• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR KUNCI PENYEBAB LEDAKAN POPULASI HAMA WERENG COKLAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR KUNCI PENYEBAB LEDAKAN POPULASI HAMA WERENG COKLAT"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

HA

PE

AMA WE

IN

ENYEBAB

ERENG C

DI KAB

BO

SEKOLA

NSTITUT

B LEDAK

COKLAT

BUPATE

ONJOK I

AH PASC

T PERTA

BOGO

2011

KAN POP

Nilaparv

EN KLAT

ISTIAJI

CASARJA

ANIAN BO

OR

1

PULASI

vata lugen

EN

ANA

OGOR

ns STAL

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Faktor Kunci Penyebab Ledakan Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stal di Kabupaten Klaten adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Juli 2011 Bonjok Istiaji NIM A451050041

(3)

BONJOK ISTIAJI. Analisis Faktor Kunci Penyebab Ledakan Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stal di Kabupaten Klaten. Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO dan SURYO WIYONO.

Ledakan populasi hama wereng coklat Nilaparvata lugens Stal terjadi lagi pada tahun 2010-2011, sementara faktor-faktor kunci penyebabnya belum diketahui secara pasti. Penelitian berupa survei lapangan yang meliputi pengamatan ekologi dan wawancara teknik budidaya dilaksanakan dengan tujuan menganalisis faktor lingkungan dan praktik budidaya yang terkait dengan ledakan populasi hama tersebut di Kabupaten Klaten. Faktor kunci yang berkaitan nyata dengan ledakan hama wereng coklat berdasarkan penelitian ini adalah varietas padi, keberadaan predator, keberadaan cendawan entomopatogen, keberadaan serangga/hama lain, banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit, bahan aktif insektisida dan lolongannya, interval penyemprotan insektisida dan dosis pupuk nitrogen

Kata kunci: wereng coklat, Nilaparvata lugens, analisis faktor kunci, ledakan populasi, ketahanan ekosistem, Klaten

(4)

SUMMARY

BONJOK ISTIAJI. Key Factor Analysis of Brown Planthopper Nilaparvata

lugens Stal Population Outbreak in Klaten Regency. Under supervision of

SUGENG SANTOSO and SURYO WIYONO.

Population outbreak of brown plant hopper, Nilaparvata lugens, occured agains in 2010-2011 due to undeterminated keyfactors. Surveillance involving landscape-based observation and farmer interview has been conducted in order to analysize environmental factors and agricultural practices related to population outbreak in Klaten Regency. Key factors related pest outbreak in Klaten regency are rice varieties, presence of predators asa well as entomopathogenic fungi and colonization of endophytic fungi in rice, presence of other pests, active ingredient of insecticides, interval of spyaying and nitrogen fertilizer.

brown planthopper, Nilaparvata lugens, key factor analysis, population outbreak, ecosystem breakdown, Klaten

(5)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(6)

ANALISI FAKTOR KUNCI

PENYEBAB LEDAKAN POPULASI

HAMA WERENG COKLAT Nilaparvata lugens STAL

DI KABUPATEN KLATEN

BONJOK ISTIAJI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(7)

Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata

lugens Stal di Kabupaten Klaten

Nama Mahasiswa : Bonjok Istiaji

NIM : A451050041

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(8)
(9)

Puji syukur kepada Allah sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini. Di saat penelitian entomologi pertanian di Institut Pertanian Bogor lebih cenderung bersifat eksperimental dalam beberapa tahun terakhir, penulis mencoba mengisi kekosongan informasi yang bisa didapatkan dari penelitian ekologi eksploratif. Topik yang dipilih terkait ledakan populasi wereng coklat adalah permasalahan aktual di lapangan yang membutuhkan tanggapan cepat dalam menyelesaikannya.

Bagian terberat dari penelitian ini tentu saja adalah keharusan tinggal di lokasi penelitian dalam jangka waktu cukup lama dan perlunya mobilitas tinggi serta kelenturan bersikap untuk menanggapi kondisi lapangan yang dinamis. Namun dengan dukungan banyak pihak, ternyata hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Terima kasih kepada semuanya.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr. dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Agr.Sc. selaku pembimbing, juga kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. yang banyak memberi jalan dan tuntunan, serta meluangkan waktu menjadi penguji tamu. Penelitian ini didanai oleh kegiatan B2C IPB, karenanya penulis juga berterima kasih. Demikian pula rasa terima kasih dengan segenap ketulusan untuk dukungan keluarga dan seluruh sahabat yang membantu terselesaikannya pekerjaan ini.

Bogor, 26 Juli 2011 Bonjok Istiaji

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli 1974. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota yang dikenal dengan keberadaan Gunung Tidar ditengahnya. Tahun 1993-1998 penulis menempuh pendidikan S1 di jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB, serta pada tahun 2005 diberi kesempatan menempuh jenjang S2 di tempat yang sama. Penulis telah berkeluarga dengan seorang istri dan dua orang anak.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Perilaku makan dan kerusakan yang ditimbulkan wereng coklat ... 3

Kisaran inang wereng coklat dan ketahanan varietas padi ... 4

Siklus hidup dan morfologi masing-masing fase wereng coklat ... 5

Pertumbuhan populasi wereng dan musuh alaminya... 6

Ledakan Populasi Wereng Coklat ... 6

METODE... ... 8

Dasar Pemikiran ... 8

Langkah Pelaksanaan ... 9

Pengumpulan Data ... 10

Pengolahan dan Penyajian Data ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Gambaran Umum Budidaya Padi di Kabupaten Klaten ... 14

Keterkaitan antara Berbagai Faktor dengan Tingkat Kerusakan Hamparan ... 15

Keterkaitan antara Berbagai Faktor dengan Populasi Wereng Coklat di Tiga Tingkat Kerusakan Hamparan ... 29

Pembahasan Umum ... 36

KESIMPULAN.... ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. berbagai kategori faktor yang dibandingkan dalam pengujian χ2 .... 12 2. luas area pengamatan dan wawancara dalam survei di Kabupaten

Klaten ... 16 3. tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan ekologis dan

wawancara dibandingkan dengan tingkat kerusakan lahan akibat

wereng coklat di Kabupaten Klaten ... 17 4. hasil pengolahan data keterkaitan antara berbagai faktor dengan

tingkat kerusakan hamparan ... 21 5. gambaran keberadaan musuh alami hama pada hamparan sawah

yang terserang wereng coklat di Kabupaten Klaten ... 23 6. cendawan endofit pada pelepah daun padi pada hamparan yang terserang

wereng coklat ... 25 7. berbagai bahan aktif insektisida yang digunakan untuk mengendalikan

wereng coklat oleh petani di Kabupaten Klaten ... 27 8. Pemupukan yang biasa dilakukan petani padi di Kabupaten

Klaten ... 29 9. Tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan dibandingkan

dengan tingkat populasi wereng pada hamparan dengan tingkat

kerusakan berbeda di Kabupaten Klaten ... 30 10. Hasil pengujian keterkaitan antara beberapa faktor dengan tingkat

populasi wereng coklat di tiga tingkatan kerusakan hamparan ... 32 11. Kerentanan varietas-varietas padi yang ditanam petani di hamparan

dengan berbagai tingkat kerusakan akibat hama wereng coklat di

Kabupaten Klaten ... 34 12. Pengaruh penggunaan fungisida sistemik difenokonazol/heksakonazol

(13)

Halaman 1. Ilustrasi cara penentuan unit pengamatan dalam satu hamparan

dengan batas-batas ekologis yang jelas ... 10 2. perbandingan rata-rata jumlah wereng coklat per rumpun di hamparan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Denah lima kecamatan lokasi pengamatan dan wawancara ... 43 2. Peta wilayah Kabupaten Klaten ... 44 3. Blanko pengamatan 1: penggunaan lahan, distribusi varietas dan

umur tanaman padi ... 45 4. Blanko pengamatan 2: populasi wereng coklat, OPT lain dan

keberadaan musuh alami ... 47 5. Blanko pengamatan 3: informasi budidaya tanaman padi ... 49 6. Jenis komoditas, luas areal pertanaman, luas panen, produksi dan .. rata-rata produksi tahun 2006 (semester II) ... 51 7. Tanah sawah menurut kelas pengairannya di Kabupaten Klaten

tahun 2005 semester II (ha) ... 52 8. Luas wilayah menurut drainase tanah tahun 2005 (ha) ... 53 9. Varietas unggul padi sawah jenis inbrida yang dilepas tahun

1943-2009 ... 55 10. Varietas unggul padi sawah jenis hibrida yang dilepas tahun

2001-2007 ... 63 11. Lembar informasi insektisida ... 69 12. Spesies endofit yang diisolasi dari pelepah padi di Kabupaten

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi adalah tanaman pertanian utama di Indonesia dan merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduknya. Sedemikian pentingnya komoditas ini hingga padi disebut memiliki nilai politis dan nilai strategis dalam menjaga kestabilan dan keamanan nasional. Sayangnya, negara yang pernah berswasembada beras dan mendapat pujian dari dunia internasional ini kembali gagal memenuhi kebutuhan domestiknya sehingga impor terpaksa dilakukan kembali. Kegagalan produksi ini disebabkan sejumlah kendala penting, salah satunya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Sejumlah OPT padi perlu diwaspadai, salah satunya adalah wereng coklat

Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Dalam kondisi normal,

wereng coklat bukanlah hama tanaman padi. Namun seperti bahaya laten, serangga ini berulangkali meledak populasinya hingga statusnya bisa disebut sebagai bencana non alam. Sejak tahun 1931, Kalshoven (1981) telah mencatat serangan hama ini di Dramaga, Bogor, namun ledakan populasinya baru terjadi setelah revolusi hijau pada tahun 1970-an (Mochida et al. 1977).

