• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA Tinjauan Kesejarahan Masyarakat Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA Tinjauan Kesejarahan Masyarakat Batak Toba"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA 2.1. Tinjauan Kesejarahan Masyarakat Batak Toba

Di dalam penelitian yang menyangkut kebudayaan, adalah perlu untuk

menggali fenomena musik yang terdapat di dalam kebudayaan itu melalui pendekatan

sejarah. Dengan pendekatan kesejarahan ini, diperlukan sebuah rancangan untuk

menemukan hubungan untuk membahas katagori-katagori yang berlaku dalam sebuah

masyarakat, tujuannya adalah melihat apakah ada hubungan langsung terhadap

sebuah fenomena musik dengan aturan-aturan yang ada pada sebuah budaya dengan

mengetahui asal-usul, gambaran wilayah dan aspek kebudayaan masyarakat Batak

yang bermukim di daerah asal kebudayaannya (area culture) maupun di luar daerah

kebudayaan mereka.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah ’orang Batak’ atau ’orang

Batak Toba’ untuk penyebutan kelompok masyarakat Batak secara keseluruhan, dan

kata ’masyarakat Batak’ dan ’masyarakat Batak Toba’ untuk menyebutkan kelompok

masyarakat Batak Toba.

2.1.1. Asal-usul Masyarakat Batak Toba

Beberapa catatan sejarah yang memuat asal-usul nenek moyang orang Batak

yang bermukim di Sumatera telah dilakukan beberapa penulis dalam tulisan buku

antara lain: Ypes (1932 dalam Simanjuntak, 2006:11), menyebut mereka berasal dari

(2)

Formosa di Filipina dan turun ke arah selatan di Sulawesi bagian selatan menjadi

komunitas Toraja, Bugis dan Makasar. Kemudian bergerak hingga sampai di

Lampung, Sumatera Selatan, lalu menyusuri pantai Barat hingga Barus dan

seterusnya naik ke pegunungan Bukit Barisan di Pusuk Buhit kawasan Danau Toba.

Pendapat kedua, menyebutkan orang Batak berasal dari India yang melakukan

persebaran ke Asia Tenggara di negeri Muang Thai Burma, kemudian turun ke tanah

genting Kera di belahan utara Malaysia bergerak melayari semenanjung Malaka

menuju pantai timur Sumatera hingga di pantai Batubara. Dengan menyusuri sungai

Asahan menuju hulu di kawasan Danau Toba. Atau rute lain yang dipilih adalah dari

Malaka menuju pantai Barat Aceh, dan selanjutnya menuju Singkil, Barus atau

Sibolga hingga menetap di Pusuk Buhit18.

Pendapat lain oleh Paul P. Pederson, menyebutkan persebaran Batak berawal

dari Indo China yang melakukan perpindahan secara besar-besaran pada jaman

bangsa Melayu Tua (lihat juga Cunningham, 1958 dalam Simanjuntak 2002: 75).

Perpindahan dialami orang Batak pada jaman ini, tentu menyulitkan para peneliti

sejarah untuk mengungkap kebenaran asal-usul Batak secara pasti. Namun, semua

orang Batak hingga kini, mutlak mengakui kebenaran akan silsilah masing-masing

(Rajamarpodang, 1995: 12).

(Harahap dalam Simanjuntak, 2002: 75)

21. Gunung berapi pasip ini, terletak di tepian Danau Toba sebelah barat pulau Samosir. Di lereng bukit ini terdapat kampung huta Sianjur mula (masuk dalam kecamatan Sianjur Mula-mula-Kabupaten Samosir), dianggap keramat dan sebagai tempat asal orang Batak. Di pinggang bukit terdapat beberapa artefak seperti Batu Hobon, Aek si Pitu Dai, monumen Guru Tatea Bulan, Si Boru Pareme dan beberapa situs Batak lainnya. Lokasi ini dapat ditinjau dengan perjalanan darat melalui Tele menyusuri pegunungan Bukit Barisan.

(3)

Menurut mitologi yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, Si Raja

Batak lahir dari pekawinan incest (perkawinan sedarah) kembar Si Raja Ihat Manisia dengan Si Boru Ihat Manisia keturunan Raja Odap-odap kawin dengan Si Boru Deak Parujar yang diutus oleh Mulajadi Na Bolon. Kampung kediamannya

adalah Sianjur Mula-mula di kaki gunung Pusuk Buhit, di bagian barat pulau

Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk

Buhit. Si Raja Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan

ahli ilmu tenung dan adiknya Raja Isumbaon, ahli dalam hukum adat. Guru Tatea

Bulan mempunyai lima putra, yaitu: (1) Raja Biak-biak atau Raja Uti, (2) Saribu

Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, (5) Silau Raja atau Malau Raja dan

empat orang putri, yaitu: (1) Si Boru Paromas atau Si Boru Anting-anting Sabungan,

(2) Si Boru Pereme, (3) Si Boru Biding Laut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon

mempunyai tiga putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, dan (3) Sangkar

Somalidang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan marga-marga orang Batak.

Kedua induk marga di atas yang memiliki keturunan dan masing-masing dari

generasi anak mereka membuat marga yang terdapat pada masyarakat Batak, adalah

sebagai garis generasi pertama lahirnya sebuah marga atau dikenal dengan sundut

pertama, seperti marga Silau Raja yang dikenal dengan marga Malau. Namun, tidak

semua marga berasal dari garis generasi ini. Misalnya, anak kedua dari Guru Tatea

Bulan memiliki anak bernama Saribu Raja ---satu garis dengan Silau Raja atau Malau

Raja--- kawin dengan adik perempuannya Si Boru Pareme (incest) dan mempunyai

(4)

dari istrinya Si Boru Pareme (incest dengan ibunya) antara lain: 1) Situmorang, 2)

Sinaga, 3) Pandiangan, 4) Nainggolan, 5) Simatupang, 6) Aritonang dan 7) Siregar.

