pada kisaran 40-60 hari (Stevenson, 2001), S/C yang baik adalah 1,6–2,0 (Jainudeen and Hafez, 2008), sedangkan CI yang baik adalah ± 365 hari (Ball dan Peters, 2004).

Beberapa parameter tersebut mendeskripsikan hasil evaluasi IB yang nantinya mampu menyimpulkan apakah IB yang dilakukan sudah baik ataukah perlu perbaikan. Evaluasi performans reproduksi sapi perah tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Evaluasi Performans Reproduksi Sapi Perah di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Variabel Rataan ± SD

Calving Interval (bulan) 13,79 ±3,34

Days Open (hari) 139,73 ± 91,25

Service per Conception 1,58 ± 0,77

Sumber : Data primer diolah (2015)

Calving Interval

Calving Interval (CI) adalah jangka waktu

yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan (Leksanawati, 2010).

Calving Interval merupakan salah satu penilaian

terhadap baik buruknya kinerja reproduksi serta menjadi tolak ukur yang paling penting untuk menilai tingkat efisiensi reproduksi induk sapi, semakin pendek jarak beranak akan semakin produktiv seekor induk, karena semakin banyak pula anak yang dapat dilahirkan sepanjang hidupnya. Jarak beranak ini dapat diukur dengan menghitung jarak antara kelahiran satu anak dengan anak berikutnya yang berurutan. Hasil dari perhitungan data didapatkan rata – rata CI sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang sebesar 13,79±3,34 bulan atau 413,63 ± 100,12 hari.

Beberapa penelitian mengenai rerata pencapaian CI pada ternak sapi perah yaitu sebesar 13 bulan (Leksanawati, 2010) dan 12,63 bulan (Octaviani, 2010). Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau

(4)

Evaluasi Performans Reproduksi Sapi Perah Rakyat dan Kualitas Semen Beku di Kecamatan Selupu Rejang, Rejang Lebong, Bengkulu (Brilian Putra Pamungkas, Heri Dwi Putrantodan Endang Sulistyowati))

karena banyak faktor yang mempengaruhinya, apalagi manajemen reproduksi yang diterapkan masih belum baik. Hasil dari beberapa penelitian jarak beranak sapi yang dipelihara rakyat masih cukup panjang, terletak pada kisaran 14–18 bulan. Nilai yang didapatkan menunjukkan bahwa CI yang ada di Kecamatan Selupu Rejang belum baik, hal ini menunjukkan perlu adanya perbaikan di bidang manajemen dan peningkatan kualitas individu peternak agar usaha peternakan lebih efisien baik dari segi produksi dan reproduksi.

Days open

Days Open atau masa kosong adalah jarak

antara induk beranak sampai dengan bunting kembali.Masa kosong merupakan faktor yang penting dalam tata laksana sapi perah dalam hal waktu kebuntingan yang diinginkan. Panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata masa kosong di peternakan sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang mencapai 139,73 ±91,25 hari. Menurut Harjopranyoto (1995) masa kosong yang baik adalah sekitar 60-90 hari dan tidak boleh lebih dari 120 hari.Hal ini menunjukkan bahwa masa kosong sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang meskipun belum baik, namun tidak terlalu jauh dari angka ideal.

Panjangnya DO disebabkan oleh banyak hal. Hal yang paling mendasar adalah terjadi kesalahan dalam mendeteksi birahi karena pada umumnya, birahi yang terjadi post partussusah dideteksi bahkan terjadi silent heat. Pirlo et al. (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penundaan umur kawin pertama adalah birahi yang terlambat, kesalahan dalam deteksi birahi, kurangnya bobot badan, dan faktor lingkungan.