Ledakan populasi pada tahun 1986 adalah kejadian menarik karena hal itu terjadi hanya dua tahun setelah Indonesia dinyatakan berswasembada beras. Tanggapan pemegang kebijakan saat itu cukup cepat dan tepat, antara lain dengan terbitnya Inpres no 3 tahun 1986 yang melarang 57 merek insektisida yang menyebabkan resistensi dan resurjensi wereng coklat, serta diadopsinya prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Subsidi untuk pestisida dihapuskan dan kebijakan ini segera diikuti dengan turunnya penggunaan pestisida di lapangan secara drastis. Sebuah kampanye besar-besaran penerapan PHT melalui sekolah lapangan bagi petani (SLPHT) diprogramkan secara nasional pada waktu itu. Setelah usaha yang melibatkan semua pihak meliputi petani, pemandu lapangan, pemerintah pusat dan daerah, peneliti, swasta, dan lain-lain, wereng coklat pun dapat diatasi.

Namun, keberhasilan tersebut kini cenderung melenakan. Potensi wereng coklat dalam menimbulkan masalah bagi dunia pertanian khususnya dan masalah bangsa pada umumnya cenderung terlupakan. Rupa-rupanya keterlenaan tersebut yang membuat sejarah terulang. Pada tahun 2010 populasi wereng coklat meledak di sentra produksi padi di Jawa, dan hal tersebut juga dua tahun setelah pemerintah mengklaim kembalinya swasembada beras.

Klaim swasembada beras pada tahun 2008 disebut sebagai hasil dari Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Berbagai subsidi, bantuan langsung dan insentif diberikan kepada petani dalam bentuk benih unggul berpotensi hasil tinggi termasuk padi hibrida, pupuk kimia (N, P, K) dan pupuk organik.

Ketika pada tahun 2011 ledakan populasi wereng coklat di Jawa Barat bagian utara terhenti, ledakan populasi wereng di Jawa Tengah dan Jawa Timur kecenderungannya justru meluas. Daerah eks Karesidenan Surakarta yang secara tradisional dikenal sebagai lumbung padi Jawa Tengah, meliputi tujuh kabupaten/kota yaitu Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, dan Kota Surakarta hingga saat ini masih terancam oleh hama wereng

(16)

2

coklat. Apabila merujuk pada UU no 2007 tentang Penanggulangan bencana, kejadian epidemi seperti ini telah terkategorikan bencana non alam. Dalam kondisi bencana, respon yang diharapkan tentu saja harus berbeda dengan kondisi normal. Tindakan yang berani, cepat, dan tepat perlu dilakukan, namun harus didukung oleh pemahaman yang benar agar tidak memperburuk keadaan.

Hal penting lainnya adalah ledakan populasi wereng coklat kali ini bersifat regional. Negara-negara yang secara tradisional menjadi sumber impor beras Indonesia apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi seperti Thailand, Vietnam, dan China juga tengah menghadapi masalah serupa (Bentur dan Viraktamath, 2008; Ooi 2010). Dengan demikian, impor beras yang biasa ditempuh untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam dan kebutuhan domestik, atau sekedar untuk cadangan pangan nasional, kelak tidak mudah lagi dilakukan. Oleh karena itu, masalah wereng coklat harus diselesaikan demi menyelamatkan petani dan konsumen beras yang meliputi hampir semua rakyat Indonesia

Ledakan wereng coklat seharusnya tidak terjadi, kecuali kalau sejarahnya telah dilupakan (Ooi 2010). Pengendalian wereng coklat di Indonesia dengan penerapan PHT adalah cerita sukses era 80-an. Apalagi penelitiannya, terutama yang bersifat eksperimental, telah banyak dilakukan. Survei pun sering dilakukan, namun pengumpulan data terfokus pada luas serangan, berat ringannya serangan, maupun potensi ancaman terhadap produksi beras. Survei tersebut tidak mampu menghasilkan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor kunci penyebab ledakan populasi wereng coklat di lapangan saat ini.

Sebuah survei yang langsung menganalisis faktor faktor kunci penyebab ledakan wereng coklat di Jawa Barat pernah dilakukan (Buchori et al. 1999) dan menghasilkan sejumlah temuan menarik. Survei serupa belum pernah dilakukan di daerah Klaten yang sedang terkena bencana ledakan populasi wereng coklat sehingga tidak bisa diketahui apakah faktor-faktor penentunya serupa atau berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor kunci penyebab ledakan populasi hama wereng coklat , Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae) di Kabupaten Klaten, terutama di daerah yang pertama kali dilaporkan terjadi ledakan dan menjadi sumber infestasi bagi ledakan populasi yang lebih luas.

Manfaat Penelitian

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk melandasi respon cepat yang perlu diambil untuk menyelamatkan produksi beras dari ancaman wereng coklat. Selain itu, isi penelitian ini bisa juga dijadikan referensi bagi petani, penggiat pertanian, pemerintah, dan dunia akademis untuk menguraikan masalah serupa di tempat dan waktu yang berbeda. Topik penelitian ini juga berguna untuk memperkaya khazanah ilmu dan merangsang penelitian sejenis.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Enam puluh lima spesies wereng, terdiri dari 4 spesies subfamili Asiracinae, 4 spesies dari subfamili Stenocracinae, dan 57 spesies dari subfamili Delphacinae diketahui berasosiasi dengan agroekosistem padi di Asia (Dupo dan Barrion 2009). Walaupun demikian, hanya tiga spesies yang dianggap penting secara ekonomi, yaitu wereng coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih (sogatella furcifera), dan wereng coklat kecil (Laodelphax striatellus) (Ooi 2010). Dua spesies pertama adalah hama penting di pertanaman padi daerah tropik, sedangkan spesies ketiga lebih banyak menyerang di daerah beriklim sedang. Dari ketiga spesies wereng famili Delphacidae tersebut, hanya wereng coklat yang dianggap merugikan secara ekonomi di Indonesia karena kemampuannya menimbulkan kerusakan hamparan secara masal.

Wereng coklat, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae) pertama kali dideskripsikan oleh Stal pada tahun 1854 berdasarkan temuannya di Jawa dan gejala serangan seperti terbakar (hopperburn) dilaporkan pertama oleh Kalshoven di Bogor dan Mojokerto pada tahun 1931 (Mochida et al. 1977). Informasi tentang wereng coklat sebagian besar diperoleh dari Kalshoven (1981), Dale (1994), dan [CABI] (2005).

Perilaku Makan dan Kerusakan yang Ditimbulkan Wereng Coklat

Baik imago maupun nimfa wereng coklat mendapatkan nutrisinya dengan mengisap jaringan floem tanaman padi. Jaringan floem kaya akan gula, namun miskin asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhan wereng. Untuk memenuhi kebutuhan asam amino, wereng coklat harus mengisap cairan floem dalam jumlah banyak, sekaligus membuang kelebihan gulanya. Ekskret wereng dengan kandungan gula tinggi menjadi media tumbuh cendawan jelaga yang biasa ditemukan menempel pada batang padi yang terserang wereng. Selain itu, wereng coklat juga menggantungkan pemenuhan asam aminonya pada endosimbion yang dapat menguraikan asam urat di badan lemak (fat body) (Sasaki et al. 1996). Endosimbion berperan juga dalam pembentukan hormon ekdison (Chen 2009). Singkatnya, wereng tergantung pemenuhan nutrisi dan siklus hidupnya pada endosimbion (Sasaki et al. 1996; Hongoh dan Ishikawa 1997).

Serangan ringan wereng coklat akan menyebabkan tanaman menjadi terhambat pertumbuhannya, daun menguning, dan akar tidak berkembang. Dalam jumlah ratusan ekor per rumpun padi, wereng coklat dapat menyebabkan tanaman padi kering dan mati, serta tampak seperti terbakar (hopperburn). Mula-mula

hopperburn akan berupa lingkaran-lingkaran di tengah sawah, namun dengan

cepat radiusnya akan melebar dan seluruh tanaman akan mengering.

Dalam batas tertentu, tanaman padi mampu tetap bertahan hidup selama periode vegetatif karena adanya kompensasi pertumbuhan tanaman. Bahkan bila ditemukan 100-200 ekor wereng per rumpun pun, tanaman masih tetap hidup walaupun kelak produksinya akan jauh menurun akibat berkurangnya anakan produktif dan meningkatnya persentase gabah kosong. Namun setelah memasuki fase pembentukan malai, hasil fotosintesis tidak lagi diarahkan untuk pertumbuhan sehingga tanaman tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Oleh

(18)

4

karena itu, gejala hopperburn seringkali dilaporkan beberapa saat menjelang panen (Kulshreshth et al.1976), atau setidaknya setelah tanaman tumbuh rapat dan menjelang berbunga. Kerapatan tanaman juga menyediakan habibat yang disukai wereng coklat sehingga laju populasinya akan meningkat.

Dalam tingkat serangan yang lebih parah, gejala hopperburn ditemukan pula pada pertanaman padi yang lebih muda hingga pembibitan. Artinya, populasi wereng telah sedemikian tinggi sehingga kompensasi pertumbuhan tanaman pun tidak mampu mengatasinya.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh wereng coklat juga terjadi akibat perannya sebagai vektor virus penyakit padi. Serangan virus kerdil rumput dan kerdil hampa di lapangan seringkali meluas setelah populasi wereng coklat yang tinggi pada musim sebelumnya. Dalam kondisi seperti itu, penyakit ini juga merupakan masalah serius. Tanpa gejala hopperburn, serangan virus dapat berakibat gagal panen sama sekali.

Kisaran Inang Wereng Coklat dan Ketahanan Varietas Padi

Wereng coklat hidup dan berkembang biak terutama pada tanaman padi (Oryza sativa). Beberapa spesies liar Oryza juga menjadi tempat hidup serangga ini. Walaupun sejumlah rumput liar diketahui dapat menjadi tempat bertahan hidup dan tempat peletakan telur di laboratorium, belum diketahui apakah hal tersebut dapat pula terjadi di alam (Zaheruddeen dan Rao 1988).