Generasi ketiga dari garis Saribu Raja ini, memakai nama mereka menjadi marga

sebagai sundut generasi pertama hingga generasi sekarang ini. (lihat Situmorang,

1983: 210. Lamp. I A)

Si Raja Batak

Guru Tatea Bulan (A.1) Raja Isumbaon (A.2) Saribu Raja (A. 2)

Raja Lontung (A.T) Simatupang (A.5) 1 Sianturi (A.2) Sundut / 2 Lumban Gambiri (A.2) Generasi ke

3 Tunggul ni Dolok (A.T)

15 Pahala

16 Barita satu fase

kehidupan

17 Gorga lajang

18 Bursok Penyebutan stratum:

~ satu sundut generasi horizontal : “ampara”

~ satu tingkat ke atas: “amang”, satu tingkat ke bawah: “anak” ~ dua tingkat ke atas: “ompung”, dua tingkat ke bawah: “pahompu”

~ tiga tingkat ke atas: “amang mangulahi”, tiga tingkat ke bawah: “anak mangulahi” Keterangan: (A.T): Anak Tunggal, (A.1): Anak Pertama, (A.2): Anak Kedua, (A.5): Anak Kelima

Tabel. 2. Bilangan Sundut Tarombo dalam Stratifikasi Sosial Batak Toba Sumber : Hasil Analisis Data Penulis

(5)

Keterkaitan silsilah Batak antara mitologi19 dengan status marga setiap orang Batak yang melekat dalam dirinya, diyakini bahwa setiap orang yang mengklaim

dirinya sebagai Batak yang memiliki marga adalah keturunan atau sundut20

2.1.2. Konsep Budaya Masyarakat Batak Toba

Si Raja

Batak. Asal-usul Si Raja Batak berasal dari mana, hanya dapat dilihat dari tulisan

mitologi Si Boru Deak Parujar yang diutus Mula Jadi Nabolon. Belum ditemukan,

catatan lain yang mengungkap asal-usul Si Raja Batak secara tertulis. Namun, mite

ini tetap hidup di tengah masyarakat Batak Toba sebagai tradisi lisan (folklore) yang

diceritakan secara turun temurun.

Sebagai masyarakat, orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka

tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat

ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi

maupun antropologi. Dari sejumlah uraian buku yang menjelaskan dan

mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama

tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal

19

Mitologi sebagai karya sastra hampir sama pengertiannya dengan mite adalah bagian dari folklor memiliki kaitan dalam cerita rakyat. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa (lihat KBBI, 2002: 749). Lihat juga James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers, (1984:50-51).

20

Istilah sundut hanya ditemukan dalam kultur Batak Toba, dipergunakan untuk menghitung angkatan/generasi keberapa seorang Batak mulai dari garis generasi pertama leluhurnya. Sundut ini berlaku secara turun temurun dalam satu rumpun marga pada sebuah tarombo (silsilah), berhubungan dengan kaidah stratifikasi sosial masyarakat Batak Toba. Misalnya, seorang Batak A memiliki nomor generasi ke 16 memiliki anak dengan nomor generasi 17 dan cucunya bernomor generasi 18, dan seorang Batak B dengan rumpun marga yang sama memiliki nomor generasi 17, akan menyebut A dengan bapak atau satu tingkat diatasnya. Tingkatan umur dalam menghitung generasi ini, diabaikan. (Lihat Tabel. 5.)

(6)

senada, diungkapkan Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai ungkapan dari

ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari,

yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar. (2000:215).

Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara

kehidupan masyarakat. Disamping lingkungan dan teknologi, faktor lain adalah

organisasi sosial dan politik berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan, meliputi kemampuan pengetahuan

masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan itu, menjelaskan lebih

luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan lokal masyarakat Batak

Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap

prinsip-prinsip itu biasanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya.

(Haviland, 1988:13)

Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar yang secara tradisional

hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini terbagi dalam lima kelompok

besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Karo.

Kelompok-kelompok suku ini sekarang masih berada di bagian Provinsi Sumatera Utara dengan

memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang dilihat dari pembagian beberapa marga

yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari

kelompok-kelompok ini juga menunjukkan perbedaan. Adat pada budaya Batak Toba dalam

kehidupan kesehariannya merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang

dijunjung tinggi. Adat sendiri adalah istilah yang sering digunakan di Indonesia, adat

(7)

memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari

nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali

menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994: 18). Pola-pola

kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah,

upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur

menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi

masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep

masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya

selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban

yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba,

realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah

dilakukan. Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan

adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat

masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,

dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis

menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang

membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi. Kedua, Adat

yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba,

dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya.

Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak mengatur kehidupan

(8)

mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring pula dengan aturan

perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya, sering juga

dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri. Ketiga,

Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah

secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan

sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai

yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh

teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat

yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.

Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.

Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat

disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi

sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan

dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga, perkawinan

incest. Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan

sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (band. Bruner 1961: 510). Sanksi bagi

pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai.

Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung

sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian.

Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam

(9)

diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan

adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.2. Sistem Sosial Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari

satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi

seperti disebutkan dalam Bab terdahulu. Garis keturunan yang disandang oleh setiap

orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber, yang secara eksklusif ditarik lurus

dari pihak laki-laki (keturunan agnatik atau laki-laki). Garis patrineal ini dipakai guna

menentukan statuta keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan).

Sedangkan patrilinial adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok

marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari

kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman

masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok

marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh

umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan

masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan

seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan

satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan

anak laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak

(10)

marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu

didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam

sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari

satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari

marga yang sama dianggap tabu.

Adat Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan

bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba

bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah mengirimkan anak

perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga

yang lain (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan

marga-marga yang lain yang telah mengirimkan anak-anak perempuan kepada

mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang

(dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na

tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak.

Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan

dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.

Dalam adat menetap, menikah pada orang Batak Toba adalah virilokal21 dan adat neolokal22

21

Virilokal adalah istilah untuk wanita yang menetap tinggal di rumah pihak laki-laki.

. Sedangkan bentuk perkawinan adalah Eksogami (perkawinan antar

dua marga yang berbeda) dan Monogami (perkawinan hanya diperbolehkan satu

kali).

22

(11)

2.2.1. Sistem Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang

Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)

Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba

berdasarkan perbedaan tingkat umur dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam

pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak

berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan adalah sistem

pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan dapat juga dilihat pada

perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik

(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan

sifat keaslian merupakan sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan

keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku

sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang.

Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan

kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan

pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. Dan 4)

Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di

dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka

sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam

lingkungan keluarganya. Dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan

menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

(12)

2.2.2. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat

hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki

dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum

kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak

yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama

sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan

tersebut adalah Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula

bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari

yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang

yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang

(tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang

ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di

dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari

ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua

perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman

dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu

pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari

(13)

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang

termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba

(saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan,

nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di

dalamnya mertua laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu

laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari

namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik

kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak

namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara

perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri

kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu),

yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik

kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara

perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari

tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya

segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan

laki-laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi

sebagai dongan tubu, hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap

nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.

(14)

adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak

Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.

Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga

golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap

hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut

tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni

ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara

supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi

sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena

merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek

marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat

pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu

artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan

sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah

mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan

kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi

masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan

kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik

(15)

Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik

antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungannya.

A I Dongan Sabutuha S MP S MP SP M L Boru PI PI PS Hula-hula

Tabel.3. Diagram Kelompok Dalihan Natolu. A (Ayah); I (Ibu); S (Suami); MP (Menantu Perempuan); ML (Menantu Laki-laki); PI (Pemberi Istri); PS (Pemberi Suami). Sumber : Hasil Analisis Data Penulis

2.2.3. Kepercayaan Tradisional Batak Toba

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan

selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Allah

kodrati oleh Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam

kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu

adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan

sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon (Situmorang, 2009: 21) yang memiliki otoritas

di bumi untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam beberapa tulisan konsep

mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang

“tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga

(16)

yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara

Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai

pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon). Dan menciptakan

dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan

berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat).

Batara Guru berarti maha guru yang memberii ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib,

pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Lihat M.B. Tampubolon, 1978: 9-10).

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke

mulut (tradisi aural), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini

terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.

Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki

dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri

sendiri. (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh

Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas

kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan

manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggo-tonggo (doa)

yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu,

Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini

(17)

disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon. (Sangti,

1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep

bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan

itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal.

Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya,

hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut

menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama

jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah

roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara

(uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke

dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid.

1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa

orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu

yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang

Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi

dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata

Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

adalah awal dari semua yang ada.

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk

(18)

dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai

sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan

akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,

kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan

oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap

pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah

wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

2.2.4. Fungsi Kekerabatan Batak Toba

Fungsi kekerabatan adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kekerabatan dalam

kegiatannya berdasarkan pandangan Dalihan Na Tolu yang disebut: Tohonna

Partondongan. Dalihan Na Tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar

terletak pada: Suhi Ni Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga

dasar atau saripe. Keluarga dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat

kegiatan atau inti kegiatan suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari:

a. Pamarai, yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara seayah lain ibu. Sering juga disebut pangalap.

b. Tulang, yaitu saudara kandung laki-laki dan isteri suhut (Tunggane), seayah seibu atau seayah lain ibu.

c. Simolohon atau simandokhon, yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara laki-laki dari perempuan putri suhut.

d. Pariban, yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari putri suhut.

(19)

Fungsi dari Suhi Ni Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari

kegiatan inti atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, ke empat

personal inilah yang turut bertanggung jawab bersama suhut23

2.2.5. Konsep Kehidupan Dalam Masyarakat Batak Toba

. Dasar sistem sosial

yang terdapat bagi masyarakat Batak Toba adalah Marga. Dalam kehidupan

tradisional masyarakat pedesaan Batak Toba, terdapat dominasi marga yang dianggap

sebagai pendiri desa itu (bhs Batak Toba: si suan bulu).

Dalam agama tradisional Batak Toba ada kepercayaan kepada ketuhanan

yang lebih tinggi yang disebut Mula jadi na bolon atau permulaan yang agung, yang

menciptakan langit dan bumi dan dibawah bumi. Di bawahnya terdapat tiga dewa

yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Di pihak lain, cara hidup sehari-hari

berpusat pada roh-roh nenek moyang, terutama laki-laki yang selalu mempengaruhi

kehidupan mahkluk hidup. Karena prinsip kehidupan manusia (tondi) berlanjut

setelah kematian, pemakaman menjadi sangat penting. Setelah itu, tulang-tulang

digali, dibersihkan dan diletakkan di sebuah rumah tempat penyimpanan jasad, yang

sering ditempatkan di pekarangan rumah.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia

merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan

kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki

23

Setiap orang Batak dapat disebut sebagai suhut dan melakukan perilaku dalihan natolu dalam setiap kegiatan fase kehidupannya. Dalam kelahiran, perkawinan dan kematian selalu melibatkan ketiga unsur itu sebagai satu siklus kehidupan. (lihat Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak, Rajamarpodang, DJ.G. 1992. hlm.55)

(20)

keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau

hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan

dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon

(kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri

secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang

Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian

menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan

orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri,

karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan

ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga

yang dia miliki.

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah

mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih

dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak

yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak

memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan

gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon

digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,

hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik

(21)

mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa

pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku.

Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,

masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan

masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki

gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.3. Gambaran Umum Wilayah Batak Toba 2.3.1. Letak Geografis Tanah Batak

Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak).

Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami kelompok masyarakat ini

dikenal dalam bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak” . Tano artinya tanah. Tanah

Batak ini adalah tempat bermukimnya orang yang menyebut dirinya Batak, seperti

Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Toba

sendiri. Terletak di bagian utara pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan

provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada bagian utara, sedang di sebelah

selatan berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan Riau. Pada bagian timur

berbatasan dengan kabupaten Asahan dan Labuhan Batu dan bagian barat langsung

(22)

2003’ dan 2040’ Lintang Utara dan antara 98056’ dan 99040’ Bujur Timur24

Distrik Toba yang meliputi wilayah Silindung, Toba Holbung, Humbang dan

Pulau Samosir yang terdapat di Tapanuli, adalah pemukiman masyarakat Batak Toba.

Keadaan alam dan topografi distrik Toba ini, sebagian besar terdiri dari dataran tinggi

dan bukit-bukit tandus dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang sebagian kecil

masih berupa hutan primer.