Service per Conception

Service per Conception (S/C) adalah angka

yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan (Toelihere, 1993). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rataan S/C sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang adalah 1,58 ± 0,77 Nilai S/C ini menunjukkan tingkat kesuburan dari hewan betina. Semakin rendah nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan dari sapi-sapi betina

yang di IB dan sebaliknya, semakin tinggi nilai S/C maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina dalam kelompok tersebut.Selain menunjukkan tingkat kesuburan betina, S/C juga dapat menjadi tolak ukur kemampuan dan keterampilan inseminator dalam melakukan inseminasi. Semakin rendah nilai S/C maka inseminator dinilai semakin terampil (Herawati et al., 2012)

Penelitian sebelumnya mengenai pencapaian angka S/C di Kecamatan Selupu Rejang untuk sapi perah sebesar 1,93 didapat dari rataan S/C Desa Air Putih Kali Bandung (1,87) dan Desa Air Duku (2,0) (Sulistyowati et al., 2009). Menurut Toelihere (1985) nilai S/C yang baik adalah pada kisaran 1,6 sampai 1,8. Selanjutnya Partodihardjo (1987) melaporkan bahwa nilai S/C yang rendah menunjukkan kesuburan ternak betina baik, semen yang baik, inseminator yang trampil dan saat pelaksanaan IB yang tepat. Nilai S/C = 2 masih dapat dikategorikan baik. Sementara Puslitbang Peternakan (2010) merekomendasikan untuk usaha breeding nilai S/C yang baik adalah di bawah 1,55. Bila dibandingkan dengan hasil S/C penelitian sebelumnya hasil S/C sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang ini dinilai sangat baik.

Evaluasi Kualitas Semen Beku

Hasil evaluasi kualitas semen beku yang digunakan untuk sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Evaluasi Kualitas Semen Beku yang digunakan Untuk Inseminasi Sapi Perah Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu

Variabel Rataan ± SD

Motilitas (%) 46,87 ± 4,33 Viabilitas (%) 63,32 ± 5,70 Abnormalitas (%) 2,97 ± 1,66

Keterangan : Hasil evaluasi di UPTD Puskeswan Curup

Motilitas

Dari evaluasi semen beku yang telah dilakukan di UPTD Puskeswan Curup, didapatkan nilai motilitas sperma post thawing sebesar 46,87%. Untuk standar motilitas post thawing, syarat minimal motilitas individu semen post thawing agar semen dapat dipergunakan dalam Inseminasi Buatan adalah 40% (Garner dan Hafez, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa semen beku yang digunakan

(5)

oleh inseminator untuk melakukan inseminasi buatan di Kecamatan Selupu Rejang sudah memenuhi syarat dan dikategorikan baik. Hal ini sejalan dengan Susilawati et al. (2003) yang menunjukkan proses fertilisasi membutuhkan spermatozoa motil sekitar sepuluh juta spermatozoa, maka syarat spermatozoa sebagai standar inseminasi adalah spermatozoa per straw dengan motilitas 40%. Motilitas merupakan salah satu kriteria penentu kualitas semen yang dilihat dari banyaknya spermatozoa yang motil progresif dibandingkan dengan seluruh spermatozoa yang ada dalam satu pandang mikroskop. Menurut Evans dan Maxwell (1987), terdapat tiga tipe pergerakan spermatozoa yaitu pergerakan progresif (maju ke depan), pergerakan rotasi dan osilator atau konvulsif tanpa pergerakan ke depan atau perpindahan posisi.

Evaluasi motilitas spermatozoa postthawing adalah salah satu parameter yang banyak digunakan untuk menentukan kualitas semen sapi yang akan digunakan untuk Inseminasi Buatan.

Viabilitas

Hasil Evaluasi yang telah dilakukan menunjukkan nilai viabilitas atau sperma hidup sebesar 63,32%. Penelitian Hidayatin (2002) menyatakan bahwa dibutuhkan 50% spermatozoa yang hidup dan motil untuk dipakai dalam IB maka Semen Beku untuk sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang menunjukkan persentase viabilitas dalam kisaran normal. Selanjutnya ditambahkan oleh Hafez et al. (2000), bahwa persentase hidup spermatozoa harus lebih dari 50%. Spermatozoa yang memiliki persentase hidup yang tinggi menandakan bahwa membran plasma masih utuh secara fisik, sehingga organel sel spermatozoa akan terlindungi, kebutuhan zat- zat makanan dan ion- ion untuk proses metabolisme tersedia.

Viability atau spermatozoa hidup

merupakan syarat mutlak bagi spermatozoa dalam melakukan fertilisasi didalam sel telur. Viabilitas spermatozoa tergantung pada keutuhan membran spermatozoa. Kerusakan membran spermatozoa akan menyebabkan terganggunya proses metabolisme intraseluler spermatozoa sehingga spermatozoa akan melemah dan bahkan bisa menyebabkan kematian (Ihsan, 2008).