Sebelumnya, Claridge et al. (1985) menyatakan bahwa Nilaparvata lugens yang ada di padi berbeda dengan yang hidup di gulma Leersia hexandra, dan oleh Hemingway et al (1999) keduanya disebut sebagai sibling species. Di sejumlah daerah di Indonesia, padi ditanam sepanjang tahun. Dengan demikian, tanaman inang akan selalu tersedia bagi wereng coklat, walaupun berupa sisa tanaman dan tunggul-tunggul.

Kandungan nutrisi dan resistensi tanaman mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya wereng coklat pada tanaman padi. Hal ini telah dimanfaatkan dalam pengembangan varietas-varietas padi tahan wereng. Hingga saat ini, telah dikenal 21 gen resisten pada tanaman padi, dan 4 gen resisten banyak dimanfaatkan pada pemuliaan padi-padi varietas IR (Brar et al. 2009). Sayangnya, resistansi varietas padi telah beberapa kali dipatahkan oleh wereng coklat, hingga dikenal konsep biotipe wereng coklat, yaitu munculnya populasi wereng yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada varietas padi yang sebelumnya dikenal tahan wereng.

Debat seputar biotipe wereng masih berlangsung, terutama dalam hal apakah biotipe adalah populasi yang secara reproduktif terisolasi untuk mengarah kepada terbentuknya spesies baru (Chen 2009). Dalam setiap biotipe, terdapat keragaman yang sangat tinggi. Demikian pula, satu biotipe dapat beradaptasi dengan cepat terhadap varietas tahan yang baru. Dua hal ini menandakan konsep biotipe lebih tepat didefinisikan sebagai populasi terseleksi (seperti halnya seleksi populasi resisten wereng oleh penggunaan insektisida) daripada interaksi inang- serangga yang mengarah kepada terbentuknya ras dan spesies baru (Chen 2009).

Berlawanan dengan genetika ketahanan padi terhadap wereng yang telah banyak diketahui, mekanisme patahnya resistensi dan genetika wereng sendiri belum banyak diungkap (Noda 2009). Chen (2009) bahkan menduga adanya faktor non genetik dalam masalah biotipe berupa interaksi

(19)

padi-wereng-endosimbion. Ditemukan keragaman endosimbon yang tinggi pada populasi wereng yang telah mampu berkembang pada varietas tahan, sementara tidak ada hubungan nyata antara asal biotipe wereng dengan kemampuan generasi selanjutnya yang telah mampu berkembang pada varietas tahan setelah melalui seleksi terarah di laboratorium.

Ketahanan tanaman padi juga terkait dengan interaksi tanaman dengan sejumlah endofit dari kelompok cendawan dan bakteri. Sejumlah penelitian pendahuluan menggambarkan peran endofit padi dalam menginduksi ketahanan tanaman padi terhadap hama. Clay (1992) menyatakan 21 spesies rumput-rumputan berasosisasi dengan cendawan endofit yang berfungsi meningkatkan ketahan terhadap herbivora. Dengan demikian, interaksinya menjadi semakin kompleks dengan komponen tanaman padi, wereng, endosimbion wereng , dan endofit padi. Selanjutnya Heong (2009) mengajukan konsep ketahanan ekologis yang melibatkan semua komponen ekosistem sawah yang membentuk ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama wereng coklat.

Siklus Hidup dan Morfologi Masing-Masing Fase Wereng Coklat

Sesuai namanya, wereng coklat berwarna coklat dengan mata sedikit berwarna biru. Kepala, pronotum dan mesonotum berwarna lebih terang, demikian pula bagian posterior abdomennya. Seperti famili Delphacidae umumnya, tungkai wereng coklat memiliki taji berwarna hitam. Sayapnya transparan dengan venasi berwarna gelap.

Wereng coklat dewasa mengalami dimorfisme, sebagian memiliki sayap sempurna (makroptera) yang terspesialisasi untuk memencar, sedangkan sebagian lagi sayapnya pendek tidak berkembang (brakhiptera) namun memiliki kemampuan bereproduksi yang lebih baik. Pembentukan makroptera dan brakhiptera diatur oleh mekanisme hormonal, dan dipicu oleh sejumlah faktor seperti nutrisi dan kepadatan populasi. Proporsi antara jumlah individu makroptera dan brakhiptera dapat digunakan untuk menduga telah berapa lama keberadaannya dalam suatu habitat tanaman padi dan kapan saatnya menyebar ke habitat sekitarnya.

Secara rata-rata, serangga betina berukuran lebih besar dibandingkan serangga jantan. Betina makroptera berukuran 4,6 mm sedangkan yang jantan berukuran 3,9 mm. Imago betina wereng coklat meletakkan telur dalam jaringan pelepah daun padi, dan hanya bagian operculum yang menonjol keluar. Telur berwarna putih, berbentuk bulat memanjang dan berkelompok dalam jumlah 2-12 butir. Rata-rata telur berukuran panjang 0,99 mm dan lebar 0,20 mm. Imago makroptera bertelur sekitar 100 butir, sedangkan imago brakhiptera dapat menghasilkan 300-400 butir.

Setelah 6-9 hari, telur akan menetas menjadi nimfa. Fase nimfa terdiri dari 5 instar dengan periode setiap instar sekitar 2-4 hari. Dengan demikian siklus hidup satu generasi dapat dilalui dalam 3-4 minggu. Nimfa instar I berukuran panjang 0,97 mm dan lebarnya 0,37 mm. Setiap ganti kulit ukurannya akan bertambah hingga nimfa instar V berukuran 2,69 mm x 1,25 mm. Nimfa muda berwarna lebih muda dan hidup bergerombol pada pangkal batang padi. Nimfa instar akhir berwarna serupa dengan imago, dengan bakal sayap yang sudah menutupi tiga segmen pertama abdomen. Suhu optimal bagi wereng untuk tumbuh dan berkembang biak adalah 28-30 ⁰C.

(20)

6

Pertumbuhan populasi wereng dan musuh alaminya

Dalam satu musim tanam padi, wereng coklat dapat berkembang biak selama 2-3 generasi sebelum berpindah mencari sumber makanan baru dengan penerbangan masal. Di daerah tropis seperti Indonesia, generasi yang tumpang tindih atau relatif seragam dapat terjadi di suatu daerah, tergantung keserempakan tanam padi. Sementara itu di daerah iklim sedang seperti Korea dan Jepang, migrasi jarak jauh ke Asia daratan (Cina) selalu terulang setiap tahun sekitar bulan September, demikian pula sebaliknya rekolonisasi dari Cina ke Jepang dan Korea terjadi setiap bulan Juni hingga Juli.

Migrasi wereng di daerah iklim sedang disebabkan ketidakmampuan serangga menjalani musim dingin. Hal ini berbeda dengan migrasi di daerah tropik. Pada umumnya, habisnya sumber daya makananlah yang menentukan migrasi wereng di daerah tropik, misalnya saat padi menjelang panen. Migrasi masal wereng di daerah iklim sedang dapat mencapai ribuan kilometer melewati lautan lepas, namun belum ada bukti seberapa jauh migrasi wereng di daerah tropik. Daya jelajah dan pola sebaran wereng coklat di Indonesia juga belum pernah diteliti.

Populasi wereng coklat di alam dikendalikan oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah faktor musuh alami. Dalam jaring-jaring makanan yang telah berhasil disusun untuk wereng coklat, terdapat 76 spesies yang terlibat, 50 spesies diantaranya adalah laba-laba predator (Dupo dan Barrion 2009). Parasitoid hanya terdiri dari 11 spesies, dan sayangnya data penelitian ini tidak melibatkan patogen wereng. Dalam model yang diperluas untuk semua spesies famili Delphacidae yang hidup di agroekosistem padi di Asia tropis, 29,5% adalah laba-laba predator, 32% serangga predator (didominasi Hemiptera), 27% parasitoid (Hymenoptera), 7% vertebrata, 2% cendawan entomopatogen, dan 1,2% nematoda (Dupo dan Barrion 2009).

Ledakan Populasi Wereng Coklat

Ledakan populasi serangga adalah kenaikan jumlah secara eksplosif yang terjadi dalam waktu singkat. Ledakan populasi wereng coklat terjadi bersamaan waktunya dengan berkembangnya irigasi yang memungkinkan ditanamnya padi terus menerus setahun penuh, pemupukan N yang tinggi, dan penyemprotan insektisida yang mematikan musuh alami. (Kalshoven 1981). Peran musuh alami wereng yang terhambat akibat penggunaan insektisida telah dilaporkan sejak lama, misalnya oleh Kulshreshth et al. (1976) di India dan diikuti laporan-laporan lain (Cuong et al. 1997). Jarak tanam yang rapat, jumlah anakan yang lebih banyak, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen, dan pengelolaan hama yang tidak selektif dilaporkan sebagai faktor-faktor penyebab ledakan populasi wereng coklat (Kalode 1974, 1976, Dyck et al. 1977, Okada 1977).