.

Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Tanah Batak, terbagi pada empat subwilayah

dalam satu distrik disebut dengan Distrik Toba, mengacu kepada pembagian seluruh

kawasan Toba dengan empat jenis topografi dengan empat variasi adatnya.

Pada awalnya, distrik Toba ini berinduk pada satu kabupaten yaitu Tapanuli

Utara25

Pada tahun 1999, wilayah Toba Holbung dimekarkan menjadi satu kabupaten

yang dikenal dengan Kabupaten Toba Samosir

. Kabupaten Tapanuli Utara berada di dataran tinggi pegunungan Bukit

Barisan, dengan ketinggian antara 900 meter sampai dengan 1500 meter dpl. Wilayah

Tapanuli Utara memiliki garis pantai danau Toba kira-kira sepanjang 6 kilometer di

kecamatan Muara.

26

24

Sumatera Utara In Figures.2010. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara.

disingkat Tobasa. Pada awalnya,

25

Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukotanya Tarutung adalah kabupaten induk (pertama) di Bona Pasogit, memiliki 15 (lima belas) kecamatan antara lain: Kecamatan Tarutung, Kecamatan Sipoholon, Kecamatan Siborongborong, Kecamatan Pagaran, Kecamatan Parmonangan, Kecamatan Muara, Kecamatan Sipahutar, Kecamatan Pangaribuan, Kecamatan Garoga, Kecamatan Adian Koting, Kecamatan Pahae Jae, Kecamatan Pahae Julu, Kecamatan Simangumban, Kecamatan Purba Tua dan Kecamatan Siatas Barita. (Wawancara: T. Sinaga, SH. Humas Pemkab Taput. 12 Agustus 2011)

26

Kabupaten Toba Samosir dengan ibukota Balige memiliki 16 (enam belas) kecamatan antara lain: Kecamatan Tampahan, Kecamatan Balige, Kecamatan Laguboti, Kecamatan Sigumpar, Kecamatan Siantar Narumonda, Kecamatan Porsea, Kecamatan Uluan, Kecamatan Bonatua Lunasi, Kecamatan Parmaksian, Kecamatan Pintu Pohan Maranti, Kecamatan Lumban Julu, Kecamatan Silaen,

(23)

kabupaten ini meliputi seluruh pulau Samosir dan wilayah Toba Holbung. Saat ini,

wilayah Toba Holbung ini membentang mengikuti garis pantai danau Toba sebelah

utara dan sebagian wilayah dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan. Sungai yang

berhulukan danau Toba membelah Toba Samosir dinamai Tao Porsea sampai tepian

air terjun Sigura-gura, dan ke hilir menuju pantai timur laut Malaka sungai ini

disebut dengan sungai Asahan. Selanjutnya pada tahun 2004, kabupaten ini

dimekarkan dengan memisahkan pulau Samosir menjadi sebuah kabupaten baru.

Kawasan Humbang yang dikenal lebih banyak dengan dataran tingginya,

memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 2005 dengan nama

Kabupaten Humbang Hasundutan27

Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor, Kecamatan Nassau dan Kecamatan Ajibata. (Sumber tertulis: Toba Samosir Dalam Angka 2011, BPS Toba Samosir)

disingkat Humbahas atau Humbang Bagian

Barat. Hasundutan berarti belahan barat. Sedang kawasan Humbang bagian timur

atau Humbang Habinsaran, saat ini masuk dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Utara

meliputi Siborongborong, Pagaran, Muara, Sipahutar, Pangaribuan dan Garoga.

Wilayah Humbang keseluruhan membentang mengikuti pegunungan Bukit Barisan

dengan memiliki garis pantai Danau Toba sepanjang lebih kurang 16 km meliputi

wilayah Bakkara, Tipang dan Janji Raja.

27

Kabupaten Humbang Hasundutan beribukota Dolok Sanggul memiliki 11 (sebelas) kecamatan antara lain: Kecamatan Dolok Sanggul, Kecamatan Pollung, Kecamatan Sijama Polang, Kecamatan Onan Ganjang, Kecamatan Pakkat, Kecamatan Parlilitan, KecamatanTarabintang, Kecamatan Simamora Nabolak, Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Paranginan, Kecamatan Baktiraja. (Sumber tertulis: Humbang Hasundutan Dalam Angka-In Figures 2011, BPS Humbahas)

(24)

Kabupaten Samosir28 sebagai pemekaran dari kabupaten Toba Samosir berpisah pada Tahun 2006. Wilayah Samosir meliputi seluruh pulau Samosir yang

dikelilingi danau Toba ditambah dengan dataran tinggi steppa di pulau Sumatera

meliputi Kecamatan Sianjur Mulamula dan Kecamatan Harian yang berbatasan

dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Bharat dan

Kabupaten Dairi. Wilayah Samosir ini sering disebut dalam bahasa Batak dengan

“Pulo Samosir”. Pulo berarti pulau. Dulunya, Samosir bersatu dengan pulau

Sumatera. Namun, pada masa penjajahan Belanda, kawasan tano ponggol (tanah

putus) digali dengan membuat terusan yang menghubungkan danau Toba, sekaligus

memisahkan antara pulau Sumatera dengan pulau Samosir. Di tempat ini, tepatnya di

Kecamatan Sianjur Mulamula terdapat kawasan bersejarah tempat situs-situs Batak

yang mengungkapkan legenda dan mitos asal mula orang Batak, yakni di kaki

gunung Pusuk Buhit. Pulo Samosir dapat ditempuh dengan jalur darat melalui Tele ke

Pangururan dan jalur angkutan air dengan Ferry melalui beberapa titik dermaga

antara lain: Dermaga Ajibata, Tigaras, Haranggaol, Silalahi, Tongging, Bakara,

Muara, Balige dan Porsea yang semuanya menuju daerah pulau Samosir.