Abnormalitas

Hasil dari evaluasi yang dilakukan

menunjukkan bahwa semen beku yang digunakan untuk IB di wilayah Kecamatan Selupu Rejang dapat dikategorikan baik dan layak untuk digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1993) yang menyatakan bahwa selama abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka semen tersebut masih dapat dipakai untuk inseminasi.

Abnormalitas spermatozoa terbagi menjadi tiga kelompok yaitu abnormalitas spermatozoa primer, sekunder dan tersier. McPeake dan Pennington (2009), mengelompokkan abnormalitas dalam dua kategori, yaitu primer (yang meliputi abnormalitas kepala dan bentuk midpiece,

abnormalitas midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang membengkok).

Abnormalitas primer terjadi pada proses spermatogenesis dalam testis, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi selama perjalanan spermatozoa di epididimis (Hafez et al., 2000). Kerusakan spermatozoa juga disebabkan selama atau setelah ejakulasi atau dari penanganan yang salah saat IB yang disebut sebagai abnormalitas spermatozoa tersier (Hafez et al., 2000).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

Calving Interval 13,79 bulan, Days Open 139,73

hari, Service per Conception 1,58 dan kualitas semen beku yang digunakan sudah sesuai kebutuhan dengan angka motilitas 46,87%, viabilitas 63,32%, dan abnormalitas 2,97%.

DAFTAR PUSTAKA

Ball, P. J. H. and A. R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. 3rd Ed., Blackwell Publishing. Oxford, UK. Pp. 1-12, 40-55, 68-75, 79-91, 215-237.

Blackmore, D. W., L. D McGulliard and J.L. Lush. 1995 Genetic relationship between body measurements at three ages in Holstein.J. Dairy Sci. 41: 1045.

Evans, G. dan W.M.C. Maxwell 1987. Salamon’s Artificial Insemination of Sheep and Goats. Butterworths, Australia. Fitrianti, A.

(6)

Evaluasi Performans Reproduksi Sapi Perah Rakyat dan Kualitas Semen Beku di Kecamatan Selupu Rejang, Rejang Lebong, Bengkulu (Brilian Putra Pamungkas, Heri Dwi Putrantodan Endang Sulistyowati))

Reproduction in farm animal. 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA. hlm. 96-109.

Hafez, B., M.E. Bellin, D.D., Varner, C.C., Love, R.W.Lenz, , B.A. Didion, M. Dally, and R.L, Ax. 2000. Semen Evaluation. In Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lea dan Febiger. Philadelphia, USA.

Hardjopranjoto. 1995. Ilmu Kemajiran Ternak Airlangga University Press, Surabaya.

Herawati, T. 2012. Refleksi Sosial dari Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca pada Sektor Peternakan di Indonesia. Wartazoa Vol 22 No 1.

Hidayatin, D. 2002. Kaji Banding Kualitas Semen Beku Produk BIB Lembang dan Singosari pada Setiap Jalur Distribusi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ihsan, M.N. 2008. Upaya Peningkatan Konsentrasi Spermatozoa Hasil Pemisahan Dengan Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll pada Sapi Friesian Holstein (FH). Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Jainudeen, M.R.. and E.S.E. Hafez. 2008. Cattle And Buffalo in Reproduction In Farm Animals. 7th Edition. Edited by Hafez E.S.E. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland. USA. 159 : 171.

Leksanawati, A. Y. 2010. Penampilan Reproduksi Induk Sapi Perah Peranakan Friesien Holstein di Kelompok Ternak KUD Mojosongo Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Makin, M. 1990. Studi Sifat- sifatPertumbuhan, Reproduksi danProduksi Susu Sapi Perah SahiwalCross (Sahiwal x Fries Holland) diJawa Barat. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makin, M dan D. Suharwanto. 2012. Performa

Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland di Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak. 12(2) : 8-11.

McPeake, S.R., and J.A. Pennington. 2009. Breeding soundness evaluation for beef and dairy bulls.

Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-2. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Pirlo, G., F. Milflior, and M. Speroni,. 2000. Effect of Age at First Calving on Production Traits and Difference Between Milk Yield and Returns and Rearing Cost in Italian Holsteins. Journal Dairy Science. 83 (3): 603-608. Praharani, L., D.A. Hastono, Kusumaningrum, dan

P. Situmorang. 2009. Studi Awal Performa Sapi Perah FH x Ongole Dara di Dataran Rendah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Pramono, A., Kustono dan H. Hartadi. 2008. Calving Interval Sapi Perah di Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau dari Kinerja Reproduksi. Buletin Peternakan. 32(1) : 38-50.

Pryce, J.E.., M.D. Royal, P.C./ Garnsworthy and I.L. Mao. 2004. Fertility in the High Producing Dairy Cow. Livestock Production Science. 86:125- 135.

Puslitbang Peternakan. 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Bogor.

Setyawan, H., S. I. Santoso dan Mukson. 2005. Analisa Finansial Usaha Peternakan Sapi Perah pada Tingkat Perusahaan Peternakan. J. Animal Production 7(1) : 40 -45.

Stevenson, J. S. 2001.Reproductive Management of Dairy Cows in High Milk-Producing Herds. J.Dairy Sciences. 84 : 128-143.

Sulistyowati, E. 1996. Penampilan Produksi, Fisiologi dan Reproduksi Sapi Holstein Laktasi di Bengkulu: Studi Kasus pada Paternakan Rakyat Sapi Perah di Pondok Kelapa Bengkulu Utara. Jurnal Penelitian UNIB. No 7. November.

Sulistyowati, E., K. Emran., L. Sutarno., dan G. Tampubolon. 2009. Penampilan Reproduksi Sapi Perah FH (Friesh Holland) dan Pertumbuhan Pedetnya pada Umur 1-3 bulan (Studi Kasus di Desa Air Duku dan Desa Air Putih Kali Bandung, Slupu Rejang, Rejang Lebong, Bengkulu. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 4.No 1.

(7)

Susilawati, T. 2003. Pedoman Inseminasi Buatan pada Ternak. Universitas Brawijaya (UB) Press. Malang. ISBN 978-602-203-458-2. Susilawati, T. 2011. Spermatozoatology. Penerbit

Universitas Barwijaya Press. Malang.

Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Penerbit Angksa. Bandung.

Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Wahyudi, L., T. Susilawati dan S.Wahjuningsih. 2012. Tampilan Reproduksi Sapi Perah pada Berbagai Paritas di Desa Kemiri Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. J. Ternak Tropika. 14(2):13-22.

Zainudin, M., M.N. Ihsan dan Suyadi. 2014. Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (3): 32-37.

Gambar

Tabel 3.  Evaluasi  Kualitas  Semen  Beku  yang  digunakan  Untuk  Inseminasi  Sapi  Perah  Kecamatan  Selupu  Rejang,  Kabupaten  Rejang Lebong, Bengkulu

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang lelaki yang didapati bersama-sama dengan seorang atau lebih perempuan yang bukan isteri atau mahramnya di tempat yang sunyi atau di dalam sebuah rumah atau bilik atau

Intervensi keperawatan yang disusun adalah dengan manajemen energi dimana dalam NIC : Energy management : Energy Management : kaji aktivitas pasien sehari- hari,

Evaluasi merupakan salah satu langkah dalam proses keperawatan yang memungkinkan untuk menentukan apakah intervensi berhasil meningkatkan kondisi klien. Evaluasi

Dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa salah satu fungsi penting dari manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan proses pembelajaran, hal ini

11 Saya ragu mengikuti layanan bimbingan belajar yang dapat membantu permasalahan belajar saya.. 12 Meskipun lelah saya tetap mengikuti layanan

Ini dapat dilihat dari motivasi mereka yang masuk dalam struktur dan berniat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD kota semarang maupun yang menduduki

tebal pelat untuk menahan gaya geser pada sistem flat slab sebesar 50 cm sedangkan pada tipe two way slab with beam dibutuhkan tinggi balok 75 cm dengan tambahan

Sejak munculnya konflik kepemilikan atas Laut Cina Selatan, Indonesia selalu bertindak sebagai penengah bagi negara- negara yang berkonflik atas kawasan tersebut.. Namun saat