Faktor lain yang diduga turut serta dalam ledakan populasi wereng coklat adalah kerentanan tanaman. Ledakan populasi wereng terjadi di Indonesia setelah masuknya varietas rentan seperti Pelita 1-2, IR 5, IR 8 dan C4 sejak tahun 1967 (Mochida danSuryana 1979). Di India, introduksi varietas Taichung Native 1 pada tahun 1964 dan and IR8 pada tahun 1968 mengawali masalah wereng coklat (Kulshreshth et al. 1970). Hal serupa terjadi juga di Korea (Kim et al. 1986) dan Cina (Feng et al. 1992). Ledakan populasi wereng di China diduga terkait penanaman padi hibrida yang rentan (Cheng 2009). Dalam literatur yang sama

(21)

digambarkan sejarah ledakan populasi wereng di China yang awalnya hanya disebabkan wereng coklat. Introduksi padi hibrida membuat populasi wereng punggung putih ikut meledak, namun saat kejadiannya selalu bergantian dengan wereng coklat. Pada masa selanjutnya, dua spesies wereng dapat meledak populasinya pada tahun-tahun yang sama. Kini, setelah dua spesies wereng mengancam pertanaman padi di China, spesies ketiga wereng coklat kecil ikut menambah masalah dengan menularkan virus penyakit padi.

Meskipun telah banyak studi tentang wereng coklat, namun ledakan populasi hama ini tetap terulang hingga tahun 2011 ini. Ooi (2010) menyatakan bahwa faktor pestisida yang dominan berpengaruh sehingga mematikan musuh alami. Selain itu ia juga menggarisbawahi telah dilupakannya sejarah keberhasilan pengendalian wereng coklat di masa lalu oleh pelaku pertanian di Asia, dan kembalinya maraknya penggunaan insektisida. Hal ini dikuatkan oleh Catindig (2009) dan Escalada (2009) yang menyatakan bahwa sebagian besar negara di Asia hanya menggunakan cara kimiawi untuk mengendalikan wereng coklat.

. Heong (2009) mengatakan bahwa ledakan hama yang terulang terus adalah tanda dari ketidakstabilan agroekosistem. Fenomena ledakan wereng coklat yang cenderung bersifat regional Asia Tenggara dan Timur membuat hama wereng coklat kembali menjadi ancaman keberlanjutan produksi padi di Asia.

(22)

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian ekologi eksploratif, yang menentukan keterkaitan antara sejumlah fakta ekologi dan praktik budidaya tanaman dengan tingkat kerusakan hamparan akibat serangan wereng coklat. Dengan demikian penelitian ini bukan penelitian eksperimental, namun berupa survei lapangan yang meliputi pengamatan ekologi dan wawancara kepada petani tentang praktik budidaya di daerah yang terkena ledakan populasi wereng coklat di Kabupaten Klaten. Metode yang digunakan mengadopsi penelitian sejenis oleh Buchori et al. (1999) dengan modifikasi seperlunya.

Dasar Pemikiran

Kata penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah faktor kunci, ledakan populasi, dan hama. Suatu spesies serangga tidak secara serta merta menjadi hama walaupun populasinya tinggi di alam. Kenyataannya, serangga telah ada terlebih dahulu dan berinteraksi dengan tumbuhan sebelum manusia mulai bercocok tanam. Banyak masalah hama saat ini adalah akibat langsung dari usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan produksi pertanian, baik berupa tanaman baru yang mendukung populasi serangga setempat, serangga terbawa ke lingkungan baru yang lebih sesuai, maupun penyederhanaan ekosisten pertanian dibanding ekosistem alami (Gullan dan Cranston 2005). Dent (2000) menyebutkan sejumlah mekanisme bagaimana intensifikasi pertanian menciptakan hama baru atau memperbesar pengaruh hama yang telah ada, yaitu:

1. Konsentrasi populasi tanaman atau varietas dalam satu areal monokultur berarti meningkatkan sumber daya makanan bagi hama sehingga populasinya meningkat.

2. Biasanya kultivar dengan potensi hasil tinggi juga disukai hama sehingga meningkatkan kolonisasi, penyebaran, dan pertumbuhan populasi.

3. Musuh alami yang membutuhkan relung hidup (niche) tersendiri berkurang kompetensinya dalam menekan populasi hama karena reservoir yang jaraknya menjadi semakin jauh atau ukurannya semakin kecil.

4. Intensifikasi menyebabkan ketersediaan sumber makanan yang terus menerus bagi hama

5. Percepatan penyebaran material tanaman melampaui distribusi alaminya, didalamnya hama seringkali terbawa.

6. Ketergantungan kepada bahan kimia (pupuk dan pestisida) yang meningkatkan populasi hama dengan mekanisme tersendiri.

Keenam mekanisme di atas relevan dengan agroekosistem padi. Hama-hama padi termasuk wereng berpotensi meningkat populasinya karena satu sebab atau lebih dari mekanisme di atas. Hanya saja, agroekosistem padi telah terbentuk cukup lama dan interaksi unsur biotik dan abiotik telah membentuk keseimbangan seperti saat ini (Settle et al. 1996). Keragaman arthropoda telah mampu menjaga hama-hama padi tetap stabil dalam populasi rendah, dan karenanya agroekosistem padi telah memiliki resistensi (kemampuan untuk bertahan dari gangguan luar)

(23)

dan resiliensi (kemampuan untuk kembali ke keseimbangan setelah ada gangguan dari luar) (Altieri dan Nicholls 2004; Heong 2009). Apabila ada faktor tertentu yang menyebabkan resistensi dan resiliensi agroekosistem padi tersebut hilang, maka saat itulah akan terjadi ledakan populasi hama (Heong 2009) dan faktor tertentu itulah yang disebut faktor kunci.

Ledakan populasi serangga terjadi bila kelimpahan spesies tersebut meningkat secara eksplosif dalam waktu singkat (Heong 2009). Ledakan populasi serangga tidak hanya terjadi pada ekosistem pertanian, namun juga ekosistem alami misalnya di hutan yang secara alami terdiri dari satu spesies tumbuhan (Dent 2000). Persamaannya, keduanya bersifat monokultur. Faktor alam dan faktor intervensi manusia melalui praktik budidaya disebut Dent (2000) sebagai penyebab ledakan populasi serangga. Faktor alam berpengaruh melalui mekanisme seperti migrasi musiman, lingkungan kondusif yang meningkatkan laju pertumbuhan, dan efek berbeda yang diterima hama dan musuh alaminya. Faktor budidaya yang paling sering disebut sebagai penyebab ledakan populasi hama adalah pestisida akibat reduksi musuh alami, hilangnya pesaing antarspesies, dan resistensi serangga.

Faktor alam/lingkungan yang relevan untuk dianalisis dalam penelitian ini adalah keragaman ekosistem padi yang meliputi keragaman lanskap, keragaman varietas dan umur tanaman padi, keberadaan musuh alami (predator dan cendawan entomopatogen) dan hama lain. Faktor budidaya yang dianalisis meliputi penyemprotan pestisida (insektisida dan fungisida), dosis pupuk kimia dan organik, jarak tanam, dan pembibitan.

Langkah Pelaksanaan

Data status sebaran populasi wereng coklat dan faktor yang diduga berkaitan erat dengan ledakan populasinya dikumpulkan dari lima kecamatan berbasis tanaman padi di Kabupaten Klaten yang dilaporkan pertama kali terserang wereng coklat yaitu Kecamatan Juwiring, Wonosari, Delanggu, Polanharjo, dan Karanganom (Lampiran 1 dan 2). Di setiap kecamatan, tiga desa dipilih untuk mewakili kondisi serangan wereng coklat dalam kategori berat, sedang, dan ringan. Mengingat cepatnya perubahan tingkat serangan dan populasi wereng coklat, kategori berat, sedang dan ringan ditentukan secara relatif di antara desa-desa yang dipilih. Caranya, ditentukan terlebih dahulu desa yang menderita serangan paling parah dan desa yang menderita paling ringan. Daerah dengan tingkat kerusakan sedang ditentukan berdasarkan letaknya yang terdekat dengan dua desa yang telah ditentukan lebih dahulu dan tingkat kerusakannya kurang lebih di tengah tingkat kerusakan dua desa sebelumnya

Pada setiap desa terpilih, unit pengamatan ditentukan berupa satu hamparan pertanaman dengan batas-batas ekologis yang jelas seperti perkampungan, jalan raya, dan tanaman keras/hutan (Gambar 1). Pengumpulan data mula-mula dilakukan dengan berjalan memotong hamparan (transek) sambil mencatat kondisi setiap petak pertanaman yang dilalui. Pengamatan lebih detail dilakukan kemudian, yaitu pada petak-petak yang mewakili varietas padi dan kategori umur tanaman padi. Pengamatan pada petak-petak terpilih dilakukan terhadap lima

(24)

10 rump petak dilak kemu lalu d dan perm dipot (PDA meng khus Peng perki dicat pada serta (Lam deng pemu Gam pun tanama k. Pengambi kukan secar udian dicuc disterilkan NaOCl 1% mukaan. Se tong beruku A) selama 3 Wawancar ggali inform usnya peng gumpulan D Data kon iraan luas p tat dengan a petak petak a keberadaa mpiran 4). gan petani s upukan, pen mbar 1 ilust bata mem an contoh y lan contoh ra terpisah ci dengan a permukaan % masing-m elanjutnya p uran 1 cm 3-5 hari sebe ra juga d masi tentang gelolaan ham Data ndisi hampa petak, variet Lembar Pe k terpilih m an musuh Sementara sebagai sara ngelolaan ha trasi cara pe as-batas eko motong pem yang ditentu h tanaman . Empat ir bersih un nya dengan masing sela pelepah pad kemudian elum dihitun dilakukan t g perlakuan ma wereng c aran yang tas yang dit engamatan mencatat dat alami deng itu, Lemba ana diperol ama, dan in enentuan un ologis yang matang (tran ukan secar n untuk d rumpun di ntuk mengh n pencelupa ama satu m di dibilas d diinkubasi ng populasi terhadap p n yang diter coklat. diperoleh tanam, umu 1 (Lampira ata populasi gan mengg ar Pengamat lehnya data nformasi lain nit pengama g jelas. Ara nsek), sedan a sistematik diisolasi c iambil dari hilangkan k an ke dalam menit untuk dengan air s ikan dalam i koloninya. enggarap p rapkan dala dari perjal ur tanaman an 3). Pen wereng, ha gunakan Le tan 3 digun a tentang pe n yang relev atan dalam ah panah m ng lingkaran k sepanjang endawan i tiap-tiap otoran. Pe m larutan alk k mematika steril dan d media aga . petak terpi am budidaya lanan trans dan jarak ta ngamatan le ama dan pen embar Peng nakan saat w emeliharaan van (Lampir satu hampa mennjukkan n adalah titik g diagonal endofitnya hamparan, elepah padi kohol 95% an mikrob dan setelah ar kentang ilih untuk a tanaman, sek adalah anam yang ebih detail nyakit lain, gamatan 2 wawancara n tanaman, iran 4). aran dengan arah jalam k-titik n m