28

Kabupaten Samosir beribukota Pangururan memiliki 9 (sembilan) kecamatan antara lain: Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur ni Huta, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kecamatan Harian, Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, dan Kecamatan Sitiotio. (Sumber wawancara: Kabag Humas dan Infokom Pemkab Samosir)

(25)

2.3.2. Wilayah Budaya Batak Toba

Orientasi geografis penduduk yang bermukim di empat wilayah distrik Toba,

masing-masing memiliki variasi adat istiadat budaya. Dari wujud pelaksanaan bentuk

upacara-upacara adat yang diadakan, sekilas tampak ada persamaan diantara empat

subkelompok kultur Batak Toba ini. Namun, bila diikuti seluruh rangkaian kegiatan

dalam bentuk parjambaran juhut (hak pembagian daging), bentuk ulos (selendang

Batak) yang diselempangkan ke berbagai pihak dalihan natolu, umpasa

(petuah-petuah), akan tampak adanya perbedaan-perbedaan.

Dalam memetakan empat kultur Batak Toba yang ada di wilayah bona

pasogit, dapat dilihat bahwa satu sama lain tidak memiliki akar historis dari sumber

yang sama. Masing-masing memiliki bentuk budaya dengan variasi adat dengan

ciri-ciri tertentu, dengan mengesampingkan wilayah yang didiami masyarakat Batak itu

dari pembagian wilayah menurut demografi struktur Pemerintahan. Misalnya,

seorang Batak bermarga Sihombing yang bertempat tinggal di Siborongborong

melakukan upacara adat Batak dengan afliasi kultur Humbang. Sekalipun, daerah

Siborongborong masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang dikenal

dengan par-Silindung (orang dari Silindung). Si empunya pesta tidak memakai adat

Silindung dalam kegiatannya, oleh karena nilai kulturnya masih dalam ranah budaya

Humbang. Keadaan hal seperti itu juga diperlakukan sama pada masyarakat Batak

Toba yang ada di area kultur Humbang lainnya seperti di Sipahutar, Pangaribuan,

(26)

2.3.3. Sistem Mata Pencaharian Penduduk

Seiring pertumbuhan orang Batak semakin banyak, penelitian terhadap orang

Batak yang berada di perantauan telah dilakukan oleh beberapa etnologi seperti Johan

Hasselgren (2008), Togar Nainggolan (2006) dan Elvis Purba dkk (1998). Banyak

ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah persawahan. Pendatang pertama,

kedua dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun sudah ada yang beralih

pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian. Dapat dilihat, secara umum

kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas

mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani

yang mengusahai lahan sempit.

Para pedagang dan pengusaha, juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang

lebih baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya

sampai perguruan tinggi di luar Pematang Siantar. Sebaliknya petani-petani berlahan

sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari

anak-anaknya hanya tamat SLTA, baik dari SLTA di Pematang Siantar atau dari kota-kota

pendidikan lainnya. Karena tidak ingin tinggal di desa dan bertani ada yang

meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di

Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua. Para perantau pertama

yang tidak hanya bekerja sebagai petani, biasanya mempunyai tingkat kehidupan

ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar

(27)

anak-anaknya pun semakin mendapat prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan

anak-anak mereka bekerja di luar sektor pertanian.

Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman

monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka

lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu, tetapi jika dibandingkan

dengan kebutuhan sekarang, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi

kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah

menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak

ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif. (Hasselgren, 2008:72)

Di berbagai desa dimana petani-petani Batak Toba mengusahai sampai 0,5

Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka kurang tanggap terhadap

perubahan hanya berpegang pada apa yang tampak dihasilkan pertanian untuk

memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka kurang menyadari bahwa

kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh

kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang berkembang dengan lebih cepat oleh

karena itu banyak dari antara mereka telah menjual tanah yang dibelinya atau tanah

yang dibukanya dahulu bahkan banyak pula yang menjadi petani penyewa dan pada

akhirnya ada yang pindah ke daerah lain seperti Riau. Petani-petani Batak Toba yang

tinggal di desa hanya menguasai sawah di bawah 0,5 Ha terdapat kesan bahwa

mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang lebih baik ke masa depan.

Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola

(28)

dengan tetangganya seperti orang jawa yang mengkombinasikan pertanian pada

sawah, kebun dan beternak. Secara umum petani-petani Batak Toba banyak yang

ketinggalan dalam pola hidup yang sebagian sebagai petani, tetapi ada juga yang

memiliki pola hidup yang baik walau hanya sebagai petani. Sedangkan di beberapa

daerah dekat dengan jalan raya petani-petani yang memiliki lahan yang luas,

memiliki hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih baik.

Jika dilihat lagi dengan kota-kota di Sumatera Utara khususnya di Medan,

banyak bermukim etnis Jawa, Batak, Mandailing dan Cina. Orang Batak dominan

bermukim pada inti kota Medan. Hal ini berbeda dengan beberapa dasawarsa yang

lalu dimana orang Batak pada umumnya bermukim di bagian kota yang menuju

Tapanuli. Dewasa ini telah menempati setiap sudut kota dari kawasan elit sampai

pinggiran kota dengan jumlah yang bertambah besar.

Dilihat dari pekerjaannya sebagian besar orang Batak Toba adalah pegawai

pemerintah, pegawai swasta dan wiraswasta. Mereka mengisi beberapa jabatan

penting diberbagai instansi pemerintah, demikian pula di instansi swasta. Di lapangan

pendidikan cukup banyak dari guru-guru sekolah menengah dan dosen Universitas

Negeri maupun swasta terdiri dari orang Batak Toba. Jumlah pedagang menengah

pun semakin banyak seperti di pusat pasar. Oleh karena situasi ekonomi keluarga

yang sulit sebagian ada yang bekerja keras dan ada yang memilih pekerjaan yang

dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu kepala keluarga dengan

(29)

pagi di pasar, jika kepala keluarganya hanya sebagai pegawai redahan atau bekerja

sebagai penarik becak dan lain-lain.

Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah,

masyarakat Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan

nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai

pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam

kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian

yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan

terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani,

penangkap ikan, pedagang atau pegawai.

Oleh karena minimnya pendapatan di masyarakat Tapanuli Utara, orang Batak

Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar Tapanuli. Pada masa dewasa ini, akibat

kemajuan sistem perekonomian yang merata, daerah Tapanuli sudah dapat memenuhi

kebutuhan masyarakatnya dan tidak ditinggalkan oleh orang Batak itu lagi. Namun

pada masa sekarang justru sudah banyak yang kembali ke kampung halaman mereka,

pulang dari perantauan karena kehidupan di perantauan sudah sangat kompetitif. Hal

ini disebabkan karena berbagai faktor antara lain perpindahan tempat kerja, bagi

orang Batak yang bekerja di daerah pemerintahan, dan ada juga karena tidak mampu

bersaing akibat pengaruh ekonomi dengan suku lain di kota-kota besar sehingga lebih

memilih untuk pulang ke kampung halaman yang pola kehidupannya tidak seberat

(30)

2.5. Konteks Historis: Batak Toba di Bona Pasogit

Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di

Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang di luar kelompok

masyarakat ini, sering menyebut dengan orang Batak yang menunjukkan identitas

mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi penyebutan ini terarah

pada Batak Toba. Tidak seperti pada penyebutan bagi masyarakat Batak lain yang

berasal dari Pakpak misalnya, sering disebut dengan orang Pakpak bukan orang

Batak Pakpak atau kelompok subetnis Batak lainnya.

Batak Toba merupakan istilah yang sering digunakan untuk mengkaji

kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh

pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini

dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur

Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur

(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun

sebagian dari mereka menerima akan hal ini. Hal yang melatarbelakangi, adanya

istilah-istilah yang ditujukan bagi nama Batak dengan konotasi buruk. Misalnya,

penyebutan dengan nama “Batak makan orang; Batak makan babi; atau Batak

berekor” menjadikannya sebagai nama yang tidak enak untuk di dengar.

(31)

atas, mereka lebih memilih tidak menggunakan label Batak dalam kehidupan

tradisinya.

Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona

pasogit29

Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari

kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah

tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh

orang Batak di bona pasogit.

, sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.

Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya danau

Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang

Batak) atau halak silindung (orang-orang silindung) yang pada awalnya sebagai

kabupaten pertama di Tapanuli. Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam

penyebutan “halak Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang

bermukim di sekitar tepian danau Toba.

Pertama, bagi kelompok kultur Batak Toba yang tinggal di kabupaten

Tapanuli Utara terdiri dari kelompok masyarakat heterogen. Di lembah Silindung

meliputi Tarutung, Siatas Barita, Sipoholon bermukim masyarakat mayoritas dari

keturunan kelompok marga Guru Mangaloksa dan keturunan marga Naipospos,

29

Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.

(32)

seperti marga Simorangkir, Panggabean, Lumban Tobing, Sitompul, Hutagalung,

Hutapea, Hutabarat, Situmeang, Sipahutar, Hutauruk dan marga lainnya. Di dataran

rendah bagian timur Tapanuli Utara yaitu di wilayah Pahae-Sarulla meliputi Pahae

Julu, Pahae Jae, Simangumban dan Purba Tua terdapat kelompok masyarakat

heterogen dari berbagai marga seperti Sitompul, Simanjuntak, Simatupang, Hutabarat

dan marga lainnya. Di bagian selatan Tapanuli Utara yang meliputi Adian Koting,

Pagaran Pisang, Aek Raisan terdapat kelompok marga Hutagalung, Hutabarat dan

marga lainnya. Di bagian barat Tapanuli Utara yang meliputi Parmonangan, Huta

Tinggi, Dolok Imun dan Pagaran terdapat kelompok marga Aritonang, Manalu,

Silaban, Sinaga, Simatupang dan marga lainnya. Sedang di bagian utara Tapanuli

Utara yang meliputi wilayah kultur Humbang antara lain Siborongborong, Butar,

Huta Raja, Bahal Batu, Hutaginjang dan Muara terdapat kelompok mayoritas marga

Sihombing, Simanjuntak, Tampubolon, Siahaan, Aritonang, Simatupang, Siregar dan

kelompok marga lainnya. Sedang di belahan tanah tinggi Humbang Habinsaran yang

meliputi Sipahutar, Onan Runggu, Pangaribuan dan Garoga, terdapat kelompok

marga Silitonga, Siregar, Simanjuntak, Gultom, Panjaitan, Harianja dan Pakpahan.

Kedua, daerah kultur yang ditempati orang Batak Toba di Humbang, sekarang

menjadi kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari kelompok marga-marga besar

yang mendiami beberapa wilayah di daerah ini. Seperti di bagian timur Humbang

Hasundutan yang meliputi wilayah Paranginan, Lintong ni Huta, Silaban, Dolok

Margu dan Bakara, terdapat kelompok mayoritas marga Simatupang, Sihombing,

(33)

Hasundutan yang meliputi daerah Bonan Dolok, Purba Tua dan Sijamapolang

terdapat kelompok marga Manalu, Silaban, Aritonang dan marga-marga lainnya.

Pada bagian barat Humbang Hasundutan yang meliputi daerah Onan Ganjang,

Parbotihan, Pakkat, Parlilitan dan Tarabintang terdapat kelompok marga heterogen.

Antara lain, Nainggolan, Sihotang, Limbong, Munthe, Marbun dan marga-marga lain

yang bermukim di daerah itu. Pada bagian utara Humbang Hasundutan yang meliputi

daerah Pollung, Hutagalung, Sigalingging dan perbatasan Tele, terdapat kelompok

marga Sigalingging, Sihite, Sihotang dan marga-marga lainnya. Sedang di daerah

pusat Humbang Hasundutan yang meliputi Dolok Sanggul, Sirisirisi, Matiti dan

Simangaronsang terdapat marga besar seperti Sihite, Manullang, Simamora, Purba,

Simatupang dan marga pendatang lainnya.