(25)

Pengolahan dan Penyajian Data

Data dari lima kecamatan yang diduga merupakan pusat-pusat serangan direkapitulasi dan diolah dengan statistika deskriptif sederhana. Sebagian data diolah dengan tabulasi silang dengan tabel kontingensi (Savary et al 1995) dan dianalisis dengan uji khi kuadrat. Kerusakan hamparan (3 Kategori: berat, sedang, ringan) dibandingkan dengan faktor-faktor lain sebagai berikut:

1. Varietas (banyaknya kategori sesuai banyaknya varietas) 2. Penggunaan lahan (2 kategori)

3. Umur tanaman padi (3 kategori)

4. Populasi wereng coklat per rumpun padi (3 kategori) 5. Keberadaan predator (2 kategori)

6. Keberadaan cendawan entomopatogen (2 kategori) 7. Keberadaan serangga/hama lain (2 kategori)

8. Keberadaan spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya spesies) 9. Banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya

spesies)

10. Penggunaan fungisida sistemik difenokonazol/heksakonazol (2 kategori) 11. Bahan aktif insektisida yang digunakan petani (kategori sesuai banyaknya

bahan aktif)

12. Golongan bahan aktif insektisida yang digunakan (kategori sesuai banyaknya golongan bahan aktif)

13. Jumlah pestisida yang digunakan petani dalam sekali semprot (3 kategori) 14. Interval penyemprotan insektisida (5 kategori)

15. Dosis pupuk N (3 kategori) 16. Dosis pupuk P (3 kategori) 17. Dosis pupuk K (3 kategori)

18. Penggunaan pupuk organik (2 kategori) 19. Umur bibit saat pindah tanam (2 kategori) 20. Jarak tanam (3 kategori)

21. Jumlah bibit per lubang tanam (3 kategori)

Secara khusus, populasi wereng coklat per rumpun padi juga diuji kaitannya dengan faktor-faktor di bawah ini:

1. Varietas padi di:

a. Seluruh hamparan

b. Hamparan dengan kerusakan berat c. Hamparan dengan kerusakan sedang d. Hamparan dengan kerusakan ringan 2. Umur tanaman padi (3 kategori) di:

a. Seluruh hamparan

b. Hamparan dengan kerusakan berat c. Hamparan dengan kerusakan sedang d. Hamparan dengan kerusakan ringan 3. Keberadaan predator (2 kategori) di:

a. Seluruh hamparan

b. Hamparan dengan kerusakan berat c. Hamparan dengan kerusakan sedang d. Hamparan dengan kerusakan ringan

(26)

12

a. Seluruh hamparan

b. Hamparan dengan kerusakan berat c. Hamparan dengan kerusakan sedang d. Hamparan dengan kerusakan ringan 5. Keberadaan hama lain (2 kategori) di:

a. Seluruh hamparan

b. Hamparan dengan kerusakan berat c. Hamparan dengan kerusakan sedang d. Hamparan dengan kerusakan ringan

Demikian juga secara khusus, penggunaan fungisida sistemik berbahan aktif difenokonazol/heksakonazol diuji kaitannya dengan:

1. Keberadaan spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya spesies)

2. Banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya

spesies)  

Rincian tentang kategori yang digunakan dalam pengujian ditampilkan dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 berbagai kategori faktor yang dibandingkan dalam pengujian χ2

Faktor Kategori

1. Kerusakan hamparan Berat

Sedang Ringan

2. Varietas Ciherang

IR 64

... (semisalnya)

3. Penggunaan lahan Ditanami padi

Selain padi

4. Umur tanaman padi 2-5 MST

6-9 MST >9 MST 5. Populasi wereng coklat per rumpun <10 ekor

10-40 ekor >40ekor 6. Keberadaan predator Tidak ada

Ada 7. Keberadaan cendawan entomopatogen Tidak ada

Ada 8. Keberadaan hama lain Tidak ada

Ada

9. Keberadaan spesies cendawan endofit Acremonium

Nigrospora

... (semisalnya) 10. Banyaknya koloni tiap spesies

cendawan endofit

Acremonium Nigrospora

(27)

Tabel 1 lanjutan Faktor Kategori 11. Penggunaan difenokonazol/heksakonazol Tidak menggunakan Menggunakan 12. Insektisida yang digunakan petani

(nama bahan aktif)

Imidaklorid Fipronil

... (semisalnya) 13. Insektisida yang digunakan petani

(nama golongan bahan aktif)

Neonikotinoid Fiprol

...(semisalnya) 14. Jumlah pestisida yang digunakan

petani dalam penyemprotan

1 merek 2-3 merek 4-7 merek 15. Interval penyemprotan insektisida Tiap hari

2-3 hari 4-7 hari 8-15 hari >15 hari

16. Dosis pupuk N <150 kg/ha

150-300 kh/ha >300 kg/ha

17. Dosis pupuk P <75 kg/ha

75-150 kg/ha >150kg/ha

18. Dosis pupuk K <50 kg/ha

50-150 kg/ha >150 kh/ha

19. Penggunaan pupuk organik Tidak menggunakan Menggunakan 20. Umur bibit saat pindah tanam ≤25 hari

>25 hari

21. Jarak tanam <20x20 cm

20x20 – 25x25 cm >25x25 cm

22. Jumlah bibit per lubang tanam 1-2 batang 3-5 batang >5 batang

Kaitan antara dua faktor dianggap nyata apabila nilai P<0,05. Fakta kualitatif yang diperoleh dari observasi dan wawancara akan disampaikan dalam narasi bagian Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan yang diperoleh dapat dijadikan dasar penyusunan strategi pengelolaan hama wereng dalam skala luas.

(28)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Budidaya Padi di Kabupaten Klaten

Kabupaten Klaten terletak di sebelah tenggara Provinsi Jawa Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten Gunung Kidul (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) di sebelah selatan dan dan Kabupaten Sleman (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) di sebelah barat. Wilayah Kabupaten Klaten menghampar dari lereng Gunung Merapi di utara, lembah yang luas di tengah, dan daerah berbukit di selatan yang merupakan kaki Pegunungan Seribu (Gunung Kidul) (Lampiran 2). Sebagian besar wilayahnya terletak pada ketinggian 100-500 m di atas permukaan laut, sebagian kecil lainnya berada pada ketinggian 0-100 m dan 500-100 m di atas permukaan laut dengan perkiraan luas masing-masing sekitar 10%. Dalam sejarah budidaya padi, Klaten termasuk daerah tua yang telah berkembang sejak dahulu. Wilayah ini berada di tengah-tengah dua pusat pemerintahan agraris di masa lalu, Yogyakarta dan Surakarta. Dengan demikian, tradisi budidaya padi di Kabupaten Klaten telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah. Wilayah relatif datar yang membentang, tanah vulkanik yang subur, ketersediaan air yang melimpah sepanjang tahun dari sumber-sumber air di lereng Gunung Merapi, serta kedekatannya dengan pusat budaya agraris menjadikan Klaten daerah penting penghasil beras kala itu. Sampai sekarang pun, Kabupaten Klaten masih merupakan lumbung beras di Jawa Tengah.

Mengingat sejarah budidaya padi itu pula, tidak mengherankan bila serangan wereng coklat pun telah tercatat cukup lama di Kabupaten Klaten. Apabila serangan wereng coklat di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 1931 di Bogor (Kalshoven 1981), wereng coklat juga ditemukan di sekitar Yogyakarta termasuk Klaten pada tahun 1940 (Mochida et al. 1977). Pada ledakan populasi wereng coklat yang melanda Asia tahun 1970-an, Klaten pun termasuk di dalamnya (Mochida et al. 1977). Pada masa-masa selanjutnya, ledakan wereng coklat di Kabupaten Klaten menjadi bagian penting dari sejarahnya di Indonesia.

Saat ini, lebih dari 80% hasil produksi pertanian pangan di Kabupaten Klaten adalah beras (Lampiran 6). Budidaya padi dilakukan secara intensif. Dari total lahan yang digunakan untuk bertanam padi, hampir 60% diantaranya beririgasi teknis, sebagian besar sisanya beririgasi semi teknis, dan hanya sebagian kecil yang merupakan lahan irigasi sederhana/tadah hujan (Lampiran 7).

Puluhan mata air besar dari lereng Gunung Merapi seperti Umbul Cokro dan Umbul Ponggok sampai kini masih menjadi andalan sumber air yang melimpah sepanjang tahun. Sumber-sumber air ini mengairi sawah di wilayah tengah ke utara, seperti Kecamatan Ngawen, Karanganom, Delanggu,dan Polanharjo. Daerah inilah yang bisa menanam padi sepanjang tahun. Polanharjo dan Delanggu adalah contoh daerah yang secara tradisional dikenal sebagai sumber beras.

Klaten bagian selatan dan timur seperti Kecamatan Cawas, Trucuk, Pedan, Karangdowo, Juwiring dan Wonosari mendapatkan air dari sistem irigasi teknis Solo Barat, bagian dari sistem pengairan yang bersumber dari waduk Gajah

(29)

 

Mungkur di Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian, keserempakan tanam sebenarnya bisa diatur dengan lebih baik karena sistem irigasi yang terpusat.