Ketiga, orang Batak yang bermukim di wilayah Toba Holbung yang dikenal

dengan kabupaten Toba Samosir terbagi atas beberapa wilayah kelompok marga. Di

arah timur Toba Samosir yang meliputi daerah Parsoburan, Borbor, Sibosur, Matio

dan Habinsaran terdapat kelompok marga orang Batak seperti Pardosi, Pane,

Pasaribu, Lubis, Naiborhu, Hasibuan, Siagian, Tanjung dan marga pendatang yang

terdapat di wilayah itu. Pada bagian selatan Toba Samosir yang meliputi wilayah

Silaen, Sitorang, Nassau, Pintu Pohan Maranti, Siantar Narumonda terdapat

kelompok marga Sitorus, Panjaitan, Silitonga, Marpaung, Sihotang, Silaen,

Sarumpaet dan marga lain. Di arah barat daya Toba Samosir yang meliputi wilayah

Tampahan, Balige, Laguboti, Sigumpar terdapat marga Simanjuntak, Siahaan,

(34)

Simatupang dan marga lain yang sudah mendiami daerah ini cukup lama. Pada bagian

utara Toba Samosir yang meliputi wilayah Uluan, Bonatua Lunasi, Porsea, Lumban

Julu, Ajibata dan Parmaksian terdapat marga Sitorus, Hutapea, Manurung, Sirait,

Butarbutar, Sinurat, Simangunsong dan marga-marga lain.

Keempat, wilayah yang didiami orang Batak di pulau Samosir dapat

diidentifikasi dari tempat pemukiman marga-marga besar di wilayah ini.

Masing-masing, di timur Samosir yang meliputi wilayah Simanindo, Ambarita, Sidabutar,

Tomok, Tuktuk Siadong, Parmonangan dan Lontung terdapat marga-marga

Sidabutar, Sinaga, Nadeak, Simbolon, Rumahorbo, Siallagan dn Silalahi. Di bagian

Selatan Samosir yang meliputi wilayah Nainggolan, Lontung, Lagundi, Onan

Runggu, Sirait, Mogang, terdapat marga-marga Nainggolan, Sinaga, Parhusip,

Lumban Raja, Siringoringo, Samosir, Gultom, Pakpahan dan marga lainnya. Di

belahan barat Samosir yang meliputi wilayah Sitiotio, Harian, Hatoguan, Palipi,

Sianjur Mulamula, Sihotang terdapat marga Sinaga, Simbolon, Situmorang, Nadeak,

Sitanggang, Sitohang dan marga-marga lain. Sedang di bagian utara Samosir yang

meliputi wilayah Pangururan, Ronggur ni Huta, Buhit, Ria Niate terdapat marga

Simbolon, Sitanggang, Simarmata, Gultom, Manihuruk, Sidauruk dan marga lain

(35)

Gambar No. 1:

Daerah Pemukiman Orang Batak Toba Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97

2.5. Diaspora Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke

tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama

menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan

oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar

sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan

zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui

(36)

orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal mendasar dari cita-cita

filosofi semua orang Batak yaitu mengejar hamoraon, hagabeon dan hasangapon

adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan keinginan-keinginan itu.

Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak,

menjadi diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia

luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan

kesejahteraan hidupnya. Dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk

mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial. Untuk mencapai

cita-cita filosofi orang Batak itu, pendidikan adalah jawaban yang dipandang tepat.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,

membuat orang Batak selalu suka bekerja keras. Sehingga, pekerjaan adalah sesuatu

yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil

akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru

lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan

lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap

pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman

baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan

menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk

wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang

(37)

Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju

Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur,

masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan

berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional

ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Namun, sebelumnya orang

Batak yang akan keluar menuju Sibolga harus menyusuri hutan rimba Batang Toru

dari Adian Koting dengan jarak tempuh berjalan kaki 2 sampai 3 hari. Atau melalui

rute timur dari dataran tinggi Sipirok di wilayah negeri Angkola menuju Padang

Sidempuan dan terus ke kota pelabuhan Padang. Hal ini pernah terjadi dengan

adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an

dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang,

atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat

perang Paderi/Bonjol di tanah Batak.

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui

beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari

tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal

(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.

Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir

timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru

(38)

Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya

jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin

tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang

sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.

Diaspora masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat

perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang

berpendidikan saja, melainkan para petani-petani yang hanya mengandalkan

semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung

halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial

Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya mereka mau membayar pajak rodi

sebesar 3 gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama

setahun. (Sangti, 1977:180)

Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk

meningkatkan taraf ekonomi mereka. Tetapi, ada beberapa kasus untuk sebagian

masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di

daerah Sumatera Timur, hanya bersihat sementara. Kelompok ini disebut dengan

mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara periodik mereka

kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun 1980-an, yang diikuti

oleh beberapa kelompok masyarakat dari dataran tinggi Humbang yang pergi

mangombo ke Simalungun di Laras, Dolok Merangir, Dolok Ilir dan Tanjung

(39)

Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan

selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek

kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja.

Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka

terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di

bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat

diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka seperti dari

Silindung, Toba Holbung, Humbang dan Samosir. Mereka menjalankan adat Batak

dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam

pemakaian musik untuk mengiringi upacara adat Batak mereka.

2.5.1. Komunitas Batak Toba di Simalungun

Kedatangan orang-orang Batak Toba di Simalungun, memberi arti luas dalam

pembangunan pertanian dan struktur kemasyarakatan. Dari beberapa daerah yang

menjadi tempat berdiamnya orang Batak di Simalungun, mereka dapat berbaur

dengan penduduk pribumi (Simalungun). Pada dekade pertama, ada beberapa

pertentangan yang membuat konflik terbuka atas keputusan raja-raja Simalungun

untuk membayar pajak irigasi bagi semua pendatang dari tanah Batak. Para raja

menganggap bahwa mereka sudah menjadi rakyat Simalungun yang patuh akan

aturan yang dijalankan disana. Di lain pihak, para pekerja orang Batak yang ada di

Simalungun merasa pekerjaan mereka berhasil di Simalungun adalah karena kerja

(40)

Berdasarkan data kependudukan tahun 1930, jumlah penduduk Batak Toba

yang sudah bermukim di onderafdeling Simalungun sudah mencapai 45.603 orang,

bertumbuh dua kali lipat dari jumlah penduduk Batak di Simalungun pada tahun

1920. Mayoritas mereka berasal dari Toba Holbung, Samosir, Humbang dan

Silindung (Situmeang, 1931:23-24). Mereka terkenal sebagai petani-petani ulung

dalam membuka lahan pertanian. Selain sebagai petani yang bekerja di sawah dan

ladang, kaum imigran Batak Toba juga banyak bekerja di perkebunan milik swasta

dan pemerintah di Dolok Ilir dan Dolok Merangir. Para pemudanya bekerja di sektor

kesehatan rumah sakit Perkebunan, disamping banyak pula yang bekerja di PKS

(pabrik kelapa sawit) dan pabrik getah havea di Serbelawan dan arah Tanah Jawa.