Umumnya pola tanam di daerah ini adalah padi-padi-palawija. Walaupun demikian, pada musim-musim kemarau basah, pola tanam menjadi padi-padi-padi. Berbeda dengan wilayah utara yang bisa menanam padi sepanjang tahun karena air tidak menjadi masalah, di daerah ini kelebihan airlah yang memaksa petani menanam padi. Pada dasarnya daerah ini merupakan lembah anak Sungai Bengawan Solo yang sangat luas dan datar serta dibatasi Pegunungan Seribu di selatan. Ketinggian lahan dan muka air sungai tidak jauh berbeda sehingga drainase menjadi masalah utama di kala banyak hujan. Wonosari, Karangdowo, dan Juwiring adalah kecamatan yang memiliki daerah tergenang sepanjang tahun paling luas (Lampiran 8). Dalam kondisi lahan sering tergenang, hanya tanaman padi yang menjadi alternatif petani. Tanaman palawija seperti kedelai dan jagung tidak bisa bertahan dalam rendaman air yang cukup lama.

Sementara itu, daerah barat seperti Kecamatan Prambanan, sebagian mendapatkan air dari Sungai Opak yang bersumber di Gunung Merapi. Daerah ini pun umumnya berpola tanam padi-padi-palawija. Banjir tidak menjadi masalah di daerah ini, namun topografi wilayahnya berupa lembah yang tidak begitu luas dan daerah agak berbukit di selatan yang berbatasan langsung dengan pegunungan kapur menandakan masalah air yang membatasi pola tanam.

Berkaitan dengan wilayah Klaten, hasil wawancara dengan petani menemukan indikasi penyebaran ledakan populasi wereng coklat. Petani di Kecamatan Delanggu, Polanharjo, Juwiring,dan Wonosari paling banyak mengalami kegagalan panen padi akibat wereng coklat, yaitu antara 4 dan 5 musim tanam. Petani di Karangdowo, Pedan, dan Cawas mengalami 2-3 musim gagal panen, sedangkan di Gantiwarno, Prambanan, dan Jatinom baru sekali gagal panen.

Dengan demikian, dapat diduga ledakan populasi wereng bermula dari daerah yang menanam padi terus-menerus (Delanggu dan Polanharjo) atau daerah tergenang (Juwiring dan Wonosari). Genangan air adalah adalah faktor yang terkait dengan ledakan populasi wereng di Jawa Barat (Buchori et al. 1999).

Kecamatan Karangdowo dan Pedan berbatasan langsung dengan Juwiring, dan ledakan populasi wereng terjadi kemudian. Pada saat itu petani tidak bisa menanam palawija karena genangan air. Di sebagian Kecamatan Cawas dan Bayat, areal sawah yang berbatasan langsung dengan pegunungan kapur (Pegunungan Seribu), awalnya tidak terserang wereng. Namun seperti halnya di Gantiwarno dan Prambanan, pada musim berikutnya wereng menyebabkan tanaman puso juga. Daerah-daerah ini mengalami kesulitan air pada musim-musim tertentu.

Keterkaitan Antara Berbagai Faktor dengan Tingkat Kerusakan Hamparan

Berdasarkan Tabel 2, yang dimaksud dengan satu hamparan sawah dalam penelitian ini luasnya bervariasi antara 9 ha dan 36 ha. Luas tiap petak sawah sebagian besar berada dalam kisaran 1000-2000 m2 kecuali di Kecamatan Karanganom. Apabila hal ini dihubungkan dengan hasil wawancara, satu hamparan kira-kira setara dengan satu sanggan (+ 20 ha), yaitu satuan tradisional untuk mengukur luas wilayah desa. Antarsanggan dalam suatu wilayah desa memang biasanya dipisahkan oleh saluran irigasi, jalan, atau batas-batas lain.

(30)

16   

Tabel 2 luas area pengamatan dan wawancara dalam survei di Kabupaten Klaten

Kecamatan

Jumlah petak

yang diamati

Persentase jumlah petak

dengan luasan Rata-rata luas petak (m2) Perkiraan luas hamparan yang diamati (ha) <1000 m2 1000-2000 m2 >2000 m2 Juwiring 216 45 48 7 1 106 24 Polanharjo 203 12 80 9 1 243 25 Delanggu 222 15 49 35 1 634 36 Wonosari 141 46 51 3 1 057 15 Karanganom 189 100 0 0 474 9

Sementara itu, petani di Klaten menyebut satu petak sawahnya sebagai satu

pathok (+ 1300 m2) dan setengahnya disebut satu kethok atau kedhok. Satu pathok juga sama dengan 1/5 bau (berasal dari Bahasa Belanda bouw, 1 bouw =

7096,5 m2). Nilai 1/5 dalam hal ini sebenarnya mengacu pada bagian luas tanah yang wajib ditanami komoditas perkebunan dalam sistem tanam paksa (cultuurstelsel) zaman Belanda dahulu. Saat ini, luas satu pathok agak berbeda untuk masing-masing tempat. Dengan demikian, satu petak sawah di Kecamatan Juwiring, Polanharjo, Delanggu dan Wonosari yang diamati dalam penelitian ini sebagian besar setara dengan satu pathok atau satu kethok, sementara di Karanganom, satu petak setara dengan satu kethok.

Faktor-faktor lingkungan dan praktik budidaya yang diduga berhubungan dengan ledakan populasi wereng coklat di Klaten disajikan dalam Tabel 3. Dari 21 faktor yang ditabulasi dan diuji dengan χ2, 10 faktor menunjukkan keterkaitan yang nyata dengan nilai p<0,05 (Tabel 4), yaitu varietas padi, populasi wereng coklat per rumpun padi, keberadaan predator, keberadaan cendawan entomopatogen, keberadaan serangga/hama lain, banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit, bahan aktif insektisida yang digunakan petani, golongan bahan aktif insektisida, interval penyemprotan insektisida dan dosis pupuk N. Satu faktor berada di perbatasan nilai p=0,05, yaitu dosis pupuk K.

Faktor varietas tanaman padi menunjukkan keterkaitan yang nyata dengan tingkat kerusakan hamparan akibat serangan hama wereng coklat. Ada empat varietas yang ditemukan dalam jumlah lebih dari 50 petak yaitu IR 64 (314 petak), Mamberamo (104 petak), Ciherang (65 petak) dan Way Apo-Buru (62 petak). Varietas-varietas lain ditemukan dalam jumlah sedikit seperti Mekongga, varietas lokal Unggul-unggul, Inpari (tidak diketahui nomor serinya), Semeru, Luk ula, Pepe, dan padi ketan. Ditemukan juga introduksi varietas Hibrida dariTaiwan dan Hibrida yang tidak diketahui dari mana asalnya.

Varietas Mamberamo lebih banyak ditanam di hamparan dengan tingkat kerusakan sedang dan ringan. Sementara itu, varietas IR 64 adalah varietas dominan yang ditanam di 314 petak dari total 566 petak yang diamati (55,5%). Dominansi IR 64 lebih kecil di hamparan dengan tingkat kerusakan ringan dibandingkan hamparan dengan tingkat kerusakan sedang dan berat. Dengan kata lain, keragaman varietas lebih tinggi dihamparan dengan tingkat kerusakan yang lebih ringan.

(31)

 

Tabel 3 tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan ekologis dan wawancara dibandingkan dengan tingkat kerusakan lahan akibat wereng coklat di Kabupaten Klaten

Faktor

Jumlah petak dengan tingkat kerusakan

Persentase petak dengan tingkat

kerusakan

Berat Sedang Ringan Total Berat Sedang Ringan Varietas Ciherang 26 18 21 65 40,0 27,7 32,3 IR 64 111 106 97 314 35,4 33,8 30,9 Mamberamo 7 55 42 104 6,7 52,9 40,4 Way Apo-Buru 17 6 39 62 27,4 9,7 62,9 Mekongga 5 0 0 5 100,0 0,0 0,0 Taiwan hibrida 1 0 0 1 100,0 0,0 0,0 Inpari 1 0 0 1 100,0 0,0 0,0 Unggul-unggul 2 2 4 8 25,0 25,0 50,0 Semeru 0 1 0 1 0,0 100,0 0,0 Hibrida 1 0 0 1 100,0 0,0 0,0 Luk ula 0 2 0 2 0,0 100,0 0,0 Pepe 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 Ketan 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 Total 171 190 205 566 30,2 33,6 36,2 Penggunaan lahan Padi 171 190 205 566 30,2 33,6 36,2 Selain padi 16 8 15 39 41,0 20,5 38,5 Total 187 198 220 605 30,9 32,7 36,4

Umur tanaman padi

2-5 MST 22 35 46 103 21,4 34,0 44,7

6-9 MST 103 93 101 297 34,7 31,3 34,0

>10 MST 37 43 50 130 28,5 33,1 38,5

Total 162 171 197 530 30,6 32,3 37,2

Populasi wereng coklat per rumpun

<10 ekor 6 15 20 41 14,6 36,6 48,8 10-40 ekor 6 15 10 31 19,4 48,4 32,3 >40 ekor 22 15 8 45 48,9 33,3 17,8 Total 34 45 38 117 29,1 38,5 32,5 Keberadaan predator Tidak ada 50 65 104 218 22,9 29,6 47,5 Ada 123 159 255 538 22,9 29,6 47,5 Total 173 224 359 756 22,9 29,6 47,5

Keberadaan cendawan entomopatogen

Tidak ada 172 204 204 580 29,7 35,2 35,2

Ada 2 19 5 26 7,7 73,1 19,2

(32)