Dengan dibukanya jalan raya antara tanah Batak ke daerah Simalungun

memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau

daerah lainnya di Sumatera Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka

yang akan pindah. Pembukaan hubungan jalan sampai ke Medan pada tahun-tahun

berikutnya telah menyebabkan daerah Simalungun sebagai kota transit bagi

orang-orang Batak yang akan menuju daerah lain di Sumatera Timur seperti Tebing Tinggi,

Medan, Belawan, Binjai, Pangkalan Berandan dan kota-kota kecil lainnya untuk

mencari pekerjaan (Purba, 1998:29).

Berdiamnya kelompok masyarakat Batak Toba di wilayah Simalungun seperti

di Pematang Siantar, memunculkan nama-nama daerah baru yang diadaptasi kepada

nama komunitas Batak Kristen ketika mereka masih tinggal di bona pasogit seperti

(41)

dengan nama kampung mereka sendiri. Misalnya, jalan Laguboti, Balige,

Pangaribuan, Tarutung, Siborongborong, Pangururan dan Narumonda.

Pada perkembangan selanjutnya, laju pertumbuhan ekonomi masyarakat

Batak yang tinggal di Simalungun mengalami grafik naik secara signifikan yang

dapat dilihat dari tingkat kehidupan mereka yang maju. Para petani, meningkatkan

produksi hasil pertaniannya dengan bantuan pihak lain dalam menambah volume

areal dan produktivitasnya melalui pinjaman lunak yang diberikan De Batakbank

(Bank Perkreditan milik orang Batak). Hal ini menjadikan tingkat perekenomian

mereka lebih maju dari penduduk asli pribumi. Di lain pihak, orang Batak yang ada di

Simalungun memiliki pekerjaan disamping bertani. Mereka bekerja pada perkebunan,

pegawai pemerintah dan juga tenaga pengajar.

Dalam sensus tahun 1930, ditemukan orang Batak yang mendominasi kaum

imigran lain yang berada di Simalungun sebesar 19 % dari seluruhnya. Jumlah

imigran di Simalungun saat itu berjumlah 6.644 jiwa atau sekitar 68,4 %, melebihi

dari total jumlah penduduk pribumi yang hanya 31,6 % (ibid, 1998:30). Perjumpaan

penduduk Batak Toba dengan penduduk Simalungun selama dua setengah dasawarsa

(1907-1932) dapat hidup berdampingan. Hal ini adalah implikasi dari pengaruh ajaran

agama Kristen yang menyatukan persepsi mereka. Hanya membutuhkan delapan

tahun, orang-orang Batak Toba yang ada di Simalungun sudah mendominasi dari

jumlah populasi penduduk di Simalungun yakni sebesar 37 % pada tahun 1938.

Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati

(42)

Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi,

Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa,

Parapat dan daerah lain. Masyarakat Batak di Simalungun hingga kini banyak

menempati posisi strategis sebagai pejabat, pegawai pemerintah, pedagang, politikus

dan rohaniawan. Mereka juga beraktivitas dalam menjalani kehidupan

kebudayaannya, walaupun mereka jauh dari daerah asal, tetap juga melakukan

aktivitas adat seperti lazimnya orang Batak dalam melakukan pesta atau upacara.

2.5.2. Komunitas Batak Toba di Medan

Dalam perkembangan etnis di Medan, kebudayaan Melayu yang lebih

dominan. Melayu merupakan dinamika yang penting bagi kelompok-kelompok Batak

yang berhubungan langsung dengan kebudayaan Melayu di Medan. Sekitar tahun

1920-an perubahan dominasi etnik di Medan mulai berubah. Orang-orang Batak yang

ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus

memperlihatkan identitas mereka.

Dicatat, beberapa gerakan organisasi membentuk gerakan komunitas Batak.

Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga

menunjukkan identitas mereka. Sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa

orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal adalah ternyata adalah orang

Batak. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat

berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat

(43)

Dalam kasus masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami

perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh

orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi

bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya

dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang

multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati

dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, ada juga

diantara penduduk urban pribumi memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai

perkembangan ini, tidak tampak perbedaan etnis baik suku maupun agama.

Disamping pembahasan tentang migrasi masyarakat Batak Toba yang

bermukim di perantauan khususnya di kota Medan, kelompok imigran penting

lainnya adalah Batak Mandailing. Saat pergantian abad, banyak orang Mandailing

bertempat di pantai timur Sumatera dan di tempat lain . (ibid. 2008:51). Orang dari

Selatan ini tampaknya lebih mudah diterima masyarakat Melayu di kota Medan,

daripada orang Batak Toba. Hal ini terjadi dikarenakan mereka memiliki kesamaan

agama, sehingga dianggap sebagai saudara seiman mereka. Dan ini menyebabkan

mereka lebih berpeluang untuk mendapatkan akses pekerjaan di bidang perdagangan

dan pemerintahan.

Tingkat kompetisi yang tinggi orang-orang yang bermukim di kota Medan,

membuat orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive).

Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas mereka agar

Gambar

Gambar No. 1:
Gambar No. 4:

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pelaksanaan KKN -PPM akan dibim bing oleh D osen Pem bim bing Lapangan yang akan m endam pingi m asing-m asing unit KKN - PPM dan untuk pelaksanaan kegiatan KKN -PPM di tingkat D

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Secara earning power kita bisa melihat penurunan dan rasio yang kecil dari Perusahaan AISA, hal ini terbukti dari kondisi P/E Ratio yang selalu undervalued dalam 5 tahun terakhir

Namun, faktor yang memengaruhi kemampuan koneksi matematis mahasiswa dalam menyelesaikan masalah open ended tidak hanya kecerdasan linguistik, melainkan juga faktor

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai peranan komunikasi dalam mempengaruhi kinerja

Hasil pengujian hubungan antara prinsip-prinsip good corporate governance dan manajemen laba pada tahun 2012 diperoleh bahwa semua prinsip-prinsip good corporate governance