18   

Tabel 3 lanjutan

Faktor

Jumlah petak dengan tingkat kerusakan

Persentase petak dengan tingkat

kerusakan

Berat Sedang Ringan Total Berat Sedang Ringan Keberadaan serangga/hama lain

Tidak ada 123 152 122 397 31,0 38,3 30,7

Ada 50 71 86 207 24,2 34,3 41,5

Total 173 223 208 604 28,6 36,9 34,4

Keberadaan spesies cendawan endofit

Acremonium 18 15 16 49 36,7 30,6 32,7 Pyrenochaeta 4 5 3 12 33,3 41,7 25,0 Curvularia 2 1 4 7 28,6 14,3 57,1 Cliocephalotrichum 0 1 0 1 0,0 100,0 0,0 Rhizopus 4 4 2 10 40,0 40,0 20,0 Trichotesium 2 2 0 4 50,0 50,0 0,0 Scopulariopsis 0 2 0 2 0,0 100,0 0,0 Total 30 30 25 85 35,3 35,3 29,4

Jumlah koloni tiap spesies cendawan endofit

Acremonium 48 43 39 130 36,9 33,1 30,0 Pyrenochaeta 7 11 4 22 31,8 50,0 18,2 Curvularia 2 2 6 10 20,0 20,0 60,0 Cliocephalotrichum 0 1 0 1 0,0 100,0 0,0 Rhizopus 4 11 2 17 23,5 64,7 11,8 Trichotesium 4 4 0 8 50,0 50,0 0,0 Scopulariopsis 0 2 0 2 0,0 100,0 0,0 Total 65 74 51 125 52,0 59,2 40,8 Penggunaan difenokonazol/heksakonazol Tidak 8 2 2 12 66,7 16,7 16,7 Menggunakan 6 6 10 22 27,3 27,3 45,5 Total 14 8 12 34 41,2 23,5 35,3                

(33)

 

Tabel 3 lanjutan

Faktor

Jumlah petak dengan tingkat kerusakan

Persentase petak dengan tingkat

kerusakan

Berat Sedang Ringan Total Berat Sedang Ringan Bahan aktif insektisida

Imidakloprid 34 23 30 87 39,1 26,4 34,5 BPMC 20 18 13 51 39,2 35,3 25,5 Etofenproks 16 13 13 42 38,1 31,0 31,0 Fipronil 3 16 9 28 10,7 57,1 32,1 Karbofuran 12 5 4 21 57,1 23,8 19,0 Alfa sipermetrin 3 6 7 16 18,8 37,5 43,8 Buprofezin 2 9 3 14 14,3 64,3 21,4 Lamda sihalotrin 5 6 2 13 38,5 46,2 15,4 Dimehipo 2 3 7 12 16,7 25,0 58,3 MIPC 5 0 0 5 100,0 0,0 0,0

Lamda sihalotrin &

tiametoksam 0 1 4 5 0,0 20,0 80,0 Siflutrin 0 1 3 4 0,0 25,0 75,0 Diazinon 3 0 0 3 100,0 0,0 0,0 Etiprol 1 0 1 2 50,0 0,0 50,0 Karbosulfan 0 2 0 2 0,0 100,0 0,0 Deltametrin 0 1 1 2 0,0 50,0 50,0 Karbaril 1 0 0 1 100,0 0,0 0,0 Kartap hidroklorida 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 Endosulfan 0 1 0 1 0,0 100,0 0,0 Sipermetrin 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 Propoksur 1 0 0 1 100,0 0,0 0,0 Total 108 105 99 312 34,6 33,7 31,7

Golongan bahan aktif insektisida

Neonikotinoid 34 24 34 92 37,0 26,1 37,0 Piretroid 24 28 31 83 28,9 33,7 37,3 Karbamat 39 25 17 81 48,1 30,9 21,0 Fiprol 4 16 10 30 13,3 53,3 33,3 Buprofezin 2 9 3 14 14,3 64,3 21,4 Analog 2-dimetil-aminopropan-1-3-ditiol 2 3 7 12 16,7 25,0 58,3 Organofosfat 3 0 0 3 100,0 0,0 0,0 2-dimetilaminopropan-1-3-ditiol 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 Siklodiena 0 1 0 1 0,0 100,0 0,0 Total 108 106 103 317 34,1 33,4 32,5    

(34)

20   

Tabel 3 lanjutan

Faktor

Jumlah petak dengan tingkat kerusakan

Persentase petak dengan tingkat

kerusakan

Berat Sedang Ringan Total Berat Sedang Ringan Jumlah pestisida dalam penyemprotan

1 macam 4 11 7 22 18,2 50,0 31,8 2-3 macam 32 34 32 98 32,7 34,7 32,7 4-7 macam 5 4 5 14 35,7 28,6 35,7 Total 41 49 44 134 30,6 36,6 32,8 Interval penyemprotan ≤2 hari 20 8 1 29 69,0 27,6 3,4 3-7 hari 20 34 33 87 23,0 39,1 37,9 8-15 hari 1 6 5 12 8,3 50,0 41,7 >15 hari 1 3 1 5 20,0 60,0 20,0 Total 42 51 40 133 31,6 38,3 30,1

Dosis pupuk N (setara urea)

<150 kg 7 4 4 15 46,7 26,7 26,7

150-300 kg 22 9 11 42 52,4 21,4 26,2

>300 17 37 28 82 20,7 45,1 34,1

Total 46 50 43 139 33,1 36,0 30,9

Dosis pupuk P (setara SP36)

<75 kg 10 9 16 35 28,6 25,7 45,7

75-150 kg 13 14 7 34 38,2 41,2 20,6

>150 kg 21 27 20 68 30,9 39,7 29,4

Total 44 50 43 137 32,1 36,5 31,4

Dosis pupuk K (setara KCl)

<50 kg 36 41 33 110 32,7 37,3 30,0

50-150 kg 6 6 4 16 37,5 37,5 25,0

>150 kg 2 3 6 11 18,2 27,3 54,5

Total 44 50 43 137 32,1 36,5 31,4

Penggunaan pupuk organik

Tidak 46 45 31 122 37,7 36,9 25,4

Menggunakan 3 8 9 20 15,0 40,0 45,0

Total 49 53 40 142 34,5 37,3 28,2

Umur bibit saat pindah tanam

≤25 hari 28 21 23 72 38,9 29,2 31,9 >25 hari 17 29 21 67 25,4 43,3 31,3 Total 45 50 44 139 32,4 36,0 31,7      

(35)

  Tabel 3 lanjutan Jarak tanam <20 4 1 5 10 40,0 10,0 50,0 20-25 37 46 32 115 32,2 40,0 27,8 ≥25 4 3 7 14 28,6 21,4 50,0 Total 45 50 44 139 32,4 36,0 31,7

Jumlah bibit per lubang tanam

1-2. 4 5 2 11 36,4 45,5 18,2

3-5. 39 44 44 127 30,7 34,6 34,6

>5 6 6 0 12 50,0 50,0 0,0

Total 49 55 46 150 32,7 36,7 30,7

Tabel 4 hasil pengolahan data keterkaitan antara berbagai faktor dengan tingkat kerusakan hamparan

Faktor Χ2 p

1. Varietas padi 90,75 1,08466E-09

2. Penggunaan lahan 3,33 0,18908

3. Umur tanaman padi 7,31 0,12058

4. Populasi wereng coklat per rumpun padi 12,52 0,00153 5. Keberadaan predator 80,62 3,1095E-18 6. Keberadaan cendawan entomopatogen 15,73 0,0004 7. Keberadaan serangga/hama lain 7,42 0,0245

8. Keberadaan spesies cendawan endofit 11,13 0,5181

9. Banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit

21,45 0,0442

10. Penggunaan difenokonazol/heksakonazol 5,12 0,0773

11. Bahan aktif insektisida 69,87 0,0012 12. Golongan bahan aktif insektisida 38, 83 0,0011

13. Jumlah pestisida yang digunakan petani dalam sekali semprot

2,83 0,5865

14. Interval penyemprotan insektisida 39,09 0,0033

15. Dosis pupuk N 13,00 0,0113

16. Dosis pupuk P 5,71 0,2211

17. Dosis pupuk K 9,15 0,0575

18. Penggunaan pupuk organik 4,95 0,0840

19. Umur bibit saat pindah tanam 3,88 0,1433

20. Jarak tanam 6,54 0,1620

(36)

22   

Dalam tabel tersebut juga terlihat adanya dua varietas Hibrida, salah satunya berasal dari Taiwan. Di kalangan petani, varietas hibrida umumnya adalah bantuan benih unggul dari pemerintah melalui program P2BN. Walaupun sedikit jumlahnya (2 petak), namun statusnya sebagai varietas unggul introduksi dari luar perlu diperhatikan. Dalam sejarahnya, wereng coklat mulai dikenal sebagai hama utama tanaman padi setelah adanya introduksi varietas baru pada era revolusi hijau. Introduksi hal baru ke dalam ekosistem menimbulkan ketidakstabilan sesaat, dan hal tersebut sering direspon organisme oportunis dengan strategi reproduksi “r” seperti wereng coklat untuk secepatnya memanfaatkan sumber daya dalam bentuk ledakan populasi (Soemawinata & Sosromarsono 1986).

Seperti diduga sebelumnya, populasi wereng coklat per rumpun padi memiliki keterkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Hamparan dengan tingkat kerusakan berat didominasi petak sawah dengan tingkat populasi wereng tinggi (22 petak), sebaliknya hamparan dengan tingkat kerusakan ringan didominasi petak sawah dengan tingkat populasi wereng rendah (20 petak). Kenyataannya, rata-rata tingkat populasi wereng di hamparan dengan tingkat serangan berat bisa mencapai lebih dari 1000 ekor/rumpun (Gambar 2). Rata-rata jumlah wereng di hamparan dengan tingkat kerusakan sedang dan ringan tidak jauh berbeda, namun proporsi imago makroptera di hamparan dengan tingkat kerusakan ringan lebih tinggi. Artinya, di hamparan tersebut baru saja terjadi migrasi dari daerah lain. Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa populasi wereng di hamparan tersebut akan meningkat sejalan dengan waktu.

Keberadaan musuh alami wereng coklat yang meliputi predator dan cendawan entomopatogen berkaitan nyata dengan tingkat kerusakan hamparan, namun dengan pola yang berbeda-beda. Petak dengan predator lebih dari dua kali lipat petak tanpa predator di setiap tingkat kerusakan hamparan (123:50, 159:65, dan255:104 di petak dengan tingkat serangan berat, sedang, dan ringan).

0 100 200 300 400 500 600 700

berat sedang ringan

populasi  wereng  (ekor/rumpun)   tingkat kerusakan hamparan  nimfa instar awal nimfa instar akhir + imago brakhiptera imago makroptera

Gambar 2 perbandingan rata-rata jumlah wereng coklat per rumpun di hamparan dengan tingkat kerusakan berbeda

(37)

 

Pada tabel tersebut terlihat bahwa predator paling banyak ditemukan dalam hamparan dengan tingkat kerusakan ringan (255 petak) dan jumlahnya turun sejalan dengan bertambahnya tingkat kerusakan hamparan. Settle et al. (1996) menyatakan faktor predator generalis memegang peran dominan dalam mengendalikan tingkat populasi hama-hama padi.

Sementara itu, populasi cendawan entomopatogen justru paling banyak ditemukan pada hamparan dengan tingkat kerusakan sedang (19 petak), dan hanya ditemukan di 2 petak pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat. Respon cendawan entomopatogen tampaknya lebih lambat dibandingkan predator, atau ada faktor lain yang menyebabkan cendawan entomopatogen tidak berkembang. Mengingat sifat cendawan entomopatogen yang lebih spesialis dibandingkan predator, diperlukan waktu dan tingkat populasi minimal wereng coklat agar cendawan entomopatogen mampu mengendalikan populasi inangnya.

Apabila tingkat kerusakan hamparan berkaitan nyata dengan peran predator dan cendawan entomopatogen, maka fenomena ledakan populasi wereng coklat di Klaten dapat dijelaskan berdasarkan data pada Tabel 5. Terlihat bahwa populasi predator dan cendawan entomopatogen sebagai musuh alami wereng coklat tergolong rendah. Dibandingkan populasi wereng coklat yang bisa mencapai lebih dari 1000 ekor pe rumpun, total populasi predator di berbagai tingkat kerusakan hamparan tidak lebih dari 5 ekor per rumpun. Dalam penelitian di lapangan, Preap et al (2001) menyampaikan bahwa perbandingan predator terhadap wereng coklat sebesar 1:3 hingga 1:11 telah dapat menyebabkan kematian wereng sebesar 78-91%. Pada agroekosistem padi yang sehat, peran musuh alami seperti predator, parasitoid, cendawan entomopatogen, dan mikro organisme endofit telah mencukupi untuk mengendalikan hama wereng coklat (Settele et al. 2008; Gurr 2009; Heong 2009; Ooi 2010).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, populasi predator relatif rendah pada lahan yang terendam banjir. Faktor rendaman air berkaitan erat dengan populasi wereng coklat di Jawa Barat (Buchori et al. 1999), namun tidak disebutkan keterkaitannya dengan turunnya populasi musuh alami.

Tabel 5 gambaran keberadaan musuh alami hama pada hamparan sawah yang terserang wereng coklat di Kabupaten Klaten

Kategori musuh alami

Rata-rata populasi musuh alami (ekor/rumpun) pada hamparan dengan tingkat

kerusakan

Persentase kejadian ditemukannya

musuh alami dari seluruh pengamatan

Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan

Predator dominan Laba laba 1,54 0,83 0,80 15,9 14,4 18,2 Staphylinidae 1,04 0,95 0,60 13,6 15,9 11,1 Coccinellidae 0,74 0,98 0,23 11,1 13,1 6,3 Cendawan entomopatogen Hirsutella citriformis 0,51 0,22 0,03 0,3 3,3 0,8 Beauveria bassiana 0,00 0,00 0,02 0,0 0,0 0,5

(38)

24   

Selain rendaman banjir, pengolahan tanah yang cepat tanpa penambahan pupuk organik yang mencukupi banyak teramati di Kabupaten Klaten. Mengingat bahan organik diketahui dapat meningkatkan kelimpahan mangsa alternatif yang kemudian dapat meningkatkan populasi predator (Settle et al. 1996), maka kondisi sawah seperti di atas berpotensi merugikan musuh alami wereng.

Secara relatif, populasi cendawan entomopatogen Hirsutella citriformis selalu lebih tinggi dibandingkan Beauveria bassiana, padahal cendawan yang disebut terakhir telah diformulasi secara komersial dan telah diaplikasikan oleh petani. Apabila perbanyakan masal dan formulasinya berhasil dilakukan,

Hirsutella citriformis adalah kandidat pengendali hayati wereng yang

menjanjikan.

Keberadaan serangga/hama lain ternyata juga berkaitan erat dengan tingkat kerusakan hamparan akibat wereng coklat. Pada saat pengamatan di lakukan, ketiadaan hama lain tercatat dalam jumlah yang lebih tinggi pada semua kategori tingkat kerusakan hamparan (123:50, 152:71, dan 122:86 pada hamparan dengan tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan). Artinya, kondisi hamparan saat itu tidak mendukung populasi hama/serangga lain namun menguntungkan wereng coklat. Celah ketiadaan pesaing ini yang dimanfaatkan oleh wereng coklat untuk berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh data bahwa hamparan yang terserang berat adalah hamparan dengan petak tanpa serangga lainnya lebih sedikit (50 petak), sementara yang terserang ringan memiliki petak dengan serangga lain lebih banyak (86 petak). Settle et al. (1996) juga menekankan pentingnya keberadaan serangga lain sebagai alternatif mangsa bagi predator agar bisa efektif menekan hama-hama padi. Gurr (2004) menyebut persaingan dan segala tekanan dari level trofik yang lebih rendah dari hama (bottom up suppression) tidak kalah pentingnya dengan pengendalian hayati seperti predasi dan parasitisasi yang menekan populasi hama dari arah level trofik yang lebih tinggi (top down

suppression).

Populasi cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari hamparan yang terserang wereng ternyata juga menunjukkan keterkaitan yang nyata dengan tingkat kerusakan hamparan. Acremonium sp mendominasi jumlah koloni, namun keberadaannya cenderung lebih rendah di hamparan dengan kerusakan ringan (48, 43, dan 39 koloni di hamparan dengan kerusakan berat, sedang, dan ringan) sehingga perannya tidak berhubungan dengan pengendalian populasi wereng coklat. Pyrenochaeta dan Rhizopus ditemukan dalam jumlah terbanyak di hamparan dengan tingkat kerusakan sedang (masing-masing 11 koloni), dan 6 koloni Curvularia ditemukan dalam hamparan dengan tingkat kerusakan tinggi. Layak diduga apakah tiga spesies ini, terutama Curvularia,adalah spesies yang secara alami berkontribusi terhadap ketahanan tanaman padi terhadap serangan wereng.

Komposisi cendawan endofit dari tanaman padi di Klaten diperlihatkan dalam Tabel 6. Dominansi Acremonium sp tidak ditemukan pada populasi cendawan endofit dari daerah-daerah lain. Biasanya, komposisi cendawan endofit didominasi oleh Nigrospora sp (Irmawan 2007). Sementara itu, beberapa isolat

Nigrospora sp terbukti menghambat pertumbuhan wereng coklat (Budiprakoso

2010). Diduga telah terjadi perubahan komposisi populasi cendawan endofit pada pertanaman padi di Klaten dan hal tersebut terkait dengan ketahanan tanaman terhadap serangan wereng coklat.

Gambar

Tabel 1 berbagai kategori faktor yang dibandingkan dalam pengujian χ 2
Tabel 1 lanjutan  Faktor Kategori  11. Penggunaan  difenokonazol/heksakonazol   Tidak menggunakan Menggunakan  12
Tabel 2 luas area pengamatan dan wawancara dalam survei di Kabupaten Klaten
Tabel 3  tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan ekologis dan  wawancara dibandingkan dengan tingkat kerusakan lahan akibat wereng  coklat di Kabupaten Klaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk maksud mencari suatu model yang dapat digunakan sebagai rujukan pengendali- an hama wereng coklat, dengan taktik men~anfaatkan musuh alami, kami berpendapat bahwa

Agroteknologi menyatakan bahwa dalam skripsi saya yang berjudul “ PENGARUH PEMBERIAN SILIKA PADA PADI LOKAL TERHADAP POPULASI WERENG BATANG COKLAT ” ini tidak

Pada uji DMRT dengan taraf nyata 5%, populasi wereng coklat biotipe 4 asal Pati pada tanaman padi varietas IR74, Ciherang, Hipa 4, dan Muncul berumur 15 HST dan 45 HST tidak

Oleh karena itu serangan wereng coklat biasanya diikuti dengan serangan penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa yang dapat menimbulkan kerugian pada tanaman

Wereng batang coklat populasi lapang yang diperoleh dari pertanaman IR64 dari daerah Madiun, Blitar, Trenggalek, dan Ponorogo serta Cisadane dari Kebumen virulensinya terhadap

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi pengendalian wereng coklat dengan menggunakan varietas tanaman padi yang tahan terhadap serangan hama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum Varietas Padi Unggul Nasional berpengaruh nyata terhadap populasi wereng hijau (Nephotettix sp.) dan terdapat 3 varietas (Tukad

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis padat populasi dan intensitas serangan wereng coklat Nilaparvata lugens Stall dan wereng hijau Nephotettix virescens pada tanaman